PTK matematika SMK / SMP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan semakin kelihatan nyata. Dengan kesadaran ini, pemerintah dan masyarakat, terutama pendidik, mencurahkan sebagian besar tenaga, dana dan pikirannya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Misalnya melakukan perubahan kurikulum, perubahan teknik pengajaran dan penyelenggaraan kerja sama antara lembaga pendidikan dengan lembaga lain (Kadir dan Ma‟sum, 1982, 1991-1992). Untuk meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain, (1) meningkatkan kualitas guru SLTP/MTs dari lulusan D1 dan D2 menjadi lulusan S1 penyetaraan, (2) menerbitkan suplemen kurikulum SLTP/MTs 1994 yang berisi tentang materi pelajaran mana yang masih tetap diajarkan pada kelas-kelas tertentu dan materi mana yang tidak perlu lagi diajarkan serta materi yang wajib diajarkan (Depdikbud, 1999:5), (3) mendirikan sekolah-sekolah baru, dan (4) meningkatkan perbaikan proses belajar mengajar dan hasil belajar melalui pelatihan pelatihan guru SD, SLTP, SLTP, dan SMU. Matematika merupakan salah satu pelajaran yang diberikan sejak dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT). Pada umumnya matematika dirasakan lebih sulit untuk dipahami daripada ilmu-ilmu lainnya. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya kesesuaian antara kemampuan siswa dengan cara penyajian materi sehingga matematika dirasakan sebagai pelajaran yang sulit untuk diterima. Menurut garis-garis Besar program Pengajaran (GBPP) Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) kurikulum 1994 dengan suplemen 1999, pada pokok bahasan Teorema Pythagoras yang berbunyi: “Kuadrat ukuran hipotenusa dari segitiga siku -siku sama dengan jumlah kuadrat ukuran sisi-siku-sikunya”, sisi-siku- sikunya”, merupakan pokok bahasan yang diberikanpada siswa SMP/MTs kelas II. Seorang guru harus dapat menentukan strategi pengajaran yang sesuai dengan kemampuan siswanya sehingga mudah dipahami. di pahami. Secara khusus ada sebagian masyarakat sekolah yang memprihatinkan pengajaran matematika tidak hanya diperlukan oleh orang yang terjun dalam dunia pendidikan, tetapi juga diperlukan oleh orang yang terjun di bidang lain, menurut Mardiati Busono (1988:5). Melalui proses belajar matematika, mempelajari dan menerapkan ke dalam situasi baru, misalnya dengan menyelesaikan masalah baik dalam matematika sendiri, dalam ilmu lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Mengajarkan matematika merupakan suatu kegiatan pengajaran sedemikian sehingga siswa belajar untuk mendapatkan kemampuan dan ketrampilan tentang matematika. Kemampuan dan ketrampilan tersebut ditandai dengan adanya interaksi yang positif antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, yang sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah ditetapkan (Hudya, 1988:122). Namun dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran khususnya yang berhubungan dengan matematika, ternyata masih banyak mengalami hambatan-hambatan baik yang dialami siswa maupun guru. Salah satu hambatan yang terjadi adalah kesulitan dalam memahami konsep-konsep matematika. Seperti yang terjadi di SMP 3 ......, didapatkan latar belakang siswa sangat bervariasi dalam motivasi belajarnya. Mereka rata-rata dalam belajar tanpa dibekali keinginan untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan oleh guru. Mereka kurang dalam mengkaitkan materi satu dengan yang lain. Sehingga yang terjadi mereka kebingungan dan selanjutnya menyelesiakan soal seenaknya sendiri.
Berdasarkan pengalaman peneliti, dari beberapa materi / pokok bahasan yang disajikan di kelas II SMP/MTs adalah pokok bahasan Teorema Pythagoras, bentuk-bentuk kesalahan konsep yang sering terjadi seperti: 1. Diketahui sebuah segitiga siku-siku di B panjang AB = 3 cm, BC = 4. Hitung panjang AC. Jawaban yang sering dilakukan oleh siswa: AC = AB + AC = 3 + 4 = 9 + 16 = 25 2. Perhatikan gambar berikut: Pergunakan Teorema Pythagoras untuk menentukan nilai p pada setiap segitiga siku-siku. Jawaban siswa: a. p2 = 132 + 52 = 169 + 25 = 194 b. p2 = 172 + 152 = 189 + 225 = 414 3. Sebuah tongkat yang panjangnya 26 dm disandarkan pada tembok. Jika jarak ujung tongkat pada tanah ke tembok adalah 10 dm, tentukan jarak ujung tongkat pada tembok ke tanah. Jawaban siswa: Panjang tongkat = r, jarak tongkat ke tanah = a, dan jarak ujung tongkat ke tembok = b maka: b = r + a = 26 + 10 = 656 + 100 = 756. Dari contoh di atas banyak siswa sulit untuk menyelesaikan soal penerapan Teorema Pythagoras, sehingga yang terjadi langkah awalnya tidak mengerti dan selanjutnya tidak mampu mengerjakan. Selain itu kesulitan yang sering terjadi, siswa sulit untuk membedakan pangkat dua dan mancari akar kuadrat suatu bilangan. Penyebab kesalahan k esalahan ini adalah siswa kurang memahami prinsip, konsep, apa yang ditanyakan dan siswa sering kurang teliti. Setiap pokok bahasan yang disajikan dalam matematika itu selalu berkesinambungan, maka peneliti ingin memperbaiki pembelajaran dengan mengadakan penelitian yang berjudul: “Mengajarkan Matematika dengan Pendekatan Kontekstual (kubus dan balok) pada Pokok Bahasan Teorema Pythagoras Siswa Kelas II B Di SMP Negeri ...... Tahun Pelajaran 2004/2005.” 2
2
2
2
2
2
2
2
B. Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana mengajarkan Teorema Pythagoras dengan pendekatan kontektual (kubus dan balok) siswa Kelas II B Di SMP Negeri ......? belajar siswa pada pokok bahasan Teorema Pythagoras 2. Prestasi dengan pendekatan kontektual (kubus dan balok)? C. Tujuan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini agar dapat: 1. metode / pendekatan dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan Teorema Pythagoras secara kontekstual (kubus dan balok) siswa Kelas II B Di SMP Negeri ....... 2. prestasi siswa dalam belajar Teorema Pythagoras, khusus siswa kelas II B SMP Negeri ....... D. Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk: 1. Bahan informasi bagi guru matematika guna peningkatan prestasi siswa setelah guru mengetahui letak kesalahan pemahaman konsep yang dialami siswa, khususnya pada pokok Teorema Pythagoras. P ythagoras.
2.
3.
bahan pertimbangan untuk memilih metode pengajaran yang sesuai dalam menyelesaikan soal matematika khususnya pada pokok bahasan Teorema Pythagoras. Bahan pertimbangan penelitian lebih lanjut guna peningkatan prestasi belajar mengajar siswa.
E. Asumsi Penelitian Asumsi dalam penelitian ini adalah: 1. Hasil tes sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswa. 2. Kesalahan-kesalahan siswa dalam menjawab setiap soal merupakan indikator kesulitan dalam memahami konsep. 3. Siswa mendapatkan fasilitas yang sama dari sekolah.
BAB II KERANGKA TEORI A. Hakekat Matematika Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang bulat untuk mendefinisikan apa itu matematika. Walaupun belum ada definisi tunggal menganai matematika, bukan berarti matematika tidak dapat dikenali. Seperti apa yang telah diutarakan oleh Soedjadi (1985:5) sebagai pengetahuan matematika mempunyai beberapa karakteristik, yaitu bahwa obyek matematika tidaklah konkrit tetapi abstrak. Dengan mengetahui obyek penelaahan matematika, kita dapat mengetahui hakekat matematika yang sekaligus dapat diketahui juga cara berfikir matematika oleh E.T. Ruseffendi (1980:148) mengungkapkan: Matematika itu timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Matematika terdiri dari empat wawasan yang luas yaitu: Aritmatika, Aljabar, Geometri dan Analisa. Selain itu matematika adalah ratunya ilmu, maksudnya bahwa matematika itu tidak tergantung pada bidang studi lain. Bahasa matematika yang digunakan agar dapat dipahami orang, dengan menggunakan simbol dan istilah yang telah disepakati bersama. Sementara itu Hudoyo (1983:3) secara singkat mengatakan bahwa “Matematika berkenaan dengan ide-ide ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dan panalar an deduktif.” Mengenai obyek matematika, Ruseffendi (1980:139) membedakan bahwa obyek matematika terdiri dari dua tipe, yaitu obyek langsung dan obyek tak langsung. Obyek tak langsung adalah hal-hal yang mempengaruhi hasil belajar, misalnya kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan mentransfer pengetahuan. Sedangkan obyek langsung dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu: fakta, ketrampilan, konsep dan prinsip (aturan). Hudojo (1988:97) mengungkapkan bahwa apabila matematika dipandang sebagai suatu struktur dari hubungan-hubungan maka simbol-simbol formal diperlukan untuk menyertai himpunan benda-benda atau obyek-obyek. Simbol-simbol ini sangat penting dalam membentuk memanipulasi aturan yang beroperasi di dalam struktur-struktur. Pemahaman terhadap struktur-struktur dan proses simbolisasi memberikan fasilitas komunikasi dan dari komunikasi ini kita mendapatkan informasi. Dari informasiinformasi ini dapat membentuk konsep baru. Dengan demikian simbol-simbol bermanfaat untuk kehematan intelektual, sebab simbol-simbol dapat digunakan dalam mengkomunikasikan ide secara efektif dan efisien. Karena itu belajar matematika sebenarnya untuk mendapatkan pengertian hubungan-hubungan dan simbol-simbol serta
kemudian mengaplikasikan dalam kehidupan yang nyata. Dengan demikian hakekat matematika adalah hal-hal yang berhubungan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungannya hubungannya diatur menurut aturan yang logis. B. Belajar Matematika Belajar merupakan kegiatan setiap orang. Seseorang dikatakan belajar, bila dapat diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Kegiatan atau usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku sendiri merupakan hasil belajar. Karena itu seseorang dikatakan belajar, bila dapat diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku itu memang tidak dapat diamati dan berlaku dalam waktu relatif relat if lama. Kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar sedang perubahan tingkah laku sendiri merupakan hasil belajar. Ausebel mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari siswa sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya, sehingga siswa dapat mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang dimiliki (Hudoyo, 1990:138). Dalam teori belajar Robert M. Gagne yang diungkapkan Ruseffendi (1980:138) dikatakan bahwa dalam belajar ada dua obyek yang dapat diperoleh siswa, obyek langsung dan obyek tak langsung. Obyek tak langsung antara lain: kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, mandiri (belajar, bekerja dan lain-lain), bersikap positif termahadap matematika dan mengerti bagaimana seharusnya belajar. Obyek langsung adalah sebagai berikut: 1. Fakta Contoh fakta ialah angka/lambang bilangan, sudut, ruas garis, simbol dan notasi. 2. Ketrampilan Ketrampilan adalah kemampuan memberikan jawaban yang benar dan cepat. Misalnya melakuka pembagian cara cepat, membagi bilangan dengan pecahan, menjumlahkan pecahan dan sebagainya.
3. Konsep Konsep merupakan ide abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan benda benda (obyek) ke dalam contoh. 4. Aturan Aturan ialah obyek yang paling abstrak, yang dapat berupa sifat, dalil dan teori. Seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang telah diketahui orang. Karena matematika merupakan ide-ide yang abstrak yang diberi simbol-simbol maka konsep-konsep matematika harus dipahami lebih dahulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu. Karena itu untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu akan mempengaruhi proses belajar materi selanjutnya. Sebagai contoh, untuk dapat memahami arti perkalian siswa harus memahami terlabih dahulu apa itu penjumlahan, karena itu penjumlahan harus dipelajari lebih dahulu dari perkalian. Dengan demikian apabila belajar matematika yang terputus-putus akan menganggu terjadinya proses belajar, karena itu proses belajar matematika akan lancar jika dilakukan secara kontinyu. Dalam proses belajar matematika terjadi proses berfikir. Seseorang dikatakan berfikir bila melakukan kegiatan mental dan orang yang belajar matematika selalu melakukan kegiatan mental. Sehingga dalam berfikir, seseorang dapat menyusun hubungan-
hubungan antar bagian-bagian informasi sebagai pengertian, kemudian dapat disusun kesimpulan. Dalam proses itu juga melibatkan bagaimana bentuk kegiatan mengajarnya. Mengajar adalah suatu kegiatan dimana pengajar menyampaikan pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki kepada peserta didik. Tujuan mengajar adalah agar pengetahuan yang disampaikan disam paikan itu dapat dipahami peserta didik, sehingga mengajar bisa dikatakan baik, apabila hasil belajar, peserta didik juga baik. Apabila terjadi proses belajar mengajar itu baik, maka dapat diharapkan bahwa hasil belajar peserta didik akan baik pula. Dengan demikian siswa sebagai subyek akan dapat memahami matematika, selanjutnya mampu mengaplikasikan pada situasi yang baru, seperti masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari. C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Proses Mengajar dan Belajar Matematika Menurut Herman Hudoyo (1988:6) kegiatan belajar yang kita kehendaki akan bisa tercapai bila faktor-faktor berikut ini dapat dikelola sebaik-baiknya: 1. Peserta didik Kegagalan atau keberhasilan belajar sangat tergantung kepada peserta didik. Misalnya saja, bagaimana kemampuan dan kesiapannya untuk belajar matematika, bagaimana kondisi si anak, dan kondisi fisiologisnya. Orang yang dalam keadaan sehat jasmani akan lebih baik belajar daripada orang yang dalam keadaan lelah, seperti perhatian, pengamatan, ingatan juga berpengaruh terhadap kegiatan belajar seseorang. 2. Pengajar Kemampuan pengajar dalam menyampaikan materi dan sekaligus menguasai materi yang diajarkan sangat mempengaruhi terjadinya proses belajar. Seorang pengajar yang tidak menguasai materi matematika dengan baik dan kurang menguasai cara menyampaikan dengan tepat dapat mengakibatkan rendahnya mutu pengajaran dan yang kedua dapat menimbulkan kesulitan peserta didik dalam memahami matematika. Akibatnya proses belajar matematika tidak berlangsung efektif. 3. Sarana dan prasarana Sarana yang lengkap seperti adanya buku teks dan alat bantu belajar merupakan fasilitas yang penting. Demikian pula prasarana yang cocok seperti ruangan dan tempat duduk yang bersih dan sejuk bisa memperlancar terjadinya proses belajar. Tidak menutup kemungkinan penyediaan sumber lain, seperti majalah tentang pengajaran matematika, laboratorium matematika dan lain-lain akan dapat meningkatkan kualitas belajar. 4. Penilaian Penilaian dipergunakan untuk melihat bagaimana berlangsungnya interaksi antara pengajar dan peserta didik. Disamping itu penilaian juga berfungsi untuk meningkatkan kegiatan belajar sehingga dapat diharapkan dapat memperbaiki hasil belajar apabila kurang berhasil. Penilaian juga mengacu pada proses belajar, yang dinilai adalah bagaimana langkah-langkah berfikir siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Dengan demikian, apabila langkah-langkah penyelesaian masalah benar sedangkan langkah terakhir salah, telah menunjukkan proses belajar siswa baik.
D. Kesulitan Belajar Matematika Pada kenyataanya, dalam proses belajar mengajar masih dijumpai bahwa siswa mengalami kesulitan belajar. Kenyataan inilah yang harus segera ditangani dan dipecahkan. Seperti yang telah diuraikan pada Bab I, bahwa kesulitan belajar merupakan
suatu kondisi dalam proses belajar mengajar yang ditandai dengan hambatan-hambatan tertentu dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan. Menurut Soejono (1984:4) kesulitan belajar siswa dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal seperti: fisiologi, faktor sosial, faktor pedagogik. Selain itu, terdapat pula kesulitan khusus khusus dalam belajar matematika seperti: 1. Kesulitan dalam menggunakan konsep Dalam hal ini dipandang bahwa siswa telah memperoleh pengajaran sautu konsep, tetapi belum menguasainya mungkin karena lupa sebagian atau seluruhnya. Mungkin pula konsep yang dikuasai dikuasai kurang cermat. Hal ini disebabkan antara lain: a. Siswa lupa nama singkatan suatu obyek Misalnya siswa lupa memangkatkan suatu bilangan dengan pangkat dua. b. Siswa kurang mampu menyatakan menyatakan arti istilah dalam konsep. Misalkan siswa yang mampu menyatakan istilah kuadrat dan kali dua dan mereka menganggap sama. 2. Kesulitan dalam belajar dan menggunakan prinsip Jika kesulitan siswa dalam menggunakan prinsip kita analisa, tampaklah bahwa pada umumnya sebab kesulitan tersebut antara lain: a. Siswa tidak mempunyai konsep yang dapat digunakan untuk mengembangkan prinsip sebagai butir pengetahuan yang perlu. b. Miskin dari konsep dasar secara potensial merupakan sebab kesulitan belajar prinsip yang diajarkan dengan metode kontekstual kontekstual (contoh nyata). c. Siswa kurang jelas dengan prinsip yang telah diajarkan. 3. Kesulitan memecahkan soal berbentuk verbal. Memecahkan soal berbentuk verbal berarti menerapkan pengetahuan yang dimiliki secara teoritis untuk memecahkan persoalan nyata atau keadaan sehari-hari. Keberhasilan dalam memecahkan persoalan berbentuk verbal tergantung kemampuan pemahaman verbal, yaitu kemampuan memahami soal berbentuk cerita dan kemampuan mengubah soal verbal menjadi model matematika, biasanya dalam bentuk persamaan serta kesesuaian penga,ana siswa dengan situasi yang diceritakan dalam soal. Beberapa sebab siswa sulit memecahkan soal berbentuk verbal. a. Tidak mengerti apa yang dibaca, akibat kurang pengetahuan siswa tentang konsep atau beberapa istilah yang tidak diketahui. Untuk mengecek kebenaran dugaan ini, setelah membaca soal, guru dapat meminta siswa untuk menyatakan pendapatnya dengan menggunakan bahasanya sendiri. Guru dapat mengecek apakah ada istilah-istilah yang mungkin belum diketahui atau dilupakan. Selain itu juga perlu dipahami, apa yang diketahui dan apa yang dinyatakan serta rumus-rumus apa yang diperlukan. b. Siswa tidak mengubah soal berbentuk verbal menjadi model matematika dan hubungannya. Kesulitan belajar dapat ditunjukkan dengan beberapa gejala yaitu: - menunjukkan prestasi yang rendah - hasil yang yang dicapai tidak sesuai dengan dengan usaha yang yang dilakukan - keterlambatan dalam melaksanakan tugas yang diberikan Obyek yang dapat kita periksa untuk mengetahui penyebab kesukaran siswa belajar contohnya seperti: Materi yang diajarkan dianggap terlalu sulit, • Pengajarannya yang kurang baik dan dapat disebabkan oleh kesalahan pengajaran • dalam menyajikan metode ataupun tidak adanya alat peraga, dan
Dari siswa sendiri disebabkan karena kelemahan jasmani, kurang cerdas, tidak ada minat, tidak ada bakat, emosi tidak stabil, suasana yang tidak mendukung (Ruseffendi, 1980:333). •
E. Belajar Tuntas Belajar tuntas adalah suatu sistem yang mengharapkan sebagian besar siswa dapat menyelesaikan tujuan instruksional umum dari satuan atau unit-unit pelajaran secara tuntas. Mengenai ketuntasan, siswa yang memperoleh nilai ulangan harian kurang dari 7,5 perlu diberikan remidi dengan menitikberatkan pada materi yang belum dikuasai (Ahmad, 1995:20). Ngadiono (1980:1) menjelaskan bahwa maksud utama belajar tuntas adalah memungkinkan pencapaian minimal 60% untuk ketrampilan dan 75% untuk konsep. Pada belajar tuntas, siswa diharapkan mencapai tingkat penguasaan tertentu terhadap tujuan instruksional dari satuan pelajaran tertentu sebelum melanjutkan ke sat uan pelajaran berikutnya. F. Pendekatan Pendekatan Kontekstual Kontekstual (Contextual (Contextual Teaching and and Learning/CTL) Learning/CTL) 1. Pengertian Kontekstual berasal dari kata dasar konteks yang berarti berbagai bidang kehidupan atau hal-hal yang diperlukan agar orang dapat melaksanakan sesuatu. Definisi pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong m endorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini, hasil materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: kontruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment). Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learni ng/CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah, bukan tranfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menganggapinya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih bayak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari „menemukan sendiri‟, bukan dari „apa kata guru‟. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan konduktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum, dalam bidang studi apa saja, dan tidak diperlukan biaya yang
mahal. Secara garis besar penerapan pendekatan kontekstual, langkahnya adalah sebagai berikut ini: 1. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya. 2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. 3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. 4. Ciptakan „masyaraat belajar‟ (belajar dalam kelompok -kelompok). -kelompok). 5. Hadirkan „model‟ sebagai contoh pembelajaran. 6. Lakukan refleksi diakhir pertemuan. 7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Tujuh komponen pendekatan kontekstual (CTL): Tujuh komponen pendekatan yaitu: 1. Kontruksi (Constructivism), kontruksivisme merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, 2. Menemukan (Inquiri), penemuan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual, yaitu pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, 3. Bertanya (Questioning), pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari „bertanya‟. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran ini. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa, 4. Masyarakat belajar (Learning Community), konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjsama dengan orang lain. Hasil belajar belajar diperoleh dari „sharing‟ antara teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke ke yang belum tahu. Di kelas ini, di sekitar sini, juga juga orang yang di luar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar, 5. Pemodelan (Modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan pada dasarnya membahas akan gagasan yang dipikirkan, mendemontrasikan bagaimana guru menginginkan pada siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang diinginkan guru bagi siswa-siswanya. Pemodelan dapat berbentuk demontrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktifitas belajar, 6. Refleksi (Reflection), adalam cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilaksanakan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktifitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Misalnya ketika pelajaran berakhir siswa merenungkan apa yang baru diterimanya, 7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment), adala prosedur penilaian pada pembelajaran kontekstual dengan prinsip dan ciri-ciri penilaian autentik. Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Hal ini untuk memastikan apakah siswa telah mengalami proses pembelajaran yang benar atau tidak. 2. Strategi Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan atau strategi yang berasosiasi dengan pembelajaran kontekstual memiliki kesamaan ciri dalam hal: Pengajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk merangsang berfikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di dalam belajar dan bagaimana belajar. Tugas guru adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. 3. Pengajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang silih asuh (saling tenggang rasa). Menurut Abdurrahman Abdurrahman dan Bintoro (2000:78) mengatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asuh, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata. Hasil penelitian yang dilakukan Johnson (1984) keunggulan pembelajaran kooperatif yaitu: 1. Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial, 2. Mengembangkan kegembiraan belajar yang sejati, 3. Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri/egois, 4. Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial, 5. Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai perpektif, 6. Meningkatkan hubungan positif positif antara siswa terhadap te rhadap guru dan personil sekolah. 4. Pengajaran Pengajaran Berbasis Inkuiri Pembelajaran dengan penemuan (inquiri) merupakan suatu komponen penting. Bruner (1966), menganjurkan pembelajaran dengan basis inkuiri sebagai berikut: “Kita mengajarkan suatu bahan kajian tidak untuk menghasilkan perpustakaan hidup, tetapi lebih ditujukan untuk un tuk membuat siswa berfikir”. Belajar dengan penemuan mempunyai keuntungan: memacu siswa untuk mengetahui, memotivasi siswa untuk menemukan jawaban, dan siswa belajar memecahkan masalah secara mandiri serta memiliki ketrampilan berfikir kritis. Inkuiri adalah seni dan ilmu bertanya dan menjawab, juga menuntut eksperimentasi, refleksi, dan pengenalan akan keunggulan metode sendiri. 5. Pengajaran Autentik Pengajaran autentik yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenalkan siswa untuk mempelajari konteks bermakna, siswa dituntut mengembangkan ketrampilan befikir dan pemecahan maslaah yang penting dalam konteks kehidupan nyata. Untuk memecahkan masalah, siswa harus mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi kemungkinan pemecahannya, memilih dan melaksanakan pemecahan atas masalah tersebut. 6. Pengajaran Pengajaran Berbasis Proyek / Tugas
Hal ini membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif dimana lingkungan belajar siswa didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalahmasalah autentik termasuk pendalaman materi dan melaksanakan tugas bermakna. Siswa diberi tugas / proyek yang kompleks, sulit, lengkap, tetapi autentik dan kemudian diberikan bantuan secukupnya. Tidak memandang apakah tugas harus dikerjakan sebagai pekerjaan kelas atau sebagai pekerjaan rumah. 7. Pengajaran Berbasis Kerja Pengajaran berbasis kerja memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan sebagaimana materi tersebut dipergunakan di tempat kerja. Pengajaran berbasis kerja menganjurkan pentransferan model pengajaran dan pembelajaran yang efektif kepada aktifitas sehari-hari di kelas, baik dengan cara melibatkan siswa dalam tugas dan melibatkan siswa dalam kelompok pembelajaran. 8. Pengajaran Pengajaran Berbasis Jasa Layanan Pengajaran berbasis jasa layanan memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan. Strategi pembelajaran ini berpijak pada pemikiran bahwa semua kegiatan kehidupan dijiwai oleh kemampuan melayani. Untuk itu siswa sejak dini dibiasakan untuk melayani orang lain.
Pada dasarnya siswa lebih mudah belajar pada sesuatu yang kongkrit karena memahami konsep abstrak sulit untuk diterima. Oleh karena itu diperlukan benda-benda konkrit (riil) sebagai perantara atau visualisasinya. Konsep abstrak itu dicapai melalui tingkat belajar yang berbeda-beda. Konsep abstrak yang dipahami siswa akan mengendap, melekat, dan tahan lama bila siswa belajar melalui perbuatan dan pengertian, bukan hanya melalui teori belaka. Dalam belajar matematika diperlukan alat peraga yang berfungsi sebagai: 1. Proses belajar mengajar termotivasi. Baik siswa maupun guru, terutama siswa minatnya akan timbul. Mereka akan senang, terangsang, tertarik dan akan bersikap positif terhadap pengajaran matematika. 2. Konsep abstrak matematika tersajikan dalam bentuk konkrit maka lebih dapat dipahami dan dimengerti, serta dapat dikembangkan. 3. Hubungan antara konsep abstrak matematika dengan benda-benda di alam sekitar akan lebih dapat dimengerti. 4. Konsep-konsep abstrak yang disajikan dalam bentuk konkrit yaitu dalam bentuk model matematika yang dapat dipakai sebagai obyek penelitian maupun sebagai alat untuk meneliti ide-ide baru dan relasi baru menjadi bertambah banyak. Selain itu penggunaan alat peraga dapat dikaitkan dengan salah satu: 1. Pembentukan konsep. 2. Pemahaman konsep. 3. Latihan dan penguatan. 4. Pelayanan terhadap perbedaan perbedaan individual, termasuk pelayanan terhadap siswa yang yang lemah dan siswa berbakat. 5. Pengukuran, alat peraga dipakai sebagai alat ukur. 6. Pengamatan dan penemuan sendiri ide-ide dan relasi baru serta penyimpulan secara umum, alat peraga sebagai obyek peneliti maupun sebagai alat untuk meneliti.
Alat peraga dapat berupa benda riil, gambar atau diagram. Keuntungan alat peraga benda riil adalah benda-benda itu dapat dipindah-pindahkan (dimanipulasi), sedangkan kelemahannya tidak dapat disajikan dalam buku (tulisan). Oleh karena itu untuk bentuk tulisan dibuat gambar atau diagram, tetapi kelemahannya ialah tidak dapat dimanipulasi. G. Materi Teorema Pythagoras 1. Kuadrat dan akar kuadrat suatu bilangan Kuadrat suatu bilangan ialah bilangan yang diperoleh dengan mengalikan bilangan itu dengan dirinya sendiri. Contoh: 9,52 = 9,5 x 9,5 = 90,25 152 = 15 x 15 = 225 Akar kuadrat suatu bilangan n ialah suatu bilangan positif yang jika dikuadratkan (dikalikan dengan dirinya sendiri) akan menghasilkan bilangan ke-n.
Contoh: 1. 64 = 8 x 8 = 8 x 8 tulis akar 2. 0,25 = 0,5 0,5 x 0,5 = 0,5 x 0,5 0,5 = 0,5 0,5 3. Luas daerah persegi dan luas daerah segitiga siku-siku Gambar (i) C B A D S Perhatikan gambar! Luas daerah persegi ABCD adalah: L=sxs=s Luas daerah segitiga ABC adalah: L=½xs Perhatikan kalimat-kalimat berikut: Diketahui sebuah segitiga PQR siku-siku di titik Q. Jika PQ = 8 cm dan QR = 24 cm, tentukan luas daerah segitiga PQR! Hitunglah luas segitiga berikut dalam satuan cm2! Pembuktian Theorema Pythagoras Pada setiap segitiga siku-siku, sisi-sisinya terdiri dari sisi siku-siku dan sisi miring (hipotenusa). Perhatikan gambar segitiga ABC! Segitiga ABC siku-siku di A, sisi yang membentuk sudut siku-siku disebut sisi siku-siku, yaitu AB dan AC. Sisi dihadapan sudut siku-siku disebut sisi miring atau hipotenusa yaitu BC. Selanjutnya untuk mendapatkan Teorema Pythagoras. 2
2
1. 2. 3.
Perhatikan gambar berikut :
Gambar (ii) C B A
Berdasarkan gambar tersebut, hitunglah luas persegi-persegi pada setiap sisi segitiga, dan lengkapilah tabel berikut ini. Pada hipotenusa Luas persegi pada salah satu siku-siku Luas persegi pada salah satu siku-siku Jumlah luas persegi pada kedua sisi siku-siku NoHipotenusa A B
25 8
Luas Persegi pd siku Luas persegi pd siku L1 + L2 1 2 9 16 25 4 4 8 Gambar
(iii) Dari tabel di atas, ternyata luas persegi pada hipotenusa sama dengan jumlah luas persegi pada sisi siku-sikunya (kedua sisi lainnya). Cara lain untuk mendapatkan Teorema Pythagoras, perhatikan gambar berikut! Dari gambar di atas (i) dan (ii) merupakan persegi yang mempunyai panjang sisi yang sama, yaitu (b + c). Karena panjang sisinya sisin ya sama, maka luasnya juga sama. Berikutnya, perhatikan luas daerah yang diarsir pada gambar (i) dan (ii). Ternyata luasnya sama. Hal ini berarti luas yang tidak diarsir dari kedua persegi tersebut juga sama. Jadi a2 = b2 + c2. Pada gambar (iii), a2 adalah luas persegi pada hipotenusa dan b2 + c2 adalah jumlah luas persegi pada sisi siku-siku. Dari kedua cara di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Untuk setiap segitiga siku-siku selalu berlaku: Luas persegi pada hipotenusa sama dengan jumlah luas persegi pada sisi yang lain (sisi siku-siku). Teorema ini disebut Teorema Pythagoras, karena teori ini pertama kali ditemukan oleh Pythagoras, yaitu seorang ahli matematika bangsa Yunani yang hidup pada abad VI Masehi. 4. Rumus Teorema Pythagoras Teorema Pythagoras yang pembuktiannya telah dilakukan di atas dapat digunakan untuk menghitung panjang suatu sisi segitiga siku-siku apabila salah satu sisinya tidak diketahui. Dari Teorema Pythagoras dapat diturunkan rumus-rumus berikut. Jika segitiga ABC siku-siku di titik A, maka berlaku: BC2 = AC2 + AB2, atau a2 = b2 + c2, atau b2 = a2 – a2 – c2, c2, atau
c2 = a2 – a2 – b2 b2 5.
Kebalikan Teorema Pythagoras dan Tigaan Pythagoras (Tripel
Pythagoras) (a) Kebalikan Teorema Pythagoras Dari Teorema Pythagoras dapat dibuat pernyataan yang merupakan kebalikannya. Teorema Pythagoras menyatakan: dalam segitiga ABC jika siku-siku di A, maka: a2 = b2 + c2. Kebalikan dari teorema ini adalah: dalam segitiga ABC, jika a2 = b2 + c2, maka sudut A siku-siku. Untuk selanjutnya akan diselidiki kebenaran pernyataan kebalikan Teorema Pythagoras. Pada gambar (i) diketahui bahwa a2 = b2 + c2, apakah sudut C siku-siku? Pada gambar (ii) PQ = c, PR = b, QR = x, dan sudut PQR siku-siku, maka x2 = b2 + c2. Dari gambar (i) a2 = b2 + c2 (diketahui). Dari gambar (ii) x2 = b2 + c2 (berdasarkan Teorema Pythagoras). Karena ruas kanannya sama, maka a2 = x2, berarti a = x. Jadi ketiga sisi segitiga ABC berturut-turut tepat sama dengan sisi segitiga PQR. Maka segitiga ABC dan segitiga PQR kongruen, sehingga suudt CAB = sudut RPQ. Hal ini menunjukkan bahwa kebalikan Teorema Pythagoras benar. Maka dapat diketahui apakah suatu segitiga merupakan segitiga siku-siku atau bukan, jika diketahui ketiga sisinya. Contoh: 1. Tunjukkan bahwa segitiga yang berukuran 4 cm, 3 cm, dan 5 cm adalah segitiga siku-siku. Jawab: Misalnay sisi terpanjang adalaha, maka: a = 5, b = 4, dan c = 3 a2 = 52 a2 = 25 b2 + c2 = 42 + 32 = 16 + 9 = 25 Karena a2 = b2 + c2, maka segitiga tersebut ters ebut siku-siku. 2. Suatu segitiga berukuran 4 cm, 6 cm, dan 5 cm. Apakah segitiga itu siku-siku. Jawab: Misal sisi terpanjang adalah a, maka: a = b, b = 4, dan c = 5 a2 = 62 a2 = 36 b2 + c2 = 42 + 52 = 16 + 25 = 41 Karena a2 # b2 + c2, maka segitiga tersebut bukan segitiga siku-siku. Dari contoh di atas didapat bahwa: a2 < b2 + c2, maka segitiga tersebut merupakan segitiga lancip. (b) Tigaan Pythagoras (Tripel Pythagoras) Ukuran sisi segitiga siku-siku sering dinyatakan dalam tiga bilangan asli yang tepat. Tiga bilangan seperti itu disebut tigaan Pythagoras (Tripel Pythagoras). Contoh: Suatu segitiga siku-siku panjang sisinya 5, 12, dan 13 satuan. Bilangan 5, 12, dan 13 disebut tigaan Pythagoras, sebab 132 = 52 + 122. Selanjutnya dapat disimpulkan: Tripel (tigaan) Pythagoras adalah tiga bilangan asli yang tepat untuk menyatakan panjang sisi-sisi suatu segitiga siku-siku.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A.
Pendekatan Penelitian Pada penelitian ini, peneliti ingin mengungkapkan permasalahan tentang pembelajaran matematika pada pokok bahasan Teorema Pythagoras dengan pendekatan kontekstual pada siswa Kelas II B Di SMP Negeri ....... Kemudian peneliti melakukan tindakan dengan pembelajaran kontekstual agar siswa belajar dengan penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip kontekstual, yaitu proses pembelajaran yang diharapkan dapat mendorong siswa untuk menyadari dan menggunakan pemahamannya, mengembangkan diri dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kriteria penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena: 1. Menggunakan latar belakang alami sebagai sumber data langsung dan penelitian merupakan alat pengumpul data utama, 2. Analisis data secara induktif, 3. Bersifat diskriptif, karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati sehingga yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci kunci terhadap apa yang sudah diteliti, 4. Adanya kriteria untuk keabsahan data (Moeleong, 1995:4-7).
Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Pemilihan jenis PTK karena peneliti terlibat langsung dan sudah merupakan tugas peneliti sebagai pendidik yang harus selalu berusaha meningkatkan mutu pendidikan. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan kajian tentang situasi sosial dan pandangan untuk meningkatkan mutu tindakan yang ada di dalamnya. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk memberikan pertimbangan praktis dalam situasi nyata (Elliot dalam Wahyudi, 1997:46). Dalam penelitian ini prosedur penelitian dimulai dengan siklus I setelah dilaksanakan tes awal. Hasil tes awal diteliti dan diketahui kesulitasn siswa dalam memahami konsep Teorema Pythagoras. Penelitian ini akan mengungkap persoalan yang terjadi dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual pada pokok bahasan Teorema Pythagoras. Peneliti berada di sekolah dari awal sampai akhir penelitian guna mengetahui keadaan siswa, merumuskan tindakan selanjutnya, memantau dan melaporkan hasil penelitian. B.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 6 Kota Blitar. Lokasi ini dipilih berdasarkan tempat tugas peneliti. Selain itu ternyata pada pembelajaran Teorema Pythagoras menunjukkan hasil belajar siswa kurang optimal, yaitu 85% dari siswa kelas II masih memperoleh nilai kurang dari 50 pada saat diberikan tes awal Teorema Pythagoras. Berdasarkan pertimbangan tersebut peneliti berusaha untuk menelusuri kesulitan siswa dalam pembelajaran Teorema Pythagoras sehingga dapat diupayakan pembelajaran yang sesuai keadaan siswa.
C.
Prosedur Penelitian Untuk kelancaran penelitian, diperlukan prosedur dalam penelitian yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti yaitu dalam bentuk persiapan penelitian. Prosedur penelitian adalah langkah-langkah yang digunakan untuk memperoleh data dari sumber yang diteliti mulai dari awal sampai akhir untuk disajikan dalam bentuk
penelitian. Jalannya penelitian yang dilakukan dil akukan sampai dengan penyusunan penelitian ini adalah melalui dua tahap yaitu: 1. Tahap Persiapan Tahap ini merupakan usaha untuk mempersiapkan penelitian, dalam hal ini yang dipersiapkan antara lain: 1. Mengikuti bimbingan dan pelatihan dari nara sumber dan Widyaiswara. 2. Mengadakan koordinasi dengan guru Matematika SMP Negeri 6 Kota Blitar kususnya guru bidang studi matematika kelas II yang lain untuk memperoleh penjelasan materi yang diberikan kepada siswa. 3. Menetapkan obyek penelitian yaitu seluruh siswa Kelas II B SMP Negeri ...... Tahun Pelajaran 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Setelah persiapan dianggap cukup baru penelitian dimulai, peneliti membagi penelitian ini menjadi 3 siklus. Sedangkan waktunya mulai tanggal 10 September sampai dengan 12 Oktober 2004. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah: a. Siklus I 1. Melakukan observasi tentang permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi dan mengkaji penyelesaiannya. 2. Merancang Rencana Pengajaran (RP) pada pokok bahasan Teorema Pythagoras dengan pendekatan kontekstual bangun kubus dan balok. 3. Melaksanakan kegiatan pembelajaran selama dua kali pertemuan dengan pendekatan konteks bangun kubus dan balok. 4. Mengadakan evaluasi pertama sebagai pengumpulan data. 5. Mengadakan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah diberikan. b. Siklus II 1. Merancang Rencana Pengajaran (RP) pada sub bahasan menentukan Sisi Segitiga Siku-siku. 2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran selama dua kali pertemuan dengan menggunakan konteks bangun kubus dan balok. 3. Mengadakan evaluasi kedua sebagai penjaring data. 4. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kegiatan pembelajaran yang telah diberikan. c. Siklus III 1. Merancang Rencana Pembelajaran (RP) pada sub bahasan Tripel/Tigaan Pythagoras. 2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran selama dua kali pertemuan. 3. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan. D. Jenis dan Sumber Data Data adalah hasil pencatatan penelitian, baik berupa fakta atau angka (Arikunto, 1996:81). Data ada dua macam yaitu: Data yang berupa bilangan atau angka-angka disebut data kuantitatif. • Data yang berbentuk bukan bilangan atau angka-angka disebut kualitatif. • (Pasaribu, 1984:91) Dalam penelitian ini digunakan pengambilan data kuantitatif, sedangkan sumber data penelitian adalah nilai ulangan harian atau hasil evaluasi dari masing-masing masing -masing siklus pada pokok bahasan Teorema Pythagoras Pythagoras yang diperoleh siswa selama penelitian berlangsung. E.
Setting Penelitian 1. Gambaran Populasi
Populasi adalah obyek penelitian, yaitu kumpulan subyek sumber informasi atau kelompok yang menjadi sasaran penelitian. Untuk pengambilan sampel dalam suatu penelitian, terlebih dahulu harus mengetahui populasi populasi yang dijadikan penelitian. “Totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung maupun pengukuran, kuantitatif maupun kwalitatif dari karakteristik tertentu mengenai sekumpulan obyek yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya, sifat- sifatnya, dinamakan populasi.” (Sudjana, 1986:157) Dari sejumlah obyek yang dijadikan populasi maka keseluruhan harus mempunyai ciri-ciri yang sama. Ciri-ciri suatu populasi akan lebih tepat diketahui dengan menilai tiap-tiap unsur yang dilakukan tanpa kecuali. Penentuan populasi dan sampel dalam suatu penelitian sangat penting, guna menentukan obyek yang akan diteliti serta batas batasnya, sehingga akan mudah diukur variabel-variabelnya. Sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan maka yang diambil sebagai populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas II B SMP Negeri ......, Tahun Pelajaran 2008/2009. 2. Subyek Penelitian Satu masalah penting yang harus dilakukan oleh seorang peneliti, jika hendak mengadakan Penelitian Tindakan Kelas yaitu penentuan subyek penelitian. Dari 8 kelas yang ada siswa Kelas II B Di Di SMP Negeri ...... diambil satu kelas sebagai subyek penelitian yaitu Kelas II B yang berjumlah 37 siswa. Pengambilan subyek penelitian dimaksudkan untuk menafsirkan sejumlah siswa yang ada dalam populasi tanpa menganalisa secara keseluruhan permasalahan yang ada pada populasi. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini diupayakan semaksimal mungkin agar bisa mendapatkan data yang benar-benar valid, maka peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Membuat alat penelitian untuk mengevaluasi hasil belajar siswa kelas II. • Membuat alat peraga dengan konteks bangun kubus dan balok. • Melaksanakan evaluasi atau ulangan harian sebanyak tiga kali pada pokok • bahasan Teorema Pythagoras. Mengumpulkan data, mengoreksi hasil evaluasi siswa dan menyimpulkan • untuk mengadakan data kuantitatif daya serap siswa. Pada penelitian ini data yang didapatkan itu belum berarti apa-apa sebab data tersebut masih merupakan data mentah. Untuk itu diperlukan teknik menganalisa data agar bisa ditafsirkan hasilnya sesuai dengan rumusan masalah. Dalam penelitian ini digunakan penafsiran skor acuan kriteria (Criterion Referensi Test). Penafsiran skor acuan kriteria adalah pemberian skor berdasarkan kemampuan siswa menyelesaikan evaluasi atau ulangan harian. Jawaban yang benar dari siswa yang bersangkutan dapat dinyatakan dalam bentuk bentuk prosentase sebagai berikut: Skor = Dimana: B = skor jawaban yang benar dari siswa yang bersangkutan N = skor maksimal dari perangkat soal tes Dari skor bisa ditafsirkan tentang ketuntasan belajar siswa sesuai dengan standar kompetensi kurkulum sebagai berikut: a. Ketuntasan Perorangan Seorang siswa dikatakan berhasil (mencapai ketuntasan), jika telah mencapai taraf penguasaan minimal 75%. Siswa yang taraf penguasaannya kurang dari 75% diberikan remidi pokok bahasan yang belum dikuasai, sedang siswa yang telah mencapai penguasaan 75% atau lebih dapat melanjutkan ke pokok bahasan berikutnya.
b. Ketuntasan Klasikal Klasikal atau suatu kelas dikatakan telah berhasil (mencapai ketuntasan belajar), jika paling sedikit 85% dari jumlah dalam kelompok atau kelas tersebut telah mencapai ketuntsan perorangan. Apabila sudah terdapat 85% dari banyaknya siswa yang mencapai tingkat ketuntasan belajar maka kelas yang bersangkutan dapat melanjutkan pada satuan pembelajaran berikutnya. Apabila banyaknya siswa dalam kelas yang mencapai tingkat ketuntasan belajar kurang dari 85% maka: Siswa yang taraf penguasaannya kurang dari 65% harus diberikan • program perbaikan mengenai bagian-bagian bahan pelajaran yang belum dikuasai. Siswa yang telah mencapai taraf penguasaan 65% atau lebih dapat • diberikan program pengayaan. Bila ketuntasan siswa lebih dari 85% maka pembelajaran yang dilaksanakan peneliti dapat dikatakan berhasil. Tetapi bila ketuntasan belajar belaj ar siswa sisw a kurang dari 85% maka pengajaran yang dilaksnakana peneliti belum berhasil.
F.
Perencanaan Perencanaan Tindakan 1. Perencanaan Perencanaan Tindakan I Tindakan pertama digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam hal mengingat pengertian bentuk kuadrat dan menentukan akar kuadrat suatu bilangan melalui pendekatan kontekstual bangun kubus dan balok. Hal ini mengacu pada pendapat Dr. Nurhadi dan Drs. Agus Gerrad bahwa “dalam pendekatan kontekstual dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.” Dalam perencanaan atau tindakan tetap mengacu pada hasil temuan kesulitan setiap siswa. Sebagai contoh langkah-langkah tindakan sebagai berikut: Siswa dengan bimbingan peneliti menunjukkan perbedaan bentuk kuadrat dengan bilangan yang dikalikan dua melalui contoh. 5 = 5 x 5 = 25 berbeda dengan 5 x 2 = 10 1,3 = 1,3 x 1,3 = 1,69 berbeda dengan 1,3 x 2 = 2.6 0,25 = 0,25 x 0,25 = 0,0625 berbeda dengan 0,25 x 2 = 0.50 2
2
2
4 5 3 Siswa disuruh membuktikan rumus Pythagoras dan menentukan sisi-sisi segitiga sikusiku.
Berdasarkan gambar di atas ternyata bahwa 32 + 42 = 52 Untuk selanjutnya siswa diberi pemantapan dengan banyak latihan yaitu dengan melangkapi tabel seperti tampak pada gambar di bawah ini. NoLuas persegi pd Hipotenusa L1 L2L1 + L2 1 8 4 4 8
2 3 4
…...... 41 74
9 16 25 16 25 …...... ….... 49 74
Penelitian bersama-sama siswa merumuskan bahwa dari hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa luas lingkaran dengan cara menghitung pendekatan kontekstual bangun kubus dan balok. 2.
Perencanaan Perencanaan Tindakan II Tindakan kedua ini bertujuan untuk menemukan sisi-sisi suatu segitiga siku-siku. Langkah-langkah untuk melakukan percobaan di kelas adalah sebagai berikut: Pertama siswa dalam kelas dibagi menjadi 6 kelompok masing-masing kelompok terdiri • dari 6 siswa. Kedua guru memeriksa pengarahan dan menyelesaikan kepada seluruh kelompok dalam • kelas guna persiapan untuk melakukan percobaan. Ketiga peneliti membimbing dalam masing-masing kelompok untuk melakukan • kegiatan percobaan untuk menemukan rumus Pythagoras. Langkah selanjutnya secara terperinci telah diterangkan dengan jelas, pada bab II • halaman 27 27 sampai sampai dengan 30 30 sehingga sehingga diperoleh rumus teorema. 3.
Perencanaan Perencanaan Tindakan III Tindakan ketiga ini bertujuan untuk menentukan Tigaan Pythagoras (Tripel Pythagoras). Langkah-langkah yang dilakukan di kelas adalah sebagai berikut: Pertama siswa dianjurkan bergabung ke dalam kelompok yang telah dibentuk dalam • pertemuan sebelumnya. Kedua peneliti memberi pengarahan kegiatan yang akan dilaksanakan dan apa yang • harus dikerjakan oleh masing-masing kelompok dengan konteks bangun kubus dan balok. Ketiga peneliti membimbing kelompok-kelompok yang masih mengalami kesulitan • dalam menemukan segitiga yang memiliki ukuran tripel Pythagoras atau yang bukan tripel Pythagoras melalui percobaan kubus dan balok. Langkah selanjutnya secara terperinci telah diterangkan pada bab II halaman 30 30 sampai sampai • dengan halaman 32 32.. Untuk melihat sejauh mana pemahaman siswa, peneliti memberikan soal-soal latihan.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Supaya dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan maka peneliti menggunakan model siklus. Adapun pelaksanaan dari siklus-siklus tersebut adalah sebagai berikut: A.
SIKLUS I 1. Perencanaan
Pada siklus ini peneliti merencanakan bahwa dalam pembahasan pokok bahasan Teorema Pythagoras dengan menggunakan pendekatan kontekstual bangun kubus dan balok. Menurut peneliti bahwa siswa Kelas II B Di SMP Negeri ...... sebagian besar belum mengetahui dan memahami pembelajaran Teorema Pythagoras dari pembelajaran sebelumnya. Disamping itu peneliti ingin mengetahui dan meningkatkan hasil pembelajaran siswa khususnya pada Teorema Pythagoras siswa Kelas II B Di SMP SMP Negeri ...... Tahun Pelajaran 2004/2005. 2. Pelaksanaan Kegiatan pembelajaran pada siklus ini dilaksanakan pada tanggal 10 s/d 15 September 2008 dengan uraian sebagai berikut: Setelah tanda pelajaran dimulai peneliti masuk dan memberikan salam. • Peneliti membuka pelajaran dengan pembukaan bahwa pada kesempatan ini akan dibahas tentang Segitiga Siku-siku, peneliti memberikan pernyataan-pertanyaan tentang segitiga dengan tujuan mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa tentang segitiga siku-siku. Selain itu diharapkan dapat membangkitkan kreatifitas siswa dalam mengungkapkan pendapat dan apa yang siswa ketahui tentang segitiga siku-siku. Kemudian siswa disuruh menyebutkan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari penggunaan segitiga. Dari contoh penggunaan segitiga dalam kehidupan sehari-hari tersebut, • diharapkan siswa lebih mudah memahami konsep pembelajaran dengan suatu konteks benda nyata yang ada di lingkungan sekitarnya. Sehingga pendekatan ini lebih mudah dipahami oleh siswa dan konsep pembelajaran yang sebenarnya dapat tercapai dengan semaksimal mungkin. Kemudian peneliti memberikan kesmepatan kepada siswa untuk bertanya. • Jika ada pertanyaan peneliti mengulang kembali bagian yang ditanyakan siswa sehingga siswa jelas dan memahaminya. Dan apabila siswa telah paham maka peneliti memberikan soal-soal untuk dikerjakan. Peneliti mengamati dan berkeliling untuk memberi bimbingan kepada siswa yang masih mengalami kesulitan. Selanjutnya peneliti menunjuk siswa untuk mengerjakan ke muka hasil pekerjaan yang telah dikerjakan. Sebelum kegiatan pembelajaran pertama berakhir, peneliti memberikan soal• soal latihan (evaluasi 1) yang harus dikerjakan siswa dan selanjutnya dikumpulkan. Dari hasil latihan ini dijadikan sebagai sumber data pertama. Pada kegiatan ini soal yang peneliti berikan berjumlah 5 butir soal dengan alokasi waktu 30 menit. Apabila waktu masih memungkinkan siswa diberikan tugas rumah yang diambilkan dari buku paket. 3.
Pengamatan Dari pemberian soal pada evaluasi pertama didapatkan data nilai sebagai
berikut: Mata Pelajaran Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan Kelas/Sekolah
: Matematika : Teorema Pythagoras : Kuadrat dan Akar Kuadrat Suatu Bilangan : II B / SMP Negeri ......, ......
NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
HASIL NILAI EVALUASI SIKLUS I NO INDUK NAMA SISWA NILAIKET NILAIKET 00723 AHMAD ANDRIANTO 7 T 00763 ANTOK SETIAWAN 8 T 00726 ARIS YULI RIANTO 5 TT 00728 AYUK 4 TT 00764 BINTI KOMSIATUN 7 T 00799 DARIRUS SETYANI 6 TT 00802 DESI IRAWATI 7 T 00804 DHONY IMAM NACHROWI 4 TT 00732 DIANA LESTARI 8 T 00769 DWI KHUSNUL KHOTIMAH 8 T 00807 EKA FEBRIANTI 7 T 00736 ELLA WITYANINGSIH 6 TT 00773 ERNAWATI 7 T 00810 IBNU MAS‟UD 7 T 00737 JAYUS PRIYONO 7 T 00713 JUMAIKA TRIASTUTIK 4 TT 00814 KARISAH 5 TT 00778 KUNCORO 7 T 00780 LIANA DEWI PUSPITA 9 T 00741 LINDA IRAWATI 7 T 00816 M. ANDRIYANU MUSTOFA 7 T 00783 MIA DWIYANTI 6 TT 00745 MUDO ADI SAPUTRO 7 T 00819 MUHAMAD UDIN SETIAWAN 8 T 00822 NINA AMELIA 7 T 00748 NINGSIH 7 T 00787 PRIYO SAPUTRO 7 T 00825 RENDIK KURNIAWAN 5 TT 00790 RIRIN ANGGRAINI 5 TT 00828 SRI WAHAYU 8 T 00751 SRIATUN WULANDARI 9 T 00752 SUROSO 5 TT 00831 TITIN WIBAYANTI 4 TT 00755 TRI ASTUTIK 7 T 00794 UTAMI NINGTYAS 5 TT 00759 YOYOK WIBOWO 7 T 00833 YUSUF ADIMIANTO 8 T
JUMLAH SKOR Jumlah = 251 rata-rata = 6,8
251
Hasil Analisa Banyaknya siswa seluruhnya = 37 siswa Banyaknya siswa yang tuntas belajar = 24 siswa Prosentase banyaknya siswa yang tuntas = 65% a. Klasikal: Ya/Tidak Kesimpulan: Perlu perbaikan secara individual siswa-siswa yang bernama: 1. ARIS YULI RIANTO 2. AYUK 3. DARIRUS SETYANI 4. DHONY IMAM NACHROWI 5. ELLA WITYANINGSIH 6. JUMAIKA TRIASTUTIK 7. KARISAH 8. MIA DWIYANTI 9. RENDIK KURNIAWAN 10. RIRIN ANGGRAINI 11. UTAMI NINGTYAS 12. TITIN WIBAYANTI 13. SUROSO Dari analisa di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan belum berhasil sebab prosentase siswa yang tuntas belajar baru mencapai 65% dari siswa Kelas II B. Suatu kelas dikatakan berhasil jika mencapai ketuntasan belajar paling sedikit 85% dari jumlah siswa dalam kelas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran belum berhasil dan perlu ditinjau kembali untuk tahap pembelajaran berikutnya. 4. Refleksi Kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan belum berhasil. Apakah penyebabnya? Sedangkan Rencana Pengajaran telah disusun sesuai dengan kerangka pembelajaran yang sesungguhnya yaitu menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual. Peneliti berusaha mencari penyebabnya dengan memperhatikan kejadian-kejadian di kelas, antara lain: Suasana kelas agak terganggu, dimana sebagian siswa kurang memperhatikan materi • pembelajaran yang diberikan oleh peneliti. Hal ini disebabkan karena siswa sibuk sendiri menggambar segitiga pada buku berpetak, ada sebagian siswa tidak memiliki buku berpetak dan penggaris. Masalah inilah yang mengganggu dan menghambat jalannya pembelajaran untuk berhasil. Pada pertemuan ini siswa kurang memperhatikan hal-hal penting yang harus dipahami • dan dimengerti, sehingga mengakibatkan penurunan prestasi belajar siswa baik dalam pengerjaan soal latihan maupun pengerjaan soal evaluasi.
