LAPORAN HASIL INFESTIGASI KASUS KLB LEPTOSPIROSIS DI HOTEL PERADUAN KOTA BETA TAHUN 2009
TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN EPIDEMIOLOGI DI INSTITUSI
Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes Manado
Disusun oleh : Rojers W. Pomantow NIM : PO. 7171133008008 Lidiya Ratuliu NIM: ....................................
DEPARTEMEN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN DEPKES MANADO TAHUN 2009
Apakah Sebenarnya Penyakit Leptospirosis Itu ? Summary rating: 2 stars
(21 Tinjauan)
Kunjungan : 1557 Comments : 0 kata : 300
oleh : tedifa Pengarang : Teguh Vedder Diterbitkan di: Agustus 10, 2007
Penyakit Leptospirosis sesungguhnya tergolong zoonosis, yakni jenis penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia. Penyebabnya adalah bakteri leptospira, bakteri yang berbentuk panjang dan spiral, yang hidup dan berkembang biak di tubuh hewan. Hewan pengerat seperti tikus dan tupai, adalah hewan yang paling mudah terjangkiti bakteri ini. Namun, bukan tak mungkin hewan ternak seperti babi, ayam dan hewan peliharaan seperti burung, kucing dan anjing bisa terkena bakteri ini juga. Bakteri leptospira keluar bersama denga urine hewan dan masuk ke tubuh manusia melalui telapak kaki, selaput lender, mata, hidung, kulit luka atau terkena eksim, air, dan makanan. Begitu masuk ke aliran darah, dalam 4-10 hari, bakteri ini akan menyebar ke seluruh tubuh. Penyakit leptospirosis sering juga disebut penyakit demam banjir , padahal penyakit ini bisa muncul juga di musim kemarau. Memang, ketika banjir melanda, kemungkinan orang yang terinfeksi lebih banyak. Ini disebabkan bakteri leptospira bisa mengendap di tanah dan bertahan sampai hitungan bulan. Begitu ada banjir, bakteri yang mengendap di dalam tanah terbawa air dan menempel di lantai, dinding, perabot, dan benda-benda yang terkena banjir. Penyebab lain kenapa di saat banjir penyakit leptospirosis lebih mudah berjangkit adalah karena ketika banjir, sarang-sarang tikus terendam. Tikus pun akan segera mencari tempat yang aman. Pada saat tikus-tikus mengungsi kandung kemihnya yang lemah membuat urine lebih mudah berceceran di berbagai tempat. Pada kasus-kasus awal mungkin dokter tidak menduga ada leptospirosis, karena penyakit ini tidak lazim dan sering dikira penyakit kuning. Padahal, jika terlambat diobati, penyakit ini bisa merusak organ-organ seperti ginjal, hati dan otak. Oleh karena itu, cegahlah sedini mungkin dan waspadai gejala yang timbul.
Apakah Sebenarnya Penyakit Leptospirosis Itu ? Summary rating: 2 stars
Kunjungan : 1557
(21 Tinjauan)
Comments : 0 kata : 300
oleh : tedifa Pengarang : Teguh Vedder Diterbitkan di: Agustus 10, 2007
Penyakit Leptospirosis sesungguhnya tergolong zoonosis, yakni jenis penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia. Penyebabnya adalah bakteri leptospira, bakteri yang berbentuk panjang dan spiral, yang hidup dan berkembang biak di tubuh hewan. Hewan pengerat seperti tikus dan tupai, adalah hewan yang paling mudah terjangkiti bakteri ini. Namun, bukan tak mungkin hewan ternak seperti babi, ayam dan hewan peliharaan seperti burung, kucing dan anjing bisa terkena bakteri ini juga. Bakteri leptospira keluar bersama denga urine hewan dan masuk ke tubuh manusia melalui telapak kaki, selaput lender, mata, hidung, kulit luka atau terkena eksim, air, dan makanan. Begitu masuk ke aliran darah, dalam 4-10 hari, bakteri ini akan menyebar ke seluruh tubuh. Penyakit leptospirosis sering juga disebut penyakit demam banjir , padahal penyakit ini bisa muncul juga di musim kemarau. Memang, ketika banjir melanda, kemungkinan orang yang terinfeksi lebih banyak. Ini disebabkan bakteri leptospira bisa mengendap di tanah dan bertahan sampai hitungan bulan. Begitu ada banjir, bakteri yang mengendap di dalam tanah terbawa air dan menempel di lantai, dinding, perabot, dan benda-benda yang terkena banjir. Penyebab lain kenapa di saat banjir penyakit leptospirosis lebih mudah berjangkit adalah karena ketika banjir, sarang-sarang tikus terendam. Tikus pun akan segera mencari tempat yang aman. Pada saat tikus-tikus mengungsi kandung kemihnya yang lemah membuat urine lebih mudah berceceran di berbagai tempat. Pada kasus-kasus awal mungkin dokter tidak menduga ada leptospirosis, karena penyakit ini tidak lazim dan sering dikira penyakit kuning. Padahal, jika terlambat diobati, penyakit ini bisa merusak organ-organ seperti ginjal, hati dan otak. Oleh karena itu, cegahlah sedini mungkin dan waspadai gejala yang timbul.
LEPTOSPIRA I. Defenisi Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. II. Sumber Penularan Hewan yang menjadi sumber penularan adalah tikus (rodent), babi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, kelelawar, tupai dan landak. Sedangkan penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi. III. Cara Penularan Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau atau makanan yang terkontaminasi oleh urine hewan terinfeksi leptospira. Masa inkubasi selama 4 - 19 hari. IV. Gejala Klinis Stadium Pertama ? Demam menggigil ? Sakit kepala ? Malaise ? Muntah ? Konjungtivitis ? Rasa nyeri otot betis dan punggung ? Gejala-gejala diatas akan tampak antara 4-9 hari Gejala yang Kharakteristik ? Konjungtivitis tanpa disertai eksudat serous/porulen (kemerahan pada mata) ? Rasa nyeri pada otot-otot Stadium Kedua ? Terbentuk anti bodi di dalam tubuh penderita ? Gejala yang timbul lebih bervariasi dibandingkan dengan stadium pertama ? Apabila demam dengan gejala-gejala lain timbul kemungkinan akan terjadi meningitis. ? Stadium ini terjadi biasanya antara minggu kedua dan keempat. Komplikasi Leptospirosis Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6 Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang dapat mengikabatkan kematian mendadak. Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas. Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva). Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati. V. Pencegahan Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus. Mencucui tangan dengan sabun sebelum makan. Mencucui tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah/ kebun/sampah/tanah/selokan dan tempat-tempat yang tercemar lainnya. Melindungi pekerja yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis (petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan, dan lain-lain) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung tangan. Menjaga kebersihan lingkungan Membersihkan tempat-tempat air dan kolam renang. Menghindari adanya tikus di dalam rumah/gedung. Menghindari pencemaran oleh tikus. Melakukan desinfeksi terhadap tempat-tempat tertentu yang tercemar oleh tikus Meningkatkan penangkapan tikus. VI. Pengobatan Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati dengan antibiotik yang banyak di jumpai di pasar seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline) Streptomycine, Tetracycline, Erithtromycine. Bila terjadi komplikasi angka lematian dapat mencapai 20%. Segera berobat ke dokter terdekat. VII. Kewaspadan oleh Kader / Masyarakat. Bila kader / masyarakat dengan gejala-gejala diatas segera membawa ke Puskesmas / UPK terdekat untuk mendapat pengobatan VIII. Sistem Kewaspadaan Dini Analisa data penderita Leptospirosis yang dilaporkan oleh Rumah Sakit (SARS) ke Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta IX. Penanggulangan KLB Penanggulangan KLB dilakukan pada daerah yang penderita Leptospirosis cenderung meningkat (per jam/hari/minggu/bulan) dengan pengambilan darah bagi penderita dengan
gejala demam, sekitar 20 rumah dari kasus indeks.
LEPTOSPIROSIS Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira patogen dan digolongkan sebagai zoonosis. Gejala klinis leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya, sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan, yaitu: demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan tinggi (kelembaban), khususnya di negara berkembang, dimana kesehatan lingkungannya kurang diperhatikan terutama. pembuangan sampah. International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi (tabel 1) dan peringkat tiga di dunia untuk mortalitas
Siklus Penularan Leptospira Berdasarkan data Semarang tahun 1998 ? 2000. Banjir besar di Jakarta tahun 2002, dari data sementara 113 pasien leptospirosis, diantaranya 20 orang meninggal. Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim penghujan lebih?lebih dengan adanya Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Pejamu reservoar utama adalah roden/tikus dengan kuman leptospira hidup di dalam ginjal dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia merupakan hospes insidentil yang tertular secara langsung atau tidak langsung (gambar 1). Penularan langsung terjadi: Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu Dari hewan ke manusia merupakan penyakit kecelakaan kerja, terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan. Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu. Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan seperti tikus, umumnya terjadi saat banjir. Wabah leptospirosis dapat juga terjadi pada musim kemarau k arena sumber air yang sama dipakai oleh manusia dan hewan. Faktor risiko
Faktor ? faktor risiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung / terpajan air dan rawa yang terkontaminasi yaitu: Kegiatan yang memungkinkan kontak dengan lingkungan tercemar kuman keptospira, misalnya saat banjir, pekerjaan sebagai tukang kebun, petani, pekerja rumah potong hewan, pembersih selokan, pekerja tambang, mencuci atau mandi di sungai/ danau, dan kegiatan rekreasi di alam bebas serta petugas laboratorium. Peternak dan dokter hewan. yang terpajan karena menangani ternak, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta , cairan amnion dan bila kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih. Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu melalui luka iris/ luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Tanda Penderita Leptospirosis : Sklera Ikterik = mata kuning. Gejala leptospirosis meliputi : demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten nyeri kepala menggigil mialgia mual, muntah dan anoreksia nyeri kepala dapat berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retroorbital dan fotopobia nyeri otot terutama di daerah betis sehingga pasien sukar berjalan, punggung dan paha. Sklera ikterik (gambar 2) dan conjunctival suffusion (gambar 3 ) atau mata merah dan pembesaran kelenjar getah bening, limpa maupun hati. kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis. Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis atau radang selaput otak aseptik yang tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis. Gejala klinik menyerupai penyakit-penyakit demam akut lain, oleh karena itu pada setiap kasus dengan keluhan demam, harus selalu dipikirkan leptospirosis sebagai salah satu diagnosis bandingnya, terutama di daerah endemik. Leptospirosis ringan atau anikterik merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Mortalitas pada leptospirosis anikterik hampir nol, meskipun pernah dilaporkan kasus leptospirosis yang meninggal akibat perdarahan masif paru dalam suatu wabah di Cina. Tes pembendungan terkadang positif, sehingga pasien leptospirosis anikterik pada awalnya di diagnosis sebagai pasien dengan infeksi dengue. Pada leptospirosis ikterik, pasien terus menerus dalam keadaan demam disertai sklera ikterik, pada keadaan berat terjadi gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan
yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pemeriksaan laboratorium klinik rutin tidak spesifik untuk leptospirosis, dan hanya menunjukkan beratnya komplikasi yang telah terjadi.
PEDOMAN TATALAKSANA KASUS DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM LEPTOSPIROSIS DI RUMAH SAKIT Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman leptospira patogen. Zoonosis ini merupakan salah salah satu dari the emerging infectious diseases. dan menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan tinggi seperti Indonesia. Gejala klinis leptospirosis yang tidak spesifik dan sulitnya tes laboratorium untuk konfirmasi diagnosis mengakibatkan penyakit ini seringkali tidak terdiagnosis. Pejamu reservoar kuman leptospira adalah roden dan hewan peliharaan, dengan manusia sebagai hospes insidentil. Penularan terjadi secara langsung dari cairan tubuh hewan infeksius atau tidak langsung dari lingkungan terkontaminasi kuman leptospira. Penularan dari manusia ke manusia jarang namun dapat terjadi melalui hubungan seksual, air susu ibu dan sawar plasenta. Menurut keparahan penyakit, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinik dan penanganannya, dibagi menjadi leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik. Mayoritas kasus leptopirosis adalah anikterik yang terdiri dari 2 fase/stadium yaitu fase leptospiremia/ fase septikemia dan fase imun, yang dipisahkan oleh periode asimtomatik. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang tindih dengan fase septikemia. Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat. Manifestasi klinis berupa demam ringan atau tinggi yang bersifat remiten, mialgia terutama pada otot betis, conjungtival suffusion (mata merah), nyeri kepala, menggigil, mual, muntah dan anoreksia, meningitis aseptik non spesifik. Gejala klinik leptospirosis ikterik lebih berat, yaitu gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan (penyakit Weil ). Selain itu dapat terjadi Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS), koma uremia, syok septikemia, gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik sebagai penyebab kematian pasien leptospirosis ikterik. Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis adalah oliguria terutama oliguria renal, hiperkalemia, hipotensi, ronkhi basah paru, sesak nafas, leukositosis >12.900/ mm3, kelainan Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan repolarisasi, dan adanya infiltrat pada foto pecitraan paru. Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada anak, karena tidak terdiagnosis atau manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa. Pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk memastikan diagnosa leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan pemeriksaan secara tidak langsung melalui pemeriksaan
antibodi terhadap kuman leptospira( MAT, ELISA, tes penyaring). Baku emas pemeriksaan serologi adalah MAT, suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi, dan dapat mengidentifikasi jenis serovar. Pemeriksaan penyaring yang sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow. Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu : Suspek, bila ada gejala klinis, tanpa dukungan tes laboratorium. Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot positif. Definitif , bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positip, atau gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan hasil tes MAT / ELISA serial menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih. Terapi leptospirosis mencakup aspek terapi aspek kausatif, dengan pemberian antibiotik Prokain Penisilin, Amoksisilin, Ampisilin, Doksisiklin pada minggu pertama infekasi, maupun aspek simtomatik dan suportif dengan pemberian antipiretik, nutrisi, dll. Semua kasus leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna, berbeda dengan leptospirosis berat yang mempunyai angka CFR tinggi, antara 5 ? 40%. Prognosis ditentukan oleh berbagai faktor seperti virulensi kuman leptospira, kondisi fisik pasien, umur p asien, adanya ikterik, adanya gagal ginjal akut, gangguan fungsi hati berat serta cepat lambatnya penanganan oleh tim medik. Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan dan intervensi pada pejamu manusia.
PENGAMATAN GERAKAN LEPTOSPIRA DALAM URINE DENGAN CARA SEDERHANA A. Halim Mubin* Gatot Lawrence** * Sub Bagian Penyakit Infeksi/Menular, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS; ** Bagian Patologi FK UNHAS; PETRI UjungPandang ABSTRAK Pemeriksaan sederhana dengan mikroskop biasa dapat dideteksi adanya Leptospira dalam urine tanpa atau dengan pewarnaan. Pada preparat hidup dapat dilihat gerakan-gerakan maju, mundur atau rotasi mulai dari gerakan lambat sampai yang cepat. Umumnya bentuk spiralnya sulit tampak dengan pembesaran 10 x 40 kali. Leptospira yang bergerak cepat pada akhirnya berhenti bergerak dengan sendirinya. Sebagaian tampak membelah diri dengan cara terpotong melintang, sehingga terpisah menjadi mother dan daughter leptospira. Hanya sebagaian kecil yang bergerak dengan bentuk spiral yang jelas. Morfologi leptospira lurus atau melengkung, bentuk spiralnya sulit kelihatan dan begitu pula ujungnya berupa kait (hook). Ukurannya panjangnya bervariasi antara pendek, sedang dan panjang. Beberapa tampak seperti Streptokokus.
