LAPORAN PRAKTIKUM TAKSONOMI HEWAN VERTEBRATA MORFOLOGI DAN KUNCI DETERMINASI AVES OLEH :
NAMA NO BP KELOMPOK ANGGOTA
: FAUZIAH : 1010421012 : I (SATU) : 1. LEO DARMI 2. INTAN PRAMITA 3. SHYNTIA HARSARI 4. EMIL SAPUTRA YARTA
(1010423010) (1010423014) (1010423036) (1010423044)
ASISTEN PENDAMPING : NADIA BUDIANA INDA DWI SOLINA
LABORATORIUM TAKSONOMI HEWAN JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG, 2012
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keanekaragaman jenis hayati di Indonesia yang terhimpun dalam ekosistem hutan tropika mulai dari ekosistem pantai hingga ekosistem pegunungan, jumlahnya mencapai 47 tipe ekosistem. Dengan berbagai keanekaragaman hayati yang berbeda dan latar belakang demikian, dunia menetapkan Indonesia sebagai Negara Megabiodiversiti (Heriyanto dkk, 2008). Berdasarkan keragaman ekosistem dan jenis satwa endemik, Indonesia memiliki 515 jenis mamalia besar (39% endemik), 511 jenis reptil (29% endemik),1531 jenis aves (26% endemik), 270 jenis ampibi (37% endemik), 35 jenis primate (18% endemik), dan 121 jenis kupu- kupu (44% endemik) (BAPPENAS, 2003). Sumatera merupakan pulau dengan tingkat keendemikan aves paling rendah di antara pulau-pulau di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sejarah geologis pemisahannya dari dataran Asia. MacKinnon et. al (1998) menyatakan bahwa Sumatera memiliki 306 jenis aves (77%) yang juga terdapat di Kalimantan, 345 jenis (87%) yang juga terdapat di Semenanjung Malaya dan 211 jenis (53%) yang terdapat di Jawa. Sebanyak 583 jenis tercatat mendiami Pulau Sumatera, dengan 438 jenis (75%) merupakan jenis yang berbiak di Sumatera (Andrew, 1992). Jumlah ini meningkat menjadi 626 dan 450 jika digabungkan dengan jenis-jenis lain yang mendiami pulau pulau kecil di sepanjang s epanjang pantai Sumatera. Dua belas jenis dari d ari jenis aves di atas merupakan jenis aves yang endemik di dataran Sumatera (Marle & Voous, 1988). Tercatat sekitar 300 jenis aves dari 53 suku ditemukan di agroforest Sumatera selama 9 tahun terakhir (2002-2011). Jumlah tersebut mencakup 167 jenis ditemukan pada agroforest karet di Bungo, Jambi (Josi dkk., 2002 cit. Ayat, 2011), 103 jenis ditemukan pada agroforest kopi di Sumberjaya, Lampung Lampung (O’Connor dkk., 2005 cit. Ayat, 2011), 146 jenis di kawasan Sibulanbulan, Batang Toru, Sumatera Utara (Jihad, 2009 cit. Ayat, 2011) serta 142 jenis di kawasan agroforest Simalungun, Sumatera Utara dan sekitarnya (Ayat, 2011). Bila dibandingkan dengan kekayaan jenis aves di Pulau Sumatera dan Indonesia, kawasan agroforest di Sumatera memiliki 49,8% dari jenis aves Sumatera dan 18,8% dari jenis aves di Indonesia. Kehidupan burung sangat mudah terpengaruh keberadaannya oleh alih guna lahan yang sangat banyak terjadi akhir- akhir ini. Banyak hutan ditebang terutama untuk lahan- lahan
monokultur seperti perkebunan kelapa sawit dan karet. Hilangnya pohon hutan dan tumbuhan semak, menyebabkan hilangnya tempat bersarang, berlindung dan mencari makan berbagai jenis burung. Padahal, burung burun g memiliki peran penting dalam ekosistem antara lain sebagai penyerbuk, pemencar biji, dan pengendali hama. Burung juga seringkali digemari oleh sebagian orang dari suara dan keindahan bulunya (Ayat, 2011). Secara
teori,
keanekaragaman
jenis
burung
dapat
mencerminkan
tingginya
keanekaragaman hayati hidupan liar lainnya, artinya burung dapat dijadikan sebagai indikator kualitas hutan. Berbagai jenis burung dapat kita jumpai di berbagai tipe habitat, diantaranya hutan (primer/sekunder), agroforest, perkebunan (sawit/karet/kopi) dan tempat terbuka (pekarangan, sawah, lahan terlantar) (Ayat, 2011). 1.2
Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari morfologi dan identifikasi dari kelas aves, serta mengetahui klasifikasi dan pembuatan kunci determinasi dari masing-masing spesiesnya. 1.3
Tinjauan Pustaka
Aves berkembang dari reptilia, dan seperti reptilia, aves memiliki telur dengan kulit keras (Burnie, 2005). Nenek moyang aves adalah Archeopteriyx yang merupakan kombinasi sifat reptilia dan aves dan merupakan mata rantai perkembangan evolusi reptil dan aves yang tergambar melalui temuan fosil zaman Jurasic di daerah bavaria. Beberapa ahli menilai Archeopteryx Archeopteryx adalah aves purba dan ada pula yang berpendapat sebagai Dinosaurus berbulu, sebagai thermoinsulator yang diperlukan pada waktu terbang (Hickman, 2008). Aves adalah vertebrata yang hampir seluruhnya ditutupi bulu dan kakinya bersisik yang merupakan ciri mirip reptilia (Burnie, 2005). Bulu ini berguna untuk menghangatkan tubuh. 0
Suhu badan aves tetap, umumnya lebih tinggi dari pada mamalia yaitu diatas 40 C, sehingga memungkinkan aves tetap aktif bahkan di lingkungan yang dingin (Astuti, 2007). Paruh aves terbuat dari keratin (Abdurrahman, 2008). Suara dihasilkan oleh syrinx oleh syrinx yang terdapat pada dasar trachea, sebab aves tidak memiliki pita suara. Aves tidak memiliki gigi untuk mengunyah makanannya, tetapi memiliki tembolok (Abdurrahman, 2008). Tungkai muka pada aves
bermodifikasi menjadi sayap, sehingga aves dapat terbang. Bagian “lengan” bermodifikasi menjadi panjang, jari tengah memanjang untuk menyokong bulu terbang. Sebuah jari anterior terpisah untuk menyokong bulu alula yaitu bulu kecil yang merupakan bulu penting untuk gerakan aerodinamika. Jari posterior yang tereduksi menyokong jari tengah. Tungkai belakang pada aves dimodifikasi untuk berjalan dengan dua kaki kak i di tanah, atau untuk un tuk berenang berenan g pada aves yang berenang (hidup di air), atau kedua-duanya. Umumnya mempunyai mempunyai cakar, satu cakar mengarah ke belakang (hallux) (hallux),, dan tiga mengarah ke depan, sehingga bisa mencengkeram. Gelang bahu dan gelang panggul terspesialisasi dengan baik menunjang berat tubuh baik ketika berjalan,maupun terbang (Soesilawaty, 2012). Aves memiliki jantung beruang empat, tidak mempunyai diafragma. Aves bernapas dengan paru- paru dan kantung hawa (Astuti, 2007). Sistem kantung hawa yang berkembang dengan baik sangat membantu paru-paru untuk mengedarkan udara ke seluruh tubuh. Aves melakukan fertilisasi di dalam tubuh betinanya. Setelah difertilisasi, aves akan bertelur dan mengerami telurnya hingga menetas (Abdurrahman, 2008). Telur besar dengan kuning telur yang banyak dan dilindungi oleh cangkang kapur, amnion dan alantois yang terbentuk selama masa perkembangan. Pengeraman dilakukan oleh salah satu induk atau kedua induknya di dalam sarang. Setelah menetas anak-anaknya dipelihara oleh induknya (Soesilawaty, 2012). Aves adalah salah satu jenis satwa yang sangat terpengaruh keberadaannya akibat alih guna lahan hutan, terutama pada lahan- lahan monokultur seperti perkebunan kelapa sawit dan karet. Hilangnya pohon hutan dan tumbuhan semak, menyebabkan hilangnya tempat bersarang, berlindung dan mencari makan berbagai jenis aves. Aves memiliki peran penting dalam ekosistem antara lain sebagai penyerbuk, pemencar biji, pengendali hama. Sebab, ada beberapa jenis aves yang menghisap nektar, memakan biji, dan ada pula jenis aves yang memakan serangga (Anonimous a, 2012). Mengingat sangat bervariasinya makanan yang dikonsumsi oleh burung dalam studi ini maka keanekaragaman habitat sebagai sumber pakan burung menjadi sangat penting. Oleh sebab itu, maka konservasi dengan arah mempertahankan diversitas habitat yang ada sangat diperlukan. Demikian juga ketersediaan invertebrate serta buah sangat penting di dalam kaitan dengan kelestarian aves, karena sebagian besar burung di wilayah ini merupakan pemakan invertebrate dan buah ( Wirasiti dkk, 2004).
Aves juga seringkali digemari oleh sebagian orang dari suara dan keindahan bulunya, serta cara perkawinan yang menarik. Beberapa aspek pada aves seperti pola terbang,makanan dan kegiatan kawin tidak terlalu sulit untuk diamati. Aspek lain yang menarik adalah tingkahlaku aves, suara, siulan dan nyanyian yang indah yang sangat spesifik bagi tiap- tiap aves (Nurtikasari, 2009). Untuk membedakan spesies aves, ada istilah konvergensi. Konvergensi adalah kesamaan umum, tetapi memiliki kekhususan. Pertama, struktur dan warna paruh. Kedua, perbedaan kaki. Secara umum perbedaan kaki lebih konservatif daripada paruh karena itu lebih reliabel. Ketiga, filogeni. Umumnya filogeni aves yang didasarkan pada sifat alur bulu-bulu, bentuk tendon otot tungkai, protein pada albumin telur. Pembedaan melalui filogeni ini tidak dapat diandalkan untuk identifikasi sehari-hari di museum maupun untuk identifikasi di lapangan (Soesilawaty, 2012). Secara ekologi, Aves terbagi menjadi beberapa ordo. Burung- burung yang hidup di tanah antara lain ordo Casuariformes, Gruiformes, dan Galliformes. Burung- burung yang hidup di air tawar antara lain ordo Anseriformes dan Ciconiiformes. Burung- burung yang hidup di pantai termasuk ordo Charadriiformes. Burung- burung yang hidup di laut lepas, contoh ordo Pelecaniformes. Burung- burung yang hidup di pohon antara lain ordo Coulmbiformes, Psitaciformes, Cuculiformes, Coraciiformes, dan Piciformes. Burung- burung yang mencari makan di udara, contohnya antara lain ordo Apodiformes dan Caprimulgiformes. Burung burung penyayi termasuk ordo Passeriformes. Dan burung- burung yang berperan sebagai pemangsa terdiri dari dua ordo, yaitu Strigiformes dan Falconiformes (Saefudin, (Saefudin, 2012). Streptopelia chinensis memiliki nama daerah burung tekukur berada dalam jumlah yang melimpah di Indonesia. Spesie yang terdistribusi luas antara Asia Tenggara dan Sunda Kecil, serta Australia ini memakan biji- biji rumput terutama padi. Lonchura padi. Lonchura punctulata terdistribusi di wilayah India, Cina, Filipina, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Australia. Spesies ini memakan padi dan biji rumput, umumnya disebut bondol dada sisik. Pycnonotus aurigaster, disebut juga burung kutilang terdistribusi di wilayah China Selatan, Asia Tenggara, Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi. Spesies ini biasanya memakan buah- buahan kecil dan beberapa jenis serangga (Wirasiti dkk, 2004). Columba livia atau lebih dikenal sebagai burung merpati merupakan salah satu spesies dari famili Columbidae yang berasal dari Eropa, Afrika, dan Asia Tenggara dan terdistribusi secara luas di seluruh dunia (TN1, 2008 cit.
Nurtikasari, 2009). Spesies ini merupakan pemakan biji- bijian dan bersifat monomorfik. Gallus domesticus merupakan ayam lokal Indonesia turunan jenis Gallus gallus atau ayam hitam. Variasi warna spesiesnya sangat beragam dan banyak dipelihara oleh masyarakat. Anas domesticus merupakan itik lokal Indonesia turunan itik liar, Anas platyrhynchos. Spesies ini bersifat monomorfik antara jantan dan betinanya, banyak dipelihara untuk dibiakkan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi (BALITNAK, 2012).
II.
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum diadakan pada hari Kamis, 5 dan 12 April 2012, di Museum Zoologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas. 2.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah penggaris untuk mengukur spesimen. Bahan yang dipakai yaitu Lonchura yaitu Lonchura striata, Lonchura punctulata, Chloropsis cochinchinensis, Streptopelia chinensis, Pycnonotus aurigaster, Columba livia, Gallus domesticus dan Anas domesticus. 2.3 Cara Kerja
Objek diletakkan pada bak bedah dengan posisi kepala disebelah kiri. Objek yang akan diamati dipegang dengan cara menjepit lehernya di antara jari telunjuk dan jari tengah, kepalanya dijepit dengan jari manis dan kelingking, dan jari yang lain menggenggam tubuhnya, jangan terlalu keras karena bisa menyakiti burung. Perlakuan ini untuk mencegah agar burung tidak banyak bergerak, tidak mudah terbang dan memberi kenyamanan pada burung tersebut. Kemudian dilakukan pengukuran serta perhitungan terhadap karakteristik, yaitu sebagai berikut: panjang sayap, panjang tarsus, panjang paruh, panjang ekor, panjang total, warna tubuh, warna paruh, bentuk paruh, bentuk cakar, warna bulu ekor dan tipe ekor. Setelah itu digambar dan difoto masing- masing objek.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Columba livia Gmelin, livia Gmelin, 1789 Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Aves
Ordo
: Columbiformes
Famili
: Columbidae
Genus
: Columba
Species
: Columba livia Gmelin, livia Gmelin, 1789 (Heriyanto dkk, 2008)
Dari hasil pengukuran dan pengamatan pada Columba livia livia betina di peroleh hasil sebagai berikut, panjang total (PT) 277 mm, panjang paruh (PP) 20 mm, Panjang tarsus (PT) 27 mm, Panjang sayap (PS) 203 mm, Panjang ekor 99 mm, warna tubuh abu-abu coklat, warna paruh coklat pekat, bentuk paruh alpine swift, bentuk cakar bertengger, bulu ekor abu-abu, dan tipe ekor baji. Rata-rata ukuran panjang paruh yaitu 2,2 cm. Panjang ini tidak jauh berbeda dengan panjang paruh pada Columba livia yang praktikan amati yaitu 2,0 cm. Panjang total tubuh 34,1 cm. Panjang ini cukup berbeda dengan Columbia livia yang praktikan amati. Pada spesimen yang praktikan amati, didapati panjang ekor 9,9 mm. Sementara panjang ekor (caudal vertebrae) pada literatur yaitu 12,9 cm. Panjang sa yap kanan + kiri yaitu 26,9 cm. Pada Pa daColumba Columba livia yang praktikan amati didapatkan panjang salah satu sayapnya 20,3 cm. Juga tidak jauh berbeda dengan literatur (Nurtikasari, 2009). Ada dua jenis merpati, yaitu merpati liar dan merpati domestik. Merpati liar biasa hidup di daerah pantai atau hutan, sedangkan merpati domestik hidup di area urban. Panjang individu dewasa antara 29-36 cm dengan berat 265-380 gram dan panjang sayap 50-67 cm (Robbins et al., 1966 cit. Nurtikasari, 2009). Berdasarkan data ini, bisa disimpulkan bahwa merpati yang praktikan amati sudah dewasa. Merpati hanya memiliki satu pasangan sepanjang sep anjang hidupnya. Baik