BAB II Masalah Sosial Dalam Berbagai Perspektif 1. Pengantar
Pada dasarnya sasaran kajian ilmu sosial adalah fenomena kehidupan bermasyarakat. Walaupun demikian dalam perkembangannya, dari objek studi s tudi yanng sama tersebut orang dapat memberikan fokus perhatian yang berbeda dan mempunyai sudut pandang yang berbeda pula. Hal yang sama juga berlaku dalam rangka orang akan memahami dan menjelaskan salah satu fenomena yang disebut sebagai masalah sosial. Rumusan tentang apa yang disebut masalah sosial, penjelasan tentang bagaimana masalah sosial terjadi, faktor – faktor apa yang terkait dan bagaimana rekomendasi pemecahan masalahanya dapat berbeda di antara orang yang menggunakan sudut pandang yang berbeda. Oleh sebab itu, tidak dapat diingkari apabila dalam studi masalah sosial kemudian dapat dijumpai adanya beberapa perspektif yang masing – masing masing berusaha menjelaskan masalah sosial dari sudut pandangnya. 2. Perspektif Berdasarkan Teori Fungsional Struktural a. Tinjauan Singkat Tentang Teori Fungsional Struktural
Beberapa sumber akan digunakan untuk menjelaskan pokok – pokok pokok pikiran teori fungsional struktural ini, diantaranya adalah Ritzer (1980), Poloma (1987) dan Turner (1986). Teori – teori yang dihasilkan dari belakang meja harus diuji dengan data konkret berdasarkan penelitian empirik. Atas dasar pemikiran tersebut, maka pokok persoalan sosiologi haruslah merupakan fakta sosial. Untuk membedakan dengan telaah psikologi, fakta sosial ini harus juga dibedakan dengan fakta psikologi dianggap sebagai fenomena yang dibawa oleh manusia sejak lahir, dengan demikian bukan merupakan hasil pergaulan hidup masyarakat. Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri dari atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut teori fungsional struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian – bagian atau elemen – elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur ini tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Sesuai dengan filosofinya yang menekankan pada harmoni dan keberaturan, dalam pandangan teori ini setiap bagian dari sistem
sosial saling komplementer dan terintegrasi. Disamping itu, nilai sosial juga dianggap sebagai instrumen sistem sosial untuk menjaga keberaturan. Nilai sosial itu sendiri muncul sebagai hasil dari konsensus, oleh sebab itu dalam masyarakat yang berbeda dapat memiliki nilai sosial yang berbeda pula. Dalam praktik kehidupan bermasyarakat nilai sosial tersebut akan menjadi pedoman perilaku dan pedoman dalam menunaikan peranan sosial setiap unsur dari sistem. Dengan demikian, pada sisi yang lain nilai sosial akan berperan sebagai instrumen kontrol sosial terhadap perilaku warga masyarakatnya. b. Perspektif Patologi Sosial
pembahasan Spencer tentang masyarakat mas yarakat sebagai suatu organisme hidup dapat diringkas dalam butir berikut ini (Poloma, 1987 : 24) : 1. Masyarakat maupun organisme hidup sama – sama – sama sama mengalami pertumbuhan. 2. Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial ( social social body) body) maupun tubu organisme hidup (living ( living body) body) itu mengalami pertumbuhan pula. Semakin besar struktur sosial maka semakin banyak pula bagian – bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar. 3. Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. Mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dan mempunyai fungsi yang berbeda pula. 4. Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan menyebabkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya juga perubahan di dalam sistem secara keseluruhan. 5. Bagian – Bagian – bagian bagian tersebut walaupun saling berkaitan merupakan struktur mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Bagaimanapun juga analogi human societydengan societydengan human body body atau sistem sosial dengan sistem organisme biologis ini juga akan terbawa dalam rangka menjelaskan berbagai gejala dan fenomena sosial termasuk didalamnya untuk menjelaskan masalah sosial. Berdasarkan analogi ini, masalah sosial terjadi apabila individu atau institusi sosial tidak berhasil mengatur dan menyesuaikan dengan kecepatan perubahan yang terjadi dan oleh karena itu akan mengganggu atau menghancurkan bekerjanya organisme sosial. Pada periode awal perkembangan perspektif ini, social pathologist cenderung
membuat diagnosis bahwa individu merupakan sumber masalah dalam masyarakat. Masalah sosial timbul karena individu gagal dalam proses sosialisasi atau individu karena adanya beberapa cacat yang dimilikinya, dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai – nilai sosial dan nilai – nilai kepercayaan yang ada dalam masyarakat. Usaha penyembuhan dengan cara yang lebih maju adalah dengan proses resosialisasi, resosial isasi, dalam pengertian suatu proses untuk mendorong individu yang menjadi penyandang masalah sosial tersebut agar siap dan mampu untuk berperilaku dan berperan sesuai aturan dan nilai – nilai sosial secara lebih baik. Dengan kata lain, penyembuhan dilakukan dengan memfokuskan pada perubahan aspek moral dan kondisi individu, melalui proses p roses pendidikan. Cara penyembuhan seperti ini jelas menggunakan asumsi bahwa sistem dengan aturan – aturannya dianggap yang paling benar, apabila ada masalah bukan karena
kesalahan
sistem
tetapi
kesalahan
individu
dalam
mengimplementasikannya. Pada dasarnya individu yang patologis adalah seseorang yang tidak dapat mengikuti aturan atau menerima cara – cara cara yang biasa dilakukan dalam kelompok. Padahal, seseorang dikatakan tidak dapat berbuat sesuai yang diharapkan tersebut bersifat relatif r elatif tergantung ter gantung pada waktu w aktu dan tempat. Dengan demikian sebenarnya setiap orang potensial untuk menjadi patologis dalam dimensi waktu dan tempat yang berbeda. Di samping beberapa sudut pandang yang telah diuraikan tersebut, sementara social sementara social pathologist juga juga ada yang mendiagnosis masalah sosial dari kegagalan masyarakat dalam menyesuaikan dengan berbagai tuntutan yang selalu berkembang, serta kegagalan dalam melakukan penyesuaian antar bagian dari masyarakat. Dilihat dari kaca mata ini, maka masyarakat yang sehat adalah yang mampu mewujudkan social adjusment , sedangkan masyarakat dikatakan sakit apabila terjadi kondisi sebaliknya yaitu kondisi social maladjusment . Hal yang kurang lebih senada juga dikemukakan oleh Gillin (1954 : 74), dikatakannya, bahwa patologi sosial berarti maladjusment yang serius diantara unsur – unsur – unsur unsur dalam keseluruhan konfigurasi kebudayaan sedemikian rupa, sehingga membahayakan kelangsungan hidup suatu kelompok sosial atau yang secara serius menghambat pemuasan kebutuhan – kebutuhan asasi
anggota – anggota – anggota anggota kelompok itu yang mengakibatkan hancurnya ikatan sosial mereka. Maladjusment dapat dilihat pada level individu maupun level kelompok atau masyarakat. Terjadi pada level individu, apabila individu sebagai anggota masyarakat gagal dalam menyesuaikan dirinya dengan situasi dan tuntutan perkembangan lingkungannya. Kondisi patologi terjadi pada level kelompok atau masyarakat apabila tidak ada penyesuaian antar unsur dalam sistem sosial. Walaupun demikian, dalam kehidupan bermasyarakat dapat terjad hubungan saling memengaruhi antara maladjusment pada level individu dengan maladjusment pada level kelompok atau masyarakat. Banyaknya individu anggota anggota kelompok yang yang mengalami maladjusment dapat dapat mendorong terjadinya kehidupan masyarakat yang kurang sehat. Sebaliknya, iklim kehidupan masyarakat yang cenderung mencerminkan kondisi social maladjusment
sangat potensial menumbuhkan kondisi serupa pada para
anggota masyarakat. Dilihat dari pandangan ini, treatment tidak lain adalah usaha untuk menciptakan kembali kondisi yang adjusment baik pada kehidupan individu maupun kelompok dan masyarakat. c.
Perspektif Disorganisasi Sosial
Dasar pemikiran perspektif ini sebetulnya tidak banyak berbeda dengan perspektif patologi sosial, karena juga menggunakan analogi masyarakat atau sistem sosial sebagai human organisme. organisme . Perbedaannya, perspektif ini tidak melihat organism tersebut dalam kondisi, sehat atau sakit, melainkan lebih melihatnya, sebagai struktur dan fungsi yang organized dan disorganized atau disorganized atau integrated dan disintegrated dan disintegrated . Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa konsep sentral dari dari social disorganization adalah social rutes. rutes. Dalam kehidupan bermasyarakat, social rules di satu pihak berfungsi dalam mewujudkan koordinasi diantara bagian – bagian – bagian bagian yang berbeda dalam sistem sosial dan di lain pihak berfungsi mengatur perilaku warga masyarakat. Kondisi kurang atau tidak berfungsinya social rules rules mengakibatkan berkurangnya kekuatan mengikat baik bagi koordinasi antarbagian maupun dalam melakukan kontrol terhadap perilaku individu. Kenyataan inilah yang mendorong terjadinya disorganisasi sosial. Dari berbagai pandangan tersebut dapat juga dikatakan, bahwa kondisi yang disebut social disorganization disorganization merupakan kebalikan dari social
organization. organization. Bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa untuk memahami konsep social konsep social disorganization perlu disorganization perlu pula memahami konsep social konsep social disorganization. disorganization. Social organization organization ditandai oleh adanya hubungan yang harmonis di antara elemen yang berbeda dalam suatu sistem sosial (Elliot and Merril, 1961 : 4). Hal yang sebaliknya dapat digunakan untuk mendefinisikan social disorganization, disorganization, yaitu apabila proses interaksi sosial dan fungsi yang efektif dari kelompok terpecah atau dapat juga dikatakan proses terpecahnya hubungan antarkelompok dalam suatu masyarakat. Konsep social organization organization dan disorganization disorganization merupakan konsep yang relatif, oleh karena tidak ada masyarakat yang organized atau disorganized sepenuhnya. Dalam kehidupan masyarakat selalu terkandung kedua unsur kondisi tersebut dalam proporsi yang berbeda – beda. Sebagai konsep yang relatif, maka dapat dikatakan bahwa ada perbandingan terbalik antara social organization organization dan social diorganization. diorganization. Semakin tinggi kadar social disorganization, disorganization, berarti semakin rendah kadar social organization dalam suatu masyarakat; demikian pula sebaliknya. Beberapa fakta yang dapat menjelaskan kenyataan tersebut di antaranya : petani yang tinggal di atas tanahnya sendiri tetapi merasa terancam bahwa sewaktu – waktu akan tergusur, bahwa petani yang baru saja kehilangan tanahnya tidak segera menemukan pekerjaan baru di kota, norma tradisional terancam oleh harapan – harapan harapan baru dari kehidupan industri dan masih banyak fenomena yang lain. Dari berbagai gejala dan masalah yang timbul seperti sudah digambarkan tadi, maka kondisi disorganisasi sosial dapat dibedakan menjadi dua yaitu disorganisasi schismatik dan disorganisasi sosial fungsional (Vembriarto, 1973 : 27). Disorganisasi sosial schismatik terjadi apabila hubungan di antara atau di dalam kelompok sosial terpecah yang mengakibatkan terjadinya konflik sosial. Disorganisasi sosial fungsional terjadi apabila individu, kelompok atau sistem – sistem dalam masyarakat tidak berfungsi secara wajar. Maka kondisi disorganisasi sosial dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu normlessness, normlessness, culture conflict dan breakdown. breakdown. Normlessness Normlessness adalah situasi dimana tidak ada norma yang jelas sebagai acuan bertindak. Culture conflict adalah suatu kondisi dimana ada beberapa aturan yang digunakan sebagai acuan bertindak, akan tetapi satu
dengan yang lain saling kontradiktif. Breakdown Breakdown adalah kondisi dimana pelanggaran aturan dianggap sebagai hal yang biasa. Lebih lanjut, langkah yang cukup penting dalam studi masalah sosial menurut perspektif disorganisasi sosial ini adalah pengukuran (measurement ( measurement ). ). Pengukuran dimaksudkan untuk melakukan identifikasi adanya gejala disorganisasi sosial termasuk melihat kadar masalahnya. Salah satu cara pengukuran adalah dengan menggunakan nilai sosial s osial ( social ( social value), value ), atas dasar pertimbangan bahwa disorganisasi sosial tidak jarang menampakkan diri dalam bentuk konflik nilai. Usaha melakukan pengukuran dengan cara ini tetap dilanjutkan. Pengukuran dengan cara ini menggunakan langkah – langkah langkah sebagai berikut : 1. Menginvertisasi sejumlah nilai – nilai yang berlaku dalam masyarakat serta melihat hubungan satu dengan yang lain. 2. Mengklasifikasikan nilai – nilai tersebut berdasarkan arti pentingnya dalam kehidupan masyarakat. Arti penting di sini di lihat dari kebermaknaan nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat. 3. Apabila ditemukan sejumlah besar anggota masyarakat menggunakan nilai – nilai yang berbeda untuk aktivitas – aktivitas yang cukup bermakna, maka disorganisasi sosial yang terjadi. Cara pengukuran lain adalah dengan indeks. Indeks adalah cara pengukuran tidak langsung, yang digunakan apabila cara pengukuran langsung untuk suatu karakteristik tertentu belum ditemukan atau biaya pengukuran langsung cukup mahal. Pada satu sisi kelompok berkompetisi karena kepentingan ekonomi, pada sisi lain kelompok terpecah dalam konflik nilai tradisional – modern. Hubungannya dengan perubahan sosial yang lebih jelas lagi, mengingat dalam perkembangan terakhir perspektif disorganisasi sosial dilihat dalam konteks perubahan. Bahkan tidak sedikit penganut perspektif ini yang menyatakan bahwa perspektif disorganisasi sosial merupakan instrumen teoretik yang sangat membantu untuk memahami gejala masalah sosial sebagai akibat proses perubahan sosial yang pesat. Krisis adalah interupsi yang serius di dalam kegiatan – kegiatan – kegiatan kegiatan yang menjadi adat kebiasaan (customary (customary activities) activities) dari suatu kelompok. Shanon (1991), lebih melihat masalah disorganisasi sosial sebagai akibat perubahan
sosial yang pesat dalam masyarakat urban, terutama terkait dengan proses industrialisasi dan urbanisasi. Proses industrialiasasi dan urbanisasi tersebut membawa dampak pada perubahan yang pesat dalam banyak dimensi terutama organisasi sosial, kebudayaan dan relasi sosial. Dalam kenyataannya masyarakat tidak selalu berhasil untuk melakukan penyesuaian terhadap proses perubahan yang pesat dalam berbagai dimensi tersebut. Bentuk perubahan dalam organisasi sosial dapat meliputi perubahan dalam skala unit sosial, kompleksitas masyarakat, birokratisasi dan melemahnya ikatan kekerabatan. Sementara itu, perubahan kebudayaan yang terjadi dapat berupa sekularisasi, rasionalitas, heterogenitas dan kehidupan. Sehubungan dengan pemikiran tersebut, penanganan masalah dapat berupa reestablishment of consensus consensus melalui kompromi atau dengan jalan suatu kelompok dengan kekuatan ( power ( power ) yang dimiliki mempercepat tammpilnya keseimbangan baru yang diharapkan (Parrilo, 1987: 29). d.
Perspektif Perilaku Menyimpang
Dengan demikian pranata sosial ini merupakan sesuatu faktor yang ikut menegakkan keberaturan dan keseimbangan dalam sistem sosial, yang berarti juga menegakkan eksistensi dari sistem itu sendiri. Semua kelompok sosial membentuk aturan – aturan dan usaha menegakkannya, bahkan dalam situasi tertentu. Aturan – aturan sosial membatasi sikap tindakan manusia sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga ada aturan yang melarang, memerintahkan dan membolehkan (Soekanto, 1988: 1). Proses sosialisasi tidak lain adalah proses belajar untuk mempelajari pranata sosial termasuk di dalamnya nilai dan norma sosial atau aturan – aturan sosial. Adopsi terhadap nilai dan norma sosial tersebut dapat terjadi melalui proses transfer dari satu pihak ke pihak yang lain termasuk dari generasi ke generasi, serta dapat juga karena adanya unsur sanksi baik formal maupun informal dari sementara aturan sosial tertentu yang dapat memaksa anggota masyarakat untuk mematuhinya. Perilaku menyimpang dianggap menjadi sumber masalah sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Oleh karena jalur yang harus dilalui tersebut adalah jalur pranata
sosial maka wajar apabila pranata sosial merupakan tolak ukur yang digunakan untuk melihat suatu perilaku menyimpang atau tidak. Dalam
studi
tentang
perilaku
menyimpang
ini
dapat
pula
diidentifikasikan adanya dua tipe penyimpangan yaitu penyimpangan murni dan penyimpangan tersembunyi atau penyimpangan terselubung (Soekanto, 1988: 19). Penyimpangan murni adalah perilaku yang tidak menaati aturan dan juga dianggap demikian oleh pihak lain. Kedua syarat tersebut diperlukan karena dapat saja terjadi, pihak – pihak – pihak pihak tertentu menganggap bahwa seseorang melakukan suatu sikap tindak tercela, walaupun sebetulnya dia tidak berbuat demikian. Hal ini dalam dunia pengadilan dapat disebut sebagai tuduhan palsu yang oleh kalangan kriminal di Amerika disebut “bum “ bum up”. up”. Menurut cara ini yang dianggap menyimpang adalah setiap hal yang terlalu jauh dengan keadaan normal atau rata – rata. Tingkat penyimpangan dapat dilihat dari seberapa jauh suatu keadaan berbeda dengan keadaan normal atau rata – rata tersebut. Yang kedua, dengan jalan melakukan diskriminasi antara ciri – ciri masyarakat yang mendorong stabilitas (jadi bersifat fungsional) dengan faktor – faktor yang menggangu stabilitas (bersifat disfungsional). Yang ketiga, melalui pandangan yang bersifat relatif. Berdasarkan tolak ukur itu akan dapat ditentukan apakah seorang anggota kelompok melanggar aturan sehingga dianggap sebagai menyimpang. Dengan demikian ukurannya relatif berdasarkan aturan kelompok yang bersangkutan. Secara sederhana pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan pertanyaan, bahwa orang yang dianggap normal biasanya dapat menahan diri apabila timbul dorongan – dorongan untuk menyimpang, oleh karena yang bersangkutan memikirkan akibat – akibat – akibatnya akibatnya apabila melanggar. Merton menjelaskan proses terjadinya perilaku menyimpang dengan menggunakan teori anomie, sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Durkheim. Pada seseorang dapat tersosialisasikan suatu bentuk impian besar ( great great dream) dream) tentang peluang dan sukses. Apakah seseorang perilakunya dalam posisi conformity conformity atau deviation deviation tergantung proporsi lingkungan sosialisasinya. Melihat bahwa pokok permasalahannya bersumber dari pemahaman warga masyarakat tentang nilai dan norma sosial yang diperoleh seseorang melalui proses sosialisasi, maka treatment menurut perspektif ini adalah
melalui proses resosialisasi devian. Resosialisasi dapat berupa peningkatan kontak dengan lingkungan sosial yang cenderung bersifat conformity terhadap conformity terhadap nilai dan norma sosial. 3. Perspektif Berdasarkan Teori Konflik a. Tinjauan Singkat Tentang Teori Konflik
Beberapa kontras antara kedua teori tersebut dapat diuraikan dalam beberapa hal (Ritzer, 1980: 52) : 1. Menurut teori fungsional struktural, masyarakat berada dalam kondisi statis atau lebih tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan; sedang menurut teori konflik justru sebaliknya, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsur – unsurnya. unsurnya. 2. Dalam teori fungsional struktural setiap elemen atau setiap institusi dianggap memberikan dukungan terhadap stabilitas, sedangkan teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. 3. Teori fungsional struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma – norma – norma, norma, nilai – nilai – nilai nilai dan moralitas umum, sedangkan teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Dengan demikian, nilai bukan hasil konsensus melainkan instrumen i nstrumen kelompok super ordinasi untuk memaksakan kepentingannya kepada kelompok sub ordinasi. Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi, yang keduanya merupakan fakta sosial. Distribusi wewenang dan kekuasaan secara tidak merata menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematik. Perbedaan wewenang merupakan suatu tanda adanya berbagai posisi dalam berbagai masyarakat. Kekuasaan dan wewenang menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. st ruktur. Oleh karena wewenang itu sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian, sebetulnya masyarakat merupakan persekutuan yang terkoordinasi secara paksa. Lebih lanjut dikatakan, bahwa dalam masyarakat selalu terdapat golongan yang saling bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang dikuasai. Masing – masing masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara substansial.
Adanya dua tipe kelompok ini sebenarnya juga berkaitan dengan dua sifat kepentingan yang disebut kepentingan laten dan kepentingan manifes (Poloma, 1987: 136). Kepentingan laten adalah kepentingan yang sebetulnya melekat pada diri seseorang karena menduduki posisi tertentu, akan tetapi masih belum disadari. Demikian kepentingan laten tersebut tampil ke permukaan dan mulai disadari adanya, maka akan berubah menjadi kepentingan manifes. Dalam beberapa kasus, sering terjadi kelompok semua berubah menjadi kelompok kepentingan setelah kepentingan laten berubah menjadi kepentingan manifes (mulai disadari). Dalam berbagai pembahasan berdasarkan perspektif teori konflik, konsep – konsep kepentingan laten / kepentingan manifes, kelompok semu, kelompok kepentingan, posisi dan wewenang merupakan unsur – unsur unsur dasar yang dapat menjelaskan bentuk – bentuk konflik yang terjadi. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat khususnya golongan yang dikuasai, melakukan tindakan – tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Apabila konflik tersebut terjadi secara hebat, maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Demikian pula apabila konflik disertai penggunaan kekerasan, maka perubahan struktural akan semakin cepat. Dalam hubungan ini dikatakan adanya empat fungsi dari konflik : 1. Sebagai alat untuk memelihara solidaritas 2. Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain 3. Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi 4. Mempunyai fungsi komunikasi
b. Perspektif Konflik Nilai
Perspektif ini memberikan kritik terhadap perspektif yang sudah ada khususnya perspektif patologi sosial dan perspektif perilaku menyimpang. Hal ini disebabkan karena menurut perspektif konflik nilai, konsep sicknessatau sicknessatau social expectation expectation merupakan konsep yang subjektif, sehingga sulit untuk dijadikan referensi dalam memahami masalah sosial. Masalah sosial mungkin tidak terjadi apabila pihak yang kuat bersedia berkorban bagi yang lemah (terjadi kompromi). Sebaliknya, masalah sosial akan timbul apabila yang kuat justru menggunakan kekuatannya untuk membela kepentingannya. Situasi konflik tersebut dapat berkembang menjadi
tiga kemungkinan yaitu konsensus, trading dan dan power. Konsensus Konsensus terjadi apabila tuan tanah dan petani penyewa sepakat bahwa kenaikan sewa tanah dalam jumlah yang tidak terlalu besar masih dapat dipahami bersama. Trading , apabila tuan tanah bersedia menekan kenaikan sewa tanah dengan kompensasi tertentu. Power , apabila tuan tanah mengusir petani penyewa yang tidak memenuhi tuntutan kenaikan sewa. Masalah konflik atau paling tidak terhambatnya proses integrasi antara transmigran dengan penduduk asli seringkali juga didasari oleh perbedaan atau pertentangan nilai. Jangankan perbadaan atau pertentangan nilai inti sedangkan perbedaan nilai yang menyangkut unsur budaya fisik juga dapat menyulut terjadinya konflik konflik yang bersifat destruktif atau fungsional fungsional negatif terhadap integrasi sosial. Sehubungan dengan pembahasan tentang masalah ini dikenal dengan tiga terminologi yaitu minoritas rasial, minoritas etnik dan asimilasi. Minoritas rasial terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai karakteristik yang merupakan pembawaan biologis seperti warna kulit. Minoritas etnik terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai penampilan budaya yang berbeda dengan yang digunakan oleh sebagian besar anggota masyarakat. Aspek kultural yang dapat membentuk minoritas tipe ini adalah bahasa, agama, asal kebangsaan, kesamaan sejarah dan sebagainya. seb againya. Apabila anggota – anggota – anggota anggota dari kelompok minoritas baik dari latar belakang ras maupun etnik, menggunakan atau mengadopsi karakteristik dari budaya yang merupakan arus utama dalam lingkungan masyarakat yang luas, melalui adaptasi pola kultural mereka yang “unik” ke dalam pola kultur kelompok mayoritas atau melalui perkawinan silang maka terjadilah proses asimilasi. Potensi ke arah konflik akan menjadi semakin bertambah besar apabilak kelompok minoritas cenderung bersifat eksklusif sebagaimana disebutkan sebagai lima karakteristik kelompok minoritas berikut ini (Wagley and Harris, dalam Julian: 1986: 234) : 1. Minoritas adalah subordinasi dari masyarakat yang kompleks 2. Minoritas cenderung mempunyai ciri fisik atau penampilan budaya khusus yang tidak disukai oleh kelompok dominan dalam masyarakat 3. Minoritas cenderung mengembangkan kesadaran berkelompok dan rasa kebersamaan di antara mereka
4. Anggota – anggota kelompok minoritas diwarisi aturan dan nilai turun menurun dari kelompok mereka, untuk mempertahankan karakteristik kelompok pada generasi berikutnya 5. Anggota kelompok minoritas cenderung melakukan endogami atau perkawinan di antara sesama anggota kelompok sendiri Ada beberapa usaha yang dapat djalankan untuk melakukan antisipasi terhadap masalah tersebut. Di antaranya adalah : 1. Katup penyelamat (Savety (Savety value) value) ialah suatu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial 2. Simbiose mutualistik, dalam arti mengusahakan suasana atau iklim sedemikian rupa, sehingga di antara kelompok – kelompok kelompok yang potensial terlibat konflik merasa dapat saling mengambil keuntungan dari kehadiran masing – masing – masing masing 3. Nilai koordinatif, dalam pengertian ada suatu nilai inti yang mampu mengordinasikan setiap nilai yang ada dalam masyarakat 4. Mendorong terbentuknya asosiasi kelompok baru yang tidak bersifat eksklusif tetapi inklusif dengan anggota yang bersifat terbuka dari berbagai kelompok dengan latar belakang yang berbeda. Asosiasi dari kelompok ini diyakini mempunyai potensi yang bersifat cross cutting afiliation 5. Transformasi struktural, dalam pengertian ditransformasikan suatu struktur sosial baru yang diperhitungkan dapat menghilangkan perbedaan posisi yang mengakibatkan konflik nilai dan konflik kepentingan Dalam pemahaman ini, masalah sosial berkembang dalam tiga tahap : awareness, awareness, policy determination dan determination dan reform (Weinberg, reform (Weinberg, 1981: 88). Dalam tahap awareness, awareness, kelompok tertentu berhasil mengundang perhatian khalayak bahwa ada situasi yang tidak kondusif dan membutuhkan tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Apabila tahap awareness sudah dilewati, proses berikutnya adalah mendorong munculnya tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan terhadap situasi yang dinyatakan sebagai masalah sosial tersebut.
c.
Perspektif Institusional
Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dari dua alasan : 1.) Masyarakatlah yang menimbulkan suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya kerugian fisik dan mental dalam berbagai bagian kehidupan sosial 2.) tindakan dan kondisi yang melanggar norma dan nilai terjadi dalam lingkungan masyarakat. Cacat individual tersebut dapat berupa cacat pembawaan, secara fisik maupun mental, dapat pula berupa cacat kultural. kultural. System blame approach merupakan pendekatan untuk mencari latar belakang maupun faktor penyebab masalah sosial dari segi “cacat” yang ada pada sistem, pada struktur dan institusi sosial. Perspektif institusional cenderung melakukan studi masalah sosial dari pendekatan yang kedua yaitu system blame approach. approach. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para pengikut perspektif ini, sehingga cenderung melacak latar belakang masalah sosial dari cacat sisitem (Eitzen, 1986: 17). Pertama, didorong adanya suatu kenyataan bahwa warga masyarakat pada umumnya, instansi kepolisisan, pangadilan dan bahkan banyak ahli ilmu sosial cenderung membuat interpretasi tentang masalah sosial dari sudut perspektif individual. Dengan demikian, dibutuhkan suatu imbangan karena menurut realitanya masalah sosial juga dapat bersumber dari sistem. Kedua, didasarkan pada pertimbangan, bahwa pokok persoalan ilmu sosial bukan terletak pada aspek individu melainkan masyarakat. Ketiga, tidak dapat diingkari bahwa kerangka institusional dari suatu masyarakat adalah sumber masalah sosial (masalah rasial, polusi, distribusi pelayanan kesehatan yang tidak merata, kemiskinan, peperangan dan sebagainya). Studi masalah sosial menurut perspektif institusional ini akan berusaha untuk menjawab berbagai pertanyaan sebagai berikut ini. Dengan demikian, pertanyaan – pertanyaan tersebut akan menuntun proses berfikir dalam studi yang dilakukan. -
Bagaimana latar belakangnya sehingga situasi konflik dalam suatu masyarakat dengan institusi dan struktur sosial tertentu dapat terjadi, sehingga kemudian menimbulkan masalah sosial
-
Bagaimana situasi konflik tersebut mengubah pola hubungan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan
-
Bagaimana menumbuhkan institusi sosial baru yang dianggap lebih berkeadilan dan tidak diskriminatif sebagai upaya pemecahan masalah
4. Perspektif Perspektif Berdasarkan Berdasarkan Teori Interaksionisme Interaksionisme Simbolik a. Tinjauan Singkat Tentang Teori Interaksionisme Simbolik
Tindakan sosial dapat berasal dari tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan bagi tindakan orang lain. Karena paradigma ini melihat tingkah laku manusia sebagai senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuasaan dan kekuatan (reinforcement (reinforcement ). ). Demikian pula halnya, teori interaksionisme simbolik yang dibangun dari paradigma definisi sosial memandang manusia sebagai aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan objek – objek – objek objek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blumer sebagai self indication (Poloma, indication (Poloma, 1987: 264). Self indication adalah indication adalah proses komunikasi yang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, menil ainya, memberinya makna dan memikirkan untuk bertindak berdasarkan makna itu. Bagi Blumer interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis : 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna – makna makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka 2. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain 3. Makna – makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung Dari kenyataan itu dapat pula dipahami perbedaan perspektif teori ini dengan behaviorisme. behaviorisme. Fakta sosial sebagai aspek yang memang penting dalam kehidupan masyarakat ditempatkan didalam kerangka simbol – simbol interaksi manusia. Dalam hal ini organisasi masyarakat (fakta sosial) merupakan kerangka di dalam mana tindakan sosial mengambil tempat, bukan merupakan faktor penentu tindakan sosial. Untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap teori ini barangkali ada gunanya dikemukakan sejumlah ide dasar yang terkandung di dalamnya (Poloma, 1987: 267). 1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial
2. Interaksi terdiri dari dar i berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi simbolik mencakup penafsiran tindakan 3. Objek – objek tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi simbolik. Objek – objek objek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori : objek fisik, objek sosial dan objek abstrak 4. Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai objek 5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia sendiri 6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota – anggota anggota kelompok. Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai organisasi sosial dari perilaku tindakan – tindakan – tindakan tindakan berbagai manusia b. Perspektif Labeling
Permasalahan pokok menurut perspektif ini bukan bagaimana mereka berbuat atau melakukan tindakan, akan tetapi bagaimana masyarakat bereaksi terhadap tindakan tertentu. Reaksi masyarakat dianggap merupakan hasil interprestasi masyarakat terhadap tindakan atau situasi yang bersangkutan. Dari berbagai pemikiran tersebut Parrilo (1987: 30) mengemukakan dua bidang kajian pendekatan ini yaitu : 1. Perspektif labeling menggambarkan bagaimana seseorang dinamakan atau diberi label sakit mental atau bagaimana seorang remaja dikatakan delinquent dan seterusnya 2. Definisi masalah sosial merupakan hasil negosiasi dari suatu proses sampai dengan masyarakat menganggap bahwa telah terjadi masalah sosial Dalam kondisi yang disebut sebagai deviant sub – culture culture tersebut, suatu tindakan yang berdasar interprestasi masyarakat luas dianggap sebagai suatu penyimpangan, akan tetapi oleh masyarakat dalm lingkungan tertentu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, bahkan fungsional terhadap kehidupan sosialnya. Pemecahan masalah sosial menurut perspektif ini adalah melalui redefinisi dari tindakan dan situasi yang dianggap sebagai masalah sosial tersebut. Perspektif ini pun tidak terlepas dari beberapa kelemahan dan kritik. Ada beberapa kritik yang ditujukan kepada perspektif ini (Eitzen, 1986: 409) :
1. Perspektif ini terlalu te rlalu berkonsentrasi kepada reaksi masyarakat sebagai s ebagai perwujudan dari interprestasi masyarakat terhadap terhada p situasi dari tinakan tertentu 2. Label yang diberikan kepada suatu s uatu tindakan dapat tidak proporsional. Hal ini disebabkan karena masyarakat dapat terbentuk dari berbagai kelompok dengan penguasaan power yang berbeda 3. Perspektif labeling tidak menjelaskan bagaimana karier devian terbentuk, bertahan dan dilestarikan. Berkaitan dengan hal ini ada sejumlah masalah dari segi konsep utama : a.) Konsep ini tidak menjelaskan atau sengaja menghindar untuk menjelaskan atau sengaja menghindar untuk menjelaskan sebab – sebab deviasi (khususnya deviasi primer) b.)
Labeling terjadi setelah fakta, dengan demikian tidak ada definisi
sebelum fakta terjadi c.)
Permasalahan labeling dapat muncul bagi tindakan yang tersamar.
Karena sifatnya yang yang terselubung tersebut, menjadi sulit terdeteksi sehingga tidak ada pemberian label sebagai masalah sosial c. Perspektif Perilaku Sosiopathik
Ada beberapa anggapan dasar yang digunakan oleh perspektif perilaku sosiopathik ini dalam mengembangkan konsep – konsepnya (Lemert, 1951: 22) : 1. Ada berbagai pola dan ciri khusus dari tingkah laku manusia dan sejumlah deviasi dari ciri – ciri khusus tersebut yang dapat diidentifikasi dan digambarkan pada situasi khusus menurut waktu dan tempat 2. Deviasi tingkah laku itu merupakan fungsi dari konflik kebudayaan yang menampakkan diri melalui organisasi sosial 3. Setiap deviasi akan mendapatkan reaksi masyarakat yang bergerak dari sangat setuju sampai dengan sangat tiddak setuju 4. Perilaku sosiopathik adalah deviasi yang menimbulkan akibat reaksi tidak setuju 5. Pribadi yang menyimpang adalah seseorang yang peranan, status, fungsi dan pemahaman tentang dirinya ditentukan oleh seberapa jauh ia menyimpang, tingkat visibilitas sosial, sikap dan penampilannya terhadap reaksi masyarakat dan oleh sifat serta kuatnya reaksi masyarakat
6. Ada pola – pola – pola pola pembatasan dan kebebasan dalam partisipasi sosial devian, yang berhubungan langsung dengan status, peranan dan pemahaman dirinya 7. Penyimpangan – penyimpangan tersebut diindividuasikan berdasarkan kepekaannya terhadap reaksi masyarakat, oleh karena (a.) pribadi bersifat dinamik (b.) ada penstrukturan dalam setiap kepribadian yang bekerja sebagai seperangkat pembatas dimana reaksi sosial berpengaruh Apabila seseorang mulai menggunakan perilaku devian itu sebagai usaha untuk mempertahankan diri, alat penyerang atau menyesuaikan diri terhadap permasalahan yang bersifat overt dan covert yang timbul sebagai akibat reaksi masyarakat terhadapnya, maka deviasi telah berkembang ke arah deviasi sekunder. Proses perkembangannya deviasi primer menjadi deviasi sekunder tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Deviasi primer 2. Reaksi masyarakat berupa hukuman dan sanksi 3. Deviasi primer lebih lanjut 4. Penolakan sosial dan sanksi yang lebih hebat 5. Pengembangan deviasi primer lebih lanjut maungkin disertai perasaan permusuhan terhadap pihak yang memberi hukuman 6. Toleransi masyarakat mengalami krisis yang menampakkan diri pada tindakan formal yang memberi label pada tindakan sebagai noda masyarakat atau community stigmatizing 7. Terjadi deviasi yang lebih kuat sebagai reaksi dari community stigmatizing tersebut 8. Masyarakat dan pelaku deviasi menerima perilaku tersebut sebagai status sosial dan si pelaku berusaha menyesuaikan diri terhadap status dan peranan sosial yang baru tersebut. Pada tahap ini perkembangan perilaku devian sudah berada dalam kategori deviasi sekunder 5. Hubungan Antar Perspektif
Yang pertama dapat dirumuskan studi masalah sosial yang bersifat komprehensif dengan memerhatikan berbagai aspek dan dimensi yang terkait, sehingga diharapkan dapat dihasilkan rekomendasi pemecahan masalah yang bersifat komprehensif pula. Yang kedua, dapat melakukan penanganan masalah
sosial
secara
proporsional,
dalam
pengertian
memilih
dan
menggunakan suatu perspektif yang dianggap paling tepat untuk memahami dan memecahkan masalah berdasarkan sifat, bentuk dan tingkat perkembangan masalah sosial yang dihadapi. Perubahan struktural yang terjadi juga belum tentu menjamin terjadinya distribusi power distribusi power dan dan resources yang resources yang lebih baik. Perspektif labeling memang lebih menjanjikan pendekatan yang bersifat humanistis karena mengakui keberadaan individu yang mempunyai sifat interpretatif terhadap situasi dan rangsangan yang diterima. Perspektif perilaku menyimpang dan konflik nilai sangat potensial untuk digunakan merencanakan program action guna action guna pemecahan masalah, walaupun mungkin masalah tersebut didagnosis dengan menggunakan perspektif lain. Beberapa kasus menunjukkan, bahwa masalah kemiskinan didiagnosis dengan perspektif patologi sosial, tetapi dipecahkan dengan menggunakan perspektif konflik nilai. Dalam hal ini, kemiskinan dianggap sebagai akibat kondisi dehuman yang disebabkan oleh orde ekonomi yang sakit. Akhirnya dapat dinyatakan, bahwa sebenarnya keseluruhan perspektif yang sudah dibahas dalam bab ini mengacu pada salah satu di antara dua tema pokok: keberaturan sosial dan konflik sosial. Pada saat pndangan tentang keberaturan sosial sedang banyak diminati dan menjadi arus utama yang mewarnai pemikiran para ilmuwan dan praktisi sosial, maka perspektif patologi sosial lama, disorganisasi sosial dan perilaku menyimpang akan lebih banyak digunakan. Sebaliknya, apabila pandangan konflik yang sedang banyak mendapat tempat di hati masyarakat, maka perspektif patologi sosial baru, konflik nilai dan labeling akan lebih banyak diminati. Selain itu, perspektif – perspektif yang sudah dibicarakan tersebut adalah hasil inventarisasi berbagai pandangan yang sampai saat ini muncul dan banyak digunakan dalam studi masalah sosial. Sangat dimungkinkan adanya perspektif yang secara faktual ada dan sudah digunakan sebagai pendekatan dalam studi. Masalah sosial, akan tetapi luput dari perhatian penulis dan tidak terinventarisasi dalam bab ini. Selanjutnya, di masa yang akan datang, mungkin saja akan muncul perspektif baru di luar yang sudah ada, atau dapat juga terjadi terj adi suatu s uatu perspektif perspekti f mengalami perkembangan dan pergeseran per geseran seperti se perti halnya yang sudah dialami oleh perspektif patologi sosial.
BAB III PENDEKATAN INDIVIDUAL DAN PENDEKATAN SISTEM 1. Pengantar Masalah sosial adalah kondisi yang tidak diharapkan, oleh karena dianggap dapat merugikan kehidupan sosial atau dianggap bertentangan dengan standar sosial yang telah disepakati. Dalam pendekatan individual masalah sosial atau kondisi yang dianggap bermasalah lebih dilihat pada level individu sebagai warga masyarakat. Sudah tentu yang lebih dilihat sebagai masalah perilaku individu. Dalam pendekatan sistem, yang dianggap bermasalah bukan perilaku orang perorang sebagai individu, tetapi masyarakat sebagai totalitas, masyarakat sebagai sistem. Banyak orang beranggapan bahwa masalah sosial terjadi oleh karena ada hal yang salah atau kurang benar dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, mendiagnosis masalah sosial pada dasarnya adalah mencari sumber kesalahan. Berkaitan dengan hal ini, Eitzen membedakan adanya dua pendekatan yaitu person blame approach dan approach dan system system blame approach. approach. Person blame approach sesuai approach sesuai namanya dalam melakukan diagnosis lebih menempatkan individu sebagai unit analisisnya. Sebaliknya, system blame approach approach yang lebih memfokuskan pada sistem sebagai unit analisis untuk mencari dan menjelaskan sumber masalahnya, akan menemukan faktor penyebab masalah dari aspek – aspek yang berkaitan dengan sistem, struktur dan institusi sosial. Upaya pemecahan masalah sosial sangat ditentukan oleh analisis tentang faktor – faktor yang terkait dan menjadi latar belakang serta penyebab masalah tersebut. Apabila dalam mendiagnosis masalahnya menggunakan menggunakan person blame approach, approach, maka pada umumnya dalam pemecahan masalahnya juga akan difokuskan pada diri si penyandang masalah, yang pada umumnya berupa perbaikan dan perubahan kondisi atau perilaku yang dianggap bermasalah. System blame approach, approach , pendekatan ini mempunyai anggapan bahwa sistem dan struktur sosial yang lebih dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Unit analisis pada tahap treatment pada umumnya mengikuti unit analisis dalam melakukan diagnosis. Tahap identifikasi dapat menggunakan pendekatan individual atau pendekatan sistem, demikian juga dalam diagnosis dan treatment dapat dibedakan dalam pendekatan individual dan sistem pula.
Kajian masalah sosial dapat dibedakan dalam empat variasi. Variasi pertama adalah studi masalah sosial yang melihat permasalahannya ada pada kondisi atau perilaku individu, dan dalam mendiagnosis masalahnya pun dilihat dari hal – hal hal yang melatar belakangi individu sebagai penyandang masalah. Dalam variasi kedua, masalah juga dilihat pada level individu atau perilaku individu, akan tetapi dalam mendiagnosis masalah lebih memfokuskan pada sistem sebagai sumber masalah. Variasi ketiga, yang dilihat bermasalah adalah sistemnya, akan tetapi sumber masalahnya dicari pada level individu yang merupakan bagian dari sistem dan merupakan aktor utama yang membentuk sistem tersebut. Pada variasi keempat, baik identifikasi masalah maupun diagnosis dan treatment difokuskan pada level sistem.
2. Perilaku Individu Sebagai Masalah Sosial Yang Bersumber Dari Faktor Individual a. Individu Sebagai Satuan Identifikasi Sekaligus Sumber Masalah
Salah satu unit pengamatan dalam identifikasi masalah sosial adalah individu. Dengan mengamati perilaku individu dapat diidentifikasi apakah telah terjadi penyimpangan terhadap norma dan nilai nil ai sosial serta standar sosial yang berlaku. Pelacakan sumber masalah tersebut perlu memerhatikan kemungkinan dari berbagai dimensi yang melekat pada individu yang bersangkutan b ersangkutan baik fisik atau biologis, psikologis maupun sosiologis. sosiologis. Untuk mencari sumber permasalahannya, digunakan logika siapa yang melakukan penyimpangan, dialah yang menjadi sumber masalah tersebut. Beberapa konsekuensi teoritik dan implementasinya dalam kebijaksanaan adalah : 1. Membebaskan pemerintah, sistem ekonomi, struktur sosial, institusi sosial, sistem peradilan, sistem peradilan, sistem pendidikan dari “tuduhan” sebagai sebagai sumber kesalahan 2. Karena penyebab masalah adalah faktor individual, maka upaya pemecahan masalah akan lebih banyak bersifat sebagai bentuk konseling, modifikasi perilaku, psychotheraphy perilaku, psychotheraphy.. 3. Memperkuat mitos sosial tentang peranan kontrol individu terhadap nasib seseorang
b. Pandangan Biologis Beberapa bentuk pengkajian yang dapat ditemukan dalam perbendaharaan studi masalah sosial seperti physiognomi physiognomi (studi tentang karakter manusia yang
ditentukan oleh bentuk wajah), wajah), phrenology phrenology (studi tentang kemampuan mental yang ditentukan oleh konfigurasi tempurung kepala), somatology somatology (studi tentang karakter manusia yang ditentukan oleh bentuk tubuh), genetic tubuh), genetic anomalies (sifat anomalies (sifat dan tingkah laku menyimpang yang disebabkan oleh masalah genetika termasuk kelainan kromosom) dan brain malfunction malfunction (perilaku menyimpang yang disebabkan oleh kelainan fungsi otak) (Eitzen, 1986: 397). Pandangan Lombroso melalui prinsip atavisme. atavisme. Prinsip ini menyatakan adanaya proses kemunduran menuju kepada pola – pola pola primitif dari spesiesnya, yaitu tiba – tiba muncul ciri – ciri ciri milik nenek moyangnya, yang semula lenyap selama berabad – abad kini timbul kembali (Kartono, 1983: 158). Penggunaan prinsip – prinsip – prinsip prinsip atavisme dalam atavisme dalam penjelasannya. Salah satu tesisnya adalah bahwa kejahatan disebabkan oleh adanya degenerasi jasmani dan rohani atau kemunduran unsur psikis dan fisik. Pandangan biologis semacam itu juga sering dijumpai dalam menjelaskan masalah sosial yang berkaitan dengan inferioritas pada kelompok tertentu dalam masyarakat. Penjelasan klasik dikaitkan dengan cacat atau kelemahan genetika ( flawed flawed genetic), genetic), Arthur Jensen dan Richard Hernstein yang mengatakan bahwa kulit hitam secara mental berkedudukan inferior dibandingkan kulit putih (Eitzen, 1986: 205). c. Pandangan Psikologis
Pandangan psikologis menjelaskan bahwa sumber terjadinya perilaku individu yang menyimpang berasal dari dalam diri individu sendiri. Bedanya dengan pandangan biologis adalah bahwa faktor penyebabnya bukan kondisi biologis melainkan kondisi kejiwaan dan kepribadian dari individu. Menurut Eitzen (1986: 397) bentuk – bentuk kondisi psikologis yang dapat menyebabkan perilaku menyimpang tersebut antara lain psychopaths lain psychopaths (yang (yang dapat termanifestasikan pada sikap asosial agresif dan impulsif), oedipalconfict dan psychosexual dan psychosexual trauma. trauma. Menurut pandangan psikoanalisis, devian adalah seseorang yang tidak dapat mengembangkan ego secara wajar untuk mengontrol impuls deviant (the id ). ). Sebaliknya, pandangan behavioral melihat tingkah laku menyimpang merupakan bentuk dari kebiasaan – kebiasaan – kebiasaan kebiasaan yang maladaptif. Sumber individual terhadap terjadinya deviasi tingkah laku juga dijumpai dalam tulisan Lemert (1951: 37). Deviasi tingkah laku menjadi tiga bentuk yaitu : deviasi individual, deviasi situasional dan deviasi sistematik. Faktor penyebabnya
dapat berupa kelainan biologis, kelainan psikis yang bersifat herediter dan dapat pula karena sebab – sebab lain yang menimpa individu seperti penyakit, kecelakaan dan sebagainya. Elliot dan Merrill (1951: 45) membahas sebagai gejala individual atau personal disorganization disorganization sebagai bentuk lain dari gejala social disorganization. disorganization. Bentuk yang pertama, merupakan disorganisasi pada level individual khususnya dilihat
dari
kepribadiannya,
sedangkan
bentuk
yang
kedua
merupakan
disorganisasi pada level masyarakat. Kauffman (1989: 6), dalam dua dimensi yaitu externalizing (dalam bentuk perilaku agresif dan perilaku yang lain yang punya sasaran orang lain) dan interalizing (dalam bentuk tindakan menarik diri dari lingkungan sosialnya atau isolasi). Perbedaan dalam stratifikasi sosial terjadi karena : 1. Kemampuan mental diwariskan 2. Sukses dalam pekerjaan dan memperoleh pendapatan tergantung dari kemampuan mental. Klasifikasi sosial berdasarkan perbedaan kemampuan individual ini terjadi melalui proses seleksi Kebijakan penanganan masalah sosial (Eitzer, 1986: 167) : 1. Pandangan Jensen dan Hernstein ini merupakan contoh klasik pemahaman masalah sosial yang mencari sumber masalah atau sumber “kesalahan” dari si penyandang masalah 2. Mengukuhkan anggapan bahwa kemiskinan merupakan sesuatu yang tak terhindarkan sekaligus merupakan penguatan survival penguatan survival of the fittest sebagai sebagai ideologi kapitalis 3. Memberikan keabsahan bahwa test IQ merupakan ukuran yang punya legitimasi sebagai sarana untuk melihat tingkat inteligensi seseorang. 4. Pendapat tersebut juga memberikan alasan pembenar bagi terjadinya ketidakmerataan dalam proses belajar mengajar 5. Tesis ini juga mendorong pembuat keputusan atau perumus kebijakan untuk menangani efeknya daripada menangani sumber penyebab dari dalam sistem dan struktur sosialnya sendiri
d. Pandangan Sosialisasi
Sosialisasi merupakan proses terintegrasinya individu ke dalam kehidupan bermasyarakat, atau dengan perkataan lain merupakan proses
perubahan seseorang dari dar i makhluk biologis menjadi makhluk sosial. s osial. Soekanto (1982: 140) mengatakan, secara luas sosialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses, dimana warga masyarakat dididik untuk mengenal, memahami, menaati dan menghargai norma – norma norma dan nilai – nilai nilai yang berlaku dalam masyarakat. Secara khusus, sosialisasi mencakup suatu proses dimana warga masyarakat mempelajari kebudayaannya, belajar mengendalikan diri dan mempelajari peranan – peranan – peranan peranan dalam masyrakat. Pada dasarnya sosialisasi merupakan proses untuk memperoleh keseimbangan diantara keduanya, di antara kebebasan dan aktualisasi sebagai individu dengan ikatan – ikatan yang ada dalam hidup bermasyarakat. Kauffman (1989: 6) mengemukakan bahwa perilaku dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial (pandangan ecology). ecology). Faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam proses sosialisasi adalah kemampuan memahami dan meninterpretasikannilai yang diserap. Proses sosialisasi merupakan proses belajar tentang nilai dan norma sosial juga merupakan proses belajar untuk menjalankan peranan sesuai status yang dimiliki dalam masyarakat.
3. Perilaku Individu Sebagai Masalah Sosial Yang Bersumber Dari Sistem a. Individu Sebagai Satuan Identifikasi, Sistem Sebagai Sumber Masalah
System blame approach sumber masalah akan dilihat dari kesalahan sistem. Barangkali diagnosisnya akan mengatakan bahwa tingginya angka drop out disebabkan oleh tidak tepatnya sistem pendidikan yang diterapkan, tidak seimbangnya beban kurikulum dengan kemampuan anak, kesalahan dalam proses belajar – belajar – mengajar. mengajar. Masalah kriminal daripada sistem hukum dan peradilannya, masalah tingkat hidup yang rendah dari pada distribusi power dan penguasaan resources dalam resources dalam masyarakatnya, masalah kegagalan para siswa daripada krisis dunia pendidikan yang sedang melanda.
b. Sumber Masalah Dari Cacat Struktur
Abraham Maslow mengidentifikasi kebutuhan tersebut sebagai berikut : shelter and sustenance, security, group support, asteem, respect dan self actualization. Prestise Prestise merupakan kapasitas yang memungkinkan seseorang mempunyai rasa percaya diri terhadap orang lain. Power adalah kapasitas untuk memperoleh apa yang diinginkan lebih sering dan lebih dahulu dari orang lain. Tesis Moynihan tersebut mendapat banyak kritik terutama untuk hal – hal berikut ini : 1. Moynihan dinilai telah melakukan over generalization. generalization. Ada perbedaan bentuk keluarga di antara mereka yang berasal dari lingkungan geografis, status sosial dan tingkat pendapatan yang berbeda 2. Kesimpulan bahwa keluarga orang kulit hitam lebih tidak stabil dibandingkan keluarga orang kulit putih dinilai tidak memiliki dasar yang kuat 3. Kritik yang sama juga diarahkan untuk pernyataan bahwa keluarga orang kulit hitam pada umumnya bersifat matrialkal dan terjadi desersi suami dari lingkungan keluarga 4. Berdasarkan beberapa hal tersebut, sudah barang tentu kritik juga ditujukan pada solusi atau pemecahan masalah yang diajukan
c. Disorganisasi Sosial Sebagai Sumber Masalah
Konsep disorganisasi sosial muncul berkitan dengan proses perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat. Disorganisasi sosial merupakan sumber dan penyebab terjadinya disorganisasi ndividual. Sumbangan disorganisasi sosial terhadap terjadinya perilaku individu yang menyimpang juga dapat dijelaskan dari kondisi ketidakpastian norma. Kondisi tersebut mengakibatkan warga masyarakat menjadi tidak jelas akan norma mana yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam sikap dan perilakunya.
d. Pandangan Labelling
Adanya perbedaan interpretasi antara individu dan masyarakat tentang batas – batas – batas batas perilaku yang diperbolehkan dan yang dilarang (Lemert, 1951:
96). Pandangan labelling ini seringkali juga masih perlu memerhatikan pandangan struktural. Hal ini disebabkan krena tidak jarang lapisan masyarakat yang mempunyai mempunyai power dapat memengaruhi pemberian label oleh masyarakat terhadap perilaku tertentu.
4. Masalah Sosial Pada Level Sistem Yang Bersumber Dari Individu a. Sistem Sebagai Satuan Identifikasi, Individu Sebagai Sumber Masalah
Dapat diidentifikasi adanya masyarakat yang mengalami disorganisasi sosial baik dalam bentuk terpecahnya bagian – bagian atau komponen – komponen dari masyarakat sebagai sistem atau tidak dapat berfungsinya salah satu atau seluruh bagian dari sistem sosial. Individu merupakan bagian integral dari masyarakat atau sistem sosial tertentu. Kenyataan bahwa masalah sosial pada level sistem ini juga dapat bersumber dari individu, dapat pula dijelaskan dari adanya pandangan tentang indikator sederhana sebagai salah satu cara untuk mengidentifikasi masalah sosial. Menurut pandangan ini, suatu masyarakat dapat dinyatakan mengalami masalah sosial dengan melihat angka statistik untuk hal – hal tertentu seperti angka kejahatan, angka kenakalan dan angka bunuh diri.
b. Disorganisasi Sosial Karena Disorganisasi Individu
Disorganisasi sosial adalah proses melemahnya jaringan dan pola hubungan yang mengikat individu bersama – sama sama dalam suatu kelompok. Perwujudannya dapat berupa pecahnya kelompok – kelompok sosial dan tidak serasinya hubungan timbal balik antarkomponen atau unsur yang membentuk kesatuan hidup masyarakat dan dapat pula berupa tidak berfungsinya berbagai unsur dalam sistem kehidupan kehidupan sosial. Individu
yang yang
maladjusted
akan
dapat
mendorong
proses
maladjustment lebih lanjut dalam derajat yang ditentukan oleh seberapa besar pengaruh tingkah lakunya l akunya kepada orang lain. Kemampuan atau daya empathy yang empathy yang merupakan kemampuan untuk memahami kerangka berpikir orang lain atau kemampuan identifikasi emosional dari seseorang terhadap orang lain. Penelusuran individu sebagai sumber terjadinya masalah sosial
pada sistem ini juga dapat dilihat dari proses sosialisasi individu. Kondisi kurangnya conform conform terhadap norma kelompok disebut deviasi sedangkan individu yang melakukannya disebut deviant. Menurut Lemert (1951: 36), bahwa deviasi yang dilakukan seseorang dilihat dari pengaruhnya terhadap orang lain dan masyarakat pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Seseorang yang tingkah lakunya menjadi masalah bagi oang lain, tetapi tidak untuk dirinya sendiri 2. Seseorang yang tingkah lakunya menjadi masalah bagi diri sendiri tetapi tidak untuk orang lain 3. Seseorang yang tingkah lakunya menjadi masalah baik untuk orang lain maupun bagi dirinya sendiri Ahli sosiologi mengatakan bahwa person person adalah individu yang memiliki status tertentu dalam kehidupan sosialnya. Dipandang dari kehidupan, penunaian peranan sosial yang benar bagi setiap anggota masyarakat akan mendukung terwujudnya kondisi kehidupan yang organize. organize. Sebaliknya, kondisi kehidupan sosial yang disorganize disorganize dapat berawal dari banyaknya anggota masyarakat yang tidak menjalankan peranannya secara baik dan benar.
c. Deviasi Sistematik
Deviasi dapat bersifat organis, fisiologis, psikis, antar personal dan kultural. Lemert (1951: 18) membagi deviasi dalam tiga bentuk : deviasi individual, deviasi situasional dan deviasi sistematik. Deviasi sistematik pada dasarnya adalah suatu sistem tingkah laku yang disertai organisasi sosial khusus, status, peranan, nilai, norma dan moral tertentu yang kesemuanya berbeda dengan situasi pada umumnya. Dipandang dari kacamata masyarakat makro, munculnya deviasi sistematik tersebut jelas akan merupakan masalah karena aan menambah potensi konflik dan dikotomi masyarakat yang bersangkutan
5. Masalah sosial pada level Sistem Yang Bersumber Dari Sistem a. Sistem Sebagai Satuan Identifikasi Sekaligus Sumber Masalah
Fuller dan Myers (dalam Weinberg, 1981: 88) menyebut proses identifikasi ini sebagai tahap awareness awareness atau tahap untuk menarik perhatian masyarakat terhadap situasi yang dianggap sebagai masalah, dan merupakan suatu langkah yang mengawali tahap policy determination dan determination dan tahap reform. reform. Pandangan sistem yang ekstrem akan mengabaikan faktor responsibilitas dari masing – masing individu atas berbagai bentuk tindakan mereka.
b. Sistem Yang Diskriminatif
Kondisi struktural tersebut seringkali didukung oleh berbagai institusi sosial yang mengandung nilai – nilai sosial yang diskriminatif misalnya antar jenis kelamin, antar etnis, antar asal daerah dan sebagainya (Julian, 1986: 15). Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber – sumber daya yang langka jumlahnya atau karena tingkat perkembangan teknologi yang yang sangat renadah.
c. Konflik Nilai
Masyarakat terdiri dari kelompok yang saling berinteraksi dan masing – masing dapat mempunyai kepentingan dan nilai yang beda. Dalam pandangan ini, masalah sosial dilihat dari pendekatan group centered (Weinberg, 1981: 89), yang beranggapan bahwa masalah sosial disebabkan oleh individu yang immoral atau disebabkan oleh kurangnya koordinasi dan regulasi, melainkan lebih disebabkan oleh konflik alamiah di antara berbagai segmen dalam masyarakat. Apabila hal yang sama dirasakan oleh sejumlah orang dan saling terjadi komunikasi, akan menimbulkan kegelisahan sosial. Kondisi semacam itu biasanya menimbulkan tiga karakteristik : 1. Merasakan adanya desakan untuk bertindak tetapi tidak tahu harus berbuat apa 2. Adanya perasaan menggelilitik yang berupa kecemasan yang tidak menentu
3. Emosi yang tidak stabil mengakibatkan lebih mudah mengikuti dan menerima stimuli guna mengubah kemapanan
d. Kelemahan Kultural
Kebudayaan merupakan tata kelakuan, kelakuan dan hasil kelakuan manusia, masyarakat merupakan jaringan kelompok – kelompok
manusia
yang
memangku
kebudayaan.
Berdasarkan
hipotesis, masyarakat miskin dinyatakan mempunyai nilai dan gaya hidup tertentu yang kemudian akan memengaruhi kemampuan antisipasinya
terhadap
berbagai
perkembangan
dan
perubahan
lingkungan kehidupannya. Subkultur merupakan suatu alternatif bagi kelompok miskin sebagai hasil adaptasi dengan kondisi kemiskinan yang disandangnya. Susanto (1984: 113) mengatakan, apabila situasi kemiskinan terlalu lama mencekam suatu kelompok, maka akan terbentuk suatu budaya kemiskinan sebagai subkultur. Sarwono (1987: 73-81) melihat berbagai peristiwa yang dapat dianggap merupakan simton – simton masalah sosial seperti berbagai kecelakaan , aksi pengeroyokan, masalah bromocorah (residivis) sebagai akibat dari kemacetan sistem. Kemacetan sistem tersebut disebabkan oleh dua hal penting yaitu : 1. Terlalu pesatnya perkembangan teknologi dan bertambahnya kebutuhan disegala bidang 2. Sikap manusia yang mengawasi dan melaksanakan setiap sistem it u yang tidak sesuai dengan tuntutan sistem itu sendiri
6. Menuju Pendekatan Yang Komprenhensif
Untuk menelusuri sumber masalah dapat digunakan pendekatan individual (individual/person (individual/person blame approach) approach ) dan pendekatan sistem ( system system blame approach). approach). Dari kedua pendekatan ini, dapat diketahui, bahwa sumber masalah sosial dapat ditelusuri dari “kesalahan” indivdu dan “kesalahan” sistem. sistem. Parrilo (1987: 16) mengemukakan 3 hal guna menjadi sarana meningkatkan kepekaan terhadap gejala pada tahap identifikasi. Ketiga
bentuk identifikasi gejala tersebut adalah incidence, incidence, prevalence prevalence dan trend . Incidence Incidence dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan melalui identifikasi atas berbagai kejadian dan peristiwa yang merupakan kasus baru sehingga menarik me narik perhatian . Prevalence merupakan Prevalence merupakan suatu derajat yang menunjukkan sejauh mana suatu kondisi memerlukan perhatian sebagai masalah sosial. Trend merupakan upaya mengidentifikasi masalah dengan melihat perkembangannya dari waktu ke waktu. Suatu masalah menjadi lebih dianggap mendesak dan urgen untuk segera ditangani apabila : 1. Banyak kejadian yang merupakan kasus baru dan diidentifikasi sebagai masalah 2. Tersebar dalam ruang lingkup yang luas 3. Cenderung tumbuh dan berkembang secara pesat Pemahaman masalah sosial, memberikan dampak dalam dua hal. Pertama, seseorang yang mengalami perubahan dalam kelompok sosialnya apabila kurang mampu mengantisipasi kondisi yang baru, tuntutan baru dan standar serta tradisi baru dapat mengalami semacam personal stress. stress. Kedua, mobilitas sosial yang cepat, semakin melemahnya orientasi pada kelompok primer dan perasaan terbebas dari kontrol sosial masyarakatnya, dapat memberikan lebih banyak peluang dan memperbesar potensi bagi terjadinya berbagai bentuk perilaku menyimpang.