KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah membantu hamba-Nya dalam menyelesaikan “Manajemen zakat dan wakaf ”. ”. Tanpa pertolonganNya, mungkin makalah yang berjudul berjudu l “Manajemen penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk membantu mahasiswa memahami tentang zakat dan wakaf. Zakat dan wakaf merupakan nilai instrumental system ekonomi islam. Kedua lembaga ini merupakan sarana yang sangat erat dengan pemilikan. Dilihat dari sudut pandang islam, pemilikan adalah soal yang sangat penting, sebab ia menyangkut hubungan manusia dengan harta kekayaan yang dimiliki, mengenai cara memperolehnya, fungsi hak milik, dan cara memanfaatkannya. Mengenai cara memanfaatkan harta atau rezeki yang diberikan Tuhan, ajaran islam memberikan pedoman dan wadah yang jelas. Diantaranya melalui zakat, sebagai sarana distribusi pendapatan dan pemerataan rezeki dan kemudian wakaf sebagai sarana berbuat kebajikan bagi kepentingan masyarakat. Dalam penyusunan makalah ini kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kami. Namun sebagai manusia biasa, penyusun tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi tekhnik penulisan maupun tata bahasa. Tetapi walaupun demikian penyusun berusaha sebisa mungkin menyelesaikan makalah meskipun tersusun sangat sederhana. Demikianlah, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua untuk lebih memahami tentang zakat dan wakaf. Kami mengharapkan saran serta kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun sehingga dapat menjadi lebih sempurna dimasa yang akan datang. Jambi, oktober 2012
Penyusun i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR….….……………………………………………………………
i
DAFTAR ISI…………………….………………………………………………………
ii
BAB 1 PENDAHULUAN..…..…………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN……………………………………..…………………………
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA….………………………………………………………………..
ii
BAB I PENDAHULUAN
Di dalam ajaran Islam, ada dua tata hubungan yang harus dipelihara oleh para pemeluknya. Keduanya disebut dengan dua kalimat : hablum minallah wa hablum minan nas (Q.s. 3 :112). Terjemahan harfiahnya adalah „tali manusia‟. Hubungan itu dilambangkan dengan tali, karena ia menunjukkan ikatan atau hubungan antara manusia dengan Tuhan dan anatar manusia dengan manusia. Kedua hubungan itu harus berjalan secara serentak dan simultan. Kalau dilukiskan, garis ke atas (vertikal) menunjukkan hubungan manusia yang bersifat langsung dan tetap dengan Tuhan. Garis mendatar, horizontal, menunjukkan hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, lingkungan dan dirinya sendiri, selama ia hidup di dunia ini. Yang dituju adalah keselarasan dan kemantapan hubungan dengan Allah dan dengan sesame manusia, termasuk dirinya sendiri dan lingkungannya. Inilah aqiqah dan ini pulalah wasilah (jalan) yang dibentangkan oleh ajaran Islambagi manusia, terutama manusia yang memeluk ajaran agama itu. Salah satu lembaga yang dianjurkan oleh ajaran Islam untuk dipergunakan oleh seseorang sebagai sarana penyaluran rezeki yang diberikan oleh Tuhan kepadanya adalah wakaf. Ada tiga sumber pengetahuan yang harus dikaji untuk memahami lembaga itu, yaitu (1) ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur‟an dan al-Hadits serta Ijtihad para mujtahid, (2) peraturan perundang-undangan, baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda dahulu maupun yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, dan (3) wakaf yang tumbuh dalam masyarakat. Wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam di manapun juga. Di Indonesia, lembaga ini telah menjadi penunjang utama perkembangan masyarakat. Hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf (A.Q. Basalamah, 1985 :V).
BAB II PEMBAHASAN
A. Arti dan Definisi Zakat Perkataan zakat berasal dari kata zaka, artinya tumbuh dengan subur. Makna lain kata zaka, sebagaimana digunakan dalam al-Qur‟an adalah suci dari dosa (M. Moh. Ali, 1977 : 311) Dalam kitab-kitab hokum islam, perkataan zakat itu diartikan dengan suci, tumbuh dan berkembang serta berkah. Dan jika pengertian itu dihubungkan dengan harta, maka menurut ajaran Islam, harta yang dizakati itu akan tumbuh berkembang, bertambah karena suci dan berkah (membawa kebaikan bagi hidup dan kehidupan yang punya). Jika dirumuskan, maka zakat adalah bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu, dengan syarat-syarat tertentu pula. Syarat-syarat tertentu itu adalah nisab, haul dan kadar-nya. Menurut hadits, yang berasal dari Ibnu Abbas, ketika Nabi Muhammad mengutus Mu‟az bin Jabal ke Yaman untuk mewakili beliau menjadi gubernur di sana, antara lain Nabi menegaskan bahwa zakat adalah harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya, antara lain fakir dan miskin.
B.
Prinsip-prinsip Zakat Menurut M. A. Mannan dalam bukunya Islamic Economics: Theory and Practice (Lahore, 1970 : 285), zakat mempunyai enamprinsip, yaitu prinsip keyakinan keagamaan (faith), prinsip pemerataan (equity) dan keadilan, prinsip produktivitas (productivity) dan kematangan, prinsip nalar (reason), prinsip kebebasan (freedom), prinsip etik (ethic) dan kewajaran. Prinsip keyakinan keagamaan menyatakan bahwa orang yang membayar zakat yakin bahwa pembayaran tersebut merupakan salah satumenifestasi keyakinan agama-nya, sehingga kalau orang yang bersangkutan belum menunaikan zakatnya, belum merasa sempurna ibadahnya. Prinsip pemerataan dan keadilan cukup jelas menggambarkan tujuan zakat yaitu membagi lebih adil kekayaan yang telah diberikan Tuhan kepada umat manusia. Prinsip produktivitas dan kematangan menekankan bahwa zakat memang wajar harus harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu. Dan hasil (produksi) tersebut hanya dapat dipungut stelah lewat jangka waktu satu tahun yang
merupakan ukuran normal memperoleh hasil tertentu. Prinsip nalar dan kebebasan menjelaskan bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas dan sehat jassmani dan rohaninya, yang merasa mempunyai tanggung jawab untuk membayar zakat untuk kepentingan bersama. Zakat tidak di pungut dari orang yang sedang dihukum atau orang yang menderita sakit jiwa. Akhirnya prinsip etik dan kewajaran menyatakan bahwa zakat tidak
akan
diminta
secara
semena-mena
tanpa
memperhatikan
akibat
yang
ditimbulkannya. Zakat tidak mungkin dipungut, kalau karena pemungutan itu orang yang membayarnya justru akan menderita (Mubyarto, 1986 :33).
C.
Tujuan Zakat Yang dimaksud dengan tujuan zakat, dalam hubungan ini adalah sasaran praktisnya. Tujuan tersebut, selain yang telah disinggung diatas, antara lain adalah sebagai berikut : 1.
Mengangkat derajat fakir-miskin dan membantunya ke luar dari kesulitan hidup serta penderitaan.
2.
Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh paragharimin, ibnussabil dan mustahiq lainnya.
3.
Membentangkan dan membina talipersaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya.
4.
Menghilangkan sifat kikir.
5.
Membersihakan sifat dengki dan iri (kecemburuan social) dari hati orang-orang miskin.
6.
Menjebatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam suatu masyarakat.
7.
Mengembangkan rasa tanggung jawab social pada diri seseorang, terutama pada mereka yang mempunyai harta.
8.
Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya (Pedoman zakat (4), 1982 : 27 – 28).
9.
Sarana pemerataan pendapatan (rezeki) untuk mencapai keadilan sosial.
D. Hikmahnya Zakat sebagai lembaga Islam mengandung hikmah yang bersifat rohaniah dan filosofis, hikmah itu digambarkan dalam berbagai ayat al –Qur‟an (2 : 261, 2 : 267, 9 : 103, 30 : 39) dan al-Hadist. Diantara hikmah-hikmah itu adalah : 1. Mensyukuri
karunia
Ilahi,
menumbuhsuburkan
harta
dan
pahala
serta
membersihkan diri dari sifat-sifat kikir, dengki, iri serta dosa. 2. Melindungi masyarakat dari bahaya kemiskinan dan akibat kemelaratan. 3. Mewujudkan rasa solidaritas dan kasih saying antara sesame manusia. 4. Manifestasi kegotongroyongan dan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. 5. Mengurangi kefakimiskinan yang merupakan masalah sosial. 6. Membina dan mengembangkan stabilitas sosial salah satu jalan mewujudkan keadilan sosial.
E. Syarat-syarat Zakat Menurut para ahli hokum Islam, ada bebrapa syarat yang harus dipenuhi agar kewajiban zakat dapat dibebankan pada harta yang dipunyai oleh seorang muslim. Syarat-syarat itu adalah : 1. Pemilikan yang pasti, artinya sepenuhnya berada dalam kekuasaan yang punya, baik kekuasaan pemanfaatan maupun kekuasaan menikmati hasilnya. 2. Berkembang, artinya harta itu berkembnag baik secara alami berdasarkan sunnatullah maupun bertambah karena ikhtiar atau usaha manusia. 3. Melebihi kebutuhan pokok, artinya harta yang dipunyai oleh seseorang itu melebihi kebutuhan pokok yang diperlukan oleh diri dan keluarganya untuk hidup wajar sebagai manusia. 4. Bersih dari hutang, artinya harta yang dipunyai oleh seseorang itu bersih dari hutang, baik hutang kepada Allah (nazar, wasiat) maupun hutang kepada sesame manusia. 5. Mencapai nisab, artinya mencapai jumlah minimal yang wajib dikeluarkan zakatnya. 6. Mencapai haul, artinya harus mencapai waktu tertentu pengeluaran zakat, biasanya dua belas bulan atau setiap kali setelah menuai atau panen (Abdullah Nasih Ulwan, 1985 : 9-15).
F. Macam-macam Zakat Zakat terdiri atas : 1. Zakat mal atau zakat harta adalah bagian dari harta kekayaan seseorang (juga dalam hukum) yang wajib dikeluarkan untuk golongan orang-orang tertentu setelah dipunyai selama jangka waktu tertentu dalam jumlah minimal tertentu. Pada umumnya didalam kitab-kitab hukum fikih Islam harta kekayaan yang wajib dizakati atau dikeluarkan zakatnya digolongkan ke dalam kategori emas, perak, dan uang (simpanan), barang yang diperdagangkan, hasil peternakan, hasil bumi, hasil tambang dan barang temuan. Masing-masing kelompok itu berbeda nisab dan kadarnya. 2. Zakat fitrah adalah pengeluaran wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mempunyai kelebihan dari keperluan keluarga yang wajar pada malam dan hari raya Idulfitri, sebagai tanda syukur kepada Allah karena telah selesai menunaikan ibadah puasa. Zakat fitrah ini, selain dari untuk menggembirakan hati fakir-miskin pada hari raya Idulfitri itu, juga dimaksudkan untuk menyucibersihkan dosa-dosa kecil yang mungkin ada ketika melaksanakan puasa Ramadhan (al-Hadist), agar orang itu benar-benar kembali kepada keadaan ftrah, suci seperti ketika dilahirkan ibunya. Orang Islam yang mempunyai bahan makanan pokok lebih dari dua setengah kg pada waktu itu, wajib membayar zakat fitrah sebagai upaya pendidikan agar orang gemar membelanjakan hartanya untuk kepentingan orang lain, kedatipun setelah mengeluarkan zakat fitrah itu ia berhak menerima bagian yang mungkin lebih besar dari yang dikeluarkannya (Yusuf al-Qardhawi, A.A. Basyir, 1975 : 51 -52).
G. Penerima Zakat Mengenai penerima zakat dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu yang berhak dan yang tidak berhak menerima zakat sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini : 1. Yang berhak menerima zakat Yang berhak menerima zakat menurut ketentuan al- Qur‟an surah 9 (at-Taubah ayat 60, adalah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnussabil (seperti berulang-ulang telah disebut di atas). 2. Yang tidak berhak menerima zakat
Yang tidak boleh menerima zakat adalah kelompok orang-orang berikut adalah keturunan Nabi Muhammad berdasarkan hadist Nabi sendiri, kelompok orang kaya, keluarga Muzzaki yakni keluarga orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat, orang yang sibuk beribadah sunnat untuk kepentingan dirinya sendiri tetapi meluoakan kewajibannya mencari nafkah untuk diri dan keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, dan orang yang tidak mengakui adanya Tuhan dan menolak ajarang agama. Mereka disebut mulhid atau atheis (Abdullah Nasih Ulwan, 1986 : 70-74, pedoman zakat (3), 1982 : 35-38).
H. Beberapa Permasalahan Zakat di Indonesia 1. Pemahaman Zakat Yang dimaksud dengan pemahaman disini adalah pengertian umat Islam tentang lembaga zakat itu. Pengertian mereka sangat terbatas kalau dibandingkan dengan pengertian mereka tentang shalat dan puassa, misalnya. Ini disebabkan karena pendidikan keagamaan Islam dimasa yang lampau kurang menjelaskan pengertian dan masalah zakat ini. Akibatnya, karena kurang paham, umat Islam kurang pula melaksanakannya (Pedoman Zakat (2), 1982:9). 2. Konsepsi Fikih Zakat Yang dimaksud dengan konsepsi fikih zakat adalah konsep pengertian dan pemahaman mengenai zakat hasil ijtihad manusia.di dalam al- Qur‟an hanya disebutkan pokok-pokoknya saja yang kemudian dijelaskan oleh sunnah Nabi Muhammad. Fikih zakat yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia hamper seluruhnya hasil perumusan para ahli beberapa abad yang lalu, yang dipengaruhi oleh situasi dankondisi masa itu. Perumusan tersebut banyak yang tidak tepat lagi untuk dipergunakan mangatur zakat dalam masyarakat modern sekarang saat ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang, yang mmepunyai sektor-sektor industry, pelayanan jasa, misalanya, tidak tertampung oleh fikih zakat yang telah ada itu. Dalam fikih zakat yang ada sekarang, yang wajib dizakati hanyalah emas, perak, barang-barang niaga, makanan yang mengenyangkan, binatang peliharaan seperti unta, domba dan sebagainya. Yang demikian memang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat Islam di masa yang lalu, tetapi tidak cocok lagi dengan keadaan sekarang.
3. Pembenturan Kepentingan Yang dimaksud dengan pembenturan kepentingan adalah pembenturan kepentingan organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga sosial Islam yang memungut zakat selama ini dengan misalnya Bazis atau Baz sebagai lembaga atau organisasi amil zakat baru. Kalau pengumpulan zakat dilakukan secara terkoordinasi dalam badan-badan baru itu, lembaga yang lama merasa khawatir kepentingannya akan terganggu (Pedoman Zakat (1), 1982:16). Sesungguhnya, kekhawatiran ini tidak perlu ada asal saja semua dilaksanakan dengan tertib dan berencana, baik mengenai pengumpulan maupun tentang pendayagunaannya. 4. Sikap Kurang Percaya Di samping kesadaran yang makin tumbuh dalam masyarakat Islam Indonesia tentang pelaksanaan zakat, dalam masyarakat ada juga sikap kurang percaya terhadap penyelenggaraan zakat itu. Sikap ini adalah peninggalan sejarah, seperti sikap kurang percayanya orang terhadap penyelenggaraan koperasi, karena kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pengurusnya. Namun sikap ini sangat dapat dikurangi, jika tidak dapat dihapuskan samasekali, kalau diciptakan organisasi yang baik terutama system administrasinya, pengawas yang ketat dan sempurna. 5. Sikap Tradisional Penghambat
lain
adalah
kebiasaan
para
wajib
zakat,
terutama
diperdesaan,menyerahkan zakatnya tidak kepada kedelapan kelompok atau beberapa dari delapan golongan yang berhak menrima zakat, tetapi kepada para pemimpin agama setempat. Pemimpin agama ini tidak bertindak sebagai amil yang berkewajiban membagikan atau menyalurkan zakat kepada mereka yang berhak menerimannya, tetapi bertindak sebagai mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) sendiri dalam kategori sabilillah yakni orang yang berjuang dijalan Allah. Cara dan siakp ini tidak sepenuhnya salah, namun sikap tersebut seharusnya ditinggalkan. Diantaranya untuk menghindari penumpukan harta (zakat) pada orang tertentu, padahal salah satu dari tujuan zakat adalah pemerataan rezeki untuk mencapai keadilan sosial.
I. Berbagai Upaya Pemecahan 1. Penyebarluasan Pengertian Zakat Usaha penyebarluasan pengertian zakat secara baik dan benar, sebaiknya dilakukan melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal. Secara masal
penyebaluasan pengertian zakat itu dapat dilakukan mellaui oenyuluhan, terutama tentang
hukumnya,
barang
yang
wajib
dizakiati,pendayagunaan
dan
pengorganisasiannya, sesuai dengan perkembangan zaman. 2. Membuat atau Merumuskan Fikih Zakat Baru Untuk keperluan ini harus ada kerjasama antara para ahli berbagai bidang yang erat hubungannya dengan zakat, misalnya sekeddar contoh,para ahli pengetahuan Islam, ahli (hukum) fikih, sarjana hukum, sarjana ekonomi dan sarjana sosial. Fikih zakat yang baru itu diharapkan dapat menampung perkembangan yang ada dan bakal ada di Indonesia. Mengenai barang yang wajib dizakati, sebagai sumber zakat, hendaknya disebutkan jenis barang yang bernilai ekonomis yang ada dalam masyarakat Indonesia sekarang. Di samping itu disebutkan juga penghasilan tetap dan tidak tetap seseorang yang perlu dikeluarkan zakatnya agar penghasilan yang diperoleh seseorang itu menjadi bersih dari hak orang lain dan berkah.
J. Zakat dan peundang-undangan Potensi zakat, baik penerimaan maupun pengeluarannya cukup besar. Supaya ia menjadi riil sebagai dana untuk menanggulangi kemiskinan dan sarana pemerataan pendapatan untuk menciptakan keadilan sosial, pengelolaan sosial, pengelolaan zakat sebaiknya diatur oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. Pengaturan melalui peraturan perundang-rundangan ini, setidak-tidaknya dengan peraturan pemerintah,
tidak
hanya
akan
memperlancar
proses
pengelolaan
dan
pendayagunaannya, tetapi juga untuk memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan pelaksanaan pengumpulan zakat. Sebagai ajaran yang menekankan pada rasa persaudaraan dan rasa kasih sayang terhadap sesama manusia.
K. Pengertian wakaf Perkataan waqf, yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kerja bahasa Arab waqafa yang berarti menghentikan, berdiam di tempat atau menahan sesuatu. Pengertian menghentikan ini (kalau) dihubungkan dengan ilmu baca al-Qur‟an (ilmu tajwid) adalah tata cara menyebut huruf -hurufnya, dari mana dimulai dan dimana harus berhenti. Wakaf dalam pengertian ilmu tajwid ini mengandung makna menghentikan bacaan, baik seterusnya maupun untuk mengambil nafas sementara. Menurut aturannya seorang pembaca tidak boleh berhenti di
pertengahan suku kata, harus pada akhir kata di penghujung ayat agar bacaannya sempurna. Pengertian wakaf dalam makna berdiam di tempat, dikaitkan dengan wuquf yakni berdiam di Arafah pada tanggal9 Zulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Tanpa wuquf di Arafah tidak ada haji bagi seseorang. Pengertian menahan (sesuatu) dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksud dengan wakaf dalam uraian ini. Wakaf adalah menahan sesuatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam. Di dalam kepustakaan, sinonim waqf adalah habs. Kedua-duanya kata benda yang berasal dari kata kerja waqafa dan habasa, artinya menghentikan, menahan seperti yang dikemukakan di atas. Bentuk jamaknya adalah awqaf untuk waqf dan ahbas untuk habs. Perkataan habs atau ahbas biasanya dipergunakan di Afrika Utara di kalangan pengikut mazhab Maliki. Di dalam al-Qur‟an surah al-Haj (22) ayat 77 Tuhan memerintahkan agar manusia berbuat kebaikan supaya hidup manusia itu bahagia.di surah lain Allah memrintahkan manusia untuk membelanjakan (menyedekahkan) hartanya yang baik (2 :267). Dalam surah al-Imran (3) ayat 92 Tuhan menyatakan bahwa manusia tidak akan memperoleh kebaikan, kecuali jika ia menyedekahkan sebagian dari harta yang disenanginya (pada orang lain). Menurut hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim berasal dari Abu Hurairah, seorang manusia yang meninggal dunia akan berhenti semua pahala amal perbuatannya,kecuali pahala tiga amalan yaitu pahala amalan shadaqah jariyah (sedekah yang pahalanya tetap mengalir) yang diberikannya selama ia hidup, pahala ilmu yang bermanfaat (bagi orang lain) yang diajarkannya selama hayatnya, dan doa anak (amal) saleh yakni anak yang membalas guna orang tuanya dan mendoakan ayah-ibunya kendatipun orangtuanya itu telah tiada bersama dia di dunia ini. Para ahli sependapat bahwa yang dimaksud dengan (pahala) shadaqah jariyah dalam hadist itu adalah (pahala) wakaf yang diberikannya di kala seseorang masih hidup (A. A. Basyir, 1977 : 7). Harta yang diwakafkan haruslah benda yang kekal zatnya (tahan lama wujudnya), tidak lekas musnah stelah dimanfaatkan,lepas dari kekuasaan orang-orang yang berwakaf, tidak dapat diasingkan kepada pihak lain, baik dengan jalan jual-beli hibah maupun dengan warisan, serta untuk keperluan amal kebajikan sesuai dengan ajaran Islam.
L. Unsur-Unsur Wakaf 1. Orang yang Mewakafkan Hartanya (Wakif) Orang yang mewakafkan hartanya, dalam istilah hukum Islam disebut wakif. Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya, di antaranya adalah kecakapan bertindak, telah dapat mempertimbangkan baik buruknya perbuatan yang dilakukannya dan benar-benar pemilik harta yang diwakafkan itu. Mengenai harta yang diwakafkan perlu dicatat bahwa harta itu harus bebas dari beban hutang pada orang lain. Kalau ada, beban itu harus diangkat lebih dahulu supaya dengan tindakannya itu wakif tidak merugikan orang lain. Seorang wakif tidak boleh mencabut kembali wakafnya dan dilarang pula menuntut agar harta yang sudah diwakafkan dikembalikan ke dalam (bagian) hak miliknya. 2. Harta yang Diwakafkan (Mauquf) Barang atau benda yang diwakafkan (mauquf) haruslah memenuhi syaratsyarat berikut. Pertama, harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama, tidak habis sekali pakai. Pemanfaatan itu haruslah untuk hal-hal yang berguna,halal dan sah menurut hukum. Kedua, harta yang diwakafkan itu haruslah jelas wujudnya dan pasti batas-batasnya (jika berbentuk tanah). Ketiga, benda itu sebagaimana disebutkan diatas, harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari segala beban. Keempat, harta yang diwakafkan itu dapat berupa benda dapat juga berupa benda bergerak seperti buku-buku, saham, surat-surat berharga dan sebagianya. Kalau ia berupa saham atau modal, haruslah diusahakan agar penggunaan modal itu tidak untuk usaha-usaha yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, misalnya untuk mendirikan atau membiayai tempat perjudian atau usaha-usaha maksiat lainnya (A.A. Basyir, 1977:10:A. Wasit Aulawi, 1975:3). 3. Tujuan Wakaf (Mauquf ‟alaih) Tujuan wakaf adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah, dalam rangka beribadah kepada-Nya. Sebagimana halnya dengan zakat, wakaf merupakan ibadah malliyah berbentuk shadaqah jariyah yakni sedekah yang terus mengalir pahalanya untuk orang yang menyedekahkannya selama barang atau benda yang disedekahkan itu masih ada dan dimanfaatkan.oleh karena sifatnya yang demikian itu, maka tujuan wakaf wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah. Tujuan wakaf itu harus dapat dimasukkan ke dalam kategori ibadah pada
umumnya, sekurang-kurangnya tujuannya harus merupakan hal yang mubah menurut ukuran (kaidah) hukum Islam. Adalah mubah atau jaiz atau boleh saja kalau misalnya orangmewakafkan tanahnya untuk kuburan, pasar,lapangan olahraga, dan sebaginya dalam rangka pelaksanaan ibadah umum atau ibadah amah. Kalau tujuan wakaf itu untuk kepentingan umum, maka harus ada badan yang mengurusnya. 4. Pernyataan (Sighat) Wakif Pernyataan wakif yang merupakan tanda oenyerahan barang atau benda yang diwakafkan itu, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Dengan penyataan itu, tanggallah hak wakif atas benda yang diwakafkannya.
M. Syarat-syarat Wakaf Di samping rukun-rukun wakaf tersebut di atas, ada pula syarat-syarat sahnya suatu pewakafan benda atau harta seseorang. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut : 1. Perwakafan benda itu tidak dibatasi untuk jangka waktu tertentu saja, tetapi untuk untuk selama-lamanya. Wakaf yang dibatasi waktunya untuk lima tahun saja misalnya, adalah tidak sah. 2.
Tujuannya haruis jelas, tanpa menyebutkan tujuan secara jelas,pewakafan tidak sah.namun apabila seorang wakif menyerahkan tanahnya kepada suatu badan hukum tertentu yang sudah jelas tujuan dan usahanya, wewenang untuk penentuan tujuan wakaf itu berada pada badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan tujuan badan hukum itu
3. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah ikrar wakaf dinyatakan oleh wakif tanpa menggantungkan pelaksanaannya pada suatu peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
N. Macam Wakaf 1. Wakaf Keluarga atau Wakaf Ahli Yang dimaksud dengan wakaf keluarga atau wakaf ahli (disebut juga wakaf khusus) adalah wakaf yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik ia keluarga wakif maupun orang lain. Dalam hubungan dengan wakaf keluarga ini perlu dicatat bahwa harta pusaka tinggi di Minangkabau misalnya, mempunyai cirri-ciri yang sama dengan wakaf keluarga. Ia merupakan harta keluarga yang dipertahankan tidak dibag-bagi atau diwariskan
kepada keturunan secara individual, karena ia telah diperuntukkan bagi kepentingan keluarga, memenuhi kebutuhan baik dalam keadaan biasa apalagi dalam keadaan yang tidak disangka-sangka (darurat). 2. Wakaf Umum Yang dimaksud dengan wakaf khairi atau wakaf umum adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan atau kemaslahatan umum. Wakaf jenis ini jelas sifatnya sebagai lembaga keagamaan dan lembaga sosial dalam bentuk mesjid, madrasah,pesantren, asrama, rumah sakit, rumah yatim-piatu, tanah pekuburan dan sebagainya. Wakaf khairi atau wakaf umum inilah yang paling sesuai dengan ajaran Islam dan yang dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk melakukannya guna memperoleh pahala yang terus mengalir bagi orang yang bersangkutan kendatipun ia telah meninggal dunia, selama wakaf itu masih dapat diambil manfaatnya. Dari bentuk-bentuknya tersebut diatas, wakaf khairi ini jelas merupakan wakaf yang benar-benar dapat dinikmati manfaatnya oleh masyarakat dan merupakan salah satu sarana penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan (A.A. Basyir, 1977:15).
O. Pemilikan Harta Wakaf Para ahli hukum (fikih) Islam sependapat bahwa sebelum harta yang diwakafkan, pemiliknya adalah orang yang mewakafkannya. Dan setelah harta wakaf itu diwakafkan oleh wakif, pemilikannya beralih kepada Allah dan manfaatnya menjadi hak mauqul „alaih ( : orang atau orang yang berhak memperoleh hasil harta wakaf itu). Sebab, menurut pendapat umum, begitu wakif selesai mengucap ikrar wakaf seketika itu juga pemilikan harta yang di wakafkannya tanggal (lepas) dari tangannya dan berpindah (kembali) menjadi milik Allah, tidak pada orang atau badan yang disebut dalam tujuan wakaf itu. Dengan kalimat lain, pemilikan atas harta wakaf, setelah ikrar wakaf diucapkan oleh wakif, berpindah (kembali) kepada Allah, tidak tetap di tangan wakif dan tidak pula berpindah menjadi milik mauquf „alaih. Dengan demikian, harta wakaf itu menjadi amanat Allah yang memerlukan orang atau badan hukum mengurus atau mengelolanya. Orang atau badan yang mengurus wakaf disebut nadzir atau mutawalli.
P. Pengurus Wakaf : Nadzir atau Mutawalli Nadzir wakaf adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya. Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi nadzir asal saja ia berhak melakukan tindakan hukum. Namun demikian, kalau nadzir itu adalah perorangan, para ahli menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhinya. Syarat tersebut adalah telah dewasa, berakal sehat, dapat dipercaya dan mampu menyelenggarakan segala urusan yang berkenaan dengan harta wakaf. Nadzir berhak mendapatkan upah untuk jerih payahnya mengurus harta wakaf, selama ia melaksanakan tugasnya dengan baik. Besarnya sesuai ketentuan wakif, biss sepersepuluh, seperdelapan dari hasil tanah yang diwakafkannya atau berapa saja yang pantas menurut pertimbangan wakif. Nadzir wakaf adalah orang yang memegang amanat pemeliharaan dan pengurusan wakaf sesuai dengan wujud dan tujuannya. Yang berhak menentukan nadzir wakaf adalah wakif. Mungkin ia sendiri yang menjadi nadzir, mungkin pula diserahkannya kepada orang lain, baik perorangan maupun organisasi. Agar pewakafan dapat terselenggara dengan sebaikbaiknya,pemerintah berhak campur tangan mengeluarkan berbagai peraturan mengenai perwakafan, termasuk menentukan nadzirnya (A.A.Basyir, 1977:19, Abdoerraoef, 1970:131).
Q. Penerapan Fikih Wakaf di Indonesia Penerapan fikih wakaf di Indonesia, terdapat perkembangan. Kalau sebelum tahun tujuh puluhan, untuk memahami fikih wakaf di Indonesia hanya dipergunakan pendapat ahli mazhab Syafi‟I, namun, setelah tahun tujuh puluhan ketika para hakim pengadilan agama telah banyak dijabat oleh alumni IAIN, tampak perubahan orientasi, tidak ter batas lagi hanya pada fikih Islam mazhab Syafi‟i, tetapi sudah meluas, berkembang meliputi juga paham yang tumbuh dalam mazhab hukum (fikih) Islam lainnya. Dengan demikian, pemahaman dan penerapan fikih wakaf di tanah air kita telah berkembang pula baik dalam teori maupun dalam putusan Badan Pengadilan Agama.
R. Bentuk Wakaf di Indonesia Di Indonesia,wakaf pada umunya berupa benda-benda konsumtif, bukan barang-barang yang produktif, ini dapat dilihat pada mesjid, sekolah-sekolah, panti
asuhan, rumash sakit, dan sebagainya. Ini disebabkan karena beberapahal, di antaranya adalah (di jawa misalnya) tanah telah sempit dan di daerah-daerahlain, menurut hukum adat (dahulu), hak milik perorangan atas tanah dibatasi oleh hak masyarakat hukum adat,seperti hak uluyat misalnya. Dan oleh karena harta yang diwakafkan itu pada umumnya adalah barang-barang konsumtif, maka terjadilah masalah mengenai biaya pemeliharaannya. Untuk mengatasi kesulitan it u,perlu dicari sumber dana tetap melelui wakaf produktif.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang sudah dikemukakan jelas zakat dan wakaf di Indonesia saat ini perlu mendapatt perhatian khusus, karena lembaga-lembaga tersebut merupakan lembaga yang potensial untuk dikembangkan, tetapi pengelolaannya sampai saat ini belum optimal. Dengan adanya BAZNAS dan LAZ diharapkan pengelolaan zakat lebih terarah sehingga tujuan orang berzakat dapat tercapai. Diharapkan juga undang-undang Wakaf dan Badan Wakaf Indonesia segera terealisasi, sehingga wakaf dapat dikelola secara prodoktif dan dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan social dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA