Pancasila Dalam Konteks Kekinian Adiyana Slamet, M.Si1
Tidak ada bangsa yang mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercaya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar (John Gardener, 1992)2
Bangsa Indonesia telah menetapkan konsensus nasionalnya, yakni Pancasila sebagai sebagai falsafah dan dasar negara ( philosopishe groundslag),yang berisikan hal-hal yang menurut sifat dan berlakunya adalah universal. Pasalnya, di dalamnya mengatur tentang relasi antar warga bangsa dalam konteks antar individu, warga bangsa dengan Negara sebagai pengikat dengan organisasi yang mengaturnya dan warga bangsa dengan pencipta-Nya. Yang kalau menurut Ir.Soekarno, Pancasila bisa diperas menjadi sosio-nalisme sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga kalau interaksi masyarakat, maupun Negara maka akan tercipta sebuah susunan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan Pancasila yang berarti lima dasar atau lima asas, adalah nama dasar Negara kita, Negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai ideologi berhakikat sebagai sistem nilai bangsa. Sistem nilai seperti ini dipandang oleh studi filsafat yang secara historik digali pada budaya bangsa dan ditempa oleh penjajahan, yang kemudian diterapkan pada wilayah yuridis-kenegaraan sebagai pedoman bermoral, berhukum, dan berpolitik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal itu sebagai konsensus-nasional bangsa Indonesia melalui siding Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945.
1
Dosen Program studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Komputer Indonesia Yudi Latif, Neegara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan aktualitas Pancasila . gramedia Pustaka Utama. Jakarta .2002. hal. 2 2
Pancasila juga dikenal sebagai jatidiri bangsa Indonesia. Kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia, sebagai ideologi bangsa dan Negara Indonesia. Seluruh kedudukan dan fungsi Pancasila itu bukanlah berdiri sendiri secara sendiri-sendiri namun bilamana dikelompokkan maka akan kembali pada dua kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar filsafat Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila pada hakikatnya adalah sistem nilai (value system) yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia sepanjang sejarah, yang berakar dari unsur-unsur kebudayaan luar yang sesuai sehingga secara keseluruhannya terpadu menjadi kebudayaan bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu adalah sebuah hasil pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Mereka menciptakan tata nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan keharmonian bangsa yang member corak, watak dan cirri masyarakat dan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan masyarakat dan bangsa lain. Pandangan yang diyakini kebenarannya itu menimbulkan tekad bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan dalam sikap dan tingkah laku serta perbuatannya. Disisi lain, pandangan itu menjadi motor penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya. Dari pandangan inilah maka dapat diketahui cita-cita yang ingin dicapai bangsa, gagasan kejiwaan apa saja yang akan coba diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Filsafat Pancasila adalah refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar Negara dan kenyataan budaya bangsa dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertian secara mendasar dan menyeluruh. Pembahasan filsafat dapat dilakukan secara deduktif (dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis dan menyusunnya secara
sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif), dan secara induktif (dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala-gejala tersebut). Dengan demikian, filsafat Pancasila akan mengungkapkan konsep-konsep kebenaran yang bukan saja ditunjukkan pada bangsa Indonesia, melainkan bagi manusia pada umumnya. Bangsa Indonesia berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup, di dalamnya tersimpul cirri khas, sifat karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Oleh para pendiri bangsa kita (the founding father) dirumuskan secara sederhana namun mendalam yang meliputi lima prinsip yang diberi nama sila. Dalam era kekinian bangsa Indonesia harus memiliki visi dan pandangan hidup yang kuat (nasionalisme) agar tidak terombang-ambing di tengah masyarakat internasional. Hal ini dapat terlaksana dengan kesadaran berbangsa yang berakar pada sejarah bangsanya sendiri.
