Eksplorasi
Operasi Produksi
Pasca-Tambang
Penyelidikan Umum
Eksplorasi
Studi Kelaayakan
Konstruksi
Penambangan
Pengolahan & Pemurnian
Pengankutan & Penjualan
Penyisihan dana reklamasi
Penutupan tambang
Pelaksanaan reklamasi dan rehabilitas lingkungan
BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi sumber daya alamyang menjanjikan yakni berupa mineral dan bahan tambang sebagai penopangkelanjutan kehidupan bangsa. Indonesia telah menjadi produsen timah kedua terbesar di dunia, eksportir batubarathermal ketiga terbesar di dunia, penghasil tembaga ketiga terbesar di dunia dan berada pada urutan kelima dan ketujuh untuk masing masing produksi nikel dan emas. Indonesia menjadi tuan rumah bagi pertambangan kelas dunia, termasuk tambangtembaga dan emas Grasberg di Irian Jaya, tambang tembaga Batu Hijau di Sumbawa, tambang Nikel di Inco Soroako, Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur danpenambangan Timah dari PT Timah di Bangka.2Sektor pertambangan sebagai salah satu primadona dari sumber penerimaan negara memainkan peran yang penting dalam pembangunan ekonomi nasional.
Kendati Indonesia mengalami krisis ekonomi dan keuangan yang cukup parah,industri pertambangan tetap dapat menyumbangkan pendapatan yang berarti bagi negara. Sejak diundangkannya Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuanPokok Pertambangan dan selanjutnya Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sektor pertambangan kita mengalami transformasi yang mengesankan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki iklim investasi dengan menyederhanakan proses perijinan, transparansi, keringanan pajak,penegakan hukum dan pemantapan situasi keamanan dengan harapan meningkatkansumber penerimaan negara dari sektor pajak. Namun demikian kegiatanpertambangan ilegal, peraturan pajak yang dinilai kurang mendukung serta lemahnyakoordinasi antara pusat dan daerah merupakan kendala yang dihadapi industry pertambangan sehingga menyebabkan arus investasi yang masuk ke Indonesiakurang optimal.
Negara telah menjamin pengelolaan sumber daya alam tersebut sebagaimanadiatur dalam Pasal 33 UUD 1945 Amandemen keempat, yang dinyatakan bahwa :
"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Atas hal tersebut negara mempunyai hak menguasai atas sumber daya alamsebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pokok AgrariaNo. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Namun demikian ketentuan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ( selanjutnya disebut UU No. 11 Tahun1967 ) mempunyai penafsiran yang berbeda mengenai hak menguasai. Hal inisebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum pada bagian penjelasan pokokpersoalan yang dinyatakan bahwa :
"....Negara menguasai semua bahan-bahan galian dengan sepenuh-penuhnya untuk kepentingan negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan-bahan galian tersebut adalah merupakan kekayaan nasional."
Perbedaan penafsiran kedua ketentuan tersebut di atas yang bersumber pada Pasal 33Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke-4 menunjukkan jika ketentuan Pasal 33UUD 1945 tersebut tidak memberikan rumusan yang jelas mengenai batasanpengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh Negara. Menurut Bagir Manan menyatakan apabila pengertian hak penguasaan negaradipahami secara umum, termasuk hal-hal di luar bumi, air dan ruang angkasa sertakekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka unsur utama penguasaan negaraadalah untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Oleh karena negara adalah badan hukum publik dan penguasaannya dalam lingkuphukum publik, maka sifat pengalihan hak pengusaan itu tunduk kepada kaidahkaidahhukum publik yang banyak terkait dengan ajaran kewenangan. Sifatpengalihan hak penguasaan adalah pelaksanaan atau penyelenggaaan dalam bentukpenguasaan pertambangan kepada pemegang Kuasa Pertambangan. Dengan demikian bentuk pengelolaan dan pemanfaatan pertambangan tidaksepenuhnya berada di tangan negara, namun dapat diserahkan kepada badan hukumatau perseorangan dengan suatu kuasa pertambangan, kontrak karya atau kontrak. production sharing ( kontrak bagi hasil ). Adapun konsekuensi dari pelimpahantersebut badan hukum atau perseorangan yang telah mempunyai suatu kuasapertambangan, kontrak karya atau kontrak production sharing ( kontrak bagi hasil )akan mendapatkan hak kepemilikan yang sifatnya tidak absolut atas pengusahaanpertambangan setelah memenuhi sejumlah persyaratan atau kewajiban sebagaimanaditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu kewajiban dari pemilik bahan galian yang sudah ditambang adalahmembayar sejumlah pungutan yang berhubungan dengan izin pertambangan, yakniberupa iuran tetap pertambangan, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi, dan/ ataupembayaran-pembayaran lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan yangbersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat ( 1 ) UU No. 11 Tahun 1967. Selanjutnya pungutan tersebut merupakan salah satu komponen dari penerimaannegara. Penerimaan negara diartikan sebagai penerimaan pemerintah dalam arti yangseluas-luasnya yaitu yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang diperolehdari hasil penjualan barang dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah,pinjaman pemerintah, mencetak uang dan sebagainya.Pada hakekatnya sangatsusah untuk menarik suatu batas yang jelas dari macam-macam sumber penerimaannegara karena belum adanya suatu pengaturan yang tegas mengenai hal tersebutdalam beberapa literatur. Sumber-sumber penerimaan negara dapat dikelompokkan menjadi penerimaandari sektor : pajak; kekayaan alam; bea dan cukai; retribusi; iuran; sumbangan; labadari badan usaha milik negara, sumber-sumber lain.
HUBUNGAN ANTAR SEKTOR
Sumber Daya Alam Indonesia pengelohan perizinan pertambangan dan perdagangannya dikelola oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Departemen Perindustrian serta Departemen Perdagangan dengan gambaran hubungannya pada Gambar 1. Pada Bagian Hulu, Sumber Daya Alam terbagi menjadi Sumber Daya Mineral, Batubara, Minyak Bumi, Gas Bumi dan Panas Bumi. Pada Bagian Hilir menggambarkan proses-proses pengelolahan sumber-sumber alam tersebut serta produk akhir yang dihasilkan.Pada pembahasan kali ini akan difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya alam berupa Mineral dan Batubara.
1.2JENIS-JENIS PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Pada Gambar 2 berikut ini pembagian jenis-jenis Mineral dan Batubara yang dibagi menjadi : Logam, Non-Logam, Batuan, Radioaktif dan Batubara.
TAHAPAN-TAHAPAN KEGIATAN PERTAMBANGAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN
1.5 PERMOHONAN IUP PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Pemerintah Pusat
Menteri berkoordinasi dengan Gubernur/Bupati/Walikota untuk 7 menetapkan WIUP/ WIUPK
Bupati/Walikota dan Gubernur memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk penetapan WIUP/ 9 WIUPK, Menteri menetapkan WIUP/WIUPK
Menteri membentuk Panitia Lelang
Panitia Lelang mengumumkan lelang WIUP/WIUPK
Peserta lelang mendaftar dan mengikuti proses lelang
Panitia lelang melakukan proses lelang kemudian mengusulkan pemenang lelang ke Menteri
Menteri menetapkan pemenang lelang, dan disampaikan ke Gubernur, Bupati/Walikota dan pemenang lelang
Pemenang lelang memenuhi kewajiban pembayaran biaya kompensasi data untuk memperoleh peta dan koordinat WIUP/WIUPK
Pemenang lelang mengajukan permohonan IUP/IUPK Eksplorasi kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penetapan pengumuman pemenang lelang WIUP/WIUPK, dengan melampirkan syarat:
Peta dan koordinat WIUP/WIUPK hasil penetapan pemenang lelang WIUP/WIUPK
Bukti pembayaran kompensasi data, sesuai keputusan hasil lelang WIUP/WIUPK mineral logam atau batubara
Bukti penempatan jaminan kesungguhan untuk kegiatan 4 (empat) tahun eksplorasi
Menteri menerbitkan Surat Keputusan IUP/IUPK Eksplorasi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan IUP/IUPK Eksplorasi
Kewenangan PemKab/Kota dlm Pengelolaan Pertambangan Minerba (Ps.8 UU No.4/2009) :
Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah
Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kab/kota atau wil.laut s.d 4 mil
Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yg kegiatannya berada di wilayah kab/kota atau wil.laut s.d 4 mil
Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara
Pengelolaan Informasi geologi,informasi potensi minerba, serta informasi pertambangan pada wilayah kab/kota
Menteri berkoordinasi dengan Gubernur/Bupati/Walikota untuk 7 menetapkan WIUP/ WIUPK
Bupati/Walikota dan Gubernur memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk penetapan WIUP/ 9 WIUPK, Menteri menetapkan WIUP/WIUPK
Menteri membentuk Panitia Lelang
Panitia Lelang mengumumkan lelang WIUP/WIUPK
Peserta lelang mendaftar dan mengikuti proses lelang
Panitia lelang melakukan proses lelang kemudian mengusulkan pemenang lelang ke Menteri
Menteri menetapkan pemenang lelang, dan disampaikan ke Gubernur, Bupati/Walikota dan pemenang lelang
Pemenang lelang memenuhi kewajiban pembayaran biaya kompensasi data untuk memperoleh peta dan koordinat WIUP/WIUPK
Pemenang lelang mengajukan permohonan IUP/IUPK Eksplorasi kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penetapan pengumuman pemenang lelang WIUP/WIUPK, dengan melampirkan syarat:
Peta dan koordinat WIUP/WIUPK hasil penetapan pemenang lelang WIUP/WIUPK
Bukti pembayaran kompensasi data, sesuai keputusan hasil lelang WIUP/WIUPK mineral logam atau batubara
Bukti penempatan jaminan kesungguhan untuk kegiatan 4 (empat) tahun eksplorasi
Menteri menerbitkan Surat Keputusan IUP/IUPK Eksplorasi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan IUP/IUPK Eksplorasi
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IUP
HAK PEMEGANG IUP
Pemegang IUP/IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapn usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun operasi produksi
Pemegang IUP/IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundangan yg berlaku
Pemegang IUP/IUPK berhak memiliki mineral termasuk mineral ikutannya, atau batubara yg telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif
Pemegang IUP/IUPK tidak boleh memindahkan IUP/IUPK nya kepada pihak lain
Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu (ditemukan 2 wilayah prospek dlm kegiatan eksplorasi). Pengalihan saham tersebut harus memberitahu menteri atau gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dan dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yg berlaku
Pemegang IUP/IUPK dijamin haknya untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
KEWAJIBAN PEMEGANG IUP :
Pemegang IUP/IUPK wajib (ps.95) : menerapkan kaidah teknik pertambangan yg baik, mengelola keuangan sesuai dgn sistem akuntansi Indonesia, meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara, melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masy setempat,mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan
Dlm menerapkan kaidah teknik pertambangan yg baik wajib (ps.96) melaksanakan : ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, keselamatan operasi pertambangan, pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang, upaya konservasi suber daya mineral dan batubara, pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dlm bentuk padat,cair,atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan
Pemegang IUP/IUPK wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah
Menteri berkoordinasi dengan Gubernur/Bupati/Walikota untuk 7 menetapkan WIUP/ WIUPK
Bupati/Walikota dan Gubernur memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk penetapan WIUP/ 9 WIUPK, Menteri menetapkan WIUP/WIUPK
Menteri membentuk Panitia Lelang
Panitia Lelang mengumumkan lelang WIUP/WIUPK
Peserta lelang mendaftar dan mengikuti proses lelang
Panitia lelang melakukan proses lelang kemudian mengusulkan pemenang lelang ke Menteri
Menteri menetapkan pemenang lelang, dan disampaikan ke Gubernur, Bupati/Walikota dan pemenang lelang
Pemenang lelang memenuhi kewajiban pembayaran biaya kompensasi data untuk memperoleh peta dan koordinat WIUP/WIUPK
Pemenang lelang mengajukan permohonan IUP/IUPK Eksplorasi kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penetapan pengumuman pemenang lelang WIUP/WIUPK, dengan melampirkan syarat:
Peta dan koordinat WIUP/WIUPK hasil penetapan pemenang lelang WIUP/WIUPK
Bukti pembayaran kompensasi data, sesuai keputusan hasil lelang WIUP/WIUPK mineral logam atau batubara
Bukti penempatan jaminan kesungguhan untuk kegiatan 4 (empat) tahun eksplorasi
Menteri menerbitkan Surat Keputusan IUP/IUPK Eksplorasi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan IUP/IUPK Eksplorasi
Pemegang IUP/IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfataan mineral dan batubara (untuk meningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatn thd mineral ikutan)
Pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dgn badan usaha, koperasi atau perseorangan yg telah mendapatkan IUP atau IUPK.
Pemegang IUP/IUPK harus mengutamakan pemanfataan tenaga kerja setempat, barang , dan jasa dalam negeri sesuai dgn ketentuan peraturan perundangan yg berlaku. Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, wajib mengikutsertakan pengusaha lokal yg ada di daerah tsb sesuai ketentuan perundangan yg berlaku.
Pemegang IUP/IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yg dikonsultasikan dgn pemerintah, pemda dan masyarakat
Pemegang IUP/IUPK wajib menyerahkan seluruh data yg diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/walikota sesuai dgn kewenangannya
Pemegang IUP/IUPK wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota
Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP/IUPK yg sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemda, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional.
BAB 2
PENERIMAAN NEGARA DAN DAERAH
PENDAPATAN DARI PERTAMBANGAN MINERBA
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Pada umumnya suatu perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan mempunyai siklus usaha sebagai berikut :
1. Penyelidikan umum;
2. Eksplorasi;
3. Studi Kelayakan;
4. Konstruksi;
5. Pertambangan/Eksploitasi;
6. Reklamasi
Masing-masing proses tersebut terdapat kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Berikut diampaikan kewajiban perpajakan masing-masing siklus:
Penyelidikan Umum: Untuk menentukan potensi mineral pada suatu daerah perlu dilakukan pengujian geologis, untuk itu dibutuhkan jasa dari pihak peneliti geologis untuk melakukan Penelitian. Atas jasa tersebut terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung siapa yang melaksanakan.
Eksplorasi: Adalah rangkaian kegiatan penelitian, pengujian kandungan mineral, pemetaan wilayah dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tentang lokasi, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya serta info lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Diperlukan jasa dari pihak ketiga yang akan terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung pihak yang melaksanakan.
Studi Kelayakan: Dilakukan untuk mendapatkan informasi kelayakan ekonomis dan teknis pertambangan dan proses analisis mengenai dampak lingkungan dan perencanaan pasca tambang, studi kelayakan tersebut memuat data dan keterangan mengenai usaha tambang tersebut. Proses ini dilakukan oleh pihak ketiga yang ahli mengenai hal tersebut. Atas jasa pengujian tersebut terutang PPN dan PPh Ps 23.
Konstruksi: Setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara ekonomis teknis dan lingkungan, maka dilakukan pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi. Jasa akan terutang PPN dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi.
Pertambangan/Eksploitasi: Kegiatan ini biasanya meliputi Land clearing (proses pembukaan lahan), Pengeboran dan penggalian, pengolahan/pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Atas jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.
Reklamasi: Adalah proses rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan penambangan. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga maka akan terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.
Selain jenis pajak tersebut diatas, juga terdapat kewajiban pembayaran pajak atas PPh Pasal 21 yaitu untuk pegawai tetap, pegawai tidak tetap, orang pribadi yang bukan pegawai atas upah yang diterima. Selain hal-hal diatas, harus diperhatikan juga tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada:
Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang;
Pasal 128 menyatakan bahwa Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan negara yang dimaksud yang terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Adapun penerimaan pajak yang dimaksud terdiri atas pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta bea masuk dan cukai. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi. Dalam hal pendapatan daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau bangunan dan yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan
Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8, Sektor Pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya;
Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C ditentukan sebagai berikut:
Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya didalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.
Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan Non Migas Selain Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C Sebagaimana Diatur Dengan Surat Edaran Nomor : Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum produktif dan areal tidak produktif disempurnakan dengan memperhitungkan tahapan kegiatan penambangan sebagai berikut:
Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi adalah luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.
Ketentuan Fiskal (Perpajakan)
Dalam UU Minerba, beberapa ketentuan fiskal di dalam UU Minerba adalah sebagai berikut: Tarif perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu/prevailing law (Pasal 133 Ayat 3 dan Ayat 5, Pasal 136). Adanya kewajiban perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni 6% untuk pemerintah pusat dan 4% untuk pemerintah daerah (Pasal 134 Ayat 1). Besaran tarif iuran produksi (royalty) ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi dan harga (Pasal 137 Ayat 1).
Penerimaan negara bukan pajak dari sektor pertambangan terdiri dari:
1.iuran tetap (landrent)
2.dan iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty)
1. Iuran Tetap (landrent) :
Tarif iuran tetap merupakan tarif satuan atas nilai US $ per luas area eksploitasi/eksplorasi (hektar)
Besarnya tarif dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak).
Pemungutan iuran tetap, yang dikenakan di sektor pertambangan dilakukan setiap semester
2. Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) :
adalah iuran produksi yang diterima Negara dalam hal Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi satu atau lebih bahan galian,
Royalti harus dibayar dalam satuan rupiah atau satuan lainnya yang disetujui bersama
tarif royalti bersifat advalorem (dalam persentasi) atau tetap dan dikenakan terhadap harga jual yang telah dikalikan dengan jumlah produksi.
Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) :
Untuk batubara :
Royalti antara 3 – 7% (tergantung kualitas batubara dan jenis kontrak)
Untuk KK, tarif royalti dan dana pengelolaan lingkungan disebut dana hasil penjualan batubara (DHPB) yang besarnya 13,5% dari hasil penjualan batubara
Untuk Tambang Umum :
Besarnya tarif berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian
penghitungan Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) = Jumlah produksi yang terjual x tarif x harga jual (US$)
Iuran Tetap (landrent/deadrent) :
Baik tambang umum dan batubara menggunakan pola perhitungan yang sama
Perhitungan : Luas Wilayah KP/KK/PKP2B (Ha) x Tarif (Rp/US $)
PEMBAGIAN HASIL SDA PERTAMBANGAN
BAB 3
REALITA PAJAK PERTAMBANGAN DI INDONESIA
POTENSI PENERIMAAN PAJAK PERTAMBANGAN
Sebelum memulai aktivitas penambangan, usaha pertambangan harus memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Bupati/walikota, Gubernur, dan Menteri tergantung dari letak wilayah pertambangan yang diatur di Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. IUP dibagi menjadi 2 yaitu IUP eksplorasi dan IUP produksi. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari rekapitulasi data per April 2014 Ditjen Minerba, terdapat 10.922 IUP di seluruh Indonesia. Dengan adanya IUP, sebuah usaha pertambangan dapat memulai kegiatan eksplorasi dan produksi. Produksi dilakukan untuk mendapatkan bahan galian yang diinginkan kemudian dijual ke pasar yang ada baik dalam negeri maupun luar negeri. Pendapatan yang diterima perusahaan tersebut akan dikenakan pajak penghasilan yang harus dibayarkan ke negara. Dari sistem pajak itulah negara kita mendapatkan pendapatan dari sektor pertambangan.
Data diatas adalah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2012 tetapi masih dapat merepresentasikan pada tahun 2013. Data tersebut menunjukkan bahwa potensi PPh pada sektor pertambangan penggalian sebesar 140,96 triliun tetapi yang dapat direalisasikan hanya sebesar 43,48 triliun berarti 30,8% besar pajak yang diterima negara sedangkan 70,2% hilang karena banyaknya perusahaan yang belum membayar pajak.
Potensi dan realisasi ini berbeda besar dalam hal jumlah, salah satu penyebabnya adalah masih banyak perusahaan yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk membayar pajak diperlukan NPWP sebagai sarana untuk administrasi perpajakan. Data Ditjen Pajak Maret 2014, ada 7.754 perusahaan pemegang IUP, 3.202 di antaranya belum teridentifikasi NPWP-nya. Hal ini berakibat hilangnya sebagian pemasukan negara dari pajak pertambangan.
Kesalahan ini diakibatkan oleh 2 pihak yaitu pihak pemberi izin IUP dan pihak pengelola pajak. Di PP No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara diatur bahwa untuk mendapatkan IUP terdapat salah satu persyaratan administrasi yaitu perusahaan harus memiliki NPWP. Dengan banyaknya perusahaan yang tidak memiliki NPWP berarti terdapat kesalahan dalam sistem yang berjalan selama ini. Seharusnya perusahaan yang belum memiliki NPWP maka tidak diperkenankan untuk mendapatkan IUP.
Pihak pemberi izin IUP terkadang mengeluarkan izin namun tidak memiliki data produksi dari perusahan-perusahaan yang sudah diberikan izin. Sehingga, terdapat perbedaan antara jumlah IUP dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kita bisa menganggap bahwa perbedaan data ini juga berpengaruh pada sistem pengawasannya terkait perpajakan. Kita harus mengevaluasi sistem yang digunakan saat ini. Sebelum kita berpikir jangka panjang untuk melakukan penambahan nilai akan mineral yang ada di indonesia, seharusnya kita perbaiki dulu sistem agar pendapatan negara yang didapat itu sesuai dengan potensi sebenarnya.
Ada beberapa hal yang harus kita benahi. Pertama, pihak pemberi IUP yaitu Bupati/walikota, Gubernur, dan Menteri harus tegas dalam menjalankan hal-hal yang tertuang dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 dan adanya sistem kontrol dari kementrian ESDM supaya IUP yang keluar memenuhi semua persyaratan yang ada. Kedua, setiap pemberian izin oleh pihak yang berwenang harus didata yang kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat sehingga tidak ada bias diantara kedua pihak terkait jumlah pemegang IUP yang ada di Indonesia. Ketiga, Dirjen Pajak bersama dengan Kementerian ESDM membangun Sistem Pengelolaan Pajak Minerba berbasis IT yang disertai dengan sistem monitoring dan evaluasinya. Sistem berbasis IT ini terintegrasi secara real time dengan semua pihak terkait.
Kita harus mengupayakan agar pendapatan yang diterima negara sesuai dengan potensi yang ada. Dirjen Pajak, Kementerian ESDM, dan KPK dapat bersinergis untuk memberantas pihak-pihak yang belum membayar pajak ke pemerintah. Penerimaan negara dari sektor pajak sangat penting dalam pemenuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena 70% pendapatan negara berasal dari pajak. APBN merupakan perwujudan dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.
Kendala Optimalisasi Pajak Pertambangan : Eksternal dan Internal
Kendala dalam optimalisasi pajak pertambagan berasal dari faktor eksternal maupun internal Dirjen Pajak. Faktor eksternal berupa modus-modus kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan untuk menghindari pajak. Beberapa modus penghindaran pajak tambang, antara lain dengan penambangan di luar rencana tahunan, transfer pricing, pengeluaran biaya perusahaan satu grup, kontrak derivative, pembayaran bungan pinjaman, non deductable cost, dan depresiasi. Jumlah produksi tahunan mungkin disetujui ESDM, tetapi adanya rencana percepatan pelunasan bunga dan hutang, menurut perusahaan menambah produksi di luar rencana produksi tahunan. Modus ini mirip yang terjadi pada perusahaan HPH yang melakukan penebangan kayu di luar jumlah tebang di RKT (Rencana Kerja Tahunan).
Transfer pricing bisa menjadi modus lain. Dengan membuat anak perusahaan "papan nama" di luar negeri, batu bara kalori tinggi dijual dengan harga batu bara kalori rendah. Nantinya dari perusahaan afiliasi ini, batubara dijual ke end user dengan harga normal. Modus paling banyak, dengan memperbesar biaya produksi kepada perusahaan afiliasi dengan mengabaikan prinsip arm length transaction. Pelu dicermati biaya penggalian tambang karena umumnya dialihdayakan (outsourcing) serta biaya transportasi (pengapalan) hasil tambang kepada perusahaan pelayaran. Beberapa perusahaan tambang memiliki anak perusahaan pelayaran dan kereta api, sehingga dari sini perlu diteliti kewajaran pembebanan biaya.Untuk meminimalkan kerugian kurs, perusahaan membuat kontrak derivatif untuk mengaman selisih kurs karena emisi surat utang, pembelian bahan baku, pembelian mesin tambang dan kurs penjualan tambang. Suatu hal yang tidak lazim jika perusahaan tambang dengan pendapatan dalam dollar atau valuta asing lainnya, banyak membuat kontrak derivatif seperti hedging dan swap. Jika mengacu pada prinsip akuntansi perusahaan mungkin mengalami kerugian kurs jika rupiah menguat, tetapi secara cash flow perusahaan tidak mengalami kerugian apapun.Modus lainnya adalah penerbitan surat utang atau pengajuan kredit menggunakan SPV (Special Purpose Vehicle) atau perusahaan papan nama di negara yang membebaskan pajak (tax heaven country). Atas penerbitan surat utang ini, perusahaan membayar fee kepada SPV tersebut. Padahal SPV tersebut masih ada afiliasi kepemilikkan dengan pemegang saham perusahaan tambang. Pembayaran fee ini masih lebih menguntungkan daripada membayar PPh Badan sebesar 25 persen. Pembayaran fee bisa juga sebagai dividen terselubung.
Perbedaan penyusutan aset antara akuntansi dan pajak, menjadi modus pengecilan pajak. Perusahaan yang sedang produktif bisa jadi akan membeli aktiva yang memiliki penyusutan cukup besar seperti alat berat penambangan dan truk pengangkut. Dalam perhitungan pajak, aktiva tersebut dapat disusutkan dalam waktu lebih cepat sehingga biaya menjadi besar dan pajak penghasilan mengecil. Namun, dalam perhitungan akuntansi dengan penyusutan lebih lambat, maka laba perusahaan tetap lebih besar daripada pendapatan kena pajak. Bisa juga pembelian alat tambang itu hanya di atas kertas, tidak secara riil semata-mata memperbesar depresiasi fiskal. Perlu disadari bahwa tidak semua biaya operasional penambangan ada bukti pengeluarannya. Jika saja ada pengeluaran-pengeluaran tak resmi perusahaan tambang, maka pengeluaran ini tidak bisa dibiayakan oleh perusahaan (non deductable cost) sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Kenyataannya, uang tetap keluar, sehingga atas pengeluaran tak resmi tersebut kemudian di-posting pada neraca perusahaan dengan pos biaya yang berbeda, yang penting bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Selain faktor eksternal tersebut diatas, permasalahan-permasalahan yang dihadapi Dirjen Pajak juga menjadi kendala dalam mengoptimalkan penerimaan pajak pertambangan, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, penggalian potensi perpajakan tidak maksimal. Penggalian potensi tidak optimal karena wajib pajak perusahaan migas dan pertambangan tersebar di banyak KPP, dimana pertugas pada KPP tersebut tidak memiliki pemahaman yang sama terhadap isi Kontrak Kerjasama Migas dan terhadap isi kontrak karya ataupun isi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) bagi perusahaan tambang. Selain itu, tingkat pemahaman para petugas pada masing-masing KPP itu tehadap Kegiatan Bisnis Migas dan Pertambangan tidak sama dan tidak menyeluruh.
Kedua, pengawasan dan pelayanan kewajiban perpajakan tidak seragam. Pengawasab dan pelayanan kewajiban perpajakan tidak seragam karena masing-masing KPP tidak memahami ketentuan perpajakan yang seharusnya berlaku sesuai Kontrak Karya / PKP2B bagi wajib pajak perusahaan tambang dan sesuai Kontrak Kerjasama bagi waib pajak KKKS Migas. Akibatnya, pelaporan dan pengawasan kewajiban perpajakan tidak sama antara satu KPP dengan KPP lainnya. Kini dengan beroperasinya KPP Migas dan KPP Pertambangan maka pengawasan kewajiban formal dan material PP Cost Recovery bagi perusahaan migas dapat ditingkatkan, pelaksanaan pemeriksaan terhadap wajib pajak KKKS Migas dan Pertambangan dapat lebih diintensifikasikan, dan pelayanan untuk semua wajib pajak perusahaan migas seragam, demikian pula pelayanan perpajakan untuk semua wajib pajak perusahaan pertambangan pun sama. Tentu bukan hanya keseragaman, tetapi juga mutu pelayanan bagi wajib pajak perusahaan migas dan perusahaan pertambangan akan terus ditingkatkan oleh KPP Migas dan KPP Pertambangan. Ketiga, pengawasan oleh dan antar instansi pemerintah (DJP, DJA, BPKP, BP Migas, dan KESDM) kurang terkoordinir.
Eksplorasi
Penyelidikan Umum
Eksplorasi
Studi Kelaayakan
Operasi Produksi
Konstruksi
Penambangan
Pengolahan & Pemurnian
Pengankutan & Penjualan
Pasca-Tambang
Penyisihan dana reklamasi
Penutupan tambang
Pelaksanaan reklamasi dan rehabilitas lingkungan