Implikasi ayat alquran dalam pendidikan
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya akhirnya memunculka memunculkann kehidupan kehidupan sosial yang bermoral. bermoral. Sayangnya Sayangnya,, sekalipun sekalipun institusi-institu institusi-institusi si pend pendidikan idikan saat ini memiliki memiliki kualitas kualitas dan fasilitas, fasilitas, namun institusi-in institusi-institus stitusii tersebut tersebut masih belum memproduk memproduksi si individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang yang akan akan memakm memakmura urann diri, diri, perusa perusahaa haann dan Negara Negara.. Pendid Pendidika ikann dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal modal yang selama ini dikeluarka dikeluarkann akan menuai keuntungan. keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular. Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang yang tinggi tinggi,, namun namun dalam dalam kehidu kehidupan pan nyata, nyata, mereka mereka belum belum menjad menjadii Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan
yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis. Dala Dalam m makal akalah ah ini ini penu enulis lis beru erusaha saha meng mengggali ali dan dan mendeskrip mendeskripsikan sikan tujuan pendidikan pendidikan dalam Islam secara secara induktif induktif deng dengan an melihat melihat dalil-dalil dalil-dalil naqli yang sudah ada dalam al-Qur’an al-Qur’an maupun alHadits, juga memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat secara umum dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan pendidikan dalam Islam dapat diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian. II. PEMBAHASAN 1. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Dzariyat [51] ayat 56
“Dan Aku tidak menciptakan menciptakan jin dan manusia melainkan melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. al-Dzariyat [51] : 56)
Ayat ini dengan sangat jelas mengabarkan kepada kita bahwa tujuan tujuan pencip penciptaa taann jin dan manus manusia ia tidak tidak lain hanyal hanyalah ah untuk untuk “mengabdi” kepada Allah SWT. Dalam gerak langkah dan hidup manusia haruslah senantiasa diniatkan untuk mengabdi kepada Allah. Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai sesuai dengan dengan asal asal mula mula pencip penciptaan taannya nya,, yaitu yaitu sebaga sebagaii abid . Sehingga Sehingga dalam melaksanakan melaksanakan proses proses pendidikan, pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata. Mengab Mengabdi di dalam dalam termin terminolo ologi gi Islam Islam sering sering diarti diartikan kan dengan dengan beribadah. Ibadah bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adala adalahh satu satu bent bentuk uk ketu ketund nduk ukan an dan dan keta ketaata atann yang yang menc mencap apai ai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ibadah juga merupakan
dampak keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau dan tidak terbatas.[1] Ibadah dalam pandangan ilmu Fiqh ada dua yaitu ibadah mahdloh dan ibadah ghoiru mahdloh. Ibadah mahdloh adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar atau waktunya seperti halnya sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah ghoiru mahdloh adalah sebaliknya, kurang lebihnya yaitu segala bentuk aktivitas manusia yang diniatkan untuk memperoleh ridho dari Allah SWT. Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar dan sebagainya adalah termasuk dalam kategori ibadah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW : )
)
“Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap orang-orang Islam lakilaki dan perempuan” (H.R Ibn Abdulbari)
)
)
“Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai pulang kembali”. (H.R. Turmudzi)[2]
Pendidikan sebagai upaya perbaikan yang meliputi keseluruhan hidup individu termasuk akal, hati dan rohani, jasmani, akhlak, dan tingkah laku. Melalui pendidikan, setiap potensi yang di anugerahkan oleh Allah SWT dapat dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi. Sehingga pendidikan merupakan suatu proses yang sangat penting tidak hanya dalam hal pengembangan kecerdasannya, namun juga untuk membawa peserta didik pada tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada zaman modern dengan berbagai kompleksitas yang ada.
Dalam penciptaaannya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dengan dua fungsi, yaitu fungsi sebagai khalifah di muka bumi dan fungsi manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki kewajiban untuk menyembah-Nya. Kedua fungsi tersebut juga dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut, “…’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’ …” [Q.S AlBaqarah(2): 30]. Ketika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan dengannya Allah SWT mengamanahkan bumi beserta isi kehidupannya kepada manusia, maka manusia merupakan wakil yang memiliki tugas sebagai pemimpin dibumi Allah. Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan ta kwa.[3] Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk beribadah kepada Allah SWT” . Kalau dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan Islam justru harus lebih dari itu, dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa (waj’alna li al-muttaqina imaama). Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertaqwa, maka kita perlu mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam yaitu; itba’ syariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits) dan sekaligus itiba’ sunnatullah (mengikuti aturan-aturan Allah, yang berlalu di alam ini), Orang yang itiba’ sunnatullah adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu dan kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang
keahliannya. Imam bagi orang-orang yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai orang yang memiki profil sebagai itba’ syaria’tillah sekaligus itba’ sunnatillah, juga mampu menjadi pemimpin, penggerak, pendorong, inovator dan teladan bagi orangorang yang bertaqwa.[4] 2. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Baqarah [2] ayat 247
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah Telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2] :
247) Ayat ini menerangkan mengenai kisah pengangkatan Thalut sebagai raja Bani Israil. Allah menceritakan kisah ini dengan sangat indah, dimana orang yang berpendidikan dan mempunyai fisik kuatlah yang pantas menjadi pemimpin dan melaksanakan titah sebagai khalifah fil ardl. Nabi Syamuil mengatakan kepada Bani Israil, bahwa Allah SWT telah mengangkat Thalut sebagai raja. Orang-orang Bani Israil tidak mau menerima Thalut sebagai raja dengan alasan, bahwa menurut tradisi, yang boleh dijadikan raja itu hanyalah dari kabilah Yahudi, sedangkan Thalut sendiri adalah dari kabilah Bunyamin. Lagi pula disyaratkan yang boleh menjadi raja itu harus seorang hartawan, sedang Thalut sendiri bukan seorang hartawan. Oleh karena itu secara spontan mereka membantah, “Bagaimana Thalut akan memerintah kami, padahal kami lebih berhak untuk mengendalikan pemerintahan
daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup untuk menjadi raja?” Nabi Syamuil menjawab bahwa Thalut diangkat menjadi raja atas pilihan Allah SWT karena itu Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa sehingga ia mampu untuk memimpin Bani Israil. Dari ayat ini diambil pengertian bahwa seorang yang akan dijadikan raja ataupun pemimpin itu hendaklah memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1. Kekuatan fisik sehingga mampu untuk melaksanakan tugasnya sebagai kepala negara. 2. Ilmu pengetahuan yang luas, mengetahui di mana letaknya kekuatan umat dan kelemahannya, sehingga dapat memimpinnya dengan penuh kebijaksanaan. 3. Kesehatan jasmani dan kecerdasan pikiran. 4. Bertakwa kepada Allah supaya mendapat taufik daripada-Nya untuk mengatasi segala kesulitan yang tidak mungkin diatasinya sendiri kecuali dengan taufik dan hidayah-Nya. [5] Manusia sebagai khalifah di bumi bisa melaksanakan amanah memakmurkan bumi jika manusia tersebut mempunyai 4 karakter diatas. Karakter-karakter tersebut hanya bisa diperoleh dengan pendidikan yang baik dan usaha yang terus menerus. Pendidikan jasmani akan menghasilkan raga yang sehat, kuat dan tangguh. Pendidikan rohani akan menghasilkan pengetahuan yang luas, akhlak yang baik dan ketaqwaan kepada Sang Kholik. Kedua jenis pendidikan ini saling terkait dan sama pentingnya untuk menghasilkan manusiamanusia paripurna yang bisa mengemban amanat sebagai khalifah. Adapun harta kekayaan tidak dimasukkan menjadi syarat untuk menjadi raja (pemimpin) karena bila syarat-syarat yang empat tersebut telah dipenuhi, maka mudahlah baginya untuk mendapatkan harta
yang diperlukan sebab Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Hujair A.H. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan misi yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin” . Selain itu, sebenarnya konsep dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kaderkader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan dunia yang yang makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis.[6] 1. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Qashash [28] ayat 26
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
Rupanya orang tua itu (Nabi Syuaib) tidak mempunyai anak lakilaki dan tidak pula mempunyai pembantu. Oleh sebab itu yang mengurus semua urusan keluarga itu hanyalah kedua putrinya saja, sampai keduanya terpaksa menggembala kambing mereka, di samping mengurus rumah tangga. Terpikirlah salah seorang putri itu untuk memintanya supaya datang memenuhi undangan bapaknya alangkah baiknya kalau Musa yang nampaknya amat baik sikap dan budi pekertinya dan kuat tenaganya diangkat menjadi pembantu di rumah ini. Putri itu mengusulkan kepada bapaknya angkatlah Musa itu sebagai pembantu kita yang akan mengurus sebagian urusan kita sebagai penggembala kambing, mengambil air dan sebagainya. Saya
lihat dia seorang yang jujur dapat dipercaya dan kuat juga tenaganya. Usul itu berkenan di hati bapaknya, bahkan bapaknya bukan saja ingin mengangkatnya sebagai pembantu, malah ia hendak mengawinkan putrinya itu dengan Musa dan sebagai maharnya Musa harus bekerja di sana selama delapan tahun dan bila Musa menyanggupi sepuluh tahun dengan suka rela itulah yang lebih bai k.[7] Ayat di atas mengisahkan mengenai pelarian Nabi Musa dari kejaran tentara Fir’aun untuk dibunuh hingga akhirnya bertemu dengan dua putri dari Nabi Syuaib dan membantunya mengambilkan air minum untuk ternaknya. Nabi Syuaib adalah seorang pemuka agama dan masyarakat di negeri Madyan. Konon Nabi Musa adalah seorang yang gagah perkasa, kuat, pandai memimpin dan jujur lagi dapat dipercaya. Karena sifat-sifat terpuji itulah yang membuat anak gadis Nabi Syuaib terkesima dan Nabi Syuaib juga berencana menikahkan salah satu diantara anak gadisnya dengan Nabi Musa. Ibnu Taimiyah dalam bukunya as-Syiasah Asyriyyah merujuk pada ayat di atas, demikian juga ucapan penguasa Mesir ketika memilih dan mengangkat Nabi Yusuf A.S sebagai kepala badan logistik negara.[8] “Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia (Yusuf), dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari Ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami” (Q.S. Yusuf [12] : 54). Hal ini menegaskan bahwa pentingnya
kedua sifat tersebut, yaitu kuat dan dipercaya, untuk dimiliki oleh orang yang diberi amanat mengemban tugas berat. Pengertian kuat disini adalah kekuatan dalam berbagai aspek dan bidang. Oleh karena itu terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang akan ditugaskan kepada yang dipilih. Sedangkan kepercayaan tersebut diatas yang dimaksud adalah integritas pribadi dari orang yang diberi amanat. Di zaman modern sekarang ini diperlukan orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing dan mempunyai integritas pribadi yang unggul dan terpuji guna mengembangkan segala aspek kehidupan yang lebih bermakna. Diharapkan orang mukmin
mempunyai spesialisasi tertentu di bidang iptek dan punya integritas pribadi tangguh untuk mengembangkan ummat Islam menuju kejayaan. Mukmin kuat dalam berbagai bidang lebih baik dibandingkan dengan mukmin lemah, hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW : “Dari Abu Hurairah R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing mempunyai kebaikan. Gemarlah kepada hal-hal yang berguna bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah menjadi lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, jangan berkata: Seandainya aku berbuat begini, maka akan begini dan begitu. Tetapi katakanlah: Allah telah mentakdirkan dan terserah Allah dengan apa yang Dia perbuat. Sebab kata-kata seandainya membuat pekerjaan setan.” (H.R.
Muslim).[9] 1. Kandungan Al-Qur’an Surat Ali Imron [3] ayat 19
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayatayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Ayat diatas menunjukkan sebagai berita dari Allah SWT yang menyatakan bahwa tidak ada agama yang diterima dari seseorang di sisi-Nya selain Islam, yaitu mengikuti para Rasul yang diutus oleh Allah SWT di setiap masa, hingga diakhiri dengan Nabi Muhammad SAW yang membawa agama yang menutup semua jalan lain kecuali jalan yang telah ditempuhnya. Karena itu, barangsiapa yang menghadap kepada Allah – sesudah Nabi Muhammad SAW diutus – dengan membawa agama yang bukan syariatnya, maka hal itu tidak diterima oleh Allah. Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas membaca firman Allah diatas dengan innahu yang di-kasrah-kan dan anna di- fathah-
kan, artinya “Allah telah menyatakan, begitu pula para malaikat dan orang-orang berilmu, bahwa agama yang diridloi di sisi Allah adalah Islam”. Sedangkan menurut jumhur ulama’, mereka membacanya kasrah, yaitu ‘innad diina’ sebagai kalimat berita. Bacaan tersebut kedua-duanya benar, tetapi menurut bacaan jumhur ulama lebih kuat. [10] Kemudian Allah SWT memberitakan bahwa orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab kepada mereka di masa-masa yang lalu, mereka berselisih pendapat hanya setelah hujjah ditegakkan atas mereka, yakni sesudah para Rasul diutus kepada mereka dan kitabkitab samawi diturunkan buat mereka. Sebagian dari mereka merasa dengki terhadap sebagian yang lainnya, lalu mereka berselisih pendapat dalam perkara kebenaran. Hal tersebut terjadi karena terdorong oleh rasa dengki, benci dan saling menjatuhkan, hingga sebagian dari mereka berusaha menjatuhkan sebagian yang lain dengan menentangnya dalam semua ucapan dan perbuatannya, sekalipun benar.[11] Terhadap orang-orang yang ingkar kepada ayatayat Allah yang telah diturunkan, maka sesungguhnya Allah akan membalas perbuatannya dan melakukan perhitungan terhadapnya atas kedustaannya itu, dan akan menghukumnya akibat ia menentang Kitab-Nya. Keterangan di atas menunjukkan kedengkian dan kebencian umat Yahudi dan Nasrani terhadap umat Islam pada zaman sekarang setelah hujjah dan penjelasan datang pada mereka tentang kebenaran Islam. Walaupun mereka diberi akal dan pengetahuan oleh Allah SWT, tetapi karena hatinya tertutup oleh rasa sombong dan dengki terhadap Islam sehingga tidak mau menerima kebenaran Islam. Pengetahuan yang mereka peroleh digunakan untuk menuruti hawa nafsu mereka belaka, seperti dapat kita lihat di negara-negara yang mayoritas penduduknya Yahudi dan Nasrani. Pengetahuan yang telah diperoleh untuk memperkaya diri, menyombongkan diri bahkan saling berusaha menguasai dan menjajah diantara satu dengan lainnya dalam segala bidang kehidupan. Sehingga pengetahuan yang mereka peroleh kering
dari makna serta membuat semakin kehilangan arah ke- ilahi-an dan miskin dimensi transendental. Tujuan pendidikan ala Al-Qur’an jelas beda dengan konsep pendidikan di Barat yang mengedepankan materialistik. Dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang didapat dari proses belajarmengajar secara Islami diharapkan akan terbentuk muslim yang lebih tangguh, berpengetahuan luas dan yakin akan kebenaran ajaran Islam. Pengetahuan yang didapatpun akan lebih didayagunakan untuk kemaslahatan umat Islam pada khususnya dan rahmatan lil alamin pada umumnya. III. ANALISIS KRITIS AYAT-AYAT TUJUAN PENDIDIKAN
Tujuan adalah suatu yang diharapakan tercapai setelah sesuatu kegiatan selesai atau tujuan adalah cita, yakni suasana ideal itu nampak yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education). Adapun tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu hidup, selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan. Sebagai pendidikan yang notabenenya Islam, maka tentunya dalam merumuskan tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun rumusan tujuan pendidikan Islam yang disampaikan beberapa tokoh adalah : 1. Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identiuk dengan tujuan hidup orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam adalah untuk menjadi hamba allah. Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya .
2. Dr. Ali Ashraf; “tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya”. 3. Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of Islamic is moral refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa)” 4. Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua banyak, berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin yang tinggi dan berpendirian teguh”. Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat. IV. KESIMPULAN
Dari uraian dan penjelasan di at as, pemakalah menyimpulkan : 1. Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk pribadi muslim yang sadar akan tujuan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid (hamba). Sehingga dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata, selain itu dalam setiap gerak langkahnya selalu bertujuan memperoleh ridho dari Yang Maha Kuasa. 2. Pendidikan Islam mempunyai misi membentuk kader-kader khalifah fil ardl yang mempunyai sifat-sifat terpuji seperti amanah, jujur, kuat
jasmani dan mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang. Diharapkan akan terbentuk muslim yang mampu mengemban tugas sebagai pembawa kemakmuran di bumi dan “Rahmatan Lil Alamin“. 3. Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat. Setiap manusia dapat memperoleh pendidikan dan hasil belajar yang baik sesuai dengan petunjuk agama. Dalam hal ini, agama Islam dengan alQur’an sebagai sumber utamanya menuntut penganutnya untuk memperdalam ilmu pengetahuannya, sesuai dengan tabiat agama. Ini berarti bahwa teori-teori aliran kependidikan yakni nati visme, empirisme, dan kovergensi bukan menjadi acuan konsep pendidikan al-Qur’an. Namun al-Qur’an lah yang memberikan konsep terhadap aliran-aliran pendidikan tersebut. Menurut al-Qur’an, manusia pada tabiatnya adalah homo religious (makhluk beragama) yang sejak lahirnya telah membawa suatu kecenderungan beragama. Dalam hal ini, pada QS. al-Rum (30): 30 Allah berfirman :
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama y ang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
Term (fitrah Allah) dalam ayat di atas, mengandung interpretasi bahwa manusia diciptakan oleh Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid. Potensi fitrah Allah pada diri manusia ini menyebabkannya selalu mencari realitas mutlak, dengan cara mengekspresikannya dalam bentuk sikap, cara berpikir dan bertingkah laku. Karena sikap ini manusia disebut juga sebagai homo educandum (makhluk yang dapat didik) dan
(makhluk pendidik), karena pendidikan baginya adalah suatu keharusan guna mewujudkan kualitas dan integritas kepribadian yang utuh. homo education
Posisi manusia sebagai homo religious dan homo educandum serta homo education sebagaimana disebutkan di atas, mengindikasikan bahwa sikap kegiatan belajar bagi setiap manusia dapat diarahkan melalui proses pendidikan dengan memandang fitrah sebagai obyek yang harus dikembangkan dan disempurnakan, dengan cara membimbing dan mengasuhnya agar dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan (Islam) secara universal. Dalam hal ini, alQur’an maupun hadis meskipun tidak secara eksplisit membicarakan tentang konsep dasar keberagamaan yang dimaksud, tetapi secara implisit dari konteks ayat maupun hadis terdapat petunjuk yang mengarah tentang pendidikan keberagamaan. Misalnya saja, dalam QS. al-Tahrim (66) : 6 Allah berfirman: "Hai orang-orang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari neraka…"
Muatan ayat tersebut sebagai motivasi bagi setiap orang tua (khusus-nya orang-orang beriman) untuk selalu mengawasi anak-anak mereka dalam aspek pendidikan, karena anak-anak atau keluarga merupakan sebagai bagian terpenting dari struktur rumah tangga. Dengan kata lain, orang tua hendaknya tidak mengabaikan kewajiban edukatifnya, yakni memelihara, membimbing dan mendidik anak-anaknya menjadi anggota keluarga yang senang pada kebaikan dan menjauhi kemaksiatan. Secara jelas perintah tersebut mengarah pada aspek pembinaan mental keberagamaan anak dalam rangka mewujudkan suasana keluarga sakinah yang selalu taat menjalani fungsinya dengan baik. Wadah inilah sebagai penentu keberagamaan anak di masa depan. Kaitannya dengan Nabi saw bersabda dalam satu hadisnya: :
:
"Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tualah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi". Konteks hadis tersebut relevan dengan QS. al-Rum (30): 30 sebagaimana dikutip terdahulu bahwa yang merupakan hakekat fitrah keimanan sebagai petunjuk bagi orang tua agar lebih eksis mengarahkan fitrah yang dimiliki oleh anak secara bijaksana di bawah sejak lahir. Di samping itu, ayat dan hadis Nabi saw tersebut mengandung implikasi bahwa fitrah merupakan suatu pembawaan setiap manusia sejak lahir, dan mengandung nilai-nilai religius dan keberlakuannya mutlak. Di dalam fitrah mengandung pengertian baik-buruk, benar-salah, indah-jelek dan seterusnya. Dalam aliran pendidikan misalnya nativisme, memandang pembawaan tidak dapat dirubah oleh lingkungan, demikian pula sebaliknya dalam empirisme memandang bahwa lingkungan dapat merubah pembawaan (bakat) anak sejak lahir, seterusnya konvergensi memandang bahwa pembawaan (bakat) sebagai faktor internal dan lingkungan faktor eksternal saling mempengaruhi. Kaitannya dengan ini, maka dalam perspektif alQur’an ditegaskan bahwa fitrah adalah pembawaan keagamaan dan suatu saat keagamaan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan. Artinya bahwa fitrah tidak dapat berkembang tanpa adanya pengaruh positif dari lingkungannya yang mungkin dapat dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis bila lingkungan itu tidak memungkinkan untuk menjadi fitrah itu lebih baik. Jadi, faktor-faktor yang bergabung dengan fitrah dan sifat dasarnya bergantung pada sejauh mana interaksi dengan fitrah itu berperan. Pada sisi lain, tentu saja fitrah yang dibawa oleh setiap manusia sejak kecil, pada perkembangannya nanti akan mengalami tingkatan-tingkatan yang bervariasi, sesuai dinamika dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Karena demikian halnya, maka hasil yang diraih dari proses belajar dapat dilihat sejauh mana fitrah itu berperan. Faktor pertama yang mempengaruhi hasil belajar mengajar, jika merujuk pada teks hadis terdahulu adalah lingkungan keluarga, sebagai unit
pertama dan institusi pertama anak dipelihara, dibesarkan dan dididik. Lingkungan keluarga di sini memberikan peranan yang sangat berarti dalam proses keberhasilan anak dalam pendidikan. Sebab di lingkungan inilah anak menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan sejak awal kepadanya. Pada masa kecil, keimanan anak belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang obyektif, tetapi lebih merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman dan kenikmatan jasmaniah. Peribadatan anak pada masa ini masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati. Peniruan sangat penting dalam kehidupan anak, mulai dari bahasa, mode, adat istiadat dan sebagainya. Hampir semua kehidupan anak berpangkal pada proses peniruan. Misalnya saja, apabila anak-anak itu melihat orang tuannya shalat, maka mereka juga mencoba untuk mengikutinya. Maka dari itu, lingkungan keluarga (rumah tangga) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat dan sikap keberagamaan seseorang. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, maka orang tua menyekolahkan anak-anak mereka dan secara kelembagaan sekolah di sini sebagai faktor kedua yang dapat memberikan pengaruh dalam membentuk tingkat keberagamaan. Namun besar kecil pengaruh yang dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Hal ini disebabkan perkembangan keagamaan anak, juga dimotivasi oleh perkembangan bakat dan kepribadiannya. Lingkungan sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan tingkat keberhasilan anak dalam belajar, adalah sebagai lanjutan dari pendidikan lingkungan keluarga. Dalam perspektif Islam, fungsi sekolah sebagai media realisasi pendidikan berdasarkan tujuan pemikiran, aqidah dan syariah dalam upaya penghambaan diri terhadap Allah dan mentauhidkan Nya sehingga manusia terhindar dari penyimpangan fitrahnya. Artinya, prilaku anak diarahkan agar tetap mempertahankan naluri keagamaan dan tidak keluar dari bingkai norma-norma Islam.
Dalam upaya pembentukan jadi diri peserta didik, maka pendidikan melalui sistem persekolahan patut diberikan penekanan yang istimewa. Hal ini disebabkan oleh pendidikan sekolah mempunyai program yang teratur, bertingkat dan mengikuti syarat yang jelas dan ketat. Hal ini mendukung bagi penyusunan program pendidikan Islam yang lebih akomodatif. Di samping lingkungan rumah tangga dan sekolah, maka lingkungan masyarakat merupakan faktor ketiga yang memengaruhi tingkat keberhasilan pendidikan. Dalam pandangan Hadari Nawawi, pada tahap yang lebih tinggi dan komplek di masyarakat terdapat konsep-konsep berpikir yang disebut ideologi, yang membuat manusia berkelompokkelompok dengan menjadikan ideologinya sebagai falsafah dan pandangan hidup kelompok masing-masing. Di antara ideologi-ideologi itu ada yang bersumber dari agama. Sekiranya idelogi agama ini direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka sikap dan prilaku keberagamaan seseorang akan semakin mantap dan kokoh. Kesadaran akan pentingnya sikap atau prilaku keberagamaan dalam kehidupan masyarakat, memberikan peluang yang sangat besar kepada dunia pendidikan untuk merealisasikannya. Ini berarti kesempatan emas bagi umat Islam untuk menjadikan pendidikan sebagai pilihan strategis bagi pemeliharaan, penanaman dan penyebaran nilai Islam. Konsekuensinya, diperlukan upaya-upaya yang dinamis, fleksibel dan serius dalam mengelola lembaga pendidikan formal di setiap jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik yang berstatus negeri maupun swasta. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud teori belajar dan mengajar menurut petunjuk Al-Qur’an adalah aturan dalam proses kegiatan belajar dan mengajar berdasarkan dalil-dalil yang mengacu pada interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Antara lain dalil-dalil yang berkenaan dengan ini adalah QS. al-Alaq (96): 1-5 yang berbicara tentang perintah belajar dan mengajar; QS. al-Nahl (16): 78 yang berbicara tentang komponen pada diri manusia yang harus difungsikan dalam kegiatan belajar dan mengajar; QS. Luqmān (31): 17-19 yang berbicara tentang pemantapan aqidah dan akhlak dalam kegiatan belajar dan
mengajar; QS. al-Nahl (16): 125 dan selainnya tentang kewajiban belajar dan mengajar serta metode-metode yang digunakan. Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang memengaruhi peserta didik tersebut. Selanjutnya menurut aliran konvergensi bahwa antara lingkungan dan bakat pada peserta didik yang t erbawa sejak lahir saling memengaruhi. Al-Qur’an sebagai acuan dasar pendidikan Islam dalam menerangkan teori belajar mengajar telah memberikan konsep terhadap pemikiran yang terdapat aliran nativisme, empirisme dan konvergensi. Dalam hal ini, alQur’an menegaskan bahwa pembawaan seorang anak (peserta didik) sejah lahirnya disebut fitrah, dan fitrah ini adalah dasar keagamaan yang dimiliki oleh setiap orang. Fitrah menurut al-Qur’an di samping dapat menerima pengaruh dari dalam (keturunan) juga dapat menerima pengaruh dari luar (lingkungan). Untuk mengembankan fitrah ini, maka sangat pendidikan kedudukan pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.