Prof. Mr. Dr Soepomo (EYD: Supomo; Sukoharjo, 22 Januari 1903�Jakarta, 12 September 1958) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-undang Dasar 1945, bersama dengan Muhammad Yamin dan Sukarno (lihat Marsillam Simanjuntak, "Pandangan negara integralistik : sumber, unsur, dan riwayatnya dalam persiapan UUD 1945" sebagai acuan tambahan tentang peran Soepomo dalam penyusunan penyusun an UUD 1945). Berasal dari keluarga aristokrat Jawa, kakek Soepomo dari pihak ayah adalah Raden Tumenggung Reksowardono -ketika itu menjabat sebagai Bupati Anom Su koharjodan kakek dari pihak ibu adalah Raden Tumenggung Wirjodiprodjo, Bupati Nayaka Sragen. Sebagai putra keluarga priyayi, Soepomo berkesempatan meneruskan pendidikannya di ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali (1917), MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo (1920), dan menyelesaikan pendidikan tingginya di Bataviasche Rechtshoogeschool di Batavia pada tahun 1923. Ia kemudian ditunjuk sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial yang diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri Sragen (Soegito 1977). Antara tahun 1924 dan 1927 Soepomo mendapat kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Rijskuniversiteit Leiden di Belanda di bawah bimbingan Cornelis van Vollenhoven, profesor hukum yang dikenal sebagai "arsitek" ilmu hukum adat Indonesia. Thesis doktornya yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta) tidak saja mengupas sistem agraria tradisional di Surakarta, tetapi juga secara tajam menganalisis hukum-hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta (Pompe 1993). Ditulis dalam bahasa Belanda, kritik Soepomo atas wacana kolonial tentang proses transisi agraria ini dibungkus dalam bahasa yang halus dan tidak langsung, menggunakan argumen-argumen kolonial sendiri, dan hanya dapat terbaca ketika kita menyadari bahwa subyektifitas Soepomo sangat kental diwarnai etika Jawa (lihat buku Frans Magnis-Suseno "Etika Jawa" dan tulisantulisan Ben Anderson dalam "Language and Power" sebagai tambahan acuan tentang etika Jawa untuk memahami cara pandang dan strategi agency Soepomo.) Hampir tidak ada biografi tentang Soepomo, kecuali satu yang dikerjakan berdasarkan proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977 (Soegito 1977). Simanjuntak berpendapat bahwa Soepomo adalah sumber dari munculnya fasisme di Indonesia. Soepomo mengagumi sistem pemerintahan Jerman dan Jepang. Negara "Orde Baru" ala Jenderal Soeharto adalah bentuk negara yang paling dekat dengan ideal Soepomo. Soepomo meninggal dalam usia muda akibat serangan jantung di Jakarta pada tahun 1958. Beliau dimakamkan di Solo.
“Sekarang tuan-tuan akan membangun negara Indonesia atas aliran pikiran mana?” (Prof. Dr. Soepomo dalam Risalah Sidang BPUPKI, 28 Mei-22 Agustus 1945)
Di Jakarta, hampir sebagian besar orang takkan asing dengan Jalan Profesor Dr. Soepomo. Jalan besar yang terletak antara Tebet dan Pancoran itu merupakan salah satu pusat kemacetan Jakarta saat pagi dan petang. Maklum saja, hampir setiap waktu kawasan itu dilewati oleh jutaan kendaraan bermotor milik warga Jakarta, Depok dan Bogor yang tengah mencari nafkah di Ibu Kota. Tapi, siapakah sebenarnya pemilik nama tersebut? Tak banyak orang tahu. Alih-alih masyarakat biasa, beberapa mahasiswa yang tempat kuliah mereka ada di kawasan tersebut bahkan mengaku tidak tahu-menahu soal nama itu. “Yang jelas, pastinya beliau seorang yang berjasa buat bangsa ini,” ujar Andika, 19 tahun, salah seorang dari mahasiswa tersebut. Tebakan Andika memang seutuhnya benar. Dalam sejarah Indonesia, nama Soepomo selalu dihubungkan dengan Badan Penyelidik untuk Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Itu adalah nama lembaga yang didirikan atas restu pemerintahan militer Jepang di Indonesia pada 1945. Salah satu tugas utamanya adalah merancang undang-undang dasar untuk sebuah Indonesia yang merdeka. Soepomo sendiri lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 22 Januari 1903. Hingga kini, belum ada catatan sejarah lengkap tentang masa kecilnya. Soepomo hanya disebut dibesarkan dalam sebuah keluarga aristokrat Jawa. Itu terlihat dari posisi kakek Soepomo dari pihak ayah (namanya Raden Tumenggung Reksowardono) yang pada waktu pemerintahan Hindia Belanda menjabat sebagai Bupati Anom Sukoharjo. Sedangkan kakek dari pihak ibu Soepomo adalah Raden Tumenggung Wirjodiprojo yang saat itu menjadi Bupati Nayaka Sragen. Sebagai keluarga priyayi, tentunya pendidikan Soepomo sangat terjamin. Berbeda dengan anakanak pribumi pada umumnya, Soepomo mendapat pendidikan yang tingkatannya hanya untuk orang-orang Eropa. Tercatat, Soepomo pernah mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) Boyolali pada 1917, kemudian MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) Solo pada 1920, dan menyelesaikan pendidikan tingginya di Bataviasche Rechtshoogeschool Batavia
pada 1923. Ia kemudian menjadi pegawai negeri yang diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri Sragen. Pada 1924, Soepomo melanjutkan pendidikan ke Rijskuniversiteit Leiden di Belanda. Pendidikan itu dilakukan di bawah bimbingan salah satu profesor hukum adat Indonesia dari Belanda, yaitu Cornelis van Vollenhoven. Soepomo memperoleh gelar doktor pada 1927 dengan disertasi berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta). Disertasi itu mengupas sistem agraria tradisional di Surakarta dan hukum-hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta. Banyak ahli sejarah hukum menyebut tesis Soepomo tersebut tidak saja mengupas habis sistem agraria tradisional di Surakarta, tetapi juga secara tajam menganalisis hukum-hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta. Frans Magnis Suseno bahkan menyebut tulisan Soepomo itu, merupakan bentuk kritik pribadinya atas wacana kolonial terkait proses transisi agraria. “Namun, ia menuliskannya dalam bahasa yang halus dan tidak langsung, menggunakan argumen-argumen kolonial sendiri, dan hanya dapat terbaca ketika kita menyadari bahwa subyektifitas Soepomo sangat kental diwarnai etika Jawa,” tulis Frans Magnis-Suseno dalam Etika Jawa. Sikap kritis Soepomo terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda menjadi modal utama dirinya aktif dalam organisasi pergerakan bangsa. Pada 1928, atas kemauannya sendiri, ia ikut terlibat dalam Kongres Sumpah Pemuda yang kedua di Jakarta. Lewat kegiatan pergerakan itu pula Soepomo dapat berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan lain seperti Soekarno, Hatta, Moh.Yamin dan tokoh-tokoh muda lainnya. Kerjasama erat antara Soepomo dengan tokoh-tokoh pergerakan itu berlanjut hingga ke saat akhir kekuasaan Jepang di Indonesia. Saat itu, kabar Jepang akan memberikan kemerdekaan, mulai merebak. Isu itu semakin santer saat Jepang membentuk Poesat Tenaga Rakjat (kemudian berganti menjadi Djawa Hokokai). Lembaga itu didirikan untuk “mempersiapkan” Indonesia merdeka. Pada 1 Maret 1945, pemerintah militer Jepang mengganti Poetera dengan Badan Penyelidik Untuk Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuan pembentukan badan itu, menurut Jepang, adalah untuk mempelajari hal penting mengenai tata pemerintahan Indonesia yang merdeka. Pemerintah militer Jepang lantas memasukkan nama Soepomo sebagai salah satu anggotanya. “Pendek kata, kami ditunjuk Jepang begitu saja, tanpa jelas alasannya,” kata bekas anggota BPKI, Kiai Haji Masjkur, dalam sebuah wawancara khusus dengan Tempo pada 1989. Sidang pertama BPUPKI berlangsung pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Saat sidang memasuki hari ketiga, Soepomo memperkenalkan tiga teori tentang negara, yang ia uraikan sebagai Teori Individualistik (Barat, yang diilhami para filosof Revolusi Prancis), Teori Golongan (Karl Marx dan Engels), dan Teori Integralistik (Spinoza, Hegel, dan Adam Muller). “Sekarang tuan-tuan
akan membangun negara Indonesia atas aliran pikiran mana?” katanya seperti yang ditulis dalam Risalah Sidang BPUPKI, 28 Mei-22 Agustus 1945. Secara pribadi, ia sendiri menyarankan Teori Integralistik sebagai yang paling cocok untuk Indonesia. “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya, berhubungan erat satu sama lain, dan merupakan persatuan masyarakat yang organis,” katanya. Saran Soepomo didukung oleh Soekarno. Alasannya, Soekarno menilai pada awal pembangunan sebuah negara, diperlukan sebuah pemerintahan dengan pemimpin yang kuat. Pernyataan tersebut didebat oleh Hatta yang menginginkan hak-hak manusia dicantumkan dalam konstitusi. Debat antara para bapak bangsa itu berakhir dengan kompromi. Kendati pendapat Soepomo sebagian besar diambil sebagai landasan pembuatan undang-undang dasar, pendapat Hatta pun tetap diindahkan. Itu terbukti dengan diadakannya pasal 28 UUD 1945. Isinya, menjamin kemerdekaan warga negara untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Pengaruh luar biasa pemikiran Soepomo pada UUD 1945 menjadikan ahli sejarah menyebut ia sebagai otak di balik pembuatan konstitusi pertama Republik Indonesia tersebut. Bisa jadi, karena faktor itu pula, tokoh bangsa yang meninggal pada 12 september 1958 itu didapuk oleh Soekarno sebagai Menteri Kehakiman pertama Republik Indonesia. Dan terakhir namanya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional sekaligus nama jalan yang terkenal sebagai salah satu pusat kemacetan di Jakarta. HAZKALAH
Mr Soepomo, pada tanggal 31 Mei 1945 antara lain dalam pidatonya menyampaikan usulan lima dasar negara, yaitu sebagai berikut : 1. Paham Negara Kesatuan 2. Perhubungan Negara dengan Agama 3. Sistem Badan Permusyawaratan 4. Sosialisasi Negara 5. Hubungan antar Bangsa