Michael Riffaterre adalah salah satu ahli semiotik yang menggunakan menggunakan istilah-istilah pinjaman dari linguistik. Riffaterre menerapkan konsep semiotik pada puisi. Menurut riffaterre, dalam memaknai sebuah puisi, pembacalah yang berkompeten malampaui arti permukaan. Pembaca yang akan menentukan makna sebuah puisi berdasarkan pengalaman dan kemampuan pemahamannya sebagai pembaca puisi. Maksudnya, Maksudnya, dalam memberikan makna terhadap sebuah puisi, pembaca lebih berwenang dan lebih berkuasa daripada pengarang. pengarang. Pembaca bebas menginterpretasikan dan memberi makna kepada puisi berdasarkan pemahaman pemahaman dan horizon harapan mereka, bahkan dalam hal ini in i memungkinkan terjadinya penyimpangan dari makna yang sebenarnya dimaksudkan oleh pengarang. Sesungguhnya, Sesungguhnya, puisi puisi ini merupakan merupakan gambaran gambaran satuan-satuan informasi yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Jadi, agar sebuah puisi mempunyai makna, pembaca tidak hanya memperhatikan artinya saja, melainkan harus pula memperhatikan aspek-aspek aspek-aspek dan unsur-unsur yang menjadikan puisi itu menjadi lebih bermakna. Tugas pembaca dalam memaknai sebuah karya sastra terlebih dahulu harus memulai dengan menemukan meaning unsur-unsurnya, unsur-unsurnya, sebagai alat komunikasi tentang gejala di dunia luar (fungsi mimetik), selanjutnya pembaca harus meningkat ke tataran berikutnya, yaitu tataran semiotik untuk membongkar kode sastra secara struktural, atas dasar significancenya significancenya (Teeuw, 1983:65). Karena puisi merupakan sarana untuk mengekspresikan sesuatu secara tidak langsung, atau dapat dikatakan bahwa puisi mengatakan sesuatu dengan memaksudkan memaksudkan sesuatu yang lain, maka maka dalam memaknai puisi harus harus juga memperhatikan aspek ketidaklangsungan ketidaklangsungan ekspresi. Ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing), penyimpangan arti (distorting) dan penciptaan arti (creating). Penggantian arti terjadi ketika tanda (sign) berubah dari satu makna ke makna lain, ketika satu kata ‘berdiri untuk’ kata lain, seperti yang terjadi pada metafora dan metonimi. Penyimpangan Penyimpangan arti terjadi ketika ada ambiguitas, kontradiksi dan nonsense. Penciptaan arti terjadi ketika ruang tekstual berfungsi berfungsi sebagai suatu prinsip prinsip organisasi untuk membuat lambang-lamang (sign) dari item-item linguistik yang mungkin tidak mengandung arti dalam cara lain, misalnya simetri, enjambemen, dan homologue. Ketiga tanda ketidaklangsungan ekspresi tersebut merusak representasi sastra terhadap realitas atau mimesis. Mimesis direpresentasikan direpresentasikan oleh bahasa sehari-hari, sementara puisi mempunyai kesatuan formal dan semantik. Kesatuan ini mempunyai prinsip dasar, yaitu puisi mengatakan sesuatu dengan memaksudkan sesuatu yang lain. Prinsip inilah yang kemudian membedakan dengan bahasa sehari-hari yang bersifat mimetik. Kasatuan formal dan semantik yang dimiliki oleh puisi dan mencakup semua indeks ketaklangsungan ketaklangsungan tersebut disebut significance (Riffaterre, 1978: 2-3). Riffaterre melanjutkan, dalam memaknai puisi secara semiotik pembaca harus dapat membedakan membedakan karena sebelum mencapai signifikansi, pembaca harus melintasi mimesis. Dua tahap pembacaan tersebut adalah pembacaan heuristik dan pembacaan pembacaan retroaktif atau hermeneutik. Pembacaan heuristik merupakan interpretasi pertama karena dalam pembacaan inilah makna dipahami. Dalam tahap ini, apa yang dibayangkan dibayangkan atau ditangkap oleh pembaca merupakan kompetensi linguistik yang kemudian memunculkan ketidakgramatikalan yang ada di dalam teks. Ketidakgramatikalan berasal dari kenyataan fisikal bahwa suatu frase telah dihasilkan oleh suatu kata yang telah menyingkirkannya dari suatu kenyataan bahwa urutan
verbal puitik dicirikan oleh kontradiksi-kontradiksi antara praduga-praduga suatu kata dan tuntutan-tuntutannya. Ketidakgramatikalan tersebut dianggap sebagai suatu rintangan yang harus diatasi. Rintangan ini esensial bagi perubahan pikiran pembaca. Kemudian, pembacaan hermeneutik merupakan interpretasi kedua. Ketika pembaca malalui t eks, pembaca baru saja mengingat dan memodifikasi pemahamannya tentang teks yang dibaca dan diuraikan. Dengan demikian, pembaca sedang melakukan pembacaan dan penguraian atau decoding. Ketidakgramatikalan yang tampak pada pembacaan tahap pertama, berubah menjadi ekuivalen dan tampak sebagai varian-varian dari matriks struktural yang sama pada pembacaan tahap kedua. Efek maksimal dari pembacaan hermeneutik yang fungsi klimaknya sebagai pembangkit makna, biasanyaa terjadi pada akhir sajak setelah teks dibaca secara menyeluruh (1978:5-6). Jika telah melakukan dua tahap pembacaan tersebut pembaca berhasil menguraikan tanda-tanda yang ada di dalam teks dan berhasil memberi makna pada teks tersebut, hal itu berarti pembaca telah berhasil melalui tataran mimetik dan meningkat ke tataran berikutnya yang lebih tinggi, yaitu tataran signifikansi, keduanya merupakan menifestasi dalam suatu proses semiotik. Hal lain yang dikemukakan oleh riffaterre dalam memberikan makna terhadap sebuah puisi adlah matriks, model dan varian (2978:19). Matriks bersifat hipotetik yang hanya merupakan aktualisasi gramatikal atau leksikal atas suatu struktur. Matriks merupakan konsep abstrak yang tidak teraktualisasi dengan sendirinya dan tidak tampak jelas tanpa hadirnya varian-varian. Matriks dapat diringkas dalam satu kata tunggal yang tidak t erdapat di dalam teks, sedangkan varian-varian bentuknya ditentukan oleh aktualisasi pertama dan utama, yaitu model yang berupa kata atau kalimat tertentu yang sifat puitisnya dominan. Matriks, model dan teks adalah varian-varian dari sruktur yang sama. Hadirnya matriks, model dan varian yang menyebabkan terjadinya pemaknaan terhadap sajak diandaikan oleh riffaterre dengan sebuah kue donat. Bentuk konkrit dari kue itu adalah bangun sajak atau teks seluruhnya, sedangkan matriknya adalah lingkaran yang membentuk kuee atau daging donat tersebut. Karena matriks merupakan konsep abstrak, maka matriks tidak akan dijumpai dalam teks, yang dijumpai adalah aktualisasi teks tersebut yaitu model, sedangkan yang mentransformasikan matriks dan model adalah varian-varian. Dalam kompleksitasnya, teks tak lebih dari memodulasikan matriks. Antara matriks dan model keduanya tidak dapat dipisahkan. Matrik sebagai motor penggerak derivasi tekstual tidak bisa berdiri sendiri untuk menjelaskan derivasi tekstual tersebut, modellah yang menentukan cara-cara derivasi itu (1978:21). Gabungan keduanya akan menciptakan bahasa khusus yang mengandung banyak makna lewat tanda-tanda yang teraktualisasikan lewat teks. Selain matriks, model dan varian, riffaterre juga mengemukakan konsep lain, yaitu hipogram (1978:23). Hipogram adalah suatu sistem tanda yang terdiri dari suatu prediksi. Besarnya hipogram bisa sama dengan teks. Hipogram ada dua macam, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial trdapat di dalam teks secara implisit, sedangkan hipogram aktual tidak tampak didalam teks, melainkan tampak pada teks sebelumnya. Dengan kata lain, hipogram potensial diabstraksikan dalam teks sebagai matriks yang ditemukan dalam bahasa sehari-hari berupa satu kata, frase atau kalimat. Hipogram
potensial terbentuk dari seme-seme suatu kata attau presuposisi- presuposisi yang sebagian diaktualisasikan oleh model. Namun kata inti hipogram bisa teraktualisasikan di dalam teks dan bisa juga tidak (1978:25). Selain itu hipogram potensial dapat berupa klise-klise dan sistem deskriptif. Sistem2 deskriptif lebih kompleks daripada jaringan2 presuposisi, tetapi dalam bentuknya yang lbih sederhana, hal ini dekat dengan definisi kamus tentang kata-kata inti. Masing2 komponen dalam sistem berfungsi sebagai suatu metonim seperti i tu dapat berfungsi sebagai suatu metafor, dan pada suatu titik dalam teks dimana sistem dibuat implisit adanya, pembaca dapat mengisi jurang-jurang pemisah secara biasa dan menyusun kembali keseluruhan representasi dari metonim itu sesuai dengan tatabahasa stereotif2 yang terkait. Menurut riffaterre, hippogram2 ini telah teraktualisasi dalam bentuk2 tertentu dalam pikiran pembaca (2978:39-40). Hipogram aktual yang tidak teraktualisasi di dalam teks merupakan suatu hubungan intertekstual. Perbandingan antara teks yang dianggap sebagai hipogram dengan teks (puisi) yang sedang dibaca dilakukan agar ketidakgramatikalan yang ditemukan dalam proses pembacaan dapat teratasi (1978:4). Tanda yang menunjuk pada hipogram harus merupaka suatu varian dari matriks teks itu, atau tanda puitik hanya akan berfungsi sebagai suatu leksem atau sintagma yang ditandai secara stilistik.