Membumikan Pancasil Dalam Kepungan Zaman Pancasila adalah sebuah karya bersama, hasil pemikiran, perenungan yang mendalam dari beberapa tokoh nasional Indonesia yang berisi ajaran, falsafah yang memuat nilai-nilai lurhur dari Bangsa Indonesia. Lepas dari semua usaha-usaha untuk mempolitisi keberadaan Pancasilaa baik secara dasar Negara, pandangan hidup maupun ideology Bangsa Indonesia, kita masih mengakui bahwa Pancasila masih menjadi Dasar Negara Indonesia. Dalam sejarahnya, eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlingdung dibalik legitimasi ideologi Negara Pancasila. Dengan kata lain, dalam kedudukan yang seperti ini Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan Negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa pada saat ini. Dalam kondisi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitas dirinya sebagai dasar Negara ataupun ideology, namun demikian perlu segera kita sadari bahwa tanpa suatu platform dalam format dasar Negara atau ideology makna suatu bangsa mustahil akan dapat survive dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman. Monopoli Pancasila demi kepentingan kekuasaan oleh penguasa inilah yang harus segera diakhiri, dan menjadi tugas dari dunia pendidikkan tinggi untuk mengkaji dan memberikan pengetahuan kepada semua mahasiswa maupun murid disekolah untuk benarbenar mampu memahami Pancasila secara ilmiah dan obyektif.
Dampak yang cukup serius atas manipulasi Pancasila oleh para penguasa pada masa lampau, dewasa ini banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan bahwa Pancasila merupakan label politik Orde Baru. Sehingga mengembangkan serta mengkaji Pancasila dianggap akan mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Benarkah dan masihkah dewasa ini bangsa Indonesia memposisikan Pancasila sebagai Dasar Negara dan sebagai Pandangan Hidup (way of life) manusia yang mengaku sebagai rakyat Indonesia? Pertanyaan tentang eksistensi Pancasila seperti ini memang terkesan ekstrim, tetapi melihat kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan bernegara maupun berbangsa belakangan ini, pertanyaan ini sudah patut dimaklumi. Betapa tidak? Bangsa Indonesia setiap hari dimedia massa disuguhi tontonan bagaimana Pancasila itu sudah tidak dianggap penting lagi dan prilaku Bangsa ini jauh dari nilai-nilai Pancasila, meskipun Pancasila tetap dianggap sebagai Dasar dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Para elit politik saling bersilat lidah dengan berbagai argumentasinya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan tanpa etika yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Sikap dan tindakan dari para elit dan masyarakat jauh dari nilai Pancasila, jauh dari nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial tidaklah dianggap tabu, tetapi menjadi hal yang biasa. Sungguh sangat memprihatinkan kondisi kehidupan bangsa Indonesia yang mengalami kemorosotan moral karena tidak konsekuen dalam komitmennya untuk menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa. Sudah waktunya kita merevitalisasi Pancasila dalam bentuk mendudukkan Pancasila menjadi hal yang sangat penting, bukan hanya sebatas kalimat-kalimat emas yang sering diungkapkan dalam bahasa retorika saja. Sudah waktunya seluruh bangsa Indonesia baik itu elit politik maupun rakyat
mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Setiap sikap dan tindakan seyogyanya mengacu dan berpedoman pada nilai-nilai Pancasila. Pertanyaannya, bagimana kita dapat mereaktualisasiikan nilai-nilai Pancasilas secara efektif agar pancasila mampu menjkadi spirit bangkitnya Negara Bangsa Indonesia pada konteks kekinian sehingga bukan hanya menghayati tetapi mengamalkan nilai Pancasila. ”
Ke- Tuhanan Yang Berkebudayaan Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke- Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormatmenghormati satu sama lain. (Soekarno, 1 Juni 1945) Kesadaran bahwa Tuhan hadir dalam sejarah perkembangan kebangsaan Indonesia menyiratkan suatu sikap kejiwaan yang berbeda dengan perkembangan nasionalisme di Eropa. “Dalam pengalaman Eropa, “ tulis Rupert Emerson, “munculnya nasionalisme (sekuler) berbanrengan dengan pudarnya pengaruh agama. Dibagian dunia yang lain. Seperti Asia, ketika nasionalisme “bergerak dan menyelimuti wilayah-wilayah ini, isu agama juga bergerak maju” (Emerson, 1960:156). Dalam lintasan sejarah Nusantara, agama tidak pernah sekadar mengurusi urusan pribadi, tetapi juga terlibat dalam urusan publik. Masyarakat kepulauan ini pun tidak pernah berpengalaman sepahit Eropa dalam hal keterlibatan agama di wilayah politik. Lebih dari itu, penyemaian sekularisasi politik oleh rezim kolonial berjalan secara simultan dengan peran publik agama dalam mengobarkan gerakan perlawanan dan kebangkitan nasional. Sejak jaman purbakala hingga pintu gerbang (kemerdekaan) negara Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, (sekitar) 14 abad pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar) 4 abad pengaruh Kristen. Sejak zaman batu hingga pengaruh kebudayaan perunggu, masyarakat prasejarah Nusantara telah mengembangkan sistem kepercayaan tersendiri, yang secara umum bisa
dikategorikan bercorak animisme dan dinamisme. Animisme (dari bahasa Latin anima atau ‘roh’) adalah kepercayaan bahwa setiap benda di bumi ini (seperti petir, pohon, kawasan tertentu, pokok atau batu besar), mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar roh di balik benda tersebut tidak mengangg manusia, malah membantu mereka dari roh jahat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Selain percaya adanya jiwa dan roh yang mendiami benda atau tempat tertentu, animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan. Kepercayaan animisme ini biasanya bertaut dengan dinamisme, yakni kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidupnya. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan politik-politik yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dan budi pekerti yang luhur. Dalam mengamalkan komitmen etis Ketuhanan ini, Pancasila harus didudukkan secara proporsional, bahwa ia bukanlah agama (seungguhnya) yang berpotensi mengatur sistem keyakinan, sistem peribadatan, sistem norma, dan identitas keagamaan dalam ranah privat dan ranah komunitas agama masing-masing Ketuhan dalam kerangka Pancasila menyerupai konsepsi “agama sipil” (civic religion), yang bisa melibatkan nilai-nilai moral universal agama-agama, namun juga secara jelas dapat dibedakan dari agama. Pretensinya adalah bagaimana menjadikan nilai-nilai moral Ketuhanan sebagai landasan pengelolaan kehidupan publik-politik dalam konteks masyarakat multikulturmuliagama, tanpa menjadikan salah satu agama (unsur keagamaan) mendikte negara. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila merupakan usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik berdasarkan moralitas Ketuhanan. Dalam kerangka pencarian titik-temu ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang berpretensi menyudutkan agama ke ruang privat
karena sila pertama Pancasila (sebagai konsensus publik) jelas-jelas menghendaki agar nilainilai Ketuhanan mendasari kehidupan politil-politik. Negara juga diharapkan melindungi dan mendukung pengembangan kehidupan beragama sebagai wahana untuk menyuburkan nilainilai etis dalam kehidupan publik. Namun demikian, Pancasila pun tidak menghendaki perwujudan negara agama, yang mempresentasikan salah satu aspirasi kelompok keagamaan. Karena, hal itu akan membawa tirani keagamaan yang mematikan pluralitas kebangsaan, dan menjadi pengikut agama lain sebagai warga negara kelas dua. Implementasi dari Ketuhanan Yang Maha Esa ini tertuang dalam pasal 29 (2) UUD 1945 “Negara menjadi kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB Mensheid, kemanusiaan memang dari dulu ada. Rasa peri-kemanusiaan adalah hasil dari pertumbuhan rohani, hasil dari pertumbuhan kebudayaan, hasil pertumbuhan dari alam tingkat rendah ke taraf yang lebih tinggi. (Kursus Presiden Soekarno tentang Pancasila di Istana Negara, 22 Juli 19583)
Sila per sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, begitupun sila ke dua, Kemanusiaan yang adil dan beradaab sebagai pengenjawantahan dari sila pertama dan berkaitan dengan sila-sila selanjutnya. Sebagai bangsa yang ber Ketuahanan Yang Maha Esa, maka kemanusiaan adalah suatu hal yang dimiliki oleh seluruh umat manusia yang berdasarkan nilai-nilai yang diberikan Tuhan, bahwa manusia mempunyai rasa pri-kemanusiaan sebagai wujud bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan Tuhan di alam raya, pada dasarnya kemanusiaan adalah bawaan kodrat manusia, kerna kemanusiaan adalah sifat atau ciri kodrat manusia. Perkataan Kemanusiaan dalam sila kedua ini, berarti sifat-sifat manusia yang menunjukan ciri-ciri khas atau identitasnya manusia itu sendiri. Seperti sifat manusia sebagai makhluk yang berakal dan berbudi, yang memiliki kemampuan cipta, rasa, dan karsa yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Kemanusiaan tidak hanya harus dimiliki oleh seluruh entitas anak bangsa Indonesia, tetapi memang secara kodrati seluruh umat manusia yang ada dimuka bumi yang ikut serta dalam wilayah negara bangsa memiliki sifat kemanusiaan, namun kemanusiaan Indonesia merupakan cerminan kemanusiaan yang digali dari nilai-nilai keIndonesiaan, nilai-nilai keIndonesiaan itu merupakan suatu adab yang dihasilkan dari 3
Ir. Soekarno, /Raharjo, pamoe, Revolusi Indonesia :Nasionalisme, Marhaen dan Pancasila, 2002, hlm 168
pergumulan perkembangan kebudayaan rakyat Indonesia itu sendiri. Kemanusiaan Indonesia merupakan kemanusiaan yang adil dan beradab, bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab juga tidak hanya kemanusiaan yang sempit, kemanusiaan yang sempit adalah suatu kemanusiaan yang hanya melihat nilai-nilai kemanusiaan dari dalam (hubungan manusia dengan manusia sesama entitas negara bangsa Indonesia) bahwa kemanusiaan Indonesia juga harus mencerminkan kemanusiaan secara global, yang artinya bahwa kemanusiaan yang tercipta tidak semata-mata sama-sama sebangsa dan setanah air, melainkan kemanusiaan yang Internasionalisme atau kemanusiaan universal, kemanusiaan yang internasionalisme atau kemanusiaan universal adalah konsekwensi logis karena Indonesia tidak hanya negara bangsa yang hidup sendiri, tetapi Indoensia juga berada dalam pergumulan dengan bangsabangsa lain. Kemanusiaan Indoensia yang terdapat pada sila kedua tidak cukup hanya dengan kemanusiaan, bahwa kemanusiaan harus diimbangi dengan adil dan beradab, adil berarti memberikan kepada orang atau bangsa lain apa yang menjadi haknya dan tahu apa haknya sendiri, beradab artinya mempunyai adab, mempunyai sopan santun, mempunyai susila, artinya bahwa saling hormat menghormati antar sesama umat manusia dan bangsa-bangsa lain, maka dari itu wujud nyata kemanusiaan yang adil dan beradab bisa di intepretasikan sebagai berikut: 1. Mengakui atau memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa; 2. Mengakui persamaan drajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agaa, kepercayaan, jenis klamin, 3. 4. 5. 6. 7.
kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya; Mengembangkan saling mencintai sesama manusia; Mengembangkan sikap saling tenggang rasa, dan tepa selira; Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain; Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan;
8. Berani membela kebenaran dan keadilan; 9. Mempunyai rasa empati, simpati dan sensitifitas sesama manusia; 10. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari pergumulan masyarakat dunia; 11. Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Persatuan dalam Kebinekaan Apakah kita hendak medirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk suatu golongan? Mendirikan Negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka,
tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberikan kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberikan kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum bangsawan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua untuk semua”... Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita sebagian dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan Kebangsaan Jawa, bukan Kebangsaan Sumatra, bukan Kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain. Tetapi Kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu Nationale Staat. (Soekarno, 1 Juni 1945)
Komitmen kemanusiaan universal hanyalah bermakna sejauh bisa dibumikan dalam konteks sosio-hisoris partikularitas bangsa Indonesia sendiri. Aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat, sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam ungkapan Bung Karno, “internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar didalam buminya nasionalime”. Aktualisasi nilai-nilai etis kesetaraan dan persaudaraan kemanusiaan dalam konteks kebangsaan bisa menjadi perekat dari kemajemukan keindonesiaan, sebagai tamansari kemajemukan dunia. Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dalam kesilaman. Dalam ungkapan Clifford Geertz (1963), Indonesia ibarat anggur tua dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru. Nama Indonesia sebagai proyek “nasionalisme politik” (political nationalism) memang baru diperkenalkan sekitar 1920-an. Akan tetapi, ia tidaklah muncul dari ruang hampa, melainkan berakar pada tanah air beserta elemen-elemen sosial-budaya yang telah ribuan bahkan jutaan tahun lamanya hadir di Nusantara.
Sebagai proyek nasionalisme politik, Mohammad Hatta pernah mengatakan, “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencitacitakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya” (Hatta, 1928/1998:1). Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan kejayaan peradaban Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi. Jika di tanah dan air yang kurang lebih sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta keemasannya, tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan. Bila mampu membangun bangsa yang sesuai dengan jatidirinya, harkat bangsa ini di pentas dunia bisa sepadan dengan keluasan wilayah dan kuantitas penduduknya. Secara konsepsional, Indonesia telah memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat, yang bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, tetapi juga mampu member kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing. Konsepsi kebangsaan seperti itu setidaknya pernah berhasil mengantarkan Indonesia ke pintu kemerdekaannya. Namun demikian, jika kemerdekaan itu sekadar jembatan emas menuju perwujudan citaa-cita dan tujuan nasional, yang diperlukan bukan hanya suatu nasionalisme negative – yang cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi yang lebih penting lagi adalah mengembangkan nasionalisme progesif, yang menekankan pada apa yang bisa ditawarkan. Proyek historis nasionalisme progresif bukan hanya mempertahankan melainkan juga memperbaiki keadaan negeri. Persatuan disini sesuai dengan hakikat Satu. Kata satu merupakan sesuatu yang diibaratkan dengan bulat dan tidak dapat dipecah-pecah. Jelas sekali bahwa persatuan Indonesia pada hakikatnya bahwa bangsa Indonesia yang berjumlah jutaan jiwa dan
mempunyai adat istiadat, agama, kebudayaan dan berbeda-beda sehingga itu merupakan satu kesatuan Indonesia. Oleh karena itu, sila ini dapat diimplementasikan didalam pergaulan baik dilingkungan masyaarakat, kita harus dapat menunjukkan rasa persatuan dan kesatuan baangsa dan ber-bhineka tunggal ika. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya kegiatan upacara disekolah setiap hari senin, untuk menunjukkan bahwa kita sebagai siswa harus memiliki kesadaran dan berbangga hati bahwa kita berpijak di tanah air satu yaitu tanah air Indonesia, sehingga harus mencintai tanah air dan bangsa.
Demokrasi Permusyawaratan
Negara Indonesia bukan satu Negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi, kita mendirikan negara “semua untuk semua”, “satu buat semua, semua buat satu” Saya yakin, bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup... (Soekarno, 1 Juni 1945)
Negara persatuan dari kebangsaan multikultur bisa bertahan lebih kokoh jika berdiri di atas landasan pengelolaan pemerintahaan yang sanggup menjamin keseimbangan antara pemenuhan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang berlaku bagi segenap warga dan elemen kebangsaan. Yang dituntut bukan hanya pemenuhan hak-hak individu (individual rights) dan kelompok masyarakat (collective rights), melainkan juga kewajiban untuk mengembangkan solidaritas sosial (gotong-royong) dalam rangka kemaslahatan dan kebahagiaan hidup bangsa secara keseluruhan. Prinsip pemerintahan mayoritas – berdasarkan kesetaraan hak-hak warga negara – dengan menghormati hak-hak minoritas (majority rule, minority rights) mengandaikan adanya kedaulatan rakyat berlandaskan semangat kekeluargaan. Masalah multikulturalisme bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Pengakuan terhadap hak-hak budaya kelompok etnis, terutama golongan minoritas, perlu diberikan sebagai prakondisi menuju pembentukan individu warga negara yang bisa melampaui identitas etniknya (post ethnic condition). Cita-cita kedaulatan rakyat dalam semangat kekeluargaan yang member ruang bagi multikulturalisme ini bergema kuat dalam sanubari bangsa Indonesia sebagai pantulan dari pengalaman pahit penindasan kolonial dan tradisi gotong-royong dalam masyarakat Indonesia.
Di zaman revolusi kemerdekaan, cita-cita ini diberi aksentuasi dengan kejamakan pemakaian imbuhan “bung”. Kata ini bisa berarti ‘saudara’, menyerupai kemunculan instilah ‘citizen’ dari revolusi Perancis atau ‘comrade’ dari Revolusi Rusia. Sapaan ‘bung’ menyiratkan cita-cita persaudaraan dalam kesederajatan kewargaan (citizenship). Segregasi dan dikriminasi colonial berdasarkan pengelompokan etnis dan agama harus diakhiri dengan memuliakan hak individu dan kelompok. Cita-cita persaudaraan dalam kesederajatan kewargaan ini memiliki akar yang kuat dalam pergaulan hidup bangsa Indonesia. Secara historis-sosiologis, kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk kepulauan Nusantara yang menjadi tempat persilangan antarbudaya. Tradisi musyawarah dalam semangat kekeluargaan telah lama bersemi dalam masyarakat desa di Nusantara. Perjuangan kemerdekaan Indonesia juga member pengalaman bagi para pelopor kebangsaan dan pelbagai latar budaya untuk menjalin kerjasama. Menurut Hatta, setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi dalam kalbu bangsa Indonesia, terutama di lingkungan para pemimpin pergerakan. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya (Hatta, 1992:121). Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, memang merupakan fenomena baru ni negeri ini, yang muncul sebagai ikutan dari formasi negara Republik Indonesiaa merdeka. Kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feudal, yang dikuasai oleh raja-raja auktorat. Mesikipun demikian, nilai-nilai demokrasi
hingga taraf tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya. Dalam pandangan Tan Malaka, paham kedaulatan rakyar sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di bumi Nusantara. Di alam minangkabau, misalnya pada abad 14 sampai 16 kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Ada istilah yang cukup terkenal di masa itu bahwa “Rakyat ber-raja pada Penghulu, Penghulu ber-raja pada Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut”. Dengan demikian, menurutnya, raja sejati didalam kultur Minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan patut-lah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja akan ditolah bila bertentangan dengan pikiran akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka, 2005:15-16). Gagasan “demokrasi permusyawaratan” berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila merupakan usaha sadar dari para pendiri bangsa untuk melakukan apa yang disebut Putnam “making democracy work”, atau apa yang disebut Sward ‘mengakar’ (to take root), dalam konteks keindonesiaan. Dalam ungkapan Soekarno : ‘Demokrasi yang harus kita jalankan adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jika tidak bisa berpikir demikian itu, kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan dari rakyat itu” (Soekarno, 1958:Rahardjo dan Gusman, 2002:208). Demokrasi dalam alam pikiran Indonesia bukan sekedar alat teknis, melainkan juga cerminan alam kejiwaan, kepribadian, dan cita-cita nasional. Dalam pandangan Soekarno, jika demokrasi sekadar alat teknis, pada dasarnya tidaklah berbeda dengan nasionalsosialisme (fasisme), maupun diktatur proletariat, yakni, sekadar alat untuk mencapai bentuk masyarakat yang dicita-citakan, entah masyarakat kapitalis, sosialitis, maupun yang lain. Bahkan dengan mengutip pandangan seorang ahli sosiolog Karl Steuerman, Soekarno
menyatakan bahwa ‘demokrasi, apalagi yang dikenal oleg kita dengan parlementaire democratie itu adalah ideology dari suatu periode saja’. Parlementaire democratie adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang naik (Kapitaslimus in Ausfstieg); adapun fasisme adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang menurun (Kapitalismus in Niedergang) – sebagai usaha terakhir untuk menyelamatkan kapitalisme. Kerakyatan adalah kesesuaian dengaan hakikat rakyat. Rakyat adalah manusiamanusia yang bertempat tinggal di suatu Negara. Hakikat rakyat menunjukkan keseluruhan. Keseluruhan makhluk sosial yang berdarah daging Indonesia. Meskipun terdiri dari individuindividu yang berbeda, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang memiliki tujuan bersama. Kita sebagai rakyat yang memiliki tanggung jawab layaknya masyarakat berbangsa haruslah memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan cita-cita bersama dengan bergotong royong memajukan sekolah yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan sehingga terbentuk sifat kekeluarga dilingkungan.
Keadilan Sosial
Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan ... Yaitu prinsip kesejahterahan. Prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka (Soekarno, 1 Juni 1945
Visi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang diidealisasikan oleh para pemimpin pergerakan kebangsaan itu kemudian mewarnai diskusi tentang dasar falsafah negara dalam persidangan BPUPK. Sebelum dinyatakan Soekarno dalam Pidato pada 1 Juni 1945, gagasan keadilan dan kesejahteraan telah dikemukakan oleh beberapa pembicara. Pada 29 Mei, Muhammad Yamin pada poin kesepuluh dari pidatonya, menyebutkan tentang pentingnya “Kesejahteraan rakyat Perubahan besar tentang kesejahteraan yang mengenai kehidupan ekonomi dan sosial sehari-hari yang mengenai dari putra-putra negeri”. Pada hari yang sama, Soekarno menyatakan bahwa salah satu yang dikehendaki oleh negara baru nanti adalah bahwa negara tersebut harus ‘subur dan makmur’. Untuk mencapai negara yang subur dan makmur itu, menurutnya, ‘membutuhkan perekonomian ini berhubungan erat dengan keadaan rakyat jelata, maka seharusnya kita pandang lebih dahulu keadaan rakyat pada dewasa ini’. Untuk itu, menurutnya selain perlu mengatasi “kerendahan penghidupan”, yang amat penting diperhatikan dalam kaitan dengan kesejahteraan rakyat adalah ‘kesehatan’. Dalam menguraikan sila keadilan sosial (prinsip kesejahteraan), Soekarno menyatakan: “Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan yang sebaik-baiknya.” Dengan mengembangkan persamaan di lapangan ekonomi, Soekarno berharap “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Pernyataan Soekarno tersebut seyogianya tidak
dipandang dari kecenderungan utopismenya, melainkan dari segi tekadnya yang kuat untuk mengupayakan keadilan dan kesejahteraan sosial diseberang jembatan emas kemerdekaan. Pencapaian tugas luhur itu tidak dipercayakan pada laisse-fair yang berbasis individualism-kapitalisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan oleh kolonisme; sementara, kolonisme itu sendiri merupakan perpanjangan dari individualism-kapitalisme. Alih-alih memercayakannya pada individualisme – kapitalisme, Soekarno menyatakan bahwa sila keadilan sosial adalah “proses kita yang maha hebat kepada dasar individualism”. Titik tumpu pencapaiannya dipercayakan kepada sosialisme yang bersendikan semangat kekeluargaan dengan menghargai kebebasan kreatif individu. Sosialisme Indonesia menjunjung tinggi asas persamaan dan kebebasan individu, namun dengan penekanan bahwa individu-individu tersebut adalah individu-individu yang kooperatif dengan sikap altruis, yang mengedepankan tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan kolektif. Dalam sistem sosialisme ini diandaikan bahwa seluruh penghasilan diatur menurut keperluan dan maslahat masyarakat masyarakat untuk menghindari krisis karena persaingan. Dalam kaitan ini, Sutan Sjahrir menyatakan, “Sekali-kali, tidaklah boleh kepentingan golongan rakyat banyak yang miskin. Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan kebahagiaan” (Sjahrir, 1982:127). Sila “keadilan sosial” merupakan perwujudan yang paling konkret dari prinsip-prinsip Pancasila. Satu-satunya sila Pancasila yang dilukiskan dalam Pembukaan UUD 1945 dengan menggunakan kata kerja “mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Daftar Pustaka
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama Sokarno, Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Simpatisan Pembela Pancasila. 2008 Soekarno, Ir, Editor: Rahardjo Pamoe. Revolusi Indonesia: Nasionalisme, Marhaen dan Pancasila. Galang Press. 2007