Persepsi Masyarakat Tentang Peran Perawat Kesehatan Masyarakat Di Puskesmas Klampis Ngasem Kecamatan Sukolilo Surabaya Nama: Samsul A Arsad NIM: 08.1.14.1.080
ABSTRAK Persepsi positif tentang kinerja perawat dalam menjalankan peran perawat akan meningkatkan motivasi masyarakat untuk berkunjung ke puskesmas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi masyarakat tentang peran perawat puskesmas. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif sederhana dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan data dilakukan menggunakan kuesioner kepada 96 pengunjung puskesmas di Kelurahan Klampis Ngasem dengan teknik purposive sampling. Hasil menunjukkan bahwa sebanyak 55,2% responden memiliki persepsi positif tentang peran perawat secara keseluruhan. Dengan demikian, persepsi masyarakat hampir seimbang karena selisih persetasi antara persepsi baik dan buruk hanya 10,4. Kata kunci: peran perawat, persepsi, puskesmas
PENDAHULUAN
Profesi keperawatan merupakan profesi yang penting dalam bidang kesehatan, karena perawat mengetahui kondisi pasien selama 24 jam penuh. Tugas perawat juga langsung bersentuhan dengan klien, seperti memenuhi kebutuhan dasar berupa kebersihan diri, makan, istirahat, dan lain-lain. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010, terdapat 160.074 jumlah perawat dan jumlah dokter sekitar 25.333 orang. Jumlah perawat yang cukup banyak tentu perlu diimbangi dengan lahan kerja yang memadai. Perawat dapat bekerja di berbagai wilayah dan
instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta. Rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) adalah contoh area kerja perawat yang paling sering dijumpai sehari-hari. Khususnya puskesmas yang dapat dijumpai masyarakat di berbagai wilayah mulai dari tingkat kelurahan. Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) merupakan garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan karena puskesmas merupakan suatu kesatuan organisasi yang dibentuk pemerintah di tingkat terendah yaitu kelurahan. Penempatan wilayah puskesmas tersebut membuat setiap masyarakat dapat dengan mudah menggunakan fasilitas kesehatan ini. Pembagian wilayah puskesmas
dimulai dari kelurahan, kecamatan, puskesmas induk, sampai puskesmas keliling. Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan di puskesmas memiliki berbagai peran. Kementerian Kesehatan Indonesia menyebutkan idealnya terdapat 12 peran perawat puskesmas (Depkes, 2004). Namun, karena terbatasnya pengetahuan dan pendidikan yang masih rendah, pemerintah menetapkan hanya enam peran yang wajib dijalankan perawat puskesmas yaitu pemberi asuhan keperawatan (care provider), penemu kasus, pendidik kesehatan, koordinator dan kolaborator, konselor, dan sebagai panutan (Depkes, 2004). Enam peran utama perawat puskesmas yaitu sebagai care provider, penemu kasus, pendidik kesehatan, koordinator dan kolaborator, konselor, dan panutan (role model) tentu harus dijalankan oleh setiap perawat yang bekerja di puskesmas. Pada kenyataannya, keterbatasan jumlah perawat puskesmas yang rata-rata sekitar dua sampai lima orang di setiap puskesmas menjadi salah satu penyebab penerapan peran yang dijalankan masih kurang optimal. Sementara dengan penerapan peran perawat yang optimal akan meningkatkan tercapainya kualitas pelayanan kesehatan yang baik di puskesmas, sehingga akan meningkatkan tercapainya masyarakat Indonesia yang sehat. Salah satu faktor yang mendorong masyarakat berobat ke pusat kesehatan masyarakat adalah pandangan atau pendapat yang positif terhadap pelayanan puskesmas secara keseluruhan.
