1
Proses Pembentukan Hukum Islam
Makalah Ini diajukan Guna Memenuhi Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah: Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu: Drs.Nur'l Yakin Mch,SH.,MH
Oleh :
M. ASHIF SYAUQI ( 31401405577)
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015
DAFTAR ISI
BAB I 3
PENDAHULUAN 3
A.Latar Belakang 3
B.Rumusan Masalah 4
C.Tujuan Penulisan 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
A.Pada Masa Rasulullah SAW 5
B.Periode Sahabat Khulafaurrosyidin 7
C.Periode Tabi'in 9
D.Keistimewaan Pada Masa Tabi'in 11
E.Periode Perkembangan 12
F.Periode Kemunduran 12
BAB III 14
KESIMPULAN 14
DAFTAR PUSTAKA 15
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses pembentukan hukum Islam, sanagtalah penting untuk kita ketahui. Selain untuk memperdalam pengetahuan kita tentang Proses pembentukan hukum Islam, namun yang paling penting adalah bagaimana kita bisa memahami betul sumber dan dasar hukum Islam itu sendiri, karena dengan mempelajari sejarah kita bisa merasakan betapa dekat dan besar perjuangan para ulama dahulu terhadap perkembangan hukum Islam sekarang dengan menggali ilmu-ilmu yang terkandung dalam al-Qur'an maupun Sunnah. Kita tidak bisa menutup mata terhadap sejarah, kalau bukan karena ulama-ulama kita terdahulu yang mempelajari, mengajakan serta menulis buku-buku tentang Islam atau sejarahnya, tidak mustahil kita tidak pernah merasakan manisnya hukum Islam itu sendiri.
Khudri Bek dalam Tarikh Tasyrik Islam membagi sejarah pembentukan hukum islam kepada enam periode yaitu :
Pembentukan Hukum Islam pada masa hidupnya Rasulullah SAW.
Pembentukan hukum islam pada masa sahabat.Masa ini berakhir dengan berakhirnya Khulafaurrasyidin.
Pembentukan hukum islam pada masa sahabat dan tabiin yang sejajar dengan mereka kebaikannya.
Pembentukan hukum pada masa fiqih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan
Pembentukan hukum pada masa yang di dalamnya telah dimasukkan masalah-masalah yang berasal dari para imam.Dan munculnya karangan-karangan besar.
Pembentukan hukum pada masa taklid.
Rumusan Masalah
Bagaimana proses pembentukan hukum Islam pada masa Rasulullah
Bagaimana proses pembentukan hukum islam pada masa sahabat Khulafaurrasyidin
Bagaimana proses pembentukan hukum islam pada masa Tabi'in
Bagaimana proses pembentukan hukum islam pada masa perkembangan dan kemunduran
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui proses pembentukan hukum islam pada masa Rasulullah
Untuk mengetahui proses pembentukan hukum islam pada masa sahabat Khulafaurrasyidin
Untuk mengetahui proses pembentukan hukum islam pada masa Tabi'in
Untuk mengetahui proses pembentukan hukum islam pada masa perkembangan dan kemunduran
BAB II
PEMBAHASAN
Pada Masa Rasulullah SAW
Islam datang kepada umat manusia oleh seorang Rasul yang diutus untuk memperbaiki kondisi bangsa Arab yang pada masa itu menyembah berhala, sistem masyarakat yang kacau balau. Pada awalnya Rasulullah sangat hati-hati dalam dakwahnya, beliau mengalami banyak hambatan dan halangan yang dilakukan oleh suku Quraisy pada saat itu. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang menyebabkan orang Quraisy termotivasi untuk menentang seruan Islam tersebut :
Mereka tidak dapat membedakan kenabian dan kekuasaan.
Nabi Muhammad Saw. Mendakwahkan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
Taklid kepada nenek moyang yang sudah berakar pada bangsa
Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki
Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila ayat Al-Qur'an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW.
Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Qur'an maupun dari sunnahnya sendiri.Hukum Islam periode Makkah dan Madinah
Telah kita ketahui bahwa Nabi SAW dilahirkan dan dibesarkan di Makkah, selain itu Nabi SAW juga pertama kali mendapatkan wahyu yang pertama kali di Makkah yaitu di gua Hirra. Wahyu pada periode ini menekankan pada aspek akidah dan akhlak, dan tidak menyampaikan hokum-hukum praksis kecuali sedikit dan biasanya secara umum (kulli). Hal ini karena akidah merupakan dasar pertama bagi setiap hokum tafshili (terperinci) yang termuat dalam syariah. Dengan diturunkannya Alquran kepada Muhammad mulailah yang dinamakan tarikh tasyri' Islami. Sumber tasyri' Islami adalah wahyu (kitabullah dan sunnatullah). Ayat-ayat mengenai hokum kebanyakan ayat madaniyyyah setelah nabi SAW hijrah ke Madinah. Ayat-ayat ahkam berkisar antara 200-300 ayat dibanding 6348 ayat Alquran.
Selain Alquran dan sunnah Rasul, nabi sendiri memberi contoh berijtihad apabila tidak ada di nash Alquran sedangkan persoalan harus segera diselesaikan, yaitu ketika menyelesaikan masalah tawanan perang badar, walaupun ijtihad Rasul itu dibenarkan oleh ayat Alquran. Belum lagi kisah seorang sahabat yang diperintahkan oleh Rasul untuk menjadi qadhi di kotsa Kuffah, Rasul bertanya denga apa engkau akan berhukum?, jawaba sahabat dengan al-Quran. Rasul bertanya kembali, jika tidak ada?, maka dijawaba dengan sunnahmu, jika tidak ada?, aku berijtihad dengan pendapatku." Ini pula sebagai salah satu dalil mengenai perekembangan hukum di msa Rasul SAW.
Pada zaman Rasululloh, beliaulah sebagai imam al-ummah, sebagai hakim dan sebagai mufti akbarnya. Adat-adat jahiliyyah ada yang dihapuskan, ada yang diakui dan ditetapkan dengan nash sebagai hukum Islam. Adapun yang tidak disebut, dihapus dan diakui, merupakan masalah sunnah taqririyyah, karena Rasul tidak melarangnya.
Pada masa Rosulullah, tasyri' Islam merupakan peletakan dasar-dasar pokok dan prinsip-prinsip umum (mabadi amah dan qowaid asasiyyah). Istilah fiqh pada zaman Rosulullah, merupakan pemahaman ilimu agama secara keseluruhan, termasuk tauhid, akhlak, dan hukum-hukum..
Periode Sahabat Khulafaurrosyidin
Masa kekhalifahan nabi berakhir bersamaan dengan sempurnanya penetapan syariat Ilahi dalam Alquran dan Assunnah. Keduanya adalah pokok besar yang ditinggalkan masa nabi untuk masa sesudahnya dan masa-masa selanjutnya. Pada masa nabi, ketika terjadi permasalahan yang sulit dipecahkan, maka dapat langsung ditanyakan kepada Rosullullah, jadi tidak ada kesulitan sama sekali dalam penetapan hukum. Pada masa sahabat, mereka menggali hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah baru dan kejadian-kejadian baru ini dengan cara berijtihad menggunakan nalar (ro'yu) mereka dengan mengikuti kaidah-kaidah syariat, prinsip-prinsip umumnya dan pengetahuan mereka tentang tujuan-tujuannya. Ketika terjadi suatu perkara ,fuqaha' dikalangan sahabat mencari hukumnya di dalam kitab Allah. Jika mereka tidak mendapatkan hukumnya di dalam Kitab Allah,maka mereka beralih kepada as-sunah.jika mereka tidak mendapati hukumnya di dalamas-sunah,maka mereka beralih kepada pendapat dan memutuskn perkara menurut ketentuan ijtihad mereka. Ijithad dimasa Abu bakar dan Umar bin khatab adalah ijtihad jama'I (kolektif) ,dalam bentuk musyawarah. Apabila khalifah menghadapi perkara, maka ia mengundang para ahli fiqih dan pemikir, lalu menyampaikan masalah kepada mereka, kemudian mereka mendiskusikannya. jika pendapat mereka mencapai mufakat, maka keputusan ditetapkan bersasarkan mufakat tersebut. Apabila mereka berselisih, maka khalifah mengambil pendapat yang dinilainya benar. Disamping ijtihad kolektif , ada juga ijtihad individual, baik dilakukan oleh khalifah sendiri atau orang lain. hanya saja, ijtihad kolektif lebih dominan dimasa khalifah pertama dan kedua .kebanyakan berkenaan dengan masalah umum, seperti masalah pembagian tanah pedusunan (ardhus-sawad) di irak para pejuang, dimana umar meminta saran dari para ahli fiqih dan tokoh sahabat dalam masalah ini.
Dari fuqaha' di masa ini diriwayatkan banyak atsar yang menunjukkan bahwa metode istinbath hukum mereka adalah seperti yang telah kami sebutkan. Mereka mengambil pendapat sekiranya suatu masalah tidak disebutkan secara jelas di dalam nash, dan ijma' adalah cara yang dikenal dikalangan mereka. Diantaranya :
Apabila suatu sengketa atau perkara dihadapkan kepada Abu bakar, maka ia merujuk kepada kitabullah, maka ia memutuskan dengannya. Apabila tidak menjumpainya, maka ia merujuk kepada sunnah Rasul-nya, apabila menjumpainya dalam sunnah Rasul, maka ia memutuskan denagnnya. Jika ntidak, maka ia bertanya kepada para sahabat mengenai keputusan rosululloh dalam masalah yang sedang dihadapinya. Sehingga diharapkan ada orang yang mendatanginya dan menginformasikan keputusan Rosulullah dalam masalah tersebut. Apabila tidak mendapati sunnah Nabi, maka ia mengumpulkan para tokoh dan bermusyawarah, apabila terjadi kesepakatan pendapat maka ia memutuskan perkara tersebut. Umar juga melakukan hal yang sama.
Abu bakar pernah berijtihad berdasarkan pendapatnya dan berkata, "inilah pendapatku, apabila ini benar maka itu dari Allah dan apabila itu salah maka itu dariku dan aku memohon ampunan kepada Allah.
Umar bin Khattab pernah berijtihad dengan pendapatnya. Beliau berkata kepada penulisnya, "katakanlah bahwa ini adalah pendapat Umar bin khattab. Umar juga pernah menulis surat kepada Syuraih. "jika anda menjumpai sesuatu dalam kitabullah, maka putuskan dengannya dan jangan berpaling kepada selainnya. Dan apabila suatu perkara datang kepadamu tetapi tidak terdapat dalam kitabullah, maka putuskan dengan apa yang telah disunnahkan Rosulullah. Jika datang kepadamu suatu perkara yang tidak terdapat dalam kitabullah dan tidak disunnahkan Rosulullah, makaputuskan berdasarkan keputusan Ulama. Dan apabila datang kepadamu suatu perkara yang tidak terdapat dalam kitab Allah dan sunnah Rosulullah, juga tidak dibicarakan oleh seorang pun sebelum kamu, jika anda suka berijtihad maka majulah, dan jika engkau ingin mundur, maka mundurlah, menurutku mundur itu lebih baik bagimu. "Umar pernah menulis kepada Abi Musa al-Asy'ari "kenalilah hal-hal yang serupa (asybah) dan hal-hal yang sama (amtsal) dan qiyaskan perkara-perkara".
Abdullahbin Mas'ud berkata "barang siapa diantara kamu menghadapi suatu keputusan, maka hendaknya ia memutuskan berdasarkan apa yang ada di dalam kitab Allah. Jika tidak ada dalam kitab Allah, maka hendaknya ia memutuskan berdasarkan kepada apa yang diputuskan Nabi-Nya. Jika datang suatu perkara yang tidak terdapat dalam kitab Allah dan tidak diputuskan oleh nabi-Nya, maka hendaknya ia memutuskan dengan apa yang diputuskan oleh orang-orang sholeh. Jikadatng suatu perkara yang tidak gterdapat dalam kitab Allah dan tidak pernah diputuskan oleh nabi-Nya juga tidak pernah diputuskan oleh orang-orang sholeh, maka hendaknya ia berijtihad dengan nalarnya. Jika ia tidak bisa berbuat dengan baik, hendaknya ia berdiri dan jangan merasa malu."Adapun riwayat dari fuqoha, sahabat, yang berisi celaan terhadap penggunaan nalar atau ro'yu, hal itu dipahami sebagai celaan terhadap pendapat atau nalar yang rusak, atau pendapat berkenaan dengan masalah yang telah ditegaskan oleh nash, atau pendapat orang-orang yang mampu melakukannya.
Periode Tabi'in
Pada masa tabi'in, tabi'-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya. Periode ini disebut juga periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum Islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi'in, tafsir al-Qur'an, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyususnan ushul fiqih.
Metode tabi'in
Dalamm mengenal hukum pada periode ini ialah "Menerima hukum yang dikumpulkan oleh seseorang mujtahid dan memandang pendapat mereka seolah-olah nash syara' sendiri." Jadi taqlid itu menerima saja pendapat seseorang mujtahid sebagai nash hukum syara'. Dalam periode taqlid ini, kegiatan para ulama' Islam banyak mempertahankan ide dan mazhabnya masing-masing.
Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;
Metode mutakallimin
Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika (mantiqy), teoretik (furudl nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu'
. Tujuan mereka adalah mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode ini memiliki kecenderungan mengatur furu' (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq al masail dan tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari ta'asshub, karena memberikan istidlal aqly porsi yang sangat besar dalam perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang berseberangan dengan ulma lain. Dianut antara lain oleh; Syafi'iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Syiah.
Metode Fuqaha
Tidak diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul yang beliau gunakan dalam istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau; mengambil ijma' shahabat, jika terjadi perbedaan memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai pendapat tabiin sebagai hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan kaidah tersebut dalam bentuk tertulis, pengikut beliau mengumpulkan masail/furu' fiqhiyyah, mengelompokkan furu' yang memiliki keserupaan dan menyimpulkan kaidah ushul darinya. Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah. Sering pula dipahami sebagai takhrij al ushul min al furu'. Metode ini adalah kebalikan dari metode mutakallimin.
Keistimewaan Pada Masa Tabi'in
Berkembangnya beberapa pusat studi Islam, menurut Manna' al-Qatthan telah melahirkan dua tradisi besar dalam sejarah pemikiran Islam. Keduanya adalah tradisi pemikiran Ahl al-Ra'y dan tradisi pemikiran Ahl al-Hadits. Menurutnya, mereka yang tergolong Ahl al-Ra'y dalam menggali ajaran Islam banyak menggunakan rasio (akal). Sedangkan mereka yang tergolong Ahl al-Hadits cenderung memarjinalkan peranan akal dan lebih mengedapankan teks-teks suci dalam pengambilan keputusan agama.2
Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini. Pada masa ini muncul ulam'-ulama' besar, fuqoha' dan ahli ilmu yang lain. Madzhab fiqih pada masa ini sudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4 madzhab.
Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya, dalam madzhab abu hanifah : kutub dzohir al Riwayah yang diriwayatkan dari oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh al Hakim as Syahid. Dalam madzhab imam Malik : al Mudawwanah yang diriwayatkan oleh Sahnun dari Ibnu Qosim dari imam Malik. Dalam madzhab imam Syafi'i kitab al Um yang diimlakkan oleh imam kepada muridnya di Mesir. Dalam madzhab imam Ahmad kitab al Jami' al Kabir yang dikarang oleh Abu Bakar al Khollal setelah mengumpulkannya dari pere murid imam Ahmad. Peristiwa pemberlakukan hukum di kawasan pemerintahan Islam tidak hanya terjadi di daerah kekuasaan Daulah Utsmaniyyah saja. Di Mesir, tarik menarik antara penerapan hukum Islam dengan penerapan hukum positif (barat) juga terjadi. Dan hukum Islam pun akhirnya harus puas berkiprah hanya pada tingkat wacana. Sedangkan dalam aplikasinya, pemerintah lebih memilih untuk menerapkan sistem hukum positif. Bahkan, hukum positif yang diberlakukan di Mesir tidak hanya menyangkut masalah pidana, namun dalam masalah perdata juga diterapkan.
Periode Perkembangan
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Dalam masa ini para ulama berusaha untuk mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqih. Ulama fiqih lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam madzhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqih yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip madzhab yang mereka anut.
Periode Perkembangan, tahap ini diawali dengan munculnya Dinasti Abbasiyah yang didirikan oleh Abul Abbas as-saffah (memerintah tahun 750-754 M). Ciri-ciri fiqh pada periode ini adalah: 1) dalam periode ini, fiqh memiliki bentuk yang jelas sebagai ilmu pengetahuan keislaman yang independen. 2) banyak mazhab bermunculan pada masa akhir periode Umayyah dan pusat-pusat studi berkembang di sepanjang pemerintahan Abbasiyah dengan adanya patronase (perlindungan) pemerintah. 3) untuk pertama kalinya fiqh dari berbagai mazhab berhasil dikumpulkan dalam skala besar dan sistematis. 4) fiqh menjadi terorganisir dan dibagi dalam dua wilayah utama: yaitu usul (prinsip-prinsip dasar) dan furu' (prinsip-prinsip sekunder). Sumber-sumber utama hukum Islam didefinisikan dan diurutkan secara sistematis dan jelas. 5) sunnah secara keseluruhan juga dikumpulkan dan dicatat dalam buku-buku hadis sebelum periode ini berakhir. 6) selama pertengahan awal periode ini, mazhab-mazhab di bawah bimbingan para pendirinya terus melakukan berbagai pertukaran gagasan yang saling menguntungkan. Namun dibawah generasi terpelajar yang kedua, ada kecenderungan ke arah rigiditas (kaku) dan hilangnya fleksibilitas (lentur) yang menjadi ciri periode imam-imam besar dan para ulama sebelumnya.
Periode Kemunduran
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-'Adliyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Utsmani) pada 26 Sya'ban 1293. Perkembangan fiqih pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqih yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqih dikenal juga dengan periode taklid secara membabi buta.
Periode Konsolidasi pada tahap ini diawali sejak masa kemunduran Dinasti Abasiyyah hingga keruntuhannya. Ciri-ciri fiqh pada periode ini adalah:
sebagian besar mazhab yang muncul pada periode awal menghilang, dan hanya tersisa empat mazhab.
keempat mazhab tersebut mencapai bentuk sistematisasi dan kelembagaan yang final.
ijtihad yang melampaui kerangka mazhab dikesampingkan dan diganti dengan ijtihad mazhabi.
fiqh perbandingan muncul, namun hanya digunakan untuk meningkatkan ide-ide sektarian.
Periode stagnasi dan kemunduran, berlangsung kurang lebih selama enam abad. Sejak jatuhnya pemerintahan baghdad pada tahun 1258 M dan eksekusi Khalifah Abbasiyyah terakhir, al-Mu'tashim dan berakhir sekitar pertengahan abad sembilan belas masehi. Ciri-ciri fiqh pada periode ini adalah: 1) ijtihad dalam segala bentuknya telah dikesampingkan, dan taklid kepada salah satu mazhab empat diwajibkan bagi semua kaum muslim. 2) mazhab empat tidak bisa lagi didamaikan dan ummat islam benar-benar terpecah ke dalam empat sekte keagamaan. 3) aktivitas keulamaan terbatas pada penulisan komentar-komentar atas karya-karya sebelumnya dan mempromosikan mazhab penulisnya sebagaimana dalam periode konsolidasi. 4) terdapat sejumlah upaya yang patut dipuji yang dilakukan oleh kaum reformis tertentu untuk mengembalikan sifat fiqh yang asli dan dinamis, akan tetapi upaya mereka terbukti tidak memadai untuk menghapus fanatisme mazhab yang telah mengakar sangat dalam. 5) upaya-upayak kodifikasi hukum Islam telah dilakukan, akan tetapi hasilnya mengenaskan karena pandangan-pandangan yang sektarian, dan seiring dengan meningkatnya kolonialisme Eropa kompilasi tersebut diganti dengan undang-undang Eropa. 6) dewasa ini fanatisme mazhab mulai berkurang sebagai akibat dari adanya gerakan reformis dan meluasnya pengajaran tentang fiqh perbandingan di sejumlah lembaga-lembaga pendidikan modern. 7) kondisi stagnasi dan kemunduran fiqh serta keberadaan faksionalisme (golongan) mazhab masih berlanjut hingga saat ini.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan materi diatas dapat disimpulkan bahwa :
Pembentukan hukum islam pada masa Rasulullah kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila ayat Al-Qur'an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW.
Pada masa tabiin dari fuqaha' di masa ini diriwayatkan banyak atsar yang menunjukkan bahwa metode istinbath hukum mereka adalah seperti yang telah kami sebutkan. Mereka mengambil pendapat sekiranya suatu masalah tidak disebutkan secara jelas di dalam nash, dan ijma' adalah cara yang dikenal dikalangan mereka.
Pada masa tabi'in, tabi'-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.
Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini. Pada masa ini muncul ulam'-ulama' besar, fuqoha' dan ahli ilmu yang lain. Madzhab fiqih pada masa ini sudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4 madzhab.
Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya, dalam madzhab abu hanifah : kutub dzohir al Riwayah yang diriwayatkan dari oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh al Hakim as Syahid.
Periode Perkembangan, tahap ini diawali dengan munculnya Dinasti Abbasiyah yang didirikan oleh Abul Abbas as-saffah (memerintah tahun 750-754 M). Ciri-ciri fiqh pada periode ini adalah: 1) dalam periode ini, fiqh memiliki bentuk yang jelas sebagai ilmu pengetahuan keislaman yang independen. 2) banyak mazhab bermunculan pada masa akhir periode Umayyah dan pusat-pusat studi berkembang di sepanjang pemerintahan Abbasiyah dengan adanya patronase (perlindungan) pemerintah.
Periode stagnasi dan kemunduran, berlangsung kurang lebih selama enam abad. Sejak jatuhnya pemerintahan baghdad pada tahun 1258 M dan eksekusi Khalifah Abbasiyyah terakhir, al-Mu'tashim dan berakhir sekitar pertengahan abad sembilan belas masehi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,Mohammad Daud 1990.Hukum Islam.Jakarta:Rajawali Press.
Majid Abdul 2013. Ikhtiar Tarikh Tasyri'. Jakarta: Amanzah
Rasyad Hasan Khalil. 2009. Sejarah Legalitas Hukum Islam. Jakarta :Amzah
http://abumuslimalbugisy.blogspot.co.id/2009/06/sejarah-pemikiran-hukum-islam-masa.html
http://abumuslimalbugisy.blogspot.co.id/2009/06/sejarah-pemikiran-hukum-islam-masa.html
Rasyad Hasan Khalil. 2009. Sejarah Legalitas Hukum Islam. Jakarta :Amzah
http://muhammadbagusjazuli.blogspot.co.id/2013/09/sejarah-fase-fase-perkembangan-hukum.html
Majid Abdul 2013. Ikhtiar Tarikh Tasyri'. Jakarta: Amanzah
http://abumuslimalbugisy.blogspot.co.id/2009/06/sejarah-pemikiran-hukum-islam-masa.html
Ali,Mohammad Daud 1990.Hukum Islam.Jakarta:Rajawali Press.