Telah dimuat dalam Jurnal ASPI (Asosiasi Sekolah Perencana Indonesia), Volume 3 Nomor 2 April 2004, hlm. 107-123. ISSN: 1412-2067.
Pelestarian dan Perlindungan Bangunan Kuno-Bersejarah di Kawasan Jalan Gunung-Gunung Kota Malang Antariksa, Rusdi Tjahjono, dan Sigmawan Tri Pamungkas Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167, Malang 65145
[email protected]
Abstract In addition bringing the positive impact, the development can also construct a negative impact to the natural environment in spite of evolving culture and society itself. The development is disposed in give emphasis to the economic side apprehensive will be increasingly condemnation of historical buildings. The historical buildings in the area used of the street with mountains name are is a part of an ancient history which reflects societies of Malang city. If we pay close attention to historical buildings create sources for planning in the future which have identity, character or authenticity and appropriate with the environment. Because of the above mention, the historical buildings in the street with mountains name are need to conserved and protected which consist of important meaning as a trip of historical-culture-architecture of a nation. Especially for cultivate a feeling proud of nationality along with a consciousness authenticity. The government of Malang city has the duty of protecting historical buildings in the street with mountains name are in order that the cultural heritage can be conserved.
Pendahuluan Pelestarian dan perlindungan bangunan kuno-bersejarah merupakan langkah yang sangat tepat bagi kawasan-kawasan yang terdapat di Kota Malang. Pelestarian bangunan kuno-bersejarah mempunyai maksud untuk menyelamatkan kelestarian objek. Di samping itu juga diharapkan dapat meningkatkan mutu lingkungan dan kawasan sekitar, yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat serta dapat menjadi wahana bagi wisata pendidikan dan mendukung perkembangan pariwisata. Asal mula sejarah terbentuknya Kota Malang dimulai sejak jaman kerajaan Kanjuruhan dan Singosari, yaitu berkembang dari sebuah kerajaan yang berpusat di kawasan Dinoyo. Pada tahun 1824 Pemerintah Belanda menetapkan Karesidenan Malang. Bersamaan dengan itu, dibangun kantor-kantor pemerintah dan daerah permukiman untuk pegawai-pegawai pemerintah di daerah Alun-alun, Terminal Patimura, dan sekitarnya. Kota Malang dikembangkan sebagai daerah peristirahatan bagi orang-orang Belanda dan kaum ningrat Jawa.
1
Di beberapa kawasan Kota Malang masih banyak terdapat bangunan kunobersejarah yang memiliki nilai sejarah, antara lain bangunan-bangunan rumah tinggal yang ada di kawasan Ijen, Kantor PLN, kawasan Splendid, kawasan Alun-alun, dan sebagainya. Pada kenyataannya banyak bangunan lama dirobohkan untuk diganti dengan bangunan-bangunan baru. Seperti yang terjadi pada bangunan-bangunan rumah tinggal di kawasan yang menggunakan nama jalan gunung-gunung, dan telah banyak mengalami perubahan, dengan munculnya bangunan-bangunan baru. Untuk mengantisipasi semakin berkurangnya bangunan kuno-bersejarah baik bangunan rumah tinggal, kantor, toko, hotel, dan sebagainya serta memperhatikan halhal tersebut di atas, dipandang perlu untuk melestarikan dan melindungi bangunan kuno-bersejarah yang masih bertahan sampai saat ini. Dengan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan pelestarian dan perlindungan bangunan kuno-bersejarah terutama di kawasan yang menggunakan nama jalan gunung-gunung.
Perkembangan Tata Ruang Kota Pada rencana perluasan kota berdasar Bouwplan V, dengan luas 16.768 m², dimulai sekitar tahun 1924/1925. Hal ini dilakukan karena pada waktu itu penduduk di Kota Malang terutama bangsa Eropa meningkat pesat, sehingga perluasan tersebut diperuntukkan bagi bangsa Eropa. Kemudian yang menjadi terkenal dalam perluasan ini adalah pembangunan taman olah raga di sekitar Jl. Semeru yang sampai sekarang masih ada dan berfungsi sebagai sarana olah raga masyarakat Malang. Daerah tersebut merupakan permukiman yang letak dan pola bangunannya masih bertahan sampai sekarang. Jalan utama pada perencanaan ini adalah, Jl. Ijen yang membujur ke arah utara-selatan yang di tengahnya terdapat taman. Kawasan Ijen Boulevard masih bertahan sampai saat ini dengan pohon palemnya, hanya rumah tinggal yang terdapat dikawasan itu sudah banyak mengalami perubahan besar terutama dalam bentuknya. Pada perkembangan berikutnya, adalah Bouwplan VII, dengan luas 252.948 m², merupakan perkembangan permukiman yang berdasar pada rencana sebelumnya. Bouwplan VII, dimaksudkan sebagai lanjutan perluasan bagian barat kota setelah Bouwplan V. Selain daerah perumahan elit, dengan jenis Villa (dengan kaveling besar serta bentuk rumah tinggal yang luas dan ukuran yang besar pula). Perkembangan permukiman yang dahulu diperuntukkan bagi pendatang dalam hal ini orang Belanda masih bertahan sampai sekarang.
Kebijakan Pemerintah Kota Terhadap Kawasan Bersejarah di Jalan Gununggunung Pemerintah Kota Malang sendiri telah telah memiliki perangkat hukum untuk menjaga bangunan-bangunan kuno-bersejarah di Kota Malang terutama di kawasan yang menggunakan jalan dengan nama gunung-gunung, yaitu dengan adanya SK Walikotamadya Kepala Dati II Malang Nomor SK/104/U/II/’80, yang dalam diktum kedua dari SK tersebut menggariskan sebagai berikut: “Lingkungan perumahan yang perlu dipertahankan bentuk keasliannya adalah Jl. Ijen, Jl. Semeru, Jl. Bromo, Jl. Arjuno, Jl. Tangkubanperahu, Jl. Tennes, Jl. Sumbing, Jl. Sindoro, Jl. Taman slamet, Jl. Welirang, Jl. Buring, Jl. Lawu, Jl. Argopuro, Jl. Lamongan, Jl. Merapi, Jl. Muria, Jl. Cerme, Jl.
2
Ungaran, Jl. Baluran, Jl. Guntur, Jl. Anjasmoro, Jl. Raung, Jl. Simpang Balapan, Jl. Merbabu, Jl. Tampomas, Jl. Lasem, Jl.Ringgit, Jl. Papandayan, Jl. Cikurai, Jl. Jakarta, Jl. Pahlawan Trip, Jl. Rinjani, Jl. Dempo, Jl. Kerinci, Jl. Tanggamus, Jl. Retawu, Jl. Wilis, Jl. Panderman, Jl. Telomoyo, Jl. Pandan, Jl. Kawi, Jl. Gede, dan sekitarnya.” Kemudian SK ini diperkuat menjadi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1986, yang selanjutnya dilakukan perubahan menjadi Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1989, isinya antara lain bahwa dalam rangka usaha terciptanya salah satu citra Kota Malang sebagai Kota Pariwisata, perlu mempertahankan kelestarian bangunan yang dapat menunjang kepariwisataan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah melarang perubahan atau pembongkaran bangunan yang oleh Pemerintah Daerah dianggap memiliki nilai sejarah, kebudayaan khusus, atau guna kepentingan pariwisata, kecuali apabila mendapatkan ijin dari Kepala daerah setelah mendapatkan pertimbangan dari Bappeda Kota Malang. Namun, pada kenyataannya, Perda ini ternyata tidak efektif dan banyak bangunan baru tumbuh menggantikan bangunan-bangunan lama di kawasan studi yang hendak dilestarikan dan dilindungi tersebut.
Karakteristik Kecamatan Klojen Kedudukan kawasan studi dalam konstelasi tata ruang kota Secara administratif sebagai kawasan studi Kecamatan Klojen berada dalam pengembangan sistem struktur pelayanan Kota Malang merupakan BWK Kecamatan Klojen sekaligus sebagai BWK Pusat Kota. Sebagai BWK Pusat Kota tentunya kedudukan Kecamatan Klojen memiliki peran dan fungsi wilayah yang sangat penting dan strategis, yaitu sebagai pusat pelayanan utama (sosial-ekonomi masyarakat) Kota Malang dan sekitarnya. Khusus pada kawasan studi, merupakan kawasan dengan nama jalan gununggunung, yang dalam pembagian unit pelayanan di dalam BWK Kecamatan Klojen, termasuk dalam SBWK A dan SBWK C. SBWK A, yang berpusat di sekitar Pasar Orooro Dowo, kegiatan yang dikembangkan meliputi permukiman, pendidikan, perdagangan, jasa, penggunaan campuran, fasilitas umum, dan fasilitas olah raga. Untuk SBWK C, yang berpusat di sekitar Pasar Bareng, kegiatan yang dikembangkan meliputi permukiman, pendidikan, perdagangan, jasa, penggunan campuran, fasilitas umum dan olah raga, serta kawasan khusus (konservasi). Pola penggunaan lahan Pola penggunaan lahan merupakan salah satu aspek yang akan menjadi pertimbangan dalam proses pengembangan kota. Dominasi penggunaan tanah di kecamatan Klojen adalah permukiman/pekarangan dengan luas 477,044 Ha dari total luas wilayah kecamatan 882,50 Ha. Untuk penggunaan tanah yang paling sedikit berupa fasilitas militer dengan luas 6,41 Ha. Dari total luas wilayah kecamatan tersebut dimanfaatkan untuk penggunaan tanah baik terbangun atau pun tidak terbangun, yang secara rinci adalah sebagai berikut: Permukiman seluas 477,044 Ha; Perkantoran seluas 41,141 Ha; Militer seluas 6,410 Ha; Perdagangan dan Jasa seluas 114,256 Ha; Fasilitas pendidikan seluas 36,902 Ha; Fasilitas kesehatan seluas 28,871 Ha; Setasiun Kereta Api seluas 7,387 Ha; Jalur hijau seluas 18,438 Ha; tanah terbuka seluas 49,660 Ha; dan lain-lain seluas 102,391 Ha. Dari uraian di atas nampak bahwa selain
3
menampung kegiatan permukiman, Kecamatan Klojen penggunaan tanahnya juga didominasi oleh kegiatan perdagangan dan jasa dengan komposisi 12,95% dari jumlah total keseluruhan. Dengan demikian, fungsi kecamatan pada saat ini terkait dengan kegiatan perdagangan dan jasa. Pola permukiman di Kecamatan Klojen adalah memusat dan padat. (Tabel 1 dan Tabel 2)
Arsitektur dan Tata Bangunan di Kawasan Studi Populasi bangunan di kawasan studi mencapai jumlah 1.434 unit yang berada pada 57 koridor jalan. Dari hasil observasi, data arsitektur dan tata bangunan di kawasan studi diklasifikasikan berdasar fungsi, sempadan dan tinggi bangunan, struktur dan konstruksi, serta arsitektoniknya. Fungsi bangunan Fungsi bangunan berkaitan dengan jenis aktivitas utama yang bertempat di dalam bangunan tersebut. Untuk itu fungsi bangunan ini dibedakan fungsi perdagangan dan jasa, kantor dan fasilitas umum lainnya, rumah usaha dan rumah tinggal. Dengan dasar tersebut, hasil observasi menunjukkan bahwa di kawasan studi didominasi fungsi bangunan rumah tinggal yang mencapai 1.007 unit, atau 72,24% dari populasi. Dominasi fungsi ini hampir merata di seluruh ruas jalan, kecuali di Jalan Kawi yang lebih dominant fungsi perdagangan dan jasa dibandingkan fungsi lainnya. Untuk fungsi bangunan rumah yang sekaligus digunakan untuk aktivitas usaha (Rumah Usaha) ada 10,83% (151 unit). Kemudian untuk dua fungsi lainnya mempunyai jumlah setara, yaitu 119 unit (8,54%) fungsi perdagangan dan jasa, dan 117 unit (8,39%) fungsi kantor dan fasilitas umum. (Tabel 3) Jarak dan jumlah lantai bangunan Jarak bangunan diidentifikasi dengan mengukur jarak bangunan dari batas kavling/pagar bangunan, yang meliputi jarak depan, samping kiri dan kanan bangunan. Jumlah lantai bangunan sekaligus dimungkinkan untuk dapat memberi gambaran ketinggian bangunannya. Jarak bangunan di setiap ruas jalan berbeda-beda dengan kisaran 2 hingga 15 m untuk jarak depan bangunan, dan 0 hingga 3 m untuk jarak samping. Jarak bangunan panjang berada pada ruas jalan Ijen dan Jl. Slamet, sedangkan jarak bangunan pendek berada di Jl. Kawi dan Jl.Simpang Ijen. Bangunan di kawasan studi rata-rata berlantai 1 dengan ketinggian antara 5 hingga 7 m (termasuk ketinggian atap) dari muka tanah. Dari 1.434 unit bangunan, yang berlantai 1 ada 1.032 unit, atau 71,96% dari populasi bangunan. Bangunan yang berlantai 2 ada 392 unit (27,34%) dan bangunan berlantai 3 ada 10 unit (0,70%). Struktur dan konstruksi Struktur dan konstruksi bangunan difokuskan pada bahan konstruksi dinding dan atap serta sistem struktur yang digunakan kemudian diidentifikasi kondisinya. Konstruksi dinding dan atap tidak sampai mengidentifikasi bahan finishingnya, melainkan bahan utama yang menunjukkan teknologi konstruksinya. Bahan konstruksi dinding dari bahan batu bata, baik sebagai komponen struktur maupun hanya sebagai dinding pengisi. Hampir tidak dijumpai bahan konstruksi dinding selain batu bata. Untuk konstruksi
4
atapnya rata-rata menggunakan bahan kayu dengan penutup atap genting. Untuk struktur utamanya digunakan sistem dinding pemikul, rangka atau kombinasi keduanya, dengan bahan batu bata atau beton. Kondisi struktur dan konstruksi bangunan rata-rata baik, hanya ada beberapa bangunan di kawasan studi adalah: 1.128 unit bangunan (78,66%) dalam kondisi baik, 279 unit bangunan (19,46%) kondisinya sedang, dan 27 unit bangunan (1,88%) dalam kondisi rusak. (Tabel 4) Arsitektur bangunan Arsitektur bangunan diidentifikasi berdasar tipe gaya bangunan kolonial Nix (1949), yaitu tipe empire, romantik, pra 1900, pasca 1900, dan periode 1915 hingga 1930. Tipe empire merupakan bentukan figur tampak yang simitris dengan kolom bulat dan besar berjajar mengapit bukaan pintu dan jendela, yang kemudian berkembang ke varianvarian lain yang nantinya dikelompokkan pada tipe pra 1900. Selanjutnya, berkembang tipe bangunan asimetri dengan atap runcing dan ornament pada fasade bangunan yang disebut gaya romantik dan berkembang pendek antar tahun 1900 hingga tahun 1920an. Periode 1915-1930 berkembang tipe bangunan kolonial yang telah mengadopsi bangunan tropis, dengan atap runcing, kantilever, teras dan ornamen pada bukaanbukaan penghawaan. Dengan menggunakan klasifikasi tersebut, nampak jelas bahwa di kawasan studi, arsitektur bangunan didominasi oleh tipe arsitektur periode tahun 1915-1930, yang jumlahnya lebih dari 90% dari bangunan kolonial yang masih tetap bertahan. Tipe arsitektur romantik dan pasca 1900-an masih ditemukan di beberapa tempat, seperti di Jl. Merbabu dan Jl. Semeru. Untuk tipe pra tahun 1900 dan tipe empire tidak terdapat di kawasan studi. Status kepemilikan Status kepemilikan bangunan kuno-bersejarah di kawasan studi terdiri atas beberapa status yang berbeda. Meskipun data yang didapatkan dari Badan pertanahan Nasional Kota malang tidak lengkap, pada umumnya status kepemilikan bangunan yang paling banyak adalah Hak Milik dan Hak Milik Eigendom.
Perlindungan dan Pelestarian di Kawasan Studi Perubahan lingkungan Pembentukan karakter kawasan banyak didominasi oleh rancangan struktur ruang kawasan, tata ruang luar, arsitektur serta tata bangunannya. Struktur ruang kawasan dibentuk oleh pola/jalur pergerakan, sedangkan tata ruang luar dibentuk oleh pola, rancangan elemen-elemen vegetasi, dan elemen-elemen buatan (Trancik, 1986). Dengan demikian, penilaian perubahan pada tingkat kawasan dapat menggunakan parameter perubahan pada pola struktur jalan, elemen vegetasi, dan elemen buatan pada ruang luarnya. Struktur ruang kawasan yang terbentuk semi grid dengan poros pada Jl. Besar Ijen merupakan struktur ruang kawasan yang masih bertahan sampai saat ini. Kawasan studi secara fungsional belum terlalu banyak berubah dari fungsi awal perencanaan, yaitu fungsi permukiman. Hal ini ditunjukkan dari hasil observasi yang mengungkapkan bahwa 72,24% dari populasi bangunan di kawasan studi berfungsi
5
sebagai bangunan rumah tinggal. Perubahan fungsi yang cukup penting, terutama adalah semakin menyempitnya area terbuka hijau kota, yang berfungsi pula sebagai daerah resapan kota, serta berubah fungsi sebagai area terbangun, seperti Smeroe Park, yang berubah menjadi bangunan Museum Brawijaya dan kompleks perumahan Indrakila; Race course menjadi Akademi Kebidanan dan perumahan, serta kawasan sepanjang DAS Brantas menjadi kawasan permukiman dan jasa. Alih fungsi dapat berawal dari berkembangnya fungsi rumah tinggal menjadi rumah usaha, kantor, atau perdagangan dan jasa. Dari data lapangan menunjukkan bangunan rumah tinggal yang menjadi rumah usaha ada 10,83% dari populasi bangunan yang ada di kawasan studi. Pola visualisasi kawasan koridor Ijen Boulevard sendiri masih cukup bertahan sampai saat ini, terutama tatanan ruang luarnya yang dicirikan dengan lebar jalan, adanya boulevard di median jalan, tatanan vegetasi utamanya (terutama pohon palem raja), serta setback deretan bangunan terhadap tepi jalan. Dalam konteks pelestarian, perubahan-perubahan fungsi dimungkinkan, sejauh tidak merusak karakter bangunan dan tergantung dari nilai kesejarahan dari bangunan tersebut. Dari identifikasi di atas menunjukkan bahwa karakter kawasan tidak terjadi perubahan yang drastis. Perubahan hanya terjadi pada elemen-elemen ruang luar yang bersifat tentatif, yang dapat dengan mudah ditata ulang, seperti elemen buatan, dan vegetasi dari tanaman hias. Perubahan bangunan Perubahan bangunan diidentifikasi dari tipologi arsitekturnya. Bila pada kawasan studi didominasi oleh fungsi permukiman, maka tipologi akan dapat memudahkan mengidentifikasi perubahan tersebut. Dengan demikian dalam menilai perubahan bangunan nantinya digunakan parameter tingkat perubahan dari sitem spasial, fisik dan ornamennya. Dari parameter tersebut menunjukkan bangunan di kawasan studi cukup banyak yang telah berubah total dibandingkan yang masih tetap bertahan. Bangunan yang berubah total mencapai 38,84% dari populasi bangunan dan yang tidak berubah 26,35%. Sisanya 222 unit (15,48%) bangunan terdapat perubahan kecil hingga sedang, dan 227 unit (19,31%) bangunan terdapat perubahan sedang hingga besar. (Tabel 5) Makna Kultural Lingkungan Bersejarah di Kawasan Studi Konsep makna kultural lingkungan (Kerr, 1982), adalah menggabungkan kepentingan pelestarian sejarah dengan penilaian-penilaian arsitektural dari suatu lingkungan bersejarah, dalam hal ini kawasan studi (daerah yang menggunakan nama jalan gunung-gunung). Konsep ini mencakup penilaian makna kultural dengan menggunakan kriteria-kriteria fisik-visual, meliputi nilai-nilai: jenis, guna lahan, intensitas, dan pola visual. Oleh karena itu, konsepsi yang diambil dari perencanaan kota, adalah yang menentukan estetika sebuah kota, baik dalam pembangunan daerah perumahan maupun dalam pembangunan jalannya. Perencanaan Kota Malang yang sangat berpengaruh saat itu terutama pembentukan dan perkembanagn kawasan studi adalah pada tahap Bouwplan V (tahun 1924/1925) dan Bouwplan VII (tahun 1930). Dalam tahap perencanaan ke V ini, lebih
6
ditekankan pada perkembangan permukiman ke arah barat kota, dan daerah ini dipilih dikarenakan daerahnya tinggi. Arahan fungsi dan kegiatan pelayanan kota yang dikembangkan di kawasan studi terutama adalah kegiatan sekunder, yaitu antara lain: kegiatan perdagangan di sekitar Pasar Oro-oro Dowo dan Pasar Bareng untuk pengembangan terpusat, dan di sepanjang koridor Jl. Kawi; kegiatan pemerintahan dan pertokoan di sepanjang koridor Jl. Kawi dan Jl. Arjuno; kegiatan pelayanan umum di sepanjang Jl. Kawi; dan kegiatan fasilitas pendidikan tersebar merata sesuai dengan skala pelayanan. Dalam Evaluasi RTRW Kota Malang Tahun 2002 dan Evaluasi RDTRK Kecamatan Klojen Tahun 2003, yang dua-duanya sedang dalam proses Perda, menunjukkan bahwa kawasan studi pada masa mendatang direncanakan tetap berfungsi sebagai area permukiman. Di dalam arahan rencana penataan ruang kota yang telah ada (Evaluasi RTRW Kota Malang Tahun 2002), yang tertuang di dalam rencana Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung-Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan, satu-satunya kawasan/daerah yang telah ditetapkan sebagai kawasan yang perlu dilindungi dan dilestarikan adalah kawasan permukiman Jl. Besar Ijen. Berdasarkan kriteria fisik-visual yang telah ditetapkan, tingkat perubahan lingkungan yang terjadi di masing-masing koridor jalan, nilai historis, keselarasan dengan rencana tata ruang/kawasan, serta kecenderungan perubahan yang mungkin akan terjadi, dapat ditentukan kriteria-kriteria yang dapat digunakan sebagai berikut: nilai historis yang tinggi atau kualitas kenangan yang abadi; jiwa tempat dan karakter kawasan yang kuat; dan memiliki kontinuitas visual yang koheren. Dengan menggunakan kriteria-kriteria tersebut maka kawasan studi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: lingkungan yang bernilai makna kultural tinggi adalah koridor Jl. Besar Ijen; lingkungan yang bernilai makna kultural sedang, adalah koridor-koridor jalan selain Jl. Besar Ijen, Jl. Kawi, dan Jl. Dieng; dan lingkungan yang bernilai makna kultural rendah, adalah koridor Jl. Kawi dan Jl. Dieng. Makna Kultural Bangunan Kuno-Bersejarah Pendekatan ini mencakup dua langkah pokok, yaitu penetapan makna kultural serta pencarian cara-cara terbaik untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut dalam penggunaan dan pengembangannya di masa depan. Pada penetapan nilai makna kultural dilakukan pemahaman dan penilaian objek-objek studi beserta nilai tempatnya dengan menggunakan beberapa kriteria penilaian sebagai berikut (Catanese dalam Pontoh, 1992:36; Sidharta & Budihardjo, 1989:13): 1. Kriteria-kriteria fisik-visual, meliputi: a. estetika, b. keluarbiasaan, c. memperkuat citra kawasan, d. keaslian bentuk, dan e. keterawatan; dan 2. Kriteria-kriteria non fisik, meliputi nilai-nilai: a. peran sejarah, b. komersial, dan c. sosial-budaya. Dengan ketetapan-ketetapan di atas maka dapat dilakukan penilaian makna kultural terhadap setiap kawasan studi. Penilaian kualitatif diukur berdasarkankan perbandingan antar kawasan studi dalam skala lokal Kota Malang. Dalam perbandingan akan mempertimbangkan hasil-hasil identifikasi bangunan dan lingkungan melalui observasi langsung. Dari segi kriteria estetika, keberadaan bangunan-bangunan pada kawasan studi menampakkan keragaman bentuk dan kekayaan nilai-nilai arsitektural, namun masih mempunyai kesamaan dan kesatuan langgam arsitektur kolonial. Dari kriteria
7
memperkuat citra kawasan masih terjaga dengan cukup, baik kontinuitas maupun konvigurasi visual bangunan (bentuk massa, jarak antar bangunan, setback dari jalan, skala bangunan, gaya arsitektur, pengolahan lansekap), dan tatanan elemen-elemen lingkungan/ruang luarnya (jalan, pohon tepi jalan, jalur pejalan kaki, dan perabotperabot jalan). Pada kawasan studi, contoh representatif dari berbagai kriteria-kriteria tersbut adalah Gereja GPIB. Bangunan tersebut di samping memiliki nilai estetis dan peranan sejarah yang tinggi, juga nilai keluarbiasaan, dan memperkuat citra kawasan, keterawatan, serta keaslian bentuk yang tinggi. Termasuk dalam makna kultural sedang dengan kualitas keaslian rancangan yang unik dan menjadi pembentuk karakter kawasan adalah, Gereja Kawi, rumah tinggal Jl. Rinjani 14, Jl. Arjuno 36, Jl. Tanggamus 21, Jl. Buring 1 dan 2, Jl. Wilis 27, dan Jl. Tennes 14. (Gambar 1) Gereja yang letaknya berada di bagian pojok antara Jl Kawi dengan Jl. Bromo merupakan alih fungsi dari rumah tinggal. Pada bangunan yang mempunyai nilai kultural sedang merupakan bangunan yang tidak berubah dan mempunyai kualitas estetik dan pembentuk citra kawasan sedang. Bangunan ini merupakan bagian dari bangunan deret yang membentuk kesinambungan visual pada koridor jalan. Bangunan deret yang tidak berubah dan membentuk kesinambungan visual kawasan antara lain dapat dilihat di Jl. Rinjani, Jl. Wilis 27 dan 31, Jl. Tanggamus 20-22, Jl. Bromo 17-21, dan Jl Besar Ijen 75-83. Sisa dari karakter visual bangunan berderet ada di Jl. Kawi 27 dan 39, Jl. Buring 10, Jl. Bromo 5, dan Jl. Guntur 9. Untuk kategori sedang yang ke dua, adalah bangunan pada Jl. Welirang 32, Jl. Bromo 31, dan Jl. Rinjani 11. (Gambar 2) Pada bangunan yang dikategorikan mempunyai nilai kultural rendah, bila bangunan mempunyai tingkat perubahan sedang hingga besar, tetapi masih menyisakan kualitas rancangan lama yang unik atau bangunan yang mempunyai tingkat perubahan kecil, dan tidak mempunyai kualitas rancangan unik yang lepas dari kesinambungan visual lingkungannya. Dengan kriteria tersebut, maka hampir seluruh bangunan di kawasan studi yang tidak termasuk kategori tinggi dan sedang adalah bangunan dengan kategori nilai kultural rendah.
Rencana Perlindungan dan Pelestarian Kawasan Studi Perlindungan dan pelestarian kawasan studi Hal pokok yang mendasari kajian penetapan rencana perlindungan dan pelestarian objek di kawasan studi, adalah: 1. Upaya pelestarian yang akan dilakukan perlu lebih dahulu didasari oleh asumsi bahwa para pengamat memiliki kesamaan motivasi dan persepsi, bahwa Kota Malang khususnya kawasan studi benar-benar memiliki bangunan dan lingkungan bersejarah; 2. Upaya pelestarian di arahkan bukan menuju ke arah tindakan proteksi, melainkan lebih kepada konsep simultan antara preservasi dan pengembangan yang terintegrasi; 3. Upaya pelestarian dijabarkan dalam konsep preservasi-konservasi. Dalam hal ini, dilakukan upaya-upaya perlindungan bangunanlingkungan kuno ke arah terpeliharanya kualitas fisik dan kesinambungan nilai sejarahsosial-budaya-ekonomi; 4. Upaya pelestarian lebih didasarkan pada masalah fisikkonsepsual, dalam bentuk rekomendasi strategi bagi implementasi kebijakan pelestarian dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip pelestarian yang telah digariskan.
8
Perlindungan dan pelestarian lingkungan bersejarah di kawasan studi Untuk menetapkan zona pelestarian lingkungan di kawasan studi, beberapa kriteria yang digunakan untuk menilai makna kultural lingkungan dapat digunakan kembali. Dengan menggunakan kriteria-kriteria tersebut, maka lingkungan dalam lingkup kawasan studi dapat ditetapkan sebagai zona lingkungan bersejarah yang perlu dilindungi dan dilestarikan pengendaliannya, adalah: a. Zona lingkungan pengendalian ketat, lingkungan yang termasuk dalam golongan ini adalah yang bernilai sejarah dan arsitektur-kota yang sangat tinggi. Prioritas pengendaliannya zona ini terutama di sepanjang koridor Jl. Besar Ijen; b. Zona lingkungan pengendalian sedang, lingkungan yang termasuk dalam golongan ini adalah yang bernilai sejarah dan arsitektur-kota yang cukup tinggi. Prioritas pengendalian zona ini terutama di hampir seluruh koridor jalan gunung-gunung, kecuali koridor Jl. Besar Ijen, Jl. Kawi, dan Jl. Dieng; dan c. Zona lingkungan pengendalian rendah, lingkungan yang termasuk dalam golongan ini adalah yang bernilai sejarah dan arsitektur-kota yang sudah rendah, akibat perubahan wajah lingkungan yang relatif sangat besar. Prioritas pengendalian zona ini terutama di sepanjang Jl. Kawi dan Jl. Dieng. Strategi Utama Perlindungan dan Pelestarian Strategi utama dari perlindungan dan pelestarian bangunan kuno-bersejarah akan dibedakan menjadi tiga, yaitu preservasi, konservasi, dan demolisi yang sifatnya lebih ke arah suatu kebijakan. Untuk strategi lainnya, yang lebih bersifat implementatif, yaitu restorasi, rehabilitasi, renovasi, rekonstruksi, adaptasi, addisi, gentrifikasi, dan demolisi dipandang sebagai tindakan atau implementasi dari strategi-strategi utama tersebut (Sidharta & Budihardjo, 1989:11; Catanese & Snyder dalam Pontoh, 1992:34) Selain pengklasifikasian strategi pelestarian di atas masing-masing objek studi juga diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis penggolongan bangunan. Jenis-jenis penggolongan ini lebih didasarkan pada hubungan antara nilai makna kultural bangunan dan bentuk intervensi fisik yang sesuai. Dengan demikian, ditetapkan tiga penggolongan, yaitu Golongan A, Golongan B, dan Golongan C. Masing-masing golongan bangunan mempunyai batasan dan persyaratan operasional sebagai berikut: 1. Golongan A, bangunan-bangunan yang bernilai sejarah atau arsitektur yang sangat tinggi. Secara fisik, pada bangunan-bangunan ini tidak diperkenankan ditambah, diubah, bahkan dibongkar atau dibangun baru; 2. Golongan B, bangunan-bangunan yang bernilai atau mempunyai ciri tertentu dari suatu masa, dengan struktur yang masih baik, dan yang sama-sama membentuk lingkungan yang serasi. Secara fisik, pada bangunanbangunan ini tidak diperkenankan diubah badan utama, struktur utama, atap, maupun pola tampak depannya (fasade); dan 3. Golongan c, bangunan-bangunan yang secara fisik sudah banyak berubah, kondisinya sudah rusak dan dianggap membahayakan, perubahan sudah tidak sesuai dengan lingkungannya, sudah berubah sama sekali nilai lingkungannya, atau lokasinya sulit dipertahankan dan perlu dikembangkan secara lain. Bangunan-bangunan ini boleh diubah wajah dan bentuk dalamnya, atau dibangun baru, tetapi harus disesuaikan dengan pola tampak bangunan di sekitarnya dan rencana kota, sehingga terbentuk lingkungan yang baik dan serasi.
9
Aspek Pengendalian dan Perlindungan Hukum Kawasan studi sangat potensial dimanfaatkan sebagai aset wisata kota bersejarah. Hal ini untuk membangkitkan nostalgia dan nilai kultural yang dijadikan sebagai salah satu tujuan utama dalam pelestarian. Dengan demikian, usaha-usaha pelestarian kawasan studi tentu akan memberi manfaat ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat sekitar dan tentu saja pada Pemerintah Kota Malang. Di samping memberikan manfaat, maka untuk mencegah persoalan-persoalan lain yang muncul secara kontradiktif terhadap upaya pelestarian kawasan studi perlu segera dibuat adanya peraturan dan perlindungan hukum. Perlindungan hukum merupakan penerapan hukum dan peraturan, perlindungan serta pengendalian lingkungan bangunan bersejarah yang perlu untuk dilestarikan. Ada tiga hal utama yang perlu dikembangkan dalam pelestarian di kawasan yang menggunakan jalan dengan nama gunung-gunung (Bergenbuurt), yaitu antara lain (Pontoh, 1992:39): 1 Petunjuk operasional yang jelas, menyangkut jenis dan cara perlindungan kawasan dan lingkungan bangunan yang akan dijadikan objek pelestarian; 2. Sangsi hukum terhadap pelanggaran dan pemberian insentif bagi pelaku pelestarian (konservasi/preservasi) dalam hal ini pemilik bangunan: dan 3. Subsidi bagi badan atau perorangan yang berniat melakukan pemugaran, konservasi maupun preservasi. Perlu ada program bantuan dana pemeliharaan pada bangunan bersejarah di kawasan yang menggunakan jalan dengan nama gunung-gunung untuk mengembangkan Local Register Properties meliputi (Pontoh, 1992:39): 1. Legal Designation, petunjuk hukum yang disusun berdasarkan hasil inventarisasi kawasan, lingkungan, bangunan maupun objek-objek lain yang harus dikonservasi atau dipreservasikan; 2. Legal Restrictive Convenants, pengaturan perjanjian yang membatasi perlindungan terhadap karakter lingkungan bangunan bersejarah yang akan dipugar dan direstorasi sesuai dengan fungsi barunya; 3. Design Guidelines, perangkat pengendalian rancangan dan konstruksi baru yang akan diterapkan pada bangunan kuno yang dinilai akan merusak karakter kekunoannya atau pun lingkungan lamanya. Penutup Nampak jelas bahwa di kawasan studi, arsitektur bangunan didominasi oleh tipe arsitektur periode tahun 1915-1930, yang jumlahnya lebih dari 90% dari bangunan kolonial yang masih tetap bertahan. Populasi bangunan di kawasan studi mencapai jumlah 1.434 unit yang berada pada 57 koridor jalan. Bangunan di kawasan studi rata-rata berlantai 1 dengan ketinggian antara 5 hingga 7 m (termasuk ketinggian atap) dari muka tanah. Dari 1.434 unit bangunan, yang berlantai 1 ada 1.032 unit, atau 71,96% dari populasi bangunan. Bangunan yang berlantai 2 ada 392 unit (27,34%) dan bangunan berlantai 3 ada 10 unit (0,70%). Kondisi struktur dan konstruksi bangunan rata-rata baik, hanya ada beberapa bangunan di kawasan studi adalah 1.128 unit bangunan (78,66%) dalam kondisi baik, 279 unit bangunan (19,46%) kondisinya sedang dan 27 unit bangunan (1,88%) dalam kondisi rusak. Bangunan yang berubah total mencapai 38,84% dari populasi bangunan dan yang tidak berubah 26,35%. Sisanya 222 unit (15,48%) bangunan terdapat perubahan kecil hingga sedang, dan 227 unit (19,31%) bangunan terdapat perubahan sedang hingga besar.
10
Konsep makna kultural lingkungan adalah menggabungkan kepentingan pelestarian sejarah dengan penilaian-penilaian arsitektural dari suatu kawasan kunobersejarah. Oleh karena itu, konsepsi yang diambil dari perencanaan kota, adalah yang menentukan estetika sebuah kota, baik dalam pembangunan daerah perumahan maupun dalam pembangunan jalannya. Strategi dan kebijakan dilakukan berdasar adanya klasifikasi makna kultural dan interfensi fisik dengan menggolongkan bangunan kuno-bersejarah agar persyaratan operasionalnya dapat dilakukan sesuai aturan yang berlaku. Perlu segera diterapkan perturan dan perlindungan hukum untuk bangunan kunobersejarah di kawasan studi dengan memperhatikan jenis dan cara perlindungannya, sangsi hukum bagi pelanggar, dan adanya subsidi bagi badan atau perorangan yang melakukan konservasi/preservasi di kawasan tersebut. Referensi Akihary, H. (1988). Architectuur en Stedebouw in Indonesia 1870-1940, Geeuwenbrud: Grafiplan. Budihardjo, E. (1997). Arsitektur Pembangunan dan Konservasi. Jakarta: Djambatan. Danisworo, M. (1996). Penataan Kembali Pusat Kota, Suatu Analisis Proses. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol VII, Nomor 22, September, hlm: 70-76. Hadinoto dan Soehargo, P.H. (1996). Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, Yogyakarta: ANDI Hariyani, S., Meidiana, C., dan Kusdiwanggo, S. (2000). “Studi Perbandingan Pola Struktur Pusat Pemerintahan Kota Kolonial antara Kota-Kota Pesisir dan Pedalaman di Jawa Timur”, Laporan Penelitian, Malang: Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (tidak dipublikasikan). Kerr, J.S. (1982). The Conservation Plan: A Guide to the Preparation of Conservation Plans for European Cultural Significant. New South Wales: The National Trust of Australia. Kerr, J.S. (1982). The Conservation Plan: A Guide to the Preparation of Conservation Plans for European Cultural Significant, New South Wales: The National Trust of Australia. Nix, C.H. (1949). “De Vormleer van de staadebouw, in het bijzonder voor Indonesie”, Disertasi Doktor. Pontoh, N.K. (1992). Preservasi dan Konservasi, Suatu Tinjauan Teori Perancangan Kota. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Nomor 6 Triwulan IV/Desember. hlm. 34-39. Shirvani, H. (1985). The Urban Design Process. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Sidharta dan Budihardjo, E. (1989). Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Trancik, R. (1986). Finding Lost Space: Theories of Urban Design, New York: Van Nostrand Reinhold Company.
11
Tabel 1. Pola Penggunaan Tanah Kecamatan Klojen Kota Malang Tahun 1997 NO
Pola Penggunaan Tanah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perumahan Perkantoran Militer Perdagangan & Jasa Fasilitas Pendidikan Fasilitas Kesehatan Stasiun KA Jalur Hijau Tanah Terbuka Lain-lain JUMLAH Sumber : Hasil Survey
Tabel 2.
NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 16a 16b 16c 17 18 19 20 20a 20b 21
I 91.230 14.730 1.800 17.110 10.950 16.110 7.387 8.630 4.937 36.926 209.810
Sub Wilayah Pusat Kota II III IV 128.170 12.960 5.060 16.690 0.460 1.030 14.660 23.082 202.112
103.674 7.301 0.960 14.746 5.084 8.301 4.120 2.268 8.903 155.357
83.460 2.000 0.320 0.900 0.090 3.078 25.030 16.142 131.020
Jumlah V 70.510 4.150 3.650 77.020 3.278 3.910 1.580 2.765 184.201 351.064
477.04 41.14 6.41 114.26 36.90 28.87 7.39 18.44 49.66 102.39 882.500
Neraca Penggunaan Tanah Kecamatan Klojen Kota Malang Tahun 2002
PENGGUNAAN TANAH
PERUMAHAN LAP. OLAH RAGA/TAMAN KUBURAN PERKANTORAN/PEMERINTAH/ MILITER/SWASTA SRN. PENDIDIKAN SRN.KESEHATAN SRN.IBADAH/SOSIAL P- A S A R PERTOKOAN PERGUDANGAN TP.HIBURAN/REKREASI HOTEL/LOSMEN INDUSTRI BESAR INDUSTRI RAKYAT SRN.PERHUB/KOMUNIKASI SUB JUMLAH TNH. PERTANIAN SAWAH TEGALAN KEBUN TNH. KEHUTANAN TNH. PERIKANAN [TBK/KLM] TNH. PETERNAKAN TNH. KOSONG DIPERUNTUKKAN TDK. DIUSAHAKAN WADUK
TAHUN 2001 [I]
TAHUN 2002
578.5307 24.8384 10.1410 31.1097
574.5594 24.8384 10.1410 31.1097
-3.9713 0.0000 0.0000 0.0000
39.3112 13.7513 0.5630 5.1567 29.7667 0.0300 4.4585 5.4597 0.0000 0.1625 90.2276 836.50070
39.3112 13.7663 0.6675 5.1567 35.2055 0.0000 4.4585 5.9647 0.0000 0.1625 90.2276 838.5690
0.0000 +0.0150 +0.1045 0.0000 +5.4388 -0.0300 0.0000 +0.5050 0.0000 0.0000 0.0000 +2.0620
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
45.9930 0.0000 0.0000
43.9310 0.0000 0.0000
-2.0620 0.0000 0.0000
[ II ]
PERUBAHAN [ III ]
12
22 23 24
DANAU PD. RUMPUT/ALANG-ALANG TNH. TANDUS
0.0000 0.0000 0.0000
0.0000 0.0000 0.0000
SUB JUMLAH 45.9930 43.9310 JUMLAH 882.5000 882.5000 Sumber : KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA MALANG
0.0000 0.0000 0.0000 -2.0620 (0.0000)
13
Tabel 3. Jumlah Bangunan di Setiap Ruas Jalan Kawasan Studi Berdasar Fungsi Bangunan Tahun 2003 NO
Nama Jalan
Fungsi Bangunan Dagang/ jasa
Kantor/ Fasum
Rumah Usaha
Rumah Tinggal
1
ANJASMORO
1
0
5
4
2
ARGOPURO
0
1
0
10
3
ARJUNO
2
8
6
20
4
BATOK
0
9
2
15
5
BESAR IJEN
7
10
4
75
6
BLAURAN
0
1
0
19
7
BROMO
1
13
9
32
8
BURING
0
5
7
43
9
CERME
0
1
2
14
10
CIKURAI
0
0
1
10
11
DEMPO
0
1
3
12
12
DIENG
6
2
6
15
13
DOROWATI
0
0
1
11
14
GEDE
1
1
0
0
15
GUNTUR
2
4
3
27
16
KAWI
65
23
30
23
17
KAWI SELATAN
0
1
2
48
18
KERINCI
0
1
3
19
19
KUNIR
0
0
2
9
20
LAMONGAN
0
1
0
10
21
LASEM
0
0
0
9
22
LAWU
1
1
3
21
23
MALABAR
0
2
2
7
24
MERAPI
0
2
0
14
25
MERBABU
1
2
4
30
26
MURIA
0
0
1
25
27
PAHLAWAN TRIP
2
2
0
6
28
PANDAN
0
1
4
9
29
PANDERMAN
2
1
4
14
30
PANGGUNG
0
0
0
18
31
PAPAN DAYAN
0
0
1
8
32
PULOSARI
0
0
1
0
33
PUNCAK
0
1
1
1
34
RAJEKWESI
0
0
0
8
35
RAUNG
0
1
0
10
36
RETAWU
1
2
1
11
37
RINJANI
1
1
1
23
38
SEMERU
13
7
7
22
39
SIMPANG IJEN ATAS
0
2
1
13
40
SIMPANG IJEN BESAR
0
1
1
53
41
SIMPANG KAWI
0
0
1
4
42
SINDORO
0
0
1
4
43
SUMBING
0
0
4
39
14
44
TAMAN LIMAN
0
0
0
8
45
TAMAN SLAMET
1
0
2
35
46
TAMPOMAS
0
0
0
26
47
TANGGAMUS
0
1
1
13
48
TANGKUBAN PERAHU
1
1
4
10
49
TELOMOYO
0
2
4
14
50
TENES
1
1
2
15
51
TENGGER
0
0
1
9
52
TERUSAN KAWI
3
2
3
4
53
TGP
0
0
1
15
54
UNGARAN
0
0
3
15
55
WELIRANG
3
2
4
42
56
WIDODAREN
0
0
1
18
57
WILIS JUMLAH
Prosentase
4
0
1
18
119
117
151
1007
8.54
8.39
10.83
72.24
Sumber : Hasil Observasi
Tabel. 4 Jumlah Bangunan di Setiap Ruas Jalan Kawasan Studi Berdasar Kondisi Bangunan Tahun 2003 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nama Jalan ANJASMORO ARGOPURO ARJUNO BATOK BESAR IJEN BLAURAN BROMO BURING CERME CIKURAI DEMPO DIENG DOROWATI GEDE GUNTUR KAWI KAWI SELATAN KERINCI KUNIR LAMONGAN LASEM LAWU MALABAR MERAPI
Kondisi Bangunan Baik
Sedang
Rusak
Jumlah
22 9 31 16 84 11 53 30 10 6 16 31 11 2 5 115 48 22 6 11 5 20 4 16
21 2 1 0 11 9 5 25 6 4 0 3 1 0 21 26 3 0 5 0 3 5 7 0
2 0 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 2 0 0 0 0 1 1 0 0
45 11 33 17 96 20 58 56 17 11 16 35 12 2 26 143 51 22 11 11 9 26 11 16
15
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
MERBABU MURIA PAHLAWAN TRIP PANDAN PANDERMAN PANGGUNG PAPAN DAYAN PULOSARI PUNCAK RAJEKWESI RAUNG RETAWU RINJANI SEMERU SIMPANG IJEN ATAS SIMPANG IJEN BESAR SIMPANG KAWI SINDORO SUMBING TAMAN LIMAN TAMAN SLAMET TAMPOMAS TANGGAMUS TANGKUBAN PERAHU TELOMOYO TENES TENGGER TERUSAN KAWI TGP UNGARAN WELIRANG WIDODAREN WILIS JUMLAH Prosentase Sumber : Hasil Observasi
25 15 8 9 15 13 3 1 3 5 5 14 23 46 16 55 2 5 42 1 35 12 24 15 19 19 8 9 10 10 43 12 22 1128 78.66
9 11 2 6 6 4 6 0 0 2 6 1 1 4 0 0 2 0 0 7 3 14 1 0 2 0 2 3 8 7 7 5 2 279 19.46
3 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 2 0 27 1.88
37 26 10 15 21 18 9 1 3 8 11 15 26 50 16 55 4 5 43 8 38 26 25 16 22 19 10 12 18 18 51 19 24 1434
16
Tabel 5. Jumlah Bangunan di Setiap Ruas Jalan Kawasan Studi Berdasar Tingkat Perubahan Arsitektur Bangunan Tahun 2003 Tingkat Perubahan NO
Nama Jalan
Tetap
Kecil-Sedang Sedang Besar
Total
Jumlah
1
ANJASMORO
7
1
11
26
45
2
ARGOPURO
4
1
2
4
11
3
ARJUNO
0
0
0
33
33
4
BATOK
1
2
2
12
17
5
BESAR IJEN
35
23
18
20
96
6
BLAURAN
7
7
3
3
20
7
BROMO
13
9
17
19
58
8
BURING
18
10
9
19
56
9
CERME
6
4
4
3
17
10
CIKURAI
2
1
3
5
11
11
DEMPO
7
1
5
3
16
12
DIENG
4
0
5
26
35
13
DOROWATI
1
2
2
7
12
14
GEDE
1
0
0
1
2
15
GUNTUR
11
8
4
3
26
16
KAWI
15
9
24
95
143
17
KAWI SELATAN
0
2
1
48
51
18
KERINCI
7
4
5
6
22
19
KUNIR
6
1
1
3
11
20
LAMONGAN
3
0
5
3
11
21
LASEM
3
1
3
2
9
22
LAWU
9
2
3
12
26
23
MALABAR
5
3
2
1
11
24
MERAPI
7
0
4
5
16
25
MERBABU
9
8
11
9
37
26
MURIA
9
5
4
8
26
27
PAHLAWAN TRIP
5
1
2
2
10
28
PANDAN
5
5
3
2
15
29
PANDERMAN
2
5
10
4
21
30
PANGGUNG
2
4
7
5
18
31
PAPAN DAYAN
2
2
3
2
9
32
PULOSARI
0
1
0
0
1
33
PUNCAK
2
1
0
0
3
34
RAJEKWESI
2
0
1
5
8
35
RAUNG
4
1
3
3
11
36
RETAWU
4
8
1
2
15
37
RINJANI
18
3
2
3
26
38
SEMERU
10
9
11
20
50
39
8
1
2
5
16
40
SIMPANG BESAR IJEN ATAS SIMPANG BESAR IJEN BESAR
19
2
0
34
55
41
SIMPANG KAWI
2
0
0
2
4
17
42
SINDORO
3
1
1
0
5
43
SUMBING
11
4
17
11
43
44
TAMAN LIMAN
2
5
1
0
8
45
TAMAN SLAMET
7
8
12
11
38
46
TAMPOMAS
6
8
6
6
26
47
TANGGAMUS
13
5
2
5
25
48
TANGKUBAN PERAHU
7
3
5
1
16
49
TELOMOYO
8
1
10
3
22
50
TENES
4
5
5
5
19
51
TENGGER
3
6
1
0
10
52
TERUSAN KAWI
0
5
1
6
12
53
TGP
5
5
2
6
18
54
UNGARAN
6
3
2
7
18
55
WELIRANG
15
10
6
20
51
56
WIDODAREN
5
3
6
5
19
57
WILIS
8
3
7
6
JUMLAH
378
222
277
557
24 1434
Prosentase
26.35
15.48
19.31
38.84
Sumber : Hasil Observasi
18
Rumah Jl. Arjuno 36
Rumah Jl. Tanggamus 21
Rumah Jl. Tenes 14
Rumah Jl. Wilis 27
Rumah Jl. Rinjani 17
Rumah Jl. Buring 2
Gambar 1. Makna kultural sedang dengan kualitas keaslian rancangan yang unik dan menjadi pembentuk karakter kawasan.
19
Rumah Jl.Bromo 31
Rumah Jl. Guntur 9
Rumah Jl. Rinjani 11
Rumah Jl. Buring 10
Rumah Jl. Bromo 5
Rumah Jl. Welirang 32
Gambar 2. Bangunan deret yang tidak berubah dan membentuk kesinambungan visual kawasan.
20