BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Masalah penyalahgunaan NAPZA semakin banyak dibicarakan baik di kota besar maupun kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia. Peredaran NAPZA
sudah
sangat
mengkhawatirkan
sehingga
cepat
atau
lambat
penyalahgunaan NAPZA akan menghancurkan generasi bangsa atau disebut dengan lost generation (Joewana, 2005). Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin
banyak masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA
tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan remaja (DepKes, 2001). 2001). Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan faktor lingkungan. Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga; faktor lingkungan lebih pada kurang positif sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat mas yarakat tentang NAPZA (Hawari, 2000). Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan withdrawal. Peran
penting
tenaga
kesehatan
dalam
upaya
menanggulangi
penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes, (DepKes, 2001). Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga
keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).
2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan keperawatan pada klien dengan ganguan tetanus 2.2 Tujuan Khusus
1.
Mengetahui pengertian dari penggunaan NAPZA
2.
Mengetahui faktor penyebab penggunaan NAPZA
3.
Mengetahui gejala klinis penggunaan NAPZA
4.
Mengetahui dampak penggunaan NAPZA
5.
Mengetahui proses keperawatan pada gangguan penyalahgunaan NAPZA meliputi pengkajian, analisa data dan diagnosa, intervensi dan evaluasi
keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).
2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan keperawatan pada klien dengan ganguan tetanus 2.2 Tujuan Khusus
1.
Mengetahui pengertian dari penggunaan NAPZA
2.
Mengetahui faktor penyebab penggunaan NAPZA
3.
Mengetahui gejala klinis penggunaan NAPZA
4.
Mengetahui dampak penggunaan NAPZA
5.
Mengetahui proses keperawatan pada gangguan penyalahgunaan NAPZA meliputi pengkajian, analisa data dan diagnosa, intervensi dan evaluasi
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).
2.2 Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZA
Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Tinggi alamiah
Penggunaan
Penggunaann
Ketergantungan
aktivitas fisik,
jarang dari:
sering dari:
penyalahgunaan,
meditasi
nikotin, kafein,
nikotin, kafein,
gejala putus zat,
alkohol, obat yang
alkohol, obat yang
toleransi
diresepkan, obat
diresepkan, obat
terlarang
terlarang
Respon adaptif - maladaptif dari rentang respon penggunaan zat kimiawi sebagai kopingadalah sebagai berikut : a. Beberapa NAPZA secara alamiah ada di dalam individu (endorphin), berguna untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti melakukan aktivitas fisik, meditasi, tetapi dalamkadar yang selalu ada pada keseimbangan
b. Beberapa individu mengkonsumsi NAPZA seperti: tembakau, kafein, alkohol, obat-obatresep, dan terlarang dengan penggunaan jarang, sehingga terjadi ketidakseimbanganakibat adanya peningkatan kadar zat di dalam tubuh c. Penggunaan zat semakin sering dan ketagihan d. Ketergantungan zat adiktif (dependence) Ketergantungan zat adiktif (dependence) adalah kondisi penyalahgunaan yang lebih berat, telah terjadiketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandaidengan kondisi toleransi dan sindroma putus zat. e. Penyalahgunaan zat adiktif (substance abuse) Penyalahgunaan zat adiktif (substance abuse) adalah penggunaan zat yang bersifat patologis, relative digunakan lebih sering dari biasanya, walupub pengguna menderitacukup serius akibat penggunaan tersebut tetapi individu tidak mampu untuk menghentikan, penggunaan telah berlangsung kurang
lebih
1
bulan,
sehingga
terjadi penyimpangan
perilaku
dan mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan pendidikan f. Sindroma putus zat (withdrawal) Pada pemakaian yang terus menerus akan tercapai tingkat dosis toleransi yang cukuptinggi, jika pengguna menghentikan akan timbul gejala-gejala tertentu sesuai jenis zatyang disalahgunakannya Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna NAPZA. Respon adaptif Respon Maladaptif (yosep, 2007)
Eksperimental Rekreasional Ketergantungan Keterangan :
Situasional
Peyalahgunaan
a. Eksperimental Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tau dari remaja. Sesuai kebutuhan pada masa tubuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba -coba. b. Rekreasional Penggunaan zat aditif pada waktu berkumpil dengan teman sebaya, misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acar ulang tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-temannya. c. Situasional Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atu mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan frustasi. d. Penyalahgunaan Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan. e. Ketergantungan Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertyentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan kumpilan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan). Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang bisa diinginkannya.
2.3 Jenis-Jenis NAPZA
NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:
1.Narkotika Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah: 1) Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlaluberisiko. Contoh
narkotika alami yaitu seperti ganja dan
daun koka. 2) Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang
rasa
sakit/analgesik.
Contohnya
yaitu
seperti
amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya. Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut: a. Depresan : membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri. b. Stimulan : membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan merasa badan lebih segar. c. Halusinogen : dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah perasaan serta pikiran.
Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain. 2.Psikotropika Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat
terganggu.
Sedative
dan
hipnotika
seperti
barbiturat
dan
benzodiazepine merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.
3. Zat Adiktif Lainnya Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat
karsinogenik,
teratogenik,
mutagenik,
korosif,
dan
iritasi.
Bahanbahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan
minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.
2.4 Faktor Predisposisi
Penyebab penyalahgunaan NAPZA menurut Hawari (2000) adalah interaksi antara faktor predisposisi, faktor kontribusi dan faktor pencetus. Faktor kontribusi yaitu kondisi keluarga yang tidak baik (disfungsi keluarga) seperti keluarga yang tidak utuh, kesibukan orang tua dan hubungan interpersonal dalam keluarga yang tidak harmonis. Faktor pencetus yaitu pengaruh teman sebaya serta tersedia dan mudahnya memperoleh barang yang dimaksud (easy availability). Faktor predisposisi terbagi dalam tiga kelompok yaitu : 1. Faktor
biologik ,
Meliputi:
kecenderungan
keluarga,
terutama
penyalahgunaan alkohol dan perubahan metabolisme alkohol yang mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman. 2. Faktor psikologik , meliputi: kepribadian ketergantungan oral, harga diri rendah, sering berhubungan dengan penganiayaan pada masa kanak-kanak, perilaku maladaptif yang dipelajari secara berlebihan, mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit, sifat keluarga termasuk tidak stabil, tidak ada contoh yang positif, rasa kurang percaya tidak mampu memperlakukan anak sebagai individu serta orang tua yang adiksi. 3. Faktor sosiokultural , meliputi: ketersedian dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat, ambivalen sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan zat, seperti tembakau, alkohol dan maryuana, sikap, nilai, norma dan sosial kultural kebangsaan, etnis dan agama, kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil dan keterbatasan kesempatan 2.5 Faktor Presipitasi
Harboenangin (dikutip dari Yatim, 1986) mengemukakan ada beberapa faktor presipitasi yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
1. Faktor Internal
a. Faktor Kepribadian Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan
emosi
yang
terhambat,
dengan
ditandai
oleh
ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. b. Inteligensia Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya. c. Usia Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.
d. Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama. e. Pemecahan Masalah Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba
dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.
2. Faktor Eksternal
a. Keluarga Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu: 1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan narkoba. 2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak). 3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara. 4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. 5) Keluarga
yang
perfeksionis,
yaitu
keluarga
yang
menuntut
anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal. 6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu.
b. Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Peer group terlibat lebih banyak dalam delinquent dan penggunaan obat-obatan. Dapat
dikatakan bahwa faktor-faktor sosial tersebut memiliki dampak yang berarti kepada keasyikan seseorang dalam menggunakan obat-obatan, yang kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan psikologis.
c. Faktor Kesempatan Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat dise but sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Pengalaman feel good saat mencoba
drugs
akan
semakin
memperkuat
keinginan
untuk
memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau secara bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul secara beruntun akibat dari satu faktor tertentu.