Pandangan terhadap kesehatan akan mempengaruhi masyarakat dalam memilih pengobatan yang akan dilakukan. Pandangan atau persepsi masyarakat yang positif terhadap puskesmas akan meningkatkan jumlah pengunjung yang datang. Persepsi tersebut meliputi persepsi baik mengenai perawat puskesmas yang telah menjalankan perannya selama pengunjung menerima pelayanan keperawatan. Persepsi yang positif tentang peran perawat akan memberikan gambaran mengenai kinerja perawat berdasarkan perannya serta meningkatkan minat masyarakat berkunjung ke puskesmas. Sedangkan persepsi negatif menunjukkan penerapan peran perawat perlu ditingkatkan, sehingga tercapainya tujuan pelayanan kesehatan. Puskesmas Kelurahan Klampis Ngasem sebagai salah satu puskesmas di Kecamatan Sukolilo Surabaya menjadi tempat penelitian karena belum adanya penelitian terkait hal ini dan lokasi yang berdekatan dengan kantor kelurahan, mudah diakses, serta selalu ramai dikunjungi masyarakat. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui gambaran persepsi masyarakat tentang peran perawat puskesmas di Kelurahan Klampis Ngasem Kecamatan Sukolilo Surabaya. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain deskriptif sederhana, yang bertujuan mendapatkan gambaran tentang persepsi masyarakat tentang peran perawat puskesmas di Kelurahan Kelurahan Klampis Ngasem Sukolilo Surabaya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di Puskesmas
Klampis Ngasem Kecamatan Sukolilo Surabaya.
Populasi dalam penelitian ini adalah dewasa pria ataupun wanita yang pernah mengunjungi puskesmas Kelurahan Klampis Ngasem. Sampel ditentukan dengan rumus deskriptif kategorik Snedecor & Cochran (Notoatmodjo, 2010) untuk perkiraan rata-rata sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Rumus untuk menghitung jumlah sampel adalah: n = Ƶα2PQ d2 Keterangan: n : jumlah sampel Ƶα : deviasi normal standar 95% (1,96) P : proporsi kejadian (50%) Q : 1-P (1-50%) d : akurasi daya proporsi (10%) Jadi, sampel minimal yang akan diteliti adalah n= Ƶα2PQ d2 n= (1,96)2(0,5)(0,5) (0.1)2 n= (3,8416) (0,25) 0,01 n = 96,04 Peneliti memperoleh rata-rata sampel yang akan diteliti berjumlah 96 orang. Instrument penelitian menggunakan kuesioner yang berisi pernyataan disusun dalam bentuk pilihan Skala Likert yaitu Tidak Pernah (TP), Kadang-kadang (KK), Sering (Sr), Selalu (Sl).
Penelitian ini menggunakan analisis univariat untuk mengetahui gambaran persepsi masyarakat. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jenis kelamin responden didominasi oleh perempuan yaitu sebanyak 60,4%. Karakter perempuan cenderung mudah
menerima pelayanan yang diberikan puskesmas, dan karakter merupakan faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi (Sobur, 2003). Selain itu, sebagian besar responden berpendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu sebanyak 44,8%. Pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan responden (Notoatmojo, 2010), dan pengetahuan akan mempengaruhi responden dalam menilai pelayanan keperawatan yang diterima. Selain itu, mayoritas responden bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) yaitu sebanyak 49%. Hal ini karena mayoritas pengunjung puskesmas berjenis kelamin perempuan dan bekerja sebagai IRT. Karakteristik selanjutnya adalah usia. Mayoritas responden berada pada usia dewasa tengah (40-59 tahun) yaitu sebanyak 59,4%. Hal ini sejalan dengan usia mayoritas masyarakat Kota Sukolilo Surabaya yang berada pada rentang usia dewasa. Sesuai dengan faktor personal yang mempengaruhi persepsi yaitu pengalaman (Sobur, 2003), hal ini menunjukkan bahwa usia dewasa tengah memiliki pengalaman yang lebih banyak dibandingkan usia dewasa muda karena seiring berjalannya waktu maka pengalaman yang diperoleh individu akan semakin banyak. Pengalaman tersebut akan mempengaruhi persepsi individu terhadap pelayanan keperawatan yang diterima di puskesmas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 96 responden, 55,2% memiliki persepsi yang positif terhadap peran perawat puskemas secara umum. Sedangkan yang memiliki persepsi yang negatif sebanyak 44,8%. Selisih persentase yang tidak terlalu besar antara persepsi positif dan negatif menunjukkan bahwa pendapat responden hampir sama. Hasil ini sejalan dengan penelitian Nurjanah
(2003) mengenai persepsi pasien terhadap pelayanan kesehatan di puskesmas kecamatan Gambir, dimana 88% pasien memiliki persepsi positif (positif) terhadap pelayanan yang diberikan oleh perawat. Nilai tertinggi pada pelayanan yang diberikan oleh perawat yaitu 93% untuk kesediaan mendengarkan keluhan, dan 78% untuk keramahan. Selisih persepsi yang positif dan negatif sangat tipis yaitu 10,4%. Perbedaan ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat hampir sama. Bahkan belum dapat dikatakan persepsi masyarakat sepenuhnya positif karena persepsi yang positif lebih terlihat pada persentase lebih dari 60%. Oleh karena itu, perawat perlu terus mengoptimalkan penerapan perannya selama ini agar persepsi positif masyarakat semakin meningkat. Persepsi yang muncul pada masyarakat terhadap peran perawat yang berbeda-beda walaupun stimulus yang diberikan sama. Sobur (2003) menyebutkan perbedaan persepsi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor fungsional, struktural, situasional, dan personal. Faktor fungsional merupakan karakteristik dari tiap individu yang menerima stimulus. Kegembiraan, pelayanan yang diterima, dan pengalaman masa lalu sangat berpengaruh. Perasaan senang yang dimiliki pengunjung saat menerima pelayanan keperawatan di puskesmas dapat menyebabkan pengunjung berpersepsi positif. Selain itu, karakter dari individu itu sendiri yang mudah menerima setiap stimulus yang diberikan yaitu pelayanan keperawatan juga mendukung terciptanya persepsi yang Positif. Faktor kedua yang mempengaruhi persepsi positif responden adalah faktor struktural yang lebih kearah biologis, dimana seseorang akan mempersepsikan
sesuatu sebagai suatu keseluruhan meskipun stimulus yang diterima tidak lengkap (Sobur, 2003). Faktor ini membuat persepsi pengunjung terkait pelayanan keperawatan yang diberikan oleh salah satu tenaga kesehatan di puskesmas, membuat persepsi pengunjung terhadap seluruh pelayanan puskesmas menjadi positif sehingga pengunjung merasa puas setelah berobat. Ketiga adalah faktor situasional yang berkaitan dengan bahasa nonverbal berupa ekspresi wajah yang juga mempengaruhi persepsi. Perawat yang tersenyum ramah saat menanyakan keadaan pasien juga menimbulkan perasaan senang di hati pasien sehingga merasa perawat telah memberikan apa yang dibutuhkan pasien. Faktor terakhir adalah faktor personal lebih ke arah pribadi individu yang meliputi pengalaman, sosial budaya, harapan, motivasi, dan kepribadian individu. Sementara itu masyarakat yang memiliki persepsi negatif terhadap peran perawat puskesmas juga disebabkan oleh beberapa faktor. Pengalaman terdahulu yang kurang menyenangkan terhadap pelayanan keperawatan yang diterima akan membuat masyarakat memiliki persepsi yang negatif. Selain itu, pelayanan yang kurang memuaskan dan tidak sesuai dengan harapan juga menjadi salah satu penyebab timbulnya persepsi negatif. Hal ini didukung dengan adanya karakter individu yang sulit menerima stimulus yang diberikan sehingga mempersepsikan pelayanan keperawatan negatif. Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan terdekat merupakan garda terdepan pelayanan kesehatan Indonesia memiliki peran penting dalam mewujudkan masyarakat yang sehat. Tercapainya masyarakat yang sehat diperoleh dari meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan.
Peningkatan kualitas dapat diwujudkan dengan memperluas pengetahuan tenaga kesehatan. Adanya pelatihan untuk meningkatkan skill masingmasing individu sangat dibutuhkan untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat. Seperti yang dikemukakan oleh Ashton (2005) bahwa peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang komprehensif melalui pengembangan pengetahuan dan kemampuan akan meningkatkan pemulihan kesehatan pasien. Salah satu faktor yang menentukan kualitas pelayanan puskesmas adalah pelayanan keperawatan. Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang bertugas memberikan asuhan keperawatan secara holistik (utuh) memegang peranan yang penting. Peran perawat dapat diklasifikasikan menjadi enam peran utama perawat puskesmas (Depkes, 2004). Kementerian Kesehatan menetapkan enam peran utama perawat karena pendidikan rata-rata perawat puskesmas di Indonesia masih rendah, yaitu pendidikan D3 dan SPK. Sedangkan seharusnya perawat yang bekerja di primary health care (puskesmas) beragam pendidikan mulai dari clinical nurse specialist (perawat spesialis), clinical nurse midwives (bidan), dan certified registered nurse practitioners (Cotroneo, Margaret., Outlaw, Freida Hopkins., King, Joan., Brince, Jean., 1997). Oleh karena itu, sebaiknya standar kualifikasi penerimaan perawat yang bekerja di puskesmas harus lebih ditingkatkan agar standar pelayanan yang diberikan perawat juga meningkat. Peran yang diterapkan Kementerian Kesehatan antara lain sebagai pemberi asuhan keperawatan, penemu kasus, pendidik kesehatan, koordinator dan kolaborator, konselor, dan sebagai panutan. Peran utama
dari perawat puskesmas adalah memberikan asuhan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit atau yang mempunyai masalah kesehatan baik dirumah, sekolah, panti, dan sebagainya sesuai kebutuhannya (Depkes, 2004).
Peran Pemberi Keperawatan
Asuhan
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar masyarakat berpersepsi positif terhadap peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan yaitu sebanyak 59,4%. Pada pernyataan kuesioner mengenai peran pemberi asuhan keperawatan, mayoritas responden menjawab selalu, yang berarti perawat selalu menanyakan keluhan utama klien setiap berobat. Sebanyak 42,7% responden menjawab perawat kadang-kadangbersikap ramah kepada klien. Selain itu, sebanyak 83,3% responden menjawab perawat selalu menulis resep obat dan 72,9% responden menyebutkan perawat selalu mendiagnosis penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa perawat menjalankan peran tenaga kesehatan lain. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadi overlapping (tumpang tindih) antara peran perawat dan dokter, serta menjadi celah terjadinya malpraktik. Akibatnya akan beresiko tinggi membahayakan klien. Sedangkan tugas perawat dan dokter telah jelas tercantum pada Undangundang Kesehatan sehingga apabila terjadi pelanggaran dapat dikatakan sebagai malpraktik. Keterbatasan sumber daya manusia menjadi penyebab utama terjadinya overlapping tugas antara tenaga kesehatan dan terjadinya malpraktik di puskesmas ini.
Peran Penemu Kasus Peran perawat sebagai penemu kasus menuntut perawat untuk mendeteksi serta dalam menemukan kasus serta melakukan penelusuran terjadinya penyakit. Berdasarkan hasil penelitian mayoritas masyarakat memiliki persepsi positif terhadap peran perawat sebagai penemu kasus yaitu 63,5%. Dari total 96 orang responden, 79,2% menjawab tidak pernah dikunjungi rumah, hanya 15,6% responden yang sering dikunjungi rumah. Hal ini menunjukkan perawat masih lebih banyak menjalankan pasif case finding karena hanya pasien khusus saja yang dikunjungi ke rumah seperti pasien dengan TB paru, diare, atau gizi buruk. Penemuan kasus dapat dilakukan dengan jalan mencari langsung ke masyarakat (aktif case finding) dan dapat pula didapat secara tidak langsung yaitu pada kunjungan pasien ke puskesmas (pasif case finding) (Depkes, 2004). Narain (2011) mengemukakan bahwa pasien dengan TB paru atau gizi buruk akan lebih baik apabila dilakukan skrining secara berkala ke lingkungan rumah pasien sehingga dapat menerapkan peran perawat sebagai actif case finding dan langsung dapat diberikan intervensi saat itu juga.
Peran Pendidik Kesehatan Sebagian besar masyarakat memiliki persepsi yang positif terhadap peran perawat sebagai pendidik kesehatan yaitu sebanyak 58,3%. Perawat sebagai pendidik menuntut perawat untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik setting di rumah, di puskesmas, dan di masyarakat secara terorganisir dalam rangka menanamkan perilaku sehat, sehingga terjadi perubahan perilaku seperti yang diharapkan
dalam mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Depkes, 2004). Pernyataan mengenai peran pendidik kesehatan, 30,2% menjawab sering, yang berarti bahwa perawat sering tidak menjelaskan cara mencegah penyakit pasien, tetapi lebih sering menjelaskan cara mengatasi penyakit yang sedang dialami yaitu sebanyak 39,6%. Berdasarkan pengamatan peneliti, perawat juga lebih sering memberikan pendidikan kesehatan pada pengunjung dengan masalah kesehatan kronis seperti diabetes mellitus (DM), hipertensi, dan penyakit jantung, sedangkan untuk pasien dengan keluhan nyeri sendi dan abdomen jarang diberikan pendidikan kesehatan. Penyakit kronik dan tidak menular seperti DM, penyakit kardiovaskuler, kanker, dan penyakit paru obstruktif menahun merupakan jenis penyakit yang sering terjadi di kawasan Asia Tenggara (Narain, 2011). Jenis penyakit tersebut membutuhkan program pencegahan yang berkelanjutan karena lebih diakibatkan faktor gaya hidup yang tidak sehat. Oleh karena itu, perawat perlu menjelaskan faktor risiko penyakit tersebut antara lain seperti merokok, pola makan yang tidak sehat, dan kurang beraktifitas. Namun, dengan tetap memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dengan keluhan yang lain seperti nyeri. Skill tenaga kesehatan khususnya perawat di Indonesia masih rendah (Depkes, 2004). Sama halnya yang terjadi di India dimana pemerintah India mulai terus mengembangkan kemampuan perawat terhadap pengontrolan penyakit. Cara yang dilakukan dengan menyediakan pelatihan bagi perawar terkait penyakit yang sering mewabah di lingkungan cakupan puskesmas dan terkait penyakit kronik seperti DM dan asma. Tujuannya agar para tenaga
kesehatan di pusat kesehatan masyarakat mampu memberikan pelayanan sekunder sebelum memberikan pelayanan primer. Pemerintah Indonesia diharapkan melakukan upaya untuk mengembangkan skill perawat dengan menyediakan pelatihan yang dibutuhkan.
Peran Koordinator Kolaborator
dan
Persepsi masyarakat terhadap peran perawat sebagai koordinator dan kolaborator mayoritas positif yaitu sebanyak 55,2%. Koordinator dan kolaborator merupakan peran yang sangat penting karena pada peran inilah perawat mampu bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain untuk meningkatkan derajat kesehatan klien. Perawat dapat berkolaborasi dengan dokter, apoteker, ahli gizi, petugas laboratorium, dan lainnya untuk menegakkan diagnosa keperawatan dan menentukan intervensi yang tepat. Kerjasama antar tenaga kesehatan di puskesmas sangat penting. Kerja tim kesehatan yang baik akan memberikan kepuasan kerja dan kepuasan pasien dalam menerima pelayanan kesehatan (Leggat, Sandra G., Bartram, Timothy., & Stanton, Pauline., 2011). Kepuasan pasien akan menentukan persepsi terhadap penerapan peran perawat. Selain itu, kualitas pelayanan kesehatan di puskesmas juga dapat diukur melalui penurunan mortalitas, penurunan kesalahan medikasi, hasil klinik, dan kepuasan pasien. Dimana kepuasan pasien merupakan alat ukur yang valid untuk menentukan hasil kinerja tenaga kesehatan (Leggat, Sandra G., Bartram, Timothy., & Stanton, Pauline., 2011) sehingga kerjasama perlu dioptimalkan. Sebagian besar responden menjawab selalu untuk pernyataan kuesioner mengenai manfaat obat,
efek samping obat, dan dosis obat. Hal ini disebabkan karena perawat seringkali membantu apoteker untuk membagikan dan menjelaskan obat kepada pasien yang berobat. Selain itu, jumlah apoteker di puskesmas hanya satu orang sehingga antar tenaga kesehatan saling membantu peran yang lain untuk memenuhi kebutuhan pasien. Namun mayoritas responden menjawab perawat jarang bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain untuk meningkatkan kesehatan klien. Perawat langsung memutuskan secara mandiri tindakan yang akan dilakukan kepada pasien, kecuali pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium. Selain itu, 49 responden (51%) menyebutkan perawat selalu sibuk mencatat saat memeriksakan kesehatan klien sehingga kurang memperhatikan respon klien. Peran antara perawat dan dokter dalam berkolaborasi untuk meningkatkan kesehatan pasien dilakukan melalui timbal balik positif. Perawat memberikan saran dan rekomendasi terkait pelayanan pasien dengan cara yang baik, tanpa langsung menantang permintaan dokter. Sebagai respon, dokter seringkali menerima rekomendasi perawat sehingga akan terjadi kolaborasi yang baik (Faria, 2009). Kerjasama yang baik antar tim kesehatan juga perlu diimbangi dengan kemampuan masing-masing individu. Perawat perlu meningkatkan kemampuan (skill) yang dimiliki dengan sering mengikuti pelatihan terkait keperawatan. Selain itu, perawat juga perlu memperkaya pengetahuan dengan mencari informasi seputar perkembangan ilmu keperawatan terbaru melalui perkembangan teknologi informasi. Hal ini juga perlu didukung oleh pihak puskesmas dengan memfasilitasi pelatihan bagi perawat, memberikan kejelasan apa saja peran perawat
puskesmas, serta meningkatkan prasyarat calon perawat yang akan bekerja di puskesmas.
Peran Konselor Penelitian menunjukkan sebagian besar masyarakat memiliki persepsi postitif terhadap peran perawat sebagai konselor sebanyak 54,2%, sedangkan untuk persepsi negatif sebanyak 45,8%. Selisih antara persepsi positif dan negatif yang hanya 8,4% menyatakan bahwa persepsi masyarakat hampir sama. Peran sebagai konselor melakukan konseling keperawatan untuk membantu memecahkan masalah klien secara efektif. Kegiatan yang dapat dilakukan perawat puskesmas antara lain menyediakan informasi, mendengar secara objektif, memberi dukungan, memberi asuhan dan meyakinkan klien, menolong klien mengidentifikasi masalah dan faktor-faktor terkait, memandu klien menggali permasalahan dan memilih pemecahan masalah yang dikerjakan (Depkes, 2004). Empat dari total lima pernyataan kuesioner dijawab dengan pernyataan yang kurang memuaskan. Sebanyak 37,5% masyarakat merasa perawat tidak pernah menggali masalah kesehatan klien. Selain itu, 31,2% masyarakat juga menganggap perawat tidak pernah membantu memecahkan masalah kesehatan klien. Proses pemeriksaan kesehatan yang singkat membuat waktu interaksi antara perawat dan pasien menjadi sempit. Pasien seringkali merasa masih ingin mengungkapkan perasaan namun terkendala oleh durasi berobat yang singkat. Banyaknya pasien di puskesmas mendorong perawat untuk bergerak cepat agar pasien lain tidak menunggu lama. Selain itu, tidak adanya inisiatif antara perawat maupun pasien untuk melakukan konseling di luar puskesmas atau di luar jam kerja
perawat. Perawat lebih sering membiarkan klien memecahkan masalahnya sendiri sehingga klien cenderung enggan mendiskusikan permasalahannya kepada perawat. Persepsi positif terhadap peran sebagai konselor ini juga didukung oleh jawaban responden bahwa 84,4% perawat selalu mendukung klien untuk sembuh dari penyakit yang dialaminya. Dukungan yang diberikan membuat klien merasa cukup dihargai dan memotivasi klien untuk segera sembuh. Namun berdasarkan wawancara peneliti dengan responden, hampir semua responden menginginkan perawat lebih menggali permasalahan kesehatan dan membantu untuk menemukan solusi yang tepat sehingga masalah kesehatan klien yang sulit diungkapkan segera teratasi. Perkembangan teknologi yang semakin pesat juga mendorong pelayanan kesehatan untuk dapat memanfaatkannya. Salah satunya pemanfaatan website puskesmas. Fungsi website dapat dijadikan tempat bertukar pikiran antar tenaga kesehatan di seluruh Indonesia atau kepada instansi pemerintah lain, serta kepada masyarakat umum. Seperti yang dilakukan di Korea dengan memanfaatkan internet sebagai sarana sharing ilmu pengetahuan oleh tenaga kesehatan (Han, Dongwoon., & Lee, Heejin., 2003). Namun pada kenyataannya penggunaan internet di Indonesia khususnya puskesmas masih sangat minim sehingga perlu terus ditingkatkan baik dari sisi pengguna maupun koneksi.
Peran Panutan Peran yang terakhir adalah peran sebagai panutan (role model). Penelitian persepsi masyarakat terhadap peran perawat sebagai panutan mendapatkan nilai tertinggi diantara peran yang lain. 66,7% masyarakat
memiliki persepsi yang positif terhadap peran perawat sebagai panutan. Pada pernyataan mengenai peran sebagai panutan, responden yakin bahwa seorang perawat pasti memiliki gaya hidup yang sehat. Hal ini dibuktikan dengan 54,2% responden menjawab perilaku perawat dijadikan inspirasi untuk memiliki gaya hidup sehat. Selain itu, 71% responden selalu dimotivasi oleh perawat untuk tetap menjaga kesehatan. Perawat puskesmas harus mampu memberikan contoh kepada masyarakat bagaimana cara hidup sehat. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain memberi contoh praktik menjaga tubuh yang sehat baik fisik maupun mental seperti makanan bergizi, menjaga berat badan, olahraga secara teratur, tidak merokok, menyediakan waktu untuk istirahat setiap hari, komunikasi efektif, dll (Depkes, 2004). Peran ini tidak mudah dijalankan karena perawat harus memahami bagaimana cara hidup sehat dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat terlihat oleh masyarakat. SIMPULAN Hasil penelitian diketahui bahwa dari total 96 responden, masyarakat memiliki persepsi yang hampir seimbang antara persepsi positif dan negatif. Namun selisih persepsi positif dan negatif yang tipis dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat hampir seimbang. Persepsi masyarakat cenderung positif terhadap masing-masing peran perawat dengan jumlah persepsi positif tertinggi terdapat pada peran sebagai panutan, dan persepsi positif terendah pada peran sebagai konselor. DAFTAR PUSTAKA Ashton, Toni. (2005). Change through continuity: a quiet revolution in primary health care in New
Zealand. Australian Health Review. Vol. 29 No. 4 pp 380382. Controneo, Margaret., Outlaw, Freida Hopkins., King, Joan., Brince, Jean. (1997). Advanced practice psychiatric-mental health nursing in a community-based nursemanaged primary care program. Journal of Psychosocial nursing & mental health services. Vol. 35 pp. 18 Departemen Kesehatan RI. (2004). Keputusan menteri kesehatan RI No.128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar pusat kesehatan masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. (2004). Rancangan pedoman kegiatan perawat kesehatan masyarakat di puskesmas. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. (2004). Rancangan pedoman peningkatan kinerja perawat di puskesmas. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faria, Catherine. (2009). Nurse practitioner perceptions and experiences of international collaboration physicians in primary health settings.Canada: Thesis Queen;s University. Han, Dongwoon., & Lee, Heejin. (2003). District health information systems in the public sector: health centres in Korea. Logistics Information Management. Vol. 16 pp. 278-285 Leggat, Sandra G., Bartram, Timothy., & Stanton, Pauline. (2011). High performances work systems: the gap between policy and practice in health care reform. Journal of Health Organization and
Management Vol. 25 No. 3 pp. 281-297 Narain, Jai P. (2011). Integrating services for Noncommunicable Diseases Prevention and Control: Use of Primary health care Approach. Indian. Journal of community medicine. Vol.36 pp 567-571 Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nurjanah, Nunung. (2003). Gambaran persepsi pasien terhadap pelayanan kesehatan di puskesmas kecamatan Gambir. Depok: Skripsi FKM-UI. Pusdatin Depkes RI. (2010). “Bank Data Puskesmas”. Style Sheet: http://www.bankdata.depkes.go.id /puskesmas/public/report (diunduh pada 11 Oktober 2013) Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia