PENGARUH MENGUNYAH PERMEN KARET GULA ALKOHOL ( XYLITOL )TERHADAP PEMULIHAN MOTILITAS USUS PADA PASIEN POSTOPERATIVE DENGAN DENGAN GENERAL ANESTES ANESTESII A
Oleh I GEDE BAYU WIRANTIKA NIM. 0902105063
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Konsep pembedahan merupakan suatu tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka dan menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindakan perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka (Sjamsuhidayat & Jong, 2005). Salah pembedahan yang memiliki efek yang signifikan terhadap fisiologis tubuh dan semua sistem organ adalah bedah mayor. Bedah mayor merupakan tindakan pembedahan yang melibatkan organ tubuh secara luas dan mempunyai tingkat resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup klien (Potter & Perry, 2005). Dalam pembedahan mayor dilakukan pemberian anastesi yang terdiri dari dua jenis anastesi yaitu anastesi regional dan anastesi umum. Berdasarkan studi pendahuluan, diperoleh bahwa pasien yang menjalani pembedahan mayor pada bulan Agustus - Oktober 2012 di Instalasi Bedah Sentral (IBS) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar yaitu 1.128 orang dimana 73,1% (825 orang) dengan general anastesi dan 26,9% (303
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Konsep pembedahan merupakan suatu tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka dan menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindakan perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka (Sjamsuhidayat & Jong, 2005). Salah pembedahan yang memiliki efek yang signifikan terhadap fisiologis tubuh dan semua sistem organ adalah bedah mayor. Bedah mayor merupakan tindakan pembedahan yang melibatkan organ tubuh secara luas dan mempunyai tingkat resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup klien (Potter & Perry, 2005). Dalam pembedahan mayor dilakukan pemberian anastesi yang terdiri dari dua jenis anastesi yaitu anastesi regional dan anastesi umum. Berdasarkan studi pendahuluan, diperoleh bahwa pasien yang menjalani pembedahan mayor pada bulan Agustus - Oktober 2012 di Instalasi Bedah Sentral (IBS) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar yaitu 1.128 orang dimana 73,1% (825 orang) dengan general anastesi dan 26,9% (303
orang) dengan anastesi regional. Setelah operasi pasien akan di rawat di ruang perawatan seperti ruang Ratna, ruang Medical Surgical (MS), ruang Gadung. Jumlah pasien yang menjalani perawatan post operasi dari bulan agustus – oktober 2012 di ruang Angsoka RSUP Sanglah Denpasar yaitu 345 orang dimana 68,6 % (237orang) dengan general anestesi dan 31,4 % (108 orang) dengan regional anestesia. Terjadinya efek ketidakstabilan tindakan operasi pada organ tertentu, bersamaan dengan gangguan fungsi tubuh yang penting, karena anestesi bila tidak diketahui, akan merubah gangguan ringan menjadi komplikasi berat seperti syok, perdarahan, trombosis vena prufunda, retensi urine, infeksi luka operasi, sepsis, embolisme pulmonal, post pulmonal, post operatif ileus (POI) ileus (POI) hingga kematian (Majid,2011). Kematian akibat anestesi persentasenya sebanyak 2% dari seluruh angka kematian operasi dan dapat dibagi dalam empat kategori utama diantara
lain
ketidakmampuan
hipovolemia untuk
karena
pengurangan
mempertahankan
jalan
cairan
dan
pernapasan,
darah, termasuk
komplikasi intubasi, pengawasan dan perawatan yang tidak optimal setelah operasi dan gangguan pernapasan atau relaksan otot (Sabiston, 1992). Masalah yang sering dijumpai dalam penggunaan general anestesi pada pembedahan mayor yaitu postoperative ileus (POI). Postoperatif ileus yaitu hilangnya aktivitas daya dorong saluran cerna untuk sementara yang diikuti
dengan gejala nyeri abdomen, abdomen tegang, konstipasi, mual muntah dan dehidrasi (Papaconstation, 2005). Hal ini terjadi akibat, pembedahan abdomen, trauma atau kerusakan neorologis dan stress operasi. Respon tubuh terhadap stres operasi sangat berperan penting terhadap sistem endokrin, inflamatory mediator merangsang pengeluaran immunohistochemistry yang kerjanya berlawanan terhadap neurotransmiter motilitas saluran cerna (Otah, 2005). Ileus merupakan salah satu gangguan gastrointestinal. Ileus yang terjadi secara fisiologis pulih dalam 2 hari post operasi atau 24 – 48 jam yang ditandai dengan abdomen lemas, toleransi terhadap diet. Ileus ini berkurang seiring dengan penurunan efektivitas obat, mobilisasi dan diet bertahap. Ileus yang terjadi dibagi menjadi dua yaitu ileus sedang yang ditandai dengan anoreksia, perut terasa kembung/kram/nyeri, timpani, mual muntah tidak terus menrus. Ileus berat ditandai dengan perut tegang, mual muntah lebih dari tiga kali dalam 24 jam, tidak flatus, tidak ada motilitas usus, intoleransi terhadap cairan dan perlu dipasang nasogastrik tube (Nainggolan, 2006). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap pasien postoperative di ruang Angsoka 1 dan 3 dari 7 orang pasien dengan pembedahan mayor dengan general anestesi diperoleh rata – rata 10,33 jam pasien bisa kembali makan per oral postoperative dengan kisaran waktu dari 712 jam. Selama perawatan pasien diberikan intruksi untuk ambulasi dini dan
Range Of Motion (ROM). Pasien sudah diperbolehkan untuk makan apabila perut pasien sudah berbunyi dan pasien sudah flatus. Karena itu pasien sering mengeluh karena harus menunggu waktu yang lama untuk dapat makan dan minum, sehingga pasien menanggung rasa lapar dan haus yang cukup lama. Dampak negatif yang lain dari semakin lamanya pasien tidak terpenuhinya asupan makanan dan nutrisi adalah pemulihan kesegaran dan kebugaran pasien semakin lama, dan ini akan berakibat lama perawatan semakin lama. Waktu perawatan/ Length of stay (LOS) merupakan salah satu indikator penilaian dalam akreditasi sebuah rumah sakit. Semakin lama length of stay maka penilaian terhadap rumah sakit tersebut semakin buruk. Dampak negatif lain yang diakibatkan lamanya pemulihan pasien pasca operasi, menyebabkan pasien harus
berlama - lama dalam posisi tirah baring
(Windiarto, 2011). Intervensi yang bisa diberikan kepada pasien pasca pembedahan untuk mempercepat pemulihan motilitas antara lain Nasogastrik (NG) intubasi, NG telah digunakan selama lebih dari 50 tahun sebagai tindakan yang mendukung pemulihan motilitas usus setelah operasi abdomen. Namun, studi terbaru menunjukkan selang (NG) tidak harus secara rutin dipasang setelah operasi abdomen. Karena pemasangan selang NG akan meningkatkan insiden komplikasi paru termasuk pneumonia, atelektasis dan demam (Kehlet, 2008).
Selain itu, ambulasi dini pascaoperasi merupakan intervensi yang bias diberikan pada pasien postoperative. Ambulasi dini memiliki peran kecil hingga tidak berarti dalam pemulihan Postoperative ileus, meskipun memiliki kegunaan dalam pencegahan atelektasis, pneumonia, dan trombisis vena dalam. Saat dilakukan evaluasi secara spesifik untuk mengetahui perbedaan aktivitas fisik setelah operasi besar abdomen, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam pengembalian fungsi usus pada pasien, dapat dibuktikan dari tingkat aktivitas fisik pada pasien yang mendapatkan cara perawatan yang berbeda (Bailey, 2010). Salah satu intervensi sederhana adalah sham feeding yaitu suatu metode yang digunakan untuk merangsang fase sekresi lambung dengan cara makan atau mengunyah makanan tetapi makanan yang dikunyah tersebut tidak sampai ditelan (Golonka, 2008) Beberapa peneliti baru-baru ini mengevaluasi permen karet sebagai sham
feeding , terutama,
mengunyah
permen
karet
setelah
kolektomi
laparoskopi yang dikaitkan dengan flatus lebih cepat, buang air besar lebih awal, dan meninggalkan rumah sakit lebih cepat (Harma, 2009). Permen karet dipilih sebagai alternatif untuk menstimulasi saluran pencernaan bagian bawah dengan cara mengunyah permen karet tersebut (Nainggolan, 2006; Barclay & vega, 2006).
Hasil penelitian menunjukan bahwa mengunyah permen karet aman dan dapat meningkatkan motilitas saluran cerna dengan cara mengendalikan aktivitas cephalic reflek vagal yang diikuti peningkatan produksi hormon – hormon pencernaan pada saluran cerna sehingga mengaktifkan saluran cerna. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Miranda K.Y (2007) pada kasus operasi kolerektal dengan menggunakan 158 pasien dengan kontrol atau tanpa pemberian permen karet dan 78 pasien diberikan permen karet dan 80 orang diberikan standar perawatan post operasi untuk operasi colerektal. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu penggunaan mengunyah permen karet pada pasien post operasi adalah metode yang aman dan mampu merangsang motilitas usus serta mengurangi kejadian ileus setelah operasi k olerektal. Selain itu pada Harma (2009) dengan judul penelitian Gum-chewing speeds return of first bowel sounds but not first defecation after cesarean section. Hasil dari penelitian ini yaitu pasien yang mengunyah permen karet dengan permen gula tersubstitusi yaitu 4,3 – 8,3 jam, permen karet bebas gula 10,7 – 6,9 jam dan kelompok yang tidak diberikan mengunyah permen karet 10,2 – 12,2 jam Salah satu jenis permen karet yaitu Xylitol. Xylitol merupakan gula alkohol atau gula polialkohol tipe pentitol karena didalam molekulnya, xylitol mengandung lima rantai atom karbon atau lima golongan hidroksil . Xylitol
dimetabolisme di hati dan dikonversikan menjadi D-xylulose dan glukosa oleh polyol dehydrogenase (Khairunissa, 2010). Permen karet dengan Xylitol merupakan pemanis yang aman bagi penderita diabetes dan hiperglikemia, sehingga banyak digunakan. Xylitol diabsobsi lebih lambat daripada gula biasa karena memiliki indeks glikemik yang sangat rendah yaitu 7, sedangkan gula memiliki indeks glikemik sampai 90 dan dilepaskan ke dalam darah 13 kali lebih cepat dibanding xylitol . Hal ini menyebabkan xylitol tidak memberi kontribusi terhadap meningkatnya gula darah dan juga tidak memberi efek hiperglikemik yang disebabkan respon insulin yang tidak cukup (Rachima, 2008). Berdasarkan fenomena ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh mengunyah permen karet gula alkohol terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general anestesia, karena sepanjang pengetahuan peneliti diindonesia khususnya di RSUP Sanglah Denpasar belum ada penelitian mengenai pengaruh mengunyah permen karet gula alkohol ( xylitol ) terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general anestesi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah di atas didapatkan rumusan masalah; Adakah pengaruh mengunyah permen karet gula alkohol (xylitol) terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general anestesi ?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh mengunyah permen karet terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi 2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi nilai motilitas usus pre pada pasien post operasi pada kelompok kontrol yang tidak diberikan permen karet xylitol b. Mengidentifikasi nilai motilitas usus pre pada pasien post operasi pada kelompok experimen yang diberikan permen karet xylitol c. Mengidentifikasi nilai motilitas usus post pada pasien post operasi pada kelompok kontrol yang tidak diberikan permen karet xylitol d. Mengidentifikasi nilai motilitas
post pada pasien post operasi pada
kelompok experimen yang diberikan permen karet xylitol e. Menganalisis pengaruh mengunyah permen karet terhadap pemulihan peristaltik usus pasien post operasi
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh perawat untuk melakukan modifikasi tindakan pada pasien post operasi, sehingga kejadian post operative ileus tidak terjadi. 2. Manfaat Teoritis
a.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka terutama dalam bidang keperawatan perioperatif, sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya.
b.
Diharapkan hasil penelitian ini menjadi intervensi yang bisa diaplikasikan untuk perawatan pasien post operasi terutama pada pasien dengan general anestesia.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan telaah literatur, penelitian yang berkaitan dengan judul dari penelitian ini adalah ; 1. Nainggolan, (2006). Efektivitas Mengunyah Permen Karet terhadap Motilitas Saluran Cerna Pada Ibu Post Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal .Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan rata rata frekuensi motilitas usus diantara kedua kelompok setelah mengunyah permen karet(p=0,00,<0,05). Baik pada kelompok perlakuan maupun
kelompok kontrol tidak ditemukan kejadian mual/muntah dan kembung setelah intervensi, namun demikian pada kelompok perlakuan kejadian mual muntah lebih cepat hilang satu jam. Mengunyah permen karet juga memberi efek flatus lebih cepat (13,5%) dibandingkan dengan yang tidak mengunyah permen karet. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengunyah permen karet dapat meningkatkan motilitas saluran cerna. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk memotivasi klien post operasi unutk mengunyah permen karet karena mengunyah permen karet efektif dalam meningkatkan motilitas saluran cerna dan mengunyah permen karet praktis, mudah ditoleransi, dan aman. 2.
Miranda K.Y (2007) Use of Chewing Gum in Reducing Postoperative Ileus After
Elective
Colorectal
Resection.
Tujuan
dari
penelitian
ini
membandingkan penambahan mengunyah permen karet untuk perawatan pasca operasi standar untuk mempersingkat ileus pasca operasi. penelitian ini dirancang untuk melakukan peninjauan secara sistematis terhadap semua yang relevan percobaan pada permen karet untuk mengurangi ileus pasca operasi setelah kolorektal reseksi. Metode penelitian ini
semua
percobaan yang membandingkan penggunaan tambahan permen karet dengan standar manajemen pasca operasi. Hasil : Lima acak, terkontrol dengan 158 (94 laki-laki) pasien dengan usia rata-rata 61,9 tahun
dilibatkan. Tujuh puluh delapan pasien menerima penambahan permen karet dan 80 memiliki standar pasca operasi perawatan untuk reseksi kolorektal. Kesimpulan dari penelitian ini mengunyah permen karet pada periode pasca operasi adalah metode yang aman untuk merangsang motilitas usus dan mengurangi ileus setelah kolorektal operasi 3.
Harma (2009) Gum-chewing speeds return of first bowel sounds but not first defecation after cesarean section. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi dari mengunyah permen karet untuk pemulihan motilitas usus pada pasien operasi cesarean dengan general anestesi. Pada penelitian kelompok eksperiment diberikan mengunyah permen karet selama 15 tiap 2 jam. Hasil dari penelitian ini yaitu pasien yang mengunyah permen karet dengan permen gula tersubstitusi yaitu 4,3 – 8,3 jam, permen karet bebas gula 10,7 – 6,9 jam dan kelompok yang tidak diberikan mengunyah permen karet 10,2 – 12,2 jam
4.
Barclay & Vega (2006). Pada operasi terbuka reseksi kolon atau open sigmoidresegtions didapatkam kelompok perlakuan dengan mengunyah permen karet flatus lebih cepat dari pada kelompok kontrol (63.4 dibanding 80.2 jam; p = 0,05), gerakan pertama motilitas saluran cerna (63.2 dibanding 89,4 jam;p = 0,04), lama hari rawat (4.3 dibanding 6.8 hari; p = 0,01), rasa lapar (63.5 dibanding 72.8; p = 0,27). Permen karet dikunyah 3
kali sehari selama satu jam, dikunyah pertama kali pada hari pertama post operasi sampai di ijinkan pulang dari rumah sakit.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perioperatif
Istilah perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan yaitu preoperatif, intraoperatif dan postoperatif (Majid, 2011). 1.
Preoperatif
a.
Pengertian Preoperatif merupakan fase awalan yang menjadi landasan kesuksesan
tahapan – tahapan berikutnya. Kesalahan yang dilakukan pada tahap ini akan berakibat fatal pada tahap berikutnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian secara integral dan komprehensif dari aspek fisiologis pasien yang meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi Pada tahap ini tugas seorang tenaga keperawatan dapat memberikan sugesti positif unutk menurunkan kecemasan pasien menjelang operasi (Majid, 2011). b.
Faktor Risiko Pembedahan Menurut Potter dan Perry (2005), faktor resiko terhadap pembedahan
antara lain: nutrisi, penyakit, kronis, merokok, alkohol dan obat-obatan dan usia. Faktor yang termasuk kedalam penelitian ini yaitu usia.
Faktor usia merupakan factor yang terkait dalam penelitian ini. Pasien dengan usia yang terlalu muda (bayi/anak-anak) kategori masa kanak-kanak dari umur 5 - 11 tahun dan usia lanjut masa lansia awal dimalai dari usia 4655 tahun, mempunyai resiko lebih besar. Hal ini diakibatkan cadangan fisiologis pada usia tua sudah sangat menurun, sedangkan pada bayi dan anakanak disebabkan oleh karena belum maturnya semua fungsi organ. c. Tipe Pembedahan menurut Potter & Perry (2005) 1) Menurut fungsinya (tujuannya) a) Diagnostik Pembedahan explorasi untuk memperkuat diagnosis tenaga kesehatan seperti pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan diagnostic lebih lanjut. Pembedahan diagnostic ini meliputi: laparatomi eksplorasi dan biosi. b) Kuratif (ablatif) Pemebedahan dengan tujuan untuk eksis atau pengankatan bagian tubuh yang menderita penyakit. Pemebedahan secra ablative meliputi: amputasi, pengangkatan appendiks dan kolesistektomi c) Paliatif Suatu klasifikasi pembedahan yang menghilangkan atau mengurangi intensitas gejala penyakit dimana tindakan pembedahan yang dilakukan tidak
akan menyembukan penyakit seperti: kolostomi, debridement jaringan nekrotik dan reseksi serabut saraf. d) Rekonstruktif Tindakan untuk mengembalikan fungsi atau penampilan jaringan yang engalami trauma atau malfungsi, contohnya: fiksasi internal pada fraktur dan perbaikan jaringan perut. e) Konstrukstif Merupakan tindakan pembedahan dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi organ yang hilang atau berkurang akibat anomalia kongengital seperti: memperbaiki bibir sumbing dan penutupan defek katup atrium jantung. f) Transplantasi Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengganti organ atau struktur yang mengalami malfungsi contohnya: transplantasi ginjal, kornea, hati dan penggantian pinggul total. 2) Menurut tingkat urgensinya : a) Darurat Tindakan
pembedahan
yang
harus
dilakukan
segera
untuk
menyelamatkan jiwa atau mempertahankan fungsi bagian tubuh, seperti memperbaiki perforasi appendiks, memperbaiki amputasi traumatik dan mengontrol perdarahan internal.
b) Gawat Tindakan yang perlu unutk kesehatan pasien, dapat mencegah timbulmnya masalah tambahan seperti destruksi jaringan atau fungsi organ yang terganggu eksisis tumor ganas, pengankatan batu kandung empedu bypass arteri koroner. Tindakan ini tidak harus selalu besifat darurat c) Elektif Tindakan pembedahan yang dilakukan berdasarkan pada pilihan tidak penting dan mungkin tidak dibutuhkan unutk kesehatan pasien, seperti: bunionektomi, operasi plastic wajah, perbaikan hernia dan rekontruksi payudara. 3) Menurut Luas atau Tingkat Resiko : a) Mayor Operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan mempunyai tingkat resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup klien. Contohnya: bypass arteri koroner, reseksi kolon, pengankatan laring dan reseksi lobus paru. b) Minor Tindakan pembedahan yang melibatkan perubahan yang kecil pada bagian tubuh, sering dilakukan untuk memperbaiki deformitas seperti, ekstraksi katarak, operasi plastic wajah, graf kulit dam ekstraksi gigi.
d.
Pemeriksaan Status Anestesi Pemeriksaan status fisik pembiusan dilakukan untuk memastikan
keselamatan pasien selama pembedahan, pasien akan megalami pemeriksaan status fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko pembiusan terhadap diri pasien. Pemeriksaan yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode ASA (american society of anasthesiologist). Karena pemriksaan ini dilakukan karena obat dan teknik anestesi akan mengganggu fungsi pernafasan, peredaran darah, dan sistem saraf (Majid, 2011). Pemeriksaan status fisik pasien sebelum dilakukan pembedahan berdasarkan metode ASA (SK Kemenkes No. 779/Menkes/SK/VIII/2008), yaitu: 1) ASA 1 Pasien – pasien yang tidak mempunyai penyakit sistemik. Contoh : seorang laki – laki sehat menjalani herniotomi. Angka kematiannya 0,05% 2) ASA 2 Pasien – pasien yang menderita penyakit sistemik ringan atau sedang, karena alasan medik atau kelainan yang perlu pembedahan. Contoh : pasien diabetes dengan pengobatan oral, tetapi tidak ada penyulit organ lain. Angka kematiannya : 0,4% 3) ASA 3
Pasien – pasien yang mederita penyakit sistemik yang membatasi aktivitasnya. Contoh : pasien dengan infark jantung, dengan angina pektoris yang harus dikelola dengan perawatan medis. Angka kematiannya: 4,5% 4) ASA 4 Pasien – pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa. Contoh : pasien dengan gagal jantung berat yang hanya dapat berjalan beberapa meter. Angka kematiannya : 25% 5) ASA 5 Pasien – pasien moribund yang 50% akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau tanpa pembedahan. Contoh: pasien ileus strangulasi dengan anuria,koma, tekanan darah 70/40 mmhg dengan pemberian infus dopamin. Untuk pasien dengan pembedahan darurat ditambahkan kode D. Angka kematian pada asa 5 yaitu 50%. 2.
Intra Operatif
a.
Pengertian Keperawatan intra operasi merupakan bagian dari tahap keperawatan
perioperatif. Aktivitas ini dilakukan oleh perawat di ruang operasi yang berfokus pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan untuk perbaikan, koreksi atau menghilangkan masalah-masalah fisik yang mengganggu pasien (Majid, 2011).
b.
Teknik Anestesi
1) Anestetika lokal Anestesi local atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls-impuls saraf ke SSP (Tjay, 2002). Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal menggangu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi dari beberapa impuls (Siahaan, 2000). Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obatobatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak (Yuni, 2012). 2) Anestesi Regional Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok sentral dan blok perifer. Blok Sentral (Blok Neuroaksial). Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal, Epidural dan Kaudal (Yuni, 2012). a) Anestesi Spinal Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal antara
lain jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Yuni, 2012). b) Anestesi Epidural Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat pada ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan dan di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori dermatom kulit (Siahaan, 2000). Ruang epidural berada di antara durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum dan dibawah dengan selaput sakrogliseal. Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu pasien (Latief, 2001). c) Anestesi Kaudal Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena ruang kaudal adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutupi oleh ligamentum sakrogsigeal tanpa tulang yang analog dengan ligamentum supraspinosum dan
ligamentum interspinosum. Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura (Latief, 2001). d) Blok Perifer (Blok Saraf) Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena. Anestesi regional intravena dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit. Melalui cara ini saraf yang dituju langsung saraf bagian proksimal. Sehingga daerah yang dipersarafi akan teranestesi misalnya pada tindakan operasi di lengan bawah memblok saraf brakialis. Untuk melakukan anetesi blok perifer harus dipahami anatomi dan daerah persarafan yang bersangkutan (Yuni, 2012). 3) Anestesi Umum Anestesia umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara general yang diikuti dengan kehilangan kesedaran yang bersifat reversible. reversible. Komponen anestesia yang ideal terdiri dari, hipnotik, analgesia dan relaksan otot (Latief, 2001) a) Metode anestesi dilihan dari pemberian obat anestesi an estesi menurut Latief (2001) 1) Parenteral Anestesi umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun intra muscular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi
anesthesia. Obat yang umum digunakan adalah tipental. Kecualai untuk kasus – kasus – kasus tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam dan lain lain. Untuk tindakan yang lama biasanya dikombinakasikan dengan anestesika lainnya. 2) Perinhalasi Anestesi inhalasi adalah anesthesia dengan menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika melalui udara pernafasan. Zat anestetika yang dipergubakan berupa suatu campuran gas (dengan campuran oksigen) dan konsentrasi zat
anestetika tersebut
tergantungdari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak menentukan kekuatan daya anesthesia, zat anestetika disebut kuat bila dengan tekanan parsial rendah sudah mampu memberikan anesthesia yang adekuat. b) Tanda dan Stadium Anestesi menurut Mangku dan Tjokorda (2009) Banyak tanda-tanda anestesi ini menunjuk pada efek obat anestetik pernafasan, aktivitas reflex, dan tonus otot. Secara tradisional, efek anestesi dapat dibagi ke dalam empat stadium peningkatan dalamnya depresi susunan sraf pusat. 1) Stadium analgesi Pada stadium awal ini pasien mengalami analgesi tanpa disertai kehilangan kesadaran. Pada tahap akhir stadium I baru didapatkan amnesia dan analgesi.
2) Stadium eksitasi Pada stadium ini penderita tampak delirium dan gelisah, tetapi kehilangan kesadaran. Volume dan kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat terjadi mual dan muntah. Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi. Karena itu harus membatasi lama dan berat stadium ini, yang ditandai dengan kembalinya pernafasan secara teratur. 3) Stadium operasi Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur dan berlanjut sampai berhentinya pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium ini yang digambarkan dengan perubahan pergerakan mata, reflex mata, dan ukuran pupil, yang dalam keadaan tertentu dapat merupakan tanda peningkatan dalamnya anestesi. 4) Stadium depresi medulla oblongata Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk ke dalam stadium IV. Pada stadium ini akan terjadi depresi berat pusat pernafasan di medulla oblongata dan pusat vasomotor. Tanpa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal. Teknik anastesi umum menurut Mangku (2000):
c) Anestesi umum intravena Merupakan salah satu teknik anestesia umum yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesia parentral langsung ke dalam pembuluh darah melalui jalur intravena obat yang diberikan berkhasiat sebagai hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah masuk kedalam pembuluh darah vena, obat – obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju ke target organ masing – masing dan akhirnya di ekskresikan, sesuai dengan farmakokinetiknya masing – masing (Mangku dan Tjokorda, 2009). Menurut Miller (2009), Anestesi intravena bekerja pada reseptor γ asam aminobutyric
di hipokampus yang menghambat pelepasan acetylcholine di
hipokampus dan korteks prefrontal. Sistem α2 adrenoreceptor juga bereperan secera tidak lansung dalam efek sedative dari anestesi intravena. Anestesi intravena menghambat reseptor glutamate subtype N methyl D asparta tersebar luas, melalui modulasi sodium chanel ( gating ), sebuah proses yang mungkin juga terkontribusi ke efek system saraf pusat. Obat-obat anestetika intravena dan khasiat anestesinya : Beberapa variasi anestesi intravena
1) Anestesi intravena klasik Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif misalnya : diazepam, midazolam atau dehidro benzperidol. Komponen trias anestesi yang dipenuhi dengan teknik ini adalah hipnotik dan anestesi. Penyulit : Berhubungan dengan efek farmakologi obat ketamin hidroklorida. 2) Anestesi intravena total Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat hipnotik, analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias anestesi yang dipenuhinya adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Penyulit : Berhubungan dengan efek samping obat dan pemasangan pipa enditrakea (PET). 3) Anestesi/analgesia neurolept Pemakaian kombinasi obat neuroleptik dengan analgetik opiat secara intravena.Komponen trias anestesi yang dipenuhinya adalah sedasi atau hipnotik ringan dan analgesia ringan. Komponen yang lazim adalah dehidrobenzperidol dengan fentanil. Apabila tidak ada fentanil dapat digunakan petidin atau morfin. Penyulit : Berhubungan dengan efek samping obat. b. Anestesi umum inhalasi Merupakan salah satu teknik anastesi umum yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau
cairan yang mudah menguap melalui alat/mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Campuran gas atau uap obat anesthesia dan oksigen masuk mengikuti aliran udara inspirasi, mengisi seluruh rongga paru, selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler varu sesuai dengan sifat disik masing masing gas. Konsentrasi minimal fraksi gas atau uap obat anesthesia di dalam alveoli yang sudah menimbulkan efek analgesia pada pasien, dipakai sebagai potensi dari obat anesthesia inhalasi yang disebut dengan minimal alveolar consentration (MAC) (Mangku dan Tjokorda, 2009). Teknik anestesi umum inhalasi 1) Inhalasi sungkup muka. Pemakaian salah satu kombinasi obat diantara N2O+Halotan atau N20+Isofluran atau N2O+Enfluran atau N2O+Sevofluran secara inhalasi melalui sungkup muka dengan pola nafas spontan. Komponen trias anestesi yang dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot ringan. Penyulit: berhubungan dengan efek samping obat dan risiko sumbatan jalan nafas atas. 2) Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas spontan. Pemakaian salah satu kombinasi obat-obatan seperti (N2O+Halotan atau N2O+Isofluran atau N2O+Enfluran atau N2O+Sevofluran) secarainhalasi melalui PET dan dengan pola nafas spontan. Komponen trias anestesi yang
dipenuhinya adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot (ringan).Penyulit : Berhubungan dengan efek samping obat dan pemasangan PET. 3) Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas kendali. Pemakaian salah satu kombinasi obat-obatan seperti (N2O+Halotan atau N2O+Isofluran atau N2O+Enfluran atau N2O+Sevofluran) secara inhalasi melalui PET dan pemakaian obat pelumpuh otot non depolarisasi, selanjutnya dilakukan nafas kendali. Komponen trias anestesi yang dipenuhinya adalah hipnotik, analgesi dan relaksasi otot. Penyulit : Berhubungan dengan efek samping obat, pemasangan PET dan ventilasi mekanik. c. Anestesi imbang Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obatobatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu : 1)
Efek hypnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain.
2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiate atau obat anestesi umum atau dengan cara analgesia regional. 3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau obat anestesi umum atau dengan cara analgesia regional.
Penyulit : Berhubungan dengan efek samping obat, pemasangan PET dan ventilasi mekanik. 2.
Post Operatif
Keperawatan post operatif adalah periode akhir dari keperawatan perioperatif. Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada upaya untuk menstabilkan kondisi pasien pada keadaan keseimbangan fisiologis pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan pada fase pasca operasi disarankan untuk mengantisipasi dan mencegah masalah yang kemungkinan muncul pada tahap ini. Pengkajian dan intervensi yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah komplikasi yang dapat memperpanjang lama perawatan di rumah sakit atau membahayakan diri pasien (Majid, 2011) a. Perawatan pasien post operatif Perawatan pasien pasca operasi meliputi beberapa tahapan, diantaranya pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca operasi. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau unit perawatan pasca operasi memerlukan pertimbangan – pertimbangan khusus. Pertimbangan itu diantaranya adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan pemajanan. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien
pasca bedah dipindahkan. Hipotensi arteri yang seius dapat terjadi ketika pasien digerakan dari satu posisi ke posisi lainnya (Majid, 2011). b.
Komplikasi Menurut Majid (2011), komplikasi post operatif yaitu : syok,
perdarahan, trombosis vena prufunda, retensi urine, infeksi luka operasi, sepsis, embolisme pulmonal dan komplikasi yang terkait dengan penelitian ini adalah komplikasi gastrointestinal. Anestesi memeperlambat motiltas gastrointestinal dan menyebabkan mual. Normalnya, selama tahap pemulihan segera setelah pembedahan , motilitas usus terdengar lemah atau hilang pada keempat empat kuadran. (Potter & Perry, 2005). Frekuensi motilitas usus normal antara 5 – 35x/menit tidak teratur (Nainggolan, 2006). Frekuensi motilitas usus dikategorikan tiga bagian menjadi: normal 5 – 12x/menit, kurang dari 5x/menit hypoperistaltik, lebih dari 12x/menit hyperperistaltik, aperistaltik tidak adanya bising usus selama 3 – 5 menit (Smeltzer & Bare, 2004). Adanya motilitas usus kembali normal saat terdengarnya suara seperti berkumur yang nyaring sebanyak 5 sampai 30 kali per menit pada setiap kuadran abdomen menunjukan bahawa motilitas telah kembali normal. Bunyi gemirincing bernada tinggi yang disertai dengan distensi abdomenmenunjukan usus belum berfungsi dengan baik. Pada pasien yang menjalani pembedahan pada abdomen, distensi terjadi jika pasien
mengalami perdaran internal. Distensi juga terjadi pasa pasien yang mengalami ileus paralitik akibat pembedahan pada bagian usus (Potter & Perry, 2005). Manipulasi
pembedahan terhadap usus mengakibatkan penurunan
motilitas usus dari beberapa mekanisme berbeda. Diantaranya
respon
neurogenik, inflamasi dan respon hormonal terhadap stres. Pertama reflek neural dari sistem simpatik menyebabkan hambatan pada motilitas intestinal. Studi pada hewan ditemukan hambatan konduksi saraf pada saraf spanchic (saraf thorakal 5- 12 yang mempersarafi abdomen) meningkatkan motilitas intestinal. Riset juga mengindikasikan penurunan ileus dalam penggunaan epidural kateter dalam anestesi. (Leier, 2007) Kedua, respon inflamasi lokal telah terdokumentasi pada manipulasi bedah langsung pada intestinal yang mungkin menghalangi motilitas gastrik. Pada
studi
tersebut
ditemukan
akumulasi
sel
inflamasi,
terutama
polymorphonuclear neutrophils, ada pada otot jejenum, dimana secara teori menyebabkan dispungsi otot. Cytokinin pada kolon menyebabkan reaksi yang sama. Terakhir, respon hormonal termasuk cortikotropin relasing faktor bersama dengan calcitonin genereted peptide, prostaniods subtansi P , vasoaktif intestinal peptid dan asam nitrat secara teori sebagai unsur utama yang menyebabkan ileus pasca operasi. Interaksi dari mekanisme saraf dan hormonal
ini tidak dimengerti secara jelas tetapi dapat memperpanjang ileus pasca operasi (Leier, 2007). B. Permen Karet Gula Alkohol ( Xylitol ) 1. Pengertian
Permen karet berasal dari Amerika, terbuat dari getah pohon damar atau gliserin yang ditambah larutan gula, peppermint dan bahan lainnya, kemudian diaduk dan dipress. (Yantao, 2010). Permen karet (chewing gum) merupakan produk makanan ringan yang pada dasarnya terbuat dari lateks alami atau karet sintetis yang dikenal dengan nama poliisobutilen. Permen karet tersedia dalam berbagai jenis rasa, misalnya mint, wintergreen, cinnamon, dan buah-buahan. (Ayuningtyas, 2010) Permen karet Xylitol adalah gula alkohol atau gula polialkohol tipe pentitol karena didalam molekulnya, xylitol mengandung lima rantai atom karbon atau lima golongan hidroksil. Xylitol dimetabolisme di hati dan dikonversikan menjadi D-xylulose dan glukosa oleh polyol dehydrogenase (Khairunissa, 2008). Xylitol mempunyai atom karbon yang lebih pendek daripada pemanis lainnya, antara lain sorbitol, fruktosa, dan glukosa. Atom karbon pada xylitol membuat bakteri pathogen seperti Streptococcus mutans tidak dapat mengkonsumsinya, yang menyebabkan bakteri-bakteri ini gagal berproliferasi (Fatiharani, 2008). Xylitol yang memiliki kalori yang rendah (2.4
kalori/gram dibanding dengan sukrosa yang mencapai 4 kalori/gram) sangat bermanfaat sebagai pemanis makanan/minuman bagi penderita diabetes. Gula langka ini juga bermanfaat mencegah karang gigi dan karies. Hal ini dikarenakan keberadaan xylitol akan menekan pertumbuhan bakteri di dalam mulut yang kebanyakan mengonsumsi glukosa sebagai bahan makanan mereka, sehingga bakteri tersebut tidak dapat berkembang biak dengan baik pada kondisi tinggi xylitol. (Ghifari, 2012). 2. Manfaat Permen
Menururt Martha (2012), Manfaat Chewing Gum diantaranya penurunan berat badan, namun manfaat yang paling penting dalam penelitian ini adalah meningkatkan sistem pencernaan. Intervensi yang efektif pada pasien post operasi yang diduga mengaktifkan cephalic-vagal refleks. Fase rilis cephalic hormonal terjadi melalui aktivasi vagal serabut eferen dalam menanggapi sesuatu yang berhubungan dengan makanan rangsangan sensorik. Dengan demikian, mencicipi makanan dan mengunyah memunculkan rilis hormonal sebelum pada akhirnya akan
merangsang sekresi hormon gastro intestinal, yang
meningkatkan gerak peristaltik usus dan waktu untuk
mengembalikan fungsi gastrointestinal (Crainic, 2009). Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat
yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001). Menurut Corwin (2008), persarafan otonom dari saluran gastrointestinal berada di bawah kontrol tanpa pengetahuan kita. Sistem saraf otonom dibagi menjadi 2 bagian, pertama yaitu saraf parasimpatis, yaitu saraf vagus yang bertindak terutama menstsimulasi motilitas gastrointestinal, aseteylcholine merupakan neurotrasnmiter yang paling penting dalam menstimuli aktivitas otot polos dan sitem hormonal. Yang kedua yaitu sitem saraf simpatis, yang merupakan bertindak untuk menurunkan aktivitas gastrointestinal adalah neurotransmiter norepineprin yang paing berperan dalam sitem ini. Aktivitas moterik utama saluran gastrointestinal dikendalikan oleh sistem saraf enterik nervous system (ENS). ENS menerima pesan aferen langsung dari usus dan
dapat secara tepat melakukan respon terhadap atau tanpa mengikutkan sistem sraf otonom. ENS sering disebut ―otak kecil da ri usus‖. Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yaitu saraf simpatis dan parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan histamin. Menurut Setyohadi (2009) Terdapat tiga fase yang menyebabkan sekresi asam lambung yaitu : 1) Fase sefalik Fase ini sudah dimulai bahkan sebelum makanan masuk lambung,yaitu akibat, mencium, memikirkan, atau mengecap makanan. Fase ini diperantarai oleh saraf vagus. Saraf vagus mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior atau jugulare dan ganglion inferior atau nodosum, keduanya terletak pada daerah foramen ugularis, saraf vagus mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru-paru (Judha, 2008). Sinyal neurogenik yang menyebabkan fase sefalik berasal dari korteks serebri tau pusat nafsu makan. Impuls eferen kemudian dihantarkan melalui saraf vagus kelambung. Hal ini menyebabkan kelenjar gastrik terangsang untuk mengsekresikan HCL, pepsinogen, dan menambah mukus. Fase sefalik menghasilkan sekitar 10% dari sekresi lambung normal yang berhubungan dengan makanan.
Menurut Zanden (2009) saraf vagus berfungsi untuk mengatur fungsi jantung, sebagai sekresi hormonal, motilitas gastrointestinal dan mengatur fungsi pencernaan. Selain itu
saraf vagus juga berperan dalam mengontrol
respon imun. System saraf ini terdiri dari 90% serabut aferen dan 10% serabut eferen. Sistem saraf vagus mengatur respon inflamasi melalui aktivasi hipotalamus hipopisis adrenal axia. Saraf vaggus menstransmisikan sinyal dengan melepaskan asetilkolin (Ach), yaitu neurotransmitter utama yang berada di ujung saraf perifer. 2) Fase gastrik Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai atrum pilorus. Distensi atrium juga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis dari reseptor – reseptor pada dinding lambung. Impuls tersebut berjalan menuju medula melalui aferen vagus dan kembali kelambung melalui eferen vagus. Impuls ini merangsang pelepasan hormon gastrin dan secara langsung juga merangsang kelenjar – kelenjar lambung. Gastrin dilepas dari dari atrium dan kemudian dibawa oleh aliran darah menuju kelenjar lambung untuk merangsang sekresi. Pelepasan gastrin juga dirangsang oleh pH alkali, garam empedu di atrum. Dan terutama oleh protein makanan dan alkohol. Memnran sel pariental dan di fundus kan korpus lambung mengandung reseptor untuk gastrin, histamin, dan
asetilkolin, yang merangsang sekresi asam. Fase gastrik dapat terpengaruh oleh reseksi bedah pada atrum pilorus, sebab disinilah letak pembentukan gastrin. 3) Fase Intestinal Fase intestinal dimulai dari gerakan kimus dari lambung ke duodenum. Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya protein yang tercena sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan gastrin usus, suatu hormon yang menyebabkan lambung terus – menerus menyesekresikan sejumlah kecil cai ran lambung. 4. Komplikasi
Permen karet tidak untuk ditelan tapi terkadang bisa tidak sengaja tertelan, terutama pada anak-anak. Permen karet terbuat dari pemanis, perasa dan bahan sintetis (gum resin). Tubuh manusia dapat menyerap pemanis seperti gula dan bisa menambah kalori jika permen karet tersebut mengandung gula yang tinggi. Tapi pencernaan manusia tidak bisa mencerna gum resin. Biasanya dengan bantuan gerakan peristaltik dari usus (usus mendorong bahan tersebut), maka permen karet tersebut akan keluar saat orang buang air besar. Seluruh proses gum resin dari kerongkongan ke perut, usus dan keluar melalui ekskresi tubuh biasanya memakan waktu 2-3 hari. Ini membuktikan bahwa sebenarnya tidak berbahaya bila tidak sengaja menelan permen karet. Namun bukan berarti permen karet boleh sengaja ditelan (Wahyuningsih, 2011).
C. Pengaruh Mengunyah Permen Karet Xylitol Terhadap Pemulihan Motilitas Usus
Pengaruh Mengunyah permen karet untuk mengatasi durasi dari POI setelah operasi kolorektal telah dibuktikan dalam lima kelompok acak, percobaan terkontrol, dan secara sistematis dengan hasil yang dapat disimpulkan bahwa terdapat signifikansi secara statistic dalam penurunan durasi POI sekitar 20-30 jam. Mekanisme mengunyah permen karet akan menstimulasi oral dan dan reflek utama gastrointestinal. Penggunaan permen karet tidak meningkatkan komplikasi dan mengunyah permen karet merupakan metode yang aman, sederhana dan biaya yang dikeluarkan murah, oleh karena itu penggunaan terapi mengunyah permen karet bias digunakan secara ruti pada pasien post operasi ambdominal (Kehlet, 2008).
Efek permen karet terhadap motilitas usus sudah dijelaskan sebelumnya. Menurut Nainggolan (2006), mengunyah permen karet dapat meningkatkan motilitas saluran cerna (p=0,000). Miranda (2007) mengunyah permen karet pada periode pasca operasi adalah metode yang aman untuk merangsang motilitas usus dan mengurangi ileus setelah operasi kolorektal. Harma (2009)
mengunyah permen karet mempercepat pemulihan motilitas saluran cerna pada pasien yang menjalani operasi caesar dengan general anesthesia. Meng gunkan 2 kelompok yaitu kelompok pertama 93 sample mendapatkan perlakukan berupa mengunyah permen karet setelah operasi selama 15 menit setiap 2 jam dengan kelompok kedua 107 sample kelompok control dengan terapi konvensional. Hasilnya terdapat perbedaan yang signifikan (p <0,001) Papaconstantinou (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kelompok yang mengunyah permen karet pada colektomi dengan laparoskopi, mengalami motilitas saluran cerna lebih cepat (3,8 dibanding 5,2 hari) dengan ketentuan permen karet dikunyah selama 15 menit, 4 x sehari setelah operasi. Demekian pula dengan Barclay & Vega ( 2006 ). Pada penelitian operasi terbuka reseksi kolon atau open sigmoidresegtions didapatkan kelompok perlakuan dengan mengunyah permen karet gerakan pertama motilitas saluran cerna lebih cepat dari kelompok kontrol dengan perbandingan 63.2 berbanding 89,4 jam;p = 0,04, Permen karet dikunyah 3 kali sehari selama satu jam, dikunyah pertama kali pada hari pertama post operasi sampai di ijinkan pulang dari rumah sakit. Selain itu pada penelitian Maeboud (2009) Gum-chewing speeds return of first bowel sounds but not first defecation after cesarean section. Pada penelitian ini kelompok eksperiment diberikan mengunyah permen karet
selama 15 tiap 2 jam. Hasil dari penelitian ini yaitu pasien yang mengunyah permen karet dengan permen gula tersubstitusi yaitu 4,3 – 8,3 jam, permen karet bebas gula 10,7 – 6,9 jam dan kelompok yang tidak diberikan mengunyah permen karet 10,2 – 12,2 jam Mengunyah
permen
ditemukan
aman
dan
ditoleransi
oleh
semua
pasien dalam penelitian ini. Sebagian besar wanita yang mengunyah permen karet pada umumnya senang, merasa lebih nyaman dan melaporkan tidak mengalami kekeringan bibir.
BAB III KERANGKA KONSEP A. Kerangka Konsep
Faktor Internal : Usia Penyakit kronis Respon neuroendokrin Faktor eksternal : Nutrisi Merokok Alcohol Persiapan penunjang
Pre Operasi Intra Operasi
Anastesi Umum
Post Operasi Pembedahan Teori Hormonal, Neurologikal, Inflamasi Efek sistem Digestif
Faktor yang mempengaruhi motilitas usus : Nasogastrik (NG) Ambulasi Dini
Motilitas usus pasca operasi
Penurunan Motilitas Usus Ileus Pasca Operatif
Pelepasan Asetilkolin Menguyah permen karet
Respons Fase sefalik lambung Gambar 1: Kerangka konsep
Keterangan : = Variable yang diteliti = Variable yang tidak diteliti = Alur
Aktiviasi Nervus Vagus
B. Variabel dan Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Rafii dalam Nursalam, 2008). Menurut Sugiyono (2012), variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Adapun variable dalam penelitian : 1. Variabel bebas (independen) Variabel bebas adalah faktor yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi variabel dependen atau variabel terikat (Notoatmodjo, 2003). Variabel independen pada penelitian ini adalah mengunyah permen karet gula alcohol ( xylitol ). 2. Variabel terikat (dependen) Variabel terikat adalah faktor yang dipengaruhi oleh variabel bebas (Notoatmodjo, 2003).Variabel dependen pada penelitian ini adalah pemulihan motilitas usus. Variabel yang telah ditetapkan perlu didefinisikan secara operasional, sebab setiap istilah variabel dapat diartikan secara berbeda-beda oleh orang yang berlainan (Nursalam, 2008). Untuk menghindari perbedaan persepsi, maka perlu disusun definisi operasional yang merupakan penjelasan lebih lanjut
mengenai variabel dan dibuat menurut pemikiran peneliti. Definisi operasional variabel dalam penelitian ini, disajikan pada tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1. Definisi Operasional variabel pengaruh mengunyah permen karet xylitol terhadap pemulihan motilitas usus pasien postoperative dengan general anestesi.
No
Variable penelitian
Definisi Operasional
Indicator
Skala pengukuran
1
Mengunyah
permen
Proses
Mengunyah
-
karet
alkohol permen
gula
( xylitol )
mengunyah karet
dilakukan
dengan
alkohol ( xylitol ) dengan
mulut
tertutup
mulut tertutup seperti
dengan
mengunyah
menggerakan
selama
gula
makanan 15
menit
sebanyak 2 butir
rahang
atas
yang bawah
dan
dan lidah
dilakukan pada pasien di
seperti
gerakan
ruang perawatan (segera
makan
(petunjuk
setelah
mengunyah permen
datang
dari
ruang recovery room).
karet sesuai dengan prosedur tetap).
2
Pemulihan Usus
Motilitas Nilai
motilitas
usus Nilai
1
menit
pasien setelah 1 jam
motilitas
diberikan
Pre test saat pasien
pemberian
permen
karet
pada
4
xylitol kuadran
tiba
pasien.
di
ruang
angsoka dengan 2
abdomen. Setiap bunyi jam postoperative. krek…. Dihitung satu.
Post
test
setelah
1
jam
pemberian
permen karet.
Interval
C. Hipotesis Penelitian
Menururt Riwidikdo (2009), hipotetis adalah asumsi atau dugaan mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal tersebut yang sering dituntut untuk melakukan pengecekannya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Arikunto (2002), yang menyatakan hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut. Hipotetis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh mengunyah permen karet xylitol terhadap pemulihan motilitas usus pasien postoperative dengan general anesthesia.
BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian quasi eksperimen. Rancangan penelitian ini menggunakan desain pretest and posttest with control group. Kelompok control (metode konvensional ambulasi dini) dalam penelitian ini adalah kelompok tanpa pemberian permen karet, kelompok perlakuan akan diberikan terapi mengunyah permen karet. Responden pada kelompok kontrol akan dilakukan pengukuran motilitas usus sebelum dan sesudah diberikan terapi konvensional. Pada kelompok perlakuan responden juga akan dilakukan pengukuran motilitas usus sebelum maupun sesudah diberikan mengunyah permen karet. Tabel 2. Skema rancangan penelitian pre dan pos tes dengan kelompok control
Subjek
Perlakuan
Post test
Km
O1
XM
O2
Kk
O3
XK
O4
Keterangan : Km Kk O1 O2
Pre test
: Responden perlakuan terapi mengunyah permen karet : Responden kontrol yang diberikan terapi konvensional : Nilai pre tes ( sebelum diberikan terapi mengunyah permen karet pada kelompok perlakuan) : Nilai pos tes (Setelah diberikan terapi mengunyah permen karet pada kelompok perlakuan)
O3 O4 Xm Xk
: Nilai pre test (Sebelum diberikan terapi konvensional pada kelompok kontrol) : Nilai pos tes (Setelah diberikan terapi konvensional pada kelompok kontrol) : Intervensi terapi mengunyah permen karet : Intervensi terapi konvensional
B. Kerangka Kerja Populasi Pasien post operasi di ruang Angsoka
Kriteria Inklusi
Kriteria Eksklusi Sampel
Berjumlah 26 orang dengan 13 orang dengan mengunyah permen karet dan 13 orang den an metode konvensional.
Kelompok Kontrol
Kelompok Eksperimen (Permen Karet)
2 jam post operative
2 jam post operative
Melakukan pengukuran nilai motilitas usus sebelum terapi konvensional
Melakukan pengukuran nilai motilitas usus sebelum pemberian mengunyah permen karet
Evaluasi 1 am Melakukan pengukuran nilai motilitas usus sesudah terapi konvensional
Men un ah ermen Melakukan pengukuran nilai motilitas usus sesudah pemberian mengunyah permen karet
Uji Normalitas Data Penelitian Shapiro Wilk
Analisa Data
Uji statistik untuk melihat perbedaan perubahan intensitas nyeri antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ditentukan dari distribusi data. Jika data berdistribusi normal maka uji yang digunakan adalah dengan t-test independen menggunakan program komputer (Tk kepercayaan 95 %, p ≤0,05).Jika data tidak berdistribusi normal maka gunakan uji statistik non parametris man whitney test (Tk kepercayaan 95%, p≤0,05). Penyajian Data
Gambar 2. Kerangka kerja
C. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian
Tempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ruang Angsoka RSUP Sanglah Denpasar. 2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada bulan Maret s/d April 2013. D. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 1.
Populasi Penelitian
Menurut Sugiyono (2012), Populasi adalah wilayah keseluruhan yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien post operasi yang berada di ruang angsoka RSUP Sanglah Denpasar. Perawatan pasien post operatif metode konvensional yang digunakan pada penelitian ini adalah yang diberikan ambulasi dini. 2.
Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu yang dianggap mewakili populasinya (Sugiyono, 2012). Pada penelitian ini
yang menjadi sampel adalah pasien post operasi yang sesuai dengan kriteria inklusi a. Kriteria Inklusi 1) Status fisik ASA 1 atau status fisik ASA 2 2) Nilai Post Anesthesia Scoring ( Aldrete’s Score ) ≥ 7 3) Lama operasi kurang dari 4 jam. 4) Post operasi hari ke 0. 5) Dengan general anestesi 6) Umur 17 sampai 45 tahun 7) Mau mengunyah permen karet 8) Pasien dengan 2 jam setelah post operasi (dilihat pada Rekam Medic pasien) b.
Kriteria Eksklusi
1)
Tidak kooperatif
2)
Pasien terpasang NGT
3)
Mempunyai masalah dengan sistem pencernaan (ileus)
4)
Operasi pada area mulut dan wajah
5)
Reseksi usus
6)
Menjalani operasi Gawat Darurat
3.
Besar Sampel
Menurut Madiyono (2006), untuk memperkirakan besar sampel dari dua kelompok independen dengan uji hipotesis dimana dalam penelitian ini kelompok yang dimaksud adalah kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, maka adapun rumus yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
( ) ( ) Keterangan : s
= simpangan baku kedua kelompok (standar baku) penelitian terkait adalah sebesar = 3.2
X1-X2 = perbedaan klinis yang diinginkan (clinical judgement ), dalam penelitian ini perbedaan klinis yang berarti adalah sebesar 4 jam. Zα
= nilai simpangan baku standar sesuai dengan nilai alpha sebesar 0,05 (1,96)
Zβ
= power yang diinginkan yaitu 90% (1.282)
Berdasarkan perhitungan di atas maka diperoleh nilai n1 dan n2 sebesar 13 orang. 4.
Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan adalah non probability (non random sampling) jenis purposive sampling . Menurut Nursalam (2011), purposive sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah
penelitian). Menurut Setiadi (2012), purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti. Pada penelitian ini untuk kelompok experiment dilakukan pengambilan data pada hari senin, selasa dan rabu sampai sample yang dinginkan peneliti terpenuhi, sedangkan untuk kelompok kontrol dilakukan pengambilan data pada hari kamis,jumat dan sabtu sampai sample yang diinginnkan terpenuhi. Apabila sample pada kelompok experiment sudah terpenuhi maka pengambilan data untuk kelompok kontrol akan dilakukan setiap hari dan apabila sample pada kelompok control sudah terpenuhi maka pengambilan data untuk kelompok eksperiment akan dilakukan setiap hari. E. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 1.
Jenis Data yang Dikumpulkan
Berdasarkan cara memperolehnya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh sendiri oleh peneliti dari hasil pengukuran, pengamatan, survey dan lain-lain (Setiadi, 2012), yaitu hasil dari pengukuran lama pemulihan bising usus pasien data yang dikumpulkan yaitu data rasio. 2.
Cara pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan data (Hidayat, 2009). Pada penelitian menggunakan Riset Asisten. Peneliti dalam penelitian ini melakukan langkah pengumpulan data sebagai berikut : a. Peneliti melakukan pengurusan ijin di Litbang RSUP Sanglah Denpasar untuk memperoleh surat Ethical Clearance. b. Setelah surat ijin dikeluarkan oleh Direktur RSUP Sanglah Denpasar dan Kepala Litbang RSUP, maka dilakukan pendekatan formal terhadap Kepala Ruang Angsoka RSUP Sanglah Denpasar untuk meminta ijin dan bantuan dalam pengumpulan data di Ruang Angsoka RSUP Sanglah Denpasar. c. Penelitian ini menggunakan enumerator penelitian/ peneliti akan dibantu oleh beberapa orang yang telah dilakukan diskusi dan penyamaan persepsi cara pengambilan data. d. Melihat dan mengklarifikasi jadwal operasi pasien di IBS e. Melakukan pendekatan terhadap pasien yang akan dilakukan operasi, pasien pre operasi general anastesi diberikan informed consent untuk dilakukan penelitian apabila setelah operasi memenuhi syarat. Pendekatan ini dilakukan untuk menghindari adanya kemungkinan miskomunikasi antara responden dan peneliti saat akan dilakukan penelitian f.
Setelah informed consent dilakukan, selanjutnya peneliti melakukan studi dokumentasi catatan medic pasien untuk menentukan lama operasi.
g. Setelah itu, pasien yang telah memenuhi kriteria sampel dilakukan pemberian perlakuan dan control. h. Sebelum diberikan pemberian permen karet peneliti melakukan pengukuran motilitas usus pada kelompok perlakukan dan kelompok kontrol. i.
Memberikan permen karet xylitol kepada kelompok perlakuan.
j.
Mengukur motilitas usus pasien kelompok perlaqkuan post operasi 1 jam sesudah diberikan permen karet dan pada mengukur motilitas usus pada kelompok control setelah 1 jam 15 menit.
k. Peneliti mengumpulkan data yang telah didapat l.
Melakukan tabulasi dan analisis data
3. Instrumen Pengumpulan Data
Data dikumpulkan menggunakan Instrumen pada penelitian ini adalah lembar observasi dengan menuliskan nama reponden, umur responden, jenis anestesi, jenis operasi dan nilai motilitas usus pasien pre dan post pada kelompok control dan perlakuan dengan menggunakan stetoskop. F.
Pengolahan dan Analisa Data
1.
Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan salah satu upaya untuk meprediksi data dan menyiapkan data sedemikian rupa agar dapat dianalisis lebih lanjut dan
mendapatkan data siap untuk disajikan. Menurut Setiadi (2012), langkahlangkah pengolahan data yang akan dilakukan yaitu a. Editing 1) Dengan memeriksa kelengkapan jawaban responden pada kuesioner, memperjelas, apabila ditemukan kejanggalan hasil kuesioner atau terdapat kuesioner yang tidak diberi jawaban akan dilakukan klarifikasi dan responden diminta untuk menjawab ulang. 2) Pengecekan logis b. Scoring dan coding Angket yang sudah terkumpul diperiksa kelengkapannya, kemudian jawaban responden diberi skor sesuai dengan ketentuan dan diberikan kode sesuai dengan ketentuan peneliti contoh : untuk umur : kode 1 untuk umur 2030 tahun, 2 untuk 31-40 tahun, dan seterusnya. c. Entry Kegiatan memasukkan data ke dalam program komputer untuk mencegah risiko kehilangan data. d. Tabulasi data Melakukan tabulasi data ke dalam master tabel yang telah dibuat. 2.
Analisis Data
a.
Analisa Univariat
Data yang diperoleh terdiri dari intensitas nyeri sebelum dan sesudah pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Gambaran tentang nilai motilitas usus sebelum dan sesudah diberikan terapi mengunyah permen karet dan terapi konvensional yang kemudian akan dianalisis menggunakan uji statisti deskriptif, lalu hasilnya akan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel distribusi frekuensi.
b. Analisa Bivariat : Pengaruh mengunyah permen karet xylito terhadap pemulihan motilitas usus pada pasien post operasi dengan general anesthesia.
Data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan program komputer. Data yang sudah terkumpul dilakukan analisis uji dengan bantuan program computer. Uji yang akan digunakan yaitu : 1) Analisis pengaruh mengunyah permen karet terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general anestesia
Sebelum dilakukan pengujian statistik pengaruh mengunyah permen karet terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general anesthesia, dilakukan uji normalitas data terhadap data sebelum dan sesudah diberikan terapi mengunyah permen karet dengan menggunakan uji Shapiro Wilk karena jumlah sampel kurang dari 50 orang , jika data berdistribusi normal
(p value>0,05), maka dilakukan uji statistik parametrik dengan uji t paired sample tes, namun jika data tidak berdistribusi normal (p value<0,05) maka dilakukan uji non parametrik dengan uji wilcoxon. Dalam penggunaan uji statistik t paired sample test, jika nilai p atau nilai sig 2-tailed < α (0,05), dan nilai t hitung lebih besar daripada nilai t tabel, maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan antara nilai motiltas sesudah diberikan perlakuan dengan sebelum perlakuan.
Ho ditolak dan Ha diterima
berarti ada pengaruh pemberian
mengunyah permen karet terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general anesthesia. Sedangkan uji statistik menggunakan wilcoxon, jika nilai p value < 0,05 berarti Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada pengaruh pemberian mengunyah permen karet terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general anesthesia. 2) Analisis pengaruh pemberian terapi kompres panas
terhadap
perubahan skala nyeri
Sebelum dilakukan pengujian statistik pengaruh pemberian terapi konvensional (ambulasi dini) terhadappemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general anesthesia, dilakukan uji normalitas data terhadap data sebelum dan sesudah diberikan terapi konvensional dengan menggunakan uji Shapiro Wilk karena jumlah sampel kurang dari 50 orang, jika data berdistribusi normal (p value>0,05), maka dilakukan uji statistik parametrik dengan uji t
paired sample tes, namun jika data tidak berdistribusi normal (p value<0,05) maka dilakukan uji non parametrik dengan uji wilcoxon. Dalam penggunaan uji statistik t paired sample test, jika nilai p atau nilai sig 2-tailed < α (0,05), dan nilai t hitung lebih besar daripada nilai t tabel, maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan antara intensitas nyeri sesudah diberikan perlakuan dengan sebelum perlakuan. Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada pengaruh pemberian terapi konvensional ambulasi didni terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general anestesia. Sedangkan uji statistik menggunakan wilcoxon, jika nilai p value < 0,05 berarti Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada pengaruh pemberian terapi konvensional terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general anesthesia.
3) Analisis perbedaan motilitas usus dengan pemberian mengunyah permen karet xylitol dengan terapi konvensional (ambulasi dini).
Analisis perbedaan antara nilai motilitas usus pasien post operasi dengan general anesthesia yang diberikan mengunyah permen karet xylitol dengan terapi konvensional (ambulasi dini) dilakukan dengan membedakan selisih dari nilai motilitas usus sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Selisih atau beda nilai motilitas usus tersebut dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji statistik Shapiro Wilk karena jumlah sampel kurang dari 50 orang, jika data
berdistribusi normal (p value>0,05), maka dilakukan uji parametrik dengan menggunakan uji t- test independent , namun jika data tidak berdistribusi normal (pvalue<0,05) dilakukan dengan uji non parametrik dengan uji Man Whitney. Dalam penggunaan uji t-test independent Jika nilai p atau nilai sig 2tailed < α (0,05), dan nilai t hitung lebih besar daripada nilai t tabel, maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan antara nilai motilitas usus yang diberikan mengunyah permen karet xylitol dengan nilai motilitas usus yang diberikan terapi konvensional. Sedangkan dalam penggunaan uji statistik Man Whitney, jika nilai p value < α ( 0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada perbedaan antara nilai motilitas usus yang diberikan mengunyah permen karet xylitol dengan nilai motilitas usus yang diberikan terapi konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Sofyan Ghifari . 2012. Mengenal Xylitol Gula Langka yang Menyehatkan. http://www.chem-is-try.org. ( akses online 25 desember 2012) Alimul Hidayat, Aziz. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Tekhnik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Ari Susanti, Yuni. 2012. Pengaruh Pemberian Anestesi Epidural Terhadap Kadar Gula Darah Pada Operasi Sectio Caesaria. Laporan Hasil Penelitian Karya Tulis Ilmiah, Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro 2012 Ayuningtyas. 2010. Permen Karet, Sejarah dan Perkembangannya. http://hesti.blog.uns.ac.id. (akses online,27 november 2012) Bambang Setyohadi. 2009. Inflammatory Bowel Disease Alur Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Barclay, L & Vega, C. 2006. Gum Chewing May Speed Recovery From Postoperative Ileus. Medscape medical news; archives of surgery 2006: 141:174 Christina Crainic. 2009. Comparison of Methods To Facilitate Postoperative Bowel Function. Medsurg Nursing — July/August 2009 — Vol. 18/No. 4 235 Corwin, Elizabet J. 2009. Buku saku patofisiologi. Edisi ketiga. Jakarta: EGC Dewi Fatiharani .2008. Pengaruh Konsumsi Permen Karet Yang Mengandung Xylitol Terhadap Pembentukan Plak Gigi. Artikel Karya Tulis Ilmiah, Bagian Ilmu Penyakit Gigi Dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 2008 E. P. Van Der Zanden. 2009. The Vagus Nerve As A Modulator Of Intestinal Inflammation. Neurogastroenterol Motil (2009) 21, 6 – 17
Ganong, W. F. 2001. Fisiologi kedokteran. penerbit Buku Kedokteran EGC . Jakarta Golonka, NR, & Hayashi, AH. 2008. „Early “Sham” Feeding Of Neonates Promotes Oral Feeding After Delayed Primary Repair Of Major Congenital Esophageal Anomalies.” The American Journal of Surgery. Vol. 195, pp. 659-662. H.
Randolph Bailey, MD. 2010. Colorectal Surgery. http://www.expertconsultbook.com.(akses online, 23 Desember 2012)
Henrik Kehlet. 2008. Postoperative ileus an update on preventive techniques. Section of Surgical Pathophysiology, 4074 Rigshospitalet, Copenhagen University, Blegdamsvej 9, 2100 Copenhagen, Denmark Khairunissa, Resti. 2010. Presentasi Kimia Pangan II . http://www.scribd.com. (akses online,20 Oktober 2012) KHI Abd, El-Maeboud. 2009. Gum Chewing Stimulates Early Return Of Bowel Motility After Caesarean Section. BJOG 2009;116:1334 – 1339 Latief SA, surjadi K, Dachlan R. 2001 Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian anestesiologi Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. Leier, Heather. 2007. Does Gum Chewing Help Prevent Impaired Gastric Motility In The Postoperative Period . Journal Of The American Academy Of Nurse Practitioners; Mar 2007; 19, 3; ProQuest Medical Library pg. 133 Majid. 2011. Keperawatan Perioperatif. Penerbit : Gosyen Publishing : Yogyakarta. Mangku. 2000. Standar Pelayanan dan Tatalaksana Anestesia-Analgesia dan Terapi Intensif . RSUP Sanglah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. Martha. 2012. 4 Manfaat Mengunyah Permen Karet . http://health.okezone.com ( akses online,27 november 2012) Mattei, P. 2006. Review of the Pathophysiology and Management of Postoperative Ileus. Word journal of Surgery
Mehmet Ibrahim, Harma. 2009. Gum-Chewing Speeds Return Of First Bowel Sounds But Not First Defecation After Cesarean Section. Anatolian Journal Obstetric and Gynecology 2009; 1: 1 Miranda K.Y. 2007. Use of Chewing Gum in Reducing Postoperative Ileus After Elective Colorectal Resection: A Systematic Review. Dis Colon Rectum Mohamad, Judha. 2008. Anatomi Dan Fisiologi (Buku Saku). Penerbit : Salemba Medika Norteliffe, dkk. 2003. Prention Of Postoperative Nausea and Vomiting After Spinal Morphine for Caesarean Section: Comparison of Cyclizine, Dexametasone and Placebo. British journal of anesthesia 2003;90:66570 Notoadmodjo, S. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika. Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi II. Salemba Medika. Jakarta Otah, E. 2005. Ileus Medscape Referemce Drugs, Diseases & Prosedures. http://www.emedicine.com. ( akses online 20 Oktober 2012) Papacoenstantinou, dkk. 2005. Chewing gum accelerates dhischarge of patients from the hospital after colon resection. Patolia D.s, Hilliard, R. L.M, toy, E.C, & Baker, B. 2001. Early Feeding After Cesarean: Randomized Trial. The American College of Obstertriction And Gynocologis. Elsevier science. Vol 98, no 1 Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses & Praktek. Edisi 4. Vol 1. Jakarta : EGC Rachima, Soraya. 2008. Pengaruh Permen Karet dengan Pemanis Xylitol terhadap pH Plak .Universitas Diponegoro.