BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagaian besar hewan kemungkinan tidak memiliki perasaan sadar akan reproduksi sebagai suatu fungsi penting dalam kehidupan mereka. Hewan juga tidak memiliki rasa ketertarikan yang terus-menerus terhadap anggota hewan lain yang merupakan lawan jenisnya. Hewan dalam melestarikan atau mempertahankan jenisnya, mau tidak mau maka hewan tersebut harus melalui suatu proses yaitu perilaku kawin. Dalam dunia vertebrata, beberrapa peneliti telah mempelajarinya mulai dari ikan sampai mamalia, tetapi yang paling banyak diselidiki adalah aves dan mamalia. Perkawinan adalah suatu usaha untuk memasukan sperma ke dalam alat kelamin betina. Perkawinan alami dilakukan oleh seekor pejantan yang langsung memancarkan sperma kedalam alat reproduksi betina dengan cara kopulasi. Terlebih dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina dengan menjilati atau membau di sekitar organ reproduksi betina bagian luar setelah itu pejantan melakukan penetrasi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perkawinan alam pada ternak? 2. Bagaimana tingkah laku perkawinan alam ternak?
C. TUJUAN
1. Mengetahui bagaimana perkawinan alam pada ternak. 2. Mengetahui bagaimana tingkah laku perkawinan alam ternak.
BAB II PEMBAHASAN
A. PERKAWINAN ALAM
Perilaku kawin pada hewan-hewan merupakan hal yang paling kompleks, tapi paling banyak menarik perhatian para ahli. Bagi hewannya sendiri harus dianggap paling penting karena tanpa perkawinan, jenisnya tidak mungkin bertahan. Pada hewan tingkat rendah, perilaku kawin hampir seluruhnya dipengaruhi oleh rangsang-rangsang hormonal. Tetapi tidak demikian halnya pada hewan-hewan yang tingkat tinggi. Pengaruh luar, seperti belajar dan pengalaman, banyak ikut menentukan. Banyak hewan yang fertile sepanjang tahun, tetapi banyak pula yang
memiliki
musim-musim
kawin
tertentu.
Kebersamaan
atau
sinkronisasi antara hewan jantan dan betina sangat diperlukan untuk terjadinya perkawinan.
Musim kawin beberapa hewan yang tergolong
mamalia, ternyata dipengaruhi oleh perubahan panjang jam siang setiap hari. Hal ini terjadi misalnya pada domba, kambing, kucing, yang dapat berubah musim kawinnya dengan memanipulasi kondisi sinar. Dijelaskan dalam migrasi, bahwa cahaya mempunyai pengaruh pada permulaan timbulnya kegiatan kelamin, melalui kegiatan hipofisa terlebih dahulu. Pada tikus-tikus betina yang sedang estrus, keinginan berkelamin mencapai maksimum pada malam hari. Kenyataan ini menyebabkan orang berpikir, bahwa perubahan gelap dan terang mungkin memegang peranan. Kalau memperhatikan dua anak ekor hewan, misalnya anak ayam, maka bukan saja kedua hewan itu tidak menunjukkan perbedaan satu sama lain, tetapi untuk membedakan mana yang jantan dan betina pun sudah sukar. Tetapi keadaan ini akan berubah dengan segera, setelah bekerjanya kelenjar-kelenjar kelamin dan adanya hormone kelamin. Bukan saja
tingkah
lakunya
yang
berbeda,
tetapi
ciri-ciri
luarnyapun
telah
menunjukkan perbedaan yang nyata pada kebanyakan hewan. Hormone kelamin betina akan memberikan cirri-ciri kebetinaan, sedang hormone kelamin jantan akan memberikan cirri-ciri kejantanan. Pada umumnya semua hewan jantan, memiliki sekuen kawin yang sama. Hewan-hewan itu agresif mendekati hewan betina, mengelus leher dengan kepala dan mulutnya, mencium kepala, daerah leher dan mulutnya kemudian menaikinya dan kopulasi terjadi. Tetapi tingkah laku ini hilang sama sekali, bila hewan-hewan itu dikebiri. Sedangkan hewan-hewan betina akan berlaku seperti itu pada hewan-hewan lain, bila kepada hewan betina itu diberikan testosterone. Tingkah laku menggandeng dan mengelilingi betina dari burung merpati dan penguin jantan, seluruhnya dipengaruhi oleh testosterone. Bila hewan betina yang diam ketika dikelilingi hewan jantan, diberi testosterone, maka hewan betina tersebut akan melakukan perilaku yang sama terhadap hewan lain seperti apa yang dilakukan hewan jantan. Upaya peningkatan populasi ternak sapi dapat dilakukan dengan intensifikasi kawin alam melalui distribusi pejantan unggul terseleksi dari bangsa sapi lokal atau impor dengan empat manajemen perkawinan, yakni: 1. perkawinan model kandang individu 2. perkawinan model kandang kelompok/umbaran 3. perkawinan model rench (paddock) 4. perkawinan model padang pengembalaan Pejantan yang digunakan berasal dari hasil seleksi sederhana, yaitu berdasarkan penilaian performans tubuh dan kualitas semen yang baik, berumur lebih dari dua tahun dan bebas dari penyakit reproduksi seperti EBL dan IBR.
Cara kawin alam ini dianjurkan dengan pertimbangan 1. secara alamiah ternak sapi potong memiliki kebebasan hidup, sehingga mendukung perkembangbiakannya secara normal 2. secara alamiah ternak sapi jantan mampu mengetahui ternak sapi betina yang berahi 3. penanganan perkawinan secara kawin alam memerlukan biaya yang sangat murah, tanpa adanya campur tangan manusia 4. metode kawin alam sangat efektif dan efisien, sehingga dapat digunakan sebagai pola usaha budidaya ternak mulai dari cara intensif, semi intensif dan ektensif, bahkan juga dilakukan di beberapa perusahaan.
a. Perkawinan di kandang invidu (sapi diikat)
Kandang individu adalah model kandang dimana setiap ekor sapi menempati dan diikat pada satu ruangan; antar ruangan kandang individu dibatasi dengan suatu sekat. Kandang invidu di peternak rakyat, biasanya berupa ruangan besar yang diisi lebih dari satu sapi, tanpa ada penyekat tetapi setiap sapi diikat satu persatu. Model Perkawinan kandang individu dimulai dengan melakukan pengamatan birahi pada setiap ekor sapi induk dan perkawinan dilakukan satu induk sapi dengan satu pejantan (kawin alam) atau dengan satu straw (kawin IB). Biasanya kandang individu yang sedang bunting beranak sampai menyusui pedetnya. Pengamatan birahi dapat dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari dengan melihat gejala birahi secara langsung dengan tanda-tanda estrus. Apabila birahi pagi dikawinkan pada sore hari dan apabila birahi sore dikawinkan pada besuk pagi hingga siang. Persentase kejadian birahi yang terbanyak pada pagi hari. Setelah 6-12 jam terlihat gejala birahi, sapi induk dibawa dan diikat ke kandang kawin yang dapat dibuat dari besi atau kayu, kemudian didatangkan pejantan yang dituntun oleh dua orang dan dikawinkan dengan induk yang birahi tersebut minimal dua kali ejakulasi.
Setelah 21 hari (hari ke 18-23) dari perkawinan, dilakukan pengamatan birahi lagi dan apabila tidak ada gejala birahi hinggga dua siklus (42 hari) berikutnya, kemungkinan sapi induk tersebut berhasil bunting. Untuk meyakinkan bunting tidaknya, setelah 60 hari sejak di kawinkan, dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi rektal, yaitu adanya pembesaran uterus seperti balon karet (10-16 cm) dan setelah hari ke 90 sebesar anak tikus. Induk setelah bunting tetap berada dalam kandang individu hingga beranak, namun ketika beranak diharapkan induk di keluarkan dari kandang individu selama kurang lebih 7-10 hari dan selanjutnya dimasukkan ke kandang invidu lagi.
b. Perkawinan kandang kelompok
Kandang terdiri dari dua bagian, yaitu sepertiga sampai setengah luasan bagian depan adalah beratap/diberi naungan dan sisanya di bagian belakang berupa areal terbuka yang berpagar sebagai tempat pelombaran. Ukuran kandang (panjang x lebarnya) tergantung pada jumlah ternak yang menempati kandang, yaitu untuk setiap ekor sapi dewasa membutuhkan luasan sekitar 20 – 30 m2. Bahan dan alatnya: dibuat dari semen atau batu padas, dinding terbuka tapi berpagar, atap dari genteng serta dilengkapi tempat pakan, minum dan lampu penerang. Manajemen perkawinan model kandang kelompok dapat dilakukan oleh kelompok tani atau kelompok perbibitan sapi potong rakyat yang memiliki kandang kelompok usaha bersama (cooperate farming system) dengan tahapan sebagai berikut: Induk bunting tua hingga 40 hari setelah beranak (partus) diletakkan pada kandang khusus, yakni di kandang bunting dan atau menyusui. Setelah 40 hari induk dipindahkan ke kandang kelompok dan dicampur dengan pejantan terpilih dengan kapasitas sapi sebanyak 10 ekor betina (induk atau dara) dan dikumpulkan menjadi satu dengan pejantan dalam waktu 24 jam selama dua bulan.
Setelah dua bulan dikumpulkan dengan pejantan dilakukan pemeriksaan kebuntingan (PKB) dengan cara palpasi rectal terhadap induk-induk sapi tersebut (perkawinan terjadi secara alami tanpa diketahui yang kemungkinan pada malam hari atau waktu tertentu yang tidak diketahui.
c. Perkawinan model mini
Sapi induk yang positif bunting dipisah dari kelompok tersebut dan diganti dengan sapi yang belum bunting atau hasil pemeriksaan kebuntingan dinyatakan negatif. Bahan dan alat berupa ren berpagar 30 x 9 M2 yang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum beralaskan lantai paras dan berpagar serta dilengkapi juga tempat pakan hay, diantaranya jerami padi kering atau kulit kedele kering. Kapasitas kandang dapat berisi satu ekor pejantan dengan 30 ekor induk (1:30) dengan pemberian pakan secara bebas untuk jerami kering dan 10 % BB rumput, 1 % BB untuk konsentrat diberikan secara bersamasama dua kali sehari pada pagi dan sore. Induk setelah 60 hari melahirkan dipindahkan ke areal rench dan dicampur dengan pejantan terpilih dengan kapasitas sapi sebanyak 30 ekor betina (induk atau dara) dan dikumpulkan dengan satu pejantan dalam sepanjang waktu (24 jam) selama dua bulan; Setelah dua bulan dikumpulkan dengan pejantan dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan cara palpasi rektal terhadap induk sapi (perkawinan terjadi secara alami tanpa diketahui yang kemungkinan pada malam hari atau waktu tertentu yang tidak diketahui);
d. Perkawinan model padang pengembalaan
Pada model ini kapasitas areal angonan sangat luas dan dapat diangon hingga ratusan ekor betina dan beberapa pejantan, yakni hingga 60-100 ekor induk dengan 2-3 pejantan (rasio betina : pejantan 100:3 dengan memperoleh hijauan pakan rumput atau tanaman hutan). Di sini
pergantian pejantan dilakukan setiap setahun sekali guna menghindari kawin keluarga. Nafsu kawin
Nafsu kawin dapat ditandai dengan respon pejantan pertama kali melihat betina berahi dan jumlah menaiki. Rival dan Chenoweth (1982) menyatakan bahwa domba jantan yang tidak mempunyai respon terhadap betina berahi dikelompokan kepada domba jantan dengan nafsu kawin rendah. Soenaryo (1988) menyaakan bahwa pejantan yang mempunyai nafsu kawin lemah atau tidak ada sama sekali adalah patologik dan merupakan infertilitas. Beragamnya nafsu kawin dapat dipengaruhi oleh beragamnya umur ternak, kesehatan dan tingkat kegemukan. Faktor-faktor seperti rangsangan penciuman yang dikeluarkan oleh ternak betina berahi yang berasal dari urine atau dari berbagai bagin tubuh yakni alat keamin luar, moncong dan lain sebagainya dapat merangsang pejantan untuk mengawini betina (Toelihere, 1981) Hasil pengamatan hastono et al (1977)menunjukan bahwa dengan meningkatnya umur pada kambing PE jantan, respon untuk menaiki betina berahi semakin cepat. Banyak sedikitnya jumlah menaiki dipengaruhi beberapa hal. Salah satu diantaranya adalah ukuran tubuh pejantan yang terlalu besar dibanding dengan betina berahi yang dikawininya sehingga pejantan mengalami kesulitan untukmelakukan perkawinan (Setiadi, 990). Hastono et al (1997) melaporkan bahwa semakin besar jumlah kambing PE betina berahi dalam satu kelompok, maka respon kambing PE jantan untuk menaiki kambing betina berahi semakin tinggi. Apabila hanya satu ekor betina berahi yang dikawini, nafsu kawin pada ternak jantan akan turun. Seperti yang diutarakan Toelihere (1981) bahwa apabila domba jantan dikawinkan secara terus menerus dengan betina yang sama akan mengalami kepuasan seksual. Devandra dan burn (1994) menyatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan reproduksi adalah karena cekaman
panas yaitu dapat berupa nafsu kawin dan fertilitas yang rendah pada hewan jantan. Sebaliknya, hasil penelitian Rival dan Chenoweth (1982) menunjukan bahwa nafsu kawin tidak dipengaruhi oleh waktu, yaitu pagi hari dari jam 6.30-10.00 dan sore hari dari jam 14.30-18.00. Kemampuan kawin
Salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan kawin adalah bangsa (Toelihere, 1981). Beberapa indikator yang dapat dijadikan patokan untuk menilai kemampuan kawin pada ternak yaitu, ejakulasi pertama, jumlah ejakulasi, selang ejakulasi,. Akan tetapi yang paling penting untuk menilai kemampuan kawin adalah berapa kali seekor pejantan dapat melakukan peerkawinan dalam satuan waktu tertentuyang ditandai
dengan
banyaknya
jumlah
ejakulasi.
Toelihere
(1981)
menyatakan bahwa ragsang visual memegang peranan penting dalam pengendalian aspek-aspek tertentu dari kelakuan kelamin, yaitu pejantan di stimulir oleh kehadiran seekor betina yang sedang berahi. Lebih lanjut hasil pengamatan Kilgour yang di kutip oleh Fowler (1984) disebutkan bahwa kemampuan kawin domba jantan dilapangan lebih baik bila dibanding dengan di dalam kandang. Perkins et al (1992)
menyatakan bahwa domba jantan yang
mempunyai kemampuan kawin tinggi
apabila dalam waktu 30 menit
miimal 6 kali ejakulasi, sedangkan yang rendah maksimum 2 kali ejakulasi.
Edward et al (1992) domba jantan mempunyai penampilan
seksual yang tinggi apabila rata-rata jumlah ejakulasi 5.5 kali atau lebih, sedangkan yang rendah rata-rata3.5 kali atau kurang dalam waktu 30 menit. Edward et al (1996) menyatakan bahwa domba jantan yang berumur 2 tahun 9 bulan untuk mencapai 6 kali ejakulasi membutuhkan waktu rata-rata 29 menit bagi yang berpenampilan seksual tinggi, sedangkan yang rendah memerlukan waktu rata-rata 77.6 menit untuk mencapai 6 kali ejakulasi.
Toelihere (1981) dikatakan bahwa timbulnya kembali aktivitas seksual yang berbeda-beda itu tergantung jenis, bangsa, dan individual ternak. Lebih lanjut dikatakan nahwa apabila kondisi iklim memuaskan, waktu siang atau malam tidak mempengaruhi aktivitas seksual, akan tetapi pada keadaan tertentu perkawinan banyak terjadi di malam hari. Ashmawy (1979) dalam devendra dan burn (1994) mendapatkan pada kambing baladi di mesir bahwa jumlah ejakulasi dan waktu kelelahan berbeda secara nyata antara musim. Pada musim semi jumlah ejakulasi rendah dan cepat lelah. Jumlah ejakulasi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi kawin yaitu dengan jalan menukar betina berahi yang dikawininya. Toelihere (1981) menyatakan bahwa frekuensi kawin berbeda-beda menurut iklim, jenis bangsa, individu, seks ratio dan ruangan yang tersedia.
Selanjutnya
faktor
lainnya
yang
berpengaruh
terhadap
kemampuan kawin adalah umur ternak. Hastono et al (1997) melaporkan bahwa semakin besar jumlah kambing PE betina birahi dlam satu kelompok, maka respon kambing PE jantan untuk ejakulasi semakin tinggi. Synot et al (1981) yang di kutip tilbrook (1984) dalam setiadi (1990) melaporkan bhwa domba-domba jantan yang ditempatkan dalam kandang yang berisi 8 ekor betina birahi, rata-rata terjadi 12 kali ejakulasi per hari. B. TINGKAH LAKU PERKAWINAN ALAM TERNAK 1. Sapi
Perkawinan alami dilakukan oleh seekor pejantan yang langsung memancarkan sperma kedalam alat reproduksi betina dengan cara kopulasi. Terlebih dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina dengan menjilati atau membau di sekitar organ reproduksi betina bagian luar setelah itu pejantan melakukan penetrasi. Tanda tanda birahi pada sapi betina adalah :
ternak gelisah
sering berteriak
suka menaiki dan dinaiki sesamanya
vulva : bengkak, berwarna merah, bila diraba terasa hangat (3 A dalam bahasa Jawa: abang, abuh, anget, atau 3 B dalam bahasa Sunda: Beureum, Bareuh, Baseuh)
dari vulva keluar lendir yang bening dan tidak berwarna
nafsu makan berkurangGejala
gejala birahi ini memang harus diperhatikan minimal 2 kali sehari oleh pemilik ternak.
Jika tanda-tanda birahi sudah muncul maka pemilik ternak tersebut tidak boleh menunda laporan kepada petugas. Betina-betina yang berahi mempunyai vulva yang lembab, lender bening seringkali nampak keluar dari vulva. Betina yang dalam fase lain dalam siklus berahi bisa jadi menaiki betina lain, tetapi tidak mau jika dinaiki, oleh karena itu betina diam dinaiki merupakan tanda tunggal yang kuat bahwa betina dalam keadaan berahi. Jika seekor betina memasuki siklus berahi, manakala betina tersebut dalam keadaan fertile, dimana betina ini berovulasi atau melepas sel telur dari ovariumnya. Waktu terbaik unatu menginseminasi dalah jika betina dalam keadaan standing heat, yaitu sebelum terjadi ovulasi. Satu hal yang dianjurkan untuk mengadakan pendeteksian berahi adalah denga cara menempatkan sapi-sapi dara atau induk pada sebuah padang penggembalaan deteksi berahi. Padang penggembalaan ini seyogyanya cukup luas, memungkinkan betina-betina bisa kesana-kemasi dan bebas merumput, namun juga tidak terlalu luas, sehingga operator dapat mengadakan deteksi berahi dengan mudah. Satu kunci sukses dalam deteksi berahi adalah lamanya waktu untuk mengamati
betina-betina,
memeriksa
tanda-tanda
berahi,
adalah
dianjurkan bagi operator meluangkan waktu selama minimal 30 menit pada pagi hari dan 30 menit pada sore hari. Operator juga dianjurkan
memperhatikan betina-betina pada waktu-waktu yang sama setiap hari. Jadi, mempelajari mengenal tanda-tanda berahi dan mengetahuinya betina betina yang sedang berahi merupakan kunci suksesnya satu program IB. 2. Kuda
Kuda merupakan hewan yang bersifat nomadik dan bersemangat tinggi. Dalam keadaan liar efisiensi reproduksi kuda dapat mencapai 90 % atau lebih tetapi dalam kondisi domestic dengan adanya campur tangan manusia tingkat efisiensi reproduksinya sangat menurun. Hal itu disebabkan oleh kurangnya kesempatan latihan fisik, penyakit serta manajemen pemeliharaan yang belum baik. Seekor kuda betina dara akan mencapai pubertas pada umur 12 sampai 15 bulan, tetapi lebih baik dikawinkan setelah mencapai umur 2 tahun karena kuda betina yang dikawinkan pada umur yang muda tingkat kebuntingannya rendah. Siklus estrus seekor kuda betina rata-rata 21 hari dengan kisaran waktu antara 10 sampai 37 hari. Periode birahinya rata-rata 4 sampai 6 hari. Tanda-tanda birahi kuda meliputi gelisah, ingin ditemani kuda lain, urinasi berulang kali serta pembengkakan dan pergerakan vulva. Saat kawin ovulasi terjadi pada saat-saat akhir periode estrus. Telur yang dihasilkan dapat hidup selama 6 jam sedangkan sperma pejantan dapat bertahan hidup sekitar 30 jam dalam saluran reproduksi betina. Rata-rata masa kebuntingan kuda 335 hari dengan kisaran 315 sampai 350 hari. Pemeriksaan kebuntingan dapat dilakukan dengan melakukan palpasi rectal sekitar 60 hari setelah kawin. Tanda-tanda awal kelahiran berupa membesarnya ambing, otot-otot vulva berelaksasi, ligamentum pelvis berelaksasi, menjauhi kuda lain (menyendiri ), gelisah. Perilaku kawin kuda sangat berbeda dari hewan lain. Kuda bertanggung jawab atas segalah sesuatu dalam reproduksi, termasuk periode kehamilan, laktasi, kelahiran dan siklus estrus. Kuda memiliki dua ovarium dari 7-8 cm panjangnya. Seorang peternak kuda harus mengetahui
siklus reproduksi ternak kudanya. Kuda betina dan kuda jantan pasangan satu sama lain pada waktu tertentu dan kesempatan. Perilaku perkawinan kuda menunjukkan bahwa mereka tidak biasanya pasangan dalam lingkungan sosial. Kuda-kuda membutuhkan banyak ruang terbuka untuk pasangan. Perkembangbiakan kuda sangat berbeda dari perkawinan mereka. Persis seperti anjing, ketika kuda yang dibesarkan, maka pasangan dipilih dengan sangat hati-hati. Selain itu, pasangan ini dipilih dengan melihat kualitas dan sifat bahwa kuda telah. Sifat-sifat kuda dalam kombinasi dari sifat-sifat kuda betina itu adalah apa yang membuat pasangan ideal untuk terjadi. Dalam lingkungan alam, kuda bisa kawin dengan mudah. Dalam penangkaran, mungkin diperlukan waktu beberapa hari untuk satu pasang kuda untuk kawin. Karena lingkungan yang terkendali, menjadi lebih sulit bagi kuda-kuda untuk kawin. Namun, salah satu ciri klasik dari hewan kuda adalah bahwa ketika diperbolehkan untuk kawin pada mereka sendiri, mereka tidak salib berkembang biak. Ada beberapa jenis kuda dan berbagai macam warna di dalamnya. Hanya kuda pasangan dalam keturunan mereka. Ini juga bisa menjadi salah satu alasan untuk ragu dalam pemeliharaan dengan breeds lainnya. 3. Kambing
Tingkah laku reproduksi kambing ini menyangkut periode estrus (birahi) dan masa kawin yang paling baik untuk kambing. Beberapa tingkah laku atau ciri-ciri kambing betina dewasa sedang mengalami birahi antara lain:
Kambing mengembek (mengembik) lebih banyak dari biasanya walaupun pakan hijauan makanan ternak tersedia di dekatnya.
Kambing betina dewasa terlihat gelisah.
Kambing betina yang birahi sering menggesek-gesekkan badannya ke dinding kandang.
Vulva kambing betina membengkak dari biasanya. Dalam hal ini peternaklah yang dapat memantau secara pasti sebab merekalah yang paling sering berinteraksi dengan kambing tersebut.
Vulva terlihat memerah atau lebih merah dari biasanya.
Kambing betina yang sedang birahi akan tenang bila didekati pejantan (bandot). Terkadang ada beberapa kambing betina akan menganjak (menaiki) kawanan kambing didekatnya.
Tingkah laku kambing yang sedang birahi lainnya yang paling sering terlihat adalah menurunnya nafsu makan. Sebenarnya bila memelihara kambing betina dan jantan sekaligus dalam satu kandang, pola dari tingkah laku reproduksi ini tidak terlalu penting. Namun bila peternak kambing ingin mengembang biakkan kambing dengan inseminasi buatan (Artificial insemination) maka perilaku birahi pada kambing harus dipahami sedetai mungkin. Sebab 75 % tingkat keberhasilan dari inseminasi ternak kambing maupun inseminasi sapi bergantung pada penentuan masa birahi yang tepat. Selain dari menentukan birahi pada kambing peternak juga sebaiknya mengetahui lama masa birahi dan lama periode satu birahi ke estrus lainnya. hal ini penting agar masa reproduksi dapat diatur seoptimal mungkin. Babi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa introduksi pejantan ke sekelompok babi betina yang sebelumnya tidak berkontak dengan pejantan, merangsang dan menyebabkan sebagian babi betina tersebut berahi pada umur 4 bulan. Betina yang berahi biasanya adalah agresor pencari pejantan. Bila mereka bertemu, tingkah laku kawin dan bercumbu sampai kopulasi, terlihat perilaku kopulasi sebagai berikut :
Kontak cungur ke cungur.
Pejantan mencium alat kelamin betina (vulva).
Betina mencium alat kelamin jantan (penis).
Kontak kepala ke kepala, lagu bercanda, pejantan menggerut dan mulut berbuih dan kencing secara ritmik.
Pejantan berusaha menaiki betina tetapi betina menolak.
Pejantan berusaha meraih betina
Betina memperlihatkan respons tak bergerak (immobilitas).
Pejantan naik dan berkopulasi, perkawinan berlangsung 10 – 20 menit.
Peranan pejantan merangsang sikap mau kawin dari betina sangat penting. Sekitar 50% betina berahi biasanya akan berespons terhadap “uji naik” oleh pemelihara. Respons ini meningkat melampaui 90% bila pejantan hadir, atau bau pejantan tercium ataupun kehadiran pejantan terdengar oleh betina berahi. Ludah pejantan mengandung senyawa berbau yang merangsang betina berahi untuk menunjukkan sikap sedia kawin. Ejakulasi betina biasanya didepositkan melalui corong serviks uterus yang sedang relax. Pada saat perkawinan kelenjar pituitary betina mengeluarkan hormone oksitoksin yang menimbulkan kontraksi ritmik uterus. Kontraksi ini membantu transportasi sel-sel sperma ke tuba fallopi untuk menunggu pengeluaran ovum dari folikel yang masak. Setelah mencapai pubertas, biasanya babi betina menunjukkan berahi, atau estrus, setiap 18- 22 hari ( rata-rata 21 hari) kecuali siklus ini disela oleh kebuntingan atau kelainan reproduksi.
BAB III KESIMPULAN
Perilaku kawin pada hewan-hewan merupakan hal yang paling kompleks, tapi paling banyak menarik perhatian para ahli. Bagi hewannya sendiri harus dianggap paling penting karena tanpa perkawinan, jenisnya tidak mungkin bertahan. Upaya peningkatan populasi ternak sapi dapat dilakukan dengan intensifikasi kawin alam melalui distribusi pejantan unggul terseleksi dari bangsa sapi lokal atau impor dengan empat manajemen perkawinan, yakni: 1. perkawinan model kandang individu 2. perkawinan model kandang kelompok/umbaran 3. perkawinan model rench (paddock) 4. perkawinan model padang pengembalaan Setiap hewan memiliki ciri perilaku kawin yang berbeda-beda dengan jenis hewan lainnya, baik dari cara percumbuannya maupun dari system perkawinannya
DAFTAR PUSTAKA
Toelihere, M.R.1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak . Angkasa, Bandung Campbell, 2004. Biologi Jilid III . Erlangga Rival, M.D. dan P.J. chenoweth. 1982. Libido Testing of Ram. Animal production in Australia. proceeding of the Australian Society of Animal Production volume 143. Soenaryo.1998. Fertilitas dan Infertilitas Pada Sapi Tropis. CV baru, Jakarta Hastono, I.G.M. dkk. 1997. Pengaruh Umur Terhadap Kinerja Seksual Pada Kambing Jantan Peranakan Etawah. Prosiding seminar nasional peternakan dan veteriner Bogor jilid 2. Devandra dan Burn. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan Harya Putra. ITB Bandung. Hal 117-120 Edward, O. dkk. 1992. Measures of Libido and Their Relation to Serving Capacity in The Ram. J. Anim sci. 1992.30:3776-3780 Edward, O. dkk. 1996. Pepeaten Mating With Individual Ewes by Rams Differing in Sexual Performance. J. Anim sci. 1996.74:542-544
MAKALAH REPRODUKSI TERNAK PERKAWINAN ALAM
KELOMPOK 6 RULLY AGUNG NUGRAHA
200110130242
ABDUL RAHMAN
200110130249
ALDILLA RIFQI M
200110130250
CITRA FARADITA UTAMI
200110130273
INDRA PERMANA
200110130274
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN SUMEDANG 2014