BAB I STATUS PASIEN
1.1. IDENTITAS
Nama
: Tn.DP
Usia
: 31 th
Jenis kelamin
: Pria
Alamat
: Mendigan RT 19, Sambirejo, Plupuh
Pekerjaan
: Swasta
Agama
: Islam
MRS
: 15 Oktober 2013
1.2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan tanggal 21 Oktober 2013 secara autoanamnesis. KELUHAN UTAMA:
Badan terasa lemas RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan badan terasa lemas sejak 1 minggu minggu SMRS. Pasien mengaku mengalami BAB cair sejak 7 HSMRS tanpa ampas berwarna kuning. Pasien sudah membeli obat di warung untuk mengobati diare. 1 HSMRS diare berhenti, namun badan masih terasa lemas dan makin lama makin memberat. Pasien juga mengeluh dada terasa ampeg, terutama saat bernapas. Selain itu, pasien merasa berat badannya terus berkurang selama beberapa bulan terakhir. ANAMNESIS SISTEM
Serebrospinal : Pusing (-), nyeri kepala (-), demam (-) Respirasi
: batuk (+), pilek (-), dada ampeg (+)
Kardiovaskular
: nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), (-), sebah (-), nafsu makan baik
Urogenital
: BAK normal, warna kuning jernih
Integumentum : benjolan (-), gatal (+), ruam (-), deformitas (-) Muskuloskeletal : pegal (+), kelemahan anggota gerak (-), (-), nyeri sendi (-)
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
-
Riwayat sariawan saat 2 minggu SMRS. Pasien sudah berobat ke dokter, dan keluhan berkurang.
-
Riwayat batuk lama dan kelenjar getah bening membesar di tahun 2010. Pasien didiagnosis TB dan mengaku sudah menyelesaikan pengobatan selama 6
-
bulan.
Pasien sering mengalami diare kambuh-kambuhan yang makin lama makin memberat.
-
Pasien mengaku sering mengalami gatal-gatal di kulit sejak mendapat pengobatan TB. Tetapi meskipun pengobatan telah selesai, pasien masih merasakan gatal.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
-
Riwayat sakit serupa di dalam keluarga disangkal
KEBIASAAN/LINGKUNGAN
-
Pasien bekerja di diskotik di Jakarta dan merupakan pengguna narkoba dengan jarum suntik pada tahun 2005-2006. Pasien menggunakan jarum suntik bergantian dengan teman-temannya. Pasien tidak mengetahui apakah ada diantara teman-temannya yang positif mengidap HIV. Saat ini ia mengaku tidak lagi menggunakan narkoba sejak 7 tahun lalu.
1.3. Status Generalisata
A. Pemeriksaan Vital Sign Dilakukan pada tanggal 21Oktober 2013 Tekanan Darah: 90/60mmHg Respirasi : 24x/menit, regular Nadi : 88x/menit, regular O
Suhu axila: 36,5 C
B. Pemeriksaan Fisik Diagnostik Dilakukan tanggal 25 September 2013 1) Keadaan Umum Keadaan Umum : Sedang Kesadaran
: Compos Mentis, GCS : E4V5M6
Tinggi Badan
: 165 cm
Berat Badan
: 45 kg
Status Gizi
: Kurang
2) Pemeriksaan Kepala Kepala Rambut
: Tipis, tidak mudah rontok
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Hidung
: Nafas cuping hidung (-)
Telinga
: dalam batas normal
Mulut
: atropi papil lidah (-), sianosis (-)
3) Pemeriksaan Leher Inspeksi
: Pembesaran kelenjar thyroid (-), Pembesaran limfonodi (-)
Palpasi
: Limfonodi teraba (-), Nyeri tekan (-)
Pemeriksaan Tekanan Vena Sentral : Normal 4) Pemeriksaan Thoraks Pulmo
Inspeksi
: bentuk dada normal, simetris, massa (-), retraksi otot bantu
pernafasan (-), pengembangan dada simetris Palpasi
: nyeri (-), fremitus taktil kanan dan kiri sama, pengembangan paru
simetris(-) Perkusi
: Paru kanan: sonor di seluruh lapang paru Paru kiri
: redup di SIC V
Auskultasi :suara dasar vesicular (+ normal/ menghilang) ronki (-/-), (-/-), wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi
: Denyut ictus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus kordis (+), thrill (-)
Perkusi
: - batas jantung kanan di linea sternalis dekstra, - batas jantung kiri di linea midclavicula sinistra - batas jantung atas di linea sternalis sinistra - batas pinggang jantung di linea parasternalis sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, regular, bising (-) 5) Pemeriksaan Abdomen Inspeksi
: Simetris, permukaan abdomen sama tinggi dengan permukaan dada, spider nevi (-), tak tampak massa
Palpasi
: supel, hepar dan lien teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi
: Timpani di empat kuadran (+), asites (-).
Auskultasi
: Peristaltik (+), Bising aorta (-).
6) Muskuloskeletal Kelemahan anggota gerak (-), deformitas (-), oedem (-/-)
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Hasil pemeriksaan darah rutin (tanggal 23 September 2013)
Hb
: 14,1
12,2-18,1
g/dl
AE
: 4,84
4,04-6,13
Jt/µl
MCV
: 83,9
80-97
fL
MCH
: 29,2
27-31,2
pg
MCHC
: 34,8
31,8-35,4
g/dL
AL
: 5,07
4,6-10,2
ribu/µl
Limfosit
: 18,6
19-48
%
Total limfosit
:1
1-3,7
ribu/ µl
AT
: 226
150-450
ribu/µl
KIMIA KLINIK
GDS
: 68
mg/dl
75-200
SGOT
: 162
U/l
0-31
SGPT
: 146
Ureum
: 28,2 mg/dl
10-50
Kreatinin
: 1,24 mg/dl
0,6-0,9
- Radiologis
U/l
0-32
: TB Paru aktif
- Anti HIV
Standard Diagnostic
Reaktif
Non reaktif
Intec
Reaktif
Non reaktif
Kesimpulan:
Reaktif
1.5. RESUME
Pasien seorang laki-laki usia 30 tahun, datang dengan keluhan badan lemas setelah mengalami diare selama 7 hari. Saat datang ke IGD, diare telah berhenti. Pasien juga mengeluh dada ampeg. Pasien sebelumnya telah mengalami diare kambuh-kambuhan yang makin lama makin memberat. Pasien juga pernah mengalami sariawan lama yang telah diobati dan berkurang. Saat tahun 2010 didiagnosis TB dan telah menjalani pengobatan selama 6 bulan. Pasien sering menggunakan jarum suntik bergantian dengan temannya saat masih memakai narkoba tahun 2005-2006 di Jakarta. Berat badan pasien juga berkurang selama beberapa bulan terakhir.
1.6. DIAGNOSIS
- KP - HIV 1.7. RENCANA PENATALAKSANAAN a. Pemeriksaan penunjang
-
Pemeriksaan CD4
b. Tindakan terapi
-
IVFD RL 20 tpm makro
- Inj. Cefotaxim 1 gr/24 jam - Inj Ondancentron 1 amp/12 jam - Inj Sohobion 1 amp/24 jam drip
- Rifampisin 450 mg (1x1) - Pirazinamid 500 mg (2x1) - INH 300 mg (1x1) - Etambutol 500 mg (2x1) - Dextromethorphan 3xI cth (Terapi ARV tanggal 23/10/2013)
- Tenofovir DF tab 1x1 - Lamivudine tab 1x1 - Efavirenz tab 1x1
1.8. FOLLOW UP
Tanggal
16/10/2013
S
A
S:Lemas (+), batuk (+)
- HIV
O: KU: sedang
- KP
Ks:Compos Mentis
P
- IVFD RL 20 tpm makro - Inj.
Cefotaxim
1
gr/24 jam
TV:
TD:90/60mmHg R : 28 x/m N: 80x/menit O
S: 36,6 C Kepala : konjungtiva
anemis(-/-), sklera ikterik (-/-) Leher : dbn Thorax : Paru: SDV
(+/+), suara tambahan (/-) Jantung : dbn Abdomen: dbn Ekstremitas : oedem (-)
- Inj
Ranitidin
1
amp/12 jam - Inj
Sohobion
1
amp/24 jam drip - Inj Ondancentron 1 amp/12 jam
17/10/2013
S:
batuk
berdahak(+)
ampeg (+)
- HIV - KP
O: KU: sedang
- IVFD RL 20 tpm makro - Inj.
Ks: Compos Mentis
Cefotaxim
1
gr/24 jam - Inj
TV:
TD: 90/60mmHg
Ranitidin
1
amp/12 jam
R : 20 x/m
- Inj
N: 80x/menit
Sohobion
1
amp/24 jam drip
O
S: 36,6 C
- Inj Ondancentron 1
Kepala : konjungtiva
amp/12 jam
anemis(-/-), sklera
Oral
ikterik (-/-)
- Dextromethorphan
Leher : dbn
3xI cth
Thorax : Paru: SDV
(+/+), suara tambahan (-/-) Jantung : dbn Abdomen: dbn Ekstremitas : oedem (-)
18/10/2012
S: Batuk (+)
- HIV
O: KU: sedang
- KP
Ks: Compos Mentis
- IVFD RL 20 tpm makro - Inj.
Cefotaxim
1
gr/24 jam
TV:
TD: 90/60mmHg R : 20 x/m N: 80x/menit O
S: 36,6 C Kepala : konjungtiva
anemis(-/-), sklera
- Inj
Ranitidin
1
amp/12 jam - Inj
Sohobion
1
amp/24 jam drip - Inj Ondancentron 1 amp/12 jam
ikterik (-/-)
Oral
Leher : dbn
Dextromethorphan
Thorax : Paru:simetris,
3xI cth
tidak ada ketinggalan gerak, tidak teraba massa, SDV (+N/+↓), suara tambahan (-/-) Jantung : dbn Abdomen: dbn Ekstremitas : oedem (-)
19/10/2013
S: Batuk (+)
- HIV
O: KU: sedang
- KP
Ks:CM
- IVFD RL 20 tpm makro - Inj.
Cefotaxim
1
gr/24 jam
TV:
TD: 90/50mmHg
- Inj
R : 20 x/m
Ranitidin
1
amp/12 jam
N: 80x/menit
- Inj
O
S: 36,6 C
Sohobion
1
amp/24 jam drip
Kepala : konjungtiva
- Inj Ondancentron 1
anemis(-/-), sklera
amp/12 jam
ikterik (-/-)
Oral
Leher : dbn
Dextromethorphan
Thorax : Paru:simetris,
3xI cth
tidak ada ketinggalan gerak, tidak teraba massa, SDV (+N/+↓), suara tambahan (-/-) Jantung : dbn Abdomen: dbn Ekstremitas : oedem (-)
20/10/2013
S: Batuk berdahak (+)
- HIV
- IVFD RL 20 tpm
O: KU: sedang
- KP
Ks:Compos Mentis
makro - Inj.
Cefotaxim
1
gr/24 jam
TV:
TD: 90/60mmHg
- Inj
R : 20 x/m
Ranitidin
1
amp/12 jam
N: 80x/menit
- Inj
Sohobion
1
O
amp/24 jam drip
Kepala : konjungtiva
- Inj Ondancentron 1
S: 36,6 C
anemis(-/-), sklera
amp/12 jam
ikterik (-/-)
Oral
Leher : dbn
- Dextromethorphan
Thorax : Paru:simetris,
3xI cth
tidak ada ketinggalan gerak, tidak teraba massa, SDV (+N/+↓), suara tambahan (-/-) Jantung : dbn Abdomen: dbn Ekstremitas : oedem (-)
21/10/2013
S:
Batuk
berdahak
berkurang (+) O: KU: sedang Ks:Compos Mentis
- HIV - KP
- IVFD RL 20 tpm makro - Inj.
TD: 90/60mmHg R : 20 x/m N: 80x/menit O
S: 36,6 C
Ranitidin
1
amp/12 jam - Inj
Sohobion
1
amp/24 jam drip - Inj Ondancentron 1
Kepala : konjungtiva
amp/12 jam
anemis(-/-), sklera
Oral
ikterik (-/-)
1
gr/24 jam - Inj
TV:
Cefotaxim
- Dextromethorphan
Leher : dbn
3xI cth
Thorax : Paru:simetris,
tidak ada ketinggalan gerak, tidak teraba massa, SDV (+N/+↓), suara tambahan (-/-) Jantung : dbn Abdomen: dbn Ekstremitas : oedem (-)
22/10/2013
S: Batuk (+)
- HIV
O: KU: sedang
- KP
Ks:Compos Mentis
- IVFD RL 20 tpm makro - Inj.
Cefotaxim
1
gr/24 jam
TV:
TD: 90/60mmHg R : 20 x/m N: 80x/menit
- Inj
Ranitidin
1
amp/12 jam - Inj
Sohobion
1
O
amp/24 jam drip
Kepala : konjungtiva
- Inj Ondancentron 1
S: 36,6 C
anemis(-/-), sklera
amp/12 jam
ikterik (-/-)
Oral
Leher : dbn Thorax : Paru:simetris,
tidak ada ketinggalan gerak, tidak teraba
- Rifampisin 450 mg (1x1) - Pirazinamid
500
mg (2x1)
massa, SDV (+N/+↓),
- INH 300 mg (1x1)
suara tambahan (-/-)
- Etambutol 500 mg
Jantung : dbn
(2x1)
Abdomen: dbn
Dextromethorphan
Ekstremitas : oedem (-)
3xI cth
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi
HIV adalah virus penyebab AIDS yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh tidak mampu lagi melindungi. HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus dan AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome yaitu suatu kumpulan gejala penyakit yang didapat akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV. HIV/AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasilakhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Wilson, 2005). 2.2 Epidemiologi
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil, dan pelanggannya, serta narapidana. Namun infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar odha berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika makin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual. Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai dengan akhir maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Depkes RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang.
Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV yang makin nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar odha yang merupakan pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Anggapan bahwa pengguna narkotika hanya berasal dari keluarga broken home dan kaya juga tampakanya semakin luntur. Pengaruh teman sebaya (peer group) tampaknya lebih menonjol. Pengguna narkotik suntik mempunyai risiko tinggi untuk tertular virus HIV atau bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim dilakukan oleh sebagian besar pengguna narkotika. Satu jarum suntik dipakai bersama antara 2 sampai lebih dari 15 orang pengguna narkotika. Survey sentinel yang dilakukan RSKO di Jakarta menunjukkan peningkatan kasus HIV pada pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001. Bahkan suatu survey di sebuah kelurahan di Jakarta pusat yang dilakukan oleh yayasan pelita ilmu menunjukkan pengguna narkotika 93% terinfeksi HIV. 2.3 Etiologi dan Patogenesis
HIV adalah suatu retrovirus anggota subfamili lentivirinae, Retrovirus berdiameter 70130 mm. Masa inkubasi virus ini selama sekitar 10 tahun. Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda yang banyak mengandung tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein; gp120 dan gp41. Terdapat suatu protein matriks yang disebut gp17 yang mengelilingi segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut p24. Di dalam kapsid terdapat dua untai RNA identik dan molekul performed reverse transcriptase, integrase dan protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaran. Penularan utama HIV dapat melalui beberapa cara yaitu melalui hubungan seksual, pemindahan darah atau produk darah, proses penyuntikkan dengan alat-alat yang terkontaminasi darah dari penderita HIV dan juga melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Sekali terinfeksi, maka orang tersebut akan tetap terinfeksi dan dapat menjadi infeksius bagi orang lain.
1. Penularan seksual Penularan seksual merupakan cara infeksi yang paling tuama di seluruh dunia, yang berperan lebih dari 75% dari semua kasus penularan HIV. Penularan seksual ini dapat terjadi dengan hubungan seksual genitogenital ataupun anogenital antara heteroseksual ataupun homoseksual. Risiko seorang wanita terinfeksi dari laki-laki yang seropositif lebih besar jika dibandingkan seorang laki-laki yang terinfeksi da ri wanita yang seropositif. 2. Transfusi darah dan produk darah HIV dapat ditularkan melalui pemberian whole blood, komponen sel darah, plasma dan faktor-faktor pembekuan darah. Kejadian ini semakin berkurang karena sekarang sudah dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor. Apabila tes antibodi dilakukan pada masa sebelum serokonversi maka antibodi-HIV tersebut tidak dapat terdeteksi. 3. Penyalahgunaan obat intravena Pengguna jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian semakin meningkatkan prevalensi HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju, wanita pengguna narkotika jarum suntik menjadi penularan utama pada populasi umum melalui pelacuran dan transmisi vertikal kepada anak mereka. 4. Petugas Kesehatan Petugas kesehatan sangat berisiko terpapar bahan infeksius termasuk HIV. Berdasarkan data yang didapat dari 25 penelitian rertrospektif terhadap petugas kesehatan, didapatkan ratarata risiko transmisi setelah tusukan jarum maupun paparan perkutan lainnya sebesar 0,32% atau terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498 paparan dan setelah paparan melalui mukosa sebesar 0,09%.
5. Maternofetal
Sebelum ditemukan HIV, banyak anak yang terinfeksi dari darah ataupun produk darah atau dengan penguunaan jarum suntik secara berulang. Sekarang ini, hampir semua anak yang menderita HIV/AIDS terinfeksi melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Diperkirakan hampir sepertiga anak yang lahir dari seorang ibu penderita HIV akan terifeksi HIV. Peningkatan penularan berhubungan dengan rendahnya jumlah CD4 ibu. Infeksi juga dapat secara transplansental, tetapi 95% melalui transmisi perinatal. 6. Pemberian ASI Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah 14%. Di negara maju, ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI kepada bayinya. HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul reseptor membran CD4. Sejauh ini, sasaran yang disukai adalah limfosit T helper positif, atau sel T4 (limfosit CD4+. Gp120 HIV berikatan kuat dengan limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat memperantarai fusi membran virus ke membran sel. Baru-baru ini ditemukan bahwa dua koreseptor permukaan sel, CCR5 atau CXCR4 diperlukan, agar gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4+. Koreseptor ini menybabkan perubahan konformasi sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel sasaran. Individu yang mewarisi dua salinan defektif gen reseptor CCR5 (homozigot) resisten terhadap timbulnya AIDS, walaupun berulang kali terpajan HIV (sekritar 1% orang amerika ketrunan kaukasian). Individu yang heterozigot untuk gen defektif ini tidak terlindung dari AIDS, tetapi awwitan penyakit agak melambat. Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit dan makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoar untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia, seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik, sel mikroglia dan berbagai jaringan tubuh. Setelah berfusi dengan limfosit CD4+, maka berlangsung serangkaian proses kompleks yang apabila berjalan lancar, menyebabkan terbentuknya partikel virus baru dari sel yang
terinfeksi. Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau mungkin mengalami proses replikasi sehingga menghasilkan banyak virus. HIV-1 awalnya menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung atau dibawa oleh sel dendrit. Replikasi virus pada kelenjar getah bening regional menimbulkan viremia dan penyebaran virus yang meluas pada jaringan limfoid. Viremia tersebut dikendalikan oleh respon imun pejamu, kemudian pasien memasuki fase laten klinis. Selama fase ini, replikasi virus pada sel T maupun makrofag terus berlangsung, tetapi virus tetap bertahan. Pada tempat itu berlangsung pengikisan terhadap sel CD4+ melalui infeksi sel yang produktif. Jika sel CD4+ yang tidak hancur tidak dapat tergantikan, jumlah sel CD4+ menurun dan pasien mengalami gejala klinis AIDS. Makrofag pada awalnya juga ditumpangi virus, makrofag tidak dilisiskan oleh HIV-1, dapat mengangkut virus ke berbagai jaringan, terutama ke otak.
Gambar 1. Patogenesis HIV
2.4 Gejala Klinis
Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV dan sistem imun: 1. Fase akut Fase ini ditandai dengan gejala non spesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik. Pada fase ini terdapat produksi virus dalam jumlah besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai den gan berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah terjadi, muncul respon imun spesifik terhadap virus yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun berkurangnya jumlah virus dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan. 2. Fase kronis Fase kronis menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita yang mengalami infeksi oportunistik ringan, seperti sariawan (candida) atau herpes z oster. Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah melewati periode panjang dan beragam pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat. 3. Fase kritis Tahap akhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel CD4+
menurun dibawah 500 sel/µL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para°pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/µL sebagai pengidap AIDS. Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak terapi, akan berkembang menimbulkan gejala yang berkaitan dengan HIV atau AIDS. 1. Gejala Konstitusi Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita mengalami paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa: a. Demam terus menerus lebih dari 37°C b. Kehilangan berat badan 10 % atau lebih c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di luar daerah inguinal. d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus. 2. Gejala Neurologi Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beraneka ragam seperti kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa, psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang otak). 3. Gejala Infeksi Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan tubuh penderita sudah sangat lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya: a. Pneumocystic carinii pnemonia (PCP)
PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita AIDS (80%). Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan tanpa infeksi HIV tidak menimbulkan sakit berat. Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat sampai menyerang paru-paru yang mengakibatkan pneumonia. Gejala yang ditimbulkannya adalah batuk kering, demam, dan sesak napas. Pada pemeriksaan ditemukan ronkhi kering. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya P. carinii pada bronkoskopi yang disertai biopsi transbronkial dan lavase bronkoalveolar. b. Tuberkulosis Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada penderita AIDS sering mengalami penyebaran luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten terhadap OAT yang biasa. Gambaran klinis TB pada penderita AIDS tidak khas seperti pada penderita TB umumnya. Hal ini disebabkan karena tubuh sudah tidak mampu bereaksi terhadap kuman. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil kultur. c. Toksoplasmosis Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi Toxoplasma gondii, yang sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala dapat berupa sakit kepala dan panas, sampai kejang dan koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak. d. Infeksi mukokutan Herpes simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oral merupakan penyakit paling sering ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau beberapa jenis secara bersama. Sifat kelainan mukokutan ini persisten dan respon terhadap pengobatan lambat sehingga sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaannya. 4. Gejala Tumor Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalah Sarkoma kaposi dan limfoma maligna non-Hodgkin. Secara umum, menurut Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV, terdapat beberapa gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
Gambar 2. Perjalanan penyakit HIV 2.5 Diagnosis
Karena terdapat banyak negara berkembang yang belum memiliki fasilitas pemeriksaan serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut:
Dewasa
Definisi kasus AIDS dicurigai bila paling sedikit mempunyai 2 gejala mayor dan 1 gejala minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan sistem imun lain yang diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau sebab lainnya. Gejala Mayor -
Penurunan berat badan >10% per bulan
-
Diare kronis lebih dari 1 tahun
-
Demam lebih dari 1 bulan
Gejala Minor -
Batuk selama lebih dari 1 bulan
-
Pruritus dermatitis menyeluruh
-
Infeksi umum yang rekuren, misalnya herpes zoster
-
Kandidiasis orofaringeal
-
Infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas
-
Limfadenopati generalisata Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis
dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain penderita. 1. ELISA ( Enzyme linked immunosorbent assay) ELISA digunakan untuk menemukan antibodi. Kelebihan teknik ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1%-100%. Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen rekombinan yang sangat spesifik terhadap envelope dan core 2. Western Blot Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41. Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6%-100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal mmebutuhkan waktu sekitar 24 jam. 3. PCR ( Polymerase Chain Reaction) Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitifitas ELISA rendah untuk HIV-2.
Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan immunophenotyping yaitu dengan flowcytometri dan cell sorter. Prinsip flowcytometri dan cell sorting ( fluorescence activetd cell sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifikasi karakteristik setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi menurut
karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populsi campuran.
Gambar 3. Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa
Gambar 4. Interpretasi dan tindak lanjut hasil pemeriksaan lab
WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium klinis, yaitu: a. Stadium I Bersifat asimptomatik, aktifitas normal dan dijumpai adanya limfadenopati generalisata b. Stadium II Simptomatik, aktifitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus yang berulang, keilitis angularis, herpes zoster, serta adanya infeksi saluran napas ba gian atas. c. Stadium III Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktifitas di tempat tidur <50%, berat badan menuru >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demeam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial yang berat. d. Stadium IV Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktifitas di tempat tidur >50%, terjadi HIV wasting
syndrome,
semakin
bertambahnya
infeksi
oportunistik
seperti
pneumonia,
toksoplasmosis, diare kronis, dll. 2.6 Penatalaksanaan
Secara umum, pentalaksanaan ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu: 1. Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti retroviral (ARV) 2. Pengobatan untuk mengatasi berbagi penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, sarkoma kaposi, limfoma, dan kanker serviks. 3. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.
Menurut WHO, waktu diberikannya ARV dibagi dalam dua kategori, apakah ada perhitungan CD4 atau tidak. Penghitungan TLC dapat digunakan sebagai pengganti hitung CD4, meskipun hal ini dianggap kurang bermakna pada pasien asimptomatis. Ada perhitungan CD4 -
Stadium IV menurut kriteria WHO tanpa memandang hitung CD4
-
Stadium III menurut kriteria WHO dengan CD4 <350 sel/mm³
-
Stadium I-II menurut kriteria WHO dengan CD4 ≤ 200 sel/mm³
Tidak ada perhitungan CD4 -
Stadium IV menurut WHO tanpa memandang TLC
-
Stadium III menurut WHO tanpa memandang TLC
-
Stadium II dengan TLC ≤ 1200 sel/mm³ Akan tetapi, menurut Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana HIV/AIDS di Indonesia, jika
tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis. Sedangkan jika tersedia pemeriksaan CD4, terapi ARV dimulai pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm³ tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi ARV juga dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4. Berikut jenis ARV:
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Panduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama ARV adalah 2NRTI + 1 NNRTI. Mulailah terapi ARV dengan salah satu dari paduan dibawah ini:
Adapun penggunaan ARV bagi pasien yang koinfeksi dengan TB seperti pada kasus ini adalah:
Untuk pemantauan selama pengobatan dengan ARV, dilakukan prosedur berikut:
BAB III PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini, telah tampak riwayat dan hasil pemeriksaan yang mengarah ke diagnosis HIV. Riwayat pasien yang merupakan pengguna narkoba dengan jarum suntik secara bersama-sama dapat diduga sebagai cara penularan virus HIV ke tubuh pasien. Meskipun riwayat menggunakan narkoba jarum suntik terjadi 5 tahun sebelum gejala klinis timbul, akan tetapi sesuai dengan perjalanan penyakit HIV, terdapat fase laten dimana keadaan masih asimptomatis sehingga gejala klinis baru timbul setelah beberapa tahun. Gejala klinis pada pasien ini, sesuai dengan proses perjalanan penyakit HIV. Di mana di tahun 2010, yang diduga merupakan awal fase simptomatis, pasien mengeluh terdapat pembengkakan kelenjar getah bening, dan didiagnosis TB paru. Walaupun telah melakukan pengobatan selama 6 bulan, namun TB paru pada pasien tidak benar-benar sembuh. Gejala lain seperti pruritus atipik yaitu gatal-gatal di seluruh tubuh juga dirasakan pasien. Hingga akhirnya dalam kurun waktu 2 tahun terakhir keluhan lain berupa kandidiasis oral dan diare kronik juga dialami pasien. Jika disesuaikan dengan gejala, maka pasien ini telah memasuki fase kronis penyakit, yang mana sebentar lagi akan memasuki fase kritis. Karena pasien merupakan pasien HIV yang koinfeksi dengan TB, maka penatalaksanaan pasien ini disesuaikan dengan panduan diagnosis dan penatalaksanaan pada pasien HIV dengan TB yaitu dengan menggunakan regimen Tenofovir, Lamivudine, dan Efavirenz. Selain itu, pada pasien ini juga tetap diberikan pengobatan TB. Dimana di dalam kasus ini tetap diberikan INH, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol.