Hamad, Ibnu, (2007). Analisis Wacana (Discourse Análisis) Sebuah Pengenalan Awal, Jakarta, Diktat Perkuliahamn Methode Penelitian Komunikasi Kulaitatif, PPS MIK UPDM (B) Jakarta, hal. 15.
16 " Page
BAB II
Pengertian Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dalam dunia ini,ditengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Kata "semiotika" itu sendiri berasal dari bahasa Yunani,semeion yang berarti "tanda"atau same yang berarti "penafsir tanda". Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. "tanda"pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjukan pada adanya hal lain. Contohnya,asap menandai adanya api. Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun.
Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam system bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra,misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan(semantik).,
Menurut Paul Cobley dan Litza Jansz, munculnya studi kasus tentang sistem penandaan benar-benar merupakan fenomena modern. Tanda dalam pandangan Peirce adalah Sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Ia hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir. Pada dasarnya, semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diperikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan lima istilah:
S ( s, i, e, r, e)
S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya, misalnya suatu disposisi dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi tertentu c karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi). Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda. Umberto Eco, sudah menjelaskan bahwa tanda dapat dipergunakan untuk menyatakan kebenaran sekaligus untuk kebohongan.
Barger menunjukkan beberapa contoh cara untuk menyesatkan orang, atau lebih tepatnya berbohong, melalui tanda-tanda:
AREA
TANDA-TANDA YANG MENYESATKAN
Rambut palsu (wig)
Orang botak/gundul atau seseorang dengan warna rambut yang berbeda
Sepatu hak tinggi
Orang pendek yang kelihatan tinggi
Pewarna rambut
Si rambut coklat menjadi pirang, pirang menjadi rambut kemerahan
Penipu ulung
Pura-pura menjadi dokter, pengacara, atau apa pun
Peniru
Pura-pura menjadi orang lain, mencuri identitas
Teater
Pura-pura berperasaan, percaya , seperti apa pun yang di perankan
Makanan
Kepitik, udang, lobster imitasi, dbs
Kata-kata
Penjahat mengatakan untuk tidak menyakiti orang
Pada umumnya memang tanda- tanda apa yang berisi kebohongan itu relative tidak merugikan (misalnya rambut pirang kenyataannya coklat atau hitam) namun dalam beberapa kasus (seperti supir truk yang berpura-pura sebagai dokter) boleh jadi sangat membahayakan orang lain. Yang perlu digaris bawahi dari pendapat Eco adalah jika tanda dapat digunakan untuk berkomunikasi, tanda juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kebohongan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa studi simiotika disusun dalam tiga poros. Poros horizontal mengkaji tiga jenis penyelidikan semiotika (murni,deskriptif, dan terapan); poros vertical menyajikan tiga tataran hubungan semiotik (sintaktik, semantic, dan pragmatik); dan poros yang menyajikan tiga katagori sarana informasi (signals, signs, dan symbols)
Pokok dan Tokoh Semiotika
Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Bagi Peirce (Pateda, 2001:44), tanda "is something which stands to somebody for something in some respect or capacity". Sesuatu yang digunakan agar tanda bias berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau represantamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object, dan interpratent. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, dan merdu. Sinsign adalah eksistensi actual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang pada dasarnya kata air sungai keruh yang menandakan ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atau icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan atau alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara yanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tabda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialaj asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat mengacu ke denotatun melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa di sebut simbol. Jadi, dimbol adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda dengan pertandanya. Hubungan duantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.
Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atau rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalhnya, orang yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki inteksa, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent sign atai dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan atasan tentang sesuatu.
Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure disebut orang yang layak sebagai pendiri linguistic modern dialah sarjana dan tokoh besar asal swiss. Sedikitnya ada lima pandangan dari Saussure yang kemudian hadi menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yaitu pandangan tentang:
signifier (penanda) dan signified (petanda)
Yang cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada teori Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu system tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide atau petanda. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau di baca. Pendata adalah aspek mental dari bahasa.
form (bentuk) dab content (isi)
Istilah form (bentuk) dan content (isi) diistilahkan dengan expression dan content, satu berwujud bunyi dan yanglain berwujud idea. Yang penting adalah fungsinya dibatasi. Jadi, bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang ditentukan oleh materi, tetapi sistem itu di tentukan oleh perbedaanya.
langue (bahasa) dan parole(tuturan, ujaran)
Saussure dianggap cukup penting oleh Recoeur karena ia-lah yang meletakkan dasar perbedaan lauge dan parole sebagai dua pendekatan linguistik yang pada gilirannya nanti dapat menunjang pemikiran Recoeur, khususnya dalam teori wacana. Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa prancis: langage, launge (sistem bahasa) dan parole (keiatan ujaran) .
Lauguge adalah suatu kemampuan bahasa yangada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangan dengan lingkungan dan stimulus yang menunjang. Singkatnya languge adalah bahasa pada umumnya. Orang bisupun bias memiliki languge ini, namun disebabkan, umpamanya, gangguan fisiologi pada bagian tertentu maka dia tidak bias berbicara secara normal.
Langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat social budaya.langue sebagai totalitas dari kumpulan fakta atau bahasa. Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa tertentu. Akibatnya langue melebihi semua individu yang berbicara dibawakannya dalam sebuah konser oleh orkes tertentu (dalam segala kekurangan umpamanya)
Parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya dipandang sebagai individual. Parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan subjek(penutur) sanggup menggunakan kode bahasauntuk mengungkapkan pikiran pribadinya.
synchronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis)
Yang dimaksud dengan sinkronis sebuah bahasa adalah deskripsi tentang keadaan tertentu bahasa tertentu(pada suatu "masa")". Sinkronis mempelajari bahasa tanpa mempersonalkan urutan waktu. Yang dimaksud dengan diakronis adalah "menelusuri waktu". Jadi, studi diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang perkembangan sejarah ("melalui waktu"). Atau dengan kata lain, linguistik diakronis ialah subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa pada masa ke masa.
syntagmatic (sintagmatik) associative (paradigmatik).
Satu lagi bahasan struktur bahasa yang dibahas dalam konsepsi dasar Saussure tentang sistem perbedaan antara tanda-tanda adalah mengenai syntagamativ dan associative (paradigmatik), atau antara sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan-hubungan ini terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun sebagai konsep.
Roman Jakobson
Roman Jakobson adalah salah satu dari beberapa ahli linguistic adab ke 20 yang pertama kali meneliti secara serius baik pembelajaran bahasa maupun bagaimana fungsi bahasa bias hilang seperti yang berlangsung pada afasia (Lechte, 2001 : 108). Pengaruh Jakobson pada simiotika abad ke 20 sangat besar. Umberto Eco sampai berkomentar "alasan mengapa Jakobson tidak pernah menulis satu buku khusus tentang semiotika adalah karena seluruh eksistensi keilmuannya merupakan contoh hidup dari pencarian semiotiika" (Cobley dan Jansz, 1999:142).
Jakobson mengemukakan bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu :
Fungsi Referensial, pengacu pesan
Fungsi Emotif, pengungkap keadaan pembicara
Fungsi Konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak
Fungsi Metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan
Fungsi Fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak
Fungsi Puitis, penyandian pesan
Setiap fungsi bersejajar dengan factor fundamental tertentu yang memungkinkan bekerjanya bahasa.
Fungsi Referensial, sejajar dengan factor konteks atau referen
Fungsi Emotif, sejajar dengan factor pembicara
Fungsi Konatif, sejajar dengan factor pendengar yang diajak bicara
Fungsi Metalingual, sejajar dengan factor sandi atau kode
Fungsi Fatis, sejajar dengan factor kontak (awal komunikasi)
Fungsi Puitis, sejajar dengan factor amanat dan pesan
Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantic, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain. Dalam artikelnya yang terkenal linguistics and poetics, Jakobson menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan factor-faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal (Segers, 2000:15). Addresser (pengirim) mengirimlam suatu message (pesan) kepada seorang adresse (yang dikirimi). Agar operatif, pesan tersebut memerlukan context (konteks) yang menunjuk pada (…), sehingga dipahami oleh yang dikirimi dan dapat diverbalisasikam; suatu kode secara penuh atau paling tidak sebagian, bagi pengirim dan yang dikirimi (atau dengan kata lain bagi pembuat kode dan pemakna kode); dan akhirnya, suatu kontak, suatu saluran fisik dan hubungan psikologis antara pengirim dan yang dikirim, memungkinkan keduanya memasuki dan berada dalam komunikasi (Jakobson, 1960, dalam segers, 2000:16).
Analisis Jakobson atas bahasa mengambil ide dari Saussure yang mengatakan bahwa bahasa atau struktur bahasa bersifat differensial atau membedakan. Pembedaan atau differensiasi tersebut berlangsung melalui dua sumbu: Sintagmatis dan paradigmatis (Ahimsa – Putra, 2001;54). Memang, didalam linguistic pasca-Saussure, istilah sistagmatik selalu diperlawankan dengan paradigmatik sebuah sistagma merujuk kepada hubungan in prasentia antara satu kata dengan kata-kata yang lain, atau antara suatu satuan gramatikal dengan satuan-satuan yang lain, di dalam ujaran atau tidak tutur tertentu.
Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistic dan semiologi Saussure.Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan "order of signification", mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Ia berpendapat bahasa adalah sebuah system tanda yang mencerminkan asumsi –asumsi dari suatu masyarakat dalam waktu tertentu. Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode hermeneutic (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomic atau kode kultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu.
kode hermeneutic atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan "kebenaran" bagi pernyataan yang muncul dalam teks.
kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling "akhir".
kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat structural atau tepatnya menurut konsep Bathes, pascastruktural. Dalam suatu teks herbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antithesis, yang merupakan hal istimewa dalam system symbol Barthes.
kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya antara lain, semua teks yang bersifat naratif.
kode gnomic atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda – benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
Signifier
(penanda)
Signified
(petanda)
Denotative sign (tanda denotatif)
CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material.
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotative yang melandasi keberadaanya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiology Saussure, yang behenti pada penandaan dalam tataran denotative.
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu "mitos" yang menandai suatu masyarakat. "Mitos" menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi "keramat" karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi "keramat" ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, "pohon beringin yang keramat" akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Jacques Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung 'sesat' atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai 'klasik' yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, 'berpengalaman', teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai 'fokus ke atas' yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang 'mempertemukan' jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan ("menghancurkan" atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Berkaitan dengan semiotika, belakangan ini, semiotika menunjukkan perhatian besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat linguistic dan budaya. Berbeda dengan konsep yang lebih statis yang diajukan Ferdinand de Saussure tentang tanda dan pendekatan taksonimis semiotika, serta pendekatan semiotika Charles Sanders Peirce yang bersifat taksonimis, Eco memastikan diri untuk menyelidiki sifat – sifat dinamis tanda.
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimpulkan bahwa "satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean". Eco menggunakan "kode-s" untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat "denotatif" (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau "konotatif" (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
M.A.K HALLIDAY
Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya (Halliday, 1977, 1978; Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersamasama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.
Dalam berbagai tulisannya, Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek social.
Semiotika Sosial dari M.A.K. Halliday dalam analisis isi media, adalah untuk menemukan hal terkait dengan tiga komponen Semiotika Sosial, yaitu: Medan Wacana (field of discourse); Pelibat Wacana (tenor of discourse); dan Sarana Wacana (mode of discourse).
Dari segi Medan Wacana (field of discourse) maka tujuannya untuk mengetahui apa yang dijadikan wacana media massa mengenai sesuatu yang terjadi di lapangan.
Terkait Pelibat Wacana (tenor of discourse), maka untuk megetahui orang-orang yang dicantumkan dalam teks (seperti berita, editorial, dan lain-lain); sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka.
Sementara dari segi Sarana Wacana (mode of discourse), untuk mengetahui bagian yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip). Bagi keperluan praktis, kandungan tersebut memberikan implikasi apa? (diantaranya yaitu berupa makna, citra, opini dan motif).
Aplikasi Semiotik Komunikasi
Suatu penelitian semiotika umum akan dihadapkan pada berbagai batas kajian (A Theory of Semiotika, Eco/1979). Beberapa diantaranya harus disepakati sementara, sedangkan lainnya, menurut Eco, ditentukan oleh objek disiplin ilmu itu sendiri. Eco, mengemukakan tiga batas hubungan dengan penelitian semiotika, yaitu:
Ranah Budaya
Ranah Alam
Ranah epistimologis
Bidang semiotika memang dapat dikatakan bidang yang begitu luas. Bidang ini biasa berupa bidang komunikatif yang tampak lebih 'alamiah' dan spontan pada system budaya yang lebih kompleks. Bidang terapan semiotika pada bidang komunikasi tidak terbatas. Misalnya, bisa mengambil objek penelitian mulai dari pemberitaan media massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, sastra sampai kepada musik. Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain :
1. Media
Mempelajari media adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.Dalam konteks media massa, khusunya media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.
Untuk teknik – teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah :
Teknik kuantitatif
Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri – ciri yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian ini. Menurut Van Zoest, (1993:146-147), hasil analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler namun sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji metode – metode yang digunakan.
Teknik kualitatif
Pada analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan.
Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4)
Pendekatan Politik-Ekonomi
Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan – kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media.
Pendekatan Organisasi
Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan bahwa isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan – kekuatan eksternal di luar diri pengelola media.
Pendekatan Kulturalis
Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media.
Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan – kekuatan politik-ekonomi di luar media. Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan.
Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebar luaskan.
Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :
1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik – praktik signifikasi.
2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik – praktik kekuasaan.
3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik – praktik produksi.
Praktik – praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk ( John B. Thomson, 1994) antara lain:
Kekuasaan Ekonomi : dilembagakan dalam industri dan perdagangan
Kekuasaan Politik : dilembagakan dalam aparatur Negara
Kekuasaan Koersif : dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter
2. Periklanan
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Berger) :
Penanda dan petanda
Gambar, indeks, symbol
Fenomena sosiologi
Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
Desain dari iklan
Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi tersebut.
Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu:
Pesan Linguistik : Semua kata dan kalimat dalam iklan
Pesan yang terkodekan : Konotasi yang muncul dalam foto iklan
Pesan ikonik yang tak terkodekan : Denotasi dalam foto iklan
3. Tanda NonVerbal
Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.
Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara :
· Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui pengalamannya.
· Tanda yang ditimbulkan oleh binatang
· Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.
Namun tidak keseluruhan tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang lain.Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia.
Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain :
Langkah Pertama : Melakukan survai lapangan untuk mencari dan menemukan objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti.
Langkah Kedua : Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep –konsep pada tanda nonverbal.
Langkah Ketiga : Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap objek yang ditelitinya.
Langkah Keempat : Merupakan langkah terpenting menentukan model semiotika yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga.
4. Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.
Van Zoest—– film dibangun dengan tanda semata – mata. Pada film digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar.
(Sardar & Loon) Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk – bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan.Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena.