PREEKLAMPSIA
I. Definisi Preeklampsia atau toxemia adalah timbulnya hipertensi disertai protein
urine dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Saat ini, edema tidak lagi menjadi suatu tanda yang shahih untuk preeclampsia karena pengkajian edema bersifat subjektif dan dirasa tidak memiliki nilai diagnostik atau prognostik walaupun Higgins dan de Swiet menyatakan bahwa perkembangan cepat edema berat harus selalu diperiksa karena dapat menandakan perkembangan preeklampsia atau kondisi patologis lain seperti penyakit jantung/ginjal. 2. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan
Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan darah dan berdasarkan etiologinya. Berdasarkan tingginya tekanan darah seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya >140/90 mmHg. Untuk pembagian yang lebih rinci, The Joint National Committee on prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure (JNC) , membuat klasifikasi yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Berikut adalah klasifikasi tekanan darah untuk usia 18 tahun atau lebih berdasarkan JNC VII, 2003. Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Usia 18 Tahun atau Lebih Berdasarkan JNC VII, 2003 Klasifikasi
Normal Prehipertensi Hipertensi Tingkat 1 Tingkat 2
Sistol (mmHg) <120 120 – 139 120 – 139
Diastol (mmHg) <80 80 – 80 – 89 89
140 – 140 – 159 159 ≥160
90 – 90 – 99 99 ≥100
1
Adapun klasifikasi hipertensi dalam kehamilan berdasarkan Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia adalah sebagai berikut : Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan berdasarkan Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia Indikasi
Tekanan Darah
Klasifikasi
≥ 140/90 mmHg untuk pertama kalinya Hipertensi Gestasional pada kehamilan
Preeklampsia ringan
Preeklampsia berat Eklampsia Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
Hipertensi kronik
Sindroma HELLP
Protein urine
(-)
Keterangan
Tekanan darah kembali normal < 12 minggu pasca persalinan
≥ 140/90 mmHg ≥ 300mg/24jam atau setelah usia kehamilan dipstik ≥1+ 20 minggu ≥ 140/90 mmHg ≥ 300mg/24jam atau Memiliki salah satu setelah usia kehamilan dipstik dipstik ≥1+ tanda preeklampsia 20 minggu berat Kejang pada preeclampsia disertai koma ≥ 300mg/24jam setelah kehamilan 20 minggu pada wanita hamil yang sudah mengalami hypertensi sebelumnya Sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu ≥ 140/90 mmHg (-) dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan Preeklampsia-eklampsia dengan adanya hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar dan trombositopenia (hemolisis, elevated liver enzyme, low platelet count)
3. Indikator Keparahan Preeklampsia
Preeklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat. Berikut adalah indikator dari keparahan preeklampsia. Tabel 3. 3. Indikator Keparahan Preeklampsia Abnormalitas
Diastolik Sistolik Protein urine Sakit kepala
Preeklampsia Ringan < 110 mmHg ≥ 140 mmHg, tetapi < 160 mmHg ≤ 2+ Tidak ada
Preeklampsia Berat ≥ 110 mmHg ≥ 160 mmHg
≥ 3+ Ada 2
Gangguan visual Upper abdominal pain Oliguria Gangguan hebat (eklampsia) Serum creatinine Thrombositopenia Serum transaminase elevation Pertumbuhan janin terhambat Edema paru – paru atau sianosis Koma
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal Tidak ada Minimal Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Ada Ada Ada Ada Tinggi Ada ( < 100.000/mm 3 ) Terlihat Jelas Ada Ada
4. Etiologi Preeklampsia
Apa yang menjadi penyebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum diketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebabmusabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal – hal berikut : 1. Sebab bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa; 2. Sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan; 3. Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus; 4. Sebab jarangnya terjadi eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya; 5. Sebab timbulnya hipertensi, edema, protein urine, kejang dan koma. 5. Patogenesis Preeklampsia
Menurut Jaffe, pada preeklampsia ada dua tahap perubahan yang mendasari patogenesisnya. Tahap pertama adalah hipoksia plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan
3
dan awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus di plasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta. Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat – zat toksik seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu dan akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif yaitu suatu keadaan
dimana
radikal
bebas
jumlahnya
lebih
dominan
dibandingkan
antioksidan. Stress oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksik yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi endothel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah pada organ – organ penderita preeklampsia. Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat – zat yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan dan angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi. Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ seperti : a.
Pada ginjal terjadi hiperurisemia, protein urine dan gagal ginjal
b.
Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi
4
c.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan edema paru dan edema menyeluruh
d.
Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati
e.
Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati
f.
Pada susunan saraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan, pelepasan retina dan pendarahan.
g.
Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin dan solusio plasenta.
h.
Pada jantung dapat terjadi perubahan degeneratif pada miokardium
6. Faktor yang Meningkatkan Resiko Preeklampsia
Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Diabetes mellitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia. 7. Diagnosis
Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadinya preeklampsia sukar dicegah, namun preeklampsia berat dan eklampsia biasanya dapat dihindarkan dengan mengenal secara dini penyakit itu dan dengan penanganan secara sempurna. Pada umunya diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya 2 dari trias tanda utama: hipertensi, edema, dan protein urine. Hal ini memang berguna untuk
5
kepentingan statistik, tetapi dapat merugikan penderita karena tiap tanda dapat merupakan bahaya kendatipun ditemukan tersendiri. Diagnosis diferensial antara preeklampsia dengan hipertensi menahun atau penyakit ginjal tidak jarang menimbulkan kesukaran. Pada hipertensi menahun adanya tekanan darah yang meninggi sebelum hamil, pada kehamilan muda, atau 6 bulan postpartum akan sangat berguna untuk membuat diagnosis. Pemeriksaan funduskopi juga berguna karena perdarahan dan eksudat jarang ditemukan pada preeklampsia; kelainan tersebut biasanya menunjukkan hipertensi menahun. Untuk diagnosis penyakit ginjal saat timbulnya protein urine banyak menolong; protein urine pada preeklampsia jarang timbul sebelum triwulan ke-3, sedang pada penyakit ginjal timbul lebih dahulu. Test fungsi ginjal juga lebih banyak berguna; pada umumnya fungsi ginjal normal pada preeklampsia ringan. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda – tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Kenaikan tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat dipercaya. Apabila tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 90 mmHg atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan dan muka. Protein urine berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/liter dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1
6
atau 2 + atau 1 g/liter atau lebih dalam air kencing. Biasanya protein urine timbul lebih lambat daripada hipertensi dan kenaikan berat badan; karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius. Terdapatnya protein urine mengubah diagnosis hipertensi dalam kehamilan menjadi preeklampsia. Tabel 4. Pemeriksan Laboratorium (Hematologik, Fungsi hati dan Fungsi Ginjal) No
1
2 3
4
5 6 7
Test Diagnostik
Penjelasan Peningkatan Hb dan Ht berarti : 1. Adanya hemokonsentrasi yang mendukung Hemoglobin dan hematokrit diagnosis preeklampsia 2. Menggambarkan beratnya hipovolemia 3. Nilai ini akan menurun bila terjadi hemolisis Untuk menentukan : Morfologi sel darah merah pada 1. Adanya mikroangiopatik hemolitik anemia apusan darah tepi 2. Morfologi abnormal eritrosit : schizocytosis dan spherocytosis Trombosit Trombositopenia menggambarkan preeklampsia berat Peningkatan manggambarkan : 1. Beratnya hipovolemia Kreatinin serum Asam Urat serum 2. Tanda menurunnya aliran darah ke ginjal Nitrogen Urea Darah (BUN) 3. Oliguria 4. Tanda preeklampsia berat Peningkatan Transaminase serum menggambarkan Transaminase serum preeklampsia berat dengan gangguan fungsi hepar Lactic Acid Dehidrogenase (LDH) Menggambarkan adanya hemolisis Menggambarkan kebocoran endotel dan kemungkinan Albumin serum dan faktor koagulasi koagulopati
8. Penanganan Preeklampsia 8.1 Preeklampsia Ringan
Istirahat di tempat tidur masih merupakan terapi utama untuk penanganan preeklampsia. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal juga lebih banyak, tekanan vena pada ekstrimitas bawah turun dan resorbsi cairan dari daerah tersebut bertambah. Selain itu, juga mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar. Oleh sebab itu, dengan istirahat biasanya tekanan
7
darah turun dan edema berkurang. Pemberian fenobarbital 3 x 30mg sehari akan menenangkan penderita dan dapat juga menurunkan tekanan darah. a. Berikan obat antihipertensi metildopa 3 x 125 mg (dapat ditingkatkan sampai dosis maksimal 1500 mg), nifedipin 3 – 8 x 5 – 10 mg atau pindolol 1 – 3 x 5 mg (dosis maksimal 30 mg). tidak perlu diet rendah garam dan jangan diberi diuretik. b. Bila keadaan ibu membaik, tunggu persalinan sampai aterm. Preeklampsia ringan yang ditemukan pada kehamilan >36 minggu biasanya tidak bermasalah dan prognosisnya baik, sebaliknya preeklampsia berat < 34 minggu akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu, apalagi jika dijumpai penyakit penyerta lainnya. Namun, beberapa kasus preeklampsia ringan tidak membaik dengan penanganan konservatif. Tekanan darah meningkat, retensi cairan dan protein urine bertambah, walaupun penderita istirahat dengan pengobatan medik. Dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur. 8.2 Preeklampsia Berat
Pada dasarnya pengelolaan preeklampsia berat sedapat mungkin dipertahankan kehamilan sampai aterm. Pada kehamilan aterm persalinan pervaginam adalah yang terbaik bila dibandingkan dengan seksio sesarea. Jika perjalanan penyakitnya memburuk dan dijumpai tanda – tanda impending eklampsia, kehamilan harus segera diakhiri tanpa memandang umur kehamilan. Disamping itu pemeriksaan terhadap kesejahteraan janin harus dilakukan secara ketat. Biometri janin, biophisical profil janin harus dievaluasi 2 x
8
seminggu, bila keadaan janin memburuk terminasi kehamilan harus segera dilakukan, tergantung dari keadaan janinnya apakah persalinan dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal. Pada penderita yang masuk rumah sakit sudah dengan tanda – tanda dan gejala – gejala preeklampsia berat segera harus diberi sedatif yang kuat untuk mencegah timbulnya kejang – kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut dapat diatasi, dapat dipikirkan cara yang terbaik untuk menghentikan kehamilan. Tindakan ini perlu untuk mencegah seterusnya bahaya eklampsia. Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat diberikan: 1. Dosis awal MgSO4 2 - 4 gram i.v sebagai larutan 40% selama 5 - 10 menit. 2. Segera dilanjutkan dengan pemberian 10 g larutan MgSO 4 50%, masing masing 5 g dibokong kanan dan kiri secara i.m dalam, ditambah 1 ml lignokain 2% pada semprit yang sama. Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4. 3. Berikan nifedipin 3 – 4 x 10 mg oral. Bila tekanan diastolic belum turun samapai 20%, berikan tambahan 10 mg oral (dosis maksimum 80 mg/hari). Bila tekanan diastolic meningkat
110 mmHg, berikan tambahan
sublingual. Bila sulit dikendalikan, dapat dikombinasi dengan pindolol. 4. Periksa tekanan darah, nadi dan pernapasan tiap jam. Pasang kateter dan kantong urin. Ukur urin setiap 6 jam. Bila <100 ml/4 jam, kurangi dosis MgSO4 menjadi 1 g/jam.
9
9. Pengobatan Medik (Penanganan Konservatif) 9.1 Antikonvulsan
Antiepileptika adalah obat yang dapat menanggulangi serangan epilepsi berkat khasiat antikonvulsifnya, yakni meredakan konvulsi (kejang klonus hebat). Disamping itu, kebanyakan obat juga berdaya sedatif (meredakan). Semua obat antikonvulsan memiliki masa paruh panjang, dieliminasi dengan lambat dan berkumulasi dalam tubuh pada penggunaan kronis. Beberapa wanita mengalami peningkatan tekanan darah bersama dengan protein dalam urin (preeklampsia atau 'toxaemia') dalam kehamilan, dan ini dapat menyebabkan sakit yang cukup besar bagi ibu dan bayi. Penelaahan terhadap pengadilan menemukan bahwa magnesium sulfat lebih efektif dari diazepam dalam mengurangi kematian dan masalah lain bagi perempuan. Obat lain juga telah dibandingkan dengan magnesium sulfat dalam tinjauan lain, magnesium sulfat tetap lebih efektif. Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia dan eklampsia. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat adalah untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kejang. Disamping itu juga untuk mengurangi komplikasi yang terjadi pada ibu dan janin. Cara kerja magnesium sulfat sampai saat ini tidak seluruhnya diketahui, diduga ia bekerja sebagai N-methyl D Aspartate (NDMA) reseptor inhibitor, untuk menghambat masuknya kalsium ke dalam neuron pada sambungan neuro muskuler (neuro musculer junction) ataupun pada susunan saraf pusat. Dengan menurunnya kalsium yang masuk,
10
maka penghantaran impuls akan menurun dan kontraksi otot yang berupa kejang dapat dicegah. Jika MgSO4 tidak tersedia, dapat diberikan diazepam, dengan resiko terjadinya depresi pernapasan neonatal. Dosis tunggal diazepam jarang menimbulkan depresi pernapasan neonatal. Pemberian secara terus menerus secara intravena meningkatkan resiko depresi pernapasan pada bayi yang sudah mengalami iskemia uteroplasental dan persalinan premature. Pengaruh diazepam dapat berlangsung beberapa hari. Diazepam 10 mg i.v pelan – pelan selama 2 menit atau dalam dosis pemeliharaan diazepam 40 mg dalam 500 ml larutan RL per infuse. Pemberian per rektum dilakukan jika i.v tidak mungkin, dengan dosis awal 20 mg dalam semprit 10 ml tanpa jarum. 9.2 Antihipertensi
Hipertensi mungkin dapat diturunkan dengan terapi tanpa obat (non farmakoterapi) atau terapi dengan obat (farmakoterapi). Tujuan pengobatan hipertensi adalah mengurangi morbiditas atau mortalitas kardiovaskular akibat tekanan darah tinggi dengan cara seminimal mungkin mengganggu kualitas hidup pasien. Hal ini dicapai dengan mencapai dan mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg sambil mengendalikan faktor – faktor resiko kardiovaskular lainnya. Strategi untuk menurunkan tekanan darah mungkin paling baik sebagai berikut : a. Terapi tanpa obat b. Terapi diuretik
11
Dosis optimal tiazid untuk terapi hipertensi adalah dosis yang serendah mungkin. Dosis yang lebih tinggi tidak menunjukkan tambahan efek antihipertensi, tetapi menyebabkan lebih banyak efek samping metabolic. Suplemen kalium atau diuretic hemat kalium biasanya tidak diperlukan dalam pengobatan rutin hipertensi, tetapi kadar kalium plasma sebaiknya dicek 3 – 4 minggu setelah pengobatan dimulai. c. Beta bloker Beta bloker digunakan dengan tiazid bila kedua obat tersebut masing – masing tidak efektif. d. Penghambat ACE Dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang cepat terutama pada pasien dengan gagal ginjal atau pasien yang mendapat terapi diuretika. Penghambat ACE harus diberikan dalam dosis awal yang rendah dan bila mungkin terapi diuretika dihentikan selama beberapa hari sebelum terapi penghambat ACE dimulai. e. Kalsium antagonis Menunjukkan efektivitas antihipertensi yang serupa dengan tiazid atau beta bloker. Namun efektivitas jangka panjangnya masih belum terbukti. Karena itu, ada beberapa jenis kalsium antagonis dengan perbedaan – perbedaan penting diantara jenis – jenis tersebut. f. Obat – obat lain Vasodilator (hidralazin, minoksidil), alfa-bloker (prazosin, terazosin, doksazosin), dan obat – obat yang bekerja sentral (metildopa,
12
moksonidin) biasanya dicadangkan bagi pasien yang tekanan darahnya tidak terkendali atau yang menunjukkan kontraindikasi dengan obat – obat yang sudah dibicarakan sebelumnya. 9.2.1 Antihipertensi untuk Preeklampsia
Pada preeklampsia berat, antihipertensi diberikan jika tekanan darah 180/110 mmHg. Tujuan pemberian antihipertensi adalah untuk mencegah terjadinya cardiovaskuler atau cerebrovaskuler dan atau mengurangi kejadian komplikasi akibat tekanan darah tinggi pada si ibu hamil sambil menghindari terapi yang merugikan fetusnya. Penting untuk mengendalikan tekanan darah pada kehamilan. Tekanan darah yang tinggi mungkin disebabkan oleh adanya hipertensi esensial sebelum hamil atau disebabkan oleh preeklampsia. Metildopa oral aman pada kehamilan. Beta bloker efektif dan aman pada trimester ketiga, tetapi dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan intra-uterin bila digunakan pada masa kehamilan yang lebih dini. Injeksi intravena hidralazin dapat digunakan untuk mengendalikan hipertensi krisis. Berikut adalah obat antihipertensi yang dapat digunakan pada preeklampsia. Tabel 5. Obat Antihipertensi untuk Preeklampsia 1.
Jenis Obat Dosis Penghambat adrenergik (adrenolitik) 1.1 Adrenolitik sentral - Metildopa 3 x 125 mg/hari sampai 3 x 500 mg/hari
- Klonidin 1.2 Beta-bloker - Pindolol 1.3 Alfa-bloker - Prazosin 1.4 Alfa dan beta-bloker
3 x 0,1 mg/hari atau 0,30 mg/500 ml glukosa 5% / 6 jam 1 x 5 mg/hari sampai 3 x 10 mg/hari 3 x 1 mg/hari sampai 3 x 5 mg/hari
13
2. 3.
- Labetalol Vasodilator - Hidralazin Antagonis kalsium - Nifedipin
3 x 100 mg/hari 4 x 25 mg/hari atau parenteral 2,5 mg – 5 mg 3 x 10 mg/hari
a. Adrenolitik Sentral
Metildopa
Metildopa merupakan senyawa antihipertensi yang bekerja di pusat.
Senyawa
ini
merupakan prodrug
yang memberikan
kerja
antihipertensinya melalui metabolit aktif. Metildopa merupakan senyawa antihipertensi yang efektif jika diberikan bersama dengan diuretik. Metildopa
lebih
baik
untuk
pengobatan
hipertensi
selama
kehamilan karena efektif dan aman bagi ibu maupun janin. Metildopa mengurangi resistensi perifer tanpa banyak mengubah denyut jantung dan curah jantung. Penurunan tekanan darah mencapai maksimal 6 – 8 jam setelah dosis oral. Dosis terapi yang lazim digunakan adalah 1 – 2 gram/hari secara oral dengan dosis terbagi.
Klonidin
Efek hipotensif dari klonidin disertai dengan penurunan resistensi perifer. Curah jantung mula – mula menurun tetapi kembali ke nilai awal pada pemberian jangka panjang. Dosis maksimum sehari biasanya 1,2 mg. b. Beta – bloker
Obat ini dipakai secara luas pada kehamilan untuk terapi hipertensi. Beta-bloker melintasi plasenta dan mungkin menyebabkan penurunan denyut jantung janin yang tidak berbahaya, tetapi reaktifitas
14
kardiotografi tidak terganggu. Jika terapi dengan atenolol dimulai sebelum umur kehamilan 28 minggu, maka berat badan lahir lebih rendah kalau dihitung menurut umur kehamilan, tetapi tidak ada bukti tentang efek yang menetap pada pertumbuhan bayi. Terapi dengan atenolol, asebutolol dan labetolol telah dikaitkan dengan penurunan insiden protein urine, dan bahkan perbaikan protein urine yang sudah ada sebelumnya. Beta-bloker merupakan obat antihipertensi yang sebanding dengan metildopa serta aman untuk digunakan dalam trimester ketiga atau pada akhir kehamilan. Meskipun tidak satupun beta-bloker yang terbukti lebih unggul; kalau terapi harus dimulai sebelum 28 minggu, metildopa sebaiknya menjadi pilihan pertama, karena penggunaan beta-bloker pada awal kehamilan dapat mengganggu pertumbuhan fetus. c. Alfa-Bloker
Prazosin
Sebagai alfa-bloker, prazosin menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena sehingga jarang menimbulkan takikardi. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan cepat setelah dosis pertama, sehingga harus hati – hati pada pemberian pertama. Untuk pengobatan antihipertensi, alfa-bloker dapat digunakan bersama obat antihipertensi lain.
15
d. Alfa dan Beta-bloker
Labetalol
Obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah labetalol, dapat diberikan peroral atau intravena. Pemberian intravena memperlihatkan efek hipotensif setelah 2 – 5 menit pemberian dan mencapai puncaknya setelah 15 menit. Kerja obat ini dapat berlangsung 4 jam. Obat ini bekerja dengan menurunkan tahanan perifer dan tidak menurunkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. e. Vasodilator
Hidralazin
Hidralazin bekerja secara langsung pada otot polos arteri dengan meningkatkan cGMP intraseluler. Sebelum mendapatkan obat golongan ini, pasien sebelumnya harus diberikan diuretik atau beta-bloker. Hidralazin menyebabkan sindrom seperti lupus yang sifatnya dose-related, dan dapat dihindari dengan pemberian dosis dibawah 200mg. Pada
hipertensi
kehamilan
(preeklampsia),
hidralazin
bisa
diberikan melalui infuse intravena. Akan tetapi, obat intravena jarang dibutuhkan, dan obat oral cenderung digunakan bila memungkinkan. Hidralazin umumnya tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk pengobatan jangka panjang hipertensi. Dosis lazim hidralazin oral adalah 25-100mg, 2 x sehari. Dosis maksimum hidralazin yang direkomendasikan adalah 200mg per hari. Hidralazin telah digunakan secara luas untuk mengobati hipertensi yang terjadi selama kehamilan.
16
f. Antagonis Kalsium
Nifedipin
Antagonis kalsium bekerja dengan cara mengahmbat influks ion kalsium trans- membran, yaitu mengurangi masuknya ion kalsium melalui kanal kalsium lambat ke dalam sel otot polos, otot jantung dan saraf. Obat ini telah terbukti menurunkan tekanan darah pada kehamilan dan mengendalikan hipertensi antenatal dan pascapersalinan. Pada hipertensi berat akut, nifedipin dapat diberikan per oral dan sublingual sebagai alternative terhadap obat parenteral. Obat ini mempunyai mula kerja yang relative cepat. Obat ini juga mempunyai aktifitas tokolitik, melalui relaksasi otot polos uterus, dan nifedipin sudah digunakan untuk maksud ini pada persalinan premature pada wanita normotensi. 9.3 Antioksidan
Preeklampsia dapat terjadi selama kehamilan ketika wanita memiliki tekanan darah tinggi dan protein dalam urin mereka. Dalam beberapa kasus, dapat mengakibatkan pertumbuhan yang buruk bagi bayi dan kelahiran prematur. Ada juga komplikasi serius bagi perempuan, kadang-kadang mempengaruhi hati, ginjal, otak atau sistem pembekuan darah. Baik ibu dan bayi berada pada risiko kematian. Sebuah faktor perkembangan preeklampsia mungkin karena kehadiran jumlah berlebihan zat kimia yang disebut radikal bebas. Preeklampsia sering dihubungkan dengan stress oksidatif. Antioksidan (β carotene, CoQ10, N-Acetylcystein, selenium, lycopene, asam lipoik dan terutama vitamin C dan E) bisa menetralisir radikal bebas.
17
Belakangan juga diteliti manfaat penggunaan antioksidan seperti NAcetylcystein yang diberikan bersama dengan vitamin A, B6, B12, C, E dan berbagai mineral lainya yang nampaknya dapat menurunkan angka kejadian preeklampsia pada kasus resiko tinggi. 10. Penanganan Obstetrik (Penanganan Non Konservatif)
Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal, yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup di luar uterus. Pada penderita yang masuk rumah sakit sudah dengan tanda – tanda dan gejala – gejala preeklampsia berat segera harus diberi sedatif yang kuat untuk mencegah timbulnya kejang – kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut dapat diatasi, dapat dipikirkan cara yang terbaik untuk mengakhirkan kehamilan. Tindakan ini perlu untuk mencegah seterusnya bahaya eklampsia.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknjosastro, H., “Ilmu Kebidanan”, Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2006, hal. 281 – 294. 2. Mansjoer, Arif, dkk, “Kapita Selekta Kedokteran” , Ed. 3, Jil. I, Penerbit Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 1999, hal. 270 – 273. 3. Dharma, Rahajuningsih, dkk., “Disfungsi Endotel Pada Pre-eklampsia. Makara Kesehatan” , Vol. 9, Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 64. 4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo, “Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal” , Ed. 1, Cetakan Ketiga, JNPKKR-POGI dan YBP-SP, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 208 – 213. 5. Alfianna, W., “Gambaran Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Pre-eklampsia/Eklampsia yang dibedah Sesar di Rumkital Marinir Cilandak Periode Januari 2008 – Januari 2010”, Skripsi Sarjana Farmasi, Jurusan Farmasi, ISTN, FMIPA, ISTN, Jakarta, 2010. hal. 6, 21 – 25. 6. Ganiswarna, S.G., “Farmakologi dan Terapi” , Ed. 5, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 341 – 360. 7. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, “Pharmaceutical Care
untuk Penyakit Hipertensi”, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2007. hal. 40 – 59. 8. Williams, “Obstetrics” , 23
rd
Edition, Chapter 34 (Pregnancy Hypertension), United States of America, 2010.
9. Roeshadi, Haryono R., “Upaya Menurunkan Angka kesakitan dan Angka
Kematian Ibu Pada penderita Pre-eklampsia dan Eklampsia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, hal.4-18. 10. Saifuddin, Abdul B., “Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal” , Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo, Jakarta, 2002, hal. M33 - M40. 11. Siregar, T., “Pengobatan Ibu Hamil dengan Preklampsia Berat (PEB)
serta Dampaknya pada Maternal dan Neonatal di RSUPN Cipto
19
Mangunkusumo (Analisis Data Rekam Medik Tahun 2004)” , Tesis Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 2.
12. Tjay, T.H., Rahardja, K., “Obat – Obat Penting”, Ed. 5, Cetakan Pertama, PT.Elex Media Komputindo, Jakarta, 2002, hal. 394, 489. 13. Duley L, Henderson-Smart DJ, “Magnesium Sulfat Versus Diazepam For Eclampsia”, Journal Watch Specialties, 2003. 14. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, “Informatorium Obat Nasional Indonesia” , CV. Sagung Seto, Jakarta, 2000, hal. 47 – 57. 15. Ganiswarna, SG., “Farmakologi dan Terapi”, Ed. 4, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 315 – 342, 714 – 737. 16. Goodman & Gilman, “Dasar Farmakologi Terapi” , Ed. 10, Vol. 1, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, 2008, hal. 845 – 870. 17. Katzung, Bertram G., “Farmakologi Dasar dan Klinik”, Buku 1, Penerbit Salemba Medika, Jakarta, 2001, hal. 277 – 311, 459. 18. Priyanto, B., “Farmakoterapi dan Terminologi Medis” , Penerbit Leskonfi, Jakarta, 2009, hal. 45 – 205. 19. Neal, JM., “At a Glance Farmakologi Medis” , Ed. 5, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006, hal. 37. 20. Sentongo, T., Mascarenhas RM., “Pediatric Clinics of North America” , Vol. 49, Department of Pediatrics, 2002, Pages. 119.
20