PANCASILA DAN ANTISIPASI HOAX Isu Global Bernama Hoax
Seiring dengan perkembangan jaman yang disebut era digital dan milenial, memberikan dimensi yang serba mudah dan cepat dalam mengakses semua informasi. Hoax menjadi trend di kalangan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Trend karena saat ini "hoax" menjadi perbincangan hangat baik di media massa maupun media sosial. sosial. Belakangan ini "hoax" "hoax" dianggap meresahkan publik dengan informasi yang tidak bisa dipastikan kepastiannya bahkan sebagai ancaman Kebhinekaan. Pemberitaan palsu dalam bahasa Inggrisnya "hoax" adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjukkan pemberitaan palsu atau usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Hoax Hoax merupakan isu global yang dihadapi oleh berbagai negara di era informasi saat ini. Melalui jaringan Internet yang terkoneksi secara global membuat berbagai negara ne gara kesulitan membendung arus a rus informasi hoax. hoax. Bahkan disinyalir salah satu alasan terpilihnya Presiden Amerika Serikat, Donald Trump atas Hillary Clinton disebabkan oleh hoax terhadap hoax terhadap Hillary Clinton yang beredar di Internet. Kondisi ini menjadi ironi, mengingat Amerika Serikat adalah negara adikuasa yang menguasai teknologi dunia seolah-olah tidak berdaya menghadapi masifnya arus bebas hoax di Internet. Oleh sebab itu, tidak heran jika hoax hoax kemudian menjadi isu global yang harus dihadapi oleh berbagai negara saat ini. Dalam konteks Indonesia, Indonesia, Terkuaknya Kasus Saracen yang diduga sindikat yang aktif menyebarkan berita bohong bernuansa SARA di media sosial berdasarkan pesanan. Adanya anggapan sindikat ini kegiatan yang terorganisir, bukan aksi individu semata. Sama halnya dengan Tragedi Kekerasan Keke rasan Rohingya, Rohing ya, Myanmar
disinyalir adanya beberapa pemberitaan "hoax" melalui foto-foto yang beredar diduga oknum yang tidak bertanggung jawab ujung-ujungnya membuat provokasi final dan adu domba. Bahkan Genosida Rohingya ini diduga sebagai sarana menyudutkan pemerintahan Jokowi. Lebih jauh lagi, peredaran hoax yang menyita perhatian publik terjadi pada tahun 2014 ketika akan dilangsungkannya pemilihan presiden. Kemudian, berbagai berita hoax kembali beredar pada tahun 2016-2017 ketika akan dilangsungkannya pemilihan gubernur DKI Jakarta. Bertolak dari argumentasi sejarah di atas, muncul pertanyaan: apakah akan beredar hoax pada saat pemilihan presiden Indonesia yang akan datang? Kemungkinan beredarnya hoax tentunya terbuka lebar, jika pemerintah tidak mengambil langkah kongkret untuk menanggulanginya. Kebebasan berinformasi merupakan faktor kunci dari beredarnya hoax. Hal ini kerapkali dijadikan alasan untuk membenturkan akses terhadap informasi (sifatnya terbatas) dengan kebebasan berinformasi (sifatnya luas). Kebebasan berinformasi menjadi induk dari kebebasan berpendapat (free speech) yang tentunya diartikan bebas
sebebas-bebasnya
jika
hak
berinformasi
digunakan
secara
tidak
bertanggungjawab. Padahal dalam kenyataannya tidak ada kebebasan yang sebebas bebasnya, karena selalu ada batasan atas suatu kebebasan. Banyak kekeliruan yang berkembang secara luas bahwa setiap orang bisa dengan bebas berinformasi. Frasa berinformasi di sini diartikan secara luas termasuk mengakses, menyimpan, menggunakan, dan mengirimkan informasi. Akibatnya, berbagai informasi negatif yang beredar melalui jaringan Internet masuk ke berbagai ruang pergaulan manusia di Internet, seperti chatroom dan media sosial. Celakanya, seringkali berita hoax didistribusikan atau ditransmisikan sebagai guyonan satu sama lain. Alhasil, guyonan yang berbedar ini tidak hanya menjadi hoax, tetapi seringkali menyakiti harga diri (nama baik) dan perasaan orang (privasi). Bertolak dari alasan di atas, kehadiran negara untuk mengatur informasi menjadi sangat penting sehingga benturan antar hak individu bisa dihindari.
Goldsmith dan Wu, 2006 berpendapat: untuk mengatur dunia siber diperlukan suatu kontrol. Secara tradisional, fungsi kontrol ini diemban oleh masyarakat. Dalam konsep yang lebih modern fungsi kontrol masyarakat didelegasikan kepada pemerintah.
Masalahnya,
dalam
peredaran hoax, terjadi
tingginya
tuntutan
masyarakat akan informasi dengan mengatasnamakan demokrasi. Di sisi lain, pemerintah tidak bisa mengendalikan kebutuhan informasi masyarakat. Akibatnya arus bebas informasi tidak terkendali dan seringkali menyebabkan efek buruk dalam kehidupan sosial masyarakat. Goldsmith dan Wu, memberi contoh tentang ’adab berformasi’ di China yang menggunakan pola intermediary berupa sensor berita khususnya berita tentang demokrasi. Hal ini dicontohkan pada kasus penangkapan remaja umur 15 tahun yang mem- posting 54 alasan pelacur lebih baik daripada politisi. Goldsmith & Wu juga menjelaskan inkonsistensi sikap Yahoo.com ketika beroperasi di China. Inkonsistensi ini terlihat dengan keberpihakan Yahoo.com kepada pemerintah China yang notabene pemerintahannya komunis. Padahal di Amerika Serikat Yahoo.com salah satu penggiat demokrasi. Tetapi, Goldsmith & Wu, memberi catatan bahwa alasan utama keberpihakan Yahoo.com semata-mata karena kepentingan ekonomi Yahoo.com, bukan kepentingan ideologi. Pelajaran yang bisa diambil dari kasus di atas, adalah kekuatan fungsi kontrol dari pemerintah untuk mengatur Internet di China. Dalam konteks Indonesia, dengan adanya Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU-ITE, ditegaskan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan pencegahan dan penyebarluasan informasi negatif. Penguatan fungsi pemerintah dalam pengaturan informasi ini dipegang oleh Kementerian Kominfo. Dalam mengendalikan arus informasi di Internet berupa pemblokiran ataupun sensor yang dilakukan tentunya perlu diapresiasi, bukan dihantam dengan argumentasi pemerintah membelenggu kebebasan berekspresi. Hal ini menjadi penting untuk membatasi agumentasi
kebebasan
berinformasi
yang
sebebas-bebasnya
yang
seringkali
menabrak
kepentingan orang lain. Terkait penangangan hoax, yang perlu menjadi catatan adalah strategi penangannya yang tidak boleh dilakukan secara manual oleh pemerintah. Untuk melakukan fungsi kontrol pemerintah ini menuntut penggunaan perangkat lunak dan perangkat keras teknologi informasi yang memadai. Jika penanganan hoax masih dilakukan secara manual, maka niscaya Pasal 40 UU-ITE tidak akan efektif, dan penutupan akses informasi yang dilakukan oleh pemerintah cenderung menjadi subjektif sehingga fungsi kontrol ini rentan untuk disalahgunakan oleh kepentingankepentingan tertentu. Oleh sebab itu, kesiapan perangkat lunak dan perangkat keras teknologi informasi menjadi tantangan yang harus disiapkan pemerintah untuk menghadapi hoax. Selain fungsi kontrol menggunakan sistem elektronik, pemerintah juga memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat. Artinya, campaign atau informasi layanan masyarakat juga perlu dilakukan. Hal ini menjadi satu kesatuan dengan sistem kontrol informasi untuk mengantisipasi beredarnya hoax, sehingga tercipta budaya berinformasi yang sehat dan bertanggung jawab. Antisipasi Hoax dan Melawan Hoax Secara Pancasila
Ada beberapa hal dalam membaca dan melihat pola-pola “hoax”. Pertama jangan terpengaruh pada seberapa banyak berita tersebut dibuat. Buzzer juga bukan objek yang perlu kita lawan atau klarifikasi karena sifat buzzer adalah untuk dipercaya atau diabakan. Kedua adalah membiasakan diri untuk mencari pembandingan dalam membaca suatu berita. Memang benar bahwa belum tentu semua berita di media sosial itu “hoax”, akan tetapi tidak salah juga apabila kita melihat referensi lain.
Lalu yang paling apatis, pergunakanlah saja media sosial sebagaimana fungsinya. Ketika facebook bertanya “apa yang anda pikirkan?” jawablah dengan perasaan hati anda. Pun manakala Twitter mempertanyai anda perihal “apa yang sedang terjadi?”, tulislah yang sedang akan saksikan sesuai yang tengah terjadi. Berhentilah membantu buzzer yang dimanfaatkan untuk menyebarkan “hoax”, atau anda bisa terkena hukuman akan hal itu. Selain antisipasi secara individu, kita sebagai Bangsa Indonesia, juga memiliki tata cara antisipasi yang bersifat Pancasilais. Sesuai sila pertama, sebelum kita mengkonsumsi “hoax”, kita harus percaya bahwa tuhan adalah pemegang kebenaran. Kedua, selesaikanlah persoalan yang masih mengambang itu dengan mengingat bahwa kita adalah sama-sama manusia yang beradab. hindari caci maki. Ketiga, utamakanlah tujuan persatuan bangsa. Jika terdapat konten yang terkesan mengadu domba, jauhi dan kembali pada semangat persatuan. Keempat adalah membiasakan diri menyelesaikan segalanya secara musyawarah, atau dalam bahasa agama disebut dengan tabayyun. Kelima hendaklah berlaku adil, jangan pernah menghakimi tanpa memberikan kesempatan pada yang hendak dihakimi tersebut untuk menjawab tuduhannya. Pentingnya masyarakat lebih secara cerdas dan kritis terhadap pemberitaan "hoax" karena jika tidak disikapi secara benar akan menumbuhkan kebencian dan menafikkan nilai-nilai Pancasila yang selama ini menjadi pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Indonesia merupakan rumah kita bersama, pondasi bangunan ini menjadi kokoh dengan berpegang teguh pada Pencasila.
DAFTAR PUSTAKA
http://business-law.binus.ac.id/2017/04/30/isu-global-saat-ini-bernama-hoax/ https://www.kompasiana.com/manuela/59aef361d466c12ea435e5b3/hoax-ancamankebhinekaan-indonesia http://omahaksoro.com/2017/06/06/pancasila-dan-antisipasi-hoax/