Dengan pewarnaan Giemsa berwarna kemerah-merahan, dan dengan gram merah kebiru biruan (gram negatif). Dibutuhkan penelitian lanjutan untuk menetapkan diagnosis leptospira pada seseorang. ABSTRACT Simple diagnostic method by using light microscopy can b e used for detecting leptospira in the urine with or without staining. In a living specimen we can observe the movement i.e. forward, backward and rotating, as well as slow and fast. The morphology of leptospira is spiral and difficult to be observed un der 10x40 magnification. The fast moving leptospira usually stop by itself. Some of them have a segmented body and evetually separated. Thereby a mother and daughter leptospira can be seen. The morphology usually straight, spiral with hook ending. The size varied from short, intermediate, and long. Some of them look like streptococcus. With Giemsa staining the germ looks pink, and Gram staining it will look blue ( Gram negative). Further study is needed to evaluate the characteristic and diagnostic approach of leptospira in human (J Med Nus 1996; 17:72-76). Leptospira merupakan kelompok kuman yang dapat menyebabkan leptospirosis, termasuk penyakit zoonosis, yang patogen disebut Leptospira interrogans dan yang tidak petogen disebut Leptospira biflexa. Disebut interrogans karena bentuknya menyerupai tanda tanya (?) (interrogative : menanyai) (Sanford, 1984). Ada 3 serovar yang sering menyebabkan infeksi pada manusia yaitu Leptospira ictrerohaemorrhagiae pada tikus, Leptospira canicola pada anjing dan Leptospira pomona pada sapi dan babi. Yang paling sering menyebabkan penyakit berat (penyakit Weil) adalah Leptospira ictreromorrhagiae. Leptospira masuk ke tubuh melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan urine yang mengandung Leptospira. Disamping itu dapat juga melalui kulit yang lecet atau melalui konyuktiva (Jacobs RA, 1995). Leptospira yang masuk tubuh manusia adalah patogen (Leptospira interrogans). Untuk mengamati gerakan Leptospira digunakan mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope). Alat ini sulit disiapkan di daerah perifer, sehingga diagnosis sangat sulit dilacak, walaupun secara klinis prevalensi Leptospira dewasa ini semakin meningkat. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Bahan penelitian Bahan pemeriksaan adalah urine segar penderita yang suspek penyakit Weil. Cara pemeriksaan : A. Pemeriksaan urine langsung Sebanyak 5 ml urine segar dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Urine dipusing dengan kecepatan 1000-1500 rpm selama 5-10 menit. Supernatan tabung sentifus dibuang, sehingga endapan tersisa bersama dengan urine sebanyak 1-2 tetes. Dalam prakteknya tabung dituang saja selama 3 detik lalu kemudian tabung diletakkan pada rak tabung yang telah disediakan. Dengan hati-hati satu tetes urine tersebut disedot dengan pipa pasteur, lalu diletakkan ke atas gelas obyek kemudian ditutup dengan kaca penutup yang agak kecil (berukuran 22x22 mm). Harus dijaga agar tetesan tidak terlalu banyak, supaya urine tidak melimpah
setelah ditutup dengan kaca penutup. Preparat tersebut langsung diperiksa tanpa pewarnaan di bawah microskope dengan pembesaran 10 x 40. Cahaya diatur jangan sampai terlalu terang yang menyilaukan atau justru cahaya terlalu gelap, karena pada kedua keadaan tersebut leptospira tidak akan tampak. Jadi kekuatan cahaya yang diatur sedemikian rupa kira-kira sama kuatnya bila hendak melihat sedimen urine. Karena Leptospira bergerak, maka untuk mengamatinya secara cermat sewaktu-waktu diperlukan perubahan fokus. Leptospira yang tidak bergerak terlalu cepat dapat dilihat bentuknya lebih jelas pada pembesaran 10 X 100 dengan minyak emersi. B. Pemeriksaan dengan pewarnaan Dilakukan seperti langkah 1 sampai 3 di atas. Urine yang diteteskan di atas kaca obyek dibuat preparat halus yang tipis lalu dikeringkan. Setelah kering difiksasi dengan methanol Setelah kering dengan methanol diberi pengecetan Giemsa atau Gram. HASIL PENGAMATAN Hasil dapat diperoleh dari pemeriksaan tanpa pewarnaan atau dengan pewarnaan. A. Pemeriksaan tanpa pewarnaan Pada pemeriksaan Leptospira tanpa pewarnaan akan tampak beberapa keadaan sebagai berikut : Bentuk leptospira Ukuran Leptospira tidak sama, bervariasi antara 2? - 24?. Ada tiga ukuran panjang yaitu: Berukuran mini, hanya menyerupai kuman berbentuk batang, ukurannya 4-6? (lebar 0,10,2?). Ukuran sedang 2-3 X ukuran mini Ukuran terpanjang, biasanya ukurannya 2 x ukuran sedang Sebagaian leptospira berbentuk menyerupai streptokokus, dimana yang berukuran mini hanya terdiri dari 2 koki Gerakan Leptospira Ditemukan bentuk-bentuk batang yang bergerak maju sesuai dengan sumbu memanjang. Ada yang bergerak sangat lincah, sehingga cepat melintasi lapangan penglihatan pada pembesaran 10x40 apalagi pada pembesaran 10x100. (pada pembesaran 10x100 Leptospira sulit dilihat). Kadang-kadang ada yang tampak bergerak secara rotasi bila mengambil arah vertikal. Umumnya yang bergerak lincah berukuran mini. Ada yang bergerak sangat lemah, hanya dengan pengamatan yang teliti dapat diamati gerakannya terutama pada pembesaran 10x 100. Ada yang tidak bergerak. Kalau diamati agak lama, maka beberapa Leptospira yang aktif akhirnya akan berhenti bergerak. Hanya sebagaian kecil leptospira yang bergerak dengan bentuk spiral yang jelas. Beberapa bentuk leptospira dari urine penderita Penyakit Weil Leptospira yang berukuran panjang bila bergerak sekali cukup laju dan jauh
jangkauannya. Mereka kadang-kadang bergerak kesatu arah, tetapi bila mengalami hambatan sering bergerak ?mundur? tanpa mengubah haluan, namun kecepatan geraknya secepat gerakan maju. Bila diamati terus, maka Leptospira ukuran terpanjang ini merupakan dua Leptospira yang akan membelah secara melintang, dimana ?kepalanya? lebih dahulu lahir. Setelah ?aterm? keduanya aktif untuk memisahkan diri dengan adanya pemisahan antara kedua ?ekor?. Rupanya adanya gerakan ? maju? dan ? mundur? tersebut di atas sebagai akibat dari gerakan individu pertama ke depan, sementara individu kedua tertarik saja, dan bila ?mundur? berarti individu kedua yang maju sedangkan individu pertama diam dan mengikut saja. Jadi sebelum keduanya berpisah untuk membentuk individu masing-masing, mereka dapat bergerak bergantian atau bersamaan dengan arah yang berlawanan. Gerakan-gerakan inilah yang akhirnya memisahkan antara mother dan dauhter Leptospira tersebut. Spiralisasi gerakan badannya tidak begitu jelas, kadang-kadang hanya tampak seperti bergetar saja. B. Dengan Pewarnaan Giemsa dan Gram Dengan pewarnaan Giemsa Leptospira akan tampak sebagai batang-batang kecil yang lurus atau melengkung berwarna kemerah-merahan, tidak berbentuk spiral. Dengan pengecetan Gram berwarna merah kebiru-biruan (Gram Negatif). Kita mesti hati-hati dengan hyphe jamur yang kadang-kadang juga ditemukan. DISKUSI Kebanyakan penulis mengemukakan bahwa Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap (dark-field microscopy), fase kontrast (phase contrast) atau dengan cara imunofluoresens dan tidak dapat dilihat dengan mikroskop biasa (light microscopy) (Alexander, 1983; McClain, 1985; Kempe, 1987). Leptospira muncul dalam urine pada minggu kedua penyakit dan dapat bertahan satu bulan atau lebih (Kempe, 1987). Tidak jelasnya bentuk spiral dari Leptospira sewaktu bergerak mungkin karena spiralnya sangat halus (very fine spiral) (Jawetz, 1982). Tetapi jika diamati beberapa preparat akan tampak beberapa Leptospira bergerak dengan spiral jelas. Dan gerakan rotasi jelas tampak pada waktu Leptospira bergerak secara vertikal. Gerakan maju mundur (move forward and backward) dalam urine dapat ditemukan sebagaimana dikemukan oleh Alexander (1983), bila Leptospira berada dalam medium cair yang lain. Dengan pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat dilihat. Hal mana akan terlihat lebih jelas pada pemeriksaan khusus dengan darkfield microscope (Jawets, 1982). Dengan scaning mikrograf elektron akan tampak kait dan spiralnya (Boyd and Hoerl, 1986). Dengan menggunakan mikroskop biasa struktur yang yang lebih kecil masih sulit terlihat dengan jelas. Dalam keadaan tidak bergerak tanpa pewarnaan atau dengan pewarnaan atau dengan pewarnaan Giemsa atau Gram sebahagian Leptospira terkesan seperti streptokokus, sesuai dengan yang dikemukan potrais (pendekatan pribadi, seorang peneliti Belgia). Ukuran Leptospira bervariasi antara 4-20? (Sparling dan Basemen, 1980; Joklik, 1984). Hal yang sama ditemukan pada penelitian ini ada yang berukuran mini, sedang dan panjang. Ukuran bervariasi dari 4 ? sampai 25 ?. Dengan pemeriksaan sederhana ini memungkinkan mengamati Leptospira pada pemeriksaan rutin urine dengan cukup mudah sambil dapat mengikuti gerakan-gerakannya.
KESIMPULAN Leptospiruria mudah dideteksi dengan menggunakan mikroskop biasa dengan mengatur lapangan penglihatan redup (agak gelap) pada pembesaran minimal 10x40 atas preparat tanpa pewarnaan. Adanya Leptospiruria dianggap positif bila ditemukan Leptospira yang bergerak minimal satu dalam satu lapangan penglihatan 10x40. Leptospiruria belum dapat memastikan apakah Leptospira interrogans atau Leptospira biflexa. Dengan pewarnaan Giemsa dan Gram sulit memastikan Leptospira karena bentuknya menyerupai hyphe jamur Pemeriksaan leptospiruria tanpa pewarnaan lebih mudah mendeteksi Leptospira dari pada dengan pewarnaan Giemsa atau Gram. Informasi tentang gerakan-gerakan Leptospira dalam urine dapat pula dilihat dalam Jurnal Medika Nusantara, 1996, vol 17, halaman 72-76. BERATNYA LEPTOSPIRURI ADALAH SEBAGAI BERIKUT: BERAT-RINGAN JUMLAH/LP 10X40 POSITIFITAS RINGAN <50 + SEDANG >50-100 ++ BERAT >100 +++ RUJUKAN Alexander AD : Leptospirosis, in infection diseases, Hoeprich PD (Ed), 3rt Ed, Harper & Row Publishers, Philadelphia, 1985, 751-759. Boys RE and Hoerl BG : Spirochetal and curved rods, In Basic Medical Micribiology, 3rd, Little Brown co, Toronto, 1986, 593-612 Jacobs RA: International Disease Spirochetal, In Current Medical Diagnosis & Treatment, Tierney LM (Eds), 34th Ed, A Lange Medical Book, London 1995, 11971214. Jawetz E, Melnick JL and Adelbergh EA: Spirochetes & Other Spiral Microorganisme, Review of Medical Microbiology, 15th Ed., Lange Medical Publications, California, 1982, 253-260. Joklik WK, Willett HP, and Amos DB: Treponema Borrelia, and Leptospira, In Zinsser Microbiology, 18th Ed, Appleton?Century-Crofts, Norwalk, 1984, 728-739. Kempe CH, Silver HK, O?brien O, et al: Leptospirosis, In Current Pediatric Diagnosis & Treatment 1987, 9th Ed, Appleton & Lange, Norwalk, 1987, 893-894. McClaim JB : Leptospirosis, In Cecil Textbook of Medicine, Myngaarden JB and Smith LH (Eds), Vol-2, WB Saunder Co, Tokyo, 1985, 1666-1668. Sanford JP : Leptospirosis, In Hunter?s Tropical Medicine, 16th Ed, Stricland GT (Ed), WB Saunders Co, Tokyo, 1984, 262-270. Sparling PF and Baseman JB: The Spirochetes, In Microbiology, 3rd Ed, Davis BD (Eds), Harper International Ed, Philadelphia, 1980, 751-762
Penyakit leptospirosis pada manusia
Dr Widodo Judarwanto SpA Salah satu penyakit yang dapat terjadi setelah banjir adalah leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan hewan. Lebih tepatnya, penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia, termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir. Di beberapa negara, leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit Stuttgart, penyakit Weil, demam Canicola, penyakit Swineherd, demam rawa atau demam lumpur. Penyakit ini disebabkan bakteri leptospira berbentuk spiral yang mempunyai ratusan serotipe. Bakteri leptospira bisa terdapat di genangan air saat iklim panas dan terkontaminasi oleh urin hewan. Leptospirosis dapat menyerang manusia akibat kondisi seperti banjir, air bah, atau saat air konsumsi sehari-hari tercemar oleh urin hewan. Penemuan penderita sering tidak optimal karena sering terjadi ?underdiagnosis? atau misdiagnosis. Hal ini berakibat keterlambatan tatalaksana penderita yang dapat memperburuk prognosis. Meskipun sebenarnya penyakit ini pada umumnya mempunyai prognosis yang baik.
Etiologi Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit) berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L biflexa adalah saprofitik. Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies patogen yang tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil diidentifikasi. Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi. Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda. Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus. Hewan tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia. Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, hewan buas dan kucing. Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa hewan, misalnya L pomona dan L interrogans terdapat pada lembu dan babi, L grippotyphosa pada lembu, domba, kambing, dan tikus, L ballum dan L icterohaemorrhagiae sering dikaitkan dengan tikus dan L canicola dikaitkan dengan anjing. Beberapa serotipe yang penting lainnya adalah autumnalis, hebdomidis, dan australis.
Epidemiologi Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang pada tahun 1916. (Inada R, Ido Y, et al: Etiology, mode of infection and specific therapy of Weil's disease. J Exp Med 1916; 23: 377-402.) Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia antara 1039 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini. Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur karena tanah lembab dan bersifat alkalis. Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah diagnosis dan nonfatal. Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah seperti Klaten, Demak atau Boyolali. Beberapa tahun terakhir di derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan. Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita ?immunocompromised? mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian. Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai, seperti berenang atau rafting. Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi leptospira lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang susu dapat terkena karena terkena pada wajah saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi pada pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang 829%.
Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan peningkatan sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi perjalanan rekreasi ke daerah tropis seperti berperahu kano, mendaki, memancing, selancar air, berenang, ski air, berkendara roda dua melalui genangan, dan kegiatan olahraga lain yang berhubungan dengan air yang tercemar. Berkemah dan bepergian ke daerah endemik juga menambahkan resiko.
Patofisiologi dan Patogenesa Penularan penyakit ini bisa melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing, serangga, burung, landak, kelelawar dan tupai. Di Indonesia, penularan paling sering melalui hewan tikus. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Bisa juga melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi setitik urin tikus yang terinfeksi leptospira, kemudian dimakan dan diminum manusia. Urin tikus yang mengandung bibit penyakit leptospirosis dapat mencemari air di kamar mandi atau makanan yang tidak disimpan pada tempat yang aman. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama penyebab leptospirosis. Beberapa jenis hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang leptospirosis, tetapi potensi hewan-hewan ini menularkan leptospirosis ke manusia tidak sehebat tikus. Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal. Saat kuman masuk ke ginjal akan melakukan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial dan nekrosis tubular. Ketika berlanjut menjadi gagal ginjal biasanya disebabkan karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati tampak nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer, ikterus terjadi karena disfungsi sel-sel hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skletal menyebabkan edema (bengkak), vacuolisasi miofibril, dan nekrosis focal. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemi sirkulasi. Dalam kasus berat ? disseminated vasculitic syndrome? akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler. Gangguan paru adalah mekanisme sekunder kerusakan pada alveolar and vaskular interstisial yang mengakibatkan hemoptu. Leptospira juga dapat menginvasi cairan humor (humor aqueus) mata yang dapat menetap dalam beberapa bulan, seringkali mengakibatkan uveitus kronis dan berulang. Meskipun kemungkinan dapat terjadi komplikasi yang berat tettapi lebih sering terjadi self limiting disease dan tidak fatal. Sejauh ini, respon imun siostemik dapat mengeliminasi kuman dari tubuh, tetapi dapat memicu reaksi gejala inflamasi yang dapat mengakibatkan ?secondary end-organ injury?.
Manifestasi Klinis Infeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang asimtomatis (tanpa gejala), sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hampir 15-40% penderita yang terpapar infeksi tidak mengalami gejala tetapi menunjukkan serologi positif. Masa inkubasi biasanya terjadi sekitar 7-12 hari dengan rentang 2-20 hari. Sekitar 90% penderita dengan manifestasi ikterus (penyakit kuning) ringan sekitar 5-10% dengan ikterus berat yang sering dikenal dengan penyakit Weil. Perjalanan penyakit leptospira terdiri dari 2 fase yang berbeda, yaitu fase septisemia dan fase imun. Dalam periode peralihan dari 2 fase tersebut selama 1-3 hari kondisi penderita menunjukkan beberapa perbaikkan. Manifestasi klinis terdiri dari 2 fase yaitu fase awal dan fase ke-2. Fase awal tahap ini dikenal sebagai fase septicemic atau fase leptospiremic karena organisma bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Selama fase awal yang terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya. Karakteristik manifestasi klinis yang terjadi adalah demam, menggigil kedinginan, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis. Fase ke-2 sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat di deteksi dengan isolasi kuman dari urin dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan terjadi pada 0-30 hari atau lebih. Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal. Gejala non spesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin sedikit lebih ringan dibandingkan fase awal dan 3 hari sampai beberapa minggu terakhir. Beberapa penderita sekitar 77% mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak respon dengan pemberian analgesik. Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal meningitis. Delirium (tidak waras, kegilaan) juga didapatkan pada tanda awal meningitis, Pada fase yang lebih berat didapatkan gangguan mental berkepanjangan termasuk depresi, kecemasan, psikosis dan dementia. Gangguan anikterik dapat dijumpai meningitis aseptik adalah sindrom manifestasi klinis yang paling penting didapatkan pada fase a nikterik imun. Gejala meningeal terjadi pada 50% penderita. Palsi saraf kranial, ensefalitis, dan perubahan kesadaran jarang didapatkan. Meningitis bisa terjadi apada beberapa hari awal, tapi biasanya terjadi pada minggu pertama dan kedua. Kematian jarang terjadi pada kasus anikterik. Gangguan ikterik : leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul ikterik. Nyeri perut dengan diare dan konstipasi terjadi sekitar 30%,
hepatosplenomegali, mual, muntah dan anoreksia. Uveitis terjadi pada 2-10% kasus dapat terjadi pada awal atau akhir penyakit, bahkan dilaporkan dapat terjadi sangat lambat sekitar 1 tahun setelah gejala awal penyakit timbul. Iridosiklitis and korioretinitis adalah komplikasi lambat yang akanan menetap selama setahun. Gejala pertama akan timbul saat 3 minggu hingga 1 bulan setelah paparan. Perdarahan subkonjuntiva adalah komplikasi pada mata yang sering terjadi pada 92% penderita leptospirosis. Gejala renal seperti azotemia, pyuria, hematuria, proteinuria dan oliguria sering tampak pada 50% penderita. Kuman leptospira juga dapat timbul di ginjal. Manifestasi paru terjadi pada 20-70% penderita. Adenopati, rash, and nyeri otot juga dapat timbul. Sindroma klinis tidak khas pada berbagai serotipe, tetapi beberapa manifestasi sering tampak pada serotipe tertentu. Misalnya ikterus didapatkan pada 83% penderita dengan infeksi L icterohaemorrhagiae and 30% pada L pomona. Rash eritematous pretibial sering didaptkan pada infeksi L autumnalis. Gangguan gastrointestinal pada infeksi dengan L grippotyphosa. Aseptic meningitis seringkali terjadi pada infeksi L pomona atau L canicola. Sindrom Weil adalah bentuk leptospirosis berat dengan ditandai ikterus, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru, dan diatesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase ke dua, tetapi keadaan bisa memburuk setiap waktu. Kriteria keadaan masuk dalam penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, dispnu, nyeri dada, sputum darah, batuk darah, dan gagal napas. Vaskular dan disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya ikterus setelah 4-9 hari setelah gejala awal penyakit. Penderita dengan ikterus berat lebih mudah terjadi gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Hepatomegali didapatkan pada kuadran kanan atas. Oliguri atau anuri pada nekrosis tubular akut sering terjadi pada minggu ke dua sehingga terjadi hipovolemi dan menurunya perfusi ginjal. Sering juga didapatkan gagal multi-organ, rhabdomyolysis, sindrom gagal napas, hemolisis, splenomegali, gagal jantung kongestif, miocarditis, dan pericarditis. Sindrom Weil mengakibatkan 5-10%. Sebagian besar kasus berat sindrom dengan gangguan hepatorenal dan ikterus mengakibatkan mortalitas 20-40%. Angka mortalitas juga akan meningkat pada usia lanjut usia. Leptospirosis dapat terjadi makular atau rash makulopapular, nyeri perut mirip apendisitis akut, pembesaran kelenjar limfoid mirip infeksi mononucleosis. Juga dapat menimbulkan manifestasi aseptic meningitis, encephalitis, atau ?fever of unknown origin?. Leptospirosis dapat dicurigai bila didapatkan penderita dengan flulike disease dengan aseptic meningitis atau disproporsi mialgia berat. Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada penderita berbeda tergantung berat ringannya penyakit dan waktu dari onset timbulnya gejala. Tampilan klinis secara umum dengan gejala pada beberapa spektrum mulai dari yang ringan hingga pada keadaan toksis.
Pada fase awal pemeriksaan fisik yang sering didapatkan adalah demam seringkali tinggi sekitar 40oC disertai takikardi. Subkonjuntival suffusion, injeksi faring, splenomegali, hepatomegali, ikterus ringan, mild jaundice, kelemahan otot, limfadenopati dan manifestasi kulit berbentuk makular, makulopapular, eritematus, urticari, atau ?rash? perdarahan juga didapatkan pada fase awal penyakit. Pada fase kedua manifestasi klinis yang ditemukan sesuai organ yang terganggu. Gejala umum yang didaptkan adalah adenopathy, rash, demam, perdarahan, tanda hipovolemia atau syok kardiogenik. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan ikterus, hepatomegali, tanda koagulopati. Gangguan paru didapatkan batuk, batuk darah, dispneu, dan distres pernapasan. Manifestasi neurologi didapatkan palsi saraf kranial, penurunan kesadaran, delirium atau gangguan mental berkepanjangan seperti depresi, kecemasan, iritabel, psikosis, dan demensia. Pemeriksaan mata terdapat perdarahan subconjuntiva, uveitis, tanda iridosiklitis atau korioretinitis. Gangguan hematologi yang ditemukan adalah perdarahan, petekie, purpura, ekimosis dan splenomegali. Kelainan jantung dijumpai tanda dari kongestif gagal jantung atau perikarditis.
Diagnosis Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui sejauh mana gangguan organ tubuh dan komplikasi yang terjadi. 1. Isolasi (pengambilan) kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita adalah standar kriteria baku. Urin adalah cairan tubuh yang palih baik untuk diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urin sejak gejala awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ke-3. Cairan tubuh lainnya yang mengandung leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang peluang untuk ditemukan isolasi kuman sangat pendek 2. Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber identifikasi penemuan kuman leptospira. Isolasi leptospira cenderung lebih sulit dan membutuhkan waktu diantaranya dalam hal referensi laboratorium dan membutuhkan waktu beberapa bulan untuk melengkapi identifikasi tersebut. 3. Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis. Tetapi, konfirmasi diagnosis ini lambat karena serum akut diambil saat 12 minggu setelah gejala awal timbul dan serum konvalesen diambil 2 minggu setelah itu. Antibodi antileptospira diperiksa menggunakan microscopic agglutination test(MAT). 4. Metoda laboratorium cepat dapat merupakan diagnosis yang cukup baik. Titer MAT tunggal sebesar 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi lapang gelap bila dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup bermakna.
Pemeriksaan Penunjang Pada penderita yang dicurigai leptospirosis, selanjutnya harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium rutin untuk mengetehaui komplikasi dan keterlibatan beberapa organ tubuh. Pemeriksaan kadar darah lengkap (complete blood countCBC) sangat penting. Penurunan hemoglobin yang menurun dapat terjadi pada perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung trombosit untuk mengetahui komponen DIC. Blood urea nitrogen dan serum kreatinin dapat meningkat pada anuri atau oliguri tubulointerstitial nefritis yang dapat terjadi pada penyakit Weil. Peningkatan serum bilirubin dapat terjadi pada obstruksi kapiler di hati. Agak jarang terjadi peningkatan Hepatocellular transaminases dan kurang bermakna, biasanya <200 U/L. Waktu koagulasi akan meningkat pada disfungsi hati atau DIC. Serum kreatin kinase (MM fraction) sering meningkat pada gangguan otot. Analisis CSF bermanfaat hanya untuk melakukan eksklusi penyebab meningitis bakteri. Leptospires dapat diisolasi secara rutin dari CSF, tetapi penemuan ini tidak akan merubah tatalaksana penyakit. Pemeriksaan pencitraan yang didapatkan adalah kelainan pada foto polos paru berupa air space bilateral. Juga dapat menunjukkan kardiomegali dan edema paru yang didapatkan miokarditis. Perdarahan alveolar dari kapilaritis paru dan ?patchy infiltrate multiple? yang dapat ditemukan pada parenkim paru. Ultrasonografi traktus bilier dapat menunjukkan kolesistitis akalkulus. Pemeriksaan histologis beberapa saat setelah inokulasi dan selama periode inkubasi leptospira melakukan replikasi aktif di hati. Perwarnaan silver staining dan immunofluorescence dapat mengidentifikasi leptospira di hati, limpa, ginjal, CNS dan otot. Selama fase akut pemeriksaan histologi menunjukkan organisma tanpa banyak infiltrat inflamasi.
Diagnosis Banding * * * * * * * * * *
Dengue Fever Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome Hepatitis Malaria Meningitis Mononucleosis, influenza Enteric fever Rickettsial disease Encephalitis Primary HIV infection
Tatalaksana Terapi antimikrobial adalah pengobatan yang utama pada leptospirosis. Pada infeksi tidak dengan komplikasi tidak membutuhkan rawat inap. Penggunaan doksisiklin oral menunjukkan penurunan durasi demam. Rawat inap diperlukan untuk penderita dengan pemberian terapi penicillin G intravena sebagai pilihan utama.
Penelitian terakhir menunjukkan sefalosporin sama efektifnya dengan doksisiklin dan penisillin pada pengobatan fase akut. Eritromisin digunakan pada kasus kehamilan yang alergi terhadap penisillin sedangkan amoksisilin adalah terapi alternatif. Pada kasus berat mengakibatkan gangguan beberapa organ dan gagal multiorgan. In addition to antimicrobials, therapy is supportive. Tatalaksana penderita yang paling penting adalah memonitor dengan cermat perubahan klinis karena berpotensi terjadi gangguan kolap kardiovaskular dan syok dapat terjadi secara cepat dan mendadak. Fungsi ginjal harus dievaluasi secara cermat dan diperlukan dialisis pada kasus gagal ginjal. Pada umumnya kerusakan ginjal adalah reversibel jika penderita dapat bertahan dalam fase akut. Penyediaan ventilasi mekanik dan proteksi jalan napas harus tersedia bila terjadi gangguan pernapasan berat. Pengawasan jantung secara terus menerus (continuous cardiac monitoring) untuk memantau keadaan yang dapat timbul seperti takikardia ventrikular (frekuensi denyut jantung yang berlebihan), kontraksi ventrikel prematur (premature ventricular contractions), fibrilasi atrial, flutter, dan takikardia.
Pencegahan * Menghindari atau mengurangi kontak dengan hewan yang berpotensi terkena paparan air atau lahan yang dicemari kuman. Orang yang berisiko tinggi infeksi harus memakai sarung tangan, baju dan kacamata pelindung. Harus memperhatikan secara ketat kebersihan dan sanitasi lingkungan seperti kontrol hewan pengerat seperti tikus, dekontaminasi infeksi * Penggunaan vaksinasi pada hewan dan manusia masih kontroversi. * Kemoprofilaksis menunjukkan hasil yang efektif pada manusia dengan risiko tinggi seperti anggota militer atau wisatawan yang berkunjung di daerah endemik. Pemberian doksisiklin 250 mg peroral sekali seminggu, menunjukkan efikasi yang sangat baik. Tetapi pencegahan ini tidak dianjurkan untuk jangka panjang.
Komplikasi dan Prognosis Komplikasi tergantung dari perjalanan penyakit dan pengobatannya. Prognosis penderita dengan infeksi ringan sangat baik tetapi kasus yang lebih berat seringkali lebih buruk.
WASPADA PENYAKIT ZOONOSIS PADA MUSIM HUJAN 1. Penyakit yang secara alami dapat dipindahkan dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya. 2. Ada ± 150 penyakit zoonosa di dunia. Di Indonesia terdapat lebih dari 50 zoonosis antara lain: rabies, pes, anthrax, taeniasis/cysticercosis, JE, leptospirosis, toxoplasmosis, bovine tubercullosis, schistosomiasis, flu burng, sapi gila dsb 1. JAPANESE ENCEPHALITIS (Radang otak) Tergolong penyakit Emerging infectious diseases & emerging zoonotic diseases Japanese Encephalitis (JE) adalah : Penyakit infeksi virus pada susunan saraf pusat (SSP) disebarkan melalui gigitan nyamuk dengan perantaraan hewan lain, terutama babi GEJALA KLINIS JE : 1. Keluhan awal: demam, nyeri kepala, kuduk kaku, kesadaran menurun , tremor, kejang 2. Keluhan lanjutan : kaku otot, koma, napas abnormal, dehidrasi, berat badan menurun 3. Keluhan lain : rf. tendon meningkat, paresis, suara pelan & parau MASA INKUBASI PENYAKIT JE : Masa inkubasi 4 – 14 hari Ada empat stadium klinis : 1. 2. 3. 4.
Stadium prodromal: 2-3 hari Stadium Akut : 3-4 hari Stadium subakut : 7-10 hari Stadium konvalesen : 4-7 minggu
TATA LAKSANA PENDERITA 1. 2. 3. 4.
Cairan : atasi dehidrasi, keseimbangan elektrolit Analgetik & antipiretik Pemberian makanan bergizi baik Pengawasan jalan napas
5. Pengendalian kejang 6. Antiviral (-) 7. Simtomatis & suportif
1. Awasi tanda vital 1. 2. 3. 4.
Rutin dan seksama Gagal napas resusitasi Oksigen Renjatan segera diatasi
2. Menurunkan panas: 1. Penting untuk mengatasi kejang 2. Antipiretik : parasetamol atau asetaminofen, ibuprofen 3. Suportif : - istirahat, - kompres
3. Menurunkan tekana intrakranial Manitol : menarik cairan ekstravaskular ke pembuluh darah otak: 1. 2. 3. 4.
Dosis awal 200 mg/kg IV 3-5’ Dewasa : urin 30-50 ml/jam setelah 2-3 jam Anak : urin 1 ml/jam setelah 2-3 jam
Fungsi ginjal adekuat :
Dewasa : 1,5-2 g/kg lar. 15-20-25% IV 1 jam Anak <12 th : 0,25-1 g/kg lar 20% IV 20-30’ diulang 4-6 jam Anak > 12 th = dewasa Evaluasi kardiovaskular :
Cegah pseudoaglutinasi : 20 mEq NaCl / liter lar. Manitol Bila transfusi bersamaan
Posisi ½ duduk netral, kepala 20-30º 4. Mempertahankan fungsi metabolisme otak : Cairan mengandung glukosa 10% kadar gula darah 100-150 mg/dl Metabolisme otak meningkat terjadi hipertermia dan kejang 5. Pemberian antibiotik 1. Atasi infeksi sekunder: Pneumonia, ISK, dekubitus 2. Berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi Pasca rawat : rehabilitasi medis UPAYA PENCEGAHAN A. B. C. D. E.
Penyuluhan masyarakat Pengendalian vektor Hindari gigitan nyamuk Jauhkan kandang babi Vaksinasi
PENGENDALIAN VEKTOR : □
□
Konvensional : penyemprotan insektisida efek residu
□
Semprot ruangan
□
Larvasida dan pengaliran air
Vaksin JE
a. Live attenuated vaccine
b. Inactivated vaccine : •
Otak tikus
•
Ginjal hamster
Dalam penelitian : • •
Vaksin DNA JE-yellow fever chimeric vaccine
Siklus penularan JE 2. LEPTOSPIROSIS 1. 2. 3. 4. 5.
Bersifat zoonosis Disebut juga Weil’S Disease, Haemorrhagic Jaundice Merupakan penyakit yang berhubungan erat dengan pekerjaan. Merupakan penyakit reemerging disease Bersifat musiman :
Iklim sedang : puncak insiden musim panas dan gugur.
Iklim tropis : puncak insiden musim hujan SUMBER PENULARAN 1. 2. 3. 4. 5.
Rodent ( Tikus ) Sapi, Kambing, Domba, Kuda, Babi Anjing, Kucing Burung Insektivora ( Landak, Kelelawar, Tupai )
CARA PENULARAN : Kontak dengan bahan yang tercemar air kemih hewan yang sakit leptopspirosis, melalui : 1. Selaput lendir (mucosa) mata, hidung 2. Kulit yang lecet atau kulit yang intak, tetapi terendam lama dalam air 3. Saluran pencernakan
Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi MASA INKUBASI : 1. Masa inkubasi 4 – 19 hari, ( rata – rata 10 hari)
DAERAH RAWAN A. Kriteria 1. 2. 3. 4. 5.
Daerah rawan banjir Daerah rawa/ lahan gambut Daerah persawahan/ peternakan Daerah pasang surut Daerah kumuh
B. Tindakan ● Peningkatan kewaspadaan pada daerah rawan dengan pencarian/ penemuan tersangka / penderita. di unit pelayanan kesehatan (UPK) melalui pemeriksaan klinis yang mengarah pada leptospirosis ● Pengobatan penderita/ tersangka. Pengambilan sediaan bila ditemukan panderita/ tersangka leptospirosis PENCEGAHAN A. Personal hygiene B. Pakaian pelindung (pembersih septick tank, dll) C. Sanitasi lingkungan, termasuk sanitasi kolam renang D. Pada hewan ● rodent control ● vaksinasi hewan
● cara memelihara hewan yang sehat MANIFESTASI BERVARIASI ● Sub klinik ● Demam anikterik ringan : 90 % ● Demam ikterik berat
: 10 %
1. Manifestasi tergantung ● Serovar leptospira ● Usia ● Kerentanan ● Nutrisi 2. Onset leptospirosis mendadak, ditandai: 1. Demam yang remittent, nyeri kepala, myalgia. conjungtiva suffusion, uveitis, iridosiklitis 2. Limfadenopati, splenomegali, hepatomegali, rash makulo bisa ditemukan meski jarang 3. Didapatkan pleiositosis di cls meningitis aseptik pada < 25 % kasus dan 60 % pd. Anak < 14 th 4. Torniquet positip bisa terjadi 5. Kematian jarang terjadi, di cina dilaporkan 2 – 4 % 6. Self limited 7. Gejala klinik menghilang dalam 2 – 3 minggu
3. Perjalanan penyakit berlangsung cepat, ditandai dengan: o
Demam dapat persistent
o
Ikterus
o
Perdarahan
o
Gagal ginjal akut : 16 % - 40 %
o
Kadar billirubin meningkat tinggi
Azotemia, oliguria, urinuria terjadi pada minggu ke 2, tetapi dapat juga terjadi pada hari ke 3 setelah onset o
Komplikasi dapat melibatkan multi sistem :
1. Paru : 20 % - 70 %, batuk, nyeri dada, hemophtysis, adrs, efusi pleura infiltrate alveola sesak 2. Jantung : myocarditis congestive heart failure. gangguan irama jantung, kelainan gambar EKG, hipotensi sering dijumpai 3. komplikasi berat dapat menyebabkan kematian ( 54 % )
3. PENYAKIT ANTRAKS : 1. Bersifat zoonosis 2. Disebut juga radang limpa, radang kura, malignant pustula, malignant edema, woolsorters disease, charbon 3. Merupakan penyakit yang berhubungan sangat erat dg pekerjaan . 4. Dikenal sejak zaman mesir kuno, wabah pertama di indonesia tahun 1832 di Kab Kolaka – Sultra 5. Endemis di DKI, JABAR, JATENG, NTB,NTT, JAMBI, SUMBAR, SULTRA, SULTENG, dan PAPUA
ETIOLOGI 1. 2. 3. 4. 5.
Agent bacillus anthracis, berbentuk batang, berkapsul Virulensi : tergantung toksin dan resistensi host Ukuran 1-2 µ m x 5 – 10 µ m, non motil Membentuk spora, aktif bila masuk tubuh host. Spora mati : a) Bila dioven pada suhu 140° c selama 3 – 4 jam b) Dididihkan pada suhu 100° c selama 10 menit
c) Dengan Otoklaf suhu 120° c tekanan 2 atm selama 30 menit. KAPSUL KUMAN BACILLUS ANTHRACIS : □
Menghalangi fagositosis
□
Membentuk toksin
Toksin mempengaruhi : endotel vaskuler, edema, agregasi platelet, trombosis, gangren □
□
Kematian
PENULARAN MENURUT DAERAH: 1. Antraks daerah pertanian (agriculture anthrax): terjadi di daerah pertanian karena pencemaran lingkungan tanah, air, sayuran 2. Antraks kawasan industri (industrial anthrax ) : terjadi di daerah industri, misal pabrik wool, industri yang menggunakan bahan dari hewan 3. Antraks laboratorium : terjadi di laboratorium melalui hewan percobaan kelinci, marmut dan alat – alat laboratorium
JENIS ANTRAKS: 2. Antraks kulit ( bila tidak mendapat pengobatan ) : 5 – 20 % akan meninggal, tergantung luas jaringan kulit yang terinfeksi 3. Antraks gastro intestinal : 25 – 75 % dalam waktu kurang 2 hari 4. Antraks paru – paru :75 – 90 % 5. Antraks meningitis : sangat tinggi mendekati 100%
Kematian biasanya pada hari ke 2 – 3 setelah gejala timbul JENIS ANTRAKS MENURUT GEJALA : 1. 2. 3. 4.
Antraks kulit ( cutaneous anthrax ) : melalui kulit yang lecet Antraks pencernakan (intestinal antrhax) : melalui saluran pencernakan Antraks peranafasan (pulmonary anthrax ) : melalui pernafasan Antraks peradangan otak (meningitis anthrax) : akibat komplikasi yang lain
Penularan juga dapat melalui gigitan serangga dan penggunaan alat secara bersama ( sikat gigi, handuk dll)
ANTRAKS KULIT Papula → ulcus →vesikula patogonomis antraks.
→nekrosis
(hitam) disebut malignant pustula sebagai tanda
pada penderita yang rentan kuman menyebar melalui sirkulasi darah antraks saluran pencernakan, antraks paru , meningitis antraks
menimbulkan
ANTRAKS SALURAN PENCERNAKAN Kuman/spora→ limfadenitis hemorragik Edema pada dinding usus → gangren
ANTRAKS PARU Spora → hidung/tenggorokan→ gejala sub klinis.
Spora → dinding alveoli → pneumonia/ peradangan pleura → trombosis pembuluh darah kapiler paru → gagal paru. Produk toksin dari kuman juga mempengaruhi susunan syaraf pusat yang berakibat pada sentrum pernafasan KEWASPADAAN DINI Dalam antisipasi terjadinya kasus antraks di daerah endemis perlu diperhatikan 1. Menjelang idul fitri dan idul adha kebutuhan daging meningkat, sehingga sering terjadi pemotongan hewan tidak lewat rumah potong hewan (RPH) 2. Perubahan musim dari kemarau ke musim hujan. permukaan tanah yang tererosi air hujan, maka spora muncul kepermukaan bersama tunas rumput yang kemudian termakan hewan ternak. PELAPORAN
Sesuai Undang Undang wabah nomor : 04 tahun 1984 dan permenkes no : 560 tahun 1989, kasus antraks harus dilaporkan dalam 24 jam. DIAGNOSA 1. Gejala klinik 2. Laboratorium - mikroskopis sediaan hapus dari tempat infeksi : Antraks kulit : spesimen dari eksudat les Antraks paru : sputum atau cairan pleura Antraks meningitis : pungsi lumbal Antraks intestinal : faeses atau cairan ascites - serologis : ascoli test, fat, elisa - Biakan TATA CARA PENGAMANAN BARANG DIDUGA MENGANDUNG ANTRAKS 1. Jangan membuka lebih lanjut amplop/bungkusan/paket yang mengandung bahan diduga antraks. 2. Jangan menggoyang atau mengosongkan amplop/ bungkusan/ paket yang diduga mengandung bubuk antraks. 3. Hindari semaksimal mungkin bahan yang diduga mengandung kuman antraks tersebar atau tertiup angin atau terhirup. 4. Gunakan sarung tangan atau masker hidung dan mulut, bila tangan atau badan tercemar bubuk yang diduga mengandung spora antraks , cuci tangan atau mandi dengan sabun dan air yang mengalir.
5. Masukkan amplop atau bungkusan seluruhnya kedalam kantong plastik yang kedap udara atau dapat diikat dengan keras, lebih baik bila menggunakan kantong plastik 2 lapis atau lebih. 6. Masukkan kantong plastik kedalam wadah kaleng / stoples kaca berikut sarung tangan, masker dan barang – barang lain yang mungkin telah tercemar bakteri antraks dan beri label “ berbahaya jangan dibuka “ 7. Bila bubuk yang diduga mengandung antraks tercecer diruangan, dilakukan penutupan dengan handuk yang dibasahi bahan pemutih cucian/ hypocloride. 8. Letakkan dos dan stoples dalam ruangan yang tidak banyak digunakan oleh orang lain atau ruangan khusus yang terkunci. 4. PENYAKIT SAPI GILA (BSE )
Penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE) adalah penyakit yang disebabkan oleh bahan infeksius yang baru dikenal dan disebut PRION. □
□
Agent penyebab BSE adalah PRION
BSE termasuk salah satu penyakit yg tergolong dalam Transmissible Spongiform Encephalopathy (TSE) yaitu penyakit yg menyerang susunan syaraf pusat dengan gejala histopatologik utama adanya degenerasi spongiosus atau terbentuknya lubang-lubang kosong di dalam sel-sel otak, dapat menular kepada manusia dan menyebabkan penyakit yang dalam istilah kedokteran disebut Subacute Spongiform Encephalopathy (SSE). □
□
BSE lebih banyak menyerang sapi perah dari pada sapi potong
□
Saat ini penyakit BSE lebih dikenal dengan penyakit PRION
1. Dunia kesehatan selalu dihadapkan pada fenomena baru setiap kali ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mengungkapkan sesuatu yang baru seperti PRION. 2. PRION PROTEIN (PRP) atau biasa disebut PRION adalah sejenis protein yang diperoleh dari jaringan otak binatang yang terkena penyakit radang otak yang tidak diketahui sebabnya yang disebut bovine spongiform encephalopathy 3. Prion bukan benda hidup yang lengkap layaknya bakteri, virus ataupun protozoa. 4. Prion dapat dibedakan dari virus atau viroid karena tidak memiliki asam nukleat dan oleh karenanya dia tahan terhadap semua prosedur yang bertujuan mengubah atau menghidrolisa asam nukleat termasuk ensim protease, sinar
ultraviolet, radiasi dan berbagai zat kimia seperti deterjen, zat yang menimbulkan denaturasi protein seperti obat disinfektan atau pemanasan/perebusan 5. Namun yang mengherankan prion memiliki kemampuan memperbanyak diri melalui mekanisme yang hingga saat ini belum diketahui. 6. Prion sampai sekarang dianggap sebagai benda yang bertanggung jawab terhadap kejadian ensefalopati pada penyakit sapi gila (BSE), Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD) , Gerstmann-Straussler Syndrome dan penyakit Kuru sejenis penyakit kelumpuhan yang timbul pada keluarga tertentu . Semuanya memiliki gejala yang sama yaitu jaringan otaknya mengalami degenerasi menjadi benda yang berlubang? lubang kecil seperti layaknya karet busa atau spons dan oleh karena itu disebut sebagai spongiform encephalopathy
TANDA KLINIS PENYAKIT SAPI GILA : 1. Gangguan Motorik (pergerakan anggota tubuh/kelumpuhan yang terjadi semakin lama semakin berat menimbulkan kematian) 2. Ataksia, tremor, kelemahan, haus dan mengalami kegatalan dengan derajat yang hebat. 3. Sensitif terhadap suara dan sinar 4. Perubahan perilaku Penyebaran penyakit BSE/PRION
1. Dari hewan ke hewan, melalui pemberian pakan hewan yang berasal dari hewan sakit (serbuk tulang dll) 2. Hewan ke Manusia, melalui makanan yang berasal dari hewan (sapi) sakit BSE, material medis & produk hewan seperti: enzim, kapsul, vaksin yang menggunakan biakan sel otak yang berasal dari hewan sakit. 3. Manusia ke Manusia, melalui jalur Iatrogenik seperti transplantasi kornea, penggunaan electrode pada EEG, alat-alat nekropsi terkontaminasi, hormon pituitary dan transfusi RESIKO MASYARAKAT TERKENA PENYAKIT BSE/PRION 1. Karena pola konsumsi makan manusia yang hampir memakan seluruh bagian tubuh sapi/ruminansia termasuk otak dan sop buntut. 2. Importasi daging sapi/atau bahan pakan ternak yang berasal dari negara yang belum bebas penyakit BSE 3. Importasi bahan-bahan medis yang berasal dari materi sapi/ruminansia terkontaminasi BSE
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN BSE/PRION Pencegahan adalah cara terbaik bagi penyakit BSE/PRION, karena hingga kini belum ada obatnya. Maka langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan: 1. Meminimalisasi resiko pada manusia akibat penggunaan produk & alat medis yang berasal dari sapi seperti: Seleksi sumber material dari sapi, penggunaan material dari sapi, kondisi pengumpulan material asal sapi dan besarnya material asal sapi yang digunakan, cara pemberian/penggunaan material asal sapi 2. Meminimalisasi resiko pada manusia akibat penggunaan produk & alat medis yang berasal dari manusia seperti: 1). Resiko transmisi dari CJD akibat penggunaan p eralatan/ instrumen, hormn pituitary dan durameter 2). Resiko transmisi dari CJD akibat penggunaan darah dan produk darah 1. Resiko transmisi dari CJD akibat konsumsi produk makanan yang berasal dari hewan sapi/ruminansia seperti: 1). Keamanan susu 2). Resiko kejadian BSE/Prion pada Domba 3). Penggunaan gelatin pada rantai makanan PENGOBATAN: Karena sifat dari agent penyakit ini (PRION) sangat unik di dalam tubuh penderita tidak ada respon imunologik maka penggunaan obatpun hanya bersifat SIMPTOMATIS, tidak kausalis. ANTISIPASI TERHADAP PENYAKIT BSE DI INDONESIA 1. Mengadakan survei dan monitoring ternak sapi pada daerah kantong ternak 2. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas lapangan yang bersentuhan langsung dengan ternak yang rentan penyakit prion. 3. Sosialisasi pada masyarakat luas terutama konsumen produk asal ternak tentang bahaya, cara penanganan dan pengendalian penyakit BSE/PRION 4. Melarang importasi ternak, bahan (pakan, medis dan lainnya) yang dapat menularkan BSE dari negara yang tidak bebas penyakit tersebut.
5. Penegakan Hukum dan aturan yang berlaku setiap kegiatan yang berkaitan dengan peternakan, khususnya masuknya bahan yang dapat menularkan BSE 6. Melarang penggunaan bahan baku pakan ternak yang terbuat dari tepung daging dan tulang sapi/ruminansia (meat and bone meal/MBM) yang tercemar Prion
Informasi Lebih Lanjut Hubungi Dinkes Propinsi Jawa Timur Subdin P2P-PL, Seksi P2. Telpon. 031 8280650. SURAT EDARAN MENTERI PERTANIAN NOMOR TN.510/94/A/IV/2001 TANGGAL 20 APRIL 2001 TENTANG TINDAKAN PENOLAKAN DAN PENCEGAHAN MASUKNYA PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK)
I. LANDASAN 1. Berdasarkan laporan dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des Epizooties/OIE), bahwa sejak awal tahun 2000 sampai saat ini telah terjadi wabah penyakit hewan menular Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di beberapa negara Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Uni Eropa. 2. Dengan berpedoman pada ketentuan dari OIE (OIE Animal Health ode) dan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, yaitu : a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; b. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan;
c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; d. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan dan Pencegahan Penyakit Hewan; e. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner;s f. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan; g. Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1997 tentang Karantina Bahan Baku Kulit; h. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 487/Kpts/Um/6/1981 tentang Pencegah an Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan; i. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 422/Kpts/LB.720/-6/1988 tentang Peraturan Karantina Hewan. 3. Maka dalam rangka penolakan dan pencegahan masuknya PMK ke wilayah Indonesia telah ditetapkan tindakan pengamanannya. II. TINDAKAN PENGAMANAN A. PELARANGAN MENYELURUH Mengingat saat ini di beberapa negara Uni Eropa (Inggris, Irlandia, Perancis dan Belanda) serta di negara-negara Amerika Selatan (Uruguay, Peru, Brasil dan Argentina) telah terjadi wabah PMK, telah ditetapkan bahwa jenis-jenis komoditi hewan, bahan dan hasil hewan serta bahan-bahan ikutannya yang berasal dari seluruh Negara Uni Eropa dan negara-negara Uruguay, Peru, Brasil dan Argentina dilarang dimasukkan ke Indonesia.
Komoditas hewan, bahan dan hasil hewan serta bahan ikutannya tersebut, sebagai berikut : 1. Hewan, bahan asal dan hasil hewan serta bahan ikutannya a. Hewan jenis ruminansia, babi dan sebangsanya b. Hewan kesayangan seperti anjing, kucing, kuda dan sebangsanya juga hewan percobaan seperti cavia, kelinci, hamster dan mencit. c. Hewan jenis unggas termasuk burung d. Bahan asal hewan yaitu daging, susu, semen, embrio dan telur e. Bahan hasil hewan yaitu kulit, tulang, bulu, wol, tanduk dan kuku yang mentah atau sudah diolah. f. Organ tubuh, kelenjar, protein dan ekstraks dari ruminansia dan babi g. Bahan ikutan hewan seperti kotoran hewan dan pupuk asal hewan. 2. Bahan baku pakan dan pakan hewan a. Bahan baku pakan berasal dari hewan yaitu tepung tulang, daging, darah, dan tepung bulu. b. Bahan baku pakan berasal dari biji-bijian, jagung, kacang,kacangan, kedelai dan biji bijian sebagai bahan baku pakan ternak lainnya c. Pakan hijauan segar ataupun yang sudah diolah d. Pakan jadi dan konsentrat untuk ruminansia dan babi e. Pakan jadi yang mengandung bahan asal hewan untuk hewan kesayangan dan unggas 3. Peralatan dan mesin serta obat-obatan a. Peralatan dan mesin peternakan dan pertanian bekas pakai
b. Obat dan obat hewan yang bahan bakunya berasal dari hewan serta hasil olahannya dari hewan ruminansia dan babi c. Vaksin, antigen, sera dan antisera yang berkaitan dengan virus Penyakit Mulut dan Kuku 4. Pelarangan ini berlaku untuk semua komoditi hewan tersebut diatas baik yang diperdagangkan maupun sebagai tentengan. B. PELARANGAN SEMENTARA 1. Tindakan pelarangan menyeluruh terhadap pemasukan komoditas hewan, bahan asal dan hasil hewan, serta bahan ikutannya tersebut di atas, dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal ditetapkannya pelarangan tertanggal 27 Maret 2001 akan dilakukan evaluasi terhadap perkembangan situasi wabah penyakit dan upaya-upaya pengendaliannya dari masing-masing negara bersangkutan. 2. Apabila wabah penyakit dapat dikendalikan dan tidak menjalar ke negara lain, maka bagi negara-negara yang masih dalam kondisi bebas atau telah dinyatakan bebas PMK oleh OIE maka ketentuan pelarangan menyeluruh akan segera dipertimbangkan untuk dibebaskan kembali selama tidak ada ketentuan yang menyangkut penyakit lainnya. Sedangkan bagi negara-negara yang wabahnya terkendali tetapi belum dinyatakan bebas penyakit oleh OIE, maka khusus untuk jenis-jenis produk hewan yang telah melalui pengolahan tertentu dan tidak beresiko untuk penularan penyakit serta sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku akan
dipertimbangkan untuk dikeluarkan dari pelarangan, yaitu : a. Hewan, bahan asal dan hasil hewan (1) Unggas dan hasil produk unggas (2) Anjing, kucing dan sebangsanya (3) Kulit hewan yang sudah diolah (Kulit Wet Blue, Crust dan Kulit Jadi) (4) Bulu, wol dan bulu leher yang sudah diolah b. Bahan baku dan pakan hewan (1) Biji-bijian untuk bahan baku pakan yang telah diolah (2) Pakan hewan untuk hewan kesayangan yang tidak mengandung bahan asal ternak ruminanisa dan babi (3) Tepung bulu unggas yang sudah diolah c. Susu olahan Susu olahan berupa susu bubuk, skim, krim, mentega, keju, yoghurt dan susu UHT serta susu yang telah diolah dengan bahan makanan seperti coklat dan biskuit yang tidak mengandung bahan asal hewan lainnya d. Peralatan dan mesin serta obat-obatan (1) Alat-alat dan mesin peternakan dan pertanian (2) Obat dan vaksin yang tidak berkaitan dengan Penyakit Mulut dan Kuku yang dalam produksinya tidak berhubungan dengan hewan ruminansia dan babi (3) Obat-obatan untuk keperluan kedokteran umum dan kepentingan penelitian yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Pertimbangan terhadap produk-produk tertentu sebagaimana tercantum dalam butir B1 dan B2 tersebut di atas yang dikeluarkan dari pelarangan, berlaku pula terhadap bahan-bahan yang berasal dari negaranegara yang tidak sedang terjangkit wabah. C. PEMBEBASAN MENYELURUH Hewan, bahan asal dan hasil hewan serta bahan ikutannya seperti dimaksud pada butir A, dapat dipertimbangkan pembebasannya secara menyeluruh dari pelarangan yaitu apabila negara-negara bersangkutan telah mendapat pernyataan resmi bebas Penyakit Mulut dan Kuku serta penyakit hewan menular lain (daftar A) dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties). III. HIMBAUAN Kepada Lembaga-lembaga Pemerintah maupun Swasta dan pihak-pihak yang berkaitan dengan surat edaran ini dihimbau untuk dapat mentaatinya dan dapat membantu dalam upaya penolakan dan pencegahan masuknya Penyakit Mulut dan Kuku ke wilayah Indonesia. Demikian surat edaran ini dikeluarkan untuk dapat diketahui dan dimaklumi oleh semua yang berkepentingan. Jakarta, 20 April 2001 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA ttd. BUNGARAN SARAGIH