2.6 Tanda dan Gejala
Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda. Tanda dan Gejala Intoksikasi
Opiate
Ganja
Sedative-hipnotik
Alcohol
Anfetamine
1. Eforia
1. eforia
1. pengendalian
1. mata merah
1. selalu
2. mengantuk
2. mata merah
3. bicara cadel
3. mulut kering
4. konstipasi
4. banyak
5. penurunan
bicara
3. mengantuk
dan tertawa
4. memperpanjang
kesadaran
nafsu makan meningkat 5. gangguan
diri berkurang 2. jalan sempoyongan
tidur 5. hilang kesadaran
2. bicara cadel
terdorong
3. jalan
untuk
sempoyongan 4. perubahan persepsi 5. penurunan
bergerak 2. berkeringat 3. gemetar 4. cemas
kemampuan
5. depresi
menilai
6. paranoid
persepsi
Tanda dan Gejala Putus Zat
Opiate
Ganja
1. nyeri
jarang
2. mata dan hidung berair 3. perasaan panas dingin 4. diare 5. gelisah
Sedative-hipnotik
Alcohol
Anfetamin
1. cemas
1. cemas
1. cemas
ditemu
2. tangan gemetar
2. depresi
2. depresi
kan
3. perubahan
3. muka merah
3. kelelahan
persepsi
4. mudah marah
4. energi
4. gangguan daya ingat 5. tidak bisa tidur
5. tangan gemetar
berkurang 5. kebutuhan
6. mual muntah
tidur
6. tidak bisa
7. tidak bisa
meningkat
tidur
tidur
2.7 Penatalaksanaan Masalah NAPZA
Penatalaksanaan masalah NAPZA terdiri dari pengobatan dan pemulihan (rehabilitasi). 1. Pengobatan Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a. Detoksifikasi tanpa subsitusi Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang
mengalami
gajala
putus
zat
tidak
diberi
obat
untuk
menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri. b. Detoksifikasi dengan substitusi Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. 2. Rehabilitasi Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai
kemampuan
fungsional
seoptimal
mungkin.Tujuannya
pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
Alur Perawatan Klien di Rumah Sakit
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat: 1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi 2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA 3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya 4. Mampu
mengelola
waktu
dan
berubah
perilaku
sehari-hari
dengan
baik 5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja 6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya. Bagan tipe rehabilitasi Psikososial
Kejiwaan
Komunitas
Keagamaan
Program
Dengan
Berupa
Pendalaman,
rehabilitasi
menjalani
terstruktur
yang penghayatan,
psikososial
rehabilitasi
diikuti
oleh pengamalan
merupakan
diharapkan
mereka
yang keagamaan
persiapan untuk agar kembali
klien tinggal satu
masyarakat
yang
Dipimpin
(reentry
semua
mantan
Oleh berperilaku
karena itu, klien
maladaptif
perlu dilengkapi berubah
yang
dan
atau
dalam keimanan
rehabilitasi
program).
ke
program
ini
tempat. dapat oleh menumbuhkan pemakai kerohanian dinyatakan
memenuhi syarat
(spiritual
power)
pada diri seseorang sebagai sehingga
mampu
setelah menekan
risiko
dengan
menjadi adaptif koselor,
pengetahuan dan
atau
keterampilan
kata
misalnya dengan
lain sikap dan pelatihan.
dalam
berbagai kursus
tindakan
penyalahgunaan
dengan
mengikuti pendidikan
Tenaga
seminimal mungkin dan
terlibat
atau balai latihan antisosial dapat profesional hanya NAPZA
kembali
apabila
kerja di
pusat- dihilangkan,
sebagai konsultan taat
dan
rajin
pusat
sehingga
saja. Di sini klien menjalankan
rehabilitasi.
mereka
dilatih
ibadah,
Dengan
dapat
keterampilan
kekambuhan hanya
demikian
bersosialisasi
mengelola waktu 6,83%;
diharapkan klien
bila
dengan sesama dan
selesai rekannya
perilakunya
secara
risiko
bila
kadang-kadang
efektif beribadah
menjalani
maupun
dalam
risiko kekambuhan
program
personil
yang kehidupannya
21,50%,
dan
rehabilitasi dapat membimbing
sehari-hari,
apabila tidak sama
melanjutkan
dan
sehingga
kembali
mengasuhnya
mengatasi
ibadah
sekolah/kuliah
keinginan
risiko kekambuhan
atau bekerja
mengunakan
mencapai 71,6%.
dapat
sekali menjalankan agama
narkoba lagi atau nagih dan
(craving) mencegah
relaps.
Rehabilitasi dalam hal ini yang akan dibahas adalah modalitas terapi Therapeutic Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku. Therapeutic Community direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit untuk berada dalam kondisi abstinen atau bebas dari NAPZA. TC dapat digambarkan sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien yang membutuhkan lingkungan yang mendukung dan dukungan lain yang bermakna dalam mempertahankan kondisi bebas NAPZA atau abstinen. Gambaran dari TC adalah sebagai berikut: a.
Program dan struktur yang tinggi/ketat
b.
Umumnya pasien berada dalam program untuk 6-12 bulan
c.
Program pengobatan
d.
Program pendidikan
e.
Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya (seringkali pasien
mengalami gangguan fungsi kehidupan yang serius) f.
Diarahkan pada pasien yang mempunyai riwayat perilaku kriminal
g.
Mengembangkan system dukungan yang sesuai kebutuhan pasien
h.
Menstabilkan fungsi kehidupan pasien
i.
Rehabilitasi vokasional
Program ini mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang diistilahkan dengan cardinal rules dan five pilars yang sangat mengikat setiap residen untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila melanggar aturan tersebut ( pasien peserta TC lazim disebut residen ). Tahapan program TC yang harus dijalani oleh setiap residen adalah sebagai berikut: a)
Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu); 1.
Wawancara awal
2.
Informed consent
3.
Pemeriksaan fisik
4.
Pengisian formulir
5.
Orientasi program (walking paper}
6.
Pengenalan program dan fasilitas layanan
b)
Untuk Younger Member (anggota termuda 1-3 bulan) 1.
Aktif mengikuti program
2.
Penerapan sanksi (reward and punishment)
3.
Dikunjungi keluarga
4.
Kegiatan Family Support Group
5.
Kegiatan Kelompok
c)
Untuk Middle Member (anggota menengah 4-6 bulan) 1.
Mulai
bertanggungjawab
terhadap
sebagian
fasilitas/rumah 2.
Menjadi buddy bagi younger member
3.
Sudah dapat keluar fasilitas TC dengan pendamping
4.
Kegiatan dalam kelompok
5.
Dilakukan Family Support Group (FSG)
operational
d)
e)
Untuk Older member (anggota lama 6-8 bulan) 1.
Sudah bertanggungjawab penuh terhadap rumah/fasilitas.
2.
Pelaksanaan reward dan punishment secara penuh
3.
Boleh meninggalkan fasilitas/rumah
4.
Dilakukan kegiatan FSQ
5.
Mengikuti kegiatan kelompok
6.
Dinyatakan graduate/lulus Tahapan Re-Entry (3 sampai 6 bulan):
a. Fase Orientasi (2 minggu); 1.
Pengenalan program re-entry
2.
Didampingi buddy
3.
Tidak boleh dikunjungi keluarga
4.
Tidak boleh meninggalkan fasilitas TC
5.
Sanksi berupa tugas-tugas mengurus fasilitas
6.
Mengikuti kegiatan kelompok
b. Fase A (1,5 - 2 bulan); 1.
Mengikuti kegiatan kelompok
2.
Dapat dikunjungi keluarga setiap waktu
3.
Diberi ijin menginap 1 malam setiap 2 minggu sekali
4.
Boleh menerima uang jajansetiap minggu secara teratur
5.
Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC
c. Fase B (2 bulan); 1.
Mengikuti kegiatan kelompok
2.
Dapat dikunjungi setiap waktu
3.
Diberi ijin pulang menginap 2 malam setiap 2 minggu
4.
Boleh meminta tambahan uang jajan
5.
Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC
d. Fase C (2 bulan); 1.
Mengikuti kegiatan kelompok
2.
Dapat dikunjungi setiap waktu
3.
Diberi ijin pulang
4.
Boleh meminta tambahan uang jajan
5.
Boleh melakukan kegiatan di luar fasilitas TC
6.
Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk
persiapan pulang
Aftercare Program a.
Program yang ditujukan bagi mantan residen/alumni TC, Program
ini dilaksanakan di luar fasilitas TC dan dikuti oleh semua angkatan dibawah supervisi staf re-entry. Tempat pelaksanaan disepakati bersama b.
Program
ini
bertujuan
agar
alumni
TC
mempunyai
tempat/kelompok yang sehat dan mengerti tentang dirinya serta mempunyai lingkungan hidup yang positif c.
Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah : 1.
Sharing dalam kelompok tanpa ditanggapi
2.
Meminta anggota untuk menanggapi suatu topik
3.
Waktu dan tempat pelaksanaan disepakati bersama
Intervensi Psikososial, suatu pendekatan yang mengutamakan pada masalah psikologis dan sosial yang disandang oleh pasien dengan tujuan untuk meningkatkan
kemampuan
pasien
menghadapi
setiap
masalah
(Coping
Mechanism). 1.
Intervensi psikososial merupakan komponen kunci untuk terapi
gangguan penggunaan NAPZA yang komprehensif baik secara individu maupun kelompok 2.
Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi baik dalam
keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi yang disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadar an penuh 3.
Untuk
melaksanakan
intervensi
ini
diperlukan
pelatihan
ketrampilan yang khusus dan memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan jenis intervensi 4.
Pendekatan psikososial saja bukan yang superior, program terapi
harus didesain sesuai kebutuhan pasien dengan mempertimbangkan faktor budaya, umur, gender serta komorbiditas
PENCEGAHAN KEKAMBUHAN
Kambuh merupakan pengalaman yang sering terjadi dalam proses pemulihan pasien gangguan penggunaan NAPZA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang dapat diprediksi dalam kekambuhan adalah sistem keyakinan yang salah dan menetap (....'Saya seorang pecandu dan saya tidak bisa berhenti menggunakan NAPZA...'). Di bawah ini beberapa strategi yang digunakan dalam pencegahan kekambuhan : 1.
Tingkatkan
komitmen
untuk
berubah
(misal
menggunakan
wawancara memotivasi) 2.
Identifikasi situasi resiko tinggi yang menimbulkan kekambuhan
(Kapan, dimana, dengan siapa dan bagaimana penggunaan Napza bisa terjadi) 3.
Mengajarkan kamampuan masing hadapi masalah (coping skill),
misalnya: ketrampilan sosial, ketrampilan manajemen diri, monitoring diri dari penggunaan NAPZA, 4.
Mengembangkan strategi untuk menghadapi situasi yang dapat
menyebabkan terjadinya kekambuhan : 1.
apa yang harus dilakukan pasien dalam suatu kejadian yang
dapat menimbulkan kambuh? 2.
Dimana pasien mendapatkan dukungan?
3.
Apa peran yang dapat diberikan dari teman atau keluarga?
4.
Seberapa cepat pasien harus membuat perjanjian untuk
kembali ketempat praktek?
Program 12 Langkah
Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkah-langkah itu dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah penggunaan istilah falsafah menjadi lebih relevan, karena langkah-langkah ini menjadi panduan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang pecandu yang ingin mempertahankan kebersihannya dan membina perjalanan spiritualnya. Jadi, lebih dari sekedar peraturan 12 Langkah menjadi "Falsafah Hidup" seorang pecandu untuk diamalkan ketika menjalani
kehidupan kesehariannya. Dan berdasarkan paradigma Disease Model of Addiction, penyakit kecanduan mempunyai potensi untuk kambuh sewaktu-waktu apabila tidak diredam oleh program pemulihan yang berkesinambungan. Dengan pengamalan atau praktek dari langkah-langkah inilah para pecandu akan dapat meredam penyakitnya agar tidak kambuh sepanjang hayatnya. Pada penjelasan ini, setiap langkah akan diuraikan secara singkat maknanya dan karena setiap langkah di targetkan untuk mengatasi setiap aspek spesifik dalam penyakit kecanduan, uraian ini akan mencakup fungsi klinikal yang dapat diterapkan baik dalam kondisi di dalam atau diluar institusi/panti rehabilitasi. Berikut ini adalah contoh 12 langkah seperti yang tertera dalam program Narcotic Anonymous (NA).
12 LANGKAH NARCOTIC ANONYMOUS
1.
Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita
sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali. 2.
Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita
sendiri yang dapat mengembatikan kita kepada kewarasan. 3.
Kita membuat keputusan untuk menyerahkan kemauan dan arah
kehidupan kita kepada kasih Tuhan sebagaimana kita mamahamiNya. 4.
Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara
penuh,
menyeluruh dan tanpa rasa gentar. 5.
Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada
seorang manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahan kita. 6.
Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan
karakte kita. 7.
Kita
dengan
rendah
hati
memohon
kepadaNya
untuk
menyingkirkan semua kekurangan-kekurangan kita. 8.
Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan
menyiapkan diri untuk meminta maaf kepada mereka semua. 9.
Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang
tersebut bila mana memungkinkan, kecuali bila melakukannya akan justru melukai mereka atau orang lain.
10.
Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita dan
bila mana kita bersalah, segera mengakui kesalahan kita. 11.
Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk
memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahamiNya, berdoa hanya untuk mengetahui kehendakNya atas diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya. 12.
Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkah-
langkah ini, kita mencoba menyampaikan pesan ini kepada para pecandu dan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dalam segala hal yang kita lakukan.
2.8 Bentuk Peran Orang Terdekat
Hubungan Tugas Keluarga dalam Pemulihan Pasien Ketergantungan Narkoba Menurut Friedman (2003: 9) menyatakan bahwa keluarga memiliki peran pendukung yang penting selama periode pemulihan dan rehabilitasi klien. Jika dukungan ini tidak tersedia, keberhasilan pemulihan/rehabilitasi menurun secara signifikan. Demikian pula sebaliknya jika dukungan tersedia maka keberhasilan pemulihan akan berjalan dengan baik. Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, Ikut merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam mengatasi kecemasan klien.(Friedman, 2003 : 146).
Menurut Willis (2010: 177) Keluarga merupakan salah satu kekuatan pendukung yang dapat mempercepat penyembuhan pasien,sehingga dukungan keluarga sangat dibutuhkan bagi pasien dalam menghadapi masa masa pemulihannya. Menurut Mann dalam Willis (2010: 174) pemulihan pasien yang mengalami ketergantungan narkoba tidak bisa hanya dengan detoksifikasi tetapi juga harus dengan pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual spiritual dan fisik.
Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa peran sosial termasuk dalam hal ini keluarga dalam upaya penyembuhan pasien memang tidak bisa dikesampingkan.
Selanjutnya Menurut Ali (2010: 38) tugas keluarga ketika pasien menjalani perawatan dirumah sakit adalah mentaati semua anjuran tim profesional, serta memberikan dukungan dalam bentuk perhatian. Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa tugas keluarga tentang pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan periode perawatan remaja ketergantungan narkoba.
Menyadari bahwa masalah penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks dan bersifat multidimensi, maka partisipasi berbagai pihak dalam berbagai tingkatan merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Keluarga mempunyai peran yang sangat berarti dalam pemulihan pecandu. Permasalahannya, banyak keluarga tidak memahami
masalah
penyalahgunaan
NAPZA
dan
upaya-upaya
penaggulangannya. Pada dasarnya, penyalahgunaan NAPZA akan menjadi “penyakit keluarga” dimana masalah kecanduan yang dialami oleh seorang anggota keluarga pada akhirnya akan mempengaruhi keluarga secara keseluruhan.
Pemulihan yang dijalani oleh pecandu selain memperbaiki kualitas hidup dirinya sendiri juga merupakan kesempatan untuk membangun dan memperbaiki peran serta fungsi keluarga. Namun ini hanya akan berhasil apabila setiap anggota keluarga berupaya keras untuk turut serta dalam proses pemulihan tersebut. Untuk dapat berpartisipasi dalam upaya ini, keluarga perlu memahami fase pemulihan yang dijalani oleh korban penyalahguna NAPZA. Motivasi keluarga merupakan tenaga kejiwaan yang dapat membangkitkan seseorang dalam perjuangan hidupnya dan oleh karenanya menjadi tenaga penggerak yang sangat vital bagi korban penyalahguna NAPZA untuk keluar dari penderitaannya dan untuk mengatasi problem-problem yang dihadapi.Motivasi mempunyai pengaruh besar dalam setiap perbuatan dan merupakan latar belakang perbuatan itu dilakukan, sehingga motivasi mampu menggerakkan rasa dan pikiran korban penyalahguna
NAPZA untuk kembali menjalani hidup sehat tanpa menggunakan NAPZA lagi. Melihat bahwa keinginana sembuh seorang korban penyalahguna NAPZA tidak selalu datang dari dalam diri sendiri dan dalam pengobatan medis tidak selalu berhasil oleh karena itu dukungan keluarga diperlukan korban penyalahguna NAPZA dalam pemulihan. Menurut Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, motif dibedakan kedalam dua bagian yaitu: 1. Motif intrinsik, yaitu motif yang tidak usah dirangsang dari luar, karena memang dalam diri individu sendiri telah ada dorongan itu. Misalnya, seorang korban penyalahguna NAPZA yang datang sendiri ke panti rehabilitasi bukan karena paksaan dari orang tua atau merasa malu kepada temannya tetapi ada keinginaan dalam diri sendiri untuk kembali sehat tanpa menggunakan NAPZA lagi. 2. Motif ekstrinsik, yaitu motif yang disebabkan oleh pengaruh rangsangan dari luar. Misalnya, seorang penyalahguna NAPZA dibawa untuk mengikuti program rehabilitasi oleh keluarga. Peran keluarga dan tempat penyelenggara program rehabilitasi menjadi kekuatan utama penderita (korban) keluar dari problem yang dihadapi.
Disini keluarga menjadi bagian dari kekuatan motif ekstrinsik. Keluarga memberikan rangsangan, dorongan, dan dukungan serta mempunyai pengaruh terhadap
perubahan-perubahan
perikaku
yang
positif
pada
diri
korban
penyalahgunaan NAPZA. Sentuhan hangat keluarga seperti: perhatian, kasih sayang dan empati merupakan bentuk rangsangan atau motivasi yang membuat korban penyalahgunaan NAPZA dapat berubah menjadi lebih baik dengan mulai rasa kesadaran untuk tidak mengkonsumsi NAPZA lagi dan dapat kembali menjalani hidup sehat.
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian
Kaji situasi kondisi penggunaan zat a. Kapan zat digunakan b. Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah c. Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara Kaji risiko yang berkaitan dengan penggunaan zat a. Berbagi peralatan suntik b. Perilaku seks yang tidak nyaman c. Menyetir sambil mabuk d. Riwayat over dosis e. Riwayat serangan (kejang) selama putus zat Kaji pola penggunaan a. Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan malam) b. Penggunaan selama seminggu c. Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai di depan TV) d. Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan NAPZA setelah berjalan melalui rumah bandar) e. Kehadiran atau bertemu dengan orang-orang tertentu (mantan pacar, teman pakai) f.
Adanya pikiran- pikiran tertentu (“Ah, sekali nggak bakal ngerusak”
atau “Saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make”) g. Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan) h. Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur atau stres yang berkepanjangan) Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi bila tidak menggunakan. 3.2 Diagnosa Keperawatan
Masalah yang mungkin muncul pada klien dengan penyalah gunaan NAPZA antara lain: Overdosis
:
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b. Penurunan output jantung c. Hipertermi d. Hipotermi e. Intoleransi aktivitas f. Risiko cedera Putus Zat
a. Nyeri akut b. Diare c. (Risiko) Defisit volume cairan d. Gangguan sensori persepsi e. Gangguan pola tidur f. Gangguan proses pikir g. Ansietas h. Risiko perilaku kekerasan Rehabilitasi
a. Koping
individu
tidak
efektif:
ketidakmampuan
menolak
keinginan
menggunakan zat kembali b. Distres spiritual c. Gangguan konsep diri: harga diri rendah d. Koping keluarga tidak efektif e. Gangguan proses keluarga f. Ketidakberdayaan
3.3 Diagnosa Keperawatan dan Tindakan Keperawatan
Pada saat klien telah berada di ruang rehabilitasi, tidak menutup kemungkinan akan muncul masalah yang sama seperti ketika klien berada pada ruang
detoksifikasi.Penyebabnya
adalah
kurangnya
motivasi
klien
untuk
tidak
melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan dalam timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga atau orang terdekat klien dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan zat. Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi a dalah Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menolak keinginan menggunakan zat kembali Tujuan: Pasien dapat mengontrol keinginan untuk meggunakan zat
Rencana tindakan Keperawatan: a. Melatih konsentrasi: mengadakan kelompok diskusi pagi b. Memberikan konselin untuk merubah moral dan spiritual klien selama ini yang
menyimpang,
ditujukan
agar
klien
menjadi
manusia
yang
bertanggung jawab, sehat mental, rasa bersyukur, dan optimis c. Mengoptimalkan peran keluarga serta orang terdekat klien untuk senantiasa mensupport dalam rehabilitasi d.
Mempersiapkan klien untuk kembali ke masyarakat, dengan bekerja sama dengan pekerja social, psikolog
(Sumber: Keliat dkk, 2006) Menurut Keliat dkk. (2006), tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga adalah sebagai berikut: a. Keluarga dapat mengenal masalah ketidakmampuan anggota keluarganya berhenti menggunakan NAPZA b. Keluarga dapat meningkatkan motivasi klien untuk berhenti c. Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien NAPZA d. Keluarga dapat mengidentifikasi kondisi pasien yang perlu dirujuk Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada keluarga anatara lain: (Keliat dkk, 2006) a. Diskusikan tentang masalah yang dialami keluarga dalam merawat klien
b. Diskusikan bersama keluarga tentang penyalahgunaan/ketergantungan zat (tanda, gejala, penyebab, akibat) dan tahapan penyembuhan klien (pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi). c. Diskusikan tentang kondisi klien yang perlu segera dirujuk seperti: intoksikasi berat, misalnya penurunan kesadaran, jalan sempoyongan, gangguan penglihatan (persepsi), kehilangan pengendalian diri, curiga yang berlebihan, melakukan kekerasan sampai menyerang orang lain. Kondisi lain dari klien yang perlu mendapat perhatian keluarga adalah gejala putus zat seperti nyeri (sakau), mual sampai muntah, diare, tidak dapat tidur, gelisah, tangan gemetar, cemas yang berlebihan, depresi (murung yang berkepanjangan). d. Diskusikan dan latih keluarga merawat klien NAPZA dengan cara: menganjurkan keluarga meningkatkan motivasi klien untuk berhenti atau menghindari sikap-sikap yang dapat mendorong klien untuk memakai NAPZA lagi (misalnya menuduh klien sembarangan atau terus menerus mencurigai klien memakai lagi); mengajarkan keluarga mengenal ciri-ciri klien memakai NAPZA lagi (misalnya memaksa minta uang, ketahuan berbohong, ada tanda dan gejala intoksikasi); ajarkan keluarga untuk membantu klien menghindar atau mengalihkan perhatian dari keinginan untuk memakai NAPZA lagi; anjurkan keluarga memberikan pujian bila klien dapat berhenti walaupun 1 hari, 1 minggu atau 1 bulan; dan anjurkan keluarga mengawasi klien minum obat.
3.4 Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari klien adalah sebagai berikut: 1. Klien mengetahui dampak NAPZA 2. Klien mampu melakukan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti menggunakan NAPZA 3. Klien mampu mengontrol kemampuan keinginan menggunakan NAPZA kembali 4. Klien dapat menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif
5. Klien dapat menerapkan cara hidup yang sehat 6. Klien mematuhi program pengobatan Evaluasi yang diharapkan dari keluarga adalah sebagai berikut: 1. Keluarga mengetahui masalah yang dialami klien 2. Keluarga mengetahui tentang NAPZA 3. Keluarga mengetahui tahapan proses penyembuhan klien 4. Keluarga berpartisipasi dalam merawat klien 5. Keluarga memberikan motivasi pada klien untuk sembuh 6. Keluarga mengawasi klien dalam minum obat
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Peran perawat mempengaruhi pada keberhasilan dalam mencapai tujuan dan hasil akhir yang diharapkan dalam perawatan. Dimana asuhan keperawatan pada pasien penyalahgunaan NAPZA ditekankan pada aspek psikososial, kejiwaan, komunitas dan keagamaan. Peran keluarga dan lingkungan juga sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan pasien penyalahgunaan NAPZA. Kebanyakan dari pengguna menjadikan NAPZA sebagai pelarian atau pemecahan suatu masalah.
4.2 SARAN
Upaya mencegah kekambuhan klien dengan penyalahgunaan NAPZA sangat tergantung dari motivasi internal dari klien itu sendiri untuk terlepas dari kecanduan. Tidak kalah penting dari hal itu juga peran serta orang terdekat untuk senantiasa memberi dukungan dan memberikan pengawasan kepada penderita.
DAFTAR PUSTAKA
(2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas) mengenai penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat. (2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat rehabilitasi pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Cokingting, P.S., Darst,E, dan Dancy, B. 1992. Mental Health and Psichiatric Nursing . Chapter 8. Philadelpia : J.B.,Lippincott Company Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Gunawan, Weka.2006.Keren Tanpa Narkoba.Jakarta:Grasindo Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (narkotik, alkohol dan zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Joewana, S. (2004). Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif . Jakarta: EGC. Marviana, dkk. (2000). Narkoba dan Remaja. Jakarta: Gramedia. Partodihardjo,Subagyo.2010.Kenali
Narkoba
dan
Musuhi
Penyalahgunaannya.Jakarta:Esensi Purba, Jenny Marlindawani. Et al. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press Stuart, Gail W. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3rd ed. Jakarta : EGC Winarno, Heri. Et al. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Jarum Suntik Bergantian Diantara Pengguna Napza Suntik di Semarang Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. vol 3 no.2 Wresniwiro. (1999). Narkoba dan Pengaruhnya. Jakarta: Widya Medika.