BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
Januari 2018
UNIVERSITAS PATTIMURA
LUPUS ERITEMAOSUS SISTEMIK PADA ANAK
Disusun Oleh: Zikry Sitania (2017-84-028)
PEMBIMBING dr. Vivianty Hartiono, Sp.A
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK DI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON 2018
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat dengan topik “ Lupus eritematosus sitemik pada anak ” dengan baik. Penulisan referat ini merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik pada bagian ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon. Penulis menyadari akan kekurangan dalam penyusunan referat ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam perbaikan referat ini. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.
Ambon, Januari 2018
Penulis
ii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR ................................................................................... ....... i DAFTAR ISI......................................................................................................... ii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A.
Definisi ............................................. ........................................... 3
B.
Epidemiologi ............................................................................... 3
C.
Etiopatogenesis ................................................... ......................... 3
D.
Diagnosis ..................................................................................... 6
E.
Diagnosis banding ....................................................................... 10
F.
Bentuk bentuk lupus .................................................................... 11
G.
Tatalaksana ................................................. ................................. 14
H.
Prognosis ..................................................................................... 20
BAB III. PENUTUP Kesimpulan ................................................. ................................. 22 Daftar Pustaka……………………………………………
iii
BAB I PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik ( systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Kekeliruan dalam mengenali penyakit ini sering terjadi. Gambaran kinik yang sangat bervariasi dari kelainan berupa rash (kemerahan) pada kulit, anemia, trombositopenia, glomerulonephritis, dan dapat juga mengenai organ lainnya di tubuh, tetapi ada satu hal yang sama, yaitu berupa beruoa produksi Anti Nuclear Antibodi (ANA) dan anti ds DNA.1 Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%,
fotosensitiviti
22,9%,
keterlibatan
neurologik
19,4%
dan
demam
16,6%
sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.1 Umumnya SLE lebih seing menyerang wanita dibandingkan laki-laki dengan rasio wanita banding pria 12: 1. SLE dapat menyerang segala usia dengan insidens puncak pada usia 15-45 tahun, di amerika ras non kaukasian lebih banyak dibandingkan ras kulit putih juga pada wanita keturunan kulit hitam bila dibandingkan ras kulit putih wanita kulit hitam 3-4 kali lebih banyak.2 Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,10 dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.10,11 Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam12, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.1Penelitian restrospektif
1
deskriptif dilakukan di Departemen IKA RSCM periode 1 Januari 1995-31 Desember 2008. Data diperoleh dari rekam medis dengan kriteria inklusi, usia 0-18 tahun dan didiagnosis sebagai LES. Selama 14 tahun terdaftar 60 pasien dengan diagnosis LES namun hanya 27 pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Jumlah subjek perempuan dibandingkan laki-laki, 24:3 dan usia terbanyak antara 6-12 tahun.3 Terapi SLE (Systemic Lupus Erythematosus) tergantung dari berat ringannya penyakit dan menerapkan sistem multidisipliner yaitu pendidikan, sosial, reumatologi, dermatovenereologi, psikiatri, psikologi dan neurologi.4
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Lupus eritematosus sistemik ( systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang disebabkan oleh keterkaitan faktor lingkungan, hormonal dan genetik dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Kelainan ini merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologis, diantaranya yang terpenting adalah adanya antibodi antinuclear (ANA) dan anti double stranded DNA (anti ds DNA) yang sering dikaitkan dengan lupus yang berat dan lupus nefritis.2,4
B. Epidemiologi Insidens SLE pada anak secara umum mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit ini jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun, perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Onset SLE paling sering didapatkan pada anak perempuan usia antara 9 sampai 15 tahun. Rasio perempuan dan laki-laki adalah 2:1 sebelum pubertas dan setelah pubertas menjadi 9:1. Insidens SLE tidak diketahui secara pasti tapi bervariasi tergantung etnis dan lokasi. Prevalens SLE antara 2,9-400/100.000.5
C. Etiopatogenesis Etiopatogenrsis
dari
LES
belum
diketahui
secara
pasti
namun
diduga
melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal, dan aksi HipotalamusHipofisis-Adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis LES. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis
dan
kompleks
imun
merupakan
konstributor
yang
penting
dalam
perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatknya beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T 3
helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.2
Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1 r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.2
Studi
lain
mengenai
faktor
genetik
ini
yaitu
studi
yang
berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC ( Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q.7-8 Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.2
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi 4
kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. 2
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES. Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk ku lit dan ginjal.2
Jadi imnunopatogenesis SLE melibatkan interaksi yang kompleks dan multifactorial antara variasi genetic dan faktor lingkungan. Banyak gen yang memberi kontribusi terhadap kepekaan penyakit. Interaksi antara seks status hormonal, aksis HPA dan faktor lainnya mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Gangguan mekanisme regulasi imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun, merupakan contributor yang penting dalam perkembangan penyakit. Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenic, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan ketidakseimbangan sitokin pro dan anti inflamasi, hiperaktivitas sel B dan produksi autoantibodi patogenik. Faktor lingkungan tertentu mungkin diperlukan sebagai pencetus timbulnya penyakit. Pengetahuan terhadap imunopatogenesis SLE sangat diperlukan agar bisa memberikan penatalaksanaan secara maksimal.2
5
D. Diagnosis 1. Anamnesis.4
Gejala
konstitusional
(intermiten/persisten):
demam,
ruam,
mukositis,
artritis,malaise, fatigue, alopesia, anoreksia dan penurunan berat badan.
Kelainan kulit dan mukosa, (30-60% anak pada saat didiagnosis).
Keluhan sendi yang dapat berupa nyeri, bengkak dan morning stiffness (90% anak penderita LES).
Alopesia (ramut rontok) (25% anak), dapat bersifat difus atau berkelompok.
Gejala akibat kelainan organ lain yang dapat terjadi pada suatu saat/tahap evolusi penyakit yang berbeda.
2. Pemeriksaan fisik.4 Secara klinis terdapat 2 unsur penting LES yaitu:
Bersifat episodik, biasanya terjadi pada anak yang lebih besar, dengan gejala intermitten artritis, pleuritis, dermatitis atau nefritis.
Multisistemik, pasien memperlihatkan kelainan pada lebih dari satu organ akibat vaskulitis, misalnya pada kulit, ginjal dan susunan saraf pusat.
Tabel 1. Memperlihatkan berbagai gambaran manifestasi klinis pada LES. 4
6
Gambar 1. Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus
3. Pemeriksaan Penunjang.4 Beberapa pemeriksaan berikut mempunyai nilai diagnostik, prognostik, surveilans atau mempunyai arti patofsiologi khusus dan bukan merupakan prosedur rutin. Pemeriksaan Darah
Hb, leukosit, trombosit: dapat ditemukan anemia dan leukopenia (50% anak) dan trombositopenia (15% anak)
LED dan CRP (indikator reaksi inflamasi nonspesifk)
Retikulosit: meningkat
PT dan aPTT: biasanya memanjang karena adanya circulating anticoagulant yang menghambat aktivitas prothrombin activator complex.
Komplemen C3, C4 dan CH50: selama masa aktif, fraksi komplemen terpakai sehingga kadar menurun terutama bila disertai gangguan ginjal. Kadar C3, C4 dan anti-ds-DNA dapat dipakai untuk menilai respons terapi dan aktivitas penyakit terutama pada lupus nefritis.
Uji Coomb: positif (10%-30% pasien)
Uji ANA (antibodi antinuklear): skrining LES, positif pada penyakit aktif
Anti ds-DNA: positif pada 50-70% anak LES. Lebih spesifk dibandingkan dengan uji ANA, sangat bermanfaat untuk menilai respons terapi. 7
Sel LE: kurang sensitif dibandingkan uji ANA.
Anti Smith: positif (30% penderita), hasil positif bersifat diagnostik.
Antibodi antiplatelet: positif (75% penderita tanpa trombositopenia)
Antibodi antineutrofl
Antibodi antifosfolipid: meningkatkan risiko trombosis dan tromboemboli vena dalam.
Antibodi antihiston: peningkatan titer berhubungan dengan drug-induced lupus.
Uji ATA (antibodi antitiroid): positif pada 40% penderita LES
VDRL: positif palsu disebabkan reaksi silang antara antibodi antifosfolipid dengan antikardiolipin
SGOT dan SGPT: peningkatan ringan sesaat (25% penderita), biasanya dihubungan dengan pengobatan aspirin.
Kadar T3 dan T4: hipotiroid pada 10-15% penderita.
Urea N dan Kreatinin: menilai kelainan ginjal.
Protein dan albumin darah: harus diperiksa teratur
Urin: menilai kelainan ginjal
Pemeriksaan Penunjang lainnya:
Foto toraks: evaluasi pleuritis, efusi pleura, pneumonitis akut dan infltrasi interstitial.
Foto persendian: menentukan ada/tidaknya artritis.
Elektrokardiograf: evaluasi gangguan jantung
Elektroensefalograf: evaluasi gangguan sistem saraf pusat (ensefalopati).
Biopsi kulit: penderita suspek LES dengan ANA (-). Pada lupus band test dapat dideteksi adanya deposit kompleks imunoglobulin dan komplemen pada dermalepidermal junction.
Biopsi ginjal: menilai derajat berat ringannya nefritis
Pemeriksaan mata: melihat cotton wool exudates, episkleritis dan skleritis
8
Tabel 2. Kriteria Diagnostk LES menurut American College of Rheumatology 1997. 1,4
No 1. 2. 3. 4 5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Kriteria Ruam malar (buterfly rash)
Defnisi Eritema fiksata, datar atau menimbul di daerah pipi, cenderung mengecualