Konsekuensi makro ekonomi dekolonisasi di Indonesia J. Thomas Lindblad (Leiden, Belanda) Makalah disajikan pada konferensi XIV Sejarah EkonomiInternasional, Asosiasi Helsinki, 21-25 Agustus Agustus 2006 Sesi 31
Abstrak
kontribusi ini membahas bukti statistik tentang perkembangan ekonomi makro di Indonesia selama periode 1945-1965. Perhatian khususnya diberikan kepadaekonomi pertumbuhandan kinerja perdagangan luar negeri. Sebuah diskusi yang terpisah survei link bilateral dengan Belanda, mantan kolonial ibu-negara. Makalah ini berpendapat bahwasulit untuk mendirikan sebuah hubungan sebab akibat langsung antara proses dekolonisasi dan perkembangan ekonomi makro dalam jangka panjang Indonesia selama duapertama dekadekemerdekaan. Faktor struktural yang lebih, seperti yang dikondisikan oleh warisan kolonial,mungkin memiliki potensi jelas lebih besar.
Hubungi
Dr J. Thomas Lindblad, Departemen Sejarah Studi Asia / Tenggara, UniversitasLeiden, PO Box 9515, 2300 RA Leiden, Belanda. E-mail:
[email protected];
[email protected]
Catatan
Makalah ini disusun sebagai bagian dari program p rogram penelitian 'Indonesia Across Orders', dilaksanakan di bawah naungan Institut Belanda untuk Dokumentasi Perang (NIOD), Amsterdam, dan Institut Internasional Studi Asia (IIAS), Leiden . Ini mengantisipasi monografi yang akan datang pada dekolonisasi ekonomi Indonesia. Jangan mengutip tanpa izin.
1 Pendahuluan
Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 dan kedaulatan diakui oleh pemerintah kolonial sebelumnya, Belanda, pada tanggal 27 Desember 1949.Belanda perusahaanyang tersisa di operasi di Indonesia disita pada bulan Desember 1957 dan secara resmi dinasionalisasi pada 1959-1960 atas dasar undang-undang diumumkan oleh parlemenIndonesia pada bulan Desember 1958. kronologi singkat ini membuat jelas bahwa dekolonisasi ekonomi di Indonesia mengikuti jalan yang berbeda daripolitik. dekolonisasi Dalam sebuah kutipan yang sering dikutip, pemimpin nasionalis Haji Agus Agus Salim mengatakan tentang tahun 1950-an yang 'Revolusi Indonesia belum memasukiekonomi' fase (Glassburner 1971: 80; Booth 1998: 61). Perbedaan waktu danini momentum perubahanmenjamin eksplorasi konsekuensi makroekonomi dekolonisasidi Indonesia yang membentuk topik untuk makalah ini. Banyak telah ditulis tentang dekolonisasi politik, apalagi jadi sekitar sisiekonomi dari proses. Sebuah studi menarik tentang bekas koloni di Afrika, namun dengan lingkup yang lebih luas dari penerapan, mencoba untuk menghubungkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan cara di mana dekolonisasi terjadi. Titik kunci di d i sini adalah bahwa dekolonisasi mungkin memiliki dampak mengganggu dengan dampak ekonomi jangka panjang tergantung pada situasi (Bertocchi dan Canova 2002) 0,1 Ide ini digunakan di sini sebagai sumber inspirasi.Sebuah aplikasi lengkap atau kaku akan memerlukan perbandingan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara yang menjalani dekolonisasi pada saat yang sama seperti Indonesia. Survei ini mencakup periode 1945-1965 karena diyakini bahwaekonomi perkembangandi bawah pemerintahan Orde Baru (1966-1998) perlu dilihat terutama dengan latar belakang krisis yang mendalam, ekonomi dan politik, di mana Indonesia menemukan dirinya di pertengahan -1960s (Hill, 1996: 1-4). Makalah ini berlaku pengaturankronologis. Bagian berikutnya di bawah ini berkaitan dengan masa Revolusi Indonesia (1945-1949), kemudian fokus bergeser ke tahun 1950-1957, sampai dengan penyitaan aset perusahaan Belanda yang diantar dalam tindakan terakhir
dekolonisasi ekonomi.Perhatian terpisah menyoroti hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda selama tahun.2 ini Akhirnya, tulisan ini menawarkan pemeriksaan globalperkembangan ekonomi selama tahun-tahun segera setelah penyitaandan nasionalisasi berikutnya dari perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Mendukung bukti statistik disajikan dalam lampiran.
2 Revolusi
Paruh kedua tahun 1940-an menyajikan kesulitan ekstrim untuk sejarawan ekonomi. Kepulauan Indonesia adalah untuk semua maksud dan tujuan dibagi menjadi dua negara: yang baru diproklamasikan Republik mengendalikan sebagian besar Jawa dan Sumatera di satu sisi dan wilayah di mana pemerintahan kolonial Belanda telah berhasil dipulihkan pada yang lain. Wilayah terakhir ini sebagian berada di Jawa dan Sumatera juga dan juga tersebar di seluruh pulau-pulau lainnya. Perang gerilya berkobar untuk bagian yang lebih baik dari empat setengah tahun, dari Agustus 1945 sampai Desember 1949, dan dua kali melakukan resor Belanda untuk intervensi militer, pada Juli-Agustus 1947 dan Desember 1948-Januari 1949. Wilayah yang dikuasai Belanda diperbesar pada kesempatan baik namun kedua intervensi melakukan kerusakan dapat diperbaiki untuk prestise internasional Belandadan membuka jalan bagi kemenangan diplomatik bagi Republik Sukarno. Statistik ekonomi tentang periode ini tidak lengkap dan tidak dapat diandalkan, jika tersedia sama sekali, terutama untuk wilayah Republik. Prioritas kebijakan ekonomi berbeda secara fundamental antara dua bagian dari Nusantara.Republik berjuang untuk keberadaannya dan yang paling penting tugasadalah untuk mengumpulkan dana untuk membiayai perjuangan bersenjata melawan Belanda. Ini berarti keterlibatan militer yang cukup besar dalam perdagangan dan penyelundupan ekstensif untuk menghindari blokade laut yang diberlakukan oleh Belanda. Ekspor sawit dan karet, apakah klandestin atau pejabat, memicu Revolusi Indonesia dan beberapamiliter orang menjadi lebih berpengalaman dalam perdagangan dari peperangan (Zed 2003). Di wilayah yang dikuasai Belanda, prioritas tertinggi melekat pada rehabilitasi dan pemulihan kapasitas produktif. Peralatan untuk produksi ekspor dalam kondisi sangat buruk setelah pendudukan Jepang. Volume produksi ekspor pada tahun 1946 / 47corresponded untuk hanya sebagian kecil dari tingkat yang berlaku sebelum
PerangPasifik, terutama 12 persen dalam minyak, 5 persen di perkebunan karet, kurang dari satu persengula dan minyak sawit (Booth 1998: 49-51) . Perdagangan luar negeri berkembang secara dramatis selama tahun 1947-1949 tetapi dari sangat rendah titik awal (Tabel 1). Total nilai ekspor dua kali lipat pada tahun 1947, dibandingkan dengan tahun 1946, dan naik tiga kali lipat pada tahun 1948, dibandingkan dengan tahun 1947. Hal ini diikuti oleh 50 lain per kenaikan persen pada tahun 1949. Pada tahun 1948, tingkat pra-perang dari total pendapatan ekspor, sekitar satu miliar gulden, telah oleh dan besar dipulihkan. Impor meningkat cepat pada tahun 1947 tetapi kemudian ekspansi melambat relatif terhadap peningkatan antara ekspor. Statistik yang tersedia hanya mengacu pada wilayah yang dikuasai Belanda. Menurut perkiraan berdasarkan statistik perdagangan Singapura dan Malaya, 15 persen perluditambahkan pada sosok federal untuk mendapatkan total untuk seluruh nusantara.ini Koreksimuncul improbably rendah mengingat penyelundupan luas yang terjadiantara daerah Republik di Sumatra dan Kalimantan dengan Malaya dan Singapura. Pada tahun 1950, segera setelah penyerahan kedaulatan, pendapatan nasional di Indonesia jelas di bawah level 1940. Menurut perhitungan kontemporer,kemudian dikuatkan oleh statistik yang lebih, pra-perang Volume tingkatnasional outputhanya dipulihkan pada tahun 1953 (Muljatno 1960: 184; Van der Eng 1992: 369). Periodepanjang diperlukan untuk rehabilitasi tercermin baik kerusakan ekstrim menimpaperekonomian selama pendudukan Jepang dan dengan cara yang sulit dengan mana kemerdekaan Indonesia dimenangkan. Kesulitan awal ini menempatkan Indonesia padayangmenguntungkan posisi kurangterhadap pembangunan ekonomi dibandingkan dengantetangga, negara-negara khususnya Filipina dan Malaysia, di mana dekolonisasi terjadi dalam mode jauh lebih halus (Lindblad 2003b).
3 Dilanjutkan pertumbuhan
Periode 1950-1957 telah menderita dari citra suram keras kepala dari seluruh
'Orde Lama'Soekarno (1945-1966) dalam hal pembangunan ekonomi. Prestasi di 1950-1957 telah dibayangi oleh kinerja yang buruk secara keseluruhan, yang berpuncak pada krisis, selama fase terakhir pemerintahan Soekarno. Pendapatan nasional, seperti yang diungkapkan olehBruto Produk Domestik(PDB), naik secara riil sebesar 6 persen rata-rata antara tah un 1951 dan 1957, yang menghasilkan peningkatan tahunan PDB riil per kapita dari sekitar 2 persenmeskipun pertumbuhan yang sangat cepat populasi (Dick et al 2002:. 178, 192).pertumbuhan Kinerjamengesankan dibandingkan juga untuk negara-negara Dunia Ketiga lainnya.eksternal Kondisiyang menguntungkan. Perang Korea booming didukung permintaan dunia untuk minyak dan karet, tepatnya dua produk Indonesia bisa memasok dalam jumlah yang sangat besar. Kinerja perdagangan luar negeri adalah sangat baik pada tahun 1950 sangat awal namun meruncing off agak pada tahun 1952 dan setelah itu pendapatan ekspor tinggal di agak stabil (Tabel 2). Total ekspor dua kali lipat pada tahun 1950 di atas 1949 dan meningkat lebih dari 60 persenpada tahun 1951 yang menghasilkan surplus nyaman dalam neraca perdagangan. Ada penurunan tajam dalam pendapatan ekspor pada tahun 1952, dari $ 1,3 miliar pada tahun sebelumnya menjadi US $ 930 juta, atau dari Rp. 14,7 miliar menjadi Rp. 10,6 miliar sebagai dalam mata uang Indonesia setelah devaluasi pada bulan Februari 1952. Pada tahun 1952 dan 1953, neracaperdagangan menunjukkan defisit bukan surplus tradisional. Tahun-tahun 1954 dan 1955 lihat sangat berkurang pengeluaran pada impor dan surplus dalam neraca perdagangan dipulihkan. Karet dan minyak terus memainkan peran sebagai penghasil utama devisa. Share gabungan mereka secara total tidak pernah turun di bawah 57 persen selama tahun 1950 1957. Karet sendiri menyumbang sekitar 40 persen rata-rata, lebih tinggi dari1951, tahun 1952 dan 1955 tetapi lebih rendah di tahun-tahun lain (Thomas dan Panglaykim 1973: 86). Pangsa sangat tinggi dari hanya dua komoditas total pendapatan ekspor mengisyaratkan kelemahanstruktural dalam ekonomi Indonesia yang berorientasi ekspor. Kisaran ekspor dengan prospek pasar yang baik adalah banyak lebih sempit dari yang telah terjadi di masakolonial akhir (Dick et al 2002:. 123-127).
Ada benar-benar hanya tiga baris produksi ekspor (Tabel 3). Minyak, peringkat di persimpangan antara pertambangan dan manufaktur, mengklaim pangsa total ekspor meningkat dari 18 persen pada 1950 menjadi 25 persen pada tahun 1955. Dua garis paralel produksiekspor di bidang pertanian, petani dan perkebunan, bersama-sama baik untuk hampir 90 persen dari seluruh ekspor non-minyak. Pangsa petani secara tradisional jauh lebih besar dari perkebunan tetapi proporsi berubah dari waktu ke waktu, dari 65:35 ke 55:45. Struktur ekonomi tradisional juga tercermin antara impor dari luar ne geri (Tabel 4). Pangsa bahan baku sangat tinggi, tidak pernah di bawah sepertiga, pada kesempatan mendaki sampai setengah dari total impor. Kategori ini termasuk nasi yang menegaskan kembali bahwa tingkat produktivitas dalam pertanian pangan dalam negeri masih sangat rendah (Booth 1988: 1). Tekstil mungkin di sini berfungsi sebagai proxy untuk barang-barang konsumsi pada umumnya. Share yang tinggi dalam total impor menyampaikan bahwa kapasitas produktif ditekstil dalam negeri bidang manufakturmasih cukup untuk substitusi impor pada skala yang cukup. Pangsa rendah barang modal, akhirnya, bersaksi untuk permintaan terbatas untukcanggih mesin-mesindan peralatan di industri pengolahan. Sebuah langkah yang menentukan dalam arah peningkatan produktivitas dan tingkat kecanggihan teknologi akandidorong impor barang modalke atas, baik benar-benar dan relatif berbicara, sedangkan impor bahan makanan pokok dan barang-barang manufaktur sederhana akan menjadi kurang penting. Pertumbuhan ekonomi dilanjutkan, meskipun tanpa banyak dalam vena dari modernisasiekonomi, dan menggoda untuk menghubungkan hasil positif denganlanjutan operasidari sejumlah besar perusahaan swasta Belanda di Indonesia. Namun, kitaharus tidakmengabaikan bahwa beberapa pemain utama dalam perekonomian Indonesia berorientasi ekspor pada saat itu tegas tidak Belanda, termasuk sejumlah besarpribumi, produsen karet rakyat perkebunan karet Inggris atau Amerika, belum lagidua perusahaan minyak Amerika (Caltex dan Stanvac) yang, bersama dengan Royal Dutch / Shell, dikendalikan industri minyak. Pertumbuhan kembali itu belum tentu
terkait erat dengan proses dekolonisasi seperti tetapi lebih kepada ekonomi strukturmemungkinkan Indonesia untuk memanfaatkan peluang membuka selamaberlangsung booming di pasar dunia. 4 Akomodasi di bawah tekanan
pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia berada di bawahsangat kondisi yangkeras.Tidak hanya bangsa yang berdaulat muda dibebani dengan beban utangyang sangat besar yang dikeluarkan oleh Hindia Belanda ke Belanda. Perjanjiankeuangan-ekonomi, Finec, menyimpulkan pada awal November 1949, juga memeluk jaminan menjaga operasi terus di Indonesia Belanda, perusahaanswasta khususnya sejumlah besar perkebunan pertanian danTrading. perusahaan Lebih dari 1.000 orang Belanda tetap dipertahankan di posisi senior dalamnegara pelayanan sipilitu,pada setiap tingkat untuk beberapa tahun pertama (Dick et al, 2002: 170-172; Booth 1998:.62) perjanjian .Ini tetap berlaku sampai secara sepihak dibatalkan oleh Indonesia pada bulan Februari 1956. pada saat itu sebagian besar utang (80 persen) telah Lunas sedangkan sebagian besar orang Belanda di layanan sipil Indonesia telah dipulangkan.kita Diskusitentang hubungan ekonomi dengan mantan kolonial ibu-negara berfokus pada perdagangan dan investasi Belanda di Indonesia. Pangsa Belanda pada perdagangan luar negeri Indonesia adalah di hampir yang sama tingkatdi awal 1950-an seperti pada akhir 1930-an, sekitar seperlima dariIndonesia ekspordan seperdelapan impor Indonesia (Tabel 5). Di antaraTrading mitraEropa,Belanda tradisional peringkat pertama. Jumlah besar tembakau, timah dan teh dari Indonesia dikirim ke Amsterdam dan dari sana didistribusikan di seluruh Eropa. Belanda menyumbang lebih dari setengah dari ekspor ditakdirkan untuk konsumen Eropa dan sekitar sepertiga dari barang impor dengan asal Eropa. Hubungan perdagangan timbal balik mulai berubah pada pertengahan 1950-an. Pada tahun 1954, proporsibesar barang impor dari Belanda digantikan oleh produk dari pemasok Eropa lainnya dan pada tahun 1955 ekspor juga sama-sama diarahkan ke tujuan Eropa selain Belanda. Dalam kedua kasus, pangsa Belanda dalam perdagangan luar negeri Indonesia jatuh untuk saat ini. Tapi itu segera pulih, pada tahun 1955 antara
impor ke Indonesia dan pada tahun 1956 untuk ekspor dari Indonesia. Tren penurunan muncul kembali pada tahun 1957 sebagai perdagangan Belanda-Indonesia tertinggal dalam umum perkembangan perdagangan luar negeri Indonesia. Pada akhir 1930-an, akumulasi investasi swasta Belanda di Indonesia sebesar 2,2 miliar gulden ($ 900 juta) sesuai dengan 70 persen dari seluruhasing langsung investasidi Nusantara (Lindblad 1998: 14). Pengeluaran rehabilitasi asetperusahaan milik Belanda selama tahun 1947-1952 diperkirakan sebesar 450 juta gulden ($ 200 juta) atau 75 juta gulden ($ 30 juta) per tahun (Creutzberg 1977: 21). Statistik akumulasi saham swasta langsung Belanda investasidi Indonesia selama tahun 1950 langka dan cenderung menawarkan sedikit lebih dari ekstrapolasi dari data pra-perang lebih kuat. Total nilaiperusahaan Belanda asetpada tahun 1950 diperkirakan berkisar antara 3150000000 dan 3500000000 gulden (Meijer 1994: 648). Kedua perdagangan dan komitmen investasi jangka panjang yang dihasilkan pendapatan tampan untuk kolonial ibu-negara. Kemudian Hadiah Nobel Laureate Jan Tinbergen dan asosiasimemperkirakan bahwa kolonial Indonesia menyumbang 8 persen dari PDB Belanda di akhir 1930-an, atau bahkan 14 persen ketika termasuk efek multiplier sekunder karena pengeluaran pendapatan utama, yang merupakan angka yang tinggi oleh internasional perbandingan (Derksen dan Tinbergen 1945; Maddison 1989: 24). Itu digunakan baik untuk memobilisasi dukungan publik di Belanda untuk intervensi militer terhadap rezim Soekarno dan oleh perwakilan resmi dari Republik untuk mendiskreditkan Belanda di mata internasional opini publik (Van den Doel 2000: 271; Sumitro 1946). Rehabilitasi pasca-perang diperlukan jauh lebih banyak waktu dan energi di Indonesia daripada di Belanda. Akibatnya, pangsa relatif keuntungan dari Indonesia terhadapBelanda pendapatan nasionalturun tajam. Kontribusi terhadap pendapatan nasional Belanda rata-rata 4,4 persen selama tahun 1950-1952 (7,7 persen termasuk efek sekunder). Ini kemudian menurun lagi, menjadi 2,8 persen (4,8 persen) di 1953-1955 dan merayap di bawah 2 per tingkat persen pada tahun 1956 dan 1957. Setidaknya dua-perlima dari aliran ini pendapatan berasal dari
aktivitas perdagangan sedangkan transfer langsung dari keuntungan menyumbang sekitar seperdelapan (Meijer 1994: 649). Beberapa di perusahaan Belanda di awal 1950-an membantah bahwa ada kebutuhan mendesak untuk mendefinisikan kembali strategi bisnis dalam situasi baru di Indonesia. Dua jenis pilihan harus dibuat. Salah satunya antara pendek dan perspektif jangka panjang, yan g lain antara akomodasi dengan keadaan yang berubah dan reorientasi dengan mencari peluang baru di luar Indonesia. Horizon waktu dalam strategi bisnis yang paling jelas diungkapkan oleh kebijakan dividen dan komitmen investasi segar. Transfer keuntungan ke Belanda (termasuk minyak) sebesar sekitar 320 juta gulden (Rp. 960 juta) selama bertahun-tahun 1950 1952. 3
Langsung transfer oleh perusahaan swasta Belanda ke Belanda termasuk keuntungan, dividen dan pembayaran bunga serta kontribusi untuk dana pensiun dan tabungan dana karyawan. Agregat ini mendekati Rp. 1,1 miliar pada tahun 1953, turun menjadi Rp. 840 juta pada tahun 1954 dan Rp. 810 juta (270 juta gulden) pada tahun 1955. Untuk tahun 1956 dan 1957, sumber Belanda memberikan total sekitar Rp. 500 juta sementaralebih tinggi perkiraan Indonesiaterus bermunculan dalam pers yang semakin kritis terhadap perilaku perusahaan Belanda (Meijer 1994: 649; Antara 4 Mei 1956, 9 Desember 1957). Transfer ini keuntungan dan kontribusi terkait yang mengesankan denganapapun, tolok ukur mengingat tidak sedikit yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia pada pengiriman uang ke luar negeri. Keuntungan dari perusahaan asing yang berat dikenakan pajak dan otorisasi untuk transfer ke luar negeri adalah peribahasa lambat dalam yang akan datang. Belanda perdagangan-perusahaan memperkirakan bahwa satu-setengah dari keuntungan yang dihasilkan di Indonesia benar-benar berakhir di Belanda dan hanya setelah penundaan yang lama (Jonker dan Slu yterman 2000: 267). langsung Transfer ke Belanda oleh perusahaan swasta Belanda selama periode 1950-1957
ditambah hingga hampir 2,4 miliar gulden. Jumlah ini disesuaikan oleh arus masuk investasisegar. Perkiraan arus tersebut dalam literatur untuk tahun 1950-1957 berkisar dari 710 juta gulden untuk 1,5 miliar gulden. Mantan Angka mengandung proporsi yang cukup besar dari pengeluaran yang diperlukan untuk rehabilitasi sekitar tahun 1950 sedangkan yang terakhir satu cenderung terlalu tinggi (Creutzberg 1977: 21; Van der Zwaag 1991: 288; Meijer 1994: 497). Pada keseimbangan, prioritas yang lebih tinggi diberikan kepada keuntungan langsung dari boom dalam ekonomi ekspor Indonesia pada saat itu dibandingkan dengan investasi dalam kapasitas menghasilkan keuntungan di masa depan. Pada bulan Oktober 1956, kurang dari lima belas bulan sebelum pengambilalihan perusahaan perusahaan Belanda, para direktur perdagangan concern Internatio mengakui bahwa situasi di Indonesia itu menjadi hampir tidak bisa dipertahankan dan bahwa itu adalah 'semakin sulit bagi perusahaan-perusahaan Belanda untuk tetap bertahan' (het wordt voor de Nederlandse ondernemer tunggangan moeilijker zich te
handhaven). Namun demikian, direksi meyakinkan wali, 'kita pasti memenuhi fungsi di sini yang masih berguna, penting dan mudah-mudahan juga menguntungkan' (wij vervullen er bepaaldelijk nog nuttige, belangrijke, en naar wij Hopen ook lucratieve functies)
(Jonker dan Sluyterman 2000: 269) . Tiga alasan telah dikemukakan untuk menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan Belanda menunjukkan seperti desakan keras kepala pada akomodasi, hampir di biaya apapun. Salah satunya adalah kurangnya alternatif yang layak, lain tak terbantahkan potensi dari perekonomian Indonesia, yang sepertiga perusahaan keyakinan bahwaBelanda manajemen sangat diperlukan di Indonesia dan akan tetap begitu untuk waktu yang lama (Sluyterman 2003: 218). Tetapi beberapa tidak mencoba untuk menemukan takdir baru di luar Indonesia, termasuk beberapa anggota yang terkenal 'Big Five', Belanda perdagangan-rumah terkemuka mengendalikan yang sangat proporsibesar dari perdagangan impor. Borsumij dan Hagemeijer yang mendirikan cabang di Singapura dan New Guinea sudah di akhir 1940-an dan Internatio
menjelajahi pasar Cina. Lindeteves mendirikan anak perusahaan di Afrika sedangkan Internatio, Borsumij dan Hagemeijer semua mencoba usaha di Afrika Timur atauBelgia. Kongo Jacobson van den Berg pergi ke Mozambik, Geo. Wehry ke Ghana. HVA mencoba sia-sia untuk menyalin keberhasilan industri gula Jawa pada tanah kering Ethiopia. Lainnya bereksperimen dengan operasi di Amerika Latin. Mereka semua mengalami kerugian. Pengalaman akumulasi dari ekonomi tropis seperti Indonesia tidak mudah meminjamkan dirinya untuk emulasi tempat lain Sebuah isu yang terpisah menyangkut pencarian disebut Indonesianisasi atau elevasi Karyawan Indonesia yang berkualitas ke manajemen yang lebih tinggi dan fungsi pengawasan di firms.4 Belanda Komitmen untuk mempromosikan Indonesianisasi ditulis ke dalamFinec perjanjian1949, meskipun tanpa spesifikasi target atau jadwal. Selainitu, perjanjian tuan-tuan disimpulkan dengan bisnis Belanda yang karyawan asli Indonesia membuat 70 persen dari total angkatan kerja tapi tak jelas dinyatakan ketika target ini harus dipenuhi atau apakah itu diterapkan juga untuk fungsi staf yang lebih tinggi (Meijer 1994: 352 ). Implementasi adalah atas dasar sukarela dan pemerintah Indonesia dibuang selama beberapa perangkat untuk menegakkan pelaksanaan. Salah satu alat yang efektif, bagaimanapun, adalah melalui membatasi masuknya dan izin kerja untukBelanda. ekspatriat Pada pertengahan tahun 1952, pemerintah Indonesia memperkenalkanimigrasi yang kontrolketat.Pengusaha harus menunjukkan bahwa kekosongan tidak bisa diisi secara lokal sebelum mendapatkan izin untuk merekrut dari luar negeri. Jumlah izin kerja yang diberikan kepada orang Belanda yang berkurang drastis. Pada tahun 1953, pemerintah hanya mengeluarkan 1.000 izin yang jelas tidak cukup untuk menggantikan berangkat karyawan Belanda dan menemukan kandidat untuk lowongan baru (Meijer 1994: 353). Proses Indonesianisasi dalam perusahaan Belanda dipercepat selama tahun 1953-1957. Bukti dari perusahaan-perusahaan terkemuka seperti Internatio dan tambang timah Billiton menunjukkan bahwa partisipasi yang lebih besar oleh karyawan Indonesia memang dicapai tetapi dalam mode agak selektif di mana majikan Belanda, berbeda dari pemerintahIndonesia, tidak membedakan dengan hati-hati antara orang Indonesia asli
dan orang Indonesia keturunan Cina. Kebanyakan, jika tidak semua posisi tinggi dalam hierarki perusahaan tetap tegas di tangan Belanda (Van de Kerkhof 2005a, 2005b). Proses ini pergi terlalu lambat untuk rasa nasionalis ekonomi di Indonesia tapi terlalu cepat di mata manajer Belanda. Tidak ada yang puas dengan hasilnya. Hubungan antara Indonesia dan Belanda pergi dari buruk menjadi lebih buruk sebagaikonflik tentang kepemilikan barat New Guinea meningkat pada tahun 1956 dan 1957. Pada bulan Desember tahun 1957, dimulai dengan kantor Jakarta dari keprihatinan pengiriman KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), hampir semua sisanya perusahaan Belandadisita oleh perdagangan lokal unions.5 Pemerintah cepat untuk masuk dan untuk melegalkan tindakandalam retrospeksi dan ketertiban milik Belanda aset perusahaan untuk ditempatkan di bawahlangsung pengawasandari militer. karyawan Belanda meninggalkan negara itu sepanjang semester pertama1958. Manajemen diambil alih oleh orang Indonesia, sering dengan karyawan senior dengan catatan panjang layanan di perusahaan yang bersangkutan. Nasionalisasi formal effectuated terutama pada paruh pertama tahun 1959 berikut otorisasi hukum oleh parlemenIndonesia pada bulan Desember 1958. Sesuai dengan undang-undang ini, pengaturankompensasi ke Belanda lama setelah itu dibuat, meskipun jumlah akhir yang jauh dari klaim disampaikan oleh perusahaan-perusahaan Belanda yang terkena dampak (De Jong dan Lessing-Sutherland 2004). Semua mantan perusahaan milik Belanda menjadinegara. milik Dekolonisasi ekonomi telah mencapai selesai. 5 Stagnasi again
Pada Hari Kemerdekaan 1959, Presiden Sukarno mempresentasikan 'Politik Manifest', berlabel Manipol, yang meletakkan dasar untuk 'Ekonomi Terpimpin', Ekonomi Terpimpin, sistem ekonomi baru menekankan cita-cita sosialis dan koperasi dengan prioritas diberikan kepada negara operasi-menjalankan atas kewirausahaan swasta. Ini dilengkapi dengan sistempolitik baru bernama 'Demokrasi Terpimpin', diperkenalkan oleh Soekarno pada Juli 1959, dan sama-sama baik dengan kenyataan dalam kehidupan ekonomi dimana partisipasi oleh negara telah secara signifikan ditingkatkan melalui nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.
Dalam waktu setengah dekade, itu untuk mengubah perekonomian Indonesia hampir tidak bisa dikenali (Mackie 1959; Tan 1967: 29). Perkembangan makroekonomi selama setelah dekolonisasi ekonomi lagi terbaik digambarkan oleh tokoh-tokoh padaluar negeri perdagangandan pendapatan nasional. Kinerja ekspor asing mengecewakan di akhir 1950-an dan paruh pertamatahun 1960 (Tabel 6). Total ekspor menurun tajam pada tahun 1958, pulih pada tahun 1959 namun menolak lagi pada tahun 1960. Pemulihan pada tahun 1959 dipentaskan oleh, antara lain, 60 per peningkatan persen pendapatan dari ekspor karet. Impor pada awalnya diikuti di bangun dari ekspor, menurun pada tahun 1958. Ekspansi dilanjutkan pada tahun 1960, dengan satu tahun jeda waktu dibandingkan dengan ekspor. Akibatnya, surplus pada neraca perdagangan itu sangat besar pada tahun 1959. Penurunan tajam dalam pendapatan dari ekspor karet pada tahun 1958 itu tidak hanya disebabkan oleh menyusut produksi di perkebunan, banyak dari mereka hanya mengambil alih, tetapi di atas semua oleh menurunnya tingkat output antara petani Indonesia yang tentusaja sama sekali tidak terpengaruh oleh pengambilalihan. Petani bertanggung jawab untuk pemulihanpada tahun 1959 namun mengalami kemunduran lagi di produksi pada tahun 1 960. Penurunanpasar hargaluar negeri untuk produk-produk Indonesia menawarkan penjelasan tambahan dari penurunanpada tahun 1958, baik secara langsung sebagai produsen mendapat kurang per unit dijual, atau tidak langsung sebagai produsen melambat produksi turun mengharapkan harga naik. Indonesia memilikiburuk nasibperubahan kepemilikan dan manajemen pola drastis dalamekspor ekonomi berorientasitepatnya pada saat prospek di pasar dunia untukIndonesia eksporyang memburuk pula. Rupiah Indonesia mengalami depresiasi tajam pada bulan Agustus 1959 ketika matauang pada tingkat resmi pertukaran jatuh ke seperempat dari nilai sebelumnya.ini Ukuran drakonikdiwakili penyesuaian terlambat dari nilai rupiah tapi gagal untuk memfasilitasi pemulihan ekspor asing. Nilai ekspor jatuh pada tahun 1960 dan sekali lagi pada tahun 1962, sebagian disebabkan oleh pendapatan kurang dari minyak ekspor. Volume ekspor
memang meningkat untuk minyak, khususnya pada tahun 1964, tetapi tidak untuk karet. Permintaan melemah untukasing barang-barang konsumenmencerminkan hilangnya daya-beli sebagai predicaments ekonomiIndonesia memburuk. Transaksi berjalan secara keseluruhan ditampilkan defisit yang harus dibiayai oleh skala besar pinjaman luar negeri. Kinerja luar negeri perdagangantanpa diragukan lagi merugikan dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi yang tidak bijaksana danyang buruk. manajemen Lebih penting lagi, bagaimanapun, ketergantungan yang berlebihan pada sempit kisaranekspor menjadi fatal seperti prospek untuk dua komoditas utama Indonesia memburuk. Indonesia sedang menuju krisis seperti terlihat dari stagnasi dinasional tingkat pendapatandari akhir 1950-an dan seterusnya (Tabel 7). Gejolak dan tiba-tiba perubahankondisi produksi di tahun 1950 sangat terlambat menyebabkan mendekati nol pertumbuhan di tahun 1958-1960 namun perbaikan tidak mengikuti 1961. Peningkatan persen 4 per tahun itu memberitahu kita bahwa efek langsung dari nasionalisasi Pengelola Dutch kurang bencana dari apa yang sering diam-diam diasumsikan. Kemudian datang giliran ke bawah lain yang disertai kinerja memburuk di ekspor asing. Peningkatan 1965 adalah
mencolok besar mengingat berderap inflasi dan mendekati dekat-runtuhnya perekonomian. Penduduk Indonesia tumbuh sangat pesat saat ini pada tingkat sekitar 2,3 persen per tahun. Sebuah kinerja pertumbuhan biasa-biasa saja seperti selama periode 19581965 tidak cukup untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk, apalagi meletakkan dasar untuk peningkatan berkelanjutan dalam pendapatan per kapita. Hanya pada akhir dek ade, pada tahun 1969, adalah tingkat pendapatan per kapita tahun 1960 melampaui (Thomas dan Panglaykim 1973: 8; Van der Eng 2002: 172; Dick et al 2002:. 192). Sepanjang tahun ini, ekonomi strukturtetap tradisional dengan konstan, pangsa tinggi pertanian dinasional. output Ulasan dalam perspektif waktu yang lebih lama, perekonomian Indonesia sebenarnya mengalami kemunduran struktural antara akhir 1930-an dan pertengahan 1960-an dalam arti bahwa pangsa garis tradisional atau padat karya produksi di total output meningkat daripada menurun sebagai salah satu harapkan dengan modernisasi terus menerus struktur ekonomi (Booth 1998; 70-72). Krisis pertengahan 1960-an terjadi pada saat ekonomi lain dalam situasiyang sebanding yang tidak terkena krisis, tetapi, sebaliknya, menikmatiyang cepat. pertumbuhan ekonomi Krisis ekonomi Indonesia di tahun 1960an harus demikian dianggap berasal dari faktor-faktor internal (And 2003: 194). Namun, ini memang tidak menghalangi bahwa faktor eksternal mungkin memiliki dampak buruk juga, terutama mengingat kerentanan ekstrim dari jenis ekonomi berorientasi ekspor itu Indonesia saat ini memiliki. Selain itu, penekanan pada faktor internal tidak secara otomatis menyiratkan kausalitas langsung dengan dekolonisasi. Menurut seorang bandel Kepercayaan di antara banyak orang Belanda, ekonomi Indonesia segera turun seperti yang ditinggalkan orang Belanda. Bukti tidak mendukung hubungan langsung semacam itu,
6. Kesimpulan
Makalah ini mengidentifikasi konsekuensi makroekonomi dekolonisasi di Indonesia selama dua dekade pertama kemerdekaan. Ini menunjukkan bahwa konsekuensinya kurang hubungan yang jelas dan kausal kurang jelas daripada apa yang mungkin mereka lihat pada pandangan pertama. Sedikit contoh mungkin cukup untuk mendukung argumen tersebut. Indonesia harus berjuang untuk kemerdekaannya. Oleh karena itu dekolonisasi politik Konsekuensi makroekonomi yang memprihatinkan pada saat itu tapi hal-hal tidak menjadi bencana. Sebuah rehabilitasi penuh berlangsung dan kinerja makroekonomi relatif baik selama tahun 1950-1957. Indonesia dibantu oleh booming di pasar dunia dan akses ke modal asing dan teknologi dan pertumbuhan ternyata tidak serius terganggu oleh kondisi di bawah pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia untuk mendapatkan. Hubungan perdagangan dan investasi dengan Belanda sebagian besar tetap ada utuh sampai dekolonisasi ekonomi secara kuat dipercepat pada paruh kedua tahun Tahun 1950an dengan investor Belanda siap mengakomodasi tapi juga cenderung memilih a Perspektif jangka pendek di atas komitmen jangka panjang. Kemerosotan di Kinerja makroekonomi selama tahun 1960 menjadi serius hanya setelah tertentu jeda waktu sejak pengambilalihan dan nasionalisasi perusahaan Belanda. Tautan kausal cenderung lebih kuat dengan warisan kolonial yang diwariskan kepada Indonesia oleh Belanda dibanding dengan proses dekolonisasi itu sendiri. Indonesia mewarisi struktur ekonomi yang sangat sesuai untuk keuntungan jangka pendek selama keseluruhan boom di pasar dunia namun sedikit kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam waktu lama menjalankan.
Lampiran
Tabel 1. Perdagangan luar negeri yang dikuasai Belanda, 1946-1949. (jutaan)
Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta: Koleksi NEFIS, vol. 2 9, 18 Mei 1949; DJB 1951: 63; 1953: 123.
Tabel 2. Perdagangan luar negeri Indonesia, 1950-1957. (Rp juta)
Sumber: Bank Indonesia 1955: 93, 96; 1958: 128-129. Kurs: 1Rp. 3,80 / $, 2Rp. 11.40 / $
Tabel 3. Ekspor luar negeri Indonesia menurut jalur produksi, 1950-1955. (Rp juta)
Sumber: Bank Indonesia 1955: 93; 1957: 127. Nilai tukar: 1950-1951: Rp. 3.80 / $, 1952-1955: Rp. 11.40 / $
Tabel 4. Impor luar negeri Indonesia menurut jenis komoditi, 1951-1956. (Rp. Juta)
Sumber: Bank Indonesia 1955: 93; 1957: 33. Nilai tukar: 1951: Rp. 3.80 / $, 1952-1956: Rp. 11.40 / $
Tabel 5. Perdagangan antara Indonesia dan Belanda, 1951-1957.
Sumber: Bank Indonesia 1955: 98-99, 1958: 133-134.
Tabel 6. Perdagangan luar negeri Indonesia, 1957-1964. (Rp juta)
Sumber: Bank Indonesia 1958: 128-129; 1960: 132; 1966: 109. Nilai tukar: 1957-1960: Rp. 11.40 / $, 1961-1964: Rp. 45 / $.
Tabel 7. Perkembangan pendapatan nasional di Indonesia, 1958-1965.
Sumber: Bank Indonesia 1966: 3. Catatan: Semua nilai uang dengan harga konstan tahun 1960
References
Bank Indonesia 1955-1966 Report for the year 1954/55, 1956/57, 1957/58, 1959/60 1961/65.
Jakarta: Kolff. Baudet, H. and M. Fennema et al. 1983 Het Nederlands belang bij Indië. Utrecht: Aula.
Bertocchi, G. and F. Canova 2002 'Did colonization matter for growth? An empirical exploration into the historical causes of Africa's underdevelopment', European Economic Review 46:1815-71. Booth, Anne 1988 Agricultural development in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin. 1998 The Indonesian economy in the nineteenth and twentieth centuries; A history of missed opportunities. London: Macmillan.
Creutzberg, P. 1977 Changing Economy in Indonesia; AKU AKU AKU. Expenditure on fixed assets. The Hague:
Nijhoff. Derksen, JBD and J. Tinbergen 1945 'Berekeningen over de economische betekenis van Nederlandsch-Indië voor Nederland', Maandschrift van het Centraal Bureau voor de Statistiek 40:210-
16. Dick, Howard, Vincent Houben, J. Thomas Lindblad and Thee Kian Wie 2002 The emergence of a national economy; An economic history of Indonesia,
1800-2000. Crows Nest, NSW: Allen & Unwin. DJB 1951 Verslag van de President van De Javasche Bank en van de Raad van Commissarissen over het boekjaar 1950/51, 1952/53. Batavia: Kolff.
Doel, Wim van den 2000 Afscheid van Indië; De val van het Nederlandse imperium in Azië.
Amsterdam: Prometheus.
Eng, Pierre van der 1992 'The real domestic product of Indonesia, 1880-1989', Explorations in Economic History 29: 343-373.
2002 `Indonesia's growth performance in the twentieth century', in: Angus Maddison, DS Prasada Rao and William F. Shepherd (eds), The Asian economies in the twentieth century, pp. 143-179. Cheltenham: Elgar.
Gardner, Paul F. 1997 Shared hopes, separate fears; Fifty years of US-Indonesian relations.
Boulder, CO: Westview. Glassburner, Bruce 1971 'Economic policy-making in Indonesia, 1950-1957', in: Bruce Glassburner (ed.), The economy of Indonesia, pp. 70-98. Ithaca, NY: Cornell University Press. Goedkoop, JAM 1990 'Handelsvereeniging “Amsterdam” 1945-1958; Herstel en heroriëntatie', Jaarboek voor de Geschiedenis van Bedrijf en Techniek 7: 219-240.
Hill, Hal 1996 The Indonesian economy since 1966; Southeast Asia's emerging giant.
Cambridge: Cambridge University Press. Jong, JJP and DME Lessing Sutherland 2004 To forget the past in favour of a promise for the future; Nederland, Indonesië en de financiële overeenkomst van 1966. Onderhandeling, regeling,
uitvoering. The Hague: Buitenlandse Zaken. Jonker, Joost and Keetie Sluyterman 2000 Thuis op de wereldmarkt; Nederlandse handelshuizen door de eeuwen heen.
The Hague: SDU. Kahin, Audrey R. and George McT. Kahin 1995 Subversion as foreign policy; The secret Eisenhower and Dulles debacle in
Indonesia. New York: Norton. Kanumoyoso, Bondan 2001 Nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Kerkhof, Jasper van de 2005a 'Indonesianisasi of Dutch economic interests, 1930-1960; The case of Internatio', Bijdragen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde 161: 181-209.
2005b 'Onmisbaar maar onbemind. De Koninklijke Paketvaart Maatschappij en de Billiton Maatschappij in het onafhankelijke Indonesië (1945-1958)', Tijdschrift voor Sociale en Economische Geschiedenis 2-4: 122-146.
Lindblad, J. Thomas 1998 Foreign investment in Southeast Asia in the twentieth century. London:
Macmillan. 2002 2002 'The importance of indonesianisasi during the transition from the 1930s to the 1960s', Itinerario. European Journal of Overseas History 26-
3/4: 51-72. 2003a 'Economic crises in Indonesian history during the twentieth century; A macroeconomic view', paper presented at a workshop on 'Crises in Indonesia' organized by the KITLV in Leiden, 17-18 December. [A volume of proceedings, edited by Peter Boomgaard and Benjamin White is forthcoming]. 2003b 'The economic impact of decolonization in Southeast Asia; Economic nationalism and foreign direct investment', in: Marc Frey, Ronald W. Pruessen and Tan Tai Yong (eds), The transformation of Southeast Asia; International
perspective on decolonization, pp. 35-51. Armonk, NY/London: Sharpe. Mackie, JAC 1959 'The political economy of Guided Democracy', Australian Outlook 13: 285292. Maddison, Angus 1989 'Dutch income in and from Indonesia, 1700-1938', in: Angus Maddison and Gé Prince (eds), Economic growth in Indonesia, 1820-1940, pp. 15-42.
Dordrecht/Providence, RI: Foris. Meijer, Hans 1994 Den Haag – Jakarta; De Nederlands – Indonesische betrekkingen 1950-1962.
Utrecht: Aula. Muljatno 1960 'Perhitungan pendapatan nasional Indonesia untuk tahun 1953 and 1954', Ekonomi dan Keuangan Indonesia 13: 152-211.
Sluyterman, Keetie
2003 Kerende kansen; Het Nederlandse bedrijfsleven in de twintigste eeuw.
Amsterdam: Boom. Sutter, John O.
1959 Indonesianisasi; A historical survey of the role of politics in the institutions of a changing economy from the Second World War to the eve of the general
election, 1940-1955. PhD thesis, Cornell University, Ithaca, NY. Sumitro Djojohadikusumo 1946 'Apa arti Indonesia bagi Nederland, diukur dengan uang?', Patriot 28 September. Tan Tjin Kie 1967 'Sukarnian economics', in: Tan Tjin Kie (ed.), Sukarno's guided Indonesia, pp. 29-45. Brisbane: Jacaranda. Thee Kian Wie, 2003 `The Indonesian economic crisis and the long road to recovery', Australian Economic History Review 43: 183-196.
Thomas, Kenneth D. and J. Panglaykim 1973 Indonesia; The effects of past policies and President Suharto's plans for the
future. Melbourne: CEDA. Zed, Mestika 2003 Kepialangan politik dan revolusi. Palembang 1900-1950. Jakarta: LP3ES.
Zwaag, J. van der 1991 Verloren tropische zaken; De opkomst en ondergang van de Nederlandse handel- en cultuurmaatschappijen in het voormalige Nederlands-Indië.
Meppel: De Feniks Pers.