5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI FARMASI CARA PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN ,RUTE PEMBERIAN OBAT,PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT, DAN DOSIS OBAT, RESPON DAN INDEKS TERAPI
Nama
: SHINTA SARI DEWI
NIM
: 091501110
Program
: S-1 FARMASI
Kelompok / Hari
: IV (Empat) / Selasa
Asisten
: Fanny Alvianti
Tanggal Percobaan
: 08 Febuari 2011
LABORATORIUM FARMAKOLOGI FARMASI DEPARTEMEN FARMAKOLOGI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011
1 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
1/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Lembar Persetujuan dan Nilai Laporan Praktikum
Judul Percobaan : Cara Penanganan Hewan Percobaan , Rute Pemberian Obat,Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat, dan Dosis Obat,Respon,dan Indeks Terapi
Medan ,08 Februari 2011 Tanggal ACC : __________________ Asisten ,
( Fanny Alvianti )
Praktikan ,
( Shinta Sari Dewi )
Perbaikan : 1. Perbaikan I , Tanggal Telah diperbaiki 2. Perbaikan II , Tanggal Telah diperbaiki 3. Perbaikan III, Tanggal Telah diperbaiki 4. Perbaikan IV , Tanggal Telah diperbaiki 5. Pergantian Jurnal
: : : : : : : : :
Nilai
:
2 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
2/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
CARA PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN ,RUTE PEMBERIAN OBAT,PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT, DAN DOSIS OBAT, RESPON DAN INDEKS TERAPI
I.
PENDAHULUAN
Kebanyakan obat diberikan lewat mulut ( peroral ) sehingga obat harus melalui dinding usus sebelum mencapai aliran darah. Proses penyerapan absorbsi ini disebabkan oleh berbagai hal, tapi biasanya sesuai dengan kelarutan obat terhadap lemak ( lipid solubility ). Dengan demikian molekul – molekul tak terionisasi lebih gampang larut dibandingkan molekul yang terionisasi, karena ia lebih larut terhadap lemak serta molekulnya dikelilingi oleh ‘mantel’ yang terdiri dari molekul – molekul air. Obat – obat yang diserap dari saluran pencernaan akan mencapai sirkulasi portal dan beberapa dia antaranya akan mengalami metabolisme begitu memasuki hati ( metabolisme lintas pertama, first pass metabolism ). Obat – obat yang cukup kelarutannya dalam lemak akan mudah diserap pada pemberian oral dan cepat didistribusikan melalui cairan tubuh ( sirkulasi ). Beberapa obat akan berikatan dengan albumin plasma, lalu di dalam plasma akan terbentuk keseimbangan anatar obat yang berikatan dengan albumin dan obat bebas. Obat yang berikatan dengan protein plasma akan tertahan di dalam sistemik vaskuler sehingga tak mampu melakukan aksi farmakologik. Bila obat diberikan dengan jalan injeksi intravena, obat akan langsung mencapai aliran darah dan dengan cepat pula disebarkan mencapai jaringan – jaringan dalam tubuh. Dengan melakukan pengambilan contoh darah ulang, penurunan konsentrasi obat dalam plasma dari waktu ke waktu dapat diukur (misalnya pengukuran kecepatan eliminasi ). Sering konsentrasi akan menurun secara permulaan. Pada keadaan ini akan didapatkan kurva yang dikenal dengan eksponensial yang bermakna pada saat pemberian obat, fraksi konstan dari obat yang beredar segera mengalami eliminasi.Banyak obat menunjukkan penurunan konsentrasi plasma secara eksponensial, karena kecepatan ( laju ) dimana obat menjalani proses eliminasi biasanya sebanding dengan konsentrasi obat dalam plasma. ( Yahya dan Rizali, 1994 )
3 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
3/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Hubungan dan intensitas efek dalam keadaan sesungguhnya tidaklah sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam menghasilkan efek . Efek antihiperensi misalnya;
merupakan suatu kombinasi efek terhadap jantung ,
vaskuler dan sistem saraf. Walaupun demikian, suatu kurva efek kompleks dapat diuraikan kedalam kurva kurva sederhana untuk masing-masing komonennya . Kurva sederhana ini, bagaimanapun bentuknya, selalu mempunyai empat variabel yaitu potensi, kecuraman (slope), efek maksimal, dan variasi biologik. (Ganiswara,1995) Variabel ini relatif tidak penting karena dalam kinil digunakan dosis yang sesuai dengan potensinya. Hanya, potensi yang terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau membahayakan bila obatnya mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit. (Ganiswara,1995) Efek maksimal adalah respon maksimal yang ditimbulkan oleh obat bila diberikan pada dosis yang tinggi. Ini ditentukan oleh aktivitas intrinsik obat dan ditunjukkan dataran( plateu) pada DEC. Tetapi dalam klinik dosis obat dibatasi oleh timbulnya efek samping, dalam hal ini efek maksimal yang dacapai dalam klinik mungkin kurang dari efek maksimal yang sesungguhnya . Ini merupaka variabel yang penting.Misalnya morfin dan aspirin. Berbeda dalam efektifitasnya sebagai analgetik ; morfin dapat menghilangkan rasa nyeri yang hebat , sedangkan aspirin tidak Efek maksimal obat tidak selalu berhubungan dengan potensinya .(Ganiswara,1995) Efek umunya timbul karena interkasi obat dengan reseptor pada sel sutau organisme. Interaksi obat dengan resepornya ini mencetuskan perubahan boikomia dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut . Reseptor merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh .Kedua bahwa obat tidak menimbulkan suatu efek baru , tetapi hanya memodulasi efek yang ada.Walau tidak berarti bagi terapi gen secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang . (Ganiswara,1995)
II.
TUJUAN PERCOBAAN
4 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
4/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
•
Untuk mengetahui teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat
•
Untuk melihat berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan
•
Untuk menyatakan akibat-akibat praktis pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan
•
Untuk mengenal berbagai efek obat yang diberikan
•
Untuk menyatakan onset of action berdasarkan rute pemberian obat
•
Untuk mengetahui pengaruh berat badan terhadap dosis obat yang diberikan kepada hewan percobaan
•
Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang diberikan kepada hewan percobaan
•
Untuk mengetahui pengaruh puasa dan tanpa puasa terhadap respon obat dengan dosis yang sama
Untuk mengetahui pengaruh dosis obat terhadap respon yang dihasilkan pada
•
hewan percobaan Untuk mengetahui nilai LD50 yang diperoleh dari percobaan
•
Untuk mengetahui nilai ED50 yang diperoleh dari percobaan
•
•
III.
Untuk mengetahui nilai indeks terapi yang diperoleh dari percobaan
PRINSIP PERCOBAAN
5 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
5/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Penandaan hewan percobaan dengan memberi tanda berupa garis pada bagian ekor. Penentuan berbagai rute pemberian obat kepada pasien dilakukan berdasarkan kondisi dan kemampuan pasien untuk menerima suatu cara pemberian obat serta bagaimana sifat suatu bahan obat apabila telah masuk ke dalam tubuh. Pemberian obat melalui intraperitoneal dan per oral dengan dosis yang berbeda untuk melihat onset of action serta duration of action dari luminal natrium 0,7 %. Pemberian Luminal Na 0,7 % terhadap mencit dengan memperhatikan kondisi / variasi biologis seperti jenis kelamin jantan dan betina, puasa dan tidak puasa, dan berat badan. Pemberian Luminal Natrium 3% dengan variasi dosis(100,200,400,dan 800 mg/kg BB) secara intraperitonial berdasarkan berat badan hewan percobaan untuk mengetahui respon obat dan menentukan indeks terapi dengan selang waktu ± 90 menit.
IV.
TINJAUAN PUSTAKA
6 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
6/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang dimiliki ataupun yang dipakai sebagai Animal model oleh suatu laboratorium medis baik itu dibidang farmasi, phisiologi, ekologi, mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi dan sebagainya di negara manapun merupakan suatu "modal dasar" dan "model hidup" yang mutlak dalam berbagai kegiatan penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah yang digunakan sebagai alat penilai atau merupakan "model hidup"dalam suatu kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium baik medis maupun non medis secara in vivo.
1. Setiap praktikan maupun peneliti yang bekerja dilaboratorium yang menggunakan hewan percobaan hendaknya (a) mengetahui petunjuk memelihara dan menggunakan hewan percobaan (b) memahami dasar-dasar pemeliharaan hewan percobaan. 2. Cara memperlakukan hewan percobaan.Untuk kelinci dan marmut , jangan sekali kali memegang telinga karena saraf dan pembuluh darah dapat terganggu. Untuk tikus dan mencit, peganglah pada ekornya tetapi hati-hati jangan sampai hewan tersebut membalikkan tubuhnya dan mengigit Anda. Karena itu selain ekornya, pegang juga bagian leher belakang (tengkuk) dengan ibu jari dan jari telunjuk. 3. Menggunakan kembali hewan yang telah digunakan Untuk menghemat biaya, bila mungkin diperbolehkan menggunakan hewan percobaan lebih dari sekali. Walaupun demikian, jika hewan tersebut telah digunakan dalam satu periode dan obat yang digunakan pada percobaan sebelumnya masih berada dalam tubuh hewan kemungkinan hasil percobaan berikutnya akan memberikan data yang tidak benar. Contohnya pemberian barbiturate yang menyebabkan induksi enzim. Maka dari itu hewan percobaan yang akan digunakan pada percobaan berikutnya sebaiknya berselang waktu minimal 14 hari. •
Memberi kode/ tanda hewan percobaan
7 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
7/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Seringkali digunakan untuk mengidentifikasi hewan yang terdapat dalam satu kelompok/ kandang, sehingga memudahkan membedakannya. Gunakan larutan asam pikrat 10 % dalam air dan sebuah sikat atau kuas. •
Memberi makan hewan percobaan
1. Hewan percobaan biasanya memberikan hasil dengan deviasi yang besar dibandingkan dengan percobaan in vitro karena adanya variasi biologis. Untuk menjaga agar variasi tersebut minimal, hewan-hewan yang mempunyai spesies yang sama atau strain yang sama, usia yang sama dan jenis kelamin yang sama, dipelihara pada kondisi yang sama pula. 2.
Hewan percobaan harus diberi makan sesuai dengan makanan standar untuknyadan diberi minum.
3.
Untuk mengurangi variasi biologis, hewan harus dipuasakan semalam sebelum percobaan dimulai. Dalam hal ini hanya diperbolehkan untuk diberi minum. •
1.
Memusnahkan hewan percobaan
Cara terbaik untuk membunuh hewan dengan memberikan suatu anastetik over dosis. Injeksi barbiturat (Na.pentobarbital 300 mg/ml) secara I.V untuk kelinci dan anjing. Secara I.P untuk marmut, tikus dan mencit atau dengan inhalasi menggunakan kloroform, CO2, nitrogen dll dalam wadah tertutup untuk semua jenis hewan.
2. Hewan disembelih, kemudian dimasukkan dalam kantong plastic dan dibungkus lagi dengan kertas diletakkan didalam tas plastic, ditutup dan disimpan dalam lemari pendingin atau langsung diabukan. •
1.
Pemberian obat pada hewan percobaan
Pemberian Per Oral Hal ini dilakukan dengan bantuan jarum suntik yang ujungnya tumpul atau berbentuk bola (spoit oral). Spoit oral dimasukkan kedalam mulut , secara pelan-pelan melalui langit-langit kearah belakang esophagus, kemudian cairan dimasukkan. Jika terasa ada hambatan mungkin melukai saluran nafas.
Maka dari itu jarum di tarik dan
dimasukkan kembali hingga tak ada hambatan.
8 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
8/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
2.
Pemberian Intra Peritoneal Jenis hewan dan BB Cara pemberian dan volume maksimum dalam mililiter i.v i.m i.p s.c p.o Mencit (20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0 Tikus (100 g) 1,0 0,1 2,0-5,0 2,0-5,0 5,0 Hamster (50 g) 0,1 1,0-5,0 2,5 2,5 Marmut (250 g) 0,25 2,0-5,0 5,0 10,0 Merpati (300 g) 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0 Kelinci (2,5 kg) 5,0-10,0 0,5 10,0-20,0 5,0-10,0 20,0 Kucing (3 kg) 5,0-10,0 1,0 10,0-20,0 5,0-10,0 50,0 Anjing (5 kg) 10,0-20,0 5,0 20,0-50,00 10,0 100,0 Penyuntikan pada bagian perut dimana jarum disuntikkan dengan kemiringan 30-45 derajat dengan abdomen agak kegaris tengah.
Volume maksimum larutan obat yang diberikan pada hewan Keterangan : didistribusikan kedaerah yang lebih luas BB
=
bobot badab
i.v
=
Intra Vena
i.m
=
Intra Muscular
i.p
=
Intra Peritoneal
s.c
=
Sub Kutan
p.o
=
Per Oral
Perbandingan Luas Permukaan Tubuh Hewan Percobaan (Untuk Konversi Dosis) Hewan
Mencit
Tikus
Marmut
Kelinci
Kucing
Kera
Anjing
Manusia
dan BB 20 g
200 g
400 g
1,5 kg
2 kg
4 kg
12 kg
70 kg
rata-rata Mencit 1,0
7,0
12,29
27,8
28,7
64,1
124,2
387,9
20 g Mencit
1,0
1,74
3,9
4,2
9,2
17,8
60,5
0,57
1,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
0,14
20 g Marmut 0,08 400 g
9 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
9/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Kelinci
0,04
0,25
0,44
1,0
1,06
2,4
4,5
14,2
1,5 kg Kucing
0,03
0,23
0,41
0,92
1,0
2,2
4,1
13,0
2 kg Kera
0,016
0,11
0,19
0,42
0,45
1,0
1,9
6,1
4 kg Anjing
0,008
0,06
0,10
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
0,018
0,031
0,07
0,76
0,16
0,32
1,0
12 kg Manusia 0,0026 70 kg
Cara mempergunakan tabel : Bila diinginkan dosis absolute pada manusia dengan BB 70 kg dari data dosis pada anjing 10 mg/kg (untuk anjing dengan bobot 12 kg), maka lebih dahulu dihitung dosis absolute pada anjing, yaitu (10 × 12) mg = 120 mg. Dengan mengambil factor konversi 3,1 dari table diperoleh dosis untuk manusia = (120 × 3,1) mg = 372 mg. Dengan demikian dapat diramalkan efek farmakologis suatu obat yang timbul pada manusia dengan dosis 382 mg / 70 kg BB adalah sama dengan yang timbul pada anjing dengan dosis 120 mg/ 12 kg BB, dari obat yang sama.
Hewan coba atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang khusus diternakkan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan laboratorium tersebut digunakan sebagai model untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Beberapa jenis hewan dari yang ukurannya terkecil dan sederhana ke ukuran yang besar dan lebih komplek digunakan untuk keperluan penelitian ini, yaitu: mencit, tikus, kelinci, dan kera. Untuk memegang mencit yang akan diperlakukan (baik pemberian obat maupun pengambilan darah) maka diperlukan cara-cara yang khusus sehingga mempermudah cara perlakuannya. Secara alamiah mencit cenderung menggigit bila mendapat sedikit perlakuan kasar. Pengambilan mencit dari kandang dilakukan dengan mengambil ekornya kemudian mencit ditaruh pada kawat kasa dan ekornya sedikit ditarik. Cubit kulit bagian belakang kepala dan jepit ekornya (Lihat gambar 1)
10 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
10/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
(Anonim, 2007) Untuk pemberian obat atau senyawa lain pada mencit: 1. Secara oral: (a) dicampur dengan makanan atau minuman dan biasanya dilakukan kalau perlakuan untuk jangka waktu lama. Namun cara ini paling tidak teliti dan kalau senyawa yang diberikan berbau atau menyebabkan rasa tidak enak pada makanan atau minuman sehingga konsumsi makanan dan minuman sangat berkurang hingga dosis obat juga berkurang. (b) dengan jarum khusus, ukuran 20 dan panjang kira-kira 5 cm untuk memasukkan senyawa lansung ke dalam lambung melalui esofagus. Jarum ini ujungnya bulat dan berlubang ke samping. Akan tetapi memakia jarum seperti perlu hati-hati agar dinding esofagus tidak tembus. (c) Cara paling aman ialah memakai pipa lambung dibuat dari karet atau plastik agak kaku. Garis tengah pipa itu harus cukup kecil sehingga dapat masuk ke dalam esofagus mencit. Panjang pipa dapat ditentukan dengan menaksir jarak antara hidung dan tulang rusuk terakhir. Tetapi masih perlu hati-hati jangan sampai tembus ke esofagus atau trakea mencit. Kalau pipa semacam ini dipakai dengan spet, dapat diperoleh dosis pasti dan mudah di ukur. 2. Secara Intravena (IV): dengan cara ini, mencit harus dipegang sehingga tidak dapat bergerak. Mencit dapat dikuasai dengan meletakkan mencit dalam tabung plastik cukup besar supaya mencit tidat berputar ke belakang dan supaya ekornya keluar dari tabung. Sumbat dari kapas diletakkan di belakang mencit untuk mencegah mencit bergerak ke belakang. Jarum kecil yang digunakan berukuran 28 gauge, panjang 0,5 cm dan di suntikkan dilakukan pada vena lateralis ekor. Cara ini sukar tetapi sedikit lebih mudah kalau mencit dihangatkan terlebih dahulu. Tetapi kalau kulit mencit berpigmen cara ini hampir tidak mungkin karena venanya kecil dan
11 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
11/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
sukar dilihat meskipun mencit berwarna putih. Pemakaian cara ini perlu banyak latihan agar berhasil baik. 3. Secara Intraperitoneal (IP): cara memegang mencit untuk menyuntik dengan car ini sama dengan cara IM, jadi dinding abdomen ditegangkan. Teknik penyuntikan dan jarum yang dipakai juga sama dengan cara mengambil cairan asites. Suntikan di lakukan di daerah abdomen di antara cartilago xiphoidea dan symphysis pubis. Perlu hati-hati agar jarum tidak masuk ke dalam kandung kencing atau usus. Kalau sampai terjadi demikian, sering menyebabkan respon yang sangat bervariasi dalam satu kelompok hewan lebih-lebih dengan anestetika.
( John B.Smith, 1988)
Pemberian obat peroral merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya adalah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran pencernaan, dan perlu kerja sam dengan penderita, tidak bisa dilakukan bila pasien koma. Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat dibandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas di bandingkan dengan epitel lambung. Selain itu epitel lambung tertutup lapisan mukus yang tebal dan mempunyai tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan pengosongan lambung biasanya akan meningkatkan kecepatan absorpsi obat dan sebaliknya. Akan tetapi, perubahan dalam kecepatan pengosongan lambung atau motilitas saluran cerna biasnya tidak mempengaruhi jumlah obat yang diabsorpsi atau yang mencapai sirkulasi sistemik, kecuali pada 3 hal berikut: 1. Obat yang diabsorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan usus ( misalnya digoksin, difenihidantoin, prednison ) memerlukan waktu transit dalam saluran cerna yang cukup panjang untuk kelengkapan absorpsinya. 2. Sediaan salut enterik atau sediaan lepas lambat yang absorpsinya iasany kurang baik atau inkonsisten akibat perbedaan penglepasan obat di lingkunagn berbeda, memerlukan waktu transit yang lama dalam usus untuk meningkatkan jumlah yang diserap. 3. Pada obat-obat yang mengalami metabolisme di saluran cerna, misalnya Penicillin G dan eritromisin oleh asam lambung, levodopa dan klorpromazin
12 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
12/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
oleh enzim dinding saluran cerna, pengosongan lambung dan transit gastrointestinal yang lambat akan mengurangi jumlah obat yang diserap untuk mencapai sirkulasi sistemik. Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral) ialah : 1. Efeknya timbul lebih cepat dan teratur di bandingkan dengan pemberian oral. 2. Dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah 3. Sangat berguna dalam kedaan darurat. Kerugian nya ialah dibutuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita, dan tidak ekonomis. Pemberian intravena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat dan tepat dan dapat disesuaikan lansung dengan respons penderita. Suntikan intrapeitoneal tidak dilakukan pada manusia karena bahaya infeksi dan adesi terlalu besar.
( Ian Tanu, 1995 )
Respons individu-individu terhadap suatu obat bisa sangat bervariasi; sesungguhnya, seorang individu dapat memberikan respons yang berlainan terhadap obat yang sama pada saat-saat yang berbeda selama masa pengobatan. Kadangkala, penderita menunjukkan respons yang bersifat idiosinkrasi, yaitu suatu respons yang jarang terlihat pada kebanyakan penderita. Respon idiosinkrasi tersebut biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik dalam metabolisme obat atau mekanisme obat imonologik, termasuk reaksi-reaksi alergi. Variasi kuantitatif dalam respons obat bisanya lebih sering dan lebih penting dalam klinik: Seorang individu disebut hiporeaktif atau hiperreaktif terhadap suatu obat di mana intensitas efek suatu obat dengan dosis tertentu berkurang atau bertambah bila dibandingkan dengan efek yang terlihat pada kebanyakan individu. (Catatan: Istilah hipersensitivitas dimaksudkan dengan respons alargik atau imonologik terhadap obat-obat). Dengan beberapa obat, intensitas respons dari pemberian obat bisa berubah selama masa terapi; dalam hal ini, respons biasanya menurun sebagai akibat pemberian obat yang terus-menerus, menghasilkan suatu
13 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
13/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
keadaan yang relatif toleransi pada efek obat. Apabila respons obat berkurang secara cepat setelah pemberian suatu obat, respons tersebut dikatakan sebagai takifilaksis. Pengaruh klinis umum dari keanekaragaman individu dalam respons obat adalah jelas: Si dokter harus siap untuk mengubah dosis obatnya atau mengubah pilihan obatnya, tergantung pada respons yang terlihat pada penderita tersebut. Bahkan sebelum memberikan dosis pertama dari suatu obat, dokter harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mungkin membantu dalam meramalkan tujuan dan tingkat variasivariasi yang mingkin dalam respons obat. Ini meliputi kecenderungan suatu obat tertentu untuk menghasilkan toleran atau takifilaksis, demikian pula efek dari umur, seks, ukuran tubuh, keadaan penyakit, dan pemberian obat-obat lain secara stimultan. ( Katzung, 2001 ) Percobaan dengan kelompok hewan yang homogen (jenis kelamin, berat, dll) memungkinkan pengamatan reaksi semua bentuk sediaan (fisik, kimia) pada setiap individu. Hal yang sama juga terjadi pada manusia, yang mena efek suatu obat tidak selalu tetap. Pemberian suatu sediaan obat pada seorang individu dan dengan posologi yang sama kadang-kadang memberikan kadar obat dalam darah yang beragam. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena; (1) penyebab endogen yang sangat erat berhubungan dengan genetik, atau keadaan fisiologik, yamg berkaitan dengan fungsi dari berbagai organ tubuh, misalnya sistem persarafan, peredaran darah, endokrin dan pencernaan; dan (2) Penyebab eksogen yang tergantung pada lingkungannya. Jumlah zat aktif yang mencapai reseptor spesifik ternyata sangat sedikit dibandingkan dosis pemberian. Dengan demikian dapat dimengerti bila faktorfaktor yang mempengaruhi berbagai fase farmakokinetik, penyerapan, difusi, perubahan dan peniadaan juga dapat mempengaruhi aksi farmakologik yang diharapkan. Berbagai variasi efek yang timbul mengalami perubahan. Semua faktor genetik, fisiologik, patologik dan lingkungan merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan pada pengambilan keputusan aturan terapeutik. Setelah memeriksa penderita dan menetapkan terapi, pada waktu menyerahkan resep seorang dokter itu hendaknya menerangkan dengan jelas kepada penderita; (1) Garis besar uraian penyakit yang dideritanya; (2) Apa yang diharapkan oleh penderita dari pengobatannya itu;
14 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
14/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
(3) Bagaimana obat yang diberikan mempengaruhi proses penyakitnya; (4) Mengapa penyakit itu membutuhkan pengobatan yang kontinu; dan (5) Kepatuhan penderita dalam menggunakan obat. Pengaruh faktor fisiologik seperti perbedaan spesies terhadap obat pembius atau senyawa toksik, spesies hewan mempunyai perilaku yang sangat beragam. (Joenoes, 2002) Hubungan dan intensitas efek dalam keadaan sesungguhnya tidaklah sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam menghasilkan efek . Efek antihiperensi misalnya;
merupakan suatu kombinasi efek terhadap jantung ,
vaskuler dan sistem saraf. Walaupun demikian, suatu kurva efek kompleks dapat diuraikan kedalam kurva kurva sederhana untuk masing-masing komonennya . Kurva sederhana ini, bagaimanapun bentuknya, selalu mempunyai empat variabel yaitu potensi, kecuraman (slope), efek maksimal, dan variasi biologik. Potensi menunjukkan rentang dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh : 1. Kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat farmakokinetik obat 2. Afinitas obat terhadap reseptornya. Variabel ini relatif tidak penting karena dalam kinil digunakan dosis yang sesuai dengan potensinya. Hanya, potensi yang terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau membahayakan bila obatnya mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit Efek maksimal adalah renponmaksimal yang ditimbulkan oleh obat bila diberikan pada dosis yang tinggi. Ini ditentukan oleh aktivitas intrinsik obat dan ditunjukkan dataran( plateu) pada DEC. Tetapi dalam klinik dosis obat dibatasi oleh timbulnya efek samping, dalam hal ini efek maksimal yang dacapai dalam klinik mungkin kurang dari efek maksimal yang sesungguhnya . Ini merupaka variabel yang penting.Misalnya morfin dan aspirin. Berbeda dalam efektifitasnya sebagai analgetik ; morfin dapat menghilangkan rasa nyeri yang hebat , sedangkan aspirin tidak . Efek maksimal obat tidak selalu berhubungan dengan potensinya. Efek umunya timbul karena interkasi obat dengan reseptor pada sel sutau organisme. Interaksi obat dengan resepornya ini mencetuskan perubahan boikomia dan
15 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
15/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
fisiologi yang merupakan renpon khas untuk obat tersebut . Reseptor merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh .Kedua bahwa obat tidak menimbulkan suatu efek baru , tetapi hanya memodulasi efek yang ada.Walau tidak berarti bagi terapi gen secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang .Setiap komponen makromolekul komponen dapat berperan sebagai reseptor obat.Tetapi sekelompok reseptor obat tertentu , juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen (hormon,neutransmitor,).Substansi yang efeknya mempunyai senyawa endogen disebut agonis.Sebaliknya senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis ditempat ikatan agonis disebut antagonis. (Ganiswara, 1995) Suatu agonis didefenisikan sebagai suatu bat yang dapat mengikat suatu reseptor dan menimbulkan respons. Besarnya efek obat tersebut tergantung kepada konsentrasinya pada tempat reseptor yang ditentukan oleh dosis obat yang diberikan dan oleh faktor-faktor khusus dari obat tersebut, seperti kecepatan absorbsi distribusi dan metabolisme.Efek dari suatu obat palig mudah dianalisis dengn membuat grafik besarnya respons versus log dosis obat tersebut, sehingga didapatkan suatu kurva respons-dosis bertingkat. 1. Efikasi : Efikasi adalah respons maksimal yang dihasilkan oleh suatu obat. Efikasi tergantung pada jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor yang diaktifkan dalam menghasilkan suatu kerja selular. Efikasi analog dengan kecepatan maksimal suatu reaksi yang dikatalisis enzim [ Catatan : Suatu persenyawaan bisa reseptor tanpa menghasilkan suatu respons. Persenyawaan ini disebut mempunyai efikasi nol dan bisa bekerja sebagai suatu antagonis ]. 2. Potensi : Potensi, juga disebut konsentrasi dosis efektif adalah suatu ukuran berapa banyak obat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respons tertentu. Makin rendah dosis
yang dibutuhkan untuk suatu respons yang diberikan, makin
poten obat tersebut. Potensi paling sering dinyatakan sebagai dosis obat yang memberikan 50 % dari respons maksimal ED 50 . Obat dengan suatu ED
50
yang
rendah lebiuh poten daripada obat dengan ED 50 yang lebih besar. Afinitas ( K d ) suatu reseptor untuk obat merupakan suatu faktor yang penting dalam menentukan potensi.
16 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
16/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Tetapi, efikasi lebih penting daripada potensi karena terpusat pada efektivitas obat. (Misalnya , suatu obat yang lebih poten tidak bisa mencapai reseptornya dalam konsentrasi yang cukup akibat beberapa keadaan patologik). 3. Slope kurva dosis-respons : Slope daripada bagian tengah suatu kurva dosis-respons bervariasi dari satu obat ke obat lainnya. Suatu slope yang curam menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu perubahan besar dalam respons. Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan toksisitas dengan dosis yang menghasilkan suatu respons yang efektif dan diinginkan secara klinik dalam suatu populasi individu. Indeks terapeutik = dosis toksis / dosis efektif Jadi, indeks terapeutik merupakan suatu ukuran keamanan obat karena nilai yang besar menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas / lebar di antara dosisdosis yang efektif dan dosis-dosis yang toksik.
(Mycek, 2001)
Dosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diharapkan tergantung dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, kelamin, besarnya permukaan badan, beratnya penyakit dan keadaan daya tangkis penderita. Takaran pemakaian yang dibuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope negara-negara lain hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal (MD), yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan merupakan batas yang harus mutlek ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah ditinggalkan oleh Farmakope Eropa dan negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian mengenai ketepatannya, antar lain berhubung dengan variasi biologi dan faktor-faktor tersebut di atas. Sebagai gantinya, kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang biasanya lazim memberikan efek yang diionginkan. Hampir semua obat pada dosis yang cukup besar menimbulkan efek toksis (=dosis toksis, TD) dan pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian (=dosis letal, LD). Dosis terapeutis adalah takaran di mana obat menghasilkan efek yang diiginkan. Untuk menilai keamanan dan eg\fek suatu obat, di dalam laboratorium farmakologi dilakukan penelitian menggunakan binatang percobaa. Yang ditentukan
17 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
17/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
adalah khusus ED50 dan LD50, yaitu dosis yang masing-masing memberiakan efek atau yang mematikan 50% dari jumlah binatang. Indek terapi meruipakan perbandingan antara kedua dosis itu, yang merupakan suatu ukuran keamanan obat. Semakin besar indeks terapi, semakin aman penggunaan penggunaan obat tersebut. Tetapi, hendaknya diperhatikan bahwa indeks terapi ini tidak dengan begitu saja dapat dikolerasikan terhadap manusia, seperti sen\mua hasil percobaan dengan binatang, karena adanya perbedaan metabolisme. Luas terapi adalah jarak antara LD50 dan ED50, juga dinamakan jarak keamanan (safety margin). Seperti indeks terapi, luas terapi berguna pula sebagai indikasi untuk keamanan obat., terutama untuk obat yang digunakan secara kronis. Obat dengan luas terapi kecil, yaitu dengan selisih kecil antara dosis terapi dan dosis toksisnya, mudah sekali menimbulkan keracunan bila dosis normalnya dilampaui misalnya antikoagulansi kumarin, fenitoin, teofilin, litium karbonat dan tolbutamid. (Tjay & Rahardja, 2002) Pada skema terapeutik, efek farmakologik suatu obat hanya tergantung pada bentuk bebasnya. Suatu senyawa dengan ikatan plasmatik yang kuat semula menjenuhkan tempat ikatan sambil melepaskan dosis awal, dan selanjutnya menjamin dosis-rawat sesuai dengan fraksi bebas yang dilepaskan. Hal ini yang diterapkan untuk pengobatan dengan fenilbutazon, atau antikoagulan. Interaksi obat sebagai akibat terjadinya ikatan plasmatic pada obat tertentu dapat menyulitkan langkah berikutnya. Ikatan plasmatic tersebut tidak spesifik, beberapa molekul dapat memiliki suatu afinitas pada protein yang sama dengan titik tangkap protein yang sama. Hal tersebut menimbulkan terjadinya persaingan antara molekul-molekul untuk menduduki titik tangkap. Molekul yang mempunyai ikatan protein yang paling stabil akan menyingkirkan molekul lain dari tempat ikatannya dan hal ini meningkatkan jumlah bentuk bebasnya. Penyebaran dan peniadaan suatu zat aktif baik karena metabolisme dan atau pengeluaran serta reaksi farmakologik in vivo, dipengaruhi oleh keadaan fisio patologik organ penerima pada respon yang teramati, dan oleh parameter aktivitas teraupetik yang sulit atau bahkan tidak mungkin ditetapkan. Pada penderita yang sama, parameter yang sejenis relative tepat namun penggunaan suatu obat secara terus menerus dapat perubahan karakteristik kimia atau farmasetik. Dengan kata lain bila zat
18 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
18/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
aktif masuk ked al;am tubuh maka efek teraupetiknya terutama tergantung pada organ penerima. Sebaliknya, perbedaan dalam cara pemberian, sifat fisiko-kimia zat dan teknologi pembuatan sediaan obat dapat memberikan efek yangt berbeda. Perbedaan tersebut tergantung pada merek dagang obat dan hal tersebut terutama mempengaruhi kesetaraan kimia dan kesetaraan farmasetik. Walaupun pengaruhnya pada kesetaraan biologic tidak nyata, namun dapat mengakibatkan efek terapeutik yang berbeda. Sedangkan kesetaraan kimia adalah kesetaraan dari dua obat yang diberikan dengan cara dan dosis zat aktif yang sama, sedangkan kesetaraan farmasetimk adalah kesetaraan antara dua bentuk sediaan yang sama dengan zat aktif dan dosis lazim yang sama.
(Aiache, 1993) Ikatan obat dengan reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah
(ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, Van der Waals, mirip ikatan antara substrat dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen. Ini hanya berlaku untuk satu efek. Jika efek yang diamati merupakan gabungan beberapa efek, maka log DEC nya dapat bermacammacam bentuknya. Tetapi untuk masing-masing efek tersebut, log DEC umumnya berbentuk sigmoid. Potensi menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh: 1. Kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat-sifat farmakokinetik obat. 2. Afinitas obat terhadap reseptornya. Variabel ini relatif tidak penting karena dalam klinik digunakan dosis yang sesuai dengan potensinya. Hanya, jika potensi yang diperlukan terlalu rendah, akan merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau membahayakan jika obatnya mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit. Hubungan antara kadar atau dosis obat dengan besarnya efek terlihat sebagai kurva dosis-intensitas efek yang berbentuk hiperbola. Jika dosis dalam log, maka hubungan antara log dosis dengan besarnya efek terlihat sebagai kuva log dosisintensitas efek yang berbentuk sigmoid.
19 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
19/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam %) pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis), maka akan diperolaeh kurva distribusi normal. Jika distribusi frekuensi tersebut dibuat kumulatif maka akan diperoleh kurva berbentuk sigmoid yang disebut kurva log dosis-persen responsif (log dose-percent curve = log DPC). Oleh karena respons pasien di sini bersifat kuantal (all or none), maka kurva sigmoid ini disebut juga kurva log dosis-efek kuantal (quantal log dose-effect curve = loq DEC kuantal). Jadi log DPC menunjukkan variasi individual dari dosis yang diperlukan untuk menimbulkan suatu efek tertentu. Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50 %. Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut : Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50 Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua tanpa menimbulkan efek toksik pada seorangpun pasien. Oleh karena itu, Indeks terapi = TD1/ED99 adalah lebih tepat dan untuk obat ideal = TD1/ED99 ≥1 Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar. (Setiawati dkk, 2007)
V.
METODE PERCOBAAN
5.1 ALAT DAN BAHAN 5.1.1. ALAT
-
Timbangan elektrik
-
Oral sonde
-
Spuit 1 ml
-
Alat suntik 1 ml
-
Stopwatch
20 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
20/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
-
Beaker glass 25 ml
-
Erlenmeyer 10 ml
-
Spidol permanen
5.1.2. BAHAN
-
Mencit 5 ekor
-
Aquadest
-
Luminal Na konsentrasi 0.7%
-
Luminal Na kosentrasi 3 %
5.2 PROSEDUR PERCOBAAN
1. Penandaan Hewan -
dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa dari kandang
-
ditandai ekor mencit dengan spidol permanent
-
diletakkan di atas timbangan elektrik
-
dicatat berat mencit
2. Persiapan Hewan - dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa dari kandang -
dipegang
kulit
kepala
sejajar
dengan
telinga
mencit
dengan
menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri -
ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna.mencit siap untuk disuntik.
-
3. Per Oral Ditimbang berat mencit.
-
Ditandai mencit dengan menggunakan spidol pada ekornya.
-
Dihitung dosis pemberian.
-
Dipegang tengkuk mencit. -
Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat dengan dosis 90mg/kgBB berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga masuk ke esofagus.
21 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
21/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
-
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik.
-
Diamati efek obat yang terjadi selama 90 menit.
-
Diulangi perlakuan yang sama dengan dosis obat 80 mg/kgBB. 4. Intraperitoneal -
Ditimbang berat mencit.
-
Ditandai mencit dengan menggunakan spidol pada ekornya.
-
Dihitung dosis pemberian.
-
Dipegang tengkuk mencit dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar dibawah rahang hingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala.
-
Disuntikkan larutan obat dengan dosis 90 mg/kgBB pada bagian bawah abdomen dengan cepat.
-
Dilakukan percobaan kontrol dengan pemberian aquadest.
-
Diamati efek obat yang terjadi selama 90 menit.
-
Diulangi perlakuan yang sama dengan dosis obat 80 mg/kgBB.
5. Pengaruh Variasi Biologi 1.Hewan ditimbang dan ditandai 2.Dihitung dosis dengan pemberian −
Mencit I
−
Mencit II : berat badan 35,6 g luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
−
Mencit III : puasa, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
−
Mencit IV : tanpa puasa, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
−
Mencit V : jantan, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
−
Mencit VI : betina, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P) 3.
: berat badan 25,8 g luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
Diamati dan dicatat respon yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit.
4. Dibuat grafik jumlah geliat vs waktu. 6.
Dosis,Respon, dan Indeks Terapi - dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
22 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
22/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
- disuntikkan Luminal Na 3 % dosis 100,200,400,dan 800 mg/kg BB pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat diamati efek obat yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit dan dibuat grafik respon vs waktu.
VI . PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN 6.1 PERHITUNGAN DOSIS
Rute Pemberian Obat - Mencit I (intraperitoneal)
Berat mencit = 26 g Kontrol aquadest 1% BB Jumlah larutan yang disuntikkan = 1
x 26 g = 0.26 ml
100
- Mencit II (intraperitoneal)
23 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
23/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Berat mencit = 34 g Dosis luminal Na = 80 mg/kg BB konsentrasi obat = 0.7% Jumlah obat yang diberikan = 80 mg/kgBB x 34 g = 2,72mg 1000
Konsentrasi obat dalam 0.7%, berarti = 0.7 g
= 700 mg = 7 mg/ml
100 ml
100 ml
Jumlah larutan yang disuntikkan = 2.72 mg = 0.388 ml 7 mg/ml Jika dipakai syringe 1 ml = 80 skala, maka 1 skala = 1 : 80 = 0.0125 Jumlah larutan yang disuntikkan = 0.388= 31.04 skala=31 skala 0.0125
- Mencit III (Per Oral) Berat mencit = 26 g Dosis luminal Na = 80 mg/kg BB konsentrasi obat = 0.7% Jumlah obat yang diberikan = 80 mg/kgBB x 26 g = 2.08 mg 1000
Konsentrasi obat dalam 0.7%, berarti = 0.7 g
= 700 mg = 7 mg/ml
100 ml
100 ml
Jumlah larutan yang disuntikkan = 2.08 mg = 0.297 ml 7 mg/ml
Jika dipakai syringe 1 ml = 80 skala, maka 1 skala = 1 : 80 = 0.0125 Jumlah larutan yang disuntikkan = 0.297 = 23,76 skala= 24 skala 0.0125 - Mencit IV (Intraperitoneal)
24 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
24/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Berat mencit = 25,4 g Dosis luminal Na = 90 mg/kg BB konsentrasi obat = 0.7% Jumlah obat yang diberikan = 90 mg/kgBB x 25,4 g = 2.286 mg 1000
Konsentrasi obat dalam 0.7%, berarti = 0.7 g
= 700 mg = 7 mg/ml
100 ml
100 ml
Jumlah larutan yang disuntikkan = 2.286 mg = 0.326 ml 7 mg/ml
Jika dipakai syringe 1 ml = 80 skala, maka 1 skala = 1 : 80 = 0.0125 Jumlah larutan yang disuntikkan = 0.326 = 26,08 skala= 26 skala 0.0125
- Mencit V (oral) Berat mencit = 25,9 g Dosis luminal Na = 90 mg/kg BB konsentrasi obat = 0.7% Jumlah obat yang diberikan = 90 mg/kgBB x 25,9 g = 2.331 mg 1000 Konsentrasi obat dalam 0.7%, berarti = 0.7 g
= 700 mg = 7 mg/ml
100 ml 100 ml Jumlah larutan yang disuntikkan = 2.331 mg = 0.333 ml 7 mg/ml
Jika dipakai syringe 1 ml = 80 skala, maka 1 skala = 1 : 80 = 0.0125 Jumlah larutan yang disuntikkan = 0.333= 26,64 skala= 27 skala
25 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
25/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
0.0125
Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat
Mencit I Berat badan
= 25,8 g
Dosis Luminal Na
= 50 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi
= 0,7 % 50 mg = 1000 g
Dosis (mg)
Konsentrasi 0.7% =
x berat mencit (g)
50 mg 1000 g
x 25,8 g = 1,294 mg
0,7 g 100 ml
=
700 ml = 7 mg/ml 100 ml
Volume larutan yang disuntikan =
dosis (mg) 1,29 = = 0.18 ml 7 mg/ml 7
Mencit II Berat badan Dosis Luminal Na
= 35,6 g = 50 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi
= 0,7 % 50 mg Dosis (mg) = 1000 g x 35,6 g = 1,78 mg 50 0,7mg g Konsentrasi 0.7% = 100 1000ml g
x berat mencit (g)
=
700 ml = 7 mg/ml 100 ml
dosis (mg) 1,78 Volume larutan yang disuntikan = 7 mg/ml = 7 = 0.25 ml Mencit III (tidak puasa) Berat badan
= 29,4 g
Dosis Luminal Na
= 50 mg /kg BB (oral)
Konsentrasi
= 0,7 % 50 mg = 1000 g
Dosis (mg)
x berat mencit (g)
50 mg 1000 g 26 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
26/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
x 29,4 g = 1,47 mg
Konsentrasi 0.7% =
0,7 g 100 ml
=
700 ml = 7 mg/ml 100 ml
Volume larutan yang disuntikan =
dosis (mg) 1,47 = = 0.21 ml 7 mg/ml 7
Mencit IV (puasa) Berat badan
= 28,3 g
Dosis Luminal Na
= 50 mg /kg BB (oral)
Konsentrasi
= 0,7 %
Dosis (mg)
=
Konsentrasi 0.7% =
50 mg 1000 g
x berat mencit (g)
50 mg 1000 g
x 28,3 g = 1,415 mg
0,7 g 100 ml
=
700 ml = 7 mg/ml 100 ml
dosis (mg) 1,41 Volume larutan yang disuntikan = 7 mg/ml = 7 = 0.20 ml
Mencit V (jantan) Berat badan
= 25,9 g
Dosis Luminal Na
= 50 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi Dosis (mg)
= 0,7 % 50 mg = 1000 g
Konsentrasi 0.7% =
x berat mencit (g)
50 mg 1000 g
x 25,9 g = 1,295 mg
0,7 g 100 ml
=
700 ml = 7 mg/ml 100 ml
Volume larutan yang disuntikan =
dosis (mg) 1,29 = = 0.18 ml 7 mg/ml 7
27 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
27/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Mencit VI (betina) Berat badan
= 25,7 g
Dosis Luminal Na
= 50 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi
= 0,7 % 50 mg = 1000 g
Dosis (mg)
Konsentrasi 0.7% =
x berat mencit (g)
50 mg 1000 g
x 25,7 g = 1.285 mg
0,7 g 100 ml
=
700 ml = 7 mg/ml 100 ml dosis (mg) 1,28 = = 0.18 ml 7 mg/ml 7
Volume larutan yang disuntikan
Dosis,Respon,dan Indeks Terapi
Mencit I Berat badan
= 23,4 g
Dosis Luminal Na
= 100 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi
=3%
Dosis (mg)
=
100 mg x berat mencit (g) 1000 g 100 mg x 23,4 g =2,34 mg 1000 g
Konsentrasi 3%
=
3g 100 ml
=
3000 ml = 30 mg/ml 100 ml
Volume larutan yang disuntikan =
dosis (mg) = 30 mg/ml
2,34 30
= 0,078 ml
Mencit II Berat badan
= 23,2 g
Dosis Luminal Na
= 100 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi
=3%
Dosis (mg)
=
100 mg x berat mencit (g) 1000 g 100 mg 1000 g 28
http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
28/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
x 23,2 g =2,32 mg
Konsentrasi 3%
=
3g 100 ml
=
3000 ml = 30 mg/ml 100 ml
Volume larutan yang disuntikan =
dosis (mg) = 30 mg/ml
2,32 30
= 0,077 ml
Mencit III Berat badan
= 22,9 g
Dosis Luminal Na
= 200 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi
=3%
Dosis (mg)
= 200 1000mg g x berat mencit (g) 200 mg x 22,9 g = 4,58 mg 1000 g
Konsentrasi 3%
=
3g 100 ml
=
3000 ml = 30 mg/ml 100 ml
Volume larutan yang disuntikan =
dosis (mg) = 30 mg/ml
4,58 30
= 0,15 ml
Mencit IV Berat badan
= 24,4 g
Dosis Luminal Na
= 200 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi Dosis (mg)
=3% 200 mg = x berat mencit (g) 1000 g 200 mg x 24,4 g = 4,88 mg 1000 g
Konsentrasi 3%
=
3g 100 ml
=
3000 ml = 30 mg/ml 100 ml
Volume larutan yang disuntikan =
dosis (mg) 30 mg/ml
=
4,88
= 0,16 ml
30
29 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
29/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Mencit V Berat badan
= 25,9 g
Dosis Luminal Na
= 400 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi
=3%
Dosis (mg)
=
400 mg x berat mencit (g) 1000 g 400 mg x 25,9 g = 10,36 mg 1000 g
Konsentrasi 3%
=
3g 100 ml
=
3000 ml = 30 mg/ml 100 ml
Volume larutan yang disuntikan =
dosis (mg) = 30 mg/ml
10,36 = 0,34 ml 30
Mencit VI Berat badan
= 27 g
Dosis Luminal Na
= 400 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi
=3%
Dosis (mg)
=
400 mg x berat mencit (g) 1000 g 400 mg x 27 g = 10,8 mg 1000 g
Konsentrasi 3%
=
3g 100 ml
=
3000 ml = 30 mg/ml 100 ml
Volume larutan yang disuntikan =
Mencit VII Berat badan
dosis (mg) = 30 mg/ml
= 0,36 ml
= 25,9 g
Dosis Luminal Na
= 800 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi
=3%
Dosis (mg)
10,8 30
=
800 mg x berat mencit (g) 1000 g 800 mg x 25,9 g = 20,72 mg 1000 g 3g 100 ml
3000 ml 100 ml 30
http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
30/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Konsentrasi 3%
=
=
= 30 mg/ml
Volume larutan yang disuntikan =
dosis (mg) = 30 mg/ml
20,72 = 0,69 ml 30
Mencit VIII Berat badan
= 22,7 g
Dosis Luminal Na
= 800 mg /kg BB (Intraperitoneal)
Konsentrasi
=3%
Dosis (mg)
=
800 mg x berat mencit (g) 1000 g 800 mg x 22,7 g = 18,16 mg 1000 g
Konsentrasi 3%
=
3g 100 ml
=
3000 ml = 30 mg/ml 100 ml
Volume larutan yang disuntikan =
Diketahui :
dosis (mg) = 30 mg/ml
18,16 = 0,60 ml 30
a untuk ED50 = 2 a untuk LD50 = 2,6 b
= 0,3 ∑pi ∑pi
ED50 = 1 LD50 = 0,75
*ED50
m
=
a-b (∑pi – 0,5)
=
log 100 – 0,30 (1-0,5)
=
2 – 0,3 (0,5)
Log ED50 =
1,85
31 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
31/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
=
ED50
70,79 mg/kgBB
* LD50
m = =
log 400 – 0,30 (0,75-0,5)
=
2,6 – 0,30 (0,25)
Log LD50 = LD50
a-b (∑pi – 0,5)
=
2,525 334,97 mg/kg BB
LD50
Indeks Terapi =
ED50
334,97mg / kgBB
= =
70,79mg / kgBB 4,73
6.2 DATA PERCOBAAN
Rute Pemberian Obat N o. 1.
PERLAKUAN Kontrol
WAKTU (MENIT) 40 50 60 1.1 1.1 1.1
10 1.2
20 1.1
30 1.1
1.2
1.1
1.4
1.2
1.4
1.2
1.1
1.4
1.1
1.1
70 1.1
80 1.1
90 1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.4
1.3
1.1
aquadest 1%, 2.
intraperitonial Luminal Na [] 0,7%, dosis 80 mg/kgBB,
3.
Intraperitonial Luminal Na []
32 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
32/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
0,7%, dosis 90 mg/kgBB, Intraperitonial 4.
Luminal Na []
1.4
1.4
1.1
1.1
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.3
1.1
1.1
1.1
WAKTU (MENIT) 40 50 60 1.3 1.3 1.3 1.4 1.3 1.3 1.4 1.2 1.1 1.3 1.3 1.3
70 1.3 1.3 1.1 1.4
80 1.3 1.3 1.3 1.4
90 1.3 1.3 1.3 1.4
0,7%, dosis 80 5.
mg/kgBB, oral Luminal Na [] 0,7%, dosis 90 mg/kgBB, oral
Keterangan : - 1.1 : Normal - 1.2 : Reaktif - 1.3 : Gerak Lambat - 1.4 : Tidur
Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat N o.
PERLAKUAN
1. 2. 3. 4.
Mencit 1 BB Mencit 2 BB Mencit 3 puasa Mencit 4 tidak
10 1.2 1.2 1.2 1.1
20 1.3 1.3 1.2 1.1
30 1.3 1.4 1.3 1.3
5.
puasa Mencit 5
1.2
1.2
1.2
1.2
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
6.
jantan Mencit 6
1.2
1.2
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
betina
Keterangan : - 1.1 : Normal
33 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
33/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
- 1.2 : Reaktif - 1.3 : Gerak Lambat - 1.4 : Tidur Dosis,Respon,dan Indeks Terapi DOSIS Mg/kg BB
Jumlah Hewan
1
100
2
2
200
3 4
NO
Jumlah yang memberikan respon
Jumlah hewan yang memberi respon
∑pi
efek
mati
ED50
LD50
2
2
0
1
0
2
2
2
0
1
0
400
2
2
2
1
1
0,5
800
2
2
2
2
1
1
6.3 GRAFIK PERCOBAAN
34 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
34/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
35 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
35/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
6.4 PEMBAHASAN
Rute Pember ian Obat Dari data percobaan diperoleh hasil bahwa mencit 1 tetap pada keadaan normal setelah di beri aquadest secara intraperitoneal. Pada mencit dosis 80 dan dosis 90 baik secara oral maupun peritoneal diperoleh hasil yaitu pada dosis pemberian luminal Na yang lebih besar diperoleh respon yang lebih cepat dari dosis yang lebih kecil. Dari data hasil percobaan juga diperoleh kesimpulan bahwa pemberian secara intraperitoneal menghasilkan respon yang lebih cepat dari pemberian per oral. Hal ini sesuai dengan keterangan yang diperoleh dari buku yaitu “keuntungan pemberian obat secara suntikan salah satunya adalah efeknya dapat timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara per oral”.
( Ian Tanu,1995)
Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat
Dari hasil percobaan diperoleh bahwa mencit dengan berat badan yang lebih kecil akan mengalami efek yang lebih cepat, hal ini sesuai dengan teori dimana
36 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
36/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
seharusnya mencit dengan berat badan yang lebih kecil yang akan mengalami efek obat yang lebih cepat. Berdasarkan penentuan dosis yang sering digunakan, menurut Ganiwarna (1995), dimana menurut teori kebanyakan dosis dewasa dikalkulasikan sekitar berat dewasa, yaitu 150 pon antara umur 16 sampai 65 tahun. Namun, kebanyakan orang dewasa beratnya tidak mencapai 150 pons. Pada individu kecil (100 pons), dosisnya harus dikurangi. Pada individu yang lebih besar (200 pon sampai 300 pons), dosis nya harus ditingkatkan. Bagaimanapun juga pendekatan dosis seperti ini tidak selalu dapat dijadikan pedoman dikarenakan masih banyaknya faktor lain yang menentukan. Pada kondisi puasa, dari percobaan diperoleh bahwa mencit yang tidak diberi makan selama 18 jam mengalami efek obat . Menurut teori , kebanyakan efek obat akan bekerja lebih cepat tanpa makanan, karena apabila disertai dengan makanan, obat akan berinteraksi dengan makanan dan menyebabkan absorpsi dari obat menjadi lambat. Jenis makanan tipe tertentu dapat membalikkan efek terapi dari suatu obat dengan meningkatkan absorbsi, menunda absorbsi, dan bahkan dapat mencegah absorbsi pada pengobatan. Lebih jauh, makanan dapat menyebabkan pasien merasakan reaksi yang berlawanan. (menurut Mary Kamienski dan Jim Keogh, 2005) Berdasarkan jenis kelamin, dari hasil percobaan diperoleh bahwa mencit betina akan mengalami efek obat yang lebih cepat dibandingkan dengan mencit jantan. Menurut Bertram Katuzung (2001), hal ini disebabkan karena mencit betina yang memiliki kadar lemak tubuh banyak dan cairan tubuh yang lebih sedikit dibandingkan dengan mencit jantan sehingga obat – obat yang larut dalam air (cairan tubuh) contohnya luminal Na akan lebih cepat berefek.
Dosis,Respon,dan Indeks Terapi Pada percobaan, respon dan penentuan indeks terapi Luminal Natrium 3% yang diujikan pada hewan mencit diperoleh dosis terendah yang memberikan efek tidur ataupun gerak lambat yaitu 100 mg/kg BB, dosis ini digunakan untuk menentukan ED 50. Pada peningkatan dosis dengan log interval tertentu yaitu 400 mg/kg BB menunjukkan efek toksik yang dapat dilihat dengan depresi pernafasan dan pingsannya mencit. Sedangkan peningkatan dosis yang dilakukan sampai 800 mg/kg
37 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
37/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
BB akan memberikan efek letal yang ditandai dengan timbulnya kematian dari semua hewan percobaan yang diuji. Dari data yang diperoleh indeks terapi sebesar 4,73 dan ini menunjukkan Luminal Natrium mempunyai range terapi yang agak lebar. Menurt Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja (2002) dalam buku Obat-Obat Penting, senyawa turunan barbiturat seperti Luminal bila digunakan sebagai sedativhipnotika memiliki range terapi yang relatif agak lebar (15-30 mg memberi efek sedativ dan 100 mg atau lebih memberi efek hipnotik) walaupun tidak seluas range terapi obat-obat bebas.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 KESIMPULAN
-
Rute
pemberian obat yang dilakukan pada percobaan
ini antara
lain
per oral dan intraperitoneal . Per oral
pemberian
adalah rute
melalui mulut masuk ke saluran cerna kemudian diabsorpsi dulu ke hati sebelum disebarkan ke sirkulasi sistemik. Intraperitoneal adalah pemberian obat langsung ke dalam rongga perut dengan posisi 45o dan penyerapan cepat terjadi karena langsung ke pembuluh darah usus yang memiliki luas permukaan besar. Pada percobaan yang dilakukan, pengaruh dari berbagai rute pemberian obat yang
diberikan secara
intraperitoneal dan per oral dapat mempengaruhi onset of action,duration
-
of action-nya. Pemberian obat secara oral tidak dapat diaplikasikan untuk pasien yang tidak sadarkan diri , bioavaibilitasnya rendah , serta memerlukan lag time , sedangkan pada intraperitoneal dapat terjadi bahaya infeksi.
-
Luminal natrium dapat memberikan efek sedatif, hipnosis , anastesi, antikonvulsi serta relaksasi otot.
-
Pada percobaan onset of action yang paling cepat memberikan efek adalah intraperitoneal lalu per oral.
38 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
38/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Untuk mencit dengan variasi biologis :
-
1)
Berat badan : diperoleh hasil bahwa mencit dengan berat badan yang lebih besar akan mengalami efek obat yang lebih lambat dibandingkan dengan mencit yang lebih kecil berat badannya
2)
Puasa : diperoleh hasil bahwa mencit dengan kondisi puasa tidak mengalami efek sedaif obat, kemungkinan disebabkan oleh kesalahan penyuntikan atau pengaturan regime puasa yang tidak ketat
3)
Jenis Kelamin : diperoleh hasil bahwa mencit dengan jenis betina akan mengalami efek obat yang lebih cepat dibandingkan mencit jantan
-
Pemberian Luminal Na 3 % pada hewan percobaan dengan dosis 400 mg/kg BB efek depresan pada hewan percobaan dengan ditandai gerakan yang lambat dan tidur selama waktu 90 menit dengan selang waktu 10 menit sedangkan pada dosis 800 mg/kg BB memberikan efek letal pada mencit.
-
Dari percobaan didapat bahwa semakin besar dosis obat yang diberikan kepada hewan percobaan maka akan semakin cepat pengaruh atau semakin cepat efek farmakologi yang ditimbulkan.
-
Diperoleh LD50 dalam percobaan sebesar 334,97 mg/kgBB
-
Diperoleh ED50 dalam percobaan sebesar 70,79 mg/kg BB
-
Diperoleh Indeks terapi dalam percobaan sebesar 4,73
7.2 SARAN
-
Sebaiknya digunakan obat lain selain luminal natrium agar dapat
dibandingkan efek obat yang satu dengan yang lainnya pada dosis yang sama -
Sebaiknya dalam percobaan juga dilakukan pemberian obat dengan
cara yang lain, misalnya secara intravena -
Sebaiknya dalam percobaan juga diujikan pada hewan yang lain,
misalnya tikus atau kelinci sehingga dapat dibandingkan hasilnya
39 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
39/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
DAFTAR PUSTAKA
Aiache, J. M., (1993), Farmasetika 2 : Biofarmasi , Edisi Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, halaman 89-92 Anonim,(2007), http://medicafarma.blogspot.com/2010/04/penanganan-hewan percobaan_24.html Ganiswarna, Sulistia Gan., (1995), Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5, Gaya Baru; Jakarta, halaman 5-6 Tanu, I., (1995), Farmakologi dan Terapi , Edisi Keempat , Fakutas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, halaman 16-18 Smith, John. B dan Soesanto, M., (1988), Pemeliharaan, Pembiakan, Dan Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis, UI-Press, Jakarta,
halaman 33-34. Katzung, Bertram G., (2001), Farmakologi Dasar dan Klinik , Edisi Pertama, Salemba Medika, Jakarta, halaman 31, 61-62, 54 Mycek, M. J., Harvey, R. A., Champe, P. C., (2001), Farmakologi Ulasan Bergambar , Edisi Kedua, Widya Medika, Jakarta, halaman 26
Setiawati, A., dkk., (2007), Farmakologi dan Terapi, Edisi Kelima, Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, Jakarta, halaman 17 – 19
40 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
40/41
5/14/2018
jur na l fa r ma kologi 1 (SHINTA) 03 - slide pdf.c om
Shinta Sari Dewi 091501110
Tjay, T.H. & Rahardja, K., (2002), Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Kelima, Cetakan Kedua, Penerbit P.T Elex
Medika Komputindo, Jakarta, halaman 43, 46-47 Yahya dan Rizali. (1994). Pengantar Farmakologi. Jakarta : PT Pustaka Widyasarana. Hal 28 – 30
41 http://slide pdf.c om/re a de r/full/jur na l-fa r ma kologi-1-shinta -03
41/41