LAPORAN PENDAHULUAN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN HEMODIALISA DENGAN KOMPLIKASI HIPOTENSI DI RUANG HEMODIALISA RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG
Disusun untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Departemen Medikal
Oleh : Selfi Safrida NIM 0910720083
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UNIVERSITAS BRAWIJAYA BRAWIJAYA MALANG 2013
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN HEMODIALISA DENGAN KOMPLIKASI HIPOTENSI
I. CHRONIC KIDNEY DISEASE A. PENGERTIAN Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer & Bare, 2000) (Price, Wilson, 2002). Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min (Suyono, et al, 2001). Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan
irreversible
dimana
kemampuan
tubuh
gagal
untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD
merupakan
perkembangan
gagal
ginjal
yang
progresif
dan
lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun (Brunner & Suddarth, 2002). Adanya kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, yang ditandai oleh kelainan patologi atau petanda kerusakan ginjal secara laboratorik atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan (radiologi), dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang berlangsung > 3 bulan.
2
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN HEMODIALISA DENGAN KOMPLIKASI HIPOTENSI
I. CHRONIC KIDNEY DISEASE A. PENGERTIAN Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer & Bare, 2000) (Price, Wilson, 2002). Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min (Suyono, et al, 2001). Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan
irreversible
dimana
kemampuan
tubuh
gagal
untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD
merupakan
perkembangan
gagal
ginjal
yang
progresif
dan
lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun (Brunner & Suddarth, 2002). Adanya kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, yang ditandai oleh kelainan patologi atau petanda kerusakan ginjal secara laboratorik atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan (radiologi), dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang berlangsung > 3 bulan.
2
B. KLASIFIKASI Menurut Corwin (2001) GGK (2001) GGK dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: 1.
Tahap I : Penurunan Cadangan Ginjal -
GFR 40-70 ml/min/menurun ml/min/menurun 50%
-
BUN dan Creatinin normal tinggi
-
Tidak ada manifestasi klinik
-
CCT : 76-100 ml/min
Pada stage ini tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron sehat mampu mengkompensasi nefron yang sudah rusak. Penurunan kemmapuan mengkonsentrasi urin menyebabkan nokturia dan poliuria. 2.
Tahap II : Insufisiensi Ginjal -
GFR 20-40 ml/min atau GFR 20-35%
-
BUN dan Creatinin naik
-
Anemia ringan, polyuria, nocturia, edema
-
CCT : 26-75 ml/min
Nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang dterima. Mulai terjadi akumulasi sisa metabolic dalam darah karena nefron sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. 3.
Tahap III : Gagal Ginjal -
GFR : 10-20 ml/min atau <20% normal
-
Anemia sedang, azotemia
-
Gangguan elektrolit : Na ↑, K ↑, dan PO4 ↑
-
CCT : 6-25 ml/min
Makin banyak nefron yang mati 4.
Tahap IV : ESRD (End Stage Renal Disease) -
GFR : < 10 ml/min atau <5% normal
-
Kerusakan
fungsi
ginjal
dalam
pengaturan,
excretory
dan
hormonal -
BUN dan Creatinin
-
CCT : < 5 ml/min
Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Diseluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum, kreatinin, dalam darah. Ginjal tidak mampu mempertahankan mempertaha nkan homeostatsis. homeostats is.
Membutuhkan pengobatan dialisa /
transplantasi ginjal
3
Menurut American Diabete Association, 2007
Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi 100%, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi. Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, tanda – tanda – tanda seseorang berada pada stadium 2 juga tidak merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi. Stadium 3
Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa –sisa –sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti:
Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan diakibatka n oleh anemia.
Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
4
Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke seorang ahli ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan rekomendasi terbaik serta terapi – terapi
yang
bertujuan
untuk
memperlambat laju penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat disarankan juga untuk meminta bantuan ahli gizi untuk mendapatkan perencanaan diet yang tepat. Penderita GGK pada stadium ini biasanya akan diminta untuk menjaga kecukupan protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam makanan tersebut, karena menjaga kadar fosfor dalam darah tetap rendah penting bagi kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus membatasi asupan kalsium apabila kandungan dalam darah terlalu tinggi. Tidak ada pembatasan kalium kecuali didapati kadar dalam darah diatas normal. Membatasi karbohidrat biasanya juga dianjurkan bagi penderita yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman
diperlukan
selain
pembatasan
sodium
untuk
penderita
hipertensi. Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15 –30% saja dan apabila seseorang berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan
menjalani
terapi
pengganti
ginjal/dialisis
atau
melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya
muncul pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan
muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya. Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 hampir sama dengan stadium 3, yaitu:
5
Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau pernafasan yang tidak enak.
Sulit berkonsentrasi
Stadiu m 5 (gagal ginjal termin al)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain:
Kehilangan nafsu makan
Nausea.
Sakit kepala.
Merasa lelah.
Tidak mampu berkonsentrasi.
Gatal – gatal.
6
Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
Kram otot
Perubahan warna kulit
Sesuai dengan test kreatinin klirens (Long, 1996) maka GGK dapat di klasifikasikan derajat penurunan faal ginjal sebagai berikut: Derajat
Primer (LFG)
A B C D E F
Normal 50 – 80 % normal 20 – 50 % normal 10 – 20 % normal 5 – 10 % normal < 5 % normal
Sekunder = Kreatinin (mg %) Normal Normal – 2,4 2,5 – 4,9 5,0 – 7,9 8,0 – 12,0 > 12,0
Pada 2002, National Kidney Foundation AS menerbitkan pedoman pengobatan yang menetapkan lima stadium CKD berdasarkan ukuran GFR yang menurun. Pedoman tersebut mengusulkan tindakan yang berbeda untuk masing-masing stadium penyakit ginjal. 1. Resiko CKD mening kat. GFR 90 atau lebih dianggap normal. Bahkan dengan GFR normal, kita mungkin beresiko lebih tinggi terhadap CKD bila kita diabetes, mempunyai tekanan darah yang tinggi, atau keluarga kita mempunyai riwayat penyakit ginjal. Semakin kita tua, semakin tinggi resiko. Orang berusia di atas 65 tahun dua kali lipat lebih mungkin mengembangkan CKD dibandingkan orang berusia di antara 45 dan 65 tahun. Orang Amerika keturunan Afrika lebih beresiko mengembangkan CKD. 2. Stadium 1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Kerusakan pada ginjal dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium pertama penyakit
ginjal
ini,
tujuan
pengobatan
adalah
untuk
memperlambat
perkembangan CKD dan mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh darah 3. Stadium 2 Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89). Saat fungsi ginjal kita mulai menurun, dokter akan memperkirakan perkembangan
7
CKD kita dan meneruskan pengobatan untuk mengurangi resiko masalah kesehatan lain. 4. Stadium 3 Penurunan lanjut pada GFR (30-59). Saat CKD sudah berlanjut pada stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi semakin umum. Kita sebaiknya bekerja dengan dokter untuk mencegah atau mengobati masalah ini. 5. Stadium 4 Penurunan berat pada GFR (15-29). Teruskan pengobatan untuk komplikasi CKD dan belajar semaksimal mungkin mengenai pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing pengobatan membutuhkan persiapan. Bila kita
memilih
hemodialisis,
kita
akan
membutuhkan
tindakan
untuk
memperbesar dan memperkuat pembuluh darah dalam lengan agar siap menerima pemasukan jarum secara sering. Untuk dialisis peritonea, sebuah kateter harus ditanam dalam perut kita. Atau mungkin kita ingin minta anggota keluarga atau teman menyumbang satu ginjal untuk dicangkok. 6. Stadium 5 Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja cukup untuk menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan dialisis atau pencangkokan ginjal. (Reeves, 2001)
C. ETIOLOGI Penyebab GGK (Price & Wilson, 2006), dibagi menjadi delapan, antara lain: 1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik 2. Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
8
3. Penyakit
vaskuler
hipertensif
misalnya
nefrosklerosis
benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis 4. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif 5. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal 6. Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis 7. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal 8. Nefropati obstruktif misalnya
Saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal
Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra
Penyebab gagal ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan klinis dapat dibagi dalam 2 kelompok : 1. Penyakit parenkim ginjal Penyakit ginjal primer: Glomerulonefritis, Mielonefritis, Ginjal polikistik, Tbc ginjal Penyakit ginjal sekunder: Nefritis lupus, Nefropati, Amilordosis ginjal, Poliarteritis nodasa, Sclerosis sistemik progresif, Gout, DM 2. Penyakit ginjal obstruktif : pembesaran prostat,Batu saluran kemih, Refluks ureter,
D. PATOFISIOLOGI (terlampir)
E. MANIFESTASI KLINIK Menurut Mansjoer (2001), manifestasi klinik yang muncul pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah: Umum Fatiq, malaise, gagal tumbuh, debil. Kulit Pucat, mudah lecet, rapuh, leukonikia. Kepala dan leher Rambut rontok, JVP meningkat. Mata Fundus hipertensif, mata merah.
9
Kardiovaskuler Hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis, uremik, penyakit vaskuler. Pernafasan Hiperventilasi asidosis, edema paru, effusi pleura. Gastrointestinal Anoreksia, nausea, gastritis, ulkus peptikum, kolitis uremik, diare yang disebabkan oleh antibiotic. Kemih Nokturia, anuria, haus, proteinuria, penyakit ginjal yang mendasarinya. Reproduksi Penurunan libido, impotensi, amenore, infertilitas, ginekosmastia, galaktore. Saraf Letargi, malaise, anoreksia, tremor, mengantuk, kebingungan, flap, mioklonus, kejang, koma. Tulang Hiperparatiroidisme, defisiensi vitamin D. Sendi Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang. Hematologi Anemia, defisiensi imun, mudah mengalami perdarahan. Endokrin Multipel. Farmakologi Obat-obat yang diekskresi oleh ginjal.
Menurut Smeltzer & Bare, 2001: 1. Kardiovaskuler
2. Dermatologi abu-abu mengkilat
3. Pulmoner
10
4. Gastrointestinal
Nafas berbau ammonia
5. Neurologi
kaki
6. Muskuloskeletal
7. Reproduktif
Tanda dan Gejala Gagal Ginjal Kronis: 1
Gangguan pernafasan
2
Edema
3
Hipertensi
4
Anoreksia, nausea, vomitus
5
Proteinuria
6
Hematuria
7
Letargi, apatis, penurunan konsentrasi
8
Anemia
9
Perdarahan
10 Turgor kulit jelek, gatal-gatal pada kulit
11
11 Distrofi renal 12 Hiperkalemia 13 Asidosis metabolic
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Urine : Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein 2. Darah : Bun / kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum, Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum 3. Pielografi intravena o
Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
o
Pielografi retrograd
o
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
o
Arteriogram ginjal
o
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
4. Sistouretrogram berkemih Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi. 5. Ultrasono ginjal Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas. 6. Biopsi ginjal Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis 7. Endoskopi ginjal nefroskopi Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif 8. Foto Polos Abdomen Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain. 10. Pemeriksaan Foto Dada Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial. 10. Pemeriksaan Radiologi Tulang
12
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik. 11. EKG Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.
G. KOMPLIKASI Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain : 1. Hiperkalemia 2. Perikarditis 3. Hipertensi 4. Anemia 5. Penyakit tulang (Smeltzer & Bare, 2001)
H. PENATALAKSANAAN Konservatif Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein) Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis (produk susu, telur, daging) di mana makanan tersebut dapat mensuplai asam amino untuk perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-600 ml/24 jam. Kalori untuk mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan lemak. Pemberian vitamin juga penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut air melalui darah sewaktu dialisa. Simptomatik Hipertensi ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobitamine dan dialisis. Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis. Anemia pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia rekombinan). Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa gejala spesifik seperti malaise, keletihan umum dan penurunan toleransi aktivitas.
13
Abnormalitas neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit kepala, dellirium atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari kejang. Terapi Pengganti Transplantasi Ginjal Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal karena menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik dan menimbulkan perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal merupakan prosedur menempatkan ginjal yang sehat berasal dari orang lain kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih fungsi kedua ginjal yang telah mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Seorang ahli bedah menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi abdomen bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis dengan ginjal yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru yang akan membuat urin seperti ginjal saat masih sehat atau berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal ( donor kadaver ). Cuci Darah (dialisis) Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu sama, difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis. CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan kardiovaskular).
Hemodialisis klinis di rumah sakit Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci darah ( dialiser ) yang berfungsi sebagai ginjal buatan.
14
Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi : 1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat. 2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia. 3. Dialisis Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka. 4. Penanganan hiperkalemia Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema. 5. Mempertahankan keseimbangan cairan Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan. 6. Transplantasi ginjal (Reeves, Roux, Lockhart, 2001)
15
infeksi
vaskuler
zat toksik Obstruksi saluran kemih
arteriosklerosis
reaksi antigen
tertimbun ginjal Retensi urin
suplai darah ginjal turun
iritasi / cidera jaringan
batu besar dan kasar
hematuria
menekan saraf perifer
anemia
nyeri pinggang GFR turun GGK
retensi Na
sekresi protein ter an u sindrom uremia perpospatemia
gang. keseimbangan asam - basa
pruritis
urokrom tertimbun di kulit perubahan warna kulit
prod. asam naik
resiko gangguan
total CES naik
resiko gangguan nutrisi
tek. kapiler naik
suplai nutrisi dalam darah turun
iritasi lambung infeksi
perdarahan
gangguan
vol. interstisial naik
perfusi jaringan
gastritis
- hematemesis
mual, muntah
- melena
intoleransi aktivitas
bendungan atrium kiri naik
COP turun tek. vena pulmonalis aliran darah ginjal suplai O2 turun jaringan turun
hipertrofi ventrikel kiri
anemia
suplai O2 kasar turun
payah jantung kiri
preload naik beban jantung naik
produksi Hb turun oksihemoglobin turun
edema (kelebihan volume cairan)
as. lambung naik nausea, vomitus
sekresi eritropoitiN turun
RAA turun retensi Na & H2O naik kelebihan vol. cairan
metab. timb. as. laktat naik - fatigue
suplai O2 ke otak turun
kapiler paru naik
syncope
edema paru
(kehilangan kesadaran) intoleransi aktivitas
gang. pertukaran gas
- nyeri sendi
II. HEMODIALISA DENGAN KOMPLIKASI HIPOTENSI A. PENGERTIAN HEMODIALISA Hemodialisis (hd) adalah cara pengobatan / prosedur tindakan untuk memisahkan darah dari zat-zat sisa / racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memindahkan
II. HEMODIALISA DENGAN KOMPLIKASI HIPOTENSI A. PENGERTIAN HEMODIALISA Hemodialisis (hd) adalah cara pengobatan / prosedur tindakan untuk memisahkan darah dari zat-zat sisa / racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memindahkan
B. TUJUAN HEMODIALISA Tujuan hemodialisis adalah untuk mengmbil zat-zat nitrogen yang toksik dari darah dan mengelurkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksik dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut di bersihkan dan kemudian di kembalikan lagi ke tubuh pasien.
C. PRINSIP HEMODIALISA Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Toksin dan zat limbah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memilki konsentrasi tinggi ke cairan yang konsentrasi rendah.
Air yang berlebihan akan di keluarkan dari tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat di kendalaikan dengan menciptakan gradien tekanan dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang loebih rendah (cairan dialisat).gradien ini dapat di tingkatkan meleui tekanan negatif yang di kenal dengan ultrafiltrasi. Tekanan negatif ini di terapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluran air karena pasien tidak dapat mengekresikan ari kekuatan ini di perlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia(keseimbangan cairan).
D. PENATALAKSANAAN
PASIEN
YANG
MENJALANI
HEMODIALISIS
JANGKA PANJANG Diet dan massalah cairan. Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis mengingat adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak mampu mengekresikan produk akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin yang di kenal dengan gejala uremik. Pertimbangan medikasi. Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.
E. KOMPLIKASI HEMODIALISA Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut: 1.
Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan.
2.
Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
3.
Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
4.
Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit.
18
5.
Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang.
6.
Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit dengan cepat meningglkan ruang ekstrasel.
7.
Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi
F. HIPOTENSI INTRA DIALISA Pada beberapa literatur, pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak memiliki standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda. Namun kebanyakan mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai munculnya gejala spesifik. Penurunan tekanan darah bisa relatif atau absolut. Sampai saat ini, belum ada evidence based yang merekomendasikan pengertian IDH. Manifestasi dari IDH bervariasi mulai dari asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG working group menekankan bahwa menurunnya tekanan darah, disertai dengan munculnya gejala klinis yang membutuhkan intervensi medis harus dipikirkan kemungkinan munculnya IDH. Beberapa literature mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik ≥ 30 atau tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada dialisis bisa muncul dengan beberapa gambaran klinis: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20 mmHg diikuti dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti yang sebelumnya, namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik, yaitu hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap dalam kisaran 90-100 mmHg. Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi intradialisis (Intradialytic hypotension) sebagai suatu penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau penurunan Mean arterial pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan munculnya gejalagejala seperti: perasaan tidak nyaman pada perut (abdominal
discomfort );
menguap
(yawning ); sighing ; mual; muntah; otot terasa kram ( muscle cramps), gelisah, pusing, dan kecemasan. Hal ini mengganggu kenyamanan pasien, dan dapat mencetuskan aritmia jantung, dan sebagai faktor predisposisi untuk penyakit jantung koroner, infark miokard (Burton et al., 2009) dan/atau kejadian iskemia otak (Mizumasa et al., 2004). Selain itu, IDH menyebabkan terhalangnya dosis dialisis yang adequat (adequate dose of dialysis), dimana episode hipotensi
19
menyebabkan
efek
kompartemen
dan
menghasilkan
Kt/Vurea
suboptimal.1,2,3,4 Komplikasi kardiovaskular dari IDH termasuk: kejadian iskemia (kardiak atau neurologis); trombosis vaskular; disritmia; dan infark vena mesenterika. Efek IDH jangka panjang termasuk; kelebihan cairan dikarenakan ultrafiltrasi yang suboptimal dan pemberian bolus cairan resusitasi, pembesaran ventrikel jantung kanan, yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas; serta hipertensi interdialisis.
G. FAKTOR RESIKO HIPOTENSI INTRA DIALISA Beberapa subgrup pasien yang mempunyai kecenderungan terjadinya IDH antara lain pasien dengan diabetes CKD, penyakit kardiovaskular, status nutrisi yang jelek, dan hipoalbuminemia, uremic neuropathy atau disfungsi autonomik, anemia yang berat, usia ≥ 65 ta hun, dan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg. Namun demikian belum ada penelitian epidemiologis dalam jumlah skala besar untuk mendefinisikan faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian IDH, walaupun IDH muncul lebih sering pada pasien dengan diabetes dan hipotensi predialisis. Walaupun pasien dialisis memiliki tensi yang normal (normotensi) atau hipertensi, dapat mengalami IDH. Derajat beratnya IDH pada satu pasien mungkin bisa bervariasi dari waktu ke waktu. Insidensi IDH sangat bervariasi selama periode 24 bulan. Selain itu, ada variasi tekanan darah pada pasien hemodialisis. Studi penelitian multi-centre cohort yang besar, telah dilaporkan oleh Tisler et al. Dari penelitian kohort 958 pasien, bersumber dari 11 pusat hemodialisis, dijumpai 226 pasien dengan IDH. Usia, jenis kelamin wanita, diabetes melitus, hiperfosfatemia, penyakit arteri koroner, dan penyakit ginjal selain glomerulonefritis, dan penggunaan obat-obat golongan nitrat, menyebabkan angka kejadian IDH lebih tinggi. Analisis
multivariat,
menyimpulkan
bahwa
usia,
hiperfosfatemia
dan
penggunaan obat-obatan nitrat merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya IDH. Pada studi lain, episode hipotensi muncul pada 44% pasien dialisis dengan usia ≥ 65 tahun dan 32% pada pasien dengan usia yang lebih muda. Nakamoto H dkk mengemukakan bahwa kadar albumin yang rendah merupakan faktor resiko untuk IDH. Abnormalitas dari jantung dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH. Pada studi observasional 15 pasien dialisis, penurunan tekanan darah lebih tinggi pada pasien dengan disfungsi
20
sistolik, dibandingkan dengan pasien dengan fungsi sistolik yang normal. Dan juga, disfungsi diastolik bisa meningkatkan resiko IDH. Pada suatu studi observational, pasien dengan IDH mempunyai hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dengan tekanan darah predialisis yang lebih rendah, dan terganggunya pengisian diastolik ventrikel kiri. Walaupun anemia dipertimbangkan sebagai faktor resiko untuk terjadinya IDH, belum ada studi yang membahas hubungan anemia terhadap terjadinya IDH. Neuropati saraf autonom juga ditemukan sebagai salah satu faktor resiko untuk IDH pada sebagian banyak penelitian, namun tidak pada semua penelitian. Berikut ini adalah subgrup pasien dengan hemodialisis kronik yang harus dievaluasi dengan hati-hati karena memiliki faktor resiko untuk terjadinya IDH:
Pasien dengan diabetes CKD stadium 5
Pasien dengan Penyakit kardiovaskular: LVH dan disfungsi diastolik dengan atau tanpa CHF; Pasien dengan penyakit katup jantung; Pasien dengan
penyakit
perikardium
(perikarditisi
konstriktif
atau
efusi
perikardium)
Pasien dengan status nutrisi yang buruk, dan hipoalbuminemia
Pasien
dengan
uremic
neuropathy
atau
disfungsi
autonomik
dikarenakan penyebab lain
Pasien dengan anemia yang berat
Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi yang lebih besar; misal pada pasien dengan berat badan yang melebihi interdialytic weight gain
Pasien dengan usia 65 tahun atau usia yang lebih tua
Pasien dengan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg
H. PATOFISIOLOGI Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab dari IDH adalah multifaktorial. Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah selama hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi. Pada sisi lain, faktor-faktor yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat berkontribusi terhadap instabilitas hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari membran dan lain-lain. Faktor yang kelihatannya paling dominan
21
dari kejadian IDH ini adalah berkurangnya volume sirkulasi darah yang agresif, dikarenakan ultrafiltrasi, penurunan osmolalitas ekstraselular dengan cepat yang berhubungan dengan perpindahan sodium, dan ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan plasma refilling . Dari segi pandangan fisiologi, IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakmampuan dari system kardiovaskular dalam merespon penurunan volume darah secara adequat. Respon adequate dari sistem kardiovaskular termasuk refleks aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena yang merupakan respon dari cardiac underfilling dan hipovolemia. Mekanisme kompensasi ini dapat terganggu
pada
beberapa
pasien,
yang
akan
menyebabkan
mereka
mempunyai faktor resiko terjadinya IDH. Bagaimanapun, hal-hal seperti ini sulit untuk diukur dan untuk dimodifikasi. Suatu studi komprehensif mengenai regulasi volume darah selama HD, dapat menolong kita untuk mengerti tentang kemungkinan IDH pada individu pasien. Regulasi Volume Darah Konsep Plasma Refilling Volume darah tergantung dari dua faktor utama; kapasitas plasma refilling dan laju ultrafiltrasi. Selama sesi HD, cairan dipindahkan langsung dari kompartemen intravaskular. Jumlah total cairan tubuh (TBW), sekitar 60% dari berat badan, didistribusikan di intraseluler (40% BW) dan sebagian lagi di kompartemen ekstraselular (20% BW). Ekstraselular dapat dibagi lagi menjadi interstisial (15% BW) dan intravaskular (5% BW). Sehingga hanya sekitar 5-8% dari TBW yang dapat diultrafiltrasi. Sehingga untuk memindahkan sejumlah cairan substansial dalam jangka waktu tertentu, kompartemen vaskular harus melakukan refilling secara terus menerus dari ruangan interstisial. Dalam lingkaran fisiologis, penurunan volume darah akan menginisiasi peningkatan resistensi vaskular perifer, dikarenakan vasokonstriksi, dan mempertahankan cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate dan kontraktilitas miokard dan konstriksi dari capacitance vessels. Orang sehat dapat mentoleransi penurunan volume sirkulasi darah sampai 20% sebelum munculnya hipotensi. Namun, pada pasien dengan HD, hipotensi dapat muncul hanya dengan penurunan volume darah dalam jumlah yang lebih sedikit. Terganggunya respon kardiak berupa peningkatan heart rate dan kontraktilitas miokardium dapat mencetuskan terjadinya IDH. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa adanya penyakit jantung, yang menyebabkan disfungsi sistolik atau diastolik
22
meningkatkan resiko terjadinya IDH. Penurunan tekanan darah lebih besar pada pasien dengan disfungsi sistolik dibandingkan denga fungsi sistolik normal. Hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dan diastolic filling yang terganggu juga dijumpai pada pasien IDH. Plasm a refill sebagian besar diperankan oleh tekanan hidrostatik dan
tekanan onkotik. Selama sesi HD awal, tekanan onkotik vaskular meningkat dan tekanan hidrostatik menurun sebagai hasil dari ultrafiltrasi yang progresif. Perubahan gradien tekanan menyebabkan cairan bergerak ke dalam vaskular sampai keseimbangan tercapai. Begitu seterusnya sampai sesi HD berakhir (Santoro et al., 1996). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi laju plasma refilling adalah: status hidrasi kompartemen interstisial, osmolalitas plasma, dan konsentrasi plasma protein, konsentrasi sodium dialisat, permeabilitas vaskular, dan venous compliance. Sehingga, IDH dapat muncul ketika terjadinya ketidakseimbangan diantara laju ultrafiltrasi dan kapasitas plasma refilling yang tidak bisa diatur oleh refleks kompensasi kardiovaskular. Cardiac underfilling terutama ventricular underfilling merupakan salah satu mekanisme akibat terganggunya mekanisme kompensasi kardiovaskular yang dapat memicu sympatico-inhibitory cardiodepressor Bezold-Jarish reflex. Refleks ini berupa suatu keadaan bradikardia akibat gangguan respon simpatik yang terganggu. Beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa gangguan fungsi simpatik, dapat ditunjukkan dengan beberapa manifestasi, seperti berkurangnya frekuensi heart rate. Berkurangnya resistensi dan kapasitansi pembuluh darah selama penurunan volume darah dapat memicu IDH. Berkurangnya konstriksi dari arteriolar dapat mengganggu respon fisiologis terhadap keadaan hipovolemia. Berkurangnya konstriksi aktif dan pasif dari venula dan vena, yang menyebabkan berkurangnya venous return selama hipovolemia. Telah lama diketahui sebelumnya bahwa iskemia miokardium dapat disebabkan oleh HD. Sesi HD yang singkat saja dapat berpengaruh secara signifikan terhadap hemodinamik, dan 20-30% kejadian ini menyebabkan IDH. Pasien HD lebih rentan terhadap kejadian iskemia miokardium. Dengan bertambah tingginya kejadian ateroma arteri koroner, pasien diabetes dengan HD, mengalami suatu keadaan yaitu berkurangnya aliran koroner walaupun tidak dijumpai lesi di pembuluh darah koroner. Pasien HD juga cenderung mengalami
LVH,
berkurangnya
compliance
arteri
perifer,
gangguan
23
mikrosirkulasi, dan inefektif mikrosirkulasi, dan inefektif vasoregulasi. Seluruh faktor ini akan mempredisposisi terjadinya iskemia jantung. Diabetes dapat menyebabkan komplikasi sistemik seperti neuropati autonom, dan perifer, makroangiopati, dan progresifitas dari aterosklerosis dan dapat memperberat atau bahkan meningkatkan kejadian IDH. Salah satu juga yang harus diperhitungkan bahwa uremia sendiri dapat menyebabkan disfungsi autonom. Zat-zat Vasoaktif Beberapa
penulis
mengindikasikan
mengenai
mengenai
pengaruh
dari
beberapa substansi vasoaktif yang disintesis atau dilepaskan selama sesi dialisis berlangsung. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, disfungsi endotel mempunyai peran penting dalam instabilitas hemodinamik selama dialisis berlangsung. Sebagai respon mekanis dan kimia, sel endotel akan merespon dengan memproduksi substansi biologis aktif, yaitu: endothelial derived
relaxing
factor ,
NO,
endothelin-1.
Sebagai
contoh,
zat-zat
cardiodepressive dan vasodilative adenosine atau nitric oxide (NO) yang mengalami produksi berlebihan oleh inducible synthase. Adenosin, suatu nukleosida purin endogen, dilepaskan oleh sel endotel dan miosit vaskular selama terjadinya iskemia jaringan. Konsentrasi adenosin yang tinggi dan metabolitnya telah banyak dijumpai pada pasien hemodialisis. Substansi ini bekerja dengan menstimulasi reseptor spesifik dan efek yang ditimbulkannya adalah supresi dari kontraktilitas jantung, dan berkurangnya heart rate, relaksasi arteri, dan juga menurunnya pelepasan katekolamin dan renin. Akumulasi dari adenosin mungkin terjadi karena dipicu oleh IDH yang mencetuskan iskemia, dan hal ini sepertinya tidak merupakan pemeran utama dari patogenesis terjadinya hipotensi intradialisis. NO, merupakan zat kimia yang labil, disintesa dari asam amino L-arginine (L-arg) oleh enzim NOS ( Nitric Oxide synthase), studi invitro mengemukakan bahwa aktivitas dari NO synthase meningkat ketika darah terekspos oleh material membran hemodialisis. Pada pasien dengan hemodialisis, aktivasi dari sitokin selama hemodialisis meningkatkan kadar NO, dan uremic milieu telah dilaporkan meningkatkan sintesis dari NO dengan meningkatkan aktivitas dari NO synthase (NOS). Sebenarnya ada zat yang menghambat sintesa dari NO, zat ini disebut Asymmetric dimethyarginine (ADMA). Inhibitor ini bersifat dialyzable. Sehingga, gangguan keseimbangan kadar NO dan ADMA selama proses HD, dapat mencetuskan instabilitas hemodinamik. Endothelin-1 (ET-1) dapat memodulasi
24
respon vaskular, dan menentukan respon hemodinamik terhadap perubahan volume intravaskular selama hemodialisis terjadi.
Komposisi Cairan Dialisat Dialisat Sodium Kadar sodium pada cairan dialisat memainkan peranan penting dalam refill volume darah dari kompartemen interstisial. Pengembalian volume darah dari interstisial ke dalam kompartemen intravaskular akan rendah bila status hidrasi dari interstisial juga rendah. Semakin tinggi konsentrasi sodium pada cairan dialisat, maka cairan akan bergerak dari kompartemen intraselular, sedangkan
konsentrasi
sodium
yang
rendah,
disequilibrium
antara
kompartemen intraselular dan ekstraselular akan terjadi. Oleh karena itu, dialisis dengan kadar sodium yang rendah, pengembalian volume darah dari kompartemen interstisial akan terganggu, oleh karena normalnya cairan akan bergerak dari interstisial kedalam kompartemen intraselular, sementara dengan kadar sodium dalam dialisat, cairan akan bergerak dari intraselular ke dalam kompartemen
interstisial,
pengembalian
volume
yang
darah
pada dari
gilirannya
interstisial
akan
kedalam
mempengaruhi kompartemen
intravaskular. Beberapa studi, menemukan adanya penurunan insidensi IDH atau insidensi penurunan tekanan darah pada pasien yang diterapi dengan konsentrasi sodium dialisat konvensional (138-140 mmol/L) dibandingkan
25
dengan konsentrasi sodium dialisat yang rendah (≤135 mmol/L). Namun tidak semua studi berpendapat sama seperti yang diatas. Kadar sodium dialisat yang tinggi (>140 mmol/L) telah dikemukakan dapat mencegah terjadinya IDH. Walaupun kadar sodium dialisat yang tinggi dapat digunakan dalam pencegahan IDH, hal ini tidak sepenuhnya bisa diterima, karena beberapa studi menyimpulkan bahwa dengan kadar sodium dialisat yang tinggi berhubungan dengan control tekanan darah yang buruk selama sesi dialisis (intradialytic), terutama pada pasien hipertensi atau peningkatan IDWG. Penggunaan cairan dialisat dengan kadar sodium yang lebih tinggi(> 140 mEq/L) efektif untuk memastikan adequatnya vascular refilling dan telah terbukti sebagai salah satu terapi yang efikasi dan toleransinya paling baik untuk hipotensi episodik. Kadar
sodium
pada
cairan
dialisat
dapat
dimodifikasi
selama
hemodialisa dengan tujuan mengurangi penurunan volume darah yang terlalu agresif selama ultrafiltrasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memodifikasi konsentrasi sodium selama proses hemodialisis. Pada umumnya, konsentrasi tinggi sodium dialisat digunakan pada awal sesi HD, sehingga
akan
menyebabkan influx dari Na lebih awal untuk mencegah penurunan osmolalitas plasma yang agresif. Banyak penelitian, mengemukakan bahwa dialisis dengan kadar sodium tinggi, berhubungan dengan peningkatan rasa haus, IDWG, dan peningkatan level tekanan darah predialisis.
26
Buffer Dialisat Asetat, pada dekade sebelumnya digunakan sebagai buffer dialisat, mempunyai efek vasodilatasi, dan efek kardiodepresan. Pada beberapa studi cross over yang kecil. Penurunan tekanan darah yang lebih besar atau insidensi IDH yang lebih tinggi dijumpai pada penggunaan asetat dibandingkan dengan bikarbonat. Suatu studi mengemukakan bahwa toleransi ultrafiltrasi lebih baik dan signifikan dengan menggunakan bikarbonat dibandingkan dengan penggunaan asetat. Ada dua studi yang mencoba efek dari perubahan buffer asetat menjadi bikarbonat. Pada salah satu dari kedua studi tersebut, merupakan
non-randomized
penurunan
insidensi
IDH
cross-over sebesar
trial ,
50%.
menyimpulkan
Dan
juga
terjadinya
selama
proses
hemodiafiltrasi, sedikit terjadi instabilitas hemodinamik pada penggunaan bikarbonat versus asetat sebagai buffer dialisat.1,2,3,6 Lebih jauh, diperkirakan bahwa,
konsentrasi
bikarbonat
pada
dialisat
mempengaruhi
stabilitas
hemodinamik. Pada studi randomized cross-over trial , insidensi IDH secara signifikan
lebih
rendah
dengan
menggunakan
dialisat
bikarbonat.
Bagaimanapun, pada percobaan ini, juga menggunakan konsentrasi kalsium pada dialisat yang rendah (1.25 mmol/l). Pada beberapa penelitian randomized cross-over , tidak ada perbedaan instabilitas hemodinamik atau penurunan tekanan darah yang ditemukan selama penggunaan dialisat bikarbonat dengan konsentrasi 26 atau 32 mmol/L, walaupun dengan konsentrasi kalsium pada cairan dialisat rendah (1.25 mmol/L). Pada percobaan ini, insidensi IDH lebih rendah ketika pasien diberikan konsentrasi bikarbonat dialisat. 32 mmol/L dan konsentrasi kalsium dialisat 1.50 mmol/L.1,2,3,6 Konsentrasi
bikarbonat
dialisat
yang
rendah
kemungkinan
akan
menyebabkan insuffisiensi koreksi asidosis dan menyebabkan efek samping pada metabolisme tulang dan status nutrisi pasien.2 Sebagai kesimpulan, penurunan tekanan darah dan insidensi IDH lebih tinggi pada penggunaan asetat
sebagai
buffer
dialisat.
Konsentrasi
bikarbonat
standar
tidak
menyebabkan instabilitas hemodinamik jika dibandingkan dengan konsentrasi bikarbonat dialisat yang rendah dengan konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L.
27
Dialisat kalsium Perubahan kalsium terionisasi memainkan peranan penting dalam kontraktilitas miokardium selama hemodialisis berlangsung. Beberapa studi menunjukkan penurunan kontraktilitas miokardium diantara pasien yang mendapat konsentrasi kalium rendah (1.25 mmol/L) dibandingkan dengan pasien yang mendapat konsentrasi kalium yang tinggi (1.75 mmol/L). Perubahan tekanan arterial rata-rata selama hemodialisis berbanding terbalik dengan kadar kalsium terionisasi, sedangkan pada dua studi, yang mana salah satunya dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung disimpulkan bahwa penurunan tekanan darah lebih sedikit pada pasien dengan konsentrasi kalsium dialisat 1.75 mmol/L dibandingkan dengan 1.25 mmol/L. Pada studi lain, tidak ada perbedaan respon tekanan darah dijumpai diantara konsentrasi kalsium rendah ataupun tinggi. Dengan kata lain, dialisat tinggi kalsium menyebabkan keseimbangan kalsium positif selama dialisis, sementara keseimbangan kalsium cenderung negatif dengan kadar dialisat rendah kalsium. Dialisat tinggi kalsium mungkin memiliki efek jangka pendek yang merugikan berupa kekakuan arteri, dan relaksasi jantung, walaupun penelitan lain tidak menemukan efek peningkatan kadar kalsium terionisasi dengan penggunaan dialisis tinggi kalsium pada fungsi diastolic jantung. Hubungan antara konsentrasi kalsium dialisat dan kalsifikasi vaskular belum sepenuhnya dipelajari. Suatu studi randomized cross-over menemukan insidensi IDH yang lebih rendah dan penurunan tekanan darah yang lebih rendah dengan penggunaan konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L dibandingkan dengan dialisis rendah kalsium. Pada studi ini, konsentrasi bikarbonat dialisat adalah 26 mmol/L (dialisis rendah kalsium) dan 32 mmol/L (konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L). Studi randomized cross-over menilai efek dari kalsium yang diprofil pada stabilitas hemodinamik pada 18 pasien hemodialisis. Selama periode 9 minggu, terdapat tiga terapi dengan konsentrasi dialisat kalsium yang berbeda diterapkan, masing-masing 1.25 mmol/L, dan 1.50 mmol/L dan terapi diprofil dengan konsentrasi kalsium 1.25 mmol/L selama 2 jam pertama, dan 1.75
28
mmol selama 2 jam selanjutnya. Dengan terapi seperti itu, kejadian IDH dapat dikurangi dibandingkan dengan konsentrasi dialisat 1.25 mmol/L dan 1.50 mmol/L. Sebagai kesimpulan, hampir kebanyakan studi menunjukkan efek positif dialisat tinggi kalsium pada stabilitas hemodinamik selama dialisis dibandingkan dengan dialisat rendah kalsium. Namun, dialisat tinggi kalsium menyebabkan keseimbangan kalsium positif pada jangka pendek dan jangka panjang, mempunyai potensi efek yang merugikan. Dialisat dan Temperatur tubuh Selama hemodialisis dengan suhu dialisis standar (≥ 37oC), suhu inti meningkat walaupun terjadi kehilangan energi melalui sistem ekstrakorporeal. Hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH. Fenomena ini tidak sepenuhnya dimengerti. Ada yang mengemukakan oleh karena heat load dari sistem ekstrakorporeal, ataupun proses sekunder dari perpindahan cairan. Perpindahan cairan berasosiasi dengan peningkatan metabolic rate dan berkurangnya kehilangan panas dari kulit yang disebabkan oleh vasokonstriksi perifer sebagai respon dari penurunan volume darah. Peningkatan suhu inti tubuh menyebabkan dilatasi dari pembuluh darah di kulit, hal ini berlawanan dengan respon fisiologis dari hipovolemia. Namun hipotesis ini baru-baru ini ditentang. Agar mencegah peningkatan suhu inti ini, sejumlah energi panas signifikan, sebesar 30% dari
daily resting energy expenditure,
harus
dikeluarkan oleh sirkuit ekstrakorporeal dengan mendinginkan dialisat. Berbagai percobaan randomized cross-over menunjukkan bahwa dialisis dengan temperatur dialisat lebih dingin (pada kebanyakan studi 35oC) dikaitkan dengan peningkatan reaktivitas dari resistensi perifer dan kapasitansi pemubuluh darah, meningkatkan kontraktilitas miokardium, mengurangi penurunan tekanan darah, dan mengurangi frekuensi IDH dibandingkan dengan temperatur dialisat 37-37.5oC. Dialisis dengan suhu yang lebih dingin dapat menyebabkan gemetar (keringat dingin), namun tidak semua studi. Penurunan volume darah signifikan lebih tinggi dengan menggunakan dialisis temperatur dingin, kemungkinan dikarenakan berkurangnya refill volume darah dari interstisial dikarenakan vasokonstriksi perifer. W alaupun pada studi dimana penurunan volume darah lebih besar dengan dialisis temperature dingin, stabilitas hemodinamik meningkat jika dibandingkan dengan temperatur dialysis standar. Oleh karena dialisis temperatur dingin terkadang dapat menyebabkan gemetar (keringat dingin), the working group menyarankan untuk menurunkan
29
suhu dialisat secara bertahap, dari 36.5oC kebawah selama sesi dialisis yang berbeda agar mencapai hasil klinis yang terbaik pada individu pasien. Agar mengurangi efek samping dan dikarenakan pengalaman yang terbatas, serta tidak adanya bukti mengenai manfaat dari suhu dialisat < 35oC, the working group menyarankan bahwa suhu dialisat < 35oC tidak boleh digunakan. Sebagai kesimpulan, dialisis temperatur dingin efektif dalam mencegah IDH tanpa efek samping yang merugikan. Agar dapat mengurangi efek samping seperti shivering , maka dianjurkan penurunan temperatur dialisat secara bertahap mulai dari 36.5oC sampai didapatkan efek optimal. Sangat sedikit bukti dan keuntungan tambahan dengan penurunan suhu dialisat < 35oC. Perlu diingat bahwa monitoring temperatur sulit pada pasien dialisis, dikarenakan variasi suhu ruangan, suhu inti tubuh, dan temperatur dialisat, serta kurangnya sensitivitas alat untuk memantau gradien suhu dialisat-darah.
I.
PENCEGAHAN HIPOTENSI INTRA DIALISA Berat Badan Kering (Dry body weight) Perhitungan dry body weight yang tidak tepat dapat menyebabkan underhydration atau overhydration pasien dialisis. Studi-studi sebelumnya menunjukkan jumlah signifikan dari pasien tidak stabil yang pada awalnya normohidrasi atau underhidrasi, menjadi underhydrated pada akhir sesi dialisis. Pada
pasien
underhydrated ,
volume
interstisial
sangat
kurang,
dan
terganggunya refill dari volume darah, sehingga menyebabkan penurunan volume darah yang lebih besar. Dengan kata lain, overestimasi berat badan kering dapat menyebabkan hipertensi dan meningkatkan resiko terjadinya dilatasi jantung, dan edema paru. Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menilai keadaan pasien apakah pasien kemungkinan underhydrated atau overhydrated .
Beberapa
metode
non-invasif
telah
dikembangkan.
Cardiothoracic ratio dengan X-ray bisa mendeteksi pasien overhydrated , tetapi tidak dapat digunakan sebagai alat untuk pencegahan terjadinya IDH. Diameter vena cava inferior, dapat diukur dengan ekokardiografi, berhubungan dengan volume darah, dan tekanan atrium kanan dan dapat memprediksi perubahan hemodinamik selama proses dialisis. Analisis Multifrequency bioimpedance dapat digunakan untuk memprediksi instabilitas hemodinamik pada beberapa studi. Alat ini juga sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan status cairan. Marker biokimia seperti cGMP, tetapi bukan ANP, dapat memprediksi
30
perubahan hemodinamik selama dialisis berlangsung. Baik cGMP dan ANP dilepaskansebagai respon terhadap peregangan atrium kiri. cGMP ditemukan dan dianggap kemungkinan berguna untuk diagnosis overhydration, namun tidak dapat memprediksi underhydration. Dan juga BNP, yang dilepaskan sebagai
respon
terhadap
peregangan
terhadap
ventrikel
kiri,
dapat
memprediksi overhidration, tetapi tidak underhydration. Sebagai kesimpulan, melalui beberapa metode objektif dapat digunakan untuk memprediksi perubahan tekanan darah dan parameter hemodinamik yang lain selama hemodialisis, pada saat ini penggunaan ekokardiografi vena kava telah menunjukkan hasil yang memuaskan dalam pengurangan terjadinya IDH. Bagaimanapun,
tekhnik
ini
tergantung
operator,
dan
mungkin
sulit
diinterpretasikan pada pasien gagal jantung. Penggunaan bioimpedance tidak menunjukkan
pencegahan
terjadinya
IDH,
namun
tekhnik
ini
mungkin
bermanfaat untuk mendeteksi perubahan status hidrasi. Tekanan darah dan frekuensi heart rate Tekanan darah dan frekuensi heart rate harus diukur rutin selama hemodialisis untuk mengantisipasi IDH. Dua tipe episode hipotensi dapat dibedakan selama hemodialisis, yaitu bradikardia dan takikardia. Kebanyakan, episode IDH dikarakteristikkan dengan penurunan tekanan darah bertahap dan peningkatan heart rate. Alternatif, episod IDH dapat muncul tibatiba dan berhubungan dengan respon bradikardia ( Bezold Jarish Reflex ), yang berasal dari aktivasi mekanoreseptor ventrikel kiri dikarenakan underfilling ventrikel berat. Pada IDH tipe takikardi, diperkirakan bahwa IDH mungkin dapat dicegah dengan pengaturan ultrafiltrasi,walaupun belum ada studi yang membuktikan hal ini. Evaluasi jantung harus dilakukan pada pasien dengan frekuensi IDH yang sering. Keadaan penyakit jantung, menyebabkan disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik dari jantung dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH. Peningkatan kontraktilitas miokardium merupakan respon fisiologik terhadap penurunan volume darah, dimana respon ini dapat terganggu oleh disfungsi sistolik dari jantung. Diastolic filling terganggu pada pasien IDH, dan disfungsi diastolik biasanya berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri, namun bisa juga karena iskemia miokardium atau fibrosis. Intervensi Pola hidup Dalam rangkan mengontrol IDWG, dan mengurangi resiko IDH, asupan garam harus diperhatikan dan tidak boleh melebihi 6 gram/hari. Restriksi garam
31
menurunkan IDWG dan meningkatkan kontrol tekanan darah interdialisis. Dua penelitian menilai efek dari batasan asupan garam terhadap kontrol tekanan darah interdialisis dan insidensi IDH. IDWG menurun secara signifikan dengan batasan asupan garam, dan insidensi IDH: 0.71±0.8(asupan garam biasa) vs 0.18±0.5 (asupan garam dibatasi). Pada studi lain, insiden IDH bulanan menurun dari 22% menjadi 7% setelah membatasi asupan garam. Pada pasien diabetes, hiperglikemia dapat mencetuskan perasaan haus, dan menstimulasi haus dan meningkatkan IDWG, sehingga diperkirakan kontrol glukosa yang ketat dapat mengurangi IDWG, namun belum ada data mengenai kontrol glukosa dan IDWG pada pasien dialisis. Kesimpulan, mengurangi asupan garam (2 gram/90 mmol Na atau 6 gram NaCl) dapat mengurangi IDWG dan dapat mempunyai peranan dalam pencegahan IDH. Asupan makanan selama dialisis dapat menyebabkan vasodilatasi splachnic , dan dapat mencetuskan IDH. Tiga studi menunjukkan penurunan tekanan darah yang lebih besar dan insidensi IDH lebih besar setelah asupan makanan. Kafein tidak terbukti dapat mencegah kejadian IDH. Durasi Dialisis dan Frekuensi Pemanjangan
waktu
dialisis
atau
peningkatan
frekuensi
dialisis
harusdipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami IDH. Pemanjangan waktu dialisis dapat mengurangi laju ultrafiltrasi, sehingga penurunan volume darah tidak agresif. Suatu studi membandingkan toleransi intradialisis dengan membandingkan dialisis selama 4 jam dan 5 jam, dengan hasil penurunan episode hipotensi pada pasien yang menjalani dialisis selama 5 jam. Lebih jauh, efek dari pengurangan laju ultrafiltrasi, hanya dapat dicapai dengan memperpanjang waktu dialisis, dan ini telah dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung. Pada studi ini, penurunan tekanan darah sistolik lebih sedikit pada pasien dengan laju ultrafiltrasi 500 dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi 1000. Pada DOPPS, insidensi IDH lebih sedikit 30% pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 11ml/kg/jam dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi standar. Dan mortalitas lebih rendah pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 10 ml/kg/jam. Pada pasien yang menjalani dialisis 8 jam sebanyak 3 x seminggu, insidensi hipotensi sangat rendah. Dengan frekuensi hemodialisis yang lebih sering, seperti quotidian dialysis atau short daily dialysis, kontrol tekanan darah lebih bagus, dan masa ventrikel kiri juga berkurang. Karena frekuensinya lebih sering, volume ultrafiltrasi dikurangi. Suatu studi menunjukkan pengurangan
32
insidensi IDH dengan mengganti frekuensi HD dari 3-4 kali seminggu menjadi 6 kali, 2 jam per sesi dialisis. Suatu studi menunjukkan pengurangan kebutuhan infus salin setelah konversi frekuensi hemodialisis dari 3x seminggu menjadi 6x seminggu. Pada studi kohort, 23 pasien (11 pasien, short daily dialysis; 12 pasien, long nocturnal dialysis) dibandingkan dengan 22 HD konvensional (3x seminggu) sebagai kontrol. Terjadi pengurangan insidensi dialysis-related symptoms pada short daily dialysis. Namun studi oleh Fagugli et al pada pasien yang stabil, tidak ada perbedaan IDH diantara short daily dialysis dan dialisis standar 3x seminggu. Sebagai kesimpulan, ada bukti yang menunjukkan bahwa memperpanjang waktu dialisis dapat menurunkan kejadian IDH, dengan penurunan laju ultrafiltrasi sehingga penurunan tekanan darah sistolik tidak terlalu agresif pada pasien dengan fungsi jantung terganggu.
J. PENATALAKSANAAN JIKA TERJADI HIPOTENSI INTRA DIALISA Pendekatan Lini Pertama
. Konseling asupan makanan (restriksi garam)
. Menghindari asupan makanan selama dialysis
. Pengukuran berat badan kering
. Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialysis
. Penggunaan temperatur dialisat 36.5Oc
. Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi
Pendekatan Lini kedua
Evaluasi performa jantung
Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC sampai 35oC
Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialysis
Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l
Pendekatan Lini Ketiga
Pertimbangan pemberian midodrine
Pertimbangkan suplementasi L-carnitine
Posisi Trendelenburg Posisi trendelenburg harus dipertimbangkan pada penatalaksanaan IDH. Namun efikasi masih terbatas. Posisi ini sering digunakan pada penatalaksanaan IDH, dengan penerapan manuver ini, volume aliran darah berkurang di perifer dan lebih tersentralisasi. Namun, hanya sedikit studi yang
33
menilai efikasi posisi ini. Pada suatu studi, peningkatan volume darah hanya sekitar 0.4%. Tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dalam perubahan tekanan darah selama dialisis setelah menerapkan posisi terndelenburg. Sebagai kesimpulan, efek dari posisi trendelenburg pada volume darah sangat kecil. Stop Ultrafiltrasi Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan ultrafiltrasi, akan mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan memfasilitasi refill volume darah dari kompartemen intrestisial. Memperlambat laju aliran darah terkadang dapat digunakan dalam pengobatan IDH. Pemberian Cairan Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon dengan penghentian ultrafiltrasi dan posisi trendelenburg selama episode IDH. Pemberian cairan ini paling sering diberikan untuk meningkatkan volume darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid dan koloid telah dipelajari dalam pengobatan IDH. Beberapa studi telah menilai efek dari salin isotonik, glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid. Pada studi tersebut membandingkan efek dari isovolumetrik infus glukosa 5 dan 20%, salin 0.9% dan 3.0% dan manitol 20% dalam volume darah selama ultrafiltrasi, peningkatan volume darah paling besar selama pemberian larutan glukosa hipertonik. Pada studi lain, peningkatan volume darah lebih besar setelah pemberian infus 100 ml plasma ekspander gelofusin dibandingkan dengan 100 cc salin isotonik. Pada studi
lain,
tidak
ada
perbedaan
signifikan
antara
pemberian
albumin
dibandingkan salin isotonik untuk penatalaksanaan IDH. Sebagai kesimpulan baik salin isotonik dan larutan albumin sama-sama efektif pada pengobatan IDH. Salin hipertonik tidak lebih superior dari salin isotonik, dan albumin tidak lebih superior dari albumin atau HES pada penatalaksanaan IDH. Intervensi farmakologis Midrodin merupakan suatu obat alpha-1 agonist oral. Metabolit dari midodrine, desglymidodrine, menyebabkan konstriksi dari resistance dan capacitance vessels. Midrodrine mencegah IDH dengan mempertahankan volume darah sentral dan cardiac output , dan peningkatan resistensi vaskular perifer. Midodrin efektif diekskresikan melalui hemodialisis, dan waktu paruh berkurang sampai 1.4 jam dengan hemodialisis. Midodrine memiliki efek jantung yang minimal, dan efek susunan saraf pusat, dikarenakan spesifisitas
34
terhadap reseptor α1, dan tidak melewati BBB. Pemberian dosis tunggal midodrine (5 mg) 30 menit sebelum sesi dialisis berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dan MAP intradialisis dan pos dialisis, dibandingkan dengan sesi dialisis tanpa penggunaan midodrine. Penelitian lain menunjukkan efikasi dari penggunaan midodrine berketerusan (8 bulan) dan tidak ada tanda-tanda efek samping yang berkembang. Namun beberapa literatur pernah menemukan komplikasinya berupa supine systolic hypertension. Beberapa studi mengemukakan efek samping yang dijumpai antara lain scalp paresthesias, heartburn, flushing , nyeri kepala, nyeri leher, dan kelemahan tungkai, urinary urgency , dan gangguan tidur. Pasien juga harus dimonitor untuk kemungkinan bradikardia, oleh karena midodrine dapat menstimulasi refleks parasimpatis. Midodrin harus digunakan secara hatihati pada pasien CHF dan obat-obat kronotropik negatif seperti beta-bloker, digoksin, dan CCB nondihidropiridin. Penggunaan bersama-sama dengan obat α-adrenergik yang lain seperti efedrin, pseudoefedrin, dan phenylpropanolamin harus dihindari, oleh karena akan mencetuskan supine hypertension. Suatu studi membandingkan efektivitas dari midodrine dan dialisis temperatur dingin. Baik dialisis temperatur dingin, dan midodrine sama-sama efektif dalam pencegahan IDH, dan tidak ada perbedaan respon tekanan darah dan insidensi IDH diantara kedua terapi tersebut. Efektivitas dari beberapa obat vasoaktif dalam pencegahan IDH telah dilaporkan. Data mengenai efektivitas dan keamanan dari lisin vasopresin, ergotamin, metilen blue, sertralin dan dobutamin sangat terbatas dan tidak bisa dijadikan rekomendasi. Pada beberapa literatur menyimpulkan bahwa dosis awal midodrine adalah 2.5 mg, dimakan 30 menit sebelum dialisis, dengan dosis maksimal 10 mg, efektif dan mungkin aman dalam pencegahan IDH, walaupun data tentang keamanan dalam penggunaan jangka panjang masih terbatas. Namun, superioritas dari midodrine dibandingkan dari intervensi lain belum dapat dibandingkan L-carnitine, suplementasi zat golongan ini harus dipertimbangkan dalam pencegahan IDH jika pengobatan standar lainnya gagal. Pada pasien hemodialisis, kadar L-carnitine menjadi rendah oleh karena berkurangnya biosintesis oleh ginjal, dan kehilangan dari cairan dialisat. Defisiensi l-carnitine dapat menyebabkan berkurangnya fungsi sistolik dari jantung. Pemberian lcarnitine juga meningkatkan fraksi ejeksi dari ventrikel kiri. Suatu penelitian dengan pemberian infus L-carnitin 20 mg/kg pada setiap sesi dialisis
35
mengurangi frekuensi IDH dan kram otot (44% banding 18% dan 36% banding 13%) dibandingkan dengan plasebo. Mengenai alasan atas keuntungan ini belum jelas, namun kemungkinan dikarenakan peningkatan fungsi otot polos vaskular dan fungsi otot jantung. Namun, masih sedikit bukti mengenai suplementasi l-carnitine berguna dalam pencegahan IDH. Dopamin, merupakan katekolamin yang memproduksi efek ionotropik dan kronotropik pada miokardium, sehingga meningkatkan heart rate dan kontraktilitas jantung. Onset kerja dopamin adalah 5 menit setelah pemberian intravena, dan waktu paruh sekitar 2.5 menit. Efek predominan dopamin sangat tergantung dosis. Pada dosis infus rendah (0.5-2 μg/kg/menit) dopamin menyebabkan vasodilatasi. Pada dosis infus sedang (2-10 μg/kg/menit) dopamin bekerja merangsang β1-adrenoreseptor, menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokardium. Pada dosis infus tinggi (10- 20 μg/kg/menit) menyebabkan efek pada α-adrenoreseptor, dengan efek vasokonstriktor dan peningkatan tekanan darah. Suatu penelitian oleh Wen-Yuan Chiu et al , mengemukakan bahwa pemberian dopamin selama sesi dialisis dapat diterapi dan efektif untuk grup pasien IDH simptomatik. Pada penelitiannya, penggunaan infus dopamin pada dosis 20 μg/kg/meenit, dan tidak melebihi dosis tersebut karena dosis tersebut tidak memberikan efek yang lebih baik untuk miokardium namun meningkatkan resiko vasokonstriksi dan iskemia.
K. ASUHAN KEPERAWATAN Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah: 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat. 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H 2O. 3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah. 4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui alkalosis respiratorik. 5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O 2 ke jaringan menurun.
36
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan. INTERVENSI KEPERAWATAN 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil : mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler Intervensi: a. Auskultasi bunyi jantung dan paru R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur b. Kaji adanya hipertensi R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteronrenin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal) c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 010) R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O) Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output Intervensi: a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital b. Batasi masukan cairan R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan
37
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil Intervensi: a. Awasi konsumsi makanan / cairan R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi b. Perhatikan adanya mual dan muntah R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi c. Beikan makanan sedikit tapi sering R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial e. Berikan perawatan mulut sering R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil Intervensi: a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2 c. Atur posisi senyaman mungkin R: Mencegah terjadinya sesak nafas d. Batasi untuk beraktivitas R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia
38
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil : -
Mempertahankan kulit utuh
-
Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi: a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi. b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan c. Inspeksi area tergantung terhadap udem R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek d. Ubah posisi sesering mungkin R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia e. Berikan perawatan kulit R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit f.
Pertahankan linen kering R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit 6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi Intervensi: a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat
39
DAFTAR PUSTAKA
GInting, Ananda Wibawanta. 2010. Hipotensi IntraDialisis. Medan: Divisi Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H. Adam Malik / RSU. Dr. Pirngadi Medan. Corwin, E.J. 2001. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000. Alih bahasa: Kariasa,I.M. Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting patients care. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach. Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli diterbitkan tahun 1989) Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Alih bahasa : Setyono, J. 2001. Medical – surgical nursing . Jakarta: Salemba Medika. Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical Nursing 10 th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
40