ANALISIS ANALISIS PEMBATALAN KEPAILITAN P.T. ISTAKA KARYA (PERSERO) DALAM PUTUSAN KASASI : NOMOR 124 K/PDT.SUS/2011 OLEH MAHKAMAH AGUNG DALAM PUTUSAN NOMOR : 142 PK/PDT.SUS/2011 DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN P.T. Istaka Karya (Persero) merupakan Badan Usaha Usa ha Milik Negara (BUMN) yang sahamnnya 100% dimiliki Departemen Keuangan. Perusahaan tersebut bergerak di bidang kepentingan publik. P.T. Istaka Karya (Persero) mempunyai utang kepada P.T. Japan Asia Investment Company (selanjutnya disebut JAIC) Indonesia. Karena dianggap P.T. P .T. Istaka Karya (Persero) tidak mempunyai itikad baik untuk membayar utang berikut bunganya, maka P.T. JAIC Indonesia mengajukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan permohonannya dikabulkan, namun ditingkat banding kalah sehingga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Agung menghukum P.T. Istaka Karya untuk membayar utang. Walaupun telah ada putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, namun P.T. Istaka Karya (Persero) tetap tidak melaksanakan kewajibannya, sehingga perusahaan tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk dipailitkan akan tetapi permohonan tersebut ditolak. P.T. JAIC Indonesia akhirnya mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung Keputusan Perdata Khusus Mahkamah Agung nomor : 124 K/PDT.SUS/2011 tanggal 22 Maret 2011 mengabulkan gugatan pailit PT.Istaka Karya (Persero), namun demikian Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan yang bertentangan yaitu Keputusan Perdata Umum Nomor : 678 PK/PDT/2010 tanggal 22 Maret 2011 yang keputusannya mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) P.T. Istaka Karya (Persero) dan menolak tuntutan utang P.T. JAIC. Berdasarkan uraian tersebut, yang menjadi masalah hukum adalah Alasan Hukum Apakah Mahkamah Agung Membatalkan Kepailitan P.T. Istaka Karya Dalam Putusan Nomor 142 PK/Pdt.Sus/2011 Apakah Akibat Hukum Pembatalan Kepailitan P.T. Istaka Dalam Putusan Nomor 124/K/PDT.SUS/2011 Oleh Mahkamah Agung Dalam Putusan Nomor 142 PK/Pdt.Sus/2011. Metode analisis data yang digunakan adalah konstruksi hukum terhadap ketentuan-ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU), Pasal 1 ayat (1), Pasal 50 UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara . P.T. Istaka Karya termasuk dalam kategori yang diatur d iatur dalam Pasal 2 ayat (5) UUKPKPU,
Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam pertimbangannya mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh P.T. Istaka Karya (Persero) dikarenakan kepemilikan Negara dalam P.T. Istaka Karya (Persero) adalah 100% dengan mengacu kepada Pasal 50 UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS DAN KASUS POSISI A. Latar Belakang Pemilihan Kasus Badan Usaha Milik Negara adalah unit usaha yang membawa nama besar bangsa. Nama besar bangsa dan pemerintahan suatu negara juga akan sangat terpengaruh oleh kemampuan BUMN untuk bersaing dalam kancah bisnis nasional maupun internasional . korporasi-korporasi berbentuk BUMN tersebut sebagian bergerak di bidang kepen tingan publik dan menghimpun dana dari masyarakat.di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU) dibuatlah pengecualian dalam Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan yang merumuskan: “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana
Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”. Selanjutn ya
apabila kita melihat penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan diperoleh rumusan berikut: “…Yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik” adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham…”
Ketentuan tersebut jelas akan menimbulkan pertanyaan: BUMN manakah yang bisa dipailitkan secara langsung dan tidak terikat dengan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan? ) pengecualian yang diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan merujuk pada BUMN yang berbentuk Perum dimana kepemilikannya tidak terbagi atas saham dan bergerak dibidang kepentingan publik. Apabila BUMN berbentuk Perum tersebut dapat secara langsung dipailitkan oleh krediturnya akan mengakibatkan keguncangan masyarakat akibat tidak tersedianya layanan publik. Layanan publik seharusnya dijalankan oleh perusahaan BUMN berbentuk Perum. Ini sejalan dengan filosofi pengecualian bentuk-bentuk usaha tertentu seperti perbankan, asuransi, dana pensiun sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU Kepailitan. Pada dasarnya UU Kepailitan tidak membedakan kepailitan berdasarkan kepemilikian. UU Kepailitan hanya mendeskripsikan debitur yang dapat dipailitkan menjadi dua, yaitu orang
perorangan (pribadi), dan badan hukum. Artinya, baik orang perorangan, maupun badan hukum dapat dinyatakan pailit. Membicarakan konsep kepailitan bagi BUMN, maka tidak boleh dibedakan antara kepailitan terhadap badan hukum privat dan badan hukum publik seperti BUMN. Baik BUMN yang berbentuk Persero, maupun Perum dapat dipailitkan sebagaimana layaknya badan hukum privat dapat dipailitkan. Pertama karena UU Kepailitan tidak membedakan antara kapasitas badan hukum publik BUMN dengan badan hukum privat, kedua, karena dalam pengaturan mengenai BUMN sendiri, dimungkinkan terjadinya kepailitan bagi BUMN baik Persero sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998, maupun Perum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1998 ). BUMN merupakan pelaku ekonomi terbesar dalam sistem perekonomian nasional, selain swasta dan koperasi. Namun, tidak sedikit BUMN, khususnya Persero yang sedang mengalami kesulitan keuangan dan akhirnya berdampak buruk secara terus-menerus bagi banyak pihak. Di pengadilan negeri dan pengadilan niaga misalnya, telah banyak gugatan pailit terhadap BUMN. Namun, ketika syarat gugatan sudah terpenuhi dan pengadilan telah memutuskan, mengapa ujungujungnya tidak satupun yang jadi dinyatakan pailit? “Seandainya dinyatakan pailit di pengadilan
niaga, bisa jadi dibatalkan di tingkat kasasi, atau seandainya dikabulkan di tingkat kasasi, akan dibatalkan di tingkat peninjauan kembali ). Salah satu BUMN khususnya Persero yang saat ini sedang mengalami kesulitan keuangan adalah P.T. Istaka Karya. Perusahaan BUMN Persero tersebut dipailitkan oleh P.T. Japan Asia Investment Company (selanjutnya disebut JAIC) Indonesia. P.T. JAIC Indonesia menganggap pihak Istaka Karya tidak punya itikad baik untuk memenuhi pembayaran utang, sehingga pada bulan Juli tahun 2006 melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan P.T. JAIC Indonesia menuntut agar P.T. Istaka Karya membayar utang pokok pembayaran surat utang atas tunjuk sebesar US$5,5 juta, ditambah bunga US$2 juta. Pengadilan pun akhirnya mengabulkan gugatan JAIC Indonesia dan memerintahkan Istaka Karya untuk melunasi semua utang plus bunga. Kalah di tingkat pertama, P.T. Istaka Karya mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi (selanjutnya disebut PT) DKI Jakarta dan PT memenangkan P.T. Istaka Karya. Namun di tingkat Mahkamah Agung, P.T. Istaka Karya kembali menjadi pihak yang kalah karena Makamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara antara kedua perusahaan soal pelunasan utang dan Mahkamah Agung
dalam putusannya tertanggal 9 Februari 2009 memerintahkan P.T. Istaka Karya untuk melunasi utang senilai US$ 7,645 juta kepada P.T. JAIC Indonesia. ). Namun, P.T. Istaka Karya tidak kunjung melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang menghukum P.T. Istaka Karya untuk melunasi total utang sebesar US$ 7,645 juta itu dengan sukarela walaupun Pengadilan Jakarta Selatan telah melakukan teguran agar melaksanakan putusan Mahkamah Agung bahkan pada tanggal 10 Desember 2010, Ketua Pengadilan Jakarta Selatan telah mengeluarkan Penetapan No.1097/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Sel yang mengabulkan permohonan sita eksekusi yang diajukan oleh JAIC terhadap aset-aset P.T. Istaka Karya namum tetap saja tidak melaksanakan putusan Mahkamah Agung. Mengacu kepada UUK yang menyatakan bahwa , suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit apabila memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh UU Kepailitan dan PKPU, yaitu debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Setiap kreditur (perorangan atau perusahaan) berhak mempailitkan debiturnya (perorangan atau perusahaan) jika telah memenuhi syarat yang diatur dalam UUK maka akhirnya pada tahun 2010, P.T. JAIC mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk mempailitkan P.T. Istaka Karya dan permohonan tersebut teregister di bawah Nomor 73/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Atas permohonan P.T. JAIC tersebut, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 16 Desember 2010 dalam putusannya menyatakan menolak permohonan P.T.JAIC Indonesia untuk seluruhnya. P.T. JAIC Indonesia mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak mempailitkan P.T. Istaka Karya. Dalam putusannya Nomor 124 K/Pdt.Sus/2011 tertanggal 22 Maret 2011 Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pailit Istaka Karya dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Namun putusan tersebut pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 142 PK/PDT.SUS/2011 pada tanggal 13 Desember 2011 atas permohonan Peninjauan Kembali P.T. Istaka Karya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk menuangkannya dalam tugas akhir yang berbentuk Study Kasus dengan judul: “ANALISIS PEMBATALAN KEPAILITAN
P.T. ISTAKA KARYA (PERSERO) DALAM PUTUSAN KASASI : NOMOR 124 K/PDT.SUS/2011 OLEH MAHKAMAH AGUNG DALAM PUTUSAN NOMOR : 142 PK/PDT.SUS/2011 DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG B. Kasus Posisi. PT. Istaka Karya (Persero) rnerupakan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi umum. Awalnya, PT Istaka Karya bernama P.T. Indonesian Consortium of Construction Industries (selanjutnya disebut ICCI). Perusahaan ini berdiri atas 18 (delapan belas) perusahaan konstruksi besar di Indonesia. Keseriusan dalam menangani bidang konstruksi telah terbukti. Pada tahun 1985, perusahaan gabungan ini mencatat berbagai prestasi. PT ICCI pun berhasil menangani berbagai proyek di Saudi Arabia dengan nilai US $ 300 juta. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dan sumber daya manusia yang dimiliki pada tanggal 1 April 1986, Pemerintah memutuskan, perusahaan konsorsium dalam wadah P.T. ICCI (Persero) dilebur dan berganti nama menjadi P.T. Istaka Karya (Persero). Bentukan perusahaan baru tersebut berdiri secara sah dengan diterbitkannya akte pendirian Nomor : 01 tahun 1986. Ketetapan pendirian juga diumumkan dalam Lembaran Negara pada tanggal 28 Agustus 1986, Nomor : 69. Segala keputusan itu merujuk pada peraturan pemerintah yang khusus dibuat untuk perusahaan-perusahaan milik pemerintah. Dalam perjalanan bisnis di dalam negeri, P.T. Istaka Karya (persero) berhasil menerapkan serta mengembangkan konstruksi berstandar international. Teknik-teknik manajemen penerapannya pun dioperasikan secara efesien dan computerize. Sehingga pengakuan dari nasional dan internasional diterima oleh P.T. Istaka Karya. Bukti pengakuan itu antara lain; pada tahun 1997, PT Istaka Karya (Persero) mendapat sertifikat Sistem Jaminan Mutu ISO-9002 dari SGS ICS United Kingdom, Kemudian diperbarui pada 2003 rnenjadi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001;2000. Pada 2002, Presiden RI menyerahkan Medali Perak dalam bidang Sistem Mana)emen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).Tak hanya itu, P.T. Istaka Karya (Persero) pada tahun 2008 mernperoleh pengakuan dalam penerapan Sistem Manajemen OHSAS¬18001;2007 dan lingkungan ISO-14001:2004 dari WQA. Sebagai kontraktor umum. PT.Istaka Karya (Persero) mengelola berba gai jasa konstruksi antara lain : Perencanaan, Pelaksanaan dan produk-produk inovatif lainnya¬. ) Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang Jasa Konstruksi yang sahamnya, 100%
dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia saat ini sedang dalam kondisi kritis (Pailit). Adanya Putusan Pailit Mahkamah Agung Nomor : 124 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 22 Maret 2011 yang mengabulkan tuntutan P.T. JAIC Indonesia. Keputusan pailit sebagai akibat dari kesalahan Manajemen dalam mengelola perusahaan karena prinsip – prinsip dasar Good Corporate Governance (GCG) tidak diterapkan dan dilaksanakan dengan benar. Fungsi Pengawasan dan Control (audit) dari Kementerian BUMN terhadap kinerja Perusahaan juga tidak dijalankan sebagaimana mestinya sehingga amanat dalam Anggaran Dasar sesuai maksud dan tujuan Perseroan tidak tercapai. JAIC Indonesia adalah bagian dari JAIC Co, Ltd, perusahaan investasi di Jepang. JAIC Co, Ltd berdiri sejak 1952 dan menginvestasikan dananya pada sekira 152 perusahaan di Jepang dan Asia. Menurut website JAIC Indonesia, total investasi induk perusahaannya mencapai sekira 74 juta yen. Sebagian diinvestasikan pada perusahaan yang terdaftar di lantai bursa beberapa negara. Sedangkan JAIC Indonesia didirikan pada bulan Juni 1998. Perusahaan ini bergerak pada bidang investasi. Dana pada perusahaan diinvestasikan pada perusahaan yang memiliki pertumbuhan tinggi dan bukan berstatus perusahaan terbuka. Investasi yang dipilih berupa saham, convertible bonds dan instrumen lain. Sengketa bisnis antara P.T. JAIC Indonesia dengan P.T. Istaka Karya bermula dari utang. Utangnya dalam bentuk Commercial Paper (CP), yaitu ketika pada tanggal 9 Desember 1998 P.T. Istaka Karya menerbitkan 6 (enam) negotiable promissory notes-bearer ( surat sanggup atas unjuk) dengan nilai totalnya mencapai US$ 7,5 juta atau setara dengan Rp 69,072 miliar dan jatuh tempo pada tanggal 8 Januari 1999. Akan tetapi, ketika telah jatuh tempo P.T. Istaka Karya tidak memenuhi kewajibannya. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2000, P.T. Istaka Karya melakukan pembayaran surat utang senilai US$ 2 juta kepada Indover Bank sebagai taangan pertama pemegang surat berharga tersebut, sehingga CP yang tersisa sebesar US$ 5,5 juta. Adapun, CP tersebut jatuh tempo pada 2002. Surat berharga tersebut diterbitkan dalam bentuk atas unjuk. Artinya penerbit harus membayar kepada pembawa surat. P.T. JAIC Indonesia mengklaim, bahwa CP beralih ke tangannya pada tahun 2006 dan P.T. JAIC Indonesia merupakan tangan ke empat pemegang surat berharga tersebut. P.T. JAIC Indonesia telah menunjukan memiliki surat berharga tersebut. Selain Indover Bank, P.T. Istaka Karya memiliki kreditur lain yaitu P.T. Saeti Concretindo
Wahana, P.T. Saeti Beton Pracetak, P.T. Bank Syariah Mandiri, P.T. Bank Bukopin Tbk, dan P.T. Bank International Indonesia Tbk. Kepada kelima kreditur ini, kewajiban selalu dibayarkan oleh perseroan. Sementara P.T. JAIC Indonesia , tidak mendapat pembayaran dari P.T. Istaka Karya walaupun telah menunjukan memiliki surat berharga tersebut, akan tetapi P.T. Istaka Karya tetap tidak memenuhi kewajibannya walaupun telah jatuh tempo. ). Karena itu, PT JAIC Indonesia selaku pihak yang memegang surat berharga melayangkan gugatan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada bulan Juli tahun 2006 agar membayar utang pokok sebesar US$ 7,6 juta ditambah bunga sebesar US$ 2 juta. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan P.T. JAIC Indonesia dan memerintahkan P.T. Istaka Karya untuk melunasi semua utang berikut bunganya. Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, P.T. Istaka Karya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan P.T. Istaka Karya. Namun P.T. JAIC Indonesia mengajukan kasasi dan majelis kasasi mengabulkan permohonan kasasi dari PT JAIC Indonesia dalam putusannya Nomor : 1779K/Pdt/2008 tanggal 9 Februari 2009 Majelis kasasi menghukum Istaka selaku tergugat untuk segera melunasi utang tertunggak dengan seketika dan sekaligus kepada penggugat sebesar AS$7,645 juta pada JAIC Indonesia. Putusan tersebut, dilanjutkan dengan keluarnya Surat Penetapan Eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.1097/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Sel tertanggal 29 Juli 2010 dan sejumlah asset Istaka telah disita eksekusi oleh pengadilan, termasuk saham Istaka di anak perusahaannya (antara lain PT Ismawa Trimitra). Pihak JAIC Indonesia telah mengingatkan P.T. Istaka Karya untuk segera melunasi kewajiban bahkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 11 Agustus 2010, telah memanggil P.T. Istaka Karya untuk diberikan teguran/peringatan (aanmaning) agar melaksanakan putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap. mengingatkan P.T. Istaka Karya untuk segera melunasi kewajiban. Namun, permintaan secara persuasif tersebut, tidak dijawab oleh pihak P.T. Istaka Karya. Karena itu, pihak JAIC Indonesia meminta Deputi Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik, Kementerian BUMN mengambil tindakan agar Istaka segera memenuhi kewajiban secara sukarela. Namun P.T. Istaka Karya tetap tidak mau secara sukarela memenuhi putusan itu. Merujuk kepada putusan Mahkamah Agung Nomor : 1779K/Pdt/2008 tanggal 9 Februari 2009,
penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1097/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Sel tertanggal 29 Juli 2010 dan telah dilakukan teguran (aanmanng) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pihak P.T. JAIC Indonesia telah berusaha mengingatkan P.T. Istaka Karya bahkan telah mengirimkan surat kepada Kementerian BUMN melalui Deputi Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik akan kwajibannya untuk membayar seluruh utangnya, maka P.T. JAIC Indonesia mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang teregister dalam gugatan Nomor : 73/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST agar mempailitkan P.T. Istaka Karya karena BUMN ini dianggap tidak melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan perusahaan itu membayar kewajibannya sebesar US$ 7,645 juta sebagaiman disebutkan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor : 1779K/Pdt/2008 tanggal 9 Februari 2009. Untuk terpenuhinya syarat-syarat permohonan pailit sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, P.T. JAIC Indonesia juga menyertakan beberapa kreditur lainnya , antara lain P.T. Saeti Concretindo Wahana, P.T. Saeti Beton Pracetak, P.T. Bank Syariah Mandiri, P.T. Bank Bukopin Tbk, dan P.T. Bank International Indonesia Tbk. Kuasa Hukum P.T. JAIC Indonesia Tony Budidjaja, dalam persidangan di Pengadilan Niaga Jakrta Selatan menyatakan bahwa P.T. Istaka Karya sebagai BUMN Persero dapat dinyatakan pailit menurut UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang karena ada fakta yang sangat jelas bahwa P.T. Istaka Karya telah tidak membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada sejumlah krediturnya, termasuk P.T. JAIC Indonesia. P.T. JAIC Indonesia menilai kekayaan atau aset P.T. Istaka Karya bukan merupakan aset negara, melainkan aset P.T. Istaka Karya sendiri. Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung (Rakernas MA) 2010 pun telah menegaskan bahwa harta kekayaan BUMN dapat disita oleh pengadilan. Kuasa Hukum P.T. Istaka Karya Taufik Hais dalam persidangan mengajukan 12 bukti yang semuanya mendukung dalil-dalil penolakan pailit P.T. Istaka Karya melawan permohonan P.T. JAIC Indonesia. Dalam perlawanannya dipersidangan Kuasa Hukum P.T. Istaka Karya mengacu kepada ketentuan Pasal 2 ayat 5 UUKepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa : “perusahaan BUMN dapat diajukan kepailitan jika hanya diajukan oleh Menteri Keuangan” dan P.T. Istaka
Karya merupakan BUMN yang seluruh atau sebagian sahamnya dimiliki oleh negara juga membatntah mempuyai utang, dengan dasar bahwa apabila P.T. staka Karya mempunyai utang kepada P.T. JAIC Indonesia tentunya dari awal P.T. Istaka Karya alan mengajukan PKPU. Dan
karena selama persidangan P.T. JAIC Indonesia tidak mampu menghadirkan para kreditur, P.T. JAIC Indonesia memang mengajaukan bukt adanya kreditur lain, akan tetapi hanya berupa fotocopy saja, maka Pengadilan Niaga Jakarta Pusat akhirnya menolak permohonan P.T. JAIC Indonesia. Dalam putusannya yang dibacakan pada hari Kamis tanggal 16 Desember 2011 majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan pemohon (P.T. JAIC Indonesia) untuk seluruhnya. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai P.T. JAIC selaku pemohon tidak dapat membuktikan dalil permohonannya sesuai yang disyaratkan dalam UU Kepailitan dan PKPU dan mengacu pada bukti P.T. Istaka Karya dan surat dari Menteri Keuangan tertanggal 24 November 2010 yang menjelaskan bahwa P.T. Istaka Karya merupakan 100% sahamnya dimiliki negara. “Sehingga perusahaan itu dapat dikategorikan dalam Pasal 2 ayat 5 UU kepailitan”.
Dalam pasal tersebut disebutkan perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan umum, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Disamping itu perusahaan itu sejauh ini masih eksis dan potensial di bidang jasa konstruksi, memberikan kontribusi pada pendapatan pajak negara, serta sebagai perusahaan yang membuka lapangan kerja dengan mempekerjakan 700 orang karyawan dan lebih dari 1.000 orang tenaga outsourcing lainnya. P.T. JAIC Indonesia melalui kuasa hukumnya mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan yang menolak mempailitkan Istaka karena adanya surat dari Kementerian BUMN. P.T. JAIC Indonesia keberatan atas adanya surat dari Kementerian BUMN yang menyatakan Istaka Karya adalah perusahaan potensial yang memberikan kontribusi positif kepada negara. Menurutnya, adanya surat dari Kementerian BUMN tersebut merupakan bentuk intervensi yang tidak sepatutnya dilakukan oleh Kementerian Negara BUMN dalam proses perkara kepailitan yang sedang berjalan. "Kementerian Negara BUMN seharusnya tidak melakukan intervensi atau halhal yang dapat mempengaruhi kemandirian lembaga peradilan, apalagi bila hal itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak diperkenankan hukum," Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor : No.124 K/Pdt.Sus/2011 pada tanggal 22 Maret 2011 mengabulkan kasasi yang diajukan oleh P.T. JAIC Indonesia dalam perkara permohonan untuk mempailitkan terhadap PT Istaka Karya (Persero). Dengan dikabulkannya permohonan kasasi tersebut, maka membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.73/PAIL IT /2010 /PN.JKT.PST tanggal 16 Desember 2010 yang menolak permohonan pailit oleh P.T. JIAC
Indonesia. Dan dengan adanya putusan MA tersebut maka Istaka secara hukum telah dinyatakan pailit. Oleh karenanya, P.T. Istaka telah kehilangan haknya untuk mengurus harta kekayaannya. Majelis kasasi yang dipimpin Atja Sondjaja dengan dua hakim anggota I Made Tara dan Dirwoto dalam amar putusannya menyatakan mengadili sendiri dengan menerima permohonan termohon, yaitu P.T. JAIC Indonesia. Lalu, menyatakan PT Istaka Karya (persero) pailit dengan segala akibat hukumnya. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis beranggapan bahwa kendati P.T. Istaka Karya merupakan Badan Usaha Milik Negara, tapi hal tersebut tidak menghalanginya dari ancaman pailit. Hal ini karena P.T. Istaka Karya merupakan “persero” atas saham yang dimiliki
negara. Karena itu, P.T. JAIC Indonesia berhak menuntut kepailitan terhadap PT Istaka Karya. Majelis kasasi menyatakan berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan yang dapat mengajukan kepailitan terhadap BUMN adalah hanya menteri keuangan. Namun, mengenai hal itu majelis kasasi menilai, dalam BUMN terdapat dua badan hukum yaitu Persero dan Perum. Ditegaskan, yang dimaksud BUMN adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. Sedangkan BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham adalah Perum (Pasal 1 ayat (4) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN). Selain itu, syarat kepailitan lain berupa dua kreditor dan adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih juga telah terpenuhi dalam perkara tersebut. Kreditor lain dari P.T. Istaka Karya diantaranya adalah P.T. Bank Syariah Mandiri, P.T. Bank Bukopin Tbk, dan P.T. Bank Internasional Indonesia Tbk, P.T. Saeti Concretindo Wahana, dan P.T. Saeti Beton Pracetak. P.T. JAIC Indonesia memiliki piutang pada P.T. Istaka Karya sebesar AS$7,645 juta. P.T. Istaka Karya tidak dapat menerima kenyataan putusan Mahkamat Agung tersebut di atas. P.T. Istaka Karya terus melakukan beberapa upaya untuk menghadapi kepailitan tersebut diantaranya adalah mengajukan Peninjauan Kembali ,dengan diperkuat nofum baru berupa putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan PK perdata umum P.T. Istaka Karya yaitu pembebasan hutang Commmercial Papper (CP) terhadap P.T. JAIC Indonesia. Menurut Kuasa hukum P.T. Istaka Karya yang lain, Leonard Arpan Aritonang menambahkan kesalahan penerapan hukum itu terjadi, karena hakim tidak melihat ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Leonard menerangkan sudah terjadi daluarsa terhadap objek yang diperjanjikan, dan hak untuk melakukan penuntutan oleh pihak P.T. JAIC. Indonesia.
Berdasarkan Pasal 133 KUHD yang berbunyi : “Surat wesel yang ditarik sebagai wesel atas-
tunjuk harus dibayar pada waktu ditunjukkan. Surat wesel tersebut harus diajukan untuk dibayar dalam jangka satu tahun setelah hari tanggalnya. Penarik dapat memperpendek atau memperpanjang jangka waktu itu. para endosan dapat memperpendek jangka waktu itu” , Surat
Sanggup yang mejadi objek perkara sudah daluarsa. Sebab KUHD mengatur daluarsa surat sanggup adalah setahun sejak utang itu jatuh tempo seperti yang disebutkan pada Pasal 169 KUHD yang berbunyi : “Semua tuntutan hukum yang timbul dari surat wesel terhadap akseptan, kadaluwarsa karena lampaunya waktu tiga tahun, terhitung dari hari jatuh temponya”, sedangkan
utang P.T. Istaka kepada P.T. JAIC Indonesia jatuh tempo pada tahun 1999. Namun, sejak 1999 hingga 2000, P.T. JAIC Indonesia tidak pernah menagih PT Istaka. Sementara segala penuntutan hukum terhadap suatu surat sanggup, seharusnya sudah daluarsa sejak tiga tahun setelah utang jatuh tempo. Artinya, PT JAIC berhak melakukan gugatan hingga tahun 2002. Kenyatannya, PT JAIC baru melakukan gugatan lebih dari 7,5 tahun setelah utang jatuh tempo sejak tahun 1999. Selanjutnya Leonard menyatakan , yang diatur KUHD adalah wesel, namun Traktat Genewa 7 Juni 1930, mengatur bahwa pengaturan dalam Pasal 133 dan Pasal 169 di atas juga berlaku untuk Surat Sanggup. Leonard menganggap, tidak diberlakukannya daluarsa dalam perkara ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasalnya, semakin lama gugatan dilayangkan, perhitungan bunga dan denda akan semakin besar. Sementara, Istaka membutuhkan kepastian mengenai berapa jumlah yang harus dibayar. Atas dasar alasan-alasan hukum tersebut di atas, P.T. Istaka Karya melalui kuasa hukumnya mengajukan PK dan telah mengajukan bukti baru (novum) mengenai putusan MA di tingkat yang sama dalam perkara utang piutang yang melibatkan Istaka dan P.T. JAIC Indonesia. Dalam pemeriksaan tingkat PK Mahkamah Agung, akhirnya mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali (selanjutnya disebut PK) yang diajukan P.T. Istaka Karya dalam perkara pailit melawan P.T. JAIC Indonesia. Perkara yang terdaftar pada No.142 PK/PDT.SUS/2011 tersebut, telah diputus pada tanggal 13 Desember 2011 dengan susunan anggota majelis hakim yang terdiri dari Rehngena Purba, Muhammad Taufik, dan Mohammad Saleh. Berdasarkan putusan PK atas perkara utang piutang tersebut, MA mengabulkan upaya hukum yang diajukannya dan menyatakan bahwa Istaka tidak terbukti memiliki utang terhadap P.T. JAIC Indonesia. Sebelumnya, P.T. Istaka Karya mengajukan PK karena menilai putusan MA yang memailitkan
salah satu perusahaan negara di bidang konstruksi bangunan tersebut berbenturan dengan putusan PK dalam perkara wanprestasi di PN Jakarta Selatan. Atas perkara tersebut, MA sempat menyatakan Istaka Karya terbukti melakukan wanprestasi dan diharuskan membayar utangnya kepada JAIC. Namun dalam putusan PK, MA memenangkan P.T. Istaka Karya . Proses kepailitan Istaka sendiri saat ini tinggal menunggu penetapan majelis hakim atas perdamaian yang telah disepakati para kreditur. P.T. Istaka Karya telah lolos dari pailit setelah 80,6 persen kreditur menyetujui proposal perdamaian yang dibuat salah satu perusahaan konstruksi milik negara tersebut. 1. Debitur adalah pihak yang berhutang kepada pihak lain yang dijanjikan untuk dibayar kembali pada masa yang akan datang. Pihak lain yang menghutangi ini biasa disebut sebagai kreditur. Dalam konteks perbankan biasanya dalam melakukan hutang atau peminjaman seorang debitur memerlukan agunan atau jaminan. 2. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi, memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor 3. Insolvensi adalah insolvensi disebut sebagai keadaan tidak mampu membayar. Jadi insolvensi itu terjadi (demi hukum) jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar. 4. Perseroan Terbatas adalah perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal.