MAKALAH OTONOMI DAERAH
DIAJUKAN PADA SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2015 UNTUK MEMENUHI TUGAS PEREKONOMIAN PEREKONOMIAN INDONESIA
Disusun Oleh :
1. RACHMILA
(130810101043)
2. AMIROTUL FURQONI
(130810101045 (130810101045 )
3. RIDHO RAMADHAN
(130810101047)
4. RHAMANDA TRY M.
(130810101048)
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS JEMBER 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur syukur kami panjatkan kehadirat kehadirat Allah SWT. Yang telah meliampahkan rahmat, taufik dan hidayatnya hidayatnya sehingga kami dapat dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Tugas ini kami buat bertujuan memenuhi tugas kelompok supaya bisa tuntas dengan nilai yang memuaskan. Tugas ini diharapkan mampu membantu dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, penulisan makalah ini diharapkan supaya kita semua menjadi mahasiswa yang baik dan bertanggung jawab dalam berfikir dan bertindak. Mudah-mudahan tugas yang kami buat bisa memberikan manfaat dan kreatifitas terhadap mahasiswa dan mahasiswi UNIVERSITAS JEMBER. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada yang telah memberikan bimbingan dan masukan-masukan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan tugas ini kami mengucapkan terima kasih, kritik dan saran yang membangun kami harapkan untuk kesempurnaan.
Jember, 06 November 2015
Penyusun
KATA PENGANTAR
Puji syukur syukur kami panjatkan kehadirat kehadirat Allah SWT. Yang telah meliampahkan rahmat, taufik dan hidayatnya hidayatnya sehingga kami dapat dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Tugas ini kami buat bertujuan memenuhi tugas kelompok supaya bisa tuntas dengan nilai yang memuaskan. Tugas ini diharapkan mampu membantu dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, penulisan makalah ini diharapkan supaya kita semua menjadi mahasiswa yang baik dan bertanggung jawab dalam berfikir dan bertindak. Mudah-mudahan tugas yang kami buat bisa memberikan manfaat dan kreatifitas terhadap mahasiswa dan mahasiswi UNIVERSITAS JEMBER. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada yang telah memberikan bimbingan dan masukan-masukan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan tugas ini kami mengucapkan terima kasih, kritik dan saran yang membangun kami harapkan untuk kesempurnaan.
Jember, 06 November 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
................................................................. ........................................... ..................... HALAMAN JUDUL ...........................................
i
KATA PENGANTAR ......................................... .............................................................. ........................................... ......................
ii
DAFTAR ISI...................................................................................................
iii
BAB I. PENDAHULUAN........................................... ................................................................ ................................... ..............
4
1.1 Latar Belakang ............................................ ................................................................. ................................... ..............
4
1.2 Rumusan Masalah .......................................... ................................................................ ................................ ..........
6
1.3 Tujuan Penulisan............................................ .................................................................. ................................ ..........
6
................................................................. ................................... .............. BAB II. PEMBAHASAN ............................................
7
2.1 Alasan penggabungan, dan penghapusan daerah otonom ..............
7
2.2 Pendanaan dan Keuangan Daerah ........................................... .................................................. .......
9
2.3 Organisasi Pemerintah Daerah ......................................... ....................................................... ..............
19
2.4 Hak dan Kewajiban DPRD ........................................... ............................................................ .................
23
2.5 Proses Pembuatan Peraturan Daerah ............................................ ............................................
26
2.5 Hak dan Kewajiban Daerah dalam melaksanakan Otonomi .........
30
.............................................................. ............................................ ......................... ... BAB III. PENUTUP ........................................
32
3.1 Kesimpulan ......................................... ............................................................... ........................................ ..................
32
3.2 Saran ............................................ .................................................................. ............................................ ......................... ...
32
............................................................... ........................................... ...................... DAFTAR PUSTAKA..........................................
33
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang berarti “keputusan sendiri” (self ruling). Otonomi adalah hak untuk memerintah dan menentukan nasibnya sendiri. Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat. Selain mengantikan peran pemerintahan pusat otonomi daerah juga melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Prinsip otonomi daerah adalah pemerintahan daerah diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri. Hanya saja ada beberapa bidang yang tetap ditangani pemerintah pusat, yaitu agama, peradilan, pertahanan, dan keamanan, moneter/fiskal, politik luar negeri dan dalam negeri serta sejumlah kewenangan bidang lain (meliputi perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara
dan
lembaga
perekonomian
Negara,
pembinaan
sumber
daya
manusia,
pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, dan konversi serta standarisasi nasional). Pada kenyataannya, otonomi daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan begitu saja pada pemerintah daerah. Selain diatur dalam perundang-undangan, pemerintah pusat juga harus mengawasi keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah. Tuntutan akan pengelolaan pmerintahan daerah yang mandiri dengan semangat otonomi daerah semakin marak. Namun demikian, kebijakan otonomi daerah disalah artikan oleh jajaran pengelola pemerintah di daerah. Otonomi daerah dipahami sebagai kebebasan mengelola sumber daya daerah yang cenderung melahirkan pemerintahan daerah yang tidak profesional dan tidak terkontrol. Hal yang sangat mengkhawatirkan, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah lahirnya perundang-undangan daerah yang cenderung bertolak belakang dengan semangat konstitusi negara dan dasar negara yang dapat mengancam keutuhan NKRI. Tiap-tiap daerah otonom baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota diberikan kewenangan yang seluas-luasnya dan disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan
Negara. Hal ini dilakukan agar masing-masing daerah otonom mampu menerjemahkan keinginannya untuk maju dan berkembang dengan mengedepankan kepentingan masyarakat demi terciptanya kemakmuran rakyat, dengan memperhatikan keunggulan dan ciri khas masing-masing daerah otonom. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah. Munculnya gejala, bahkan kenyataan akan adanya pemekaran dan pembentukan Kabupaten, Kota, dan Propinsi baru di Indonesia menuntut perlunya segera ditetapkan syarat-syarat dan kriteria yang menjadi pertimbangan di dalam pembentukan dan pemekaran daerah. Memasuki akhir dekade 1990-an Indonesia mengalami perubahan sosial politik yang bermuara kepada pilihan melaksanakan desentralisasi sebagai salah satu modal utama pembangunan Indonesia. Hal ini ditandai dengan pemberlakuan UU 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian dirubah menjadi UU 32/2004. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 menempatkan revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah ini sebagai satu prioritas dalam pembangunan nasional.Semangat otonomi daerah itu sendiri salah satunya bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam PP NO 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dalam prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Dalam PP tersebut, daerah berhak mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya selama telah memenuhi syarat teknis, administratif, dan
fisik1
dengan
tujuan
untuk
mensejahterakan
masyarakat
yang
ada
di
wilayahnya.Pemekaran daerah dalam tatanan filosofis dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan. Argumentasi untuk ini didasarkan atas beberapa dimensi. Pemekaran akan mempersingkat rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat, khususnya pada wilayahwilayah yang belum terjangkau oleh fasilitas pemerintahan. Pemekaran daerah juga diaspirasikan untuk memperbaiki pemerataan pembangunan. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, daerah-daerah yang terbangun hanya daerah yang berdekatan dengan ibu kota pemerintahan daerah. Pemekaran memungkinkan sumber daya mengalir ke daerah yang masih belum berkembang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa alasan penggabungan dan penghapusan daerah ? 2. Apa saja sumber pendanaan dan keuangan daerah ? 3. Bagaimana Organisasi Pemerintah Daerah ? 4. Apa saja hak dan kewajiban DPRD ? 5. Bagaimana Proses pembuatan peraturan daerah ? 6. Apa saja hak dan kewajiban daerah dalam melaksanakan otonom ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui alasan penggabungan dan penghapusan daerah. 2. Untuk mengetahui sumber – sumber pendanaan dan keuangan daerah. 3. Untuk mengetahui Organisasi Pemerintah daerah. 4. Untuk mengetahui hak dan kewajiban DPRD. 5. Untuk mengetahui Proses pembuatan peraturan daerah. 6. Untuk mengetahui hak dan kewajiban daerah dalam melaksanakan otonom.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Alasan penggabungan, dan penghapusan daerah otonom
Berangkat dari intrepresi pemerintah yang melihat kemampuan suatu daerah Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Dalam memlaksanakan UUD di dalam daerahnya, apabila pemerintahan daerha tidak bisa mandiri dalam mengelola daerahnya pemerintah akan mengambil cara dengan mengubah struktur pemerintahan atau mengikut sertakan daerah tersebut kepada daerah diatasnya ibu kota misalnya , ini merupakan penjelasan dari penghapusan daerah. Berangkat dari intrepresi pemerintah yang melihat kemampuan suatu daerah. Dalam melaksanakan UUD di dalam daerahnya , apabila pemerintahan daerah tidak bisa mandiri dalam mengelola daerahnya pemerintah akan mengambil cara dengan mengubah struktur pemerintahan atau mengikut sertakan daerah tersebut kepada daerah diatasnya. Penggabungan daerah sama halnya dengan penghapusan daerah penggabungan daerah biasanya juga dilakukan dengan melihat dari intrepretasi pemerintah dalam melihat kemampuan suatu daerah dalam mengembangkan rumah tangganya sendiri. pengabungan daerah daerah yang masih belum dianggap mampu untuk mengelola kebijakan dan pengaturan rumah tangganya sendiri Penghapusan daerah dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dan evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah dengan mempertimbangkan aspek kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah.
Tata Cara Penghapusan dan Penggabungan Daerah: 1. Menteri menyampaikan hasil evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah kepada DPOD. 2.
DPOD bersidang untuk membahas hasil evaluasi.
3.
Dalam hal sidang DPOD menilai daerah tertentu tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, DPOD merekomendasikan agar daerah tersebut dihapus dan digabungkan ke daerah lain.
4. Menteri meneruskan rekomendasi DPOD sebagaimana kepada Presiden. 5. Apabila Presiden menyetujui usulan penghapusan dan penggabungan daerah, menteri menyiapkan rancangan undang-undang tentang penghapusan dan p enggabungan daerah.
Beberapa aspek lain yang juga perlu diperhatikan dalam penghapusan dan penggabungan daerah: 1.
Dengan dibentuknya daerah otonomi baru, baik provinsi, kabupaten dan kota, maka
berbagai sumberdaya, baik yang dimiliki daerah maupun pusat banyak tersedot ke daerah itu. Sumberdaya berupa fisik dan manusia (aparatur) yang telah disediakan guna menunjang daerah otonom baru akan amat mubazir, jika daerah itu dihapus dan digabungkan. 2.
Hakikat pemekaran daerah adalah hendak mendekatkan pelayanan pemerintahan kepada
masyarakat. Salah satu alasan mengapa suatu daerah dimekarkan adalah besarnya wilayah suatu daerah, sehingga dengan dimekarkan menjadi dua atau lebih daerah otonom baru, maka pelayanan kepada masyarakat lebih dekat dan optimal. Mengembalikan daerah yang telah dimekarkan kepada induknya sama dengan mengembalikan jauhnya pusat pelayanan masyarakat kepada rakyat setempat. 3.
Daerah otonom baru memiliki kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih oleh
rakyat. Hal serupa juga terjadi pada DPRD setempat. Kedua institusi yang dipilih secara langsung oleh rakyat ini, akan amat tercederai legitimasinya, jika (tiba-tiba) harus menciut lantaran kabupaten yang mereka pimpin pemerintahannya digabungkan dengan daerah asalnya, atau daerah yang berdampingan. Dalam hal ini, bukan hanya melahirkan problem teknis kepemerintahan, melainkan juga secara filosofis akan mencederai pilihan politik yang dibuat secara demokratis oleh rakyat setempat.
Berdasarkan hasil kajian, terdapat alasan-alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran (penghapusan) daerah adalah: a) Alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dijadikan alas an utama karena adanya kendala geografis, infrastruktur dan sarana perhubungan yang minim, seperti terjadi pada pemekaran Provinsi Bangka Belitung (pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan) dan Provinsi Irian Jaya Barat (pemekaran dari Provinsi Papua) serta pemekaran Kabupaten Keerom (pemekaran dari Kabupaten Jayapura). b) Alasan historis, pemekaran suatu daerah dilakukan karena alasan sejarah, yaitu bahwa daerah hasil pemekaran memiliki nilai historis tertentu. Sebagai contoh: Provinsi Maluku Utara sebelumnya pernah menjadi ibukota Irian Barat, dimana Raja Ternate (Alm. Zainal Abidin Syah) dinobatkan sebagai Gubernur pertama. Disamping itu di Pulau Movotai pada Perang Dunia II merupakan ajang penghalau udara Amerika Serikat. c) Alasan kultural atau budaya (etnis), dimana pemekaran daerah terjadi karena menganggap adanya perbedaan budaya antara daerah yang bersangkutan dengan daerah induknya. Sebagai
contoh: Penduduk Bangka Belitung dengan penduduk Sumatera Selatan, kemudian Provinsi Gorontalo dengan Sulawesi Utara, demikian pula Kabupaten Minahasa Utara yang merasa berbeda budaya dengan Kabupaten Minahasa. d) Alasan ekonomi, dimana pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat pembangunan di daerah. Kondisi seperti ini terutama terjadi di Indonesia Timur seperti Papua (Keerom) dan Irian Jaya Barat (Kabupaten Sorong), dan pemekaran yang terjadi di daerah lainnya seperti Kalimantan Timur (Kutai Timur), Sulawesi Tenggara (Konawe Selatan), Sumatera Utara (Serdang Bedagai), dan Lampung (Tanggamus). e) Alasan anggaran, pemekaran daerah dilakukan untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah. Sebagaimana diketahui daerah yang dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK). f) Alasan keadilan, bahwa pemekaran dijadikan alasan untuk men mendapatkan keadilan. Artinya, pemekaran daerah diharapkan akan menciptakan keadilan dalam hal pengisian jabatan pubik dan pemerataan pembangunan. Contoh: pemekaran Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Sulawesi Tenggara.
2.2 Pendanaan dan Keuangan Daerah
Pendanaan daerah adalah seluruh transaksi keungan pemerintah daerah, baik penerimaan atau pengeluaran yang perlu dibayar atau akan diterima kembali yang dalam penganggaran pemerintah daerah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dana atau memanfaatkan surplus anggaran. Pengeluaran pendanaan adalah semua pengeluaran rekening kas umum daerah antara lain pemberian pinjaman kepada pihak ketiga, penyertaan modal pemerintah, pembayaran kembali pokok pinjaman dalam periode tahun anggaran tertentu dan pembentukan dana cadangan. Pengeluaran pendanaan diakui pada saat dikeluarkan dari rekening kas umum daerah. Pembentukan dana cadangan menambah dana cadangan yang bersangkutan. Hasil-hasil yang diperoleh dari pengelolaan dana cadangan di pemerintah daerah merupakan penambah dana cadangan. Hasil tersebut dicatat sebagai pendapatan dalam pos pendapatan asli daerah lainnya.
Pengeluaran pendanaan mencakup : a) Pembentukan dana cadangan b) Penerimaan modal (investasi) pemerintah daerah c) Pembayaran pokok hutang
d) Pemberian pinjaman daerah Pembiayaan daerah adalah selisih antara penerimaan pembiayaan setelah dikurangi pengeluaran pembiayaan dalam periode tahun anggaran tertentu. Selisih lebih/kurang antara penerimaan dan pengeluaran pembiayaan selama satu periode pelaporan dicatat dalam pos pembiayaan netto. Struktur pendanaan daerah mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut a) Pendanaan dirinci menurut kelompok, jenis dan obyek pembiayaan b) Kelompok pendanaan terdiri atas: penerimaan dan pengeluaran daerah c) Kelompok pendanaan dirinci lebih lanjut ke dalam jenis pendanaan . misalnya kelompok pendanaan penerimaan daerah dirinci lebih lanjut kedalam jenis pendanaan antara lain berupa: sisa Keuangan daerah dalam peraturan pemerintah no.105 tahun 2000 menyebutkan bahwa keungan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan lain yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD. Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan tersebut, keuangan daerah sebagai salah satu indicator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan dikeluarkan nya undang-undang tentang otonomi daerah, membawa konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan antar daerah yang satu dengan yang lain nya, terutama dalam hal kemampuan keuangan daerah, antara lain : a) Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah b) Daerah yang yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah c) Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah d) Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi daerah Selain itu ciri utama yang menunjukan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah kemampuan keuangan daerah artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keungan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminal mungkin agar pendapatan asli daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistic perkembangan anggaran dan realisasi,
baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keungan daerah untuk melihat kemampuan/kemandirian daerah.
Sumber Pembiayaan daerah
Otonomi daerah pada akhirnya akan tetap terkait dengan pembahasan mengenai keuangan atau pandangan di daerah. Dalam hal ini, daerah kabupaten/kota/provinsi memiliki kewenangan untuk mengupayakan diperolehnya keuangan atau pandangan daerah termasuk di dalamnya adalah pengelolaannya. Sumber pendapatan daerah menurut Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pendapatan daerah bersumber dari :
A. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih, sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari pelaksanaan hak dan kewajiban pemerintah daerah, serta pemanfaatan potensi atau sumber daya daerah, baik yang dimiliki oleh Pemerintah daerah maupun yang terdapat di wilayah daerah bersangkutan, yang mana pemungutannya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. PAD bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi, yang mana Komponennya terdiri dari: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. 1. Pajak Daerah Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang berlaku saat ini adalah UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam Undang-Undang tersebut pajak daerah dibagi menjadi 2 jenis, yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Yang termasuk pajak daerah untuk provinsi adalah: (a)
Pajak Kendaraan Bermotor;
(b)
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
(c)
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
(d)
Pajak Air Permukaan;
(e)
Pajak Rokok.
Sedangkan yang termasuk pajak daerah untuk kabupaten/kota terdiri atas: (a)
Pajak Hotel;
(b)
Pajak Restoran;
(c)
Pajak Hiburan;
(d)
Pajak Reklame;
(e)
Pajak Penerangan Jalan;
(f)
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
(g)
Pajak Parkir;
(h)
Pajak Air Tanah;
(i)
Pajak Sarang Burung Walet;
(j)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan;
(k)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Berkaitan dengan pemungutan pajak daerah, pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk menentukan tarif pajak daerah sesuai keputusan bersama antara pemerintah daerah dengan DPRD, sepanjang tidak melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan. Selain itu, Pemerintah Daerah juga tidak dibenarkan untuk memungut pajak daerah selain pajak daerah yang telah ditetapkan pada UU No. 28 Tahun 2009 tersebut. Sedangkan untuk melakukan pemungutan pendapatan daerah yang bersumber dari paj ak daerah merupakan wewenang dan tanggungjawab Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) atau Biro Keuangan pada Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing. 2. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Perbedaan utama antara pajak daerah dan retribusi daerah terletak pada imbal jasanya. Pada saat membayar pajak daerah, pihak yang membayar pajak (wajib pajak) tidak langsung mendapatkan imbalan pada saat melakukan pembayaran, berbeda dengan retribusi daerah. Pembayaran retribusi daerah dapat dilakukan jika pembayar retribusi (wajib retribusi) telah mendapatkan pelayanan atau keperluannya telah difasilitasi oleh pemerintah daerah. Objek retribusi adalah jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah. Untuk itu, retribusi dapat digolongkan ke dalam 3 jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu. (a) Retribusi Jasa Umum Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan, yang antara lain terdiri dari: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat, Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta, Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus, Retribusi Pengolahan Limbah Cair, Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. (b) Retribusi Jasa Usaha Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi: – Pelayanan
dengan
menggunakan/memanfaatkan
kekayaan
Daerah
yang
belum
dimanfaatkan secara optimal; dan/atau – Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.
Jenis Retribusi Jasa Usaha antara lain terdiri dari: Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan, Retribusi Tempat Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa, Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan, Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Penyeberangan di Air, dan Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah. (c) Perizinan Tertentu Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis Retribusi Perizinan Tertentu antara lain terdiri dari: Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan (HO), Retribusi Izin Trayek, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. 3. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan. Kekayaan daerah yang dipisahkan adalah bagian dari aset pemerintah daerah yang digunakan sebagai penyertaan modal pemerintah daerah pada perusahaan atau badan usaha, baik badan usaha milik negara/daerah (BUMN/BUMD) maupun badan usaha milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan berupa bagian laba yang dibagikan (deviden) dari perusahaan atau badan usaha yang bersangkutan, yang dapat dikategorikan sebagai berikut: (a) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; (b) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN; dan (c) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. 4. Lain-lain PAD yang sah. Lain-lain PAD yang sah merupakan pendapatan daerah yang tidak dapat dikategorikan sebagai pajak daerah, retribusi dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, namun masih termasuk dalam kategori PAD. Lain-lain PAD yang sah dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup: (a)
hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;
(b)
jasa giro;
(c)
pendapatan bunga;
(d)
penerimaan keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
(e)
penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. (f)
penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
(g)
pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
(h)
pendapatan denda pajak daerah;
(i)
pendapatan denda retribusi;
(j)
pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
(k)
pendapatan dari pengembalian;
(l)
pendapatan dari pemanfaatan fasilitas sosial dan fasilitas umum;
(m) pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; (n)
pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
B. DANA PERIMBANGAN
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem Keuangan Negara, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan pemerintahan pusat yang diserahkan, dilimpahkan, dan ditugasbantukan kepada Daerah. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam
mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah pusat serta merupakan satu kesatuan yang utuh. 1. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. Pada dasarnya, selain dimaksudkan untuk menciptakan pemerataan pendapatan daerah, DBH juga bertujuan untuk memberikan keadilan bagi daerah atas potensi yang dimilikinya. Dalam hal ini, walaupun pendapatan atas pajak negara dan pendapatan yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) merupakan wewenang pemerintah pusat untuk memungutnya, namun sebagai daerah penghasil, pemerintah daerah juga berhak untuk mendapatkan bagian atas pendapatan dari potensi daerahnya tersebut. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak negara, meliputi: (a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); (b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan (c) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
Sedangkan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam, meliputi: (a) Sektor Kehutanan;
(b) Sektor Pertambangan umum; (c) Sektor Perikanan; (d) Sektor Pertambangan minyak bumi; (e) Sektor Pertambangan gas bumi; dan (f) Sektor Pertambangan panas bumi. Besarnya proporsi dana bagi hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tergantung dari jenis pendapatan. Begitupula antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota proporsinya tidak merata untuk setiap jenis pendapatan. Adakalanya Pemerintah Pusat mendapatkan proporsi bagi hasil yang lebih besar dibandingkan dengan Pemerintah Daerah, seperti: Pendapatan yang bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh), namun Pemerintah Pusat juga bisa saja menerima proporsi yang lebih kecil dibandingkan proporsi bagi hasil kepada Pemerintah Daerah, seperti: Pendapatan yang bersumber dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pembagian proporsi ini tergantung dari keterlibatan Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan dan dampaknya terhadap masyarakat daerah. 2. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang bersumber dari APBN yang bertujuan
untuk
pemerataan
kemampuan
keuangan
antar-daerah
atau
mengurangi
ketimpangan kemampuan keuangan antar-daerah melalui penerapan formula tertentu. DAU suatu daerah ditentukan atas alokasi dasar dan besar kecilnya celah fiskal ( fiscal gap) suatu daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah (belanja pegawai daerah) pada daerah yang bersangkutan. Sedangkan celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan daerah ( fiscal need ) dan potensi daerah ( fiscal capacity). Kebutuhan daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum yang dicerminkan dari luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. Sedangkan kapasitas fiskal dicerminkan dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Sumber Daya Alam. 3. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Pemerintah pusat menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. Sedangkan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian teknis pelaksana program/kegiatan. Berbeda dengan daerah penerima DBH dan DAU, daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping tersebut harus dianggarkan dalam APBD pada periode bersamaan dengan dianggarkannya DAK dalam APBN. Namun, untuk daerah dengan kemampuan fiskal tertentu atau daerah yang selisih antara penerimaan umum APBD dan Belanja Pegawainya sama dengan 0 (nol) atau negatif, tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping tersebut. C. LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan dapat mencakup: 1. Hibah
yang
berasal
dari
pemerintah,
pemerintah
daerah
lainnya,
badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/ perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat; 2. Dana darurat dari pemerintah pusat dalam bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD. 3. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; 4. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota; 5. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. Komponen pendapatan daerah yang meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah, setiap tahunnya harus dianggarkan dan dimasukkan dalam APBD masing-masing Pemerintah Daerah bersamaan dengan anggaran
belanja dan pembiayaan daerah. Seluruh pendanaan yang dianggarkan dalam APBD tersebut dikategorikan sebagai dana desentralisasi. Lain halnya dengan dana dekonsentrasi dan/atau dana tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah pusat dan tidak dapat didesentralisasikan meliputi: urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut Pemerintah Pusat menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah pusat atau wakil Pemerintah Pusat di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu disebut dengan Dekonsentrasi. Sedangkan penugasan dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu disebut tugas pembantuan.
Pajak dan Non pajak daerah
Pajak menurut UU KUP NOMOR 28 TAHUN 2007 PASAL 1 AYAT 1 disebutkan bahwa pengertian pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak merupakan hak prerogative pemerintah, iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung berdasarkan undangundang. Ciri-ciri pajak : a) Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanannya b) Pemungutan pajak mengisyartkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta ( wajib pajak) ke sektor negara (pemungut pajak/administrator pajak) c) Pemungutan pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan
d) Tidak dapata ditujukan adanya imbalan (kontraprestasi) individu oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak e) Berfungsi sebagai budgeter atau mengisi kas negara/anggaran negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur/regulative) Jenis-jenis pajak : A. Menurut golongannya 1. Pajak langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya : pajak penghasilan 2. Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak pertambahan nilai B. Menurut sifatnya 1. Pajak subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: pajak penghasilan 2. Pajak
objektif
yaitu
pajak
yang
berpangkal
pada
objeknya
tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah C. Menurut lembaga pemungutan nya 1. Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemrintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: pajak penghasilan, pajak pertambahannilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. 2. Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemer intah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: pajak kendaraan dan bea balik nama kendaraan bermotor, pajak hotel dan restoran (pengganti pajak bangunan), pajak hiburan, dan pajak penerangan jalan. Penerimaan negara bukan pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba badan usaha milik negara dan bukan dari penerimaan perpajakan lainnya. Sebagai slah satu sumber pendapatannegara, penerimaan negara bukan pajak memiliki peran yang cukup penting dalam menopang kebutuhan
pendanaan
anggaran
dalam
APBN
walaupun
sangat
rentan
terhadap
perkembangan berbagai factor eksternal. PNBP juga dipengaruhi oleh perubahan indicator ekonomi makro, terutama nilai tukar dan harga minyak mentah dipasar internasional. Hal ini terutama karena struktur PNPB masih didominasi oleh penerimaan sumber daya alam (SDA), khusunya yang berasal dari penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas) yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah, harga minyak mentah, dan tingkat lifting minyak. Kelompok penerimaan bukan pajak meliputi meliputi : a) Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah yang terdiri dari penerimaan jasa giro, penerimaan sisa anggaran pembangunan dan sisa anggaran rutin b) Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam terdiri dari : royalty bidang perikanan,kehutanan, dan pertambangan c) Penerimaan dari hasil-hasilpengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan terdiri dari : bagian laba pemerintah, hasil penjualan saham pemerintah, dan deviden ( pembayaran berupa keuntungan yang diterima oleh negara sehubungan dengan keikutsertaan meraka selaku pemegang saham dalam suatu perusahaan) d) Penerimaan dari pelayanan yang dilaksanakan pemerintah terdiri dari : pelayanan pendidikan, kesehatan, pemberian hak paten,hakcipta dan merk e) Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi terdiri dari : lelang barang, denda, hasil rampasan yang diperoleh dari kejahatan f) Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah. Artinya semua penerimaan negara yang berasal dari sumbangan swasta dalam negeri serta sumbangan lembaga swasta dan pemerintah luar negeri. g) Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri
2.3 Orgnisasi Pemerintah daerah A. Gubernur
Gubernur adalah kepala daerah untuk daerah provinsi. Gubernur memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Gubernur dan wakil gubernur dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di provinsi setempat sehingga dalam hal ini gubernur bertanggung jawab kepada rakyat. Selain sebagai kepala daerah, gubernur juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Dalam hal ini gubernur bertanggung jawab kepada
presiden. Gubernur bukanlah atasan bupati atau walikota, tetapi hanya sebatas membina, mengawasi, dan mengoordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Gubernur memiliki tugas dan wewenang antara lain: 1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. 2. Koordinasi
penyelenggaraan
urusan
pemerintah
di
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota. 3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pendanaan tugas dan wewenang gubernur dibebankan kepada APBN. Kedudukan keuangan gubernur diatur dalam peraturan pemerintah. Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur diatur juga dalam peraturan pemerintah. Gubernur dalam menjalankan tugasnya mempunyai kewajiban antara lain: 1. Mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Memegang teguh Pancasila dan UUD 1945. 3. Menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. 4. Meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat. 5. Memelihara keamanan, ketertiban, dan ketenteraman masyarakat. 6. Bersama dengan DPRD provinsi membuat peraturan daerah. 7. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD provinsi. B. Bupati
Pada dasarnya, bupati memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD kabupaten. Bupati dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di kabupaten setempat. Bupati merupakan jabatan politis
(karena
diusulkan
oleh
partai
politik).
Memimpin
penyelenggaraan
pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Bupati sebagai kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang antara lain: •
Memimpin penyelanggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan DPRD
•
Mengajukan rancangan peraturan daerah
•
Menetapkan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPR
•
Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama
•
Mengupayakan tata laksanaanya kewajiban daerah
•
Mewakili daerahnya didalam dan diluar pengadilan
•
Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan
Sedangkan tugas wakil bupati adalah sebagai berikut. 1. Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. 2. Membantu kepala daerah dalam mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan atau temuan hasil pengawasan aparat pengawas, melaksanakan
pemberdayaan
perempuan
dan
pemuda,
serta
mengupayakan
pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup. 3. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan atau kota bagi kepala daerah provinsi. 4. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota. 5. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah. 6. Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah. 7. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan. C. Walikota
Di Indonesia, wali kota adalah Kepala Daerah untuk daerah Kota. Seorang Wali Kota sejajar dengan Bupati, yakni Kepala Daerah untuk daerah Kabupaten. Pada dasarnya, Wali Kota memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kota. Wali kota dipilih dalam satu paket pasangan dengan Wakil Wali Kota melalui Pilkada. Wali kota merupakan jabatan politis, dan bukan Pegawai Negeri Sipil.
D. Sekretaris Daerah
Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah. Tugas sekretaris daerah adalah membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. ugas pokok Sekretariat Daerah adalah membantu Bupati dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan administrasi pemerintahan, hukum, organisasi, pengelolaan barang daerah, keuangan, kepegawaian, umum dan memberikan pelayanan administratif kepada perangkat daerah.Untuk melaksanakan tugas tersebut, Sekretariat Daerah
mempunyai
fungsi
pengkoordinasian
perumusan
kebijaksanaan
pemerintah
kabupaten; pengkoordinasian perangkat daerah; penyelenggaraan administrasi kepegawaian, hukum, organisasi dan tata laksana, keuangan, barang daerah dan umum; dan pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya.Sekretaris Daerah membawahi 2 (dua) orang Asisten, yaitu: Asisten Bidang Pemerintahan (Asisten I) dan Asisten Bidang Umum (Asisten II). Asisten Bidang Pemerintahan membawahi 2 bagian yaitu Bagian Tata Pemerintahan dan Bagian hukum organisasi dan tatalaksana Asisten Bidang Umum membawahi 3 bagian yaitu Bagian Kepegawaian, Bagian Keuangan dan Bagian Umum.
E. Kepala Dinas
Dinas daerah adalah unsur pelaksana otonomi daerah yang dipimpin oleh kepala dinas. Kepala dinas diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah. Tugas pokok Dinas Daerah adalah menyelenggarakan kewenangan daerah dan tugas lainnya yang diberikan oleh Bupati. Kepala Dinas mempunyai tugas pokok menyelenggarakan perumusan, penetapan, memimpin, mengkoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan tugas pokok Dinas serta mengkordinasikan dan membina UPTD. Dalam menyelenggarakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas mempunyai fungsi :
penyelenggaraan pengkajian, penetapan, pengaturan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan teknis koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah meliputi koperasi, kemitraan dan pengembangan produk UMKM, pembiayaan dan teknologi, serta pengawasan
penyelenggaraan fasilitasi dan pengendalian pelaksanaan tugas-tugas koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah
penyelenggaraan koordinasi dan kerjasama dalam rangka tugas pokok dan fungsi Dinas
penyelenggaraan koordinasi dan pembinaan UPTD.
Rincian Tugas Kepala Dinas :
menyelenggarakan penetapan program kerja dan rencana pembangunan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah di Daerah
menyelenggarakan pembinaan dan pengendalian pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Dinas
menyelenggarakan penetapan kebijakan teknis Dinas sesuai dengan kebijakan umum Pemerintah Daerah
menyelenggarakan
fasilitasi
yang
berkaitan
dengan
penyelenggaraan
program,
kesekretariatan, koperasi, kemitraan dan pengembangan produk UMKM, pembiayaan dan teknologi, serta pengawasan
menyelenggarakan pemberian saran pertimbangan dan rekomendasi kepada Gubernur mengenai koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah sebagai bahan penetapan kebijakan umum Pemerintah Daerah
menyelenggarakan perumusan dan penetapan Rencana Strategis, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), LKPJ, dan LPPD Dinas
menyelenggarakan koordinasi dan kerjasama dengan Instansi pemerintah, swasta dan lembaga terkait lainnya untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan Dinas
menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan tugas-tugas teknis serta evaluasi dan pelaporan yang meliputi kesekretariatan, koperasi, kemitraan dan pengembangan produk UMKM, pembiayaan dan teknologi, serta pengawasan
menyelenggarakan koordinasi kegiatan teknis operasional dalam rangka penyelenggaraan pelayanan umum KUMKM
menyelenggarakan koordinasi dan membina Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD)
menyelenggarakan tugas lain sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
2.4 Hak dan Kewajiban DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau yang disingkat dengan DPRD adalah suatu lembaga perwakilan rakyat daerah yang melaksanakan fungsi fungsi pemerintah daerah sebagai mitra sejajar Pemerintah Daerah.
Tugas dan Wewenang DPRD
Membentuk peraturan daerah Kabupaten / Kota bersama Kepala Daerah
Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah yang mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten / kota yang diajukan oleh Kepala Daerah.
Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten.
Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan atau wakil daerah Kepala Daerah kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan atau pemberhentian.
Memberikan pendapatan dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten / kota terhadap rencana perjanjian internasional daerah.
Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
Mengupayakan terlaksanya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan perturan perundang – undangan.
Melaksanakan tugas dan wewenang yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang – undangan.
Fungsi DPRD
a) Fungsi Legislasi Yaitu dengan diwujudkan dalam membentuk peraturan daerah bersama sama Kepala Daerah. b) Fungsi Anggaran Yaitu dengan diwujudkan dalam membahas, memberikan persetujuan, dan menetapkan APBD bersama Pemerintah Daerah. c) Fungsi Pengawasan Yaitu dengan diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksana Undang – Undang, Peraturan Perundangan yang ditetapkan oleh Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dan Kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Hak Hak yang dimiliki DPRD
a. Hak Interpelasi
Ialah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada Kepala Daerah mengenai kebijakan Pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan Negara. b. Hak Angket Ialah pelaksanaan fungsi pngawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebiajakn tertentu kepala daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan Negara, yang diduga bertentangan peraturan perundang – undangan. c. Hak Menyatakan Pendapat Ialah hak DPRD untuk menyetakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi didaerah disertai dengan rekomendasi penyelesainnya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Hak Hak yang dimiliki Anggota DPRD 1. Hak mengajukan rancagan Perda 2. Hak mengajukan pertanyaan 3. Hak menyampaikan usul dan pendapat 4. Hak memilih dan dipilih 5. Hak membela diri 6. Hak imunitas atau hak kekebalan hukum, yaitu anggota DPRD tidak dapat dituntut dimuka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat rapat DPRD Propinsi dengan pemerintah dan rapat rapat DPRD lainnya sesuai dengan peraturan perundang undangan. 7. Hak protokoler atau anggota DPRD untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya dalam acara acara kenegaraan atau acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya. 8. Hak keuangan dan administrasi. Kewajiban DPRD
1. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila 2. Melaksanakan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan mentaati peraturan
3. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. 4. Mendahulukan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. 5. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 6. Mentaati prinsip demokrasi dan penyelenggaran pemerintah daerah. 7. Mentaati tata tertib dan kode etik 8. Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaran pemerintah daerah. 9. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen didaerah pemilihannya.
2.5 Proses Pembuatan peraturan daerah
Secara umum, terdapat beberapa langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Perda baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui :
Langkah 1 : Identifikasi isu dan masalah.
Langkah 2 : Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana peraturan daerah (Perda) baru dapat memecahkan masalah.
Langkah 3 : Penyusunan Naskah Akademik.
Langkah 4 : Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah a.
Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD.
b.
Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah.
c.
Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.
d. Proses Pengesahan dan Pengundangan e.
Lembaran Daerah dan Berita Daerah
Mekanisme Pengawasan Perda
Alur proses penyusunan Perda dapat digambarkan pada bagan di bawah: A. Identifikasi Isu dan Masalah
Para perancang Perda perlu membuat Perda atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Permasalahan dapat mencakup banyak hal,
antara lain degradasi dan deviasi sumber daya, konflik pemanfaatan antar pihak yang mengakibatkan keresahan sosial, dan lain-lain. Selain mengidentifikasi masalah, perancang Perda harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah (akar masalah) dan pihak pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut. Perancang Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan timbul dari penanganan masalahmasalah tertentu.
B. Identikasi Dasar Hukum (Legal Baseline) dan Bagaimana Perda Baru Dapat Memecahkah Masalah
Pengertian legal baseline adalah status dari peraturan perundang-undangan yang saat ini tengah berlaku. Identifikasi legal baseline mencakup inventarisasi peraturan perundangundangan yang ada dan kajian terhadap kemampuan aparatur pemerintah dalam melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut. Identifikasi legal baseline juga meliputi analisis terhadap pelaksanaan dan penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan yang ada. Melalui analisis ini, dapat diketahui bagian-bagian dari Perda yang ada, yang telah dan belum/tidak ditegakkan, termasuk yang mendapat pendanaan dalam pelaksanaannya berikut alasan yang menyertai, dan instansi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tersebut. Pada kenyataannya, para pembuat rancangan Perda terlalu cepat memutuskan mengenai perlunya pembuatan rancangan Perda yang baru, tanpa melakukan penelaahan memadai tentang legal baseline yang sudah ada. Hal demikian justru menambah “kekisruhan” atau disharmonisasi antar peraturan perundang
undangan,
serta
tidak
memecahkan
masalah
yang
sudah
diidentifikasi. Pemberlakuan Perda yang baru hendaknya di upayakan dengan menggunakan cara-cara baru demi mengubah perilaku masyarakat, seperti melalui program sukarela berbasis insentif, atau pengakuan hak adat. Selain itu, apabila instansi pemerintah tidak transparan dan tidak bertanggung gugat (akuntabel), maka sulit diharapkan bahwa pemberlakuan Perda baru tersebut akan serta merta dilaksanakan dengan baik di kemudian hari.
C. Penyusunan Naskah Akademik 1. Substansi Naskah Akademik
Naskah akademik harus menelaah 3 (tiga) permasalahan substansi, yaitu: (1) menjawab pertanyaan mengapa diperlukan Perda baru, (2) lingkup materi kandungan dan komponen utama Perda, dan (3) proses yang akan digunakan untuk menyusun dan
mengesahkan Perda. Banyak hal yang harus termaktub dalam naskah akademik, seperti yang akan diuraikan di bawah ini, namun ketiga hal tersebut di atas merupakan hal-hal yang paling mendasar. Terdapat 10 (sepuluh) pertanyaan yang perlu dijawab dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan baru yang juga relevan dalam penyusunan naskah akademik untuk sebuah Perda.
2. Format Naskah Akademik
Meskipun secara khusus teknis penyusunan dan format naskah akademik untuk peraturan daerah belum ada namun secara umum format penyusunan naskah akademik terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu: 1. Bagian Pertama berisi laporan hasil pengkajian dan penelitian tentang Rancangan Peraturan Daerah 2. Bagian Kedua berisi konsep awal rancangan Peraturan Daerah yang terdiri dari pasalpasal yang diusulkan.
3. Proses Penyusunan Naskah Akademik
Naskah akademik harus disusun secara cermat dan hati-hati. Pembentukan satu tim penyusun dan tim konsultasi atau pengarah harus dilakukan. Demikian pula kegiatan konsultasi public secara terus menerus harus diselenggarakan untuk merevisi konsep (draft ) naskah akademik. Ihwal pembentukan tim penyusun dan tim konsultasi/pengarah diuraikan lebih rinci sebagaimana paparan berikut. Langkah pertama dari suatu lembaga/instansi/badan yang ingin menyusun naskah akademik adalah membentuk satu tim penyusun. Tim ini hendaknya dibentuk dengan surat
keputusan
secara
formal
yang
ditandatangani
oleh
pimpinan
lembaga/instansi/badan tersebut. Surat keputusan oleh pejabat di bawahnya masih dimungkinkan,
tetapi
kekuatannya
dalam
hal
melegitimasi
dimulainya
proses
penyusunan peraturan daerah agak lemah.
D. Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah
Dalam rangka tertib administrasi dan peningkatan kualitas produk hukum daerah, diperlukan suatu proses atau prosedur penyusunan Perda agar lebih terarah dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan dalam pembentukan Perda perlu adanya persiapan yang matang dan mendalam, antara lain pengetahuan mengenai materi muatan yang akan
diatur dalam Perda, pengetahuan tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut ke dalam Perda secara singkat tetapi jelas dengan bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara sistematis tanpa meninggalkan tata cara yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam penyusunan kalimatnya. Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu: a. Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk penyusunan naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik (academic draft) dan naskah rancangan Perda (legal draft). b.
Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.
c.
Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.
E. Mekanisme Pengawasan Perda
Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bulan Desember 2005 ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan
dan
Pengawasan
atas
Penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah.Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan. Di samping Pemda merupakan subsistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implicit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemda merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam kerangka NKRI. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 secara tegas memberikan kewenangan kepada
pemerintah
pusat
untuk
melaksanakan
pembinaan
dan
pengawasan
atas
penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Menteri dan Pimpinan LPND melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang meliputi pemberian pedoman. Bimbingan, pelatihan, arahan dan pengawasan yang dikoordinasikan kepada Menteri Dalam Negeri. Pemerintah dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten di daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pembinaan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap peraturan Kabupaten dan Kota dilaporkan kepada Presiden melalui
Mendagri dengan tembusan kepada Departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen terkait. Pengawasan Kebijakan Daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dengan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000. Pengawasan dilakukan secara represif dengan memberikan kewenangan seluasluasnya kepada Pemda untuk menetapkan Perda baik yang bersifat limitatif maupun Perda lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan Pemerintah. Karena tidak disertai dengan sanksi dalam kedua Undang-Undang tersebut, peluang ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk menetapkan Perda yang berkaitan dengan pendapatan dan membebani dunia usaha dengan tidak menyampaikan Perda dimaksud kepada Pemerintah Pusat. Berbeda dengan Pengawasan Kebijakan Daerah yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005 dilakukan secara: a. Preventif , terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD; b. Represif , terhadap kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah selain yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD; c. Fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah; d. Pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah; e. Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat.
2.6 Hak dan Kewajiban daerah dalam melaksanakan Otonomi Daerah Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak :
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
memilih pimpinan daerah;
mengelola aparatur daerah;
mengelola kekayaan daerah;
memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;
mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban:
melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
mengembangkan kehidupan demokrasi;
mewujudkan keadilan dan pemerataan;
meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
mengembangkan sistem jaminan sosial;
menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
melestarikan lingkungan hidup;
mengelola administrasi kependudukan;
melestarikan nilai sosial budaya;
membentuk
dan
menerapkan
peraturan
perundang
-
undangan
kewenangannya; dan
kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
sesuai
dengan
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Pemberian otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan RepublikIndonesia, sehingga pada hakikatnya tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah dan mensejahterakan rakyat.Proses pembentukan , penghapusan , penggabunggan daerah otonom dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam mengurus rumah tangganya sendiri. apabila berhasil maka daerah tersebut tidak akan digabung denagn daerah lain yang di atasnya.
3.2 Saran
Daerah otonomi seharusnya memiliki prioritas-prioritas tertentu untuk memanjukan kelayakannya sebagai daerah yang memiliki otonomi .Proses yang dilakukan dalam rangka upaya untuk membnatu melaksanakan otonomi daerah pada daerah-daerah yang kurang mampu melaksanakannya sendiri seharusnya mampu membuat daerah-daerah terpencil yang jauh dari jangkauan pemerintah mampu menyerap atau ikut serta dalam proses otonomi daerah.