B.
SIKLUS II 1. Perencanaan Pada siklus ke dua peneliti lebih meningkatkan kegiatan pembelajaran dari apa yang telah dilakukan pada siklus I yaitu peneliti ingin membawa siswa Kelas II B di SMP Negeri ...... pada suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan. Dari pembelajaran
ini peneliti mengharapkan suasana kerjasama yang baik dalam memecahkan sautu maslaah siswa dan tanggung jawab setiap siswa terhadap diri sendiri serta kelompoknya. Setiap siswa diharapkan mempraktekkan konsep Teorema Pythagoras dengan cara menyusun bangun kubus dan balok seperti yang telah dijelaskan serta menyelesaikan setiap soal dengan kelompoknya. Dengan demikian rasa tanggung jawab dan ketuntasan belajar siswa dapat tercapai. 2. Pelaksanaan Kegiatan pembelajaran pada siklus II dilaksanakan pada tanggal 17 s/d 22 September 2008 yang membahas tentang membuktikan rumus Teorema Pythagoras melalui pendekatan konteks bangun kubus dan balok. Kemudian selanjutnya dengan menyusun bangun kubus dan balok sesuai penjelasan dalam bab III, siswa dapat menentukan rumus dan dapat mencari panjang sisi-sisi segitiga siku-siku jika dua sisi lain diketahui. Siswa diharapkan juga dapat mengerjakan latihan soal dan mengerjakan soal evaluasi 2 sebagai penjaring data. Pelaksanaan kegiatan percobaan dalam kelas adalah sebagai berikut: 1. Siswa dibagi dalam 6 kelompok dimana tiap kelompok beranggotakan 5 orang dan ada 1 kelompok beranggotakan 4 orang sebab jumlah siswa hanya 34 orang. 2. Pada masing-masing kelompok, peneliti membagi dalam tiga kelompok yaitu: kelompok atas, kelompok sedang dan kelompok bawah. Hal ini dilakukan dengan maksud agar dalam kelompok tersebut semua siswa mempunyai potensi yang sama dalam pembelajaran. 3. Masing-masing kelompok mempersiapkan bahan serta alat yang diperlukan berupa: kertas manila, gunting, penggaris, lem dan alas tulis. 4. Peneliti kemudian menyuruh kepada masing-masing kelompok untuk menyiapkan seluruh peralatan dan peneliti memberi contoh membuat bangun kubus dan balok dari kertas manila dan selanjutnya siswa mengikutinya. Bila bangun kubus dan balok telah siap selanjutnya disusun berjajar membentuk persegi, semua kelompok mempraktekkan sendiri-sendiri. 5. Peneliti keliling melihat hasil kerja masing-masing kelompok dan memberikan bantuan seperlunya. 6. Peneliti memberikan penjelasan pada seluruh kelompok bahwa luas persegi pada sisi miring (hipotenusa) sama dengan jumlah luas persegi pada sisi siku-siku bangun kubus yang dijajarkan. Selanjutnya siswa menuliskan rumus Teorema Pythagoras sesuai dengan apa yang telah dilaksanakan. 7. Dari penjelasan yang diberikan oleh peneliti, masing-masing kelompok dapat menentukan rumus Teorema Pythagoras dan menentukan panjang sisi-sisi segitiga yang lain dengan menggunakan rumus yaitu: a2 = b2 + c2. 8. Kemudian peneliti memberikan beberapa soal yang berkaitan segitiga dan siswa disuruh mementukan panjang sisi-sisinya jiak dua sisi-sisi yang lain diketahui. 9. Selanjutnya peneliti menunjuk beberapa siswa untuk mengerjakan soal latihan di papan tulis. Dan sebelum pembelajaran berakhir peneliti memberikan tugas di rumah (PR) dari buku paket. 10. Kemudian pembelajaran berikutnya adakah pelaksanaan evaluasi 2 yang terdiri dari 5 butir soal yang harus dikerjakan oleh setiap siswa dan bila selesai segera dikumpulkan. 3. Pengamatan Dari pelaksanaan evaluasi 2 didapatkan data nilai sebagai berikut: Mata Pelajaran : Matematika
Pokok Bahasan : Teorema Pythagoras Sub Pokok Bahasan : Pembuktian Teorema Pythagoras Kelas/Sekolah : II B / SMP Negeri ......, ......
NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
HASIL NILAI EVALUASI SIKLUS II NO INDUK NAMA SISWA NILAIKET NILAIKET 00723 AHMAD ANDRIANTO 8 T 00763 ANTOK SETIAWAN 9 T 00726 ARIS YULI RIANTO 7 T 00728 AYUK 7 T 00764 BINTI KOMSIATUN 8 T 00799 DARIRUS SETYANI 6 TT 00802 DESI IRAWATI 8 T 00804 DHONY IMAM NACHROWI 7 T 00732 DIANA LESTARI 8 T 00769 DWI KHUSNUL KHOTIMAH 8 T 00807 EKA FEBRIANTI 8 T 00736 ELLA WITYANINGSIH 7 T 00773 ERNAWATI 8 T 00810 IBNU MAS‟UD 8 T 00737 JAYUS PRIYONO 7 T 00713 JUMAIKA TRIASTUTIK 6 TT 00814 KARISAH 7 T 00778 KUNCORO 8 T 00780 LIANA DEWI PUSPITA 9 T 00741 LINDA IRAWATI 8 T 00816 M. ANDRIYANU MUSTOFA 8 T 00783 MIA DWIYANTI 6 TT 00745 MUDO ADI SAPUTRO 8 T 00819 MUHAMAD UDIN SETIAWAN 8 T 00822 NINA AMELIA 7 T 00748 NINGSIH 7 T 00787 PRIYO SAPUTRO 7 T 00825 RENDIK KURNIAWAN 7 T 00790 RIRIN ANGGRAINI 6 TT 00828 SRI WAHAYU 8 T 00751 SRIATUN WULANDARI 9 T 00752 SUROSO 7 T 00831 TITIN WIBAYANTI 6 TT 00755 TRI ASTUTIK 7 T 00794 UTAMI NINGTYAS 6 TT 00759 YOYOK WIBOWO 7 T 00833 YUSUF ADIMIANTO 8 T
JUMLAH SKOR 282 Jumlah = 282 rata-rata = 7,6 Hasil Analisa Ketuntasan Belajar a. Perorangan Banyaknya siswa seluruhnya = 37 siswa Banyaknya siswa yang tuntas belajar = 31 siswa Prosentase banyaknya siswa yang tuntas = 84% b. Klasikal: Ya/Tidak Kesimpulan: Perlu perbaikan secara individual siswa yang bernama: 1. DARIRUS SETYANI 2. JUMAIKA TRIASTUTIK 3. MIA DWIYANTI 4. RIRIN ANGGRAINI 5. UTAMI NINGTYAS 6. TITIN WIBAYANTI
Dari analisa di atas jelas bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan telah mengalami peningkatan yaitu siswa yang tuntas adalah 84%. Dalam hal ini berarti pembelajaran yang dilakukan belum berhasil berhasil dan perlu ada perbaikan kembali.
C.
4. Refleksi Dari hasil analisa evaluasi 2 diketahui bahwa kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan belum berhasil. Karena masih ada lima siswa yang belum tuntas belajarnya. Tentunya hal ini perlu adanya perbaikan dan tugas tersendiri bagi peneliti untuk meningkatkan proses pembelajaran berikutnya. SIKLUS III 1. Perencanaan Pada siklus ke tiga peneliti ingin lebih mengutamakan kegiatan pembelajaran pada proses dan pemahaman konsep materi yang disampaikan. Peneliti juga ingin selalu membimbing siswa-siswa yang belum tuntas dengan cara memberikan pengarahan dan mencari cara yang tepat dalam menyampaikan konsep materi pada siswa. Pada kesempatan ini siswa diharapkan lebih memahami, menguasai konsep dengan sebaik mungkin serta tetap menjalin kekompakan kerja sama antara anggota kelompoknya. Dengan demikian soal yang diberikan peneliti dapat diselesaikan secara baik dan pembelajaran berhasil dengan tuntas. 2. Pelaksanaan Kegiatan pembelajaran pada siklus ke tiga dilaksanakan pada tanggal 7 s/d 12 Oktober 2008 yang membahas pokok bahasan Kebalikan Teorema Pythagoras dan Tripel Pythagoras melalui konteks bangun kubus dan balok yang disusun berjajar membentuk persegi. Selanjutnya dari kegiatan tersebut siswa diberi soal latihan serta diakhiri kegiatan siswa mengerjakan soal evaluasi 3 sebagai penjaringan data sekaligus sebagai ulangan harian. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran berlangsung sebagai berikut: 1. Siswa tetap dikelompokkan sesuai dengan kelompoknya masing-masing. 2. Peneliti memberikan pengarahan kepada seluruh siswa apa yang akan dilaksanakan, semua siswa harus memperhatikan apa tugas kelompoknya. 3. Masing-masing kelompok mempersiapkan peralatan dan bahan yang sebelumnya dipakai.
Peneliti menyuruh kepada masing-masing kelompok untuk menyiapkan peralatannya, kemudian peneliti memberikan contoh cara menyusun men yusun bangun kubus dan balok membentuk bangun persegi seperti yang telah dijelaskan pada bab II. Selanjutnya kebalikan Teorema Pythagoras dapat diketahui jika suatu segitiga merupakan segitiga siku-siku atau bukan bila diketahui ketiga sisinya. Rumus kebalikan Teorema Pythagoras adalah: Jika a2 = b2 + c2, maka segitiga ABC siku-siku di A Jika b2 = a2 + c2, maka segitiga ABC siku-siku di B Jika c2 = a2 + b2, maka segitiga ABC siku-siku di C 5. Dengan pemberian contoh tadi, diikuti oleh masing-masing kelompok yang mana tiap kelompok membuat satu percobaan saja dan d an anggotanya memperhatikan. 6. Peneliti berkeliling dalam kelas sambil memberikan bimbingan dan membetulkan pekerjaan yang kurang benar. 7. Peneliti memberikan penjelasan kepada masing-masing kelompok bahwa Tripel / tigaan Pythagoras adalah tiga bilangan asli yang tepat untuk menyatakan panjang sisi-sisi suatu segitiga siku-siku. 8. Dari penjelasan peneliti masing-masing siswa dapat membedakan bilangan yang merupakan Tripel/Tigaan Pythagoras atau bukan Tripel/Tigaan Pythagoras. 9. Selanjutnya peneliti memberikan beberapa contoh soal yang berkaitan Tripel/Tigaan Pythagoras dalam bentuk soal cerita sehingga siswa paham dan mengerti. 10. Peneliti menunjuk beberapa siswa untuk mengerjakan soal latihan yang telah dikerjakan di papan tulis dan memberikan soal latihan di rumah. 11. Kegiatan pembelajaran berikutnya adalah pelaksanaan ulangan harian yang sekaligus pelaksanaan evaluasi 3 sebagai sumber data penelitian. Soal yang peneliti ujikan ada 10 soal yang berbentuk subyektif dan dikerjakan siswa dalam waktu 60 menit. 4.
3. Pengamatan Dari pemberian soal evaluasi 3 didapatkan data nilai sebagai berikut: Mata Pelajaran : Matematika Pokok Bahasan : Teorema Pythagoras Sub Pokok Bahasan : Kebalikan Teorema Pythagoras dan Tripel/Tigaan Pythagoras Kelas/Sekolah : II B / SMP Negeri ......, ......
NO
1 2 3 4 5 6 7 8
HASIL NILAI EVALUASI SIKLUS III NO INDUK NAMA SISWA 00723 AHMAD ANDRIANTO 00763 ANTOK SETIAWAN 00726 ARIS YULI RIANTO 00728 AYUK 00764 BINTI KOMSIATUN 00799 DARIRUS SETYANI 00802 DESI IRAWATI 00804 DHONY IMAM NACHROWI
NILAIKET NILAIKET 9 T 9 T 8 T 8 T 8 T 7 T 8 T 7 T
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
00732 00769 00807 00736 00773 00810 00737 00713 00814 00778 00780 00741 00816 00783 00745 00819 00822 00748 00787 00825 00790 00828 00751 00752 00831 00755 00794 00759 00833
DIANA LESTARI DWI KHUSNUL KHOTIMAH EKA FEBRIANTI ELLA WITYANINGSIH ERNAWATI IBNU MAS‟UD JAYUS PRIYONO JUMAIKA TRIASTUTIK KARISAH KUNCORO LIANA DEWI PUSPITA LINDA IRAWATI M. ANDRIYANU MUSTOFA MIA DWIYANTI MUDO ADI SAPUTRO MUHAMAD UDIN SETIAWAN NINA AMELIA NINGSIH PRIYO SAPUTRO RENDIK KURNIAWAN RIRIN ANGGRAINI SRI WAHAYU SRIATUN WULANDARI SUROSO TITIN WIBAYANTI TRI ASTUTIK UTAMI NINGTYAS YOYOK WIBOWO YUSUF ADIMIANTO
9 9 9 8 9 8 8 7 8 9 9 8 9 7 9 9 8 8 8 8 7 9 9 8 6 8 6 9 9
T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T TT T TT T T
JUMLAH SKOR 302 Jumlah 302 8,2 Hasil Analisa a. Ketuntasan Belajar Banyaknya siswa seluruhnya = 37 siswa Banyaknya siswa yang tuntas = 35 siswa Prosentase banyaknya siswa yang tuntas = 94% b. Klasikal: Ya/Tidak Kesimpulan: Perlu perbaikan secara individual siswa yang bernama: 1. TITIN WIBAYANTI 2. UTAMI NINGTYAS Dari analisa di atas sudah jelas bahwa kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan peneliti berhasil dengan tuntas sebab prosentase siswa yang tuntas adalah 94% dari jumlah siswa secara keseluruhan. Dalam hal ini menunjukkan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan telah berhasil. 4. Refleksi Dari hasil analisa evaluasi 3 diketahui bahwa kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan berhasil. Tetapi masih ada dua orang siswa yang belum tuntas. Tentunya
akan menjadi tugas dan tantangan tersendiri bagi peneliti untuk mengoptimalkan pembelajaran secara tuntas. Sebab menurut pandangan peneliti siswa yang belum tuntas tersebut mempunyai potensi yang sama untuk menuntaskan pembelajaran. BAB V PENUTUP A.
Simpulan Setelah peneliti cermati selama dalam kegiatan penelitian dari hal proses sampai pada hasil maka peneliti menyimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam menggunakan metode pembelajaran dengan pendekatan kontekstual hendaknya guru juga memperhatikan pentingnya pengelolaan kelas. Hal ini demi kelancaran proses pembelajaran. Sebab walaupun dalam pembelajaran sudah menggunakan metode pembelajaran yang baik namun jika dalam mengelola kelas kurang baik, maka proses pembelajaran akan terganggu dan hasilnya kurang memuaskan. 2. Pembelajaran kontekstual pada pokok bahasan Teorema Pythagoras dengan menggunakan bangun kubus dan balok, telah memberikan nuansa baru dalam pembelajaran Matematika sehingga pembelajaran lebih efektif. Hal ini terbukti dengan adanya perubahan yang signifikan terhadap ketuntasan belajar siswa. Terlihat pada nilai ulangan siswa yang dilakukan setelah siklus III mencapai nilai rata-rata 8,5 dengan ketuntasan belajar 94%.
B.
Saran-saran Setelah mengetahui hasil dan kesimpulan selama penelitian berlangsung di SMP Negeri ......, peneliti memberikan saran antara lain: 1. Seorang guru hendaknya trampil dan dapat menguasai berbagai metode pembelajaran agar siswa lebih mudah memahami materi pembelajaran. 2. Seorang guru harus selalu aktif melibatkan siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung. 3. Seorang guru harus dapat memilih metode dan kreatif dalam mencoba ide baru agar proses pembelajaran berhasil dengan baik dan tidak membosankan. membosankan. 4. Hendaknya guru selalu memotivasi siswa untuk selalu belajar di rumah materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya berikutnya supaya dalam pembelajaran siswa mempunyai gambaran materi. 5. Perlunya kolaborasi dengan guru yang lain di dalam meningkatkan kualitas pembelajaran melalui Penelitian Tindakan Kelas. 6. Kepala Sekolah hendaknya memfasilitasi kegiatan Penelitian Tindakan Kelas yang dituangkan dalam Program Kerja Sekolah.
DAFTAR RUJUKAN
Adiawan, M, Cholik dan Sugiono. 2003. Matematika Untuk SLTP Kelas 2. Jakarta: Erlangga. Djumanta, Wahyudi. 1994. Matematika Untuk SLTP Kelas II. Jakarta: Multi Trust. Hudoyo, Herman. 1980. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Moeleong, L. J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurhadi dan Sentuk, Agus, Gerrad. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: UM Press. Ruseffendi, E.T. 1980. Pengajaran Matematika Modern Untuk Orang Tua Murid, Guru dan SPG. Bandung: Tarsito. Soejono. 1984. Diagnosis Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial Matematika. Jakarta: Depdikbud. Universitas Negeri Malang. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: UM Press.
5612