Nama
: Yuli Astuti
Delegasi
: MAPERWA FMIPA UNM
Tema
: Gerakan Mahasiswa
Judul
: Revitalisasi : Revitalisasi Identitas Mahasiswa dalam Penguatan Penguatan Gerakan Mahasiswa
Akhir-akhir ini mahasiswa dianggap jauh dari kata pergerakan. Mahasiswa saat ini lebih terfokus kepada kegiatan akademik dibanding bergelut dengan organisasi, baik organisasi ekstra maupun intra kampus. Menurut berbagai survey di berbagai universitas di Makassar, membuktikan banyak mahasiswa yang kesehariannya hanyalah kuliah pulang, kuliah pulang (kupu-kupu). Mereka alim akan berorganisasi di dalam kampus yang jelas-jelas merupakan organisasi yang dapat mendorong mereka yang nantinya akan terjun langsung di masyarakat, mereka melupakan tri dharma perguruan tinggi atau mereka memang acuh tak acuh atau berpura-pura lupa tri dharma perguruan tinggi?, ada juga mahasiswa yang aktif dalam kegiatan di dalam kampus maupun di luar kampus, namun tak lebih dari sekedar pengisi waktu luang agar tak dikatakan kupu-kupu yang bahkan mereka tidak mengerti hakikat dari pergerakan mahasiswa itu sendiri. Misalnya saja, mahasiswa kini lebih memilih untuk menghabiskan sabtuminggu sebagai hari libur untuk menyelesaikan tugas kuliah, padahal dihari libur itulah sebagai waktu bagi mahasiswa untuk berkreasi, mengembangkan minat dan bakat mereka, tak terkecuali berorganisasi. Bagaimana tidak, mahasiswa begitu takut akan keterlambatan dalam hal menyelesaikan tugas dari dosen yang tidak lain yang mereka kejar hanyalah sekedar nilai semata, bukan beriorientasi pada ilmu yang diperoleh. Mahasiswa versi ini sering menyebut diri mereka mahasiswa akademisi. Di kampus, selain mahasiswa akademisi masih ada jenis mahasiswa yang tidak kalah memprihatikan, yakni mahasiswa hedon, atau yang menganut paham hedonisme. Kuliah bisa jadi bukanlah yang nomor satu, melainkan yang utama adalah fashion dan kesenangan mereka. Kampus dijadikan tempat menampilkan
segala jenis fashion terbaru, ada juga yang memanfaatkannya untuk menghasilkan uang. Kedua jenis mahasiswa di atas, sudah jelas sangat jauh dari yang namanya memikirkan gerakan mahasiswa. Namun ada satu jenis lagi, mahasiswa yang katanya aktif berorganisasi di dalam dan di luar kampus. Pemangku jabatan dalam Lembaga Kemahasiwaan ataupun pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Namun sayangnya, jika UKM fokus terhadap pengembangan minat dan bakat untuk mencetak prestasi nasional maupun internasional, lain halnya dengan LK yang begitu bangga dengan event tahunan yang berlomba-lomba mendatangkan peserta yang banyak. Wajarkah? Hanya itukah yang dapat dilakukan mahasiswa saat ini? Dimana pergerakan mahasiswa sebagai kaum yang kritis terhadap masalah masalah sosial-politik-dan ekonomi? Mahasiswa tidak cukup hanya dengan visi dan misi tridharma perguruan tinggi, seperti kata (Tilaar, 1998) dalam bukunya “Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional”, bahwa thidarma perguruan tinggi yang dianggap sebagai tugas mahasiswa, hal ini pun bila dikaji sebagai visi dan misi universitas kita dewasa ini yang berisikan rumusan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat dalam menghadapi dunia baru yang akan datang, dunia yang terbuka dan lebih demokratis, yang ditopang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ketiga misi universitas tersebut kiranya sudah kadaluarsa. Universitas yang seharusnya sebagai tempat persemaian untuk menyiapkan para intelektual dan apabila kampus buta terhadap perkembangan dan tuntutan moral maka lembaga tersebut akan tercecer dari usaha untuk membangun masyarakat masa depan yaitu masyarakat madani. Masyarakat madani ialah masyarakat yang adil, makmur, terbuka, egaliter dan demokratis. Olehnya
itu,
mahasiswa
tidak
sewajarnya
melupakan
hakikat
pergerakannya, sebagaimana Orde baru jatuh dan berubah menjadi reformasi karena persatuan dan pergerakan mahasiswa. Mahasiswa sepatutnya peduli terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat, baik masyarakat luar maupun di dalam kampus sendiri. Karena bukanlah suatu kesalahan apabila mahasiswa melakukan pergerakan untuk menuntut hak-hak mereka dan
melakukan kewajibannya untuk peka terhadap permasalahan yang ada. Mahasiswa adalah juga seorang warga Negara, meskipun tugas utamanya ialah menggali dan memiliki ilmu pengetahuan tetapi juga salah satu aspek daripada kehidupan mahasiswa ialah mereka adalah warga Negara yang mempunyai hak dan kewajiban sama dengan warga Negara lainnya, jadi apabila mahasiswa bergejolak di kampus maka hal itu merupakan suatu ungkapan dari hak dan kewajibannya sebagai warga Negara (Tilaar,1998). Mahasiswaa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Apalagi jika saluran-saluran kebebasan moral mulai tersumbat maka adalah merupakan tanggungjawab moral dari mahasiswa untuk menyatakan sesuatu sesuai dengan hati nuraninya. Berbagai jenis permasalahan dalam wilayah kampus yang sudah sepantasnya menjadi perhatian mahasiswa ini, sudah memadai kah sarana dan prasarana yang diperoleh saat ini ? jika dibandingkan dengan beban UKT yang begitu menjulang tinggi dari tahun ke tahun. Bukannya semakin baik malah bisa dikatakan malah buruk, kemana uang yang dibayarkan setiap semester itu pergi? Bukankah yang katanya UKT diusung berdasarkan Unitcost atau kebutuhan mahasiswa seharusnya cukup untuk menutupi segala kebutuhan? Belum lagi adanya sistem subsidi bagi mahasiswa yang kurang mampu dari mahasiswa yang terbilang mampu. Jadi, tidak ada alasan mengenai kurangnya dana. Permasalahan di atas barulah setitik dari berbagai permasalahan yang ada di kampus, belum lagi jika mahasiswa ini memandang keluar melihat politik, ekonomi dan pemerintahan Indonesia. Masalahnya akan semakin kompleks, seperti halnya ligan-ligan yang saling behubungan membentuk senyawa yang kompleks dengan berbagai warna dan bentuk. Mahasiswa seharusnya sadar untuk melakukan gerakan, gerakan bukan hanya menyangkut turun ke jalan ataukah orasi di depan kantor tertentu, tapi lebih kepada suatu gagasan untuk mencari solusi bagaimana masalah-masalah tersebut dapat terselesaikan. Jika seperti kata seorang wartawan yang dulunya merupakan aktivis kampus, “… saat ini bukan zamannya lagi untuk demonstrasi dimana mana, karena hal itu sudah tidak memiliki efek yang jera. Lihat saja saat orasi pengurus LK pada Hari Pendidikan Nasional di lingkungan kampus, mahasiswa
yang lain hanyalah acuh dan tidak peduli, bahkan ada yang berpikiran, untuk apa itu …?. Padahal jika ditanya kepada pihak yang orasi, mereka melakukan itu, tidak lain untuk memperjuangkan hak-hak semua mahasiswa termasuk yang tidak acuh tersebut. Sekarang pertanyaannya, bagaimana merevitalisasi identitas Mahasiswa
dalam
Penguatan
Gerakan
Mahasiswa.
Merevitalisasi
atau
membangkitkan kembali mahasiswa ? Pada
hakikatnya,
setiap
individu
maupun
kelompok
memiliki
indentitasnya masing-masing. Sebagai mahasiswa, identitas tersebut bukan hanya harus dimiliki dan dipahami, tetapi juga merupakan suatu tanggung jawab yang harus diemban karena terteranya predikat “maha” di depan siswa dan tentunya hutang mahasiswa pada rakyat dan negara. Terdapat tiga poin utama identitas mahasiswa, yakni potensi, posisi dan peran. Pertama, potensi mahasiswa. Mahasiswa memiliki tiga potensi yang utama, yakni hardskill atau kemampuan yang biasanya sesuai dengan bidang keilmuannya. Potensi yang kedua ialah softskill, yang dimaksud dengan softskill adalah kemampuan dalam hubungan interpersonal atau dalam komunikasi. Ketiga, idealisme. Yang dimaksud dengan idealisme adalah suatu nilai atau pegangan yang dijaga karena dianggap benar. Idealisme merupakan ciri khas mahasiswa, dan mahasiswa harus memegang kebenaran berdasarkan ilmiah yakni hal-hal yang berupa fakta, didasari oleh data, serta memiliki bukti dan dapat diargumenkan. Idealisme merupakan salah satu yang terpenting, walaupun hardskill dan softskill juga tidak kalah pentingnya. Sebagai contoh, dapat dilihat bahwa para koruptor tidak memiliki idealisme yang baik akan membawa hasil akhir yang tidak baik, padahal mereka memiliki hardskill dan softskill yang baik. Softskill dan hardskill dapat disalahgunakan, oleh karena itu diperlukan adanya idealisme yang dapat mengarahkan 2 hal tersebut. Ketiga potensi diatas harus digali dan dikembangkan melalui organisasi dan kegiatan-kegiatan positif seperti bakti masyarakat. Kedua, posisi mahasiswa. Posisi mahasiswa di lapisan masyarakat merupakan masyarakat sipil. Di dalam masyarakat sipil, terpadat beberapa golongan dan diantaranya mahasiswa tergolong dalam masyarakat sipil akademia, bersama dosen dan peneliti. Masih banyak dari kalangan mahasiswa yang kurang
paham bahwa kita semua termasuk ke dalam masyarakat sipil kalangan akademia. Kalangan akademia seharusnya mengedepankan fakta dibanding opini seperti ketika mengajukan pendapat, harus disertai fakta-fakta yang ada, akan lebih baik untuk melakukan studi kasus terlebih dahulu daripada mempercayai begitu saja omongan orang lain yang semata-mata berupa opini. Sebagai akademia, mahasiswa diharapkan dapat memahami berbagai masalah dan mencari solusinya. Dengan mengetahui posisi kita sebagai mahasiswa, berarti kita mengetahui batasan-batasan tindakan yang dapat kita lakukan dan memaksimalkannya, serta dapat menempatkan diri sesuai lingkungan yang dihadapi. Identitas mahasiswa yang ketiga yakni peran mahasiswa sebagai iron stock atau generasi penerus dan dapat terjun ke masyarakat. Sebagai generasi penerus, mahasiswa akan mengisi posisi para pemimpin bangsa dan harus mendidik adikadiknya agar menjadi generasi penerus yang lebih baik. Untuk dapat menjalankan perannya dalam terjun ke masyarakat, mahasiswa harus mengenal potensi dan posisi yang dimilikinya. Saat akan melakukan bakti masyarakat, mahasiswa harus menganalisis masalah di suatu lingkup masyarakat dan memberi potensi yang ia miliki untuk membantu menyelesaikannya. Selain itu, follow-up dan sustaining kegiatan bakti masyarakat juga wajib dilakukan agar manfaatnya maksimal. Mahasiswa khususnya dinilai kurang aktif dan berbaur ke masyarakat sekitarnya, kebanyakan aksi terjun masyarakat termasuk jarang dan kurang maksimal. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa pada umumnya seperti pengabdian masyarakat akan jauh lebih efektif apabila dilakukan lebih menyeluruh sampai ke dasar-dasarnya, yakni menyelesaikan masalah dan kebutuhan masyarakat atau dalam ungkapan peribahasa "jangan memberi ikan, tetapi berikanlah mata kailnya”. Dalam terjun ke masyarakat dan merealisasikan peran, kita perlu menghargai setiap ide yang ada walaupun sepele asal memberikan manfaat, dan membuat ide tersebut menjadi kenyataan melalui organisasi atau kegiatan-kegiatan.