1.1. DEFINISI BATUAN Berbagai definisi dari batuan sebagai objek dari mekanika batuan telah diberikan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang saling berhubungan. 1.1.1. 1.1.1. MENURUT MENURUT PARA PARA GEOLOGIWAN
a. Batuan Batuan adalah susunan susunan mineral dan
bahan
organis yang bersatu
membentuk kulit bumi. b. Batuan Batuan adalah semu semua a material material yang membent membentuk uk kulit bumi bumi yang dibagi atas : - batuan batuan yang terkonsolidas terkonsolidasii (consolidated rock), - batuan batuan yang yang tidak tidak terkonsolidas terkonsolidasii (unconsolidated rock). 1.1.2. 1.1.2. MENURUT MENURUT PARA PARA A HLI TEKNIK SIPIL KHUSUSNYA KHUSUSNYA AHLI GEOTEKNIK
a. Istilah Is tilah batuan hanya untuk formasi yang keras dan padat dari kulit bumi. bumi. b. Batuan Batuan adalah adalah suatu suatu bahan yang keras keras dan koheren atau yang telah terkonsolidas terkonsolidasii dan tidak tidak dapat digali dengan cara biasa, misalnya dengan dengan cangkul dan belincong. 1.1.3. MENURUT TALOBRE
Menurut Talobre, orang yang pertama kali memperkenalkan Mekanika Batuan di P erancis pada tahun tahun 1948, 1948, batuan batuan
adalah
material
yang
membentuk kulit bumi termasuk fluida yang berada didalamnya (seperti air, minyak dan lain-lain).
1.1.4. MENURUT ASTM
Batuan dan Mekanika Batuan-1
Batuan adalah suatu bahan yang terdiri dari mineral padat ( solid) berupa massa assa yang berukuran besar besar ataupun berupa fragmen-fragmen. 1.1.5. SECARA UMUM
Batuan Batuan adalah adalah campuran dari satu atau lebih mineral yang berbeda, tidak tidak mempunyai komposisi kimia tetap. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa batuan tidak sama dengan tanah. Tanah dikenal sebagai material yang "mobile", rapuh dan letaknya dekat dengan permukaan bumi.
1.2. KOMPOSISI BATUAN Kulit bumi, bumi, 99 % dari dari berat beratny nya a terdiri erdiri dari dari 8 unsur : O, Si, Si, Al, Fe, F e, Ca, Na, Na, Mg, dan H. Komposisi dominan dari kulit bumi tersebut adalah : SiO2 = 59,8 %
F eO
= 3,39 3,39 %
A12O = 14,9 %
Na2O
= 3,25 3,25 %
CaO = 4,9 %
K 2O
= 2,98 2,98 %
MgO = 3,7 %
F e2O3
= 2,69 2,69 %
H2O
= 2,02 2,02 %
Batuan Batuan terdiri dari bagian yang padat baik berupa kristal kristal maupun yang tidak mempunyai empunyai bentuk tertentu tertentu dan bagian
kosong kosong
seperti seperti pori-pori, pori-pori,
fissure, crack, joint, dll.
1.3. DEFINISI MEKANIKA BATUAN Batuan dan Mekanika Batuan-2
Definisi Definisi Mekanika Batuan telah diberikan oleh beberapa ahli atau komisikomisikomisi yang bergerak di bidang bidang ilmu-i ilmu-ilmu lmu tersebut.
1.3.1. MENURUT TALOBRE
Mekanika Mekanika batuan batuan adalah adalah sebuah sebuah teknik dan juga sains sains yang tujuannya adalah adalah mempelajari perilaku perilaku (behaviour ) batuan di tempat tempat asa asalnya lnya untuk untuk dapat mengendalikan engendalikan
pekerjaan-pe pekerjaan-pekerjaa kerjaan n
yang dibuat pada batuan
tersebut (seperti penggalian dibawah tanah tanah dan dan lain-lainnya). Untuk
mencapai encapai
tujuan
tersebut,
Mekanika Mekanika
Batuan Batuan
merupakan
gabungan dari : Teo Teori + peng engalam laman +peke ekerjaan jaan/p /pen eng gujia jian di lab laborator atoriu ium m +pengujian jian in-situ. sehingga sehingga
mekanika
batuan
tidak
sam sama
dengan ilmu geologi geologi yang
didefinisikan oleh Talobre sebagai sains deskriptif yang mengidentifikasi batuan dan mempelajari sejarah dari batuan. Demikian juga mekanika batuan tidak sama dengan ilmu geologiterapan. Ilmu geologi geologi
terapan
banyak mengemukakan problem-problem problem-problem
yang
paling sering dihadapi oleh para geologiwan di proyek-proyek proyek-proyek seperti proyek bendungan, terowongan. Dengan mencari analogi-analogi, terutama dari proyek-proyek yang sudah dikerjakan dapat menyelesaikan kesulitankesulitan yang dihadapi pada proyek yang sedang dikerjakan. Meskipun Meskipun penyelesaian ini masih secara empiris dan kualitatif.
1.3.2. MENURUT COATES
Batuan dan Mekanika Batuan-3
Menurut Coates, seorang ahli mekanika batuan dari Kanada : a.
Mekanika Mekanika adalah adalah ilmu yang mempelajari efek dari gaya atau tekanan pada sebuah benda. Efek
ini
bermacam-macam,
misalnya
percepatan,
kecepatan,
perpindahan. b.
Mekanika Mekanika batuan adalah adalah ilmu yang mempelajari efek dari pada gaya terhadap batuan. Efek utama yang menarik bagi para geologiwan adalah perubahan bentuk. P ara ahli geofisi geofisika ka tertarik tertarik pada aspek dinamis dinamis dari pada perubahan perubahan volume dan bentuk yaitu gelombang seis seism mik. Bagi para insinyur, mekanika batuan adalah : -
analisis analisis dari pada beban atau gaya yang dikenakan pada batuan, batuan,
-
analisi analisis s dari dampak dampak dalam yang dinyatakan dalam tegangan (stress), regangan (strain) atau enersi yang disimpan,
-
analisi analisis s akibat dari dampak dalam tersebut, yaitu rekahan (fracture), aliran atau deformasi dari batuan.
1.3.3. MENURUT US NATIONAL COMMITTEE ON ROCK MECHANICS (1984)
Mekanika Mekanika batuan adalah adalah ilmu pengetahuan yang mempelaj empelajari ari tentang tentang perilaku (behaviour ) batuan batuan baik secara secara teoritis maupun maupun terapan, terapan, merupakan cabang dari ilmu mekanika yang berkenaan dengan sikap sikap batuan terhadap medan-medan gaya pada lingkungannya. 1.3.4. MENURUT BUDAVARI
Mekanika batuan adalah ilmu yang mempelajari mekanika perpindahan padatan untuk menentukan distribusi gaya-gaya dalam dan deformasi akibat gaya luar pada suatu benda padat. Hampir semua mekanika perpindahan benda padat didasarkan atas teori kontinum. Konsep kontinum adalaf fiksi matematik yang tergantung pada
Batuan dan Mekanika Batuan-4
struktur molekul material yang digantikan oleh suatu bidang kontinum yang perilaku matematiknya identik dengan media aslinya. Material ekivalennya dianggap homogen, mempunyai sifat-sifat mekanik yang sama pada semua titik. Penyederhanaannya adalah bahwa semua sifat mekaniknya sama ke semua arah pada suatu titik di dalam suatu batuan. 1.3.5. MENURUT HUDSON DAN HARRISON
Mekanika batuan adalah ilmu yang mempelajari reaksi batuan yang apabila padanya dikenai suatu gangguan. Dalam hal material alam, ilmu ini berlaku untuk masalah deformasi suatu struktur geologi, seperti bagaimana lipatan, patahan, dan rekahan berkembang begitu tegangan terjadi pada batuan selama proses geologi. Beberapa tipe rekayasa yang melibatkan mekanika batuan adalah pekerjaan sipil, tambang, dan perminyakan. Topik utama mekanika batuan adalah batuan utuh, struktur batuan, tegangan, aliran air, dan rekayasa, yang ditulis secara diagonal dari kiri atas ke kanan bawah pada Gambar 1. Garis ini sering disebut sebagai diagonal utama. Semua kotak lainnya menunjukkan interaksi antara satu dengan lainnya. 1.3.6. SECARA UMUM
Mekanika
batuan adalah ilmu
yang
mempelajari
sifat dan perilaku
batuan bila terhadapnya dikenakan gaya atau tekanan.
Batuan dan Mekanika Batuan-5
Gambar 1.
Matriks interaksi mekanika batuan dan rekayasa batuan yang menunjukkan subyek-subyek utama dan interaksinya (Hudson dan Harrison, 1990)
1.4. SIFAT BATUAN
Sifat batuan yang sebenarnya di alam adalah :
Batuan dan Mekanika Batuan-6
1.4.1. HETEROGEN
a. J enis mineral pembentuk batuan yang berbeda. b. Ukuran dan bentuk partikel/butir berbeda di dalam batuan. c. Ukuran, bentuk, dan penyebaran void berbeda di dalam batuan. 1.4.2. DISKONTINU
Massa batuan di alam tidak kontinu (diskontinu) karena adanya bidangbidang lemah (crack, joint, fault, fissure) di mana kekerapan, perluasan dan orientasi dari bidang-bidang lemah tersebut tidak kontinu. 1.4.3. ANISOTROP
Karena sifat batuan yang heterogen, diskontinu, anisotrope maka untuk dapat menghitung secara matematis misalnya sebuah lubang bukaan yang disekitarnya terdiri dari batuan B1, B2, B3, diasumsikan batuan ekivalen B' sebagai pengganti batuan B1, B2, B3 yang mempunyai sifat homogen, kontinu dan isotrop (Gambar 2).
Batuan dan Mekanika Batuan-7
Gambar 2.
Asumsi batuan ekivalen untuk mempermudah perhitungan di dalam mekanika batuan
1.5. BEBERAPA CIRI DARI MEKANIKA BATUAN
a. Dalam ukuran besar, solid dan massa batuan yang kuat/keras, maka batuan dapat dianggap kontinu. b. Bagaimanapun juga karena keadaan alamiah dan lingkungan geologi, maka batuan tidak kontinu (diskontinu) karena adanya kekar, fissure, schistosity, crack, cavities dan diskontinuitas lainnya. Untuk kondisi
tertentu, dapat dikatakan bahwa mekanika batuan adalah mekanika diskontinu atau mekanika dari struktur batuan. c. Secara mekanika, batuan adalah sistem "multiple body" (Gambar 3). d. Analisis mekanika tanah dilakukan pada bidang, sedang analisis mekanika batuan dilakukan pada bidang dan ruang. e. Mekanika batuan dikembangkan secara terpisah dari mekanika tanah, tetapi ada beberapa yang tumpang tindih. f. Mekanika batuan banyak menggunakan : − teori elastisitas, − teori plastisitas, − dan mempelajari batuan, sistem struktur batuan secara eksperimen.
Batuan dan Mekanika Batuan-8
Gambar 3.
Sistem batuan single body dan multiple body (J umikis, 1983)
1.6. BEBERAPA PERSOALAN DALAM MEKANIKA BATUAN
Beberapa persoalan di dalam mekanika batuan akan timbul dan erat hubungannya dengan aktifitas yang dilakukan oleh manusia pada batuan (Gambar 4) seperti persoalan fondasi pada batuan, penggalian batuan di bawah permukaan tanah baik untuk pekerjaan teknik sipil maupun pertambangan, pemakaian batu sebagai bahan bangunan dan sebagainya.
Batuan dan Mekanika Batuan-9
Gambar 4.
Beberapa aktifitas manusia pada batuan
Adapun persoalan di dalam mekanika batuan antara lain : a. Bagaimana reaksi dari batuan ketika diambil untuk dipergunakan ? b. Berapa dan bagaimana besarnya daya dukung (bearing capacity) dari batuan dipermukaan dan pada berbagai kedalaman untuk menerima berbagai beban ? c. Bagaimana kekuatan geser batuan ? d. Bagaimana sikap batuan di bawah beban dinamis ? e. Bagaimana pengaruh gempa pada sistem fondasi di dalam batuan ? f. Bagaimana nilai modulus elastisitas dan Poisson's ratio dari batuan ? g. Bagaimana
pengaruh
dari
bidang-bidang
lemah (kekar, bidang
perlapisan, schistosity, retakan, rongga dan diskontinuitas lainnya) pada batuan terhadap kekuatannya ? h. Metoda pengujian laboratorium apa saja yang paling mendekati kenyataan
untuk mengetahui kekuatan fondasi atau sifat batuan dalam
mendukung massa batuan ? i. Bagaimana memperhitungkan kekar dan sesar dalam perencanaan pekerjaan di dalam batuan ? j. Bagaimana menanggulangi deformasi yang diakibatkan oleh perbedaan yang bersifat perlahanlahan (creep) pada batuan ?
Batuan dan Mekanika Batuan-10
k. Hukum Hukum apa saja saja yang menyangkut
aliran aliran plastik plastik (plastic flow) dari
batuan ? l. Bagaimana pengaruh pengaruh "anisotrope" terhadap distribusi distribusi tegangan dalam batuan ? m. Bagaimana korelasi dari hasil-has hasil-hasilil pengujian kekuat kekuatan an batuan batuan yang telah telah dilakukan di lapangan dan di laboratorium dalam menyiapkan percontoh batuan ? n. Bagaimana metoda pengujian yang akan dilaksanakan yang sesuai dengan kondisi lapangan lapangan terhadap terhadap sifat-sifat sifat-sifat batuannya batuannya ? o. Bagaimana Bagaimana mekanism ekanisme keruntuhan / kehancuran dari batuan ( failure of rock) ?
p. Dapatkah keadaan tegangan tegangan di dalam massa assa batuan batuan dihitung secara secara tepat, atau bahkan dapat diukur ? q. Faktor-faktor aktor-faktor apa
saja saja
yang
menyangkut enyangkut
perencanaan
kemiringan lareng dari suatu massa batuan ? r. Apakah roof bolting pada atap sebuah lubang bukaan di bawah tanah sudah aman sehingga sehingga lubang tersebut dapat digunakan sebagai sebagai instalasi yang permanen ?
1.7. RUANG LINGKUP LINGKUP MEKA MEKANIKA NIKA BA TUAN
Secara luas sasaran dari mekanika batuan adalah aplikasinya pada pemecahan persoalan-persoalan geoteknik, yang antara lain adalah : a. Menyelenggarakan Menyelenggarakan penyelidikan yang bersifat bersifat teknik pada batuan. b. Mengembangk Mengembangkan an cara pengambilan pengambilan percontoh percontoh batuan batuan secara rasionil rasionil dan metoda identifikasi serta klasifikasi batuan. c. Mengembangkan peralatan uji batuan yang baik dan metoda standard pengujian untuk kuat tekan serta kuat geser batuan. Batuan dan Mekanika Batuan-11
d. Mengumpulkan Mengumpulkan dan mengklasifikasi mengklasifikasikan kan informasi informasi batuan batuan dan sifat-sifat sifat-sifat fisiknya dalam dasar ilmu mekanika batuan, teknik fondasi dan teknik bangunan air. e. Berdasarkan Berdasarkan hasil-hasil hasil-hasil pengujian yang dilakukan pada pada batuan, batuan, dapat dipelajari sifat fisik, sifat mekanik (statik dan dinamik), elastisitas, plastisitas,
perilaku batuan, batuan, dan bentuk bentuk kerusakan (failure) di bawah
beban statik dan dinamik dari batuan tersebut. f. Mempelajari sifat batuan batuan di bawah bawah kondisi kondisi thermal thermal dan sistem keairan (water regimen). g. Menyangkut strukt struktur ur statik statik dan dinamik dari batuan. h. Mengembangkan metoda pengukuran di lapangan (in-situ) dari sifat deformasi statik dan dinamik batuan serta tegangan sisa di dalam batuan di bawah kondisi lingkungan yang mermacam-macam seperti pelapukan, "leaching", seismik dan tektonik. i. Menyelenggarakan Menyelenggarakan
penelitian penelitian
terhadap
mekanism ekanisme
kerusakan/ kerusakan/
kehancuran batuan. Mengorganis Mengorganisir ir penelitian penelitian tentang tentang
perkuatan batuan dan pengukuran
tegangan in-situ.
j. Men Mengganti deng engan metoda oda ilm ilmiah iah dari ari perenca encan naan tekn eknik pada ada batu atuan yang banyak menggunakan metoda empiris sebelumnya, sehingga turut memberikan kontribusi terhadap kemajuan disiplin ilmu mekanika batuan. k. Merangsang Merangsang dan menyebarkan menyebarkan ilmu pengetahuan pengetahuan tentang tentang batuan dan mekanika batuan. l. Mempergunakan mekanika batuan untuk memecahkan persoalanpersoalan teknik secara praktis. m. Mempelajari sikap massa batuan batuan asli di bawah kondisi kondisi beban dan kondisi lingkungannya. n. Menyangkut struktur statik batuan dan kestabilan kestabilan batuan sangat sangat penting ditinjau dari sudut keamanan (safety) dan ekonomi. o. Mempelajari Mempelajari stabilitas stabilitas struktur struktur rekayasa rekayasa yang yang material utamanya utamanya adalah batuan.
Batuan dan Mekanika Batuan-12
p. Mempelajari Mempelajari proses pengurangan pengurangan ukuran batuan dengan menggunakan menggunakan gaya-gaya luar seperti pemboran, peledakan, pemotongan, dan pengasahan. q. Mempelajari Mempelajari pengaruh gaya-gaya pada batuan batuan dan yang utama utama adalah adalah berkaitan dengan fenomena yang mempengaruhi pendugaan rekahan dan deformasi. r. Mempelajari beban atau gaya yang yang bekerja bekerja pada batuan, batuan, analisis dari efek dalam, maksudnya tegangan dan regangan, energi dalam, dan akhirnya analisis dari gaya-gaya dalam seperti rekahan, aliran, atau deformasi batuan.
1.8. DAFTAR PUSTAKA
Coates, D.F .,”P .,”P rincipes de la mécanique mécanique des roches”, roches”, Monographic 874 (revision 1970), Direction des Mines, Ministére de L’Energie des Mines et des resources, resources, Ot Ottawa, tawa, Canad Canada. a. Hudson, Hudson, J .A. dan J .P. .P . Harrison, Harrison, “R ock Mechan Mechanics, ics, Prin P rincipl ciples es and Applications”, Draft 3.0, Imperial College, London, 1990. J umikis ikis,, A.R., “Rock Rock Mec Mech hanics” ics”, Secon Second d Edit Editio ion n, Tran Trans s Tech Tech. Pu P ublica licattion ions, Clausthal-Zellerfeld, Federal Republic of Germany, 1983. South African Institute of Mining and Metallurgy, Vacation School, “The Use of Rock Mechanics Principles in Practical Underground Mine Design” Design”, University University of Witwatersrand, Witwatersrand, J ohanesburg, 1976. 1976. Talo Talob bre D.F., D.F., “La Méc Mécan aniq iqu ue de des Roch Roches”, Deu Deuxiem ieme Edit Editio ion n, Dun Dunod, Paris Paris,, 1967.
Batuan dan Mekanika Batuan-13
Batuan dan Mekanika Batuan-14
MODUL PELATIHAN APLIKASI MEKANIKA BATUAN DI BIDANG PERTAMBANGAN
BATUAN DAN MEKANIKA BATUAN
DIREKTORAT JENDERAL PERTAMBA NGAN UMUM DEPARTEMEN PERTAMBANGAN DAN ENERGI 1998
Batuan dan Mekanika Batuan-15
2.1. DEFINISI TEGANGAN (STRESS) DAN REGANGAN (STRAIN)
J ika sebuah batang prisma diberi tarikan dengan gaya yang terbagi rata di sepanjang ujungnya (Gambar 1), gaya dalam juga terbagi merata dii sepanjang potongan penampang sembarang mm. Tegangan (stress) pada potongan penampang mm tersebut adalah gaya P dibagi dengan luas potongan penampang A (Gambar 1.b). P A
σ =
Regangan panjang
(strain)
dari
batang
prisma tersebut adalah pertambahan
dari batang prisma tersebut dibagi dengan panjang mula-mula
(Gambar 1.a).
ε =
Gambar 1.
Δl l
Batang prisma mengalami tarikan
Analisis Tegangan dan Regangan-1
Tegangan
pada
penampang A' =
potongan
penampang
miring
dengan
luas
A ada 2 buah yaitu tegangan normal (normal stress) cos θ
σn
yang tegak lurus pada bidang potongan dan tegangan geser (shear stress)
τnt yang sejajar dengan bidang potongan.
S =
P P = cos θ =σ.cos θ A' A
σn = S cos θ =σ cos2θ =σ (
1+ cos 2θ ) 2
τnt = S sin θ =σ cos θ sin θ =1/2 σ sin 2 θ σn maksimum pada θ = 0 yang besarnya σn =σ τnt maksimum pada θ =450 yang besarnya τnt =1/2 σ Tegangan tergantung pada : a. Titik dimana ia dikenakan. b. Orientasi dari luas permukaan dimana ia dikenakan. c. Sistem dari gaya-gaya luar yang dikenakan pada sebuah benda. Misalkan titik P berada ditengah-tengah sebuah empat pesegi panjang kecill (Gambar 2) di mana bidang yang berhadapan sejajar menurut koordinat kartesian x, y, z. Konvesi untuk menggambarkan tegangan normal dan tegangan geser seperti terlihat pada Gambar 2. Tegangan normal yang bekerja pada bidang normal terhadap sumbu x diberi simbol σx . Tegangan geser yang bekerja searah dengan sumbu y pada bidang normall terhadap sumbu x diberi simbol τxy . Tegangan geser yang bekerja searah dengan sumbu z pada bidang normal terhadap sumbu x disebut τxz.
Analisis Tegangan dan Regangan-2
Gambar 2.
Komponen-komponen tegangan di sebuah empat persegi panjang
Demikianlah definisi yang sama untuk σy, σz, τyz, τyx, τzx dan τzy. Tegangan normal σx, σy dan σz positif jika arahnya keluar dari permukaan, menggambarkan tegangan tarik. Tegangan normal negatif adalah tegangan tekan dimana arahnya menuju ke permukaan elemen. Tegangan geser τxy, τyx, τyz, τzy, τxz dan τzx adalah positif jika arahnya searah dengan arah kartesian positif. Akan diperlihatkan selanjutnya bahwa dari enam komponen kartesian dari tegangan geser hanya tiga yang bebas. Titik P terletak ditengah-tengah empat persegi panjang. Dalam keadaan setimbang, momen gaya-gaya ke titik P pada arah sumbu x sama dengan nol.
ΣMX =
τ yz dx dz dy
2
+
τ yz dx dz dy
2
−
τ zy dx dy dz
2
−
τ zy dx dy dz
2
=0
Persamaan yang sama diperoleh untuk ΣMy dan ΣMz dengan masingmasing pada arah sumbu y dan z.
Analisis Tegangan dan Regangan-3
Setiap persamaan dibagi dengan dx dy dz, maka didapat :
τxy =τyx τyz =τzy τzx =τxz Ini memperlihatkan bahwa sepasang tegangan geser mempunyai nilai dan tanda yang sama.
2.2. ANALISIS TEGANGAN PADA BIDANG
Gambar 3.a memperlihatkan diagram tegangan yang bekerja pada sebuah benda berbentuk segi empat dalam dua dimensi (bidang) dengan sumbu x dan y. Pada bidang miring di mana normalnya membuat sudut θ terhadap sumbu x bekerja tegangan normal σn dan tegangan geser τnt yang nilainya merupakan fungsi dari σx , σy dan τxy yang bekerja pada bidangbidang yang tegak lurus sumbu x dan y (Gambar 3.b).
Gambar 3.
Diagram tegangan pada bidang
Analisis Tegangan dan Regangan-4
Ax = An cos θ Ay = An sin θ dengan Ax = luas penampang bidang yang 1 sumbu x Ay = luas penampang bidang yang 1 sumbu y An = luas penampang bidang miring. Dalam keadaan setimbang :
ΣF σn = 0 σn . An =σx cos θ . Ax +σy sin θ . Ay +τxy sin θ . Ax - τyx cos θ . Ay σn . An =σx cos θ . An cos θ +σy sin θ . An sin θ +τxy sin θ . An . cos θ +τyx cos θ . An sin θ
σn =σx cos 2 θ +σy sin 2 θ +2 τxy sin θ cos θ σn =
σx
+σ y 2
+
σ x − σ y
2
cos 2θ + τ xy sin 2θ
(1)
ΣFτnt =0 τnt . An =σx sin θ . Ax - σy cos θ . Ay - τxy cos θ . Ax +τxy sin θ . Ay τnt . An =σx sin θ . An cos θ - σy cos θ . An sin θ - τxy cos θ . An cos θ +τyx sin θ . An sin θ
τnt =σx sin θ cos θ - σy cos θ sin θ - τxy cos 2 θ +τyx sin 2 θ τnt =(σx - σy) sin θ cos θ - τxy (cos 2 θ - sin 2 θ) τnt =
σ x − σ y
2
sin 2θ − τ xy cos 2θ
(2)
Persamaan 1 dan 2 memberikan besar dan tanda dari σn dan τnt yang bekerja pada bidang miring yang normalnya membuat sudut θ terhadap sumbu
x.
Perioda
persamaannya
dari
merupakan
tegangan-tegangan fungsi
dari
ini
adalah
π
karena
sin 2θ dan cos 2θ. Sehingga
tegangan-tegangan tersebut mempunyai nilai maksimum dan minimum atau konstan.
Analisis Tegangan dan Regangan-5
Turunan tegangan normal σn terhadap θ sama dengan nol memberikan : dσ n = − (σ x − σ y ) sin2θ 1 + 2τ xy cos 2θ 1 = 0 dθ
dimana
θ1 digunakan untuk menggantikan θ yang menyatakan sudut
spesifik. Besarnya θ1 adalah :
θ1 =½ tan-1
2τ xy σ x
− σ y
Dari persamaan ini didapat dua nilai yaitu θ1 dan θ1+900 . Satu sudut akan memberikan arah dari tegangan normal maksimum dan sudut lainnya akan memberikan arah dari tegangan normal minimum. J ika θ1 = 0, maka dari persamaan 1 didapat :
σmax = σmin =
σx
+σy 2
σ x +σ y
2
+ −
σ x − σ y
2 σ x −σ y
2
Arah ini disebut arah prinsipal atau utama (principal direction) dan tegangan normal yang bersangkutan adalah tegangan prinsipal (principal stress) dimana σmax disebut major principal stress dan σmin disebut minor principal stress. Bidang di mana bekerja tegangan prinsipal disebut bidang prinsipal
(principal plane). Tidak ada tegangan geser yang bekerja pada bidang dimana tegangan normal maksimum atau minimum. Apabila arah prinsipal diambil sebagai sumbu x dan y,
τxy = 0 dan
persamaan 1 dan 2 disederhanakan menjadi :
σn = τnt =
σ max
+ σ min 2
σ max − σ min
2
+
σ max
− σ min 2
cos 2θ
sin 2θ
Variasi komponen tegangan σn dan τnt sesuai dengan variasi θ.
Analisis Tegangan dan Regangan-6
2.3. LINGKARAN MOHR DARI TEGANGAN
Pemecahan geometri untuk tegangan-tegangan dengan arah yang berbeda beda didapat dengan lingkaran Mohr. Untuk diagram tegangan seperti pada Gambar 3.a, maka urut-urutan untuk membuat lingkaran Mohr adalah sebagai berikut : a. Dibuat sumbu tegak untuk τ dan sumbu horisontal untuk σ. Kedua sumbu ini saling tegak lurus dan skala untuk kedua sumbu ini harus sama. b. Plot tegangan normal σx dan σx pada sumbu tegangan normal σ. c. Plot
tegangan geser
τxy yang bekerja dibagian kanan dari benda
langsung di bawah atau di atas titik yang menggambarkan
σx pada
sumbu tegangan normal. J ika arah tegangan geser berlawanan dengan arah jarum jam relatif terhadap titik pusat benda, plot τxy dibawah sumbu tegangan normal. J ika arah tegangan geser searah dengan arah jarum jam relatif terhadap titik pusat benda, plot τxy di atas sumbu tegangan normal. d. Plot tegangan geser τxy yang bekerja pada bidang yang sama dengan
σy, di atas titik yang menggambarkan σy pada sumbu tegangan normal jika searah dengan arah jarum jam dan di bawah titik tersebut jika berlawanan dengan arah jarum jam. e. Hubungkan kedua titik tegangan geser dengan sebuah garis lurus. Garis ini akan memotong sumbu tegangan normal pada titik 1/2 (σx +σy ). f. Gambarkan sebuah lingkaran dengan titik pusatnya pada sumbu tegangan normal di 1/2 (σx + σy) dan diameternya sama dengan panjang garis yang menghubungkan kedua titik tegangan geser.
Analisis Tegangan dan Regangan-7
Gambar 4.
Lingkaran Mohr dari tegangan
Dari Gambar 4 terlihat bawah proyeksi dari jari-jari lingkaran pada sumbu tegangan geser τ akan memberikan tegangan geser pada sudut tertentu, dan proyeksi dari ujung-ujung diameter lingkaran pada sumbu tegangan normal σ akan memberikan tegangan-tegangan normal pada sudut tertentu. J ari-jari antara
lingkaran lingkaran
adalah tegangan geser maksimum dan perpotongan Mohr dan sumbu tegangan normal adalah tegangan
prinsipal. Sudut θ1 adalah sudut yang dibentuk antara sumbu x dengan arah dari tegangan prinsipal. Dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa tegangan geser sama dengan nol jika tegangan normal maksimum dan minimum. Demikian juga
jika
tegangan
geser maksimum maka tegangan-tegangan normal sama dengan setengah dari jumlah tegangan-tegangan normal asal (original normal stresses). Sebagai titik pusat lingkaran selalu pada titik : σ x + σ y
2
=
o
σ n + σ n + 90
2
2.4. ANA LISIS REGANGAN Analisis Tegangan dan Regangan-8
Ada dua jenis deformasi yang dapat terjadi pada sebuah benda jika mengalami tegangan : a. Perubahan panjang dari sebuah garis lurus. Perubahan panjang persatuan unit panjang mula-mula disebut regangan longitudinal (longitudinal strain) yang didefinisikan sebagai ε
= lim L→ 0
∂ L
ΔL
dengan ∂L = perubahan panjang
ΔL = panjang mula-mula Regangan longitudinal positif jika terjadi pertambahan panjang dan negatif jika terjadi pengurangan panjang. b. Perubahan sudut dari sudut yang dibentuk oleh perpotongan dua buah garis lurus disebut regangan geser (shear strain). Gambar 5 memperlihatkan satu sudut dari segi empat yang mengalami tegangan. AOB
= sudut sebelum mengalami tegangan.
A' O' B' = sudut sesudah mengalami tegangan. Titik O pindah ke O', titik A pindah ke A' dan titik B pindah ke B' sesudah mengalami tegangan. Displacement dari titik dinyatakan dengan u, v dan w yang masing-masing
sejajar dengan x, y dan z, diasumsikan sebagai fungsi kontinu dari koordinat (x,y,z). J adi jika u adalah displacement dari titik O pada arah x, displacement dari titik A yang berada di dekatnya pada arah x adalah u +
∂ u ∂ x
Δ x.
Analisis Tegangan dan Regangan-9
O’A’’ = Δ x + u + A’A” = v +
∂ v ∂ x
∂ v ∂ x
Δ x − u= Δ x +
Δ x− v =
⎛ O’A’ = ⎜ Δ x + ⎝ ⎛ O’A’ = Δ x ⎜1+ ⎝
∂ v ∂ x
∂ u ∂ x
Δx
Δx
2
2
2
⎞ ⎛ ∂ v ⎞ ⎛ ∂ u ⎞ ∂ u ⎛ ∂ u ⎞ Δ x⎟ + ⎜ Δ x⎟ = Δ x 1+ 2 +⎜ ⎟ +⎜ ⎟ ∂ x ∂ x ⎝ ∂ x ⎠ ⎠ ⎝ ∂ x ⎠ ⎝ ∂ x ⎠ ∂ u
2
∂ u ⎞
⎟
∂ x ⎠
Perubahan panjang pada segmen O A :
⎛ ⎝
∂x = O'A' - OA = Δ x ⎜1+Δ x
∂ u ⎞
∂ u
Δx ⎟ → − Δ x= ∂ x ⎠ ∂ x
menurut definisi regangan :
x = Δx→ 0 Δ x
εx = lim
Gambar 5.
∂
Δx → ∂ x Δ x ∂ u
ε x
=
∂ u ∂ x
Hubungan antara regangan dan displacement
Melihat Gambar 5 dan mengingat bahwa sudut-sudut Δθ1 dan Δθ2 adalah Analisis Tegangan dan Regangan-10
kecil serta tegangan juga kecil terhadap unitnya, maka dapat ditulis persamaan sebagai berikut :
⎛ ∂ v ⎞ ⎜ ⎟ Δx ⎝ ∂ x ⎠ A ' A" = = tan Δθ1 = Δθ1 = O ' A" ⎛ ∂ v ⎞ Δ x+ ⎜ ⎟ Δ x ⎝ ∂ x ⎠
⎛ ∂ u ⎞ ⎜ ⎟ Δy ⎝ ∂ y ⎠ B 'B " tan Δθ2 = Δθ2 = = = O 'B " ⎛ ∂ u ⎞ Δ y+ ⎜ ⎟ Δ y ⎝ ∂ y ⎠
∂ v ∂ x
∂ u ∂ y
Per definisi, regangan geser (shear strain) γxy, dalam sudut A O B adalah Δθ1 +Δθ2 : ∂ u
γxy =
∂ y
+
∂ v ∂ x
Dengan cara yang sama untuk bidang yz dan zx, 6 komponen dari regangan dapat ditulis sebagai berikut :
εx = εy = εz =
∂ u ∂ x
∂ v ∂ y ∂ w ∂ z
regangan normal
γxy = γyz = γzx =
∂ u ∂ y ∂ v ∂ z
+
∂ x
+
∂ w ∂ x
∂ v
+
∂ w ∂ x ∂ u ∂ z
regangan geser
J ika u, v dan w adalah fungsi kontinu dari koordinat ruang x, y dab z dari sebuah benda, maka keenam persamaan di atas adalah keadaan (state) dari regangan sebuah titik di dalam benda.
2.5. DAFTAR PUSTAKA
Analisis Tegangan dan Regangan-11
Coates, D.F .,”Principes de la mécanique des roches”, Monographic 874 (revision 1970), Direction des Mines, Ministére de L’Energie des Mines et des resources, Ottawa, Canada. J aeger, J .C. and N.G.W. Cook, “Fundamentals of Rock Mechanics”, Second Edition, J ohn Wiley & Sons, Inc., New York, 1976. J umikis, A.R., “Rock Mechanics”, Second Edition, Trans Tech. Publications, Clausthal-Zellerfeld, Federal Republic of Germany, 1983. Talobre D.F., “La Mécanique des Roches”, Deuxieme Edition, Dunod, Paris, 1967. Timoschenko S.P., “Theory of Elasticity”, McGraw Hill, Inc., 1970.
Analisis Tegangan dan Regangan-12
MODUL PELATIHAN APLIKASI MEKANIKA BATUAN DI BIDANG PERTAMBANGAN
ANALISIS TEGANGAN DAN REGANGAN
DIREKTORAT JENDERAL PERTAMBA NGAN UMUM DEPARTEMEN PERTAMBANGAN DAN ENERGI 1998
Analisis Tegangan dan Regangan-13
Analisis Tegangan dan Regangan-14
1. PENDAHULUAN
Batuan mempunyai sifat-sifat tertentu yang perlu diketahui dalam mekanika batuan dan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Sifat fisik batuan seperti bobot isi, berat jenis, porositas, absorpsi, dan void ratio. b. Sifat mekanik batuan
seperti
kuat
tekan,
kuat
tarik, modulus
elastisitas, dan nisbah Poisson. Kedua sifat
tersebut dapat ditentukan baik di laboratorium maupun di
lapangan (in-situ). Penentuan di laboratorium pada umumnya dilakukan terhadap contoh (sample) yang diambil dilapangan. Satu contoh dapat digunakan untuk menentukan kedua sifat batuan. Pertama-tama adalah penentuan sifat fisik batuan yang merupakan uji tanpa merusak (non destructive test), kemudian dilanjutkan dengan penentukan sifat mekanik batuan yang merupakan uji merusak ( destructive test) sehingga contoh batu hancur.
2. PENENTUAN SIFAT FISIK BA TUAN DI LAB ORARORIUM
2.1 PEMBUATAN CONTOH
2.1.1 Di laborator ium
Pembuatan
contoh
dilaboratorium
dilakukan
dari
blok
batu yang
diambil di lapangan yang di bor dengan penginti laboratorium. Contoh yang Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-1
didapat berbentuk silinder dengan diameter pada umumnya antara 50 - 70 mm dan tingginya dua kali diameter tersebut. Ukuran contoh dapat lebih kecil maupun tergantung
lebih dari
besar
dari
maksud
ukuran
yang
disebut
di
atas
uji.
2.1.2 Di lapangan
Hasil pemboran inti ke dalam massa batuan yang akan berupa contoh inti batuan dapat digunakan untuk uji dilaboratorium
dengan syarat tinggi
contoh dua kali diameternya. Setiap contoh yang diperoleh kemudian diukur diameter dan tingginya, dihitung luas permukaan dan volumenya. 2.2
PENIMBANGAN BERAT CONTOH
a. Berat contoh asli (natural) : Wn. b. Berat contoh kering (sesudah dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam dengan temperatur kurang lebih 90oC) : Wo. c. Berat contoh jenuh (sesudah dijenuhkan dengan air selama 24 jam) : Ww. d. Berat contoh jenuh didalam air : Ws e. Volume contoh tanpa pori-pori : Wo - Ws. f. Volume contoh total : Ww - Ws. 2.3 SIFAT FISIK BATUAN
a. Bobot isi asli (natural density)
=
Wn Ww − Ws
b. Bobot isi kering (dry density)
=
Wo Ww − Ws
c. Bobot isi jenuh (saturated density)
=
Ws Ww − Ws
d. Berat jenis semu (apparent specific gravity) =
Wo / bobot isi air Ww − Ws
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-2
e. Berat jenis sejati (true specific gravity) =
Wo / bobot isi air Wo − Ws
f. Kadar air asli (natural water content)
=
Wn - Wo x 100 % Wo
g. Saturated water content (absorption)
=
Ww - Wo x 100 % Wo
h. Derajat kejenuhan
=
Wn - Wo x 100 % Ww - Wo
i. Porositas, n j.
=
Void ratio, e
=
Ww - Wo x 100 % Ww - Ws
n 1-n
3. PENENTUAN SIFAT MEKANIK BATUAN DI LABORATORIUM
3.1 UJI KUAT TEKAN (UNCONFINED COMPRESSIVE STRENGTH TEST)
Uji ini menggunakan mesin tekan (compression machine) untuk menekan contoh batu yang berbentuk silinder, arah
(uniaxial).
Penyebaran
balok
atau
prisma
tegangan di dalam contoh batu
teoritis adalah searah dengan gaya yang dikenakan tersebut.
Tetapi
dengan gaya yang pengaruh
dari
dalam
kenyataannya
dikenakan plat
dari satu
pada
penekan
pada
secara contoh
arah tegangan tidak searah contoh tersebut karena ada
mesin
tekan
yang
menghimpit
contoh. Sehingga bentuk pecahan tidak berbentuk bidang pecah yang searah dengan gaya melainkan berbentuk kerucut (Gambar 1).
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-3
Gambar 1.
Penyebaran tegangan di dalam contoh batu dan bentuk pecahannya pada uji kuat tekan
Perbandingan antara tinggi dan diameter contoh ( kuat tekan batuan. Untuk perbandingan
l
D
l
D
) mempengaruhi nilai
= 1, kondisi tegangan triaksial
saling bertemu (Gambar 2) sehingga akan memperbesar nilai kuat tekan batuan. Untuk uji kuat tekan digunakan 2 <
l
D
< 2,5.
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-4
Gambar 2.
Kondisi tegangan di dalam contoh untuk
Makin besar
l
D
l
D
berbeda
maka kuat tekannya akan bertambah kecil seperti
ditunjukkan oleh persamaan di bawah ini :
-
Menurut ASTM
:
-
Menurut Protodiakonov :
σ
σ
c(l = D) =
c(l =2D) =
σ
c
0,778 +
0,222 l /D
8 σ c 2 7 + l D
dengan σc = kuat tekan batuan
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-5
Gambar 3.
Regangan yang dihasilkan dari uji kuat tekan batuan
Perpindahan dari contoh batu baik aksial ( Δ
l
) maupun
lateral (ΔD)
selama uji berlangsung dapat diukur dengan menggunakan dial gauge atau electric strain gauge (Gambar 4). Dari hasil uji kuat tekan, dapat digambarkan kurva tegangan-regangan (stress-strain) untuk tiap contoh batu. Kemudian dari kurva ini dapat ditentukan sifat mekanik batuan (Gambar 5) : 1. Kuat tekan
= σc
2. Batas elastik
= σE
3. Modulus Young : E = 4. Poisson's ratio : ν
Δσ Δε a =
ε l1
pada tegangan σ1
ε a1
Beberapa definisi modulus Young 1. Modulus Young Tangen (Tangent Young’s Modulus), E t (Gambar 6.a) Diukur pada tingkat tegangan = 50 % σc. Et =
Δσ Δε a
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-6
Gambar 4.
Pengukuran perpindahan menggunakan dial gauge dan electric strain gauge
Gambar 5.
Kurva tegangan-regangan hasil uji kuat tekan Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-7
2. Modulus Young Rata-rata ( Average Young’s Modulus), E av (Gambar 6.b) Diukur
dari
rata-rata
kemiringan
kurva atau bagian linier yang
terbesar dari kurva. E av =
Δσ Δε a
3. Modulus Young Sekan (Secant Young's Modulus), E s (Gambar 6.c) Diukur
dari
tegangan = 0 sampai nilai tegangan tertentu, yang
biasanya 50 % σc. Es =
Δσ Δε a
Gambar 6.
Beberapa definisi modulus Young
Gambar 7.
Definisi modulus Young menurut Hawkes
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-8
Gambar 8.
Kurva tegangan-regangan contoh batu kapur
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-9
3.2
UJI KUAT TARIK TAK LANGSUNG (INDIRECT
TENSILE
STRENGTH TEST)
Uji
ini dilakukan untuk mengetahui kuat tarik (tensile
strength)
dari
contoh batu berbentuk silinder secara tak langsung. Uji cara ini dikenal sebagai uji tarik Brazil. Alat yang digunakan adalah mesin tekan seperti pada uji kuat tekan.
Gambar 9.
Uji kuat tarik
3.3 UJI POINT
LOAD
Uji ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan (strength) dari contoh batu secara tak langsung di lapangan. Contoh batu dapat berbentuk silinder atau tidak beraturan (Gambar 10). Peralatan
yang
digunakan
mudah
dibawa-bawa, tidak begitu besar dan cukup ringan (Gambar 11). Uji cepat,
sehingga kekuatan batuan dapat segera diketahui di lapangan,
sebelum uji di laboratorium dilakukan. Contoh yang disarankan untuk uji ini adalah yang
berbentuk
silinder
dengan diameter = 50 mm (NX =54 mm).
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-10
Gambar 10. Bentuk contoh batu untuk point load test
Gambar 11. Peralatan untuk point load test
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-11
Dari uji ini didapat : Is =
P D2
dengan Is
= Point load strength index (indeks Franklin)
P
= Beban maksimum sampai contoh pecah
D
= J arak antara dua konus penekan.
Hubungan antara indeks Franklin (I s) dengan kuat tekan (σc) menurut Bieniawski adalah sebagai berikut :
σc = 23 Is untuk diameter contoh = 50 mm. J ika Is = 1 MP a maka indeks tersebut tidak lagi mempunyai arti sehingga disarankan untuk menggunakan uji lain dalam penentuan kekuatan ( strength) batuan. 3.4
UJI TRIAKSIAL
Salah satu uji
yang
terpenting di dalam mekanika batuan untuk
menentukan kekuatan batuan di bawah tiga komponen tegangan adalah uji triaksial. Contoh yang digunakan berbentuk silinder dengan syarat-syarat sama pada uji kuat tekan. Dari hasil uji triaksial dapat ditentukan : -
strength envelope (kurva intrinsic),
-
kuat geser (shear strength),
-
sudut geser dalam (φ),
-
kohesi (C).
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-12
Gambar 12. Uji triaksial
Gambar 13. Lingkaran Mohr dan kurva intrinsic dari hasil uji triaksial
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-13
Gambar 14 memperlihatkan kurva tegangan-regangan dari hasil uji di laboratorium terhadap contoh batu marmer dengan berbagai nilai tekanan pemampatan (σ3). Naiknya σ3 akan memperbesar kekuatan batuan, tetapi modulus deformasi konstan.
Gambar 14. Pengaruh besarnya tekanan pemampatan (σ3) terhadap kekuatan batuan (Von Karman, 1911)
3.5
UJI
PUNCH SHEAR
Uji ini untuk mengetahui kuat geser (shear strength) dari contoh batu secara langsung. Contoh berbentuk silinder tipis yang ukurannya sesuai dengan alat uji punch dengan tebal t cm dan diameter d cm (Gambar 15). Sesudah contoh dimasukkan ke dalam alat uji punch kemudian ditekan dengan mesin tekan sampai contoh pecah (P kg). Kuat geser (shear strength) =
P kg/cm2 π . d. t
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-14
Gambar 15. Uji punch shear
3.6 UJI GESER LANGSUNG
Uji ini untuk mengetahui kuat geser batuan pada tegangan normal tertentu. Dari hasil uji dapat ditentukan (Gambar 16) : -
garis Coulomb's shear strength,
-
kuat geser (shear strength),
-
sudut geser dalam (φ),
-
kohesi (C).
3.7 UJI KECEPATAN RAMBA T GELOMBANG ULTRA SONIK
Modulus Young (E) dan nisbah Poisson ( ν) dapat juga ditentukan secara tidak
langsung (dinamis) dengan uji kecepatan rambat gelombang ultra
sonik yaitu mengukur kecepatan rambat gelombang ultra sonik pada contoh batu. Dari hasil uji ini akan didapat nilai-nilai cepat rambat gelombang primer (vp) dan cepat rambat gelombang sekunder (vs). Kemudian dapat dihitung modulus Young dan nisbah Poisson dari batuan yang diuji.
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-15
Gambar 16. Uji geser langsung dan garis Coulomb’s shear strength
Perhitungan hasil uji kecepatan rambat gelombang ultra sonik : a. Cepat rambat gelombang primer (vp) vp =
L m/detik tp
dengan
L
= panjang contoh (m)
tp
= waktu yang dibutuhkan gelombang primer merambat sepanjang contoh (detik)
b. Cepat rambat gelombang primer (vs) vs =
L m/detik ts
dengan
L
= panjang contoh (m)
ts
= waktu yang dibutuhkan gelombang sekunder merambat sepanjang contoh (detik)
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-16
c. Modulus kekakuan dinamik (modulus geser), G G =ρ.vs2 dengan ρ = massa per satuan volume d. Nisbah Poisson (ν) 2 ⎧⎪ ⎛ vs ⎞ ⎫⎪ ⎨1− 2⎜⎝ ⎠⎟ ⎬ vp ⎪ ⎪⎩ ⎭ ν= ⎧⎪ ⎛ vs ⎞ 2 ⎫⎪ 2⎨1− ⎜ ⎟ ⎬ ⎪⎩ ⎝ vp ⎠ ⎪⎭
e. Modulus Young dinamik E = 2 (1+ν) G kg/cm2 f. Kontanta Lame
λ =ρ (vp2 – 2 vs2) g. Modulus ruah K=
ρ
3
(3 vp2 – 4 vs2) kg/cm2
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-17
4. PENGGUNAAN SIFAT MEKANIK B ATUAN HASIL UJI LABORATORIUM
Dalam Tabel 1 diberikan ringkasan mengenai jenis uji laboratorium untuk mendapatkan parameter mekanik batuan dan penggunaan parameter tersebut. Tabel 1.
J enis uji sifat mekanik di laboratorium dan penggunaan parameter hasil ujinya
Jenis Uji
Parameter yang diperol eh
Penggunaan
Uji kuat tekan
- Kuat tekan (σc) - Batas elastik (σE) - Modulus Young (E) - Nisbah Poisson (ν)
- Rancangan pilar - Kemantapan lubang bukaan - Kemantapan fondasi - Kemantapan lereng
Uji kuat tarik tak langsung
Kuat tarik (σt)
- Rancangan penguatan atap terowongan - Peledakan
Uji point load
- Indeks point load (Is) - Kuat tekan (σc)
Mengetahui kekuatan batuan secara cepat
Uji triaksial
- Selubung kekuatan batuan - Kohesi (C) - Sudut geser dalam (φ)
- Kemantapan lereng - Kemantapan fondasi - Kemantapan lubang bukaan
Uji punch shear
Kuat geser
- Kemantapan lereng - Kemantapan bendungan
Uji geser langsung
- Garis kuat geser Coulomb - Kohesi (C) - Sudut geser dalam (φ)
- Kemantapan lereng - Kemantapan fondasi - Kemantapan lubang bukaan
Uji kecepatan rambat gelombang ultra sonik
- Kecepatan rambat gelombang tekan (vp) - Kecepatan rambat gelombang geser (vs) - Modulus elastistas dinamik (E) - Nisbah Poisson dinamik (ν)
Rancangan penggalian
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-18
5. PENENTUAN SIFAT MEKANIK BATUAN IN-SITU
Dilakukannya uji in-situ untuk menentukan sifat mekanik batuan lebih menguntungkan dibandingkan dengan uji di laboratorium karena menyangkut volume batuan yang besar sehingga hasilnya lebih representatif dan lebih menggambarkan keadaan massa batuan yang sebenarnya. Gambar 17 memperlihatkan bertambahnya jumlah kekar dengan bertambah besarnya ukuran contoh.
Gambar 17. Bertambahnya jumlah kekar dengan bertambah besarnya ukuran contoh (Hoek & Brown, 1980)
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-19
5.1
UJI BEBAN BATUAN (ROCK LOA DING TEST/JACKING
TEST)
Uji beban batuan dilakukan untuk menentukan besaran dari modulus deformasi atau modulus elastisitas massa batuan di dalam sebuah lubang bukaan. Kemampuanrubahan (deformability) suatu massa batuan in-situ biasanya ditentukan dengan cara mendongkrak batuan tersebut ( jacking test). Peralatan yang digunakan untuk jacking test seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 18. Uji ini dilakukan di bawah tanah di dalam sebuah lubang bukaan batuan atau lebih dikenal dengan istilah test adit. Dongkrak menekan atap dan lantai lubang bukaan atau menekan dinding yang pada bagian kontaknya merupakan permukaan plat yang rata. Hasil dari uji ini adalah deformasi atap dan lantai atau dinding akibat pembebanan oleh jack tersebut. Deformasi ini diukur dengan dial gauge dan extensometer pada berbagai kedalaman. Modulus deformasi atau modulus elastisitas dapat dihitung dengan persamaan ini :
⎛ 1− ν 2 ⎞ ΔF ⎟⎟ E = ⎜⎜ 2 a ⎝ ⎠ ΔW dengan : E
= ν = a = F = W =
modulus deformasi/elastisitas Poisson's ratio jari-jari plat distribusi penambahan beban (increment of load) penambahan perpindahan (increment of displacement)
Gambar 19 memperlihatkan contoh kurva tekanan dan perpindahan dari jacking test dan
Gambar 20 memperlihatkan contoh diagram regangan
pada kedalaman tertentu dari jacking test.
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-20
Gambar 18. Peralatan untuk uji beban batuan
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-21
Gambar 19. Diagram tekanan-perpindahan dari jacking test
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-22
Gambar 20. Diagram regangan-kedalaman dari jacking test
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-23
5.2 UJI GESER BL OK
Uji geser blok dilakukan untuk mendapatkan nilai kuat geser ( shear strength) dan parameter deformasi di daerah geser (shear zone) atau pada massa batuan yang banyak mengandung bidang-bidang diskontinuitas. Uji ini harus dilakukan pada daerah yang strukturnya merupakan bagian dari konstruksi bawah tanah yang akan dibuat. Bagian batuan yang akan diuji harus sebesar mungkin. Ukuran batuannya tidak kurang dari 40 x 40 cm dengan tinggi 20 cm. Bila ukurannya lebih besar dari 40 x 40cm, maka perbandingan panjang, lebar, dan tinggi biasanya 2 : 2 : 1. Kadang-kadang landasannya merupakan blok yang ukurannya 0,70 m x 0,70m, bahkan dapat juga 1,0 x 1,0 m. Gambar 21 memperlihatkan peralatan dan tata letaknya di dalam sebuah lubang bukaan. Setelah persiapan selesai, beban tangensial dan beban normal dilakukan kepada blok batuan dengan dongkrak hidrolik. Untuk uji di dalam lubang bukaan, dongkrak hidrolik menyangga atap dan dinding lubang tersebut. Dongkrak vertikal memberikan beban normal pada blok dan dongkrak miring atau horisontal memberikan beban tangensial (geser). Arah penekanan blok batu oleh dongkrak sebaiknya membentuk sudut sekitar 15o untuk menghindari rotasi blok dan meringankan beban geser. Pengukuran deformasi dilakukan selama pembebanan dan pelepasan beban dengan menggunakan dial gauge. Uji ini juga akan memberikan besaran
sudut
ketahanan geser dari batuan. S =σn.tan φ + C dengan : S = kuat geser (shear strength)
σn
=
beban normal di atas bidang geser
φ
=
sudut ketahanan geser dari batuan
C = kohesi batuan
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-24
Gambar 21. Peralatan uji geser blok Sifat Fisik dan Mekanik Batuan-25
5.3 UJI TRIAKSIAL IN-SITU IN-SITU
Uji ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik deformasi dan kekuatan batuan pada kondisi pembebanan triaksial. Tempat uji adalah di dalam lubang bukaan bawah tanah. Kontak permukaan lantai, atap dan dinding yang akan dikenakan beban berukuran sekitar sekitar 1,0 m x 1,0 m. m. Perala P eralatan tan dan tata tata letaknya dapat dilihat pada Gambar 22. Pembebanan ke arah vertikal dilakukan oleh dongkrak hidrolik, sedangkan untuk arah horisontal oleh flat jack. Dudukan flat jack dibuat dengan cara menggali bagian lantai. Ruang antara flat jack dengan dinding batuan yang akan ditekan diisi oleh semen. Agar dapat diperoleh nilai deformasi, maka dipasang
tiga
buah
bore
hole
extensometer
sepanjang
masing-masing + 1,0 m dan electric displacement transducer untuk mengukur perpindahan (displacement) vertikal. Sedangkan untuk arah horisontalnya, perpindahan diukur dengan deflectometer dan electric displacement transducer atau Linear Variable Differential Transducer
(LVDT). P ada sebuah terowongan terowongan dilakukan uji uji triaksial in-situ. in-situ. Pem P embebanan bebanan maksimum ke arah vertikal adalah 60 kgf/cm2 dan ke arah horisontal sampai mencapai 80 kgf/cm2. Kadang-kadang tekanan ke arah horisontal sampai mencapai 200 kgf/cm2 . Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 2. EV adalah adalah modulus
untuk
pembebanan pembebanan
statik
yang
menaik. EA adalah adalah modulus untuk pembebanan pembebanan statik yang menurun.
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -26
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -27
Gam Gambar 22. P eralatan uji triaksia triaksiall in-situ in-situ
Tab Tabel 2.
Hasi Hasill uji triaksi aksia al in-s in-sit itu u
Siklus No.
1
Interval Tegangan Vertikal 2 kgf/cm
5,0 - 30,0 30,0 -
2
113.00 .000
0,5
0,31 - 0,06
5,0 - 40,0
0,06 ,06 - 0,30 ,30
5,0
0,30 - 0,06
5,0 - 40,0
0,06 ,06 - 0,27 ,27
5,0
0,27 - 0,04
5,0 - 60,0
0,04 ,04 - 0,64 ,64
5,0
0,64 - 0,24
5,0 - 60,0
0,24 ,24 - 0,72 ,72
60,0 7
0,00 ,00 - 0,22 ,22
0,07 ,07 - 0,31 ,31
60,0 6
kgf/cm
5,0 - 10,0
40,0 5
mm
0,22 - 0,07
40,0 4
EV Modulus
5,0
40,0 3
Interval perpindahan
5,0
0,72 - 0,34
5,0 - 60,0
0,34 ,34 - 0,68 ,68
60,0 -
5, 5,0
0,68 - 0,52
2
E A Modulus kgf/cm
2
160.000 145.00 .000 140.000 145.00 .000 145.000 166.00 .000 152.000 144.00 .000 137.000 144.00 .000 144.000 161.00 .000 (375.000)
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -28
6. PENGGUNAAN PENGGUNAAN SIFAT SIFAT MEKA MEKA NIK BATUAN BA TUAN HASIL UJI IN-SITU IN-SITU
Dalam Tabel 3 diberikan ringkasan mengenai jenis uji in-situ untuk mendapatkan parameter mekanik batuan dan penggunaan parameter tersebut. Tab Tabel 3.
J enis uji sif sifat mekanik in-s in-sit itu u dan peng enggunaan aan parameter hasil ujinya
Jenis Uji
Parameter Parameter yang diperol eh
Penggunaan
Uji beban batuan batuan
- P arameter arameter deformasi deformasi - P arameter arameter kekuatan kekuatan
- Kemantapan lubang bukaan - Kemantapan lereng
Uji geser blok
- Selubung kekuatan kekuatan batuan - Kohesi (C) - Sudut geser dalam (φ)
- Kemantapan lubang bukaan - Kemantapan lereng
Uji triaksial in-situ
Modulus Y oung (E) (E )
- Kemantapa emantapan n lubang bukaan - Kemantapan lereng
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -29
7. PENENTUAN JUMLAH CONTOH
Dengan statistik, jumlah contoh yang dibutuhkan dalam uji di laboratorium untuk penentuan sifat fisik dan sifat mekanik sebuah batuan dengan ketelitian yang dikehendaki dapat dihitung sebagai berikut : X = μ - kσ
dengan : X
= nilai yang diambil (diperkirakan)
μ
= nilai rata-rata dari populasi
σ
= simpangan baku dari populasi.
J ika ada n contoh, maka dapat diketahui X* X* =μ* - kσ* dimana tanda * menyatakan nilai yang diperkirakan. Ketelitian (precision) ε di mana diketahui X adalah : X − X * .
J ika jumlah contoh banyak, maka ε =tα
var(X *)
dengan : t adalah hazard dari Gauss, untuk a = 0,05 → t ≅ 2 var = variansi Dapat ditulis :
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -30
var (X*) = var (μ*) +k2 var (σ*) var (μ*) =
var (σ*) =
var (X*) =
2
n
σ
2
2(n − 1)
σ
2
n
+ k2
σ
2
2(n − 1)
= σ2
k2 + 2 2n
k2 + 2 2n
e = tα.σ
k2 + 2 2 2 ε
2 σ
n = tα
σ
2
q=
σ
→ qμ =σ
μ
2 2 μ ⎞ ⎛ 2 k +2 n= ⎜ ⎟ q tα 2 ⎝ ε ⎠ 2
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -31
Gambar 23. Kurva jumlah contoh terhadap ketelitian relatif Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -32
untuk t = 2 dan q = 0,5
8. DAFTAR PUSTAKA
Brady B.H.G. dan E.T. Brown, “Rock Mechanics for Underground Mining”, George Allen & Unwin, London, 1985. Coates D.F.,”Principes de la mécanique des roches”, Monographic 874 (revision 1970), Direction des Mines, Ministére de L’Energie des Mines et des resources, Ottawa, Canada. J umikis A.R., “Rock Mechanics”, Second Edition, Trans Tech. P ublications, Clausthal-Zellerfeld, Federal Republic of Germany, 1983. Talobre D.F., “La Mécanique des Roches”, Deuxieme Edition, Dunod, Paris, 1967.
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -33
MODUL PELATIHAN APLIKASI MEKANIKA BATUAN DI BIDANG PERTAMBANGAN
SIFAT FISIK DAN MEKANIK BATUAN
DIREKTORAT JENDERAL PERTAMBANGAN UMUM DEPARTEMEN PERTAMBANGAN DAN ENERGI 1998
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -34
MODUL PELATIHAN APLIKASI MEKANIKA BATUAN DI BIDANG PERTAMBANGAN
BATUAN DAN MEKANIKA BATUAN
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -35
DIREKTORAT JENDERAL PERTAMBA NGAN UMUM DEPARTEMEN PERTAMBANGAN DAN ENERGI 1998
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -36
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -37
Sifat Fisik dan Mekanik Batuan -38
1. PENDAHULUAN
Batuan mempunyai perilaku (behaviour ) yang berbeda-beda pada saat menerima beban. P erilaku batuan ini dapat ditentukan antara lain di laboratorium dengan uji kuat tekan. Dari hasil uji dapat dibuat kurva tegangan-regangan, kurva creep dari uji dengan tegangan konstan, dan kurva relaksasi dari uji dengan regangan konstan. Dengan mengamati kurva-kurva tersebut dapat ditentukan perilaku dari batuan.
2. ELASTIK DAN ELASTO-PLASTIK
Perilaku batuan dikatakan elastik (linier maupun non linier) jika tidak terjadi deformasi permanen pada saat tegangan dibuat nol.
Gambar 1.
Kurva tegangan-regangan dan regangan-waktu untuk perilaku batuan elastik linier dan elastik non linier
Plastisitas adalah karakteristik batuan yang mengijinkan regangan (deformasi) permanen yang besar sebelum batuan tersebut hancur ( failure).
Perilaku Batuan-1
Gambar 2.
Kurva tegangan-regangan dan regangan-waktu untuk perilaku batuan elasto-plastik
Gambar 3.
Kurva tegangan-regangan untuk perilaku batuan elasto-plastik sempurna
Gambar 4.
Kurva tegangan-regangan untuk perilaku batuan elastik fragile
Perilaku Batuan-2
Perilaku batuan sebenarnya yang diperoleh dari uji kuat tekan digambarkan oleh Bieniawski (1984) seperti pada Gambar 5. Pada tahap awal batuan dikenakan gaya, kurva berbentuk landai dan tidak linier yang berarti bahwa gaya yang diterima oleh batuan dipergunakan untuk menutup rekahan awal (pre-existing cracks) yang terdapat di dalam batuan. Sesudah itu kurva
menjadi linier sampai batas tegangan tertentu yang kita kenal dengan batas elastik (σE ) lalu terbentuk rekahan baru dengan perambatan stabil sehingga kurva tetap linier. Sesudah batas elastik dilewati maka perambatan rekahan menjadi tidak stabil, kurva tidak linier lagi dan tidak berapa lama kemudian batuan akan hancur. Titik hancur ini menyatakan kekuatan batuan.
Gambar 5.
Tahap utama perilaku dari sebuah batu (Bieniawski, 1984)
Kekuatan batuan yang diperoleh dari hasil uji kuat tekan di laboratorium sangat dipengaruhi oleh lamanya uji tersebut berlangsung. Gambar 6 memperlihatkan bahwa makin lama uji berlangsung maka kekuatannya makin rendah, demikian juga dengan nilai modulus deformasinya.
Perilaku Batuan-3
Gambar 6.
Pengaruh waktu uji terhadap kekuatan dan bentuk kurva tegangan-regangan batuan (Bieniawski, 1984)
3.
DAN RELAKSASI BATUAN
CREEP
Gambar 7 menunjukkan bahwa di daerah I dan II pada kurva tegangan-regangan masing-masing menyatakan keadan tidak ada creep dan creep stabil. Sehingga di daerah tersebut kestabilannya adalah untuk jangka
panjang, karena regangan tidak akan bertambah sampai kapanpun pada kondisi tegangan konstan. Daerah III terjadi creep dengan kestabilan semu yang pada saat tertentu akan terjadi failure. Daerah IV terjadi creep yang tidak stabil dimana pada beberapa saat saja terjadi failure.
Perilaku Batuan-4
Gambar 7.
Daerah terjadinya creep pada kurva tegangan-regangan dan regangan-waktu
Seperti pada creep batuan, relaksasi batuan juga akan terjadi di daerah yang sama pada kurva tegangan-regangan (Gambar 8).
Gambar 8.
Daerah terjadinya relaksasi pada kurva tegangan-regangan dan regangan-waktu
Perilaku Batuan-5
4. HUBUNGAN TEGANGAN DAN REGANGAN UNTUK PERILAKU BATUAN ELASTIK LINIER DAN ISOTROP
a. Batuan dikenakan tegangan sebesar σ1 pada arah (1), sedangkan pada arah (2) dan (3) = 0 (Gambar 9). ε 1
=
Gambar 9.
σ 1
ε 2
E
=−
νσ 1 E
ε 3
= −
νσ 1 E
Tegangan uniaksial dan triaksial pada batuan
b. Batuan
dikenakan
tegangan
sebesar
σ2 pada
arah (2),
sedangkan tegangan pada arah (1) dan (3) = 0. ε 1
=−
νσ 2 E
ε 2
=
σ 2
ε 3
E
=−
νσ 2 E
c. Batuan dikenakan tegangan sebesar σ3 pada arah (3), sedangkan tegangan pada arah (1) dan (2) = 0 ε 1
=−
νσ 3 E
ε 2
=−
νσ 3 E
ε 3
=
σ 3 E
Perilaku Batuan-6
d. Batuan dikenakan tegangan :
σ1 pada arah (1)
ε1 total =
σ 1
σ2 pada arah (2)
ε2 total =
σ 2
σ3 pada arah (3)
ε3 total =
σ 3
Bentuk
umum
hubungan
E
E
E
−
ν
−
ν
−
ν
regangan
E
E
E
(σ 2 + σ 3 ) (σ 1 + σ 3 ) (σ 1 + σ 2 )
dan tegangan adalah sebagai
berikut : 1 + ν ⎞ εi = ⎛ ⎜ ⎟ σ i E ⎝ ⎠
-
ν
N
E
(arah prinsipal)
dengan N = σ1 +σ2 +σ3 i bervariasi dari 1 sampai 3. J ika tidak pada arah prinsipan maka hubungan antara regangan dan tegangan adalah : 1 + ν ⎞ εij = ⎛ ⎜ ⎟ σ i j ⎝ E ⎠
ν
-
E
N x δ ij
i bervariasi dari 1 sampai 3 j bervariasi dari 1 sampai 3
⎛ ε 11 ⎜ Strain tensor : i ⎜ ε 21 ⎜⎝ ε 31 ⎛ σ 11 ⎜ Stress tensor : i ⎜ σ 21 ⎜⎝ σ 31
ε 12
ε 13 ⎞
⎟ ⎟ ε 33 ⎠
ε 22 ε 23⎟ ε 32
σ 12 σ 13 ⎞
⎟ ⎟ σ 33 ⎠
σ 22 σ 23⎟ σ 32
δij = 0 jika i ≠ j δij = 1 jika i = j Bentuk umum hubungan tegangan dan regangan adalah sebagai berikut :
σi =μεi + λξ
(arah prinsipal)
dengan ξ =ε1 +ε2 +ε3
Perilaku Batuan-7
i bervariasi dari 1 sampai 3 E
μ = λ =
2(1 + ν )
adalah modulus geser
E ν (1+ ν )(1− 2ν )
μ dan λ dikenal sebagai koefisien Lame J ika
tidak
pada arah prinsipal maka hubungan antara tegangan dan
regangan adalah :
σij
=
μεij + λξ x δij
i bervariasi dari 1 sampai 3 j bervariasi dari 1 sampai 3
5. HUBUNGAN TEGANGAN DAN REGANGAN PADA BIDANG UNTUK PERILAKU BATUAN ELASTIK LINIER DAN ISOTROP
Untuk menyederhanakan perhitungan hubungan antara tegangan dan regangan maka dibuat model dua dimensi di mana pada kenyataannya adalah tiga dimensi. Model dua dimensi yang dikenal adalah : 1. Regangan bidang (plane strain) 2. Tegangan bidang (plane stress) 3. Symmetrical revolution
5.1 REGANGAN BIDANG (PLANE STRAIN)
Misalkan sebuah terowongan yang mempunyai sistem sumbu kartesian x, y dan z dipotong oleh sebuah bidang dengan sumbu x, y (Gambar 10), sehingga :
Perilaku Batuan-8
εz
= 0
γyz = 0 (γyz = ε23) γxz = 0 (γxz = ε13)
Gambar 10. Regangan bidang
εz =
σ z
E
−
ν
E
(σx +σy) = 0
σz = ν (σx +σy) εx =
1 (σx – E
νσy – νσz) =
1 (σx – E
νσy – ν2σx – ν2σy)
εy =
1 (σy – E
νσx – νσz) =
1 (σy – E
νσx – ν2σx – ν2σy)
σx =
(1− ν )E (1+ ν )(1− 2ν )
σy τxy =
εx +
= E 2(1+ ν )
γxy
ν E
(1+ ν )(1− 2ν )
(1− ν )E (1+ ν )(1− 2ν )
εy
εy +
ν E
(1+ ν )(1− 2ν )
εx
denganτxy =σ12
γxy =ε12
Perilaku Batuan-9
Dalam bentuk matriks, maka hubungannya :
⎡ (1− ν )E ⎤ ν E 0 ⎢ ⎥ ⎧ σ x ⎫ ⎢ (1+ ν )(1− 2ν ) (1+ ν )(1− 2ν ) ⎥ ν E (1− ν )E ⎪ ⎪ ⎢ 0 ⎥ ⎨ σ y ⎬ = ⎢ ⎥ ⎪τ ⎪ ⎢ (1+ ν )(1− 2ν ) (1+ ν )(1− 2ν ) E ⎥ ⎩ xy ⎭ 0 0 ⎢ ⎥ 2(1+ ν )⎥⎦ ⎢⎣
5.2 TEGANGAN BIDANG (PLANE
⎧ ε x ⎫ ⎪ ⎪ ⎨ ε y ⎬ ⎪γ ⎪ ⎩ xy ⎭
STRESS)
Pada tegangan bidang maka seluruh tegangan pada salah satu sumbu sama dengan nol. Pada Gambar 11, σz = 0, τxz = 0, τyz = 0. 5.3
SYMMETRICAL REVOLUTION
Gambar 12 memperlihatkan jika sebuah benda berbentuk silinder diputar pada sumbunya maka benda tersebut dapat diwakili oleh sebuah bidang. Karena sumbunya merupakan sumbu simetri maka benda tersebut cukup diwakili oleh bidang yang diarsir.
Gambar 11. Tegangan bidang
Perilaku Batuan-10
Gambar 12. Symmetrical revolution
6. DAFTAR PUSTAKA
Coates, D.F .,”Principes de la mécanique des roches”, Monographic 874 (revision 1970), Direction des Mines, Ministére de L’Energie des Mines et des resources, Ottawa, Canada. J aeger, J .C. dan N.G.W. Cook, “Fundamentals of Rock Mechanics”, Second Edition, J ohn Wiley & Sons, Inc., New York, 1976. J umikis, A.R., “Rock Mechanics”, Second Edition, Trans Tech. Publications, Clausthal-Zellerfeld, Federal Republic of Germany, 1983. Talobre, D.F., “La Mécanique des Roches”, Deuxieme Edition, Dunod, Paris, 1967. Timoshenko S.P., and J .N. Goodier, “Theory of Elasticity”, McGraw Hill, Inc., 1970.
Perilaku Batuan-11
MODUL PELATIHAN APLIKASI MEKANIKA BATUAN DI BIDANG PERTAMBANGAN
ANALISIS TEGANGAN DAN REGANGAN
DIREKTORAT JENDERAL PERTAMBA NGAN UMUM DEPARTEMEN PERTAMBANGAN DAN ENERGI 1998
Perilaku Batuan-12
MODUL PELATIHAN APLIKASI MEKANIKA BATUAN DI BIDANG PERTAMBANGAN
ANALISIS TEGANGAN DAN REGANGAN
DIREKTORAT JENDERAL PERTAMBA NGAN UMUM DEPARTEMEN PERTAMBANGAN DAN ENERGI 1998
Perilaku Batuan-13
1. PENDAHULUAN
Kriteria failure batuan ditentukan berdasarkan hasil-hasil ( eksperimen). Ekspresi dari kriteria ini mengandung satu atau lebih parameter sifat mekanik dari batuan dan menjadi sederhana jika dihitung dalam 2 dimensi dengan asumsi regangan bidang (plane strain) atau tegangan bidang (plane stress). Pada tegangan bidang, dua tegangan prinsipal ( principal stresses) saja yang berpengaruh
karena satu tegangan utama sama dengan nol. Pada
regangan bidang, jika dipunyai σ1 > σ2 > σ3, maka intermediate principal stress σ2 merupakan fungsi dari dua tegangan utama lainnya atau kriteria failure hanya berfungsi pada dua tegangan utama tersebut (σ1 dan σ3 ).
Gambar 1 menunjukkan titik-titik dari permukaan relatif kekuatan ( strength) batuan yang diperoleh dari uji dolaboratorium yang biasa dilakukan. - Uji kuat tekan unconfined σ1 =σC , σ2 = σ3 = 0, digambarkan oleh titik C.
- Uji kuat tarik σ1 =σ2 = 0, σ3 =- σt , digambarkan oleh titik T.
- Uji triaksial σ1 >σ2 = σ3 , digambarkan oleh kurva CM.
Kriteria Failure Batuan-1
Gambar 1.
Ruang dari tegangan-tegangan hasil uji klasik di dalam mekanika batuan
2. TEORI MOHR
Teori Mohr menganggap bahwa : - untuk suatu keadaan tegangan σ1 > σ2 > σ3, (intermediate stress) tidak mempengaruhi failure batuan, -
kuat tarik tidak sama dengan kuat tekan.
Teori ini didasarkan pada hipotesa bahwa tegangan normal dan tegangan geser yang bekerja pada permukaan rupture memainkan peranan pada proses failure batuan. Untuk beberapa bidang rupture di mana tegangan normal sama besarnya, maka bidang yang paling lemah adalah bidang yang mempunyai tegangan geser paling besar sehingga kriteria Mohr dapat ditulis sebagai berikut : τ =f(σ)
dan digambarkan pada (σ,τ) oleh sebuah kurva pada Gambar 2.
Kriteria Failure Batuan-2
Gambar 2.
Kriteria Mohr : τ =f(σ)
Untuk keadaan tegangan
σ1 > σ2 > σ3 yang diposisikan pada bidang
(σ,τ), terlihat bahwa lingkaran Mohr (σ1,σ3) mempengaruhi kriteria failure. Failure terjadi jika lingkaran Mohr menyinggung kurva Mohr (kurva intrinsic)
dan lingkaran tersebut disebut lingkaran failure (Gambar 2). Kurva Mohr merupakan envelope dari lingkaran-lingkaran Mohr pada saat failure. Kurva ini tidak dapat dinyatakan dengan sebuah rumus yang
sederhana, melainkan didapat dari hasil percobaan dengan menggambarkan envelope dari beberapa lingkaran Mohr pada saat failure, pada berbagai
kondisi tegangan (Gambar 3). Kriteria Mohr juga dapat digunakan untuk mempelajari kekuatan geser ( shear strength) di dalam patahan, kekar, atau jenis-jenis diskontinuitas
lainnya
(Gambar 4).
Kriteria Failure Batuan-3
Gambar 3.
Kurva Mohr sebagai envelope dari lingkaran-lingkaran Mohr pada saat failure
Kriteria Failure Batuan-4
Gambar 4.
Kekuatan geser pada patahan
3. KRITERIA MOHR-COULOMB
Untuk mempermudah perhitungan di dalam mekanika batuan maka envelope Mohr dianggap sebagai garis lurus. Oleh karena itu didefinisikan kriteria Mohr-Coulomb sebagai berikut (Gambar 5). τ =C +μσ
dengan : τ = tegangan geser σ = tegangan normal
C = kohesi μ = koefisien geser dalam dari batuan = tan φ
Misalkan σ1 dan σ3 adalah tegangan-tegangan utama ekstrim, maka kriteria Mohr-Coulomb dapat ditulis : 2
2
σ1 {(1+μ ) - μ}- σ3 (1+μ ) ½
½
+μ}= 2 C
(1)
Dari persamaan (1) dapat disimpulkan bahwa batuan dapat mengalami rupture pada dua bidang dengan kondisi tegangan yang berbeda.
Kriteria Failure Batuan-5
Gambar 5.
Kriteria Mohr-Coulomb
Persamaan (1) dapat disederhanakan dan merupakan fungsi dari σC (kuat tekan) dan σt (kuat tarik). - Kondisi tekan : σ1 =σc, σ3 = 0 2
σ1 {(1+μ ) - μ} = 2 C
- Kondisi tarik
½
: σ1 = 0, σ3 = - σ T 2 σt = {(1+μ ) + μ} = 2 C ½
{1 + μ 2 }1/2 + μ = σ {1 + μ 2 }1/2 −μ
σ
c
(2)
t
Persamaan (1) dapat ditulis : σ 1 σ c
−
σ 3 σ t
=1
(3)
J ika tan φ =μ, persamaan (2) dapat ditulis : σ
c
σ
t
=
1+sinφ 1 − sinφ
Pada bidang (σ1,σ3), persamaan (3) digambarkan oleh garis EF (Gambar 5), tetapi karena σ1 >σ3, kriteria digambarkan oleh garis KF. Nilai σ1 dan σ3 di Kriteria Failure Batuan-6
mana terjadi failure terletak pada sudut BKF dan sudut AKF untuk kondisi tegangan di mana tidak terjadi failure. Teori ini memperkirakan bahwa σC > σt. Untuk μ = 1 artinya φ = 45o maka nilai σC = 5,8 σt . Hasil uji kuat tekan dan tarik untuk berbagai jenis batuan menunjukkan bahwa perbandingan
σ
c
σ
cenderung untuk lebih besar dari
t
5,8. Semakin besar perbandingan tersebut, batuan bersifat semakin getas dan cenderung mudah dipisahkan.
Gambar 6.
Faktor
Kriteria Mohr-Coulomb (kasus umum)
keamanan
(safety
factor )
dengan
menggunakan
kriteria
Mohr-Coulomb ditentukan berdasarkan jarak dari titik pusat lingkaran Mohr ke garis kekuatan batuan (kurva intrinsic) dibagi dengan jari-jari lingkaran Mohr (Gambar 9). Faktor keamanan ini menyatakan perbandingan keadaan kekuatan batuan terhadap tegangan yang bekerja pada batuan tersebut.
Kriteria Failure Batuan-7
Gambar 7.
Kriteria Mohr-Coulomb jika C =0
Gambar 8.
Kriteria Mohr-Coulomb jika φ =0 (pure cohesive material)
Kriteria Failure Batuan-8
Gambar 9.
Penentuan faktor keamanan
4. KRITERIA TEGANGAN TARIK MAK SIMUM
Kriteria ini menganggap bahwa batuan mengalami failure oleh fracture fragile (brittle) yang diakibatkan oleh tarikan (tension) jika padanya dikenakan tegangan utama -σ3 yang besarnya sama dengan kuat tarik uniaxial ( σt) dari batuan tersebut. σ3 = - σt
5. KRITERIA TEGANGAN GESER MAK SIMUM
Kriteria failure dari Tresca berlaku untuk batuan isotrop dan ductile. Kriteria ini merupakan fungsi dari tegangan utama σ1 dan σ3. Menurut kriteria ini, batuan mengalami failure jika tegangan
geser
maksimum τmax sama dengan kuat geser batuan S. S = τmax =
σ 1 - σ 3 2
dengan : σ1 = tegangan prinsipal mayor σ3 = tegangan prinsipal minor
Kriteria Failure Batuan-9
Intermediate principal stress σ2
tidak berperan di dalam kriteria ini.
Kriteria Tresca adalah hal khusus dari Kriteria Mohr-Coulomb (Gambar 8).
6. DAFTAR PUSTAKA
Coates, D.F.,”Principes de la mécanique des roches”, Monographic 874 (revision 1970), Direction des Mines, Ministére de L’Energie des Mines et des resources, Ottawa, Canada. J aeger, J .C. dan N.G.W. Cook, “Fundamentals of Rock Mechanics”, Second Edition, J ohn Wiley & Sons, Inc., New York, 1976. J umikis, A.R., “Rock Mechanics”, Second Edition, Trans Tech. Publications, Clausthal-Zellerfeld, Federal Republic of Germany, 1983. Talobre, D.F., “La Mécanique des Roches”, Deuxieme Edition, Dunod, Paris, 1967. Timoshenko S.P., and J .N. Goodier, “Theory of Elasticity”, McGraw Hill, Inc., 1970.
Kriteria Failure Batuan-10
1. DISTRIBUSI TEGANGAN SEBELUM DIBUAT TEROWONGAN
Dibuatnya sebuah atau beberapa terowongan di bawah tanah akan mengakibatkan perubahan distribusi tegangan ( stress distribution) di bawah tanah, terutama di dekat terowongan-terowongan tersebut. Sebelum terowongan dibuat, pada titik-titik di dalam massa batuan bekerja tegangan mula-mula (initial stress). Tegangan mula-mula ini sukar diketahui secara tepat), baik besarnya maupun arahnya. Baru sekitar 20 tahun yang lalu dengan cara pengukuran tegangan in-situ dapat diketahui lebih banyak mengenai tegangan mula-mula ini. Tegangan mula-mula ada 3 macam, yaitu : a. Tegangan gravitasi (gravitational stress) yang terjadi karena berat dari tanah atau batuan yang berada di atasnya ( overburden). b. Tegangan tektonik (tectonic stress) terjadi akibat geseran-geseran pada kulit bumi yang terjadi pada waktu yang lampau maupun saat ini, seperti pada saat terjadi sesar dan lain-lain. c. Tegangan sisa (residual stress) adalah tegangan yang masih tersisa, walaupun penyebab tegangan tersebut sudah hilang yang berupa panas ataupun pembengkakan pada kulit bumi. J ika tegangan tektonik dan tegangan sisa tidak ada atau dapat diabaikan karena kecilnya pada suatu daerah yang akan dibuat terowongan maka tegangan mula-mula hanya berupa tegangan gravitasi yang dapat dihitung
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-1
secara teoritis sebagai berat persatuan luas dari tanah/batu yang terdapat di atasnya, atau dapat ditulis sebagai :
σO = γH dengan :
σO = tegangan mula-mula γ
= density tanah/batu di atasnya
H = jarak dari permukaan tanah
2. DISTRIBUSI TEGANGAN DI SEKITAR TEROWONGAN UNTUK KEADAAN YANG PALING IDEAL
Untuk memudahkan perhitungan distribusi tegangan disekitar terowongan maka digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : a. Geometri dari terowongan -
Penampang terowongan merupakan sebuah lingkaran dengan jari jari R.
-
Terowongan berada pada bidang horisontal.
-
Terowongan terletak pada kedalaman H >> R (H > 20 R).
-
Terowongan sangat panjang, sehingga dapat digunakan hipotesa regangan bidang (plane strain).
b. Keadaan batuan. -
Kontinu.
-
Homogen.
-
Isotrop.
c. Keadaan tegangan mula-mula (initial stress) hidrostatik.
⎡σ 0 ⎢0 ⎢ ⎢⎣ 0
0 σ 0
0
0⎤ 0 ⎥⎥
σO = γH, dengan γ = density batuan, H = kedalaman
σ 0 ⎥⎦
Symmetrical revolution di sekeliling 0z
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-2
Gambar 1.
Koordinat silindrik
Luas ds = A' B' C' D' OA = r OB = r + dr σθ = tegangan tangensial σr = tegangan radial Gambar 2.
Perhitungan distribusi tegangan di sekitar terowongan
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-3
Kesetimbangan pada Or :
σr.r.dθ. – (σr +
∂ σ r ∂ r
dr) (r + dr) dθ +σθ.
σr.r.dθ – σr.r.dθ – σr.dr.dθ – r.
∂ σ r ∂ r
dθ .dr.2 + F r.dV = 0 2
.dr.dθ -
∂ σ r ∂ r
.(dr)2.dθ +σθ.dr.dθ+
F r.dV = 0 ∂ σ r ∂ r
.(dr)2.dθ dan F r.dV dapat diabaikan sehingga didapat :
σθ – σr – r
∂ σ r ∂ r
=0
Kesetimbangan pada Oz :
σz.ds – (σz +dσz).ds + F z.dV = 0 −
∂ σ z ∂ z
.dz.ds + F z.dV = 0
F z.dV dapat diabaikan sehingga didapat : ∂ σ z ∂ z
=0
→ σz = konstan
Kesetimbangan terowongan :
σθ – σr – r
∂ σ r ∂ r
=0
(1) ∂ σ r ∂ r
=0
→ σz = konstan
(2) Perpindahan dan regangan : u = perpindahan radial
εr =
du AB − A'B' = dr AB
εθ =
2πr − 2π (r − u) u = 2π r r
Elastik linier (Hukum Hooke) : Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-4
εr =
Δ σ r
εθ =
Δ σ θ
εz =
Δ σ z
E
Gambar 3.
E E
ν
-
E
(Δσθ +Δσz)
ν
-
E
⎡σ 0 ⎢0 ⎢ ⎢⎣ 0
ν
-
E
(Δσr +Δσz) (Δσr +Δσθ) →
0 ⎤ ⎡Δ σ r ⎥ ⎢ 0 σ 0 0 + ⎥ ⎢ 0 σ 0 ⎥⎦ ⎢⎣ 0 0
Δσz =ν (Δσr +Δσθ) → Δσr =- Δσθ
0
Δ σ θ 0
0 ⎤ ⎡σ r 0 0⎤ ⎥ ⎢ 0 ⎥ = ⎢ 0 σ θ 0 ⎥⎥ Δ σ z ⎥⎦ ⎢⎣ 0 0 σ z ⎥⎦
Keadaan tegangan sebelum dan sesudah penggalian
Δσr =- Δσθ (1) →
σ0 +Δσθ – σ0 – Δσr – r
Δσθ – Δσr – r -2Δσr – r
∂ (Δσ r ) ∂ r
∂ (Δσ r ) ∂ r
∂ (σ 0 + Δ σ r ) ∂ r
= 0
=0
=0 →
∂ Δσ r
Δσ r
=2
∂ r
r
→ Δσr =
K r2
untuk r = 0 :
σr = 0 Δσr =-σ0 → K = - R2 x σ0 σr = σ0 – σ0
R2 r2
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-5
σθ = σ0 + σ0
Gambar 4.
R2 r2
Distribusi tegangan di sekitar terowongan
3. DISTRIBUSI TEGANGAN DI SEKITAR TEROWONGAN UNTUK TEGANGAN MULA-MULA TIDAK HIDROSTATIK
3.1
v
(TEGANGAN VERTIKAL)
Gambar 5.
0,
h
(TEGANGAN HORISONTAL) = 0
Kondisi tegangan awal uniaksial
Tegangan di sekitar lubang bukaan (terowongan dengan penampangnya berbentuk lingkaran) diberikan oleh rumus di bawah ini (Duffaut, 1981) : Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-6
σr =
σ v
σθ =
σ v
2
2
τrθ = −
(1−
(1+
σ v
2
R2 r2 R2 r2
)+
)−
(1− 3
σ v
2
σ v
R4 r4
2
(1 + 3
(1+ 3
+2
R2 r2
R4 r4
R4 r4
−4
R2 r2
)cos 2θ
)cos 2θ
)sin2θ
Gambar 6 menunjukkan bahwa tegangan tangensial tidak lagi konstan pada kontur lingkaran, di mana :
σθ = σv (1 - 2 cos 2θ) σθ
=
- σv
untuk θ =0
σθ
=
0
untuk θ =π/6
σθ = σv
untuk θ =π/4
σθ
=
2σv
untuk θ =π/3
σθ
=
3σv
untuk θ =π/2
Gambar 6. Tegangan tangensial pada kontur sebuah terowongan berbentuk lingkaran dengan tegangan mula-mula yang uniaksial (Bonvallet, 1976)
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-7
Gambar 7.
3.2
v
Distribusi tegangan pada sumbu simetri untuk tegangan mulamula yang uniaksial (Duffaut, 1981)
(TEGANGAN VERTIKAL)
Gambar 8.
0,
h
(TEGANGAN HORISONTAL)
0
Kondisi tegangan awal biaksial
Tegangan di sekitar lubang bukaan (terowongan yang berbentuk lingkaran) menjadi (Duffaut, 1981) : Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-8
σr = σθ = τrθ =
σ v +σh
2 σ v +σh
2 σ h − σ v
2
(1−
(1+
R2 2
r
R2 r
2
(1− 3
)+
σ v −σh
R4
2
4
)−
σ v −σh
R4
2
4
R4 r
4
+2
R2 r
2
(1+ 3
(1+ 3
r
r
−4
R2 2
r
)cos 2θ
)cos 2θ
)sin2θ
Tegangan tangensial pada kontur lingkaran :
σθ = 3σh - σv
untuk θ =0
σθ = 2σh
untuk θ =π/6
σθ = σv + σh
untuk θ =π/4
σθ = 2σv
untuk θ =π/3
σθ = 3σv - σh
untuk θ =π/2
Dapat dilihat bahwa semua tarikan (tensile) tangensial akan hilang jika σh mencapai harga σv/3 dan untuk σv =σh semua σθ = 2σv. J ika terowongan tidak berbentuk lingkaran → kontur yang tidak isotrop (kontur elips) maka tegangan ekstrim pada sumbu lubang bukaan seperti pada Tabel 1.
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-9
Tabel 1.
Tegangan ekstrim pada sumbu lubang bukaan berbentuk elips (Duffaut, 1981)
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-10
4. DISTRIBUSI TEGANGAN DI SEKITAR TEROWONGAN UNTUK BA TUAN YANG TIDAK ISOTROP (ORTHOTROP)
Dalam hal elastik orthotrop di mana ada dua modulus yang tegak lurus E 1 dan E 2, untuk sistem pembebanan uniaksial, distribusi tegangan tidak dipengaruhi, hanya deformasinya. J adi distribusi yang didapat dari perhitungan sebelumnya tetap berlaku. Ketidakisotropan dari batuan sangat mempengaruhi kekuatan dari batuan tersebut. Misalnya kuat tekan dari batuan yang berlapis ( schist) dapat bervariasi dari 1 sampai 10 kali lipat atau lebih dan merupakan fungsi dari arah perlapisan (Gambar 9).
Gambar 9.
Kuat tekan dari sebuah batuan berlapis yang merupakan fungsi dari sudut perlapisan
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-11
Sebuah lubang bukaan dengan penampang berbentuk lingkaran dibuat di dalam massa batuan yang berlapis (Gambar 10), di mana kekuatan batuan tersebut digambarkan seperti Gambar 9 yang mengalami tegangan hidrostatik. Failure timbul pada kontur bagian tengah di mana sudut perlapisan dengan
kontur 40o sampai 70o (kuat tekan batuan rendah).
Gambar 10. Evolusi sebuah lubang bukaan berbentuk lingkaran di dalam massa batuan berlapis (Duffaut, 1981)
Fenomena ini akan diperburuk oleh tegangan prinsipal mayor yang tegak lurus pada arah perlapisan. Daerah tarikan pada sebuah lubang bukaan (tegangan adalah uniaksial) mempunyai pengaruh yang berbeda posisinya terhadap perlapisan (Gambar 11).
Gambar 11. Daerah tarikan pada massa batuan berlapis (Duffaut, 1981)
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-12
J ika tegangan uniaksial adalah vertikal maka keadaan (a) dengan adanya tarikan tangensial yang akan memisahkan/merenggangkan perlapisan tidak begitu mempengaruhi kestabilan. Sebaliknya keadaan (b), tarikan tersebut pada tiap-tiap lapisan sehingga dapat patah oleh lengkungan karena beratnya sendiri.
Gambar 12. Kuat tekan batuan schist pada terowongan di PLTA Lanoux – L'Hospitalet Perancis (Duffaut, 1981)
Antara nilai ekstrim 115 dan 62 MPa variasinya adalah diskontinu. Nilai minimum antara sudut 20 dan 70 (Gambar 12).
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-13
Evolusi dari kontur terowongan dalam dengan penampang berbentuk bulat pada batuan schist diperlihatkan pada Gambar 13.
Gambar 13. Terowongan di PLTA Lanoux - L'Hospitalet Perancis (Duffaut, 1981)
a. Tahap 1 Failure oleh geseran (shear ) timbul di sekitar titik A di mana kuat tekannya paling kecil, kemudian berkembang sampai membentuk profil BCD. b. Tahap 2 Terbentuknya span yang tinggi CC' dari lapisan batuan memungkinkan terbentuknya rekahan pada dinding. c. Tahap 3 Lengkungan
dari
lapisan yang dinyatakan oleh deformasi sudut
CEC' dengan bukaan yang membentuk baji ( wedge) di E. Sesudah batuan yang hancur dibersihkan, maka kontur akhir CFC' lebih stabil dari kontur semula (CEC').
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-14
5. DISTRIBUSI TEGANGAN DI SEKITAR TEROWONGAN UNTUK BATUAN YANG MEMPUNYAI PERILAKU PLASTIK SEMPURNA DI SEKELILING TEROWONGAN
Misalkan kurva intrinsik batuan pada Gambar 14 memotong lingkaran Mohr yang menggambarkan tegangan pada kontur lubang bukaan dan perilaku batuan sesudah kuat tekannya dilampaui dicirikan oleh deformasi ( strain) tak berhingga (perilaku plastik sempurna).
Gambar 14. Tegangan di sekitar lubang bukaan bulat untuk batuan elastik dengan tegangan mula-mula hidrostatik
Pembuatan lingkaran Mohr dapat menentukan tegangan pada dinding (lingkaran Mohr untuk kuat tekan, σrR =0, σθR =σC). Daerah elastik dibatasi oleh lingkaran yang berjari-jari R'. Akibat dari tegangan diserap oleh deformasi plastik pada daerah lingkaran sebelah dalam. J ari-jari R' dapat dihitung dengan membuat beberapa hipotesa (dihitung oleh Katsner, untuk sebuah kurva intrinsic yang linier (Duffaut, 1981)) :
⎛ 2 R’ = R ⎜ ⎝ 1+ λ
σ 0 (λ
⎛ 1 ⎞
− 1) + σ c ⎞ ⎜⎝ λ −1 ⎠⎟ ⎟ σ c ⎠
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-15
dengan : R' = jari-jari daerah plastik R
=
jari-jari lubang bukaan 1+ sinφ ⎛ π φ ⎞ = tan2 ⎜ + ⎟ ⎝ 4 2 ⎠ 1− sinφ
λ = φ = sudut geser dalam
J ari-jari ini dapat tak terhingga untuk batuan yang tidak mempunyai kohesi, jadi kestabilan tidak mungkin dicapai tanpa penyangga (support). Rumus di atas dapat dipermudah jika diambil sudut geser dalam ( φ) =19,5o = Arc sin 1/3 sehingga λ =2. R’ =
2R ⎛ σ 0 ⎞ + 1⎟ ⎜ 3 ⎝ σ c ⎠
Gambar 15. Tegangan di sekitar lubang bukaan bulat dengan perilaku batuan plastik sempurna di sekelilingnya
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-16
6. DISTRIBUSI TEGANGAN DI SEKITAR TEROWONGAN YANG BERBENTUK TIDAK B ULAT UNTUK KEADAAN YANG PALING IDEAL
Tabel 2 memperlihatkan distribusi tegangan pada garis keliling terowongan dengan berbagai bentuk penampang terowongan dan berbagai keadaan tegangan mula-mula untuk keadaan yang paling ideal. Tabel ini diambil dari simposium mekanika batuan di J epang tahun 1964 dengan judul "Study on Internal Stress of Rock Stratum Around Tunnel".
σh = tegangan horisontal sebelum penggalian terowongan. σv = tegangan vertikal sebelum penggalian terowongan. σθ = tegangan tangensial untuk tiap titik pada garis keliling terowongan.
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-17
Tabel 2.
Perbandingan tegangan
σ θ σ v
yang bekerja pada tiap titik garis
keliling terowongan
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-18
7. DAFTAR PUSTAKA
Bonvallet, J ., “Essai en verin plat et determination de charactéristique mécaniques”, DEA, Institut National Polytechnique de Lorraine, Nancy, France, 1976. Coates, D.F.,”Principes de la mécanique des roches”, Monographic 874 (revision 1970), Direction des Mines, Ministére de L’Energie des Mines et des resources, Ottawa, Canada. Duffaut, P ., “Stabilite des Cavités Souterraines”, BRGM, France, 1981. J aeger, J .C. dan N.G.W. Cook, “Fundamentals of Rock Mechanics”, Second Edition, J ohn Wiley & Sons., Inc., New York, 1976 J umikis, A.R., “Rock Mechanics”, Second Edition, Trans Tech. Publications, Clausthal-Zellerfeld, Federal Republic of Germany, 1983. Obert, L. dan W.I. Duvall, “Rock Mechanics and the Design of Structures in Rock”, J ohn Wiley & Sons, Inc., New York,1967. Talobre D.F., “La Mécanique des Roches”, Deuxieme Edition, Dunod, Paris, 1967.
Distribusi Tegangan di Sekitar Terowongan-19
7.1. PENDAHULUAN
Pengukuran tegangan (stress) in-situ dapat mengetahui keadaan tegangan di dalam massa batuan dan dapat menentukan antara lain parameterparameter penting untuk mengetahui perilaku (behavior ) massa batuan di tempat asalnya. Pengukuran ini mencakup kepentingan di berbagai bidang. Dalam bidang pertambangan, dengan diketahuinya keadaan tegangan yang ada di dalam massa batuan dapat ditentukan ukuran lubang bukaan dan kestabilan di dalam tambang. Gasifikasi batubara in-situ memerlukan diketahuinya secara tepat besar dan penyebaran tegangan di dalam massa batuan. Bagi para geologiwan, pencarian gaya-gaya tektonik dan akibat-akibat yang ditimbulkannya tidak akan lengkap tanpa diketahuinya penyebaran tegangan di dalam struktur yang sedang dipelajari. Dalam bidang teknik sipil, penentuan lokasi pembuatan sebuah terowongan ataupun sebuah bendungan berdasarkan pada arah tegangan utama (principal stress) regional. Pemecahan klasik yang biasa dilakukan untuk mengetahui keadaan tegangan di dalam massa batuan tanpa dilakukannya pengukuran in-situ adalah dengan menganggap bahwa tegangan vertikal ( σv) pada massa batuan yang berada pada kedalaman tertentu adalah sama dengan berat per satuan luas dari batuan yang berada di atasnya atau : h
σv = ∫ γ
z
dz
0
dengan : h
= kedalaman
γz = bobot isi batuan
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-1
Sedangkan tegangan horizontal (σh) adalah isotrop dan besarnya :
σh = k . σv dengan : k=
ν
1- ν
ν = nisbah Poisson Untuk kedalaman (h) yang besar sekali, maka keadaan tegangan pada umumnya menjadi hidrostatik, yaitu k = 1 dan σh = σv. Tetapi semua itu hanyalah sebuah estimasi global dari kedaan tegangan yang ada di dalam massa batuan, yang didasarkan pada hipotesa yang sangat sederhana seperti : homogenitas, isotropi dan perilaku ( behaviour ) rheologi dari massa batuan. Tegangan residual dan tektonik kemungkinan ada di dalam massa batuan dan dapat merubah keadaan tegangan yang ada. Oleh karena itu keadaan tegangan yang sebenarnya dapat berbeda jauh dengan keadaan tegangan yang dihitung secara teoritis. Teori hanya dapat memberikan perkiraan besaran intensitas dari tegangan yang ada, sedangkan hanya pengukuran tegangan in-situ yang dapat memberikan keterangan mengenai orientasi dan besarnya tegangan pada massa batuan di bawah tanah. Dari berbagai literatur, terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasikan metode-metode pengukuran tegangan in-situ. Seperti metode pengukuran langsung (direct) dan pengukuran tidak langsung (indirect). J uga metode pengukuran absolut dan pengukuran relatif. Tetapi kelihatannya yang terbaik adalah klasifikasi berdasarkan tipe dari pengukuran yang dilakukan. Adapun klasifikasi dari berbagai metode pengukuran tegangan in-situ adalah sebagai berikut : a. Metode yang didasarkan pada pengukuran yang dilakukan di sebuah permukaan bebas di dinding batuan. Yang dikenal antara lain adalah metode Rosette deformasi.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-2
b. Metode yang didasarkan pada pengukuran tekanan yang diperlukan untuk mengembalikan tegangan yang dibebaskan : Metode flat jack. c. Metode yang didasarkan pada pengukuran di dalam lubang bor. i. Metode overcoring. -
sel yang mengukur tegangan,
-
sel yang mengukur perpindahan, -
perpindahan radial,
-
perpindahan radial dan longitudinal.
ii. Metode hydraulic fracturing. Perlu diketahui bahwa interpretasi dari semua hasil pengukuran tegangan insitu untuk semua metode yang telah disebutkan didasarkan pada hipotesa homogenitas, kontinuitas, isotropi dan elastik linier. Di samping itu medan tegangan dianggap homogen di sekitar tempat pengukuran dilakukan.
7.2. METODE ROSETTE DEFORMASI
7.2.1. PRINSIP
Prinsip dari rosette deformasi adalah mengukur deformasi superficial pada sebuah permukaan bebas di dinding massa batuan. Deformasi ini disebabkan oleh pembebasan tegangan atau variasi tegangan. 7.2.2. HIPOTESA
Interpretasi dari hasil pengukuran tegangan dengan metode ini berdasarkan pada hipotesa : a. Tegangan bidang (plane stress), yaitu tegangan yang tegak lurus bidang pengukuran sama dengan nol.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-3
b. Pembebasan tegangan adalah total (seluruhnya). Perhitungan dengan metode elemen hingga menunjukkan bahwa diperlukan pemotongan sedalam 20 cm untuk memperoleh pembebasan tegangan total. c. Perilaku (behaviour) batuan adalah elastik linier. Tegangan dihitung langsung dari deformasi yang diukur dengan bantuan Hukum Hooke. 7.2.3. PENGUKURAN
Titik-titik pengukuran sebanyak delapan buah dipasang pada lingkaran yang berdiameter 20 cm (Gambar 1). J arak antara titik-titik pengukuran tersebut diukur sampai ketelitian 1 mikron. Kemudian batuan di sekitar lingkaran digergaji dengan menggunakan gergaji intan sedalam 20 cm, sehingga tegangan dibebaskan total. Titik-titik pengukuran diukur lagi dan perpindahan yang disebabkan oleh pembebasan tegangan dihitung. Tegangan didapat dari (Bonvallet, 1976) :
σx =
u0 .E 0 + ν.uπ / 2 .E π / 2 r (1+ ν )2
σy =
uπ/2.E π/2 + ν.u0 .E 0 r (1- ν )2
τxy =
uπ / 4 .E π/4 - u3π / 4 .E 3π/4 r (1- ν )
dengan : E i = modulus deformasi untuk θ =i ui = perpindahan radial untuk θ =i r = jari-jari rosette = 10 cm
ν =nisbah Poisson Ei dan ν didapat dari hasil test di laboratorium mekanika batuan. Metode rosette deformasi sangat menarik karena pelaksanaannya cepat, tidak memerlukan peralatan yang canggih dan hasil yang didapat mendekati
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-4
sebenarnya. Besar tegangan utama dapat dihitung, demikian juga arahnya terhadap sumbu x dan y dapat ditentukan.
Gambar 1.
Metode rosette deformasi
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-5
7.3. METODE FLAT JACK
7.3.1. PRINSIP
Metode ini membebaskan sebagian tegangan yang ada di dalam massa batuan dengan jalan membuat potongan pada batuan tersebut dengan bantuan gergaji intan (Gambar 3). Tegangan yang dibebaskan ini akan menyebabkan terjadinya deformasi yang dapat berupa perpindahan dari titiktitik pengukuran yang dibuat. Kemudian ke dalam potongan tersebut dimasukkan flat jack agar supaya perpindahan dari titik-titik pengukuran menjadi nol. Tekanan di dalam flat jack yang mengakibatkan perpindahan nol menggambarkan tegangan mula-mula (initial stress) di dalam massa batuan. 7.3.2. HIPOTESA
Interpretasi dari hasil pengukuran tegangan dengan metode flat jack berdasarkan pada hipotesa : a. Perilaku (behaviour) batuan adalah elastik reversible, tidak perlu linier dan batuan homogen. b. Tegangan pada dinding batuan tidak dipengaruhi oleh proses penggalian. c. Tegangan yang diukur tegak lurus dengan potongan yang dibuat atau tegak lurus dengan flat jack. Diharapkan bahwa arah tegangan ini mendekati arah dari tegangan utama. 7.3.3. PENGUKURAN
Titik-titik pengukuran yang berupa baut besi dipasang dengan jarak 10 cm, masing-masing L 1, L 2 dan L3 (Gambar 3). Kemudian dibuat potongan pada batuan dengan bantuan gergaji intan yang besarnya hampir sama dengan ukuran flat jack.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-6
Kemudian titik-titik pengukuran diukur jaraknya. Tentu saja jaraknya akan bertambah pendek akibat adanya potongan (L 1 - ΔL1, L2-ΔL2, L3 - ΔL3). Sesudah pengukuran selesai, ke dalam potongan dimasukkan flat jack yang berupa 2 lembar potongan baja yang dijadikan satu dengan mengelas ujungnya (Gambar 4). Flat jack ini dipompa dengan pompa hidraulik sampai
ΔL1, ΔL2 dan ΔL3 menjadi nol, yang berarti kembali ke keadaan semula. Dalam kondisi ini tekanan di dalam flat jack sama dengan tegangan yang dibebaskan yang merupakan tegangan yang berada dalam massa batuan. Kekurangan utama dari metode flat jack adalah karena pengukuran dilakukan pada batuan yang sudah tidak solid lagi karena pengaruh proses penggalian sehingga hasil pengukuran yang didapat tidak representatif. Tetapi kekurangan ini dapat diatasi dengan melakukan pengukuran pada kedalaman tertentu artinya pada batuan yang solid. Pengukuran dilakukan dua kali, yang pertama pada batuan yang tidak solid kemudian dilakukan penggalian sampai kedalaman 30 cm dan pengukuran yang kedua dilakukan (Gambar 4). Teknik yang digunakan tidak memungkinkan untuk melakukan pengukuran selama penggergajian, oleh karena itu kurva D1 (kurva pembebasan tegangan pada saat penggergajian) hanya dapat diduga seperti Gambar 2. 7.3.4. PENGUKURAN MODULUS DEFORMASI DENGAN FLA T JACK
Perhitungan kestabilan pekerjaan di bawah tanah memerlukan diketahuinya karakteristik elastisitas dari batuan, terutama modulus deformasi. Flat jack menghasilkan tegangan yang diketahui besarnya di dalam massa
batuan atau dapat dihitung pada daerah tertentu, sehingga dengan mengukur deformasi yang dihasilkan oleh tegangan tersebut, modulus deformasi dapat dihitung.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-7
Gambar di atas menunjukkan perpindahan akibat penggergajian. L =l1 +l2 +e L + ΔL = l1 +Δl1 + l2 +Δl2 +e +Δe
Δl
1
l1
dan
dengan
Δl
2
l2
menggambarkan regangan elastik dari batuan demikian juga
ΔL' L'
Δe = perpindahan yang disebabkan oleh relaksasi dari batuan pada lubang gergajian sesudah pembebasan tegangan. Oleh sebab itu, kemiringan dari kurva σ-ε yang diukur dari titik pengukuran L tidak menggambarkan modulus deformasi karena regangan global yang diukur, termasuk relaksasi yang disebabkan oleh penggergajian. Sebaliknya, tangent dari bagian linier kurva σ-ε, yang diukur dari titik pengukuran L' adalah sama dengan modulus deformasi dengan faktor koreksi yang tergantung dari geometri potongan gergaji.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-8
Gambar 2.
Kurva tegangan-regangan pada uji flat jack
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-9
Gambar 3.
Prinsip uji flat jack
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-10
Gambar 4.
Pemasangan flat jack dan titik-titik ukur pada dinding terowongan
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-11
Gambar 5.
Metode flat jack pada kedalaman tertentu
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-12
Gambar 6.
Peralatan untuk melakukan pengukuran tegangan in-situ dengan metode flat jack
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-13
Gambar 7.
Contoh uji flat jack di terowongan Rove (Perancis)
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-14
7.4. METODE OVERCORING
7.4.1. PRINSIP
Prinsip dari metode overcoring adalah membebaskan seluruh tegangan yang ada di massa batuan dengan cara overcoring. Kemudian deformasi pada batuan yang disebabkan oleh dibebaskannya tegangan tersebut diukur dengan menggunakan sel. Dengan diketahuinya karakteristik deformasi batuan (dari uji laboratorium) maka keadaan tegangan in-situ di dalam batuan dapat dihitung. 7.4.2. HIPOTESA
Batuan homogen dengan perilaku elastik reversible. 7.4.3. PENGUKURAN
Untuk mengetahui keadaan tegangan di dalam massa batuan adalah dengan mengukur arah dan besarnya tiga tegangan utama pada sebuah titik yang ditentukan. Secara teoritis, perlu diukur paling sedikit enam tegangan yang berbeda untuk dapat mengetahui keadaan tegangan (Gambar 8). Pengukuran tegangan dengan metode overcoring adalah pengukuran secara tidak langsung. Tegangan akan dibebaskan dengan pemboran overcoring yang akan memisahkan inti batuan yang telah dipasang sel tertentu dari massa batuan (Gambar 9). P erpindahan yang merupakan fungsi dari tegangan dapat dihitung dengan rumus-rumus yang banyak dibuat oleh para peneliti dan tiap rumus berlaku untuk sel tertentu yang digunakan.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-15
Dengan menggunakan teori elastisitas linier, isotrop, maka perpindahan atau tegangan yang diukur hanya pada dinding lubang bor, artinya p = r di mana r adalah jari-jari lubang bor (dalam sistem koordinat polar p, θ, z). Untuk sel dari University of Liege (Belgia) yang dapat mengukur perpindahan radial dan longitudinal diperoleh hubungan sederhana sebagai berikut (Gambar 9) : a. Perpindahan longitudinal urz =
r ⎧ zν zν z ⎫ ⎨- σ x - σ y + σ z - 4(1+ ν ) sin θ. τ xy - 4(1+ ν ) cos θ. τ xy ⎬ E⎩ r r r ⎭
b. Perpindahan radial urp =
r { [1+ 2(1+ ν 2 ) cos 2θ] σ x + [1- 2(1+ − 2 ) sin 2θ] σ y - νσ x E - 4(1- ν 2 ) sin 2θ.τ xy
}
Berdasarkan pengukuran beberapa kali dari perpindahan radial dan longitudinal (untuk θ yang berbeda-beda) dapat diperoleh hubungan yang baik untuk dapat memecahkan persamaan matriks : [M]. {S}={U}
(Hukum Hooke)
dengan : [M] = matriks yang elemen-elemennya hanya tergantung dari geometri sel dan karakteristik mekanik batuan (E, ν). {S} = matriks dari tegangan. {U}= matriks dari perpindahan. dengan demikian tegangan utama dan arahnya dapat dihitung. Keenam tegangan yang tidak diketahui secara teoritis hanya memerlukan enam persamaan untuk menghitungnya.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-16
Gambar 8.
Sistem tegangan yang ada di dalam massa batuan
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-17
Untuk sel yang mengukur secara langsung tegangan dengan menggunakan extensometer gauge (misalnya sel dari Leeman) pada dinding lubang bor,
didapat hubungan antara tegangan σx, σy, σz, τxy, τxz dan tegangan yang diukur pada dinding lubang bor (dalam sistem p, θ, z yang berhubungan dengan sel) sebagai berikut (Bertrand, 1983) :
σθθ = (σx +σy) – 2 (σx – σy) cos 2θ – 4 τxy sin 2θ σzz = - γ {2(σx – σy) cos 2θ +4 τxy sin 2θ }+σz σθz = - 2 τxz sin θ +2 τyz cos θ Pengukuran beberapa kali tegangan normal atau tegangan tangensial untuk berbagai arah akan menghasilkan hubungan yang cukup untuk memecahkan sistem persamaan. Dibutuhkan paling sedikit enam pengukuran. 7.4.3.1. Sel yang menguku r tegangan dengan extensometer gauge
a. Leeman dan Hayes pada tahun 1966 mempublikasikan prinsip pengukuran dan teori dari sel yang dilengkapi dengan extensometer gauge yang berupa tiga rosette. Tiap rosette terdiri dari dua gauge yang
saling tegak lurus (A dan C) dan gauge yang ketiga (B) miring terhadap dua lainnya (θA =0, θB =45 , θC = 90). Ketiga rosette yang diperkenalkan oleh Leeman merupakan harga θ dari 0, π/2, dan 5π/4. Sembilan angka tegangan diukur setiap kali pengukuran. Kesulitan penggunaan sel ini adalah cara penempelan extensometer gauge pada dinding lubang bor, terutama kalau ada air.
b. Sel CSIRO (Commonwealth Scientific & Industrial Research Organization). Sel ini digunakan untuk lubang bor yang pendek (+ 10 m) yang dibuat dari permukaan tanah atau dari dalam tanah (terowongan). Sel ini terdiri dari tiga rosette dengan sudut 120o yang masing-masing terdiri dari tiga gauge yang dipasang pada sebuah tabung. Diperlukan
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-18
lubang bor dengan diameter 38 mm (EX). Overcoring dapat dilakukan dengan diameter 100 sampai 150 mm. c. Sel dari Swedish State Power Board. Peralatan yang digunakan dapat melakukan overcoring dengan diameter 76 mm sampai mencapai kedalaman 300 m. Ukuran sel adalah D = 36 mm, panjang 400 mm. Sel terdiri dari tiga rosette dengan sudut 120o yang masing-masing terdiri dari tiga gauge yang dipasang pada selembar bahan yang dengan sistem tertentu dapatmenempel pada dinding lubang bor. Dengan sel ini tidak dapat dilakukan pengukuran selama overcoring. Oleh karena itu pengukuran hanya dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah overcoring untuk kesembilan gauge yang dipasang.
7.4.3.2. Sel yang mengu kur perpindahan
Di dalam praktek, lebih mudah menggunakan sel yang mengukur perpindahan dinding lubang bor, terutama perpindahan radial walaupun memberikan angka yang rendah dengan dibebaskannya tegangan. a. Sel yang hanya mengukur perpindahan radial, lebih dikenal dengan sel USBM (US. Bureau of Mines). Sel tersebut memerlukan lubang bor dengan diamater 38 mm dan terdiri dari tiga pengukuran diameterikal dengan sudut 120o. Overcoring dilakukan dengan D = 150 mm dan selama overcoring dapat dilakukan pengukuran. Kedalaman dibatasi sampai puluhan meter. Metode ini mudah dan hasilnya cukup baik. b. Sel yang mengukur perpindahan radial dan longitudinal. Sel dari University of Liege yang dikembangkan oleh F. Bonnechere dapat
mengukur sekaligus perpindahan radial dalam delapan titik pada empat diameter dengan sudut 45o dan perpindahan longitudinal dalam delapan titik seperti pada Gambar 9.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-19
Gambar 9.
Penempatan dispositif pengukuran perpindahan (sel University of Liege)
Perpindahan longitudinal urz =
r E
⎧- zν σ - zν σ + z σ - 4(1+ ν) sin θ. τ - 4(1+ ν) cos θ. τ ⎫ ⎨ x y z xy xy ⎬ r r ⎩ r ⎭
Perpindahan radial urp =
r { [1+ 2(1+ ν 2 ) cos 2θ] σ x + [1- 2(1+ − 2 ) sin 2θ] σ y - νσ x E - 4(1- ν 2 ) sin 2θ.τ xy
}
Titik-titik pengukuran ditekan ke dinding lubang bor (D = 76 mm) dengan menggunakan dongkrak. Kontak antara titik pengukuran dengan dinding lubang bor dapat dijaga dengan baik selama pengukuran. Overcoring dilakukan dengan D = 150 mm. Selama overcoring dapat direkam 12 perpindahan secara kontinu.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-20
Gambar 10. Deformasi radial dan deformasi longitudinal pada saat overcoring
7.5. METODE HYDRAULIC FRACTURING
7.5.1. PRINSIP
Metode ini dapat mengukur tegangan in-situ di dalam massa batuan dengan cara menguji perilaku rekahan yang sudah ada atau rekahan yang baru dibentuk dengan injeksi air sampai tekanan yang diperlukan untuk membuka kembali rekahan tersebut di dalam sebuah lubang bor. Analisa dari data yang didapat (berupa debit air dan tekanannya) dapat menentukan besarnya tegangan normal yang ada pada rekahan yang diuji. Dengan melakukan pengujian pada berbagai rekahan yang ada di dalam massa batuan maka keadaan tegangan di dalam massa batuan dapat diketahui.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-21
Kelemahan hydraulic fracturing adalah tidak dapat melakukan pengukuran dengan presisi (ketelitian) yang tinggi dan tidak dapat mengukur tegangan yang kecil. 7.5.2.
PERALATAN YANG DIGUNAKAN (GAMBA R 11)
Metode yang umum digunakan adalah double packer di dalam lubang bor tanpa casing, yaitu mengisolir bagian dari lubang bor yang akan diuji dengan dua buah packer . Panjang dari bagian lubang bor yang diisolir biasanya antara 70 cm sampai dengan 1 m, tetapi dapat juga 5 atau 10 m (Gambar12). Diameter lubang bor agar packer dapat dimasukkan adalah antara 60 sampai dengan 120 mm dan batuan harus mempunyai kekuatan yang cukup. Packer tersebut dapat bekerja sampai tekanan 40 MPa dan dikembangkan dengan pompa tekanan tinggi (debit kecil). Ke dalam lubang bor yang sudah diisolir diinjeksikan fluida (pada umumnya air) dengan menggunakan pompa tekan tinggi (pompa tripleks). Tekanan air dapat mencapai puluhan MPa. Pengendalian fracturing adalah dengan melihat debit dan tekanan yang diberikan oleh indikator analogik atau numerik dan pencatatan di kertas (pencatat 6 jalur). Analisis dari hasil yang diperoleh memerlukan keterangan dari orientasi rekahan yang sudah ada maupun rekahan yang baru dibuat. Orientasi rekahan tersebut diketahui dengan cara mengambil gambar dengan suatu alat (sistem Pajari) seperti pada Gambar 17 maupun memasukkan kamera TV ke dalam lubang bor.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-22
Gambar 11. Contoh peralatan yang digunakan untuk uji hydraulic fracturing skala kecil
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-23
Gambar 12. Sistem double packer untuk uji hydraulic fracturing di dalam lubang bor
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-24
7.5.2. KURVA TIPE FRACTURING
Dari Gambar 13 dapat dibedakan dengan jelas : -
Tekanan fracturing (yang mempunyai hubungan dengan kuat tarik batuan), P fr.
-
Tekanan pertambahan besar, P c.
-
Tekanan penutupan sesudah pompa injeksi dihentkan, P f .
Dalam hal pengujian dilakukan di tempat yang sudah ada rekahannya, kurva memberikan puncak (peak) dari tekanan pembukaan kembali yang kurang dari puncak tekanan fracturing, bahkan puncak tersebut tidak ada seperti ditunjukkan oleh Gambar 13b. 7.5.3. INTRERPRETASI DARI UJI HYDRAULIC FRACTURING
Pemboran mengakibatkan berubahnya distribusi tegangan di sekitar lubang bor. Untuk keadaan di mana tegangan utama σ2, σ3 pada bidang yang tegak lurus pada sumbu lubang bor (dengan σ2 > σ3), tegangan tangensial σθ pada dinding lubang bor mempunyai harga minimal 3 σ3 – σ2. Dengan mengambil θ = 0 searah dengan σ2, variasi σθ pada dinding lubang bor disajikan pada Gambar 14 (1) dan 14 (2) (Wolff, et al.) Di lain pihak, untuk θ = 0 (tegangan minimal) bertambah kecil sebagai fungsi dari σ2/σ3 (Gambar 14 (3)). dengan :
σθ =2 σ2 =2 σ3 untuk σ2/σ3 =1 σθ =0 untuk σ2/σ3 =3 σθ mempunyai mempunyai harga negatif (tegangan tarikan) untuk σ2/σ3 >3.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-25
Gambar 13. Skema dari dua tipe perilaku batuan pada saat hydraulic fracturing
Gambar 14 (4) menunjukkan bahwa mulai dari jarak 2a (a = jari-jari lubang) dari dinding lubang, σθ hampir tidak berubah.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-26
Gambar 14. Interpretasi dari uji hydraulic fracturing Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-27
Haimson memperkenalkan konsep tegangan efektif ( effective stress) yang dinyatakan dengan tekanan fracturing : P fr – P o = (3 σh – σH +R T – 2 P o) K dengan : P fr = tekanan fracturing P o = tekanan pori air
σh = tegangan horizontal minimum = σ3 σH = tegangan horizontal maximum = σ2 R
= kuat tarik dalam hydraulic fracturing
K
= parameter yang menghubungkan efek dari tekanan pori air dan compressibility.
Di dalam batuan yang permeabilitasnya sangat kecil, K dapat dianggap 1 sehingga : P fr =3 σh – σH +R T – P o J ika batuan tidak permeabel, P o = 0 dan P fr =3 σh – σH +R T Dengan membuka lagi rekahan maka persamaan menjadi (dengan menganggap P r =P fr - R T) : P r = 3 σh – σH Dengan diketahuinya tekanan penutupan P f dan tekanan pembukaan P r yang ditentukan pada saat uji, maka dapat ditentukan (paling tidak dari sudut teori) :
σh = P f σH = s P f – P r
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-28
Gambar 15. Kurva hydraulic fracturing di dalam bituminous schist
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-29
Gambar 16. Kurva hydraulic fracturing, uji dilakukan pada batu pasir schisteux, tegangan minimal 9 MPa, pada bidang perlapisan tegangan yang diukur adalah 20 MPa
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-30
Gambar 17. Orientasi rekahan yang diambil dengan suatu alat (sistem Pajari)
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-31
7.6. DAFTAR PUSTAKA
Bertrand, L. dan E. Duran, “In-situ Stress Measurements : Comparison of Different Methods”, Symposium International In-Situ Testing, Volume 2, Paris, 1983. Coates, D.F .,”Principes de la mécanique des roches”, Monographic 874 (revision 1970), Direction des Mines, Ministére de L’Energie des Mines et des resources, Ottawa, Canada. Helal, H., “Etude et dévelopment d’une methode de mesure des contraintes par surcirittage. Applications a l’étude de stabilité d’ouvrage souterraines”, Thése Docteur Ingenieur, INPL, Nancy, France, 1982. J aeger, J .C. dan N.G.W. Cook, “Fundamentals of Rock Mechanics”, Second Edition, J ohn Wiley & Sons, Inc., New York, 1976. J umikis, A.R., “Rock Mechanics”, Second Edition, Trans Tech. Publications, Clausthal-Zellerfeld, Federal Republic of Germany, 1983. Talobre, D.F., “La Mécanique des Roches”, Deuxieme Edition, Dunod, Paris, 1967. Timoshenko S.P., and J .N. Goodier, “Theory of Elasticity”, McGraw Hill, Inc., 1970.
Pengukuran Tegangan In-situ di Dalam Massa Batuan-32
1 PENDAHULUAN
Metode rancangan empiris berhubungan dengan pengalaman praktis yang diperoleh dari proyek-proyek sebelumnya untuk mengantisipasi kondisi dari lokasi proyek yang diusulkan.
Klasifikasi massa batuan merupakan cikal bakal dari pendekatan rancangan empiris dan digunakan secara luas di dalam rekayasa batuan. Dalam kenyataannya, dibanyak proyek, pendekatan klasifikasi digunakan sebagai dasar praktis untuk merancang struktur di bawah tanah yang kompleks. Klasifikasi massa batuan tidak digunakan sebagai pengganti untuk rancangan rekayasa. Tetapi harus digunakan bersama-sama dengan metode observasi
dan
analitik
untuk
memformulasikan
secara
menyeluruh
rancangan yang rasional, yang cocok dengan tujuan rancangan dan kondisi geologi di lapangan.
Tujuan dari klasifikasi massa batuan adalah : a. Mengidentifikasi parameter yang terpenting yang mempengaruhi perilaku massa batuan. b. Membagi formasi massa batuan yang khusus ke dalam grup yang mempunyai perilaku sama, yaitu kelas massa batuan dengan berbagai kualitas. c. Memberikan dasar untuk pengertian karakteristik dari tiap kelas massa batuan. d. Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi dengan pengalaman yang ditemui di lokasi lain. e. Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa (engineering design). f. Memberikan dasar umum untuk komunikasi diantara para insinyur dan geologiwan.
Klasifikasi Massa Batuan-1
Untuk mencapai tujuan tersebut maka sistem klasifikasi harus : a. Sederhana, mudah diingat dan mudah dimengerti. b. Setiap istilah jelas dan terminologi yang digunakan dapat diterima secara luas oleh enjinir dan geologist. c. Sifat-sifat massa batuan yang paling significant diikut sertakan. d. Berdasarkan pada parameter yang dapat diukur dengan uji yang cepat, relevan serta murah di lapangan. e. Berdasarkan sistem rating yang dapat memberikan bobot relatif yang penting pada parameter klasifikasi. f.
Dapat
berfungsi
untuk
menyediakan
data-data
kuantitatif
untuk
rancangan penyangga batuan.
Tiga keuntungan yang diperoleh dari klasifikasi massa batuan adalah : a. Meningkatkan
kualitas
dari
penyelidikan
lapangan
(site
investigation) dengan meminta data masukan yang minimum sebagai parameter klasifikasi. b. Memberikan informasi kuantitatif untuk tujuan rancangan. c. Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi dapat lebih efektif pada suatu proyek.
Kebanyakan terowongan sekarang dibangun berdasarkan beberapa sistem klasifikasi. Seperti yang banyak digunakan dan yang paling baik diketahui adalah klasifikasi beban batuan Terzaghi, yang sudah diperkenalkan lebih dari 40 tahun yang lalu (Terzaghi, 1946). Sejak itu, klasifikasi ini dimodifikasi (Deere dan kawan-kawan, 1970) dan sistem klasifikasi baru diusulkan. Sistem ini memperkenalkan teknologi penyangga batuan yang baru, yang diberi nama rock bolt dan shotcrete, yang digunakan di berbagai proyek seperti terowongan, ruang bawah tanah, tambang, lereng dan fondasi. Saat ini terdapat berbagai sistem klasifikasi batuan seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Klasifikasi Massa Batuan-2
Dari berbagai sistem klasifikasi massa batuan yang ada, enam yang perlu mendapat perhatian khusus karena yang paling umum, yaitu yang diusulkan oleh Terzaghi (1946), Lauffer (1958), Deere dan kawan-kawan (1967), Wickham dan kawan-kawan (1972), Bieniawski (1973), Barton dan kawan-kawan (1974). Klasifikasi beban batuan Terzaghi (1946), klasifikasi pertama yang diperkenalkan, dan digunakan di Amerika Serikat lebih dari 35 tahun, telah dibuktikan dengan sukses untuk penerowongan dengan penyangga besi baja (steel support).
Klasifikasi Lauffer (1958) didasarkan pada hasil kerja dari Stini (1950) dan merupakan
langkah
maju
dalam
seni
penerowongan
dengan
diperkenalkannya konsep Stand-up time dari active span di dalam terowongan, dimana dapat ditentukannya tipe dan jumlah penyangga di dalam terowongan secara lebih relevan.
Klasifikasi dari Deere dan kawan-kawan (1967) memperkenalkan indeks Rock Quality Designation (RQD), yang merupakan metode yang sederhana dan praktis untuk mendeskripsikan kualitas inti batuan dari lubang bor.
Konsep dari Rock Structure Rating (RSR) dikembangkan di Amerika Serikat oleh Wickham dan kawan-kawan (1972, 1974), yang merupakan sistem pertama yang memberikan gambaran rating klasifikasi untuk memberikan bobot yang relatif penting dari parameter klasifikasi.
Klasifikasi geomekanika (RMR system), diusulkan oleh Bieniawski (1973), dan Q system oleh Barton dan kawan-kawan (1974), telah dikembangkan secara terpisah dan kedua-duanya menyediakan data kuantitatif untuk memilih penguatan terowongan yang modern seperti rock bolt dan shotcrete.
Klasifikasi Massa Batuan-3
Tabel 1.
Klasifikasi massa batuan yang saat ini banyak digunakan
Klasifikasi Massa Batuan-4
Sistem Q dikembangkan khususnya untuk terowongan dan ruang bawah tanah, sedangkan klasifikasi geomekanika walaupun awalnya dikembangkan untuk terowongan, dapat digunakan untuk rock slopes dan fondasi, penilaian ground rippability, masalah-masalah di pertambangan (Laudbscher, 1977,
Ghose dan Raju, 1981, Kendorski dan kawan-kawan, 1983).
2. METODE ROCK LOAD CLASSIFICATION
Terzaghi (1946) memformulasikan metode klasifikasi rasional yang pertama dengan mengevaluasi beban batuan yang tepat untuk merancang steel sets. Ini merupakan pengembangan yang penting karena penyangga dengan steel sets telah digunakan secara luas untuk penggalian terowongan batuan selama 50 tahun yang lalu. Klasifikasi ini hanya cocok untuk memperkirakan beban batuan untuk terowongan yang disangga dengan steel arch, tetapi tidak
cocok
untuk
metode
penerowongan
yang
modern
dengan
menggunakan shotcrete dan rock bolt. Sesudah mempelajari secara rinci, Cecil (1970) menyimpulkan bahwa metode Terzaghi terlalu umum untuk dapat mengevaluasi secara objektif kualitas batuan dan tidak menyediakan informasi kuantitatif dari sifat-sifat massa batuan.
Gambaran utama dari klasifikasi Terzaghi diberikan pada gambar 1 dan dituliskan pada Tabel 2 dan 3.
Nilai rock load di Tabel 2 digunakan untuk mendeskripsikan ground conditions jika terowongan terletak di bawah muka air tanah. J ika
terowongan terletak di atas muka air tanah, rock load untuk kelas 4 - 6 dapat dikurangi dengan 50 %. Revisi yang penting dari koefisien rock load klasifikasi Terzaghi diberikan oleh Rose (1982) di dalam Tabel 2, yang memperlihatkan kondisi batuan Terzaghi 4 - 6 harus dikurangi dengan 50 % dari nilai rock load awal karena muka air tanah efeknya kecil terhadap rock load.
Klasifikasi Massa Batuan-5
Gambar 1.
Konsep beban batuan terowongan oleh Terzaghi (1946)
3. KLASIFIKASI STAND-UP TIME
Klasifikasi tahun 1958 oleh Lauffer merupakan fondasi di dalam awal kerja dari geologi terowongan oleh Stini (1950), yang dianggap sebagai bapak dari Sekolah Austria untuk penerowongan dan mekanika batuan. Stini menekankan pentingnya cacad struktur di dalam massa batuan. Lauffer mengusulkan stand-up time untuk berbagai active span yang dihubungkan pada berbagai kelas massa batuan.
Active unsupported span adalah lebar terowongan atau jarak dari face ke
penyangga jika ini lebih besar dari lebar terowongan. Stand-up time adalah jangka waktu dimana terowongan dapat stabil tanpa penyangga sesudah penggalian. Harus dicatat bahwa beberapa faktor dapat mempengaruhi stand- up time, seperti orientasi dari sumbu terowongan, bentuk penampang
terowongan, metode penggalian dan metode penyangga.
Klasifikasi Massa Batuan-6
Klasifikasi awal Lauffer tidak lama digunakan, semenjak dimodifikasi beberapa kali oleh enjinir Austria, terutama oleh P acher dan kawan-kawan (1974), yang memelopori pengembangan New Austrian Tunneling Method (NATM).
Hal utama yang penting di dalam klasifikasi Lauffer Pacher adalah penambahan span terowongan akan mengurangi langsung stand-up time.
Sebagai contoh, pada saat membuat pilot tunnel dengan span kecil dapat berhasil menggali dengan full face di batuan yang kondisinya fair , sedangkan lubang bukaan dengan span yang besar dibatuan yang sama dibuktikan tidak mungkin untuk menyangga di dalam waktu stand-up time nya. Hanya dengan sistem heading dan benching yang lebih kecil atau multiple drift, penampang terowongan yang besar dapat digali di kondisi batuan seperti ini.
Klasifikasi ini memperkenalkan stand-up time dan span sebagai parameter yang relevan di dalam menentukan tipe dan jumlah penyangga terowongan, dan ini akan mempengaruhi pengembangan yang lebih maju dari sistem klasifikasi massa batuan.
Klasifikasi Massa Batuan-7
Tabel 2.
Original Terzaghi’s Rock Load Classification (1946) a, b
Klasifikasi Massa Batuan-8
Tabel 3.
Klasifikasi Rock Load Terzaghi yang umum digunakan
a, b
Klasifikasi Massa Batuan-9
4. INDEKS ROCK QUALITY DESIGNATION (RQD)
Indeks RQD telah diperkenalkan lebih dari 20 tahun yang lalu sebagai indeks dari kualitas batuan pada saat informasi kualitas batuan hanya tersedia dari deskripsi ahli geologi dan persentase dari perolehan inti (core recovery). RQD adalah modifikasi dari persentase perolehan inti yang utuh dengan panjang 10 cm atau lebih. Ini adalah indeks kuantitatif yang telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasikan daerah batuan yang kualitasnya rendah sehingga dapat diputuskan untuk penambahan pemboran atau pekerjaan eksplorasi lainnya.
Untuk menentukan RQD, ISRM merekomendasikan ukuran inti paling kecil berdiameter NX (54,7 mm) yang dibor dengan menggunakan double tube core barrels.
Hubungan antara indeks RQD dan kualitas teknik dari batuan adalah sebagai berikut (Deere, 1968) :
RQD (%)
Kualitas Batuan
<
25
Sangat jelek (very poor)
25
-
50
J elek (poor)
50
-
75
Sedang (fair)
75
-
90
Baik (good)
90
- 100
Sangat Baik (excellent)
Prosedur yang betul untuk mengukur RQD diperlihatkan di Gambar 2.
Klasifikasi Massa Batuan-10
Gambar 2.
Prosedur untuk pengukuran dan perhitungan RQD (Deere, 1989)
Cording dan Deere (1972) mencoba untuk menghubungkan faktor rock load Terzaghi dan memberikan tabel hubungan antara penyangga terowongan dan RQD (Tabel 4). Mereka menemukan bahwa konsep rock load Terzaghi harus dibatasi untuk terowongan yang disangga dengan steel sets, dan tidak dapat digunakan dengan baik untuk lubang bukaan yang disanggah oleh rock bolt.
Merritt (1972) menemukan bahwa RQD dapat merupakan nilai yang penting di dalam memperkirakan kebutuhan penyangga untuk terowongan batuan. Merritt membandingkan kriteria penyangga yang didasarkan pada versi perbaikannya, sebagai fungsi dari lebar terowongan dan RQD, dengan yang diusulkan oleh yang lainnya. Ini diringkaskan di dalam Tabel 4 yang dikumpulkan oleh Deere dan Deere (1988).
Klasifikasi Massa Batuan-11
Tabel 4.
Perbandingan dari RQD dan kebutuhan penyangga untuk terowongan dengan lebar 6 m a
Palmstrom (1982) mengusulkan jika inti tidak tersedia, RQD dapat diperkirakan dari jumlah kekar-kekar (joints) per satuan volume, di dalam mana jumlah kekar per meter untuk tiap kekar ditambahkan. Konversi untuk massa batuan yang bebas lempung adalah :
RQD =115 - 3,3 J V J V adalah jumlah total kekar per m3. Walaupun RQD adalah indeks yang sederhana dan murah, tapi sendirian tidak cukup untuk melakukan deskripsi yang baik dari massa batuan, karena tidak memperhatikan orientasi kekar, keketatan (tightness), dan material pengisi. Yang utama adalah sebagai parameter praktis yang didasarkan pada pengukuran persentase dari interval batuan yang baik di dalam lubang bor.
Klasifikasi Massa Batuan-12
5. KONSEP ROCK STRUCTURE RATING (RSR)
Konsep RSR, model prediksi ground-support, dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1972 oleh Wickham, Tiedemann, dan Skinner. Konsepnya adalah metode kuantitatif untuk mendeskripsi kualitas massa batuan dan untuk memilih penyangga yang tepat. Ini merupakan sistem klasifikasi massa batuan yang lengkap yang diusulkan sejak Terzaghi tahun 1946.
Konsep RSR merupakan satu langkah maju dalam beberapa aspek; pertama, merupakan klasifikasi kuantitatif tidak seperti Terzaghi yang kualitatif; kedua, merupakan klasifikasi massa batuan yang menggabungkan banyak parameter, tidak seperti indeks RQD yang hanya dibatasi pada kualitas inti; ketiga, merupakan klasifikasi yang lengkap yang mempunyai input dan output, tidak seperti tipe klasifikasi Lauffer yang menghubungkan pengalaman praktek untuk memutuskan kelas massa batuan dan kemudian memberikan output berupa stand-up time dan span.
Konstribusi utama dari konsep RSR adalah mengenalkan sistem rating untuk massa batuan. Ini adalah jumlah dari nilai bobot parameter individu di dalam sistem klasifikasi.
Konsep RSR memandang dua kategori umum dari faktor yang mempunyai perilaku massa batuan di dalam terowongan : parameter geologi dan parameter konstruksi.
Parameter geologi adalah a) tipe batuan; b) pola kekar (jarak rata-rata kekar); c) orientasi kekar (dip dan strike); d) tipe diskontinuitas; e) major fault, shears dan folds; f) sifat-sifat material batuan dan q) pelapukan atau alterasi.
Klasifikasi Massa Batuan-13
Pembuat konsep ini menekankan bahwa dalam beberapa hal dapat dimungkinkan menentukan faktor-faktor di atas secara teliti, tetapi dilain hal, hanya dapat dibuat pendekatan umum.
Parameter konstruksi adalah
a) ukuran terowongan; b) arah penggalian;
dan c) metode penggalian. Semua faktor di atas dikelompokkan kedalam tiga parameter dasar A, B dan C (masing-masing tabel 5, 6, dan 7), yang secara bersama-sama merupakan evaluasi efek relatif dari berbagai faktor geologi pada syarat penyangga.
Ketiga parameter tersebut adalah : a. Parameter A : Penilaian umum dari struktur batuan berdasarkan : i. Tipe batuan asal (beku, metamorf, sedimen). ii. Kekerasan batuan (keras, medium, lunak, decomposed). iii. Struktur geologi (masif, sedikit dipatahkan/dilipat, cukup dipatahkan/ dilipat, secara intensif dipatahkan/dilipat). b. Parameter B : Efek pola diskontinuitas terhadap arah penggalian terowongan berdasarkan : i. J arak kekar. ii. Orientasi kekar (strike dan dip). iii. Arah penggalian terowongan. c. Parameter C : Efek aliran air tanah berdasarkan : i.
Kualitas massa batuan total yang disebabkan oleh kombinasi parameter A dan B.
ii. Kondisi kekar (baik, sedang, jelek). iii. J umlah aliran air (dalam gallon per minute per 1000 feet di dalam terowongan.
Klasifikasi Massa Batuan-14
Tabel 5.
Rock Structure Rating, Parameter A : Daerah Geologi Umum a
Klasifikasi Massa Batuan-15
Tabel 6.
Rock Structure Rating, Parameter B : Pola Kekar, Arah Penggalian
a
Klasifikasi Massa Batuan-16
Tabel 7.
Rock Structure Rating, Parameter C : Air Tanah, Kondisi Kekar
a
Nilai RSR untuk tiap seksi terowongan diperoleh dengan menjumlahkan bobot nilai angka untuk tiap parameter. RSR = A + B + C, dengan nilai maksimum 100. RSR mencerminkan kualitas massa batuan dengan kebutuhan akan penyangga.
J ika digunakan tunnel boring machine (TBM) untuk menggantikan metode penggalian dengan pemboran dan peledakan, maka RSR harus dikoreksi dengan menggunakan Adjustment Factor (AF) untuk berbagai diameter terowongan sebagai berikut : diameter 9,15 m : AF
= 1,058
diameter 8 m
: AF
= 1,127
diameter 7,63 m
: AF = 1,135
diameter 7 m
: AF
diameter 6,10 m
: AF = 1,168
diameter 6 m
: AF
= 1,171
diameter 5 m
: AF
= 1,183
diameter 4,58 m
: AF = 1,180
diameter 4 m
: AF
diameter 3,05 m
: AF = 1,200
= 1,150
= 1,192
Klasifikasi Massa Batuan-17
Model prediksi RSR dikembangkan terutama untuk penyangga steel rib. Data yang kurang telah tersedia untuk menghubungkan struktur batuan dan penyangga rock bolt atau shotcrete. Bagaimanapun juga, penaksiran kebutuhan rock bolt dibuat dengan menganggap rock load terhadap kuat tarik dari bolt. Diberikan hubungan untuk diameter rock bolt 25 mm dengan beban kerja 24.000 lb :
Spacing (ft)
=
24 W
dengan w adalah beban batuan dalam 1000 lb/ft2 . Tidak ada koreksi yang dapat ditemukan antara kondisi geologi dan persyaratan shotcrete, sehingga hubungan empiris di bawah ini disarankan :
t =1 +
W 1,25
atau
t =D
65 - RSR 150
dengan t
= tebal shotcrete (inch)
W = beban batuan, lb/ft2 D
= diameter terowongan, ft
Gambar 3 memperlihatkan kurva untuk menentukan sistem ground-support tipikal berdasarkan prediksi RSR yang menyangkut kualitas massa batuan sampai arah penggalian terowongan. Kurva ini dapat digunakan untuk bentuk terowongan bulat atau tapal kuda. Konsep RSR adalah metode yang sangat berguna untuk memilih penyangga steel rib untuk terowongan batuan. Konsep RSR tidak direkomendasikan untuk memilih penyangga rock bolt atau shotcrete.
Klasifikasi Massa Batuan-18
Gambar 3.
Konsep RSR : Kurva penyangga untuk terowongan berdiameter 7,3 m
6. KLASIFIKASI GEOMEKANIKA (SISTEM RMR)
Sistem RMR menggunakan enam parameter untuk mengklasifikasikan massa batuan, yaitu : a. Uniaxial compressive strength of rock material. b. Rock Quality Designation (RQD). c. Spacing of discontinuities. d. Condition of discontinuities. e. Groundwater conditions. f. Orientation of discontinuities.
Klasifikasi Massa Batuan-19
Karena parameter tersebut dapat diperoleh dari lubang bor, penyelidikan di lapangan baik di permukaan maupun di bawah tanah. Ada enam langkah dalam menggunakan klasifikasi geomekanika (sistem RMR) : a. Langkah pertama adalah dengan menghitung rating total dari lima parameter yang terdapat di dalam Tabel 8 sesuai dengan kondisi lapangan yang sebenarnya.
Klasifikasi Massa Batuan-20
Tabel 8.
Parameter Klasifikasi dan Rating nya
Klasifikasi Massa Batuan-21
b. Langkah kedua adalah menilai kedudukan sumbu terowongan terhadap jurus (strike) dan kemiringan (dip) bidang-bidang diskontinuitas seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 9.
Tabel 9.
Efek orientasi jurus dan kemiringan diskontinuitas di dalam penerowongan
c. Langkah ketiga, setelah menentukan kedudukan sumbu terowongan terhadap jurus dan kemiringan bidang-bidang diskontinuitas, maka rating-nya ditetapkan berdasarkan Tabel 10. Langkah ini disebut juga sebagai penyesuaian rating (rating adjustment).
Tabel 10. Penyesuaian rating untuk orientasi bidang-bidang diskontinuitas
d. Langkah keempat adalah menjumlahkan rating yang didapat dari langkah pertama dengan rating yang didapatkan dari langkah ketiga sehingga didapatkan rating total sesudah penyesuaian. Dari rating total ini dapat diketahui kelas dari massa batuan berdasarkan Tabel 11.
Klasifikasi Massa Batuan-22
Tabel 11. Kelas massa batuan yang ditentukan dari rating total
e. Langkah kelima, setelah kelas massa batuan diketahui maka dapat diketahui stand-up time dari massa batuan tersebut dengan span tertentu serta kohesi dan sudut geser dalam-nya seperti diperlihatkan oleh Tabel 12.
Tabel 12. Arti dari kelas massa batuan.
Bieniawski (1976) memberikan hubungan antara waktu stabil tanpa penyangga (stand-up time) dengan span untuk berbagai kelas massa batuan menurut klasifikasi geomekanika seperti diperlihatkan oleh Gambar 4.
Hubungan ini sangat penting sekali diketahui pada saat penggalian terowongan.
Klasifikasi Massa Batuan-23
Gambar ambar 4.
Hubungan antara stand-up time dengan span untuk berbagai kelas massa batuan
f. Berdasarkan pada pada Klasifikasi lasifikasi Geomekanika ini, Bieniawski mem memberikan berikan petunjuk untuk penggalian dan penyanggaan terowongan batuan dalam hubungan dengan sistem RMR seperti diperlihatkan di Tabel 13. P etunjuk
ini
hanya
berlaku
untuk untuk
terowongan
di
batuan batuan
dengan lebar 10 m, berbentuk berbentuk tapal kuda (horseshoe), tegangan vertikal lebih kecil dari 25 MP a, sert serta a metode metode penggalian dengan pemboran pemboran dan peledakan.
Klasifikasi Massa Batuan-24 Batuan-24
Tab Tabel 13. P etunjuk juk untuk peng enggalia alian n dan penyang angga terowongan batuan deng engan sist siste em RMR
Klasifikasi Massa Batuan-25
Gambar 5 memperlihatkan formulir data masukan yang akan digunakan pada saat penyelidikan di lapangan untuk klasifikasi massa batuan.
Gambar ambar 5.
F ormulir ormulir data masukan asukan untuk klasifikas klasifikasii massa assa batuan
Klasifikasi Massa Batuan-26 Batuan-26
7. KLASIFIKASI SISTEM Q.
Klasifikasi massa batuan dengan sistem Q didasarkan pada penilaian numerik dari kualitas massa batuan dengan menggunakan enam parameter yang berbeda : a. RQD. b. Number of joint joint sets. sets. c. Roughness oughness of the the most most unfavorable unfavorable joint or discontinuity discontinuity.. d. Degree of alternat alternation ion or filling a long the the weakest weakest joint. e. Water inflow. f. S tress tress condition.
Keenam persamaan ini dikelompokkan kedalam tiga kelompok hasil bagi untuk memberikan kualitas massa batuan Q secara total sebagai berikut :
Q=
J RQD J r . . w J n J a SRF
dengan : RQD =rock quality designation designation J n
= joint set number
J r
= joint roughness number
J a
= joint alteration number
J w
= joint water reduction number
S RF
=stress reduction reduction factor
Kualitas batuan dapat berkisar dari Q = 0,001 sampai Q = 1000 pada skala logaritmik kualitas massa batuan.
Klasifikasi Massa Batuan-27 Batuan-27
Prosedur Klasifikasi
Tabel 14 memberikan nilai numerik dari tiap parameter klasifikasi. Dua parameter pertama menggambarkan struktur menyeluruh dari massa batuan, dan perbandingan kedua parameter tersebut adalah ukuran relatif dari blok. Perbandingan antara parameter ketiga dan keempat adalah indikator dari kuat geser inter-blok (dari kekar-kekar). P arameter kelima adalah ukuran untuk tekanan air, sedangkan parameter keenam adalah ukuran untuk : a. Beban lepas didalam hal daerah geseran dan batuan lempung. b. Tegangan batuan dalam hal batuan competent. c. Beban squeezing dan swelling di batuan incompetent plastis.
Parameter keenam ini adalah parameter tegangan total. P erbandingan antara parameter kelima dan keenam menggambarkan tegangan aktif (active stress).
Nilai Q dihubungkan dengan kebutuhan penyangga terowongan dengan menetapkan dimensi ekivalen (equivalent dimension) dari galian. Dimensi ekivalen merupakan fungsi dari ukuran dan kegunaan dari galian, didapat dengan membagi span, diameter atau tinggi dinding galian dengan harga yang disebut Excavation Support Ratio (ESR).
Dimensi ekivalen =
Span atautinggi (m) ESR
Tabel 15 memperlihatkan harga ESR untuk berbagai lubang bukaan bawah tanah serta tingkat keamanan yang dikehendaki.
Klasifikasi Massa Batuan-28
Tabel 14. Deskripsi Sistem Q dan Rating-nya : Parameter RQD, J n, J r, J a, SRF, J w.
Klasifikasi Massa Batuan-29
Tabel 14. (Lanjutan)
Klasifikasi Massa Batuan-30
Tabel 14. (Lanjutan)
Klasifikasi Massa Batuan-31
Tabel 14. (Lanjutan)
Klasifikasi Massa Batuan-32
Tabel 14. (Lanjutan)
Klasifikasi Massa Batuan-33
Tabel 14. (Lanjutan)
Klasifikasi Massa Batuan-34
Tabel 15. Harga ESR.
Hubungan antara indek Q dan dimensi ekivalen dapat menentukan ukuran penyangga yang sesuai seperti diperlihatkan oleh Gambar 6. Barton dan kawan-kawan (1974) menyediakan katagori penyangga sebanyak 38 buah yang memenuhi syarat untuk penyangga permanen seperti diberikan oleh Tabel 16 sampai Tabel 20. Untuk menentukan penyangga sementara (temporary support), indeks Q ditambah menjadi 5 Q atau ESR ditambah menjadi 1,5 ESR.
Harus dicatat bahwa panjang baut batuan (rock bolt) tidak ditentukan di dalam Tabel 16, tetapi panjang baut tersebut (L) ditentukan dari persamaan :
L =
2 + 0,15 B ESR
dengan B adalah lebar lubang bukaan.
Klasifikasi Massa Batuan-35
Span maksimum yang tidak disangga dapat diperoleh dari hubungan berikut ini : Span maksimum (unsupported) = 2 (ESR) QO,4
Hubungan antara nilai Q dan tekanan penyangga permanen (Proof ) dapat dihitung dengan persamaan berikut : P roof =
2 Q –1/3 J r
J ika jumlah joint set kurang dari tiga, persamaan tersebut menjadi : Proof =
2 1/2 -1 -1/3 J n J r Q 3
Walaupun Sistem Q melibatkan sembilan kelas massa batuan dan 38 kategori penyangga, ini tidak terlalu rumit. Beberapa pemakai Sistem Q menggaris bawahi bahwa skala logaritme terbuka Q bervariasi dari 0,001 sampai 1000 yang dapat menyebabkan kesulitan. Akan lebih mudah dengan menggunakan skala linier sampai dengan 100.
Gambar 6
Hubungan antara dimensi ekivalen dengan kualitas massa batuan (Barton dkk, 1974) Klasifikasi Massa Batuan-36
Tabel 16. Sistem Q : Ukuran penyangga untuk kisar Q dari 10 sampai 1000a.
Klasifikasi Massa Batuan-37
Tabel 16. (Lanjutan)
Klasifikasi Massa Batuan-38
Tabel 17. Sistem Q : Ukuran penyangga untuk kisar Q dari 1 sampai 10a.
Klasifikasi Massa Batuan-39
Tabel 18. Sistem Q : Ukuran penyangga untuk kisar Q dari 0,1 sampai 1,0a.
Klasifikasi Massa Batuan-40
Tabel 19. Sistem Q : Ukuran penyangga untuk kisar Q dari 0,001 sampai 0,1a.
Klasifikasi Massa Batuan-41
Tabel 20. Sistem Q : Ukuran penyangga – Catatan tambahan
Klasifikasi Massa Batuan-42
8. KLASIFIKASI NATM
New Austrian Tunneling Method (NATM) menonjolkan sistem klasifikasi batuan secara kualitatif yang harus diperhitungkan di dalam konteks secara keseluruhan dari NATM. NATM adalah pendekatan atau filosofi yang memadukan prinsip perilaku massa batuan yang mengalami beban dan pemantauan (monitoring) unjuk laku penggalian di bawah tanah pada saat konstruksi. Kata-kata metode di dalam NATM sering pengertiannya menimbulkan salah pengertian. Kenyataannya NATM tidak memberikan teknik penggalian dan penyanggaan yang spesifik. Banyak orang percaya jika menggunakan shotcrete dan rock bolt sebagai penyangga, mereka sudah menerapkan NATM. Ini jauh dari kebenaran. NATM mengikut sertakan kombinasi dari berbagai cara yang ada untuk penggalian dan penerowongan, tetapi perbedaannya adalah pemantauan yang terus menerus dari gerakan batuan dan revisi penyangga untuk memperoleh lining yang paling stabil dan ekonomis. Bagaimanapun juga, berbagai aspek lainnya berhubungan juga di dalam membuat NATM lebih bersifat konsep atau filosofi dibandingkan dengan hanya suatu metode. NATM dikembangkan di Austria diantara tahun 1957 sampai tahun 1965 dan diberi nama NATM di Salzburg tahun 1962 untuk membedakan dari pendekatan penerowongan Austria yang lama dan tradisional. Kontributor utama dari pengembangan NATM adalah Ladislaus von Rabcewicz, Leopold Muller dan Franz Pacher. Yang utamanya, NATM adalah suatu pendekatan scientific empiris, yang melibatkan pengalaman praktek yang disebut empirical dimesioning (Rabcewicz, 1964). Ini merupakan dasar teoritis yang melibatkan hubungan antara tegangan dan deformasi di sekeliling terowongan (lebih dikenal dengan konsep kurva ground-reaction). P ada awalnya ini merupakan dasar teoritis yang diberikan oleh dua orang Austria, yaitu Fenner dan Kastner.
Klasifikasi Massa Batuan-43
Metode ini menggunakan instrumentasi in-situ dan pemantauan yang canggih dan menginterpretasikan pengkuran ini secara scientific.
Muller (1978) menganggap NATM sebagai suatu konsep yang mengamati prinsip-prinsip tertentu. Walaupun ia menulis tidak kurang dari 22 prinsip, tetapi ada 7 ciri yang paling penting yang menjadi dasar NATM : a. Mobilisasi dari kekuatan massa batuan. Kekuatan massa batuan di sekitar terowongan dijaga sebagai komponen utama penyangga terowongan. Penyangga primer secara langsung memungkinkan batuan itu menyangga dirinya sendiri. Ini diikuti dengan penyangga yang harus mempunyai karakteristik load-deformation yang cocok dan dipasang tepat pada waktunya. b. Perlindungan oleh shotcrete. Dalam rangka menjaga kemampuan massa batuan untuk menahan beban, lepasnya batuan dan deformasi batuan yang berlebihan harus dikurangi sekecil mungkin. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan lapisan shotcrete yang tipis, kadang-kadang bersama-sama dengan sistem yang cocok dari rock bolting, segera setelah penggalian. Sangat penting bahwa sistem penyangga yang digunakan kontak langsung secara keseluruhan dengan massa batuan dan mengalami deformasi bersama-sama dengan batuan.
c. Pengukuran. NATM membutuhkan pemasangan instrumentasi yang canggih pada saat shotcrete lining awal dipasang, untuk memantau deformasi galian dan timbulnya beban di penyangga. Akan didapat informasi mengenai kestabilan terowongan dan memungkinkan untuk mengoptimasikan formasi load-bearing ring dari lapisan batuan. Waktu penempatan penyangga adalah sangat penting.
Klasifikasi Massa Batuan-44
d.
P enyangga enyangga yang fleksibel. NATM membutuhkan penyangga terowongan yang fleksibel, bukan yang kaku. Dianjurkan penyangga yang aktif dan penguatannya bukan oleh dinding beton yang tebal tetapi oleh kombinasi yang fleksibel dari rock bolt, wire mes mesh h dan steel rib. P enyangga primer primer akan merupakan merupakan sebagian atau seluruh penyangga yang dibutuhkan dan ukuran dari penyangga sekunder tergantung dari hasil pengukuran.
e. Penutupan invert. Karena terowongan dianggap sebagai pipa berdinding tebal, penutupan invert untuk membentuk suatu load-bearing ring dari massa batuan adalah penting. Akan lebih sulit jika penerowongan dilakukan di soft ground, invert harus segera ditutup, tidak boleh ada bagian yang tidak segera disangga meskipun untuk sementara. Untuk terowongan di batuan, penyangga tidak boleh dipasang terlalu awal/cepat karena kemampuan dukung massa batuan belum termobilisir secara penuh. Massa batuan harus diijinkan untuk melakukan deformasi secukupnya sebelum penyangga bekerja penuh.
f. P engaturan engaturan kontrak. kontrak. P rinsi-prinsip rinsi-prinsip utam utama a NAT NATM akan sukses sukses jika dibuat pengat pengaturan uran kontr kontrak ak yang khusus. Karena NATM didasarkan pada hasil pemantauan, perubahan penyangga dan metode kontruksi harus memungkinkan. Hal ini hanya mungkin jika sistem kontrak mengijinkan perubahan-perubahan selam selama konstruksi. konstruksi.
g. Klasifikasi lasifikasi mass massa a batuan batuan sebagai penent penentu u ukuran ukuran penyangga. penyangga. P embayaran embayaran penyangg penyangga a didasarkan pada klasifikasi klasifikasi massa assa batuan sesudah tiap siklus pemboran dan peledakan. Di beberapa negara cara ini tidak dapat diterima secara kontraktual, oleh karena itu di Amerika Serikat metode ini diterima secara terbatas. Gambar 7 memperlihatkan contoh dari kelas massa batuan untuk terowongan di batuan dengan penyangganya, yang dapat digunakan sebagai panduan untuk penguatan
Klasifikasi Massa Batuan-45 Batuan-45
terowongan dan pembayaran. NATM mengharuskan semua yang terlibat di dalam rancangan dan kontruksi proyek terowongan untuk menerima dan mengerti pendekatan ini dan bekerja sama di dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Pemilik proyek, enjinir perancang, dan kontraktor harus bekerja sama sebagai satu tim. Di dalam praktek, klasifikasi NATM menghubungkan kondisi massa batuan, prosedur penggalian dan kebutuhan penyangga terowongan. Klasifikasi yang merupakan bagian dari kontrak, dapat digunakan untuk proyek yang baru berdasarkan pengalaman sebelumnya dan investigasi geoteknik rinci.
Contoh ontoh dari dari klasifikasi NAT NATM M berdasarkan berdasarkan hasil kerja dari J ohn (1980) (1980) diberikan pada Tabel 21.
Gambar ambar 7.
Ukuran penyangga menurut NAT NATM untuk untuk Terowongan Alberg Alberg (J ohn, ohn, 1980 1980))
Klasifikasi Massa Batuan-46 Batuan-46
Tab Tabel 21. Ground Classification untuk NATM.
Klasifikasi Massa Batuan-47
Tab Tabel 21. (Lan Lanjut jutan)
Klasifikasi Massa Batuan-48
9. PENGGUNAAN DI DAL AM PENEROWONGAN
Sebagai contoh penggunaan klasifikasi massa batuan untuk penerowongan diambil kasus terowongan Park River sebagai terowongan penyediaan air di kota Hartford, Connecticut Amerika Serikat (Bieniawski, 1980). Terowongan ini berfungsi untuk mengendalikan banjir, dapat mengalihkan kelebihan air dari satu sungai ke sungai lainnya. Diameter dalam terowongan adalah 6,7 m dengan panjang antara intake dan outlet adalah 2800 m. P enggalian dilakukan melalui batu serpih (shale) dan batu basalt dengan kedalaman maksimum 61 m di bawah permukaan tanah. Lokasi terowongan berada di pusat kota yang cukup ramai. Invert terowongan di outlet adalah 15,9 m di bawah invert di intake, dengan kemiringan terowongan kira-kira 0,6 %. Tebal minimum batuan 15,3 m di atas crown di outlet. Harga penawaran untuk terowongan bervariasi dari US$ 33,37 juta untuk pemboran dan peledakan sampai US$ 23,25 juta untuk pemboran mesin dengan dinding precast. Harga satuan adalah US $ 83,03 per meter, dengan tunnel boring machine (TBM), harga penawaran pada tahun 1978.
9.1 GEOLOGI TEROWONGAN
Gambar 8 memperlihatkan penampang geologi longitudinal. Batuan di sepanjang lintasan terowongan dengan kemiringan ke arah timur adalah serpih merah/siltstone diselang selingi oleh basalt dyke dan dua daerah sesar.
Tiga daerah geologi utama dibedakan sepanjang lintasan terowongan sebagai hasil penyelidikan awal (Blackey, 1979) : a. Daerah serpih dan basalt, meliputi 88 % dari terowongan.
Klasifikasi Massa Batuan-49
b. Daerah batuan fractured (very blocky and seamy), diantara stasiun 23+10 dan 31+10. c. Daerah dua sesar, satu di dekat stasiun 57+50 dan lainnya di antara stasiun 89+50 dan 95+50.
Perlapisan dan kekar pada umumnya utara/selatan, yang tegak lurus dengan sumbu terowongan (terowongan digali dari barat ke timur). Perlapisan pada umumnya mempunyai kemiringan antara 15o dan 20o , sedang kekar lebih curam lagi, antara 70o dan 90o . Kekar di serpih mempunyai permukaan kasar (rough) dan banyak sangat tipis serta diisi oleh calcite.
Tinggi muka air tanah yang diukur sebelum konstruksi terowongan adalah 47-58 m di atas invert terowongan.
9.2 PENYELIDIKA N GEOLOGI
Penyelidikan lapangan termasuk pemboran inti berbagai uji di dalam lubang bor dan survai seismik. Uji di dalam lubang bor terdiri fotografi lubang bor, pengujian tekanan air, pemasangan pisometer, observasi lubang bor dan uji pemompaan. Inti batuan dari 29 lubang bor digunakan untuk menentukan geologi terowongan. Lubang bor ini berdiameter 54 mm sebanyak 18 buah dan 110 mm sebanyak 11 buah. Sepuluh lubang bor tidak sampai ke level terowongan. Semua inti difoto di lapangan segera sesudah dikeluarkan dari core barrel dan dilog, diklasifikasikan dan diuji. Fotografi lubang bor dilakukan di 15 lubang bor untuk menentukan orientasi diskontinuitas dan struktur batuan. Contoh inti dipilih dari 24 lokasi di dalam terowongan, dekat crown dan pada jarak 1 1/2 diameter diatas crown untuk menentukan density, kuat tekan uniaksial, kekuatan triaksial, modulus elastisitas, Poisson’s ratio, kandungan air, swelling dan slaking, kecepatan sonik, kekuatan kekar. Hasilnya diberikan pada Tabel 22.
Klasifikasi Massa Batuan-50
Gambar 8.
Profil geologi dari terowongan Park River
Klasifikasi Massa Batuan-51
Gambar 8.
(Lanjutan)
Klasifikasi Massa Batuan-52
Gambar 8.
(Lanjutan)
Klasifikasi Massa Batuan-53
Gambar 8.
(Lanjutan)
Klasifikasi Massa Batuan-54
Tabel 22. Rekapitulasi sifat batuan di terowongan Park River
Batuan
J umlah Uji
Kuat Tekan Uniaksial (MPa)
J umlah Uji
Modulus Elastisitas (GPa)
Serpih
19
7
Basalt
11
1,38 - 34,5 (rata-rata 14,5) 6,14 - 68,9 (rata-rata 31,9)
Batu pasir
2
22,4 - 90,3 (rata-rata 53,4) 38,2 - 94,8 (rata-rata 70,8) 64,5 - 65,8) (rata-rata 65,1)
9
9.3 DATA MASUKAN UNTUK KLASIFIKASI MASSA BATUAN
Data masukan untuk klasifikasi massa batuan telah dikompilasi untuk semua daerah struktur disepanjang terowongan. Gambar 9 memperlihatkan contoh pengambilan data di daerah outlet. Semua data yang masuk ke dalam lembaran data masukan klasifikasi didapat dari lubang bor, termasuk informasi orientasi dan jarak (spacing) dari diskontinuitas. Ini mungkin karena digunakannya fotografi lubang bor untuk penampangan lubang bor, sebagai tambahan dari prosedur core logging yang biasa.
9.4 RANCANGAN TEROWONGAN
Tiga seksi terowongan yang berbeda dirancang dan ditawarkan sebagai bagian dari penawaran : 1. Pemboran dan peledakan dengan penguatan, ketebalan bervariasi, cast-in-place linier dirancang untuk menghadapi tiga kisar beban batuan.
2. Penggalian dengan mesin dengan penguatan cast-in-place lining. 3. Penggalian dengan mesin dengan penguatan precast lining.
Klasifikasi Massa Batuan-55
Gambar 9.
Lembar data masukan untuk daerah struktur 1(c) dari terowongan Park River
Klasifikasi Massa Batuan-56
Tabel 23 memberikan penyangga yang direkomendasikan dan beban batuan yang didasarkan pada metode Terzaghi.
Rekomendasi penyangga juga disiapkan dari sistem klasifikasi massa batuan lainnya yang diberikan pada Tabel 24 (Bieniawski, 1979).
Kesimpulan
utama yang ditarik dari tabel ini adalah metode Terzaghi, yang merekomendasikan ukuran penyangga yang paling luas, kelihatannya berlebihan jika dibandingkan dengan rekomendasi yang diberikan oleh ketiga sistem klasifikasi lainnya. Hal ini disebabkan oleh tiga hal : a. Rancangan dinding (lining) permanen tidak memperhitungkan efek yang diberikan ke batuan oleh penyangga sementara, yang mungkin sudah dapat menstabilkan struktur dari terowongan. b. Modifikasi metode Terzaghi yang asli oleh Deere (1970) didasarkan pada teknologi tahun 1969. c. Metode Terzaghi tidak dapat melihat kemampuan batuan untuk menyangga dirinya sendiri. Metode Terzaghi digunakan sebagai deskripsi massa batuan secara kualitatif seperti blocky dan seamy, yang tidak menggunakan secara penuh semua informasi kuantitatif yang tersedia dari program eksplorasi lapangan. Instrumentasi di terowongan direncanakan untuk melakukan verifikasi rancangan, penggunaan rancangan selanjutnya, dan pemantauan efek dari konstruksi.
Sepuluh seksi uji di lokasi pada berbagai kondisi geologi telah dipilih di dalam terowongan. Seksi ini terdiri dari extensometer (MPBX) yang dipasang dari permukaan tanah, pore pressure transducer , rock bolt load cell, titik convergence, strain gauge yang dipasang dipermukaan dan ditanam di
dalam terowongan. Pengukuran tegangan in-situ juga dilakukan.
Klasifikasi Massa Batuan-57
Tabel 23. Terowongan Park River : Rancangan terowongan beban batuan dan penyangga berdasarkan metode Terzaghi
Klasifikasi Massa Batuan-58
Tabel 24. Terowongan Park River : Perbandingan dari rekomendasi penyangga
Klasifikasi Massa Batuan-59
Karena precast liner dirancang untuk kondisi batuan yang jelek (10 % dari total panjang terowongan) tetapi telah digunakan disepanjang terowongan, akibatnya adalah over design untuk sebagian besar terowongan. Maksud dari program instrumentasi adalah untuk validitas asumsi-asumsi rancangan dan memperhalus perhitungan untuk rancangan yang akan datang.
9.5 CONTOH PROSEDUR KLASIFIKASI
9.5.1 Item 1 : Klasifik asi kondisi massa batuan
a. Terzaghi : Moderately blocky and seamy (RQD = +72 %)
b. RSR Concept : -
Rock type : soft sedimentary rock;
-
Slightly faulted and folded;
-
Parameter A = 15;
-
Spacing : moderate to blocky;
-
Strike approximately perpendicular to tunnel axis, dip 0,200;
-
Parameter B = 30;
-
Water inflow : moderate;
-
J oint conditions; fair (moderately open, rough, and weathered);
-
For : A + B = 45, parameter C = 16;
-
Therefore : RSR = 15 + 30 + 16 = 61.
c. Geomechanics Classification (RMR) : -
Intact rock strength, σc =50 MP a Rating = 4;
-
Drill core quality, RQD = 55 - 75 %; av 72 % Rating = 13;
-
Spacing of discontinuities, range 50 mm to 0.9 m Rating : 10;
Klasifikasi Massa Batuan-60
Conditions of discontinuities : separation 0.8 mm to 1.1 mm, slightly
-
weathered, rought surfaces Rating = 25; Groundwater : dripping water, low pressure, flow 25 - 125 L/min
-
Rating = 4; Basic RMR : 4 + 13 + 10 + 25 + 4 = 56 without adjustment for
-
orientation of discontinuities; Discontinuity orientation : strike perpendicular to tunnel axis, dip 200;
-
Fair orientation, adjustment : - 5, adjusted RMR =56 - 5 =51; RMR =51, represents Calss III; fair rock mass.
-
d. Q-System : -
RQD
= 72 % (average);
-
Jn
= 6, two joint sets and random;
-
Jr
= 1.5, rough, planar joints;
-
Ja
= 1.0, unaltered joint walls, surface staining only;
-
Jw
= 0.5, possible large water inflow;
-
SRF
= 1.0, medium stress, σc/σ1 = 50/0.91 = 55.
-
Q
= RQD/J n x J r/J a x J a x J w/SRF =9.0 Fair rock mass.
Rekapitul asi :
Klasifikasi
Hasil
Terzaghi
Moderately blocky and Seamy
RSR
61
RMR
51 Fair rock mass
Q
9,0 Fair rock mass
Klasifikasi Massa Batuan-61
9.5.2 Beban batuan (rock load)
Drill and blast dia.meter
: 7.4 m +0.6 m overbreak =8.0 m.
Machine-bored diameter
: 7.4 m
Shale density
: 2660 kg/m3 (166 lb/ft3).
Metho d
Terzaghi
Drill and Blast
TBM
hp = 0.35C = 0.7B = 0.7 x 8.0 = 5.6 hp = 0.45B = 3.3 m m
P =0.09 MPa
Rock load P = γhp =0.146 MP a
(0.9 t/ft2)
(1.52 t/ft2) RSR
From Figure 2.3, P =0.067 MPa (1.2 kip/ft2)
TBM adjustment, RSR =69.5 P =0.034 MPa (0.7 kip/ft2)
RMR
100 − 51
hp
B = 3.92 m
100
P = γhp =0.120 MPa
TBM
adjustment
via conversion to RSR RMR = 74, P
= 0.049
MPa Q =9
P=
2.0
J
Q −1/3 =
2.0
. 15
(9)−1/3
0.64 kg/cm2 =0.0628 MP a or
TBM adjustment via conversion to RSR Q =54 P =0.0321 MPa
P=
2 J
1/ 2 1n
J r 3
=
2
6
. 315
(9) −1/3
= 0.52 kg/cm2 =0.0513 MP a
Klasifikasi Massa Batuan-62
Rekapitulasi beban batuan dalam kPa (1 MPa = 1000 kPa) :
Metod e
Drill and Blast
TBM
146
90
Terzaghi RSR
67
RMR
34
102
Q
49
63
32
9.5.3 It em 3 : Self Supporting Span dan Maxium Span : oleh RMR dan Q Systems.
Dengan menggunakan Gambar 4 : span versus stand-up time.
RMR = 51
Self-supporting span Maximum span
Q = 9 (ESR = 1,6)
2,4 m 10,5 m
8 m [ D =2(1,6) x 90,4
9.5.4 Item 4 : Stand-up Time, Defor mabili ty dan nilai c, .
Untuk RMR = 51 dan span = 8 m ; Stand-up time : kira-kira 70 jam atau 3 hari ; Deformability, RMR = 56 (tidak disesuaikan untuk orientasi kekar) ;
E = 2 RMR - 100 =12 Gpa (1.74 x 106 psi) ; c = 192 KPa ; 0
φ = 39
(Tabel 12).
Klasifikasi Massa Batuan-63
9.5.5 Item 5 : Rekomendasi penyang ga
Terzaghi
: Drill and blast-light to medium steel sets spaced 1.5 m. Concrete lining.
RSR
: Drill and blast-6H25 ribs on 2-m centers plus concrete lining.
RMR
: Drill and blast-systematic bolts 3.5 m long spaced 1.5 m, shotcrete 50 to 100 mm in roof and 30 mm on walls, wire mesh ini crown.
Q-System : Drill and blast-3 m long rock bolts spaced 1.5 m and 50 mm thick shotcrete.
9.5.6 Item 6 : Tabul asi hasil dari item 1 sampai 5.
Item
Terzaghi
Shale Quality
RSR
Moderately
RMR 61
Q 51
9.0 blocky and seamy Rock load
5.6
N/Aa
3.9
N/Aa
146
67
102
63
N/Aa
N/Aa
3d
N/Aa
Ribs at 1.5 m
Ribs at
3.5 m bolts
3m
Concrete lining
2m
at 1.5 m,
bolts
Concrete
shotcrete
at 1.5 m,
height (m) Rock load (kPa) Stand-up time Support
50 to shotcrete 100 mm,
50 mm
wire mesh
thick
Klasifikasi Massa Batuan-64
a
Not applicable.
10.
DAFTAR PUSTAKA
Bieniawski, Z.T., “Engineering Rock Mass Classification”, J ohn Wiley & Sons, New York, 1984. Bieniawski, Z.T., “Rock Mechanics Design in Mining and Tunneling”, A.A. Balkema, Rotterdam, 1984. Hock, E. and Brown, E.T., “Underground Excavation in Rock”, Institution of Mining and Metallurgy, London, 1980.
Klasifikasi Massa Batuan-65