BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Bedah Mayor Abdomen a. Pengertian Bedah mayor adalah tindakan bedah besar yang menggunakan anestesi umum/ general anestesi, yang merupakan salah satu bentuk dari pembedahan yang sering dilakukan (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
Bedah mayor abdomen merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu
insisi
pada
dinding
abdomen abdomen hingga
ke
cavitas
abdomen
(Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Ditambahkan pula bahwa tindakan bedah abdomen merupakan teknik sayatan yang yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan obstetri ginekologi. ginekologi.
b. Indikasi Bedah Mayor Abdomen Indikasi dilakukan tindakan bedah mayor abdomen menurut Smeltzer dan Bare (2001) adalah karena disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) trauma abdomen abdomen (tumpul atau tajam); 2) Peritonitis; 3) Perdarahan saluran pencernaan; 4) sumbatan pada usus halus dan usus besar; 5) masa pada abdomen; 6) perforasi 6) perforasi usus; usus; 7) pancreatitis; 7) pancreatitis; 8) cholelithiasis. c. Macam-macam Bedah Mayor Abdomen Adapun tindakan bedah mayor abdomen yang sering dilakukan adalah laparatomi,
gasterektomi,
kolesistoduodenostomi,
9
cholesistektomi,
hepatektomi, splenektomi, kolostomi, dan fistulektomi fistulektomi (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Setiap pembedahan selalu berhubungan dengan insisi/sayatan yang merupakan trauma atau kekerasan bagi bagi penderita yang menimbulkan berbagai keluhan dan gejala.
Salah
satu
keluhan
yang
sering
dikemukakan
adalah
nyeri
(Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
2. Nyeri a. Pengertian Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Smeltzer dan Bare, 2002).
b. Fisiologi Nyeri Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor (nosireceptor ) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), (Kutaneus), somatik dalam (deep (deep somatic), somatic), dan pada daerah visceral . Oleh karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor
10
kutaneus berasal kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, ku tan, nyeri n yeri yang yan g berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Reseptor jaringan kulit (kutaneus (kutaneus)) terbagi dalam dua komponen
yaitu :
1) Reseptor A delta, merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6- 30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan; 2) Serabut C, merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi (Smeltzer dan Bare, 2002).
Fisiologi nyeri pada pasien pasca operasi adalah nyeri diawali sebagai respon yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia seperti substansi P, bradikinin, dan prostaglandin dilepaskan. Kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu menghantarkan rangsang nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls
11
elektrokimia di sepanjang saraf ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, yaitu pusat sensori di otak dan sensasi seperti panas, dingin, nyeri dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Kemudian pesan
dihantarkan
ke
kortex
dimana
intensitas
dan
lokasi
nyeri
dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mengurangi nyeri di daerah yang terluka (Taylor dan Le Mone, 2005).
c. Teori Pengontrolan Nyeri ( Gate Control Theory ) Ada berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007).
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) dalam Smeltzer (2002), menjelaskan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta- A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Selain itu, terdapat mekanoreseptor , neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila
12
masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. Teknik distraksi, konseling dan pemberian placebo merupakan upaya untuk melepaskan endorphin (Potter dan Perry, 2005).
d. Respon Nyeri Nyeri yang dirasakan individu akan meyebabkan berbagai respon, antara lain respon psikologis, fisiologis dan respon tingkah laku. Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain : bahaya atau merusak, komplikasi seperti infeksi, penyakit yang berulang, penyakit baru, penyakit yang fatal, peningkatan ketidakmampuan, kehilangan mobilitas, menjadi tua, sembuh, perlu untuk penyembuhan, hukuman untuk berdosa, tantangan, penghargaan terhadap penderitaan orang lain, sesuatu yang harus ditoleransi, bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki. Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya ( Long, 1996 ).
13
Sedangkan respon fisiologis terhadap nyeri dapat menstimulasi saraf simpatis dan parasimpatis. Respon fisiologis stimulasi simpatis antara lain: dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan frekuensi pernafasan, peningkatan frekuensi denyut jantung, vasokonstriksi perifer , peningkatan tekanan darah , peningkatan nilai gula darah, diaphoresis, peningkatan kekuatan otot, dilatasi pupil , penurunan motilitas gastro intestinal ( Potter dan Perry, 2006 ). Respon fisiologis stimulus parasimpatis antara lain: muka pucat, otot mengeras, penurunan frekuensi nadi dan tekanan darah, nafas cepat dan tidak teratur, mual dan muntah, serta kelelahan dan keletihan ( Potter dan Perry, 2006 ).
Respon
perilaku
terhadap
nyeri
dapat
mencakup:
pernyataan
verbal
(mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur), ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir), gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan, kontak dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri). Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri ( Potter dan Perry, 2006 ).
Meinhart
dan
McCaffery
(1983)
dalam
Potter
dan
Perry
(2006),
mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri: 1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima) Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang
14
belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien. 2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa) Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
15
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau be rhenti) Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
e. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri antara lain: 1). Usia Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. Ebersol dan Hess (1994) dalam Potter dan Perry (2006), mengatakan individu yang berusia lanjut memiliki resiko tinggi mengalami situasi – situasi yang membuat mereka merasakan nyeri. 2). Jenis kelamin Gill (1990) dalam Potter dan Perry (2006), mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (misalnya, tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).Toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal unik pada setiap individu tanpa memperhatikan jenis kelamin.
16
3). Kultur Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. Pemahaman tentang nyeri dari segi makna budaya akan membantu perawat dalam merancang asuhan keperawatan yang relevan untuk klien yang mengalami nyeri ( Potter dan Perry, 2006 ). 4). Makna nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda apabila nyeri tersebut member kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Sehingga derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri ( Potter dan Perry, 2006 ). 5). Perhatian Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990) dalam Potter & Perry (2006), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri. 6). Ansietas Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. Paice (1991) dalam Potter dan Perry (2006) menuliskan bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistim limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang, khususnya kecemasan. Sistim limbik ini dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yaitu memperburuk atau
17
menghilangkan nyeri. Sehingga individu yang sehat secara emosional biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri dari pada individu dengan emosional yang kurang stabil. 7). Pengalaman masa lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. 8). Pola koping Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. Sumber-sumber koping yang dapat digunakan seperti berkomunikasi dengan keluarga pendukung, melakukan latihan, menyanyi yang dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalam upaya mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu ( Potter dan Perry, 2006 ). 9).Dukungan keluarga dan sosial Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan dalam menghadapi nyeri. Walaupun nyeri tetap terasa, kehadiran orang yang dicintai akan meminimalkan rasa nyeri yang klien rasakan ( Potter dan Perry, 2006 ).
f. Intensitas Nyeri Gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu dinamakan intensitas nyeri. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri
18
dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Skala intensitas nyeri menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1. Skala Nyeri
1). Skala intensitas nyeri deskriptif
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tidak nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri
Nyeri
berat
berat tdk
terkontrol
terkontrol
2). Skala identitas nyeri numeric
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tidak nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
19
Nyeri hebat
10
3). Skala analog visual
Tidak
Nyeri
Nyeri
sangat hebat
Keterangan : 0
:Tidak nyeri
1 – 3
: Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4 – 6
: Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7 – 9 :
Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.
10
:
Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi
20
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Potter dan Perry, 2005).
Skala penilaian numerik ( Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm ( Agency for Health Care Policy and Research/ AHCPR, 1992) dalam Potter dan Perry (2005).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter dan Perry, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskriptif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat
21
keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter dan Perry, 2005).
g. Klasifikasi Nyeri Klasifikasi nyeri
berdasarkan lama/ durasinya menurut Potter dan Perry
(2006) dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Nyeri akut Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan . Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cidera atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi bisa memanjang dengan adanya nyeri akut yang tidak terkontrol ( Potter dan Perry, 2006 ).
Nyeri akut berlangsung tidak melebihi enam bulan, serangan bersifat mendadak yang sudah diketahui penyebab dan lokasinya. Nyeri akut ditandai dengan peningkatan tegangan otot dan cemas, yang keduanya meningkatkan persepsi nyeri ( Long, 1996 ). Hal ini seperti dalam gambar 2.2 di bawah ini,
22
Gambar 2.2. Skema Nyeri Akut ( Long, 1996 )
Nyeri
Cemas
Tegangan Otot
2) Nyeri kronik Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi ( keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yan gtidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari.
Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik digambarkan dalam tabel dibawah ini,
23
Tabel 2.3 Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronis ( Potter dan Perry, 2006 )
Nyeri Akut
Nyeri Kronik
1. Lamanya dalam hitungan menit 2. Ditandai peningkatan t ekanan darah, nadi, dan respirasi 3. Respon pasien:Fokus pada nyeri, menyetakan nyeri menangis dan mengerang 4. Tingkah laku menggosok bagian yang nyeri.
1. Lamanya sampai hitungan bulan, > 6 bln 2. Fungsi fisiologi bersifat normal 3. Tidak ada keluhan nyeri 4. Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon terhadap nyeri
h. Penatalaksanaan Nyeri Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengatasi nyeri, yaitu pendekatan farmakologi dan non farmakologi. 1). Pendekatan farmakologi, merupakan tindakan kolaborasi antara perawat dengan
dokter,yang
menekankan
pada
pemberian
obat
yang
mampu
menghilangkan sensasi nyeri. Analgesik merupakan metode umum untuk mengatasi nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri dengan efektif, perawat dan dokter masih cenderung tidak melakukan upaya analgesik dalam penanganan nyeri karena informasi obat yang tidak benar dan adanya kekhawatiran klien akan mengalami ketagihan obat ( Potter & Perry, 2006 ). Ada tiga jenis obat analgesik yang dipakai, yaitu non narkotik dan Non Steroid Anti Inflamation Drug (NSAID), narkotik atau opiate, dan obat tambahan/ koanalgesik. Pada nyeri ringan sampai sedang digunakan NSAID. Karena NSAID diyakini dapat menghambat prostaglandin dan menghambat seluler selama inflamasi serta bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri ( Potter dan Perry, 2006 ).
2). Pendekatan non farmakologi, merupakan tindakan mandiri perawat untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan teknik manajemen nyeri, misalnya dengan teknik biofeedback, Transcutan Electric Nervous Stimulating ( TENS ),
24
relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi, terapi bermain, acupressure, aplikasi panas/ dingin, massage, dan hipnosis (Mc Closkey dan Bulecheck, 2000).
3. Hipnoterapi a. Pengertian Hipnoterapi adalah sebuah teknik terapi yang dilakukan pada klien yang dalam kondisi hypnosis. Kata “hipnosis” berasal dari bahasa yunani, yaitu hypnos yang berarti „tidur‟.Istilah tersebut dikenalkan oleh James Braid‟s pada tahun 1843 dengan arti yang lebih dalam lagi, yaitu “neurohipnosis” yang berarti „tidur dari sistem saraf”. Seseorang yang dalam kondisi hipnosis akan cenderung lebih mudah menerima saran atau sugesti/hyper-sugestion (Hakim, 2010). Dengan hipnoterapi klien dibimbimg untuk sangat relaks sampai kedalam pikiran bawah sadar/ sub conscious, kemudian diberikan sugesti tertentu sehingga bisa merubah persepsi klien terhadap stimulus nyeri.
b. Tahapan Hipnoterapi Menurut Hakim (2010), proses hipnoterapi terdiri atas: Pre Induction, induction, deepening, hypnotherapeutic dan termination. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci dari tahapan-tahapan dalam proses hipnoterapi: 1) Pre Induction Istilah pre induction atau pra induksi merupakan suatu proses untuk mempersiapkan suatu situasi dan kondisi yang kondusif antara terapis dan klien. Proses ini merupakan proses yang paling menentukan dalam setiap sesi hipnoterapi. Sebelum sesi hipnoterapi dilakukan, pastikan klien mengetahui secara jelas metode hipnoterapi supaya terjadi proses kerja sama antara klien dan hipnoterapis.
25
Dalam dunia hipnoterapi konvensional, salah satu praktik yang biasa dilakukan pada saat pra-induksi adalah „sugestivity test‟ atau tes sugestivitas. Tes ini merupakan „standar‟ yang harus dilakukan oleh setiap hipnoterapis pada saat melakukan sesi terapi terhadap klien yang memang belum pernah merasakan direct hypnosis atau hipnosis langsung.
Tes sugestivitas ini bermanfaat untuk mengetahui level sugestivitas klien, dari level sugestif rendah, sugestif sedang, hingga sugestif dalam. Melalui tes ini seorang hipnoterapis bisa melihat apakah perintah atau ajakan yang diinginkan oleh terapis kepada klien benar-benar ditangkap secara sempurna. Selain itu tes sugestivitas juga digunakan sebagai bentuk latihan bagi klien agar benar-benar merasakan sensasi hipnosis. Ada beberapa contoh tes sugestivitas yang paling banyak digunakan dalam terapi, antara lain: a) Teknik Catalepsy of the eyes Teknik ini merupakan teknik yang sangat mudah dilakukan terhadap klien karena indera penglihatan merupakan bagian tubuh yang sangat sensitif dan mudah dikendalikan oleh setiap orang, baik dalam membuka maupun menutup mata. Teknik ini bisa digunakan untuk melihat sejauh mana
klien
mau
berinteraksi
atau
mematuhi
saran-saran
dari
hipnoterapis.
Ketika memulai teknik ini, arahkan klien untuk menutup matanya terlebih dahulu. Kemudian, arahkan klien untuk membuka matanya kembali.Berikan penjelasan bahwa mata tertutup dan terbuka bukan dikontrol oleh hipnoterapis, melainkan oleh klien sendiri. Hipnoterapis bisa mengarahkan klien untuk memejamkan mata lebih dalam lagi sehingga kelopak mata klien seakan-akan semakin merapat. Pada
26
akhirnya, klien benar- benar mangalami sensasi “sulit untuk membuka mata” atau “mata klien seperti terkunci”. Meskipun klien ingin membuka membuka kelopak matanya kembali, ia memprogram dirinya seakanakan kedua matanya seperti tertutup sangat rapat.
Jadi, urutan kerja teknik catalepsy of eyes adalah: (1) Arahkan klien untuk menutup mata; (2) Saat klien menutup mata, lakukan tes sugestivitas terhadap matanya; (3) Bimbing klien sehingga tercipta efek catalepsy of eyes; (4) Kembalikan klien ke keadaan semula, yaitu dengan meminta klien membuka kedua matanya kembali. b) Chevreul‟s Pendulum Dalam teknik ini diperlukan sebuah pendulum atau bandul sebagai alat bantu untuk membimbing klien berkomunikasi dengan pikiran bawah sadarnya. c) Teknik Locking Elbow Test Berbeda dengan kedua tes sugestivitas di atas, locking elbow test lebih menekankan pada klien yang lebih suka diperintah secara langsung. Pasien diminta untuk mengangkat tangan kanannya ke depan sejajar dengan bahu kanannya. pastikan siku tidak bengkok. Adapun urutan kerja teknik locking elbow test adalah: (1) Klien meluruskan tangannya sejajar dengan bahu; (2) Hipnoterapis membimbing klien untuk membayangkan
tangannya
menjadi
kaku,
terkunci,dan
sulit
dibengkokkan; (3) Saat membimbing klien untuk membayangkan tangannya kaku, hipnoterapis mencoba untuk membengkokkan tangan klien; (4) Kembalikan klien ke kondisi semula, yaitu siku tangan dapat dibengkokkan dan tangan kembali lentur.
27
2) Induction Teknik induksi/inducton bertujuan agar critical area klien beristirahat sejenak sehingga terapis bisa berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar klien. Prinsip dasar membuka critical area bisa dilakukan dengan berbagai cara,antar lain memanfaatkan kelelahan tubuh /fisik klien, memanfaatkan kelenturan otot klien, dan memanfaatkan kebingungan pikiran sadar klien.
Menurut Hakim (2010), ada beberapa teknik induksi yang sering dipraktikkan, yaitu: a) Teknik Arm-Drop, yaitu dengan membuat fisik klien lelah. Klien diminta menaikkan salah satu tangan kanan atau kirinya, sehingga posisi tangannya sedikit di atas kepala. Tangan yang terangkat keatas tersebut dimaksudkan agar klien merasakan sebuah efek kelelahan, sehingga dengan durasi tertentu, tangan klien turun secara alami. Hipnoterapis bisa mengarahkan sugestinya dengan mengatakan bahwa, “Semakin tangan Anda bergerak turun ke bawah, Anda semakin memasuki kondisi yang sangat dalam”. b) Teknik Hand Shake, yaitu dengan cara merelaksasikan otot-otot klien. c) Teknik Misdirection, yaitu dengan memanipulasi keyakinan klien. Dalam induksi ini, yakinkan bahwa sebenarnya, hal yang ia lakukan hanya
latihan
membayangkan
saja,
tanpa
ada
upaya
untuk
mempengaruhi pikiran apapun. d) Teknik Mental Confusion, yaitu dengan membingungkan pikiran sadar
klien.
Dalam tahap ini, klien diminta untuk berjabat tangan dengan mata terpejam. Kemudian gerakkan dan ayunkan tangan klien seperti berjabat tangan berkali-kali. Selanjutnya, lepaskan tangan klien,
28
bimbing klien agar tangannya terus di ayunkan seperti berjabat tangan. Pada saat itulah pikiran sadar agak kebingungan, sehingga critical area terbuka, lalu pandu klien untuk beristirahat.
3) Deepening Tahapan ini merupakan tahapan dalam hipnoterapi untuk memperdalam dan mempertahankan kondisi klien dalam keadaan gelombang otak alpha dan theta. Pada saat terapis melakukan induksi terhadap klien, kondisi kesadaran klien berpindah dari kondisi beta ke kondisi alpha maupun theta. Namun, untuk lebih memperdalam kesadaran klien serta mempertahankan kondisi tersebut diperlukan teknik deepening .
Berikut ini gambaran level kesadaran dan gelombang otak manusia bila diukur dengan EEG:
Tabel 2.4. Level kesadaran dan gelombang otak manusia (Hakim, 2010)
Sadar biasa/ Concious BETA 24-14 HZ Non Sugestif
Kondisi Hipnosis/ Subconcious AlFA THETA 14-7 HZ 7-3,5 HZ Sugestif dan Sangat Sugestif
Tidur biasa
DELTA 3,5-0,5 HZ Non Sugestif
Menurut Hakim (2010), saat hipnoterapis melakukan teknik deepening, perhatikan tanda-tanda trans klien. Biasanya, kondisi ini ditandai dengan berbagai variasi perubahan, baik secara fisik maupun mental klien.
Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan kondisi klien dan perubahan-perubahan yang terjadi pada tahap deepening.
29
Tabel 2.5. Perubahan-perubahan pada klien tahap deepening (Hakim, 2010). NO
Tanda-tanda
Keterangan
Tans
1.
Perhatian Klien
2
Perubahan pola tubuh klien
3
Sensasi tubuh
4.
Sensasi pada mata Sensasi nyaman
5 6 7
Respon terhadap sugesti Refleks menelan
Mulai fokus terhadap kata-kata hipnoterapis Mulai fokus menatap hipnoterapis Perubahan pola nafas yang mulai stabil dan rileks Denyut nadi yang lebih stabil Perubahan warna kulit yang lebih cerah Perubahan suhu tubuh dari kondisi dingin ke ko ndisi agak hangat Merasa lebih ringan Merasa tenggelam Merasa lebih berat Mata mulai terasa berat Mata mulai bergetar Terlihat lebih damai Terkadang tersenyum bahagia Mampu berkomunikasi secara sempurna Menganggukkan kepala atau menggelengkannya Sensasi klien pada saat membayangkan memakan jeruk
Berikut ini beberapa skrip yang biasa digunakan dalam melakukan deepening kepada klien: a) Skrip Teknik Hallway (lorong) b) Skrip Teknik Ball of Light c) Skrip The Private Place
4) Hypnotherapeutic Dalam proses hipnoterapi, hypnotherapeutic merupakan inti dari sebuah proses dalam mengatasi permasalahan klien. Hal yang perlu diperhatikan sebelum hypnotherapeutic digunakan kepada klien, pastikan klien dalam kondisi hipnosis. Adapun kondisi hipnosis sendiri memiliki minimal empat kondisi yang harus dipenuhi, yaitu: a. Relaks Pastikan klien dalam kondisi tenang dan santai dengan memperhatikan reaksi pergerakan tubuh dan nafas klien. Hipnoterapis perlu memastikan
30
dan menyamakan persepsi “relaks” kepada klien agar tidak terjadi perbedaan makna atau istilah. b. Pikiran terfokus Hipnoterapis memiliki teknik-teknik khusus untuk memindahkan gelombang pikir klien dari gelombang pikir betha menuju gelombang pikir alpha maupun theta. Semakin seseorang masuk ke dalam gelombang pikir alpha dan theta, semakin fokus juga pikirannya. c. Peningkatan kualitas penginderaan klien Kondisi ini sangat diperlukan oleh klien karena saat hipnoterapis menggunakan sugesti penyembuhan, saran, sugesti, himbauan, informasi yang diberikan oleh hipnoterapis bisa langsung dicerna dan diolah oleh pikiran bawah sadar klien melalui penginderaan baik melalui visual (indera melihat), audio (indera mendengar), kinestetik (indera perasa), gustatory (indera penciuman), dan olfactory (indera pengecapan). d. Klien berada dalam kondisi pikiran Alpha atau Theta Kondisi pikiran alpha dan theta inilah yang perlu dipertahankan oleh hipnoterapis. Untuk menjaga agar klien terus merasa nyaman dalam kondisi hipnosis, biasanya teknik repetisi atau pengulangan kata-kata bisa digunakan. Penekanan kata-kata tersebut harus membuat klien merasa lebih nyaman dan lebih tenang,sekalipun ada hal-hal yang membuat klien mersa kurang nyaman.
Hipnoterapi adalah sebuah seni. Oleh karena itu, hypnotherapeutic bagaikan sebuah jurus demi jurus yang jika digunakan akan terjadi sebuah rangkaian komprehensif yang saling mendukung satu dengan lainnya. Terkadang, pada saat berhadapan dengan klien, secara tiba-tiba hipnoterapis bisa mengolah sebuah strategi jitu yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya.
31
Salah satu teknik hipnoterapi yang sering digunakan adalah teknik sugesti. Sugesti yang diberikan kepada pikiran bawah sadar akan menjadi nilai baru, asalkan tidak bertentangan dengan nilai dasar klien. Pikiran bawah sadar memiliki sebuah pola yang unik. Pola tersebut perlu dicermati agar setiap sugesti yang masuk benar-benar menjadi realitas dalam hidup klien. Sebuah sugesti yang baik, minimum terdiri dari lima faktor yang saling berkaitan. Kelima faktor ini merupakan sebuah susunan dalam setiap sugesti yang akan diberikan kepada klien, yaitu: (1) Belief (Sistem keyakinan diri) Sebelum memberikan sugesti kepada klien, terlebih dahulu berikan keyakinan secara umum bahwa apa yang akan disarankan sesuai dengan apa yang klien yakini. Berikan informasi dan data yang akurat sehingga bisa meyakinkan klien. (2) Rule (system aturan di dalam diri) Setelah memberikan beliefe kepada klien, lanjutkan sugesti dengan memberikan rule atau aturan yang sesuai dengan klien. Dalam hidup, kita sering berkecimpung dengan berbagai aturan yang sebenarnya tanpa kita sadari sangat mengikat dalam diri kita. Aturan atau rule manusia seringkali diciptakan oleh pikirannya sendiri. Sebenarnya pikiran manusia tidak ada batasnya, tetapi kitalah yang sering membuat batasan-batasan. Batasan tersebut dapat kita sebut aturan atau rule. (3) Value Setelah memberikan beliefe dan rule kepada klien, sarankanlah sebuah nilai dalam diri seseorang. Nilai-nilai tersebut merupakan jawaban atas mengapa ada sebuah rule atau aturan dalam kehidupan seseorang.
32
(4) Behavior (Kebiasaan yang akan dilakukan) Setelah beliefe, rule, dan value, disarankan kepada klien bahwa ada sebuah aktifitas yang perlu dilakukan untuk memperkuat ketiga hal tersebut. Sebuah aktifitas yang dilakukan setiap hari, lama-kelamaan akan
menjadi
sebuah
kebiasaan
dan
secara
otomatis
akan
memperkuat beliefe, value dan rule klien. (5) Goal (Tujuan yang akan dicapai) Di akhir dari sebuah sugesti, pikiran bawah sadar klien perlu diberikan sebuah “final goal” atau tujuan akhir. Tujuan yang akan dicapai oleh klien bisa berupa “output”(berupa manfaat yang langsung bisa dirasakan atau “outcome”(berupa manfaat yang bersifat kemakmuran bersama). 5) Termination Setelah hipnoterapis memberikan hypnotherapeutic dan sugesti-sugestinya, diperlukan langkah-langkah untuk menutup serangkaian proses hipnoterapi dengan teknik yang biasa disebut dengan “termination”. Teknik ini diperlukan untuk mengembalikan gelombang pikir klien dari gelombang alpha atau theta menuju ke kondisi semula atau menuju gelombang beta. Teknik ini dimaksudkan agar klien bisa kembali pada kesadaraan penuhnya. Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam terminasi ini, yaitu: a) Informasikan kepada klien bahwa sebentar lagi proses hipnoterapi akan segera berakhir. b) Lakukan hitungan maju. c) Berikan kata kunci setiap hitungan maju. Kalimat motivasi yang diberikan pada akhir proses hipnoterapi bagaikan sebuah kesimpulan bagi pikiran bawah sadar klien untuk melakukan perubahan yang akan diinformasikan kepada pikiran sadarnya pasca terapi. d) Bimbing klien untuk membuka matanya kembali dan ke kondisi semula.
33
B. Hubungan antara Hipnoterapi dengan Penurunan Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. ( Meinhart dan Mc Caffery, 1983 dalam Potter dan Perry, 2006).
Fisiologi nyeri pada pasien pasca operasi adalah nyeri diawali sebagai respon yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia seperti substansi P, bradikinin, dan prostaglandin dilepaskan. Kemudian menstimulasi saraf perifer , membantu menghantarkan rangsang nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang saraf ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, yaitu pusat sensori di otak dan sensasi seperti panas, dingin, nyeri dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Kemudian pesan dihantarkan ke kortex dimana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun
34
ke spinal cord . Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mengurangi nyeri di daerah yang terluka (Taylor dan Le Mone, 2005).
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif ( Meinhart dan Mc Caffery, 1983 dalam Potter dan Perry, 2006).
Nyeri setelah pembedahan merupakan hal yang fisiologis, namun hal ini merupakan salah satu keluhan yang paling ditakuti oleh klien setelah pembedahan. Sensasi nyeri mulai terasa sebelum kesadaran klien kembali penuh, yang semakin meningkat seiring dengan berkurangnya pengaruh anestesi. Adapun bentuk nyeri yang dialami oleh klien pasca pembedahan adalah nyeri akut yang terjadi karena adanya luka insisi bekas pembedahan ( Potter dan Perry, 2006 ).
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yan cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan . Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cidera atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak.
35
Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi bisa memanjang dengan adanya nyeri akut yang tidak terkontrol. ( Potter dan Perry, 2006 ). Nyeri akut berlangsung tidak melebihi enam bulan, serangan bersifat mendadak yang sudah diketahui penyebab dan lokasinya. Nyeri akut ditandai dengan peningkatan tegangan otot dan cemas, yang keduanya menigkatkan persepsi nyeri ( Long, 1996 ).
Perawat dengan pengetahuan dan ketrampilannya dapat mengatasi masalah nyeri pada pasien pasca operasi, baik secara mandiri maupun kolaboratif. Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengatasi nyeri, yaitu pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Pendekatan farmakologi merupakan tindakan kolaborasi antara perawat dengan dokter,yang menekankan pada pemberian obat yang mampu menghilangkan sensasi nyeri. Sedangkan Pendekatan non farmakologi, merupakan tindakan
mandiri
perawat
untuk
menghilangkan nyeri dengan menggunakan
teknik manajemen nyeri, misalnya dengan teknik biofeedback, Transcutan Electric Nervous Stimulating ( TENS ), relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi, terapi bermain, acupressure, aplikasi panas/ dingin, massage, dan hipnosis (Mc Closkey dan Bulecheck, 2000).
Hipnoterapi adalah sebuah teknik terapi yang dilakukan pada klien yang dalam kondisi hypnosis. Seseorang yang dalam kondisi hipnosis akan cenderung lebih mudah menerima saran atau sugesti/hyper-sugestion (Hakim, 2010). Dengan hipnoterapi klien dibimbimg untuk sangat relaks sampai kedalam pikiran bawah sadar/sub conscious, kemudian diberikan sugesti tertentu sehingga bisa merubah persepsi klien terhadap stimulus nyeri.
36
C. Kerangka Teori
Faktor Internal: 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Kecemasan 4. Pengalaman sebelumnya 5. Pola koping 6. Fokus perhatian Faktor Eksternal: 1. Kultur/budaya 2. Support keluarga dan sosial 3. Pengobatan
Pasca operasi menyisakan luka sayatan ( incisi )
Rangsang nyeri diterima oleh nosireseptor dihantarkan ke thalamus (otak) melalui saraf spinal
Tegangan otot menurun, cemas berkurang, dihasilkan opiate endogen (endorphin dan enkafelin), merubah persepsi nyeri
Nyeri (Skala Nyeri 0-10)
Manajemen Nyeri Non farmakologi: 1.Hipnoterapi 2. Biofeedback 3.TENS 4.Relaksasi 5.Guided Imagery 6.Terapi Musik 7. Distraksi 8.Terapi Bermain 9. Acupressure 10. Aplikasi panas/dingin 11. Massage
Gambar 2.7 Skema Kerangka Teori Penelitian ( Potter dan Perry, 2006, Long, 1996, Hakim, 2010, Mc Closkey dan Bulecheck, 2000 )
37
Nyeri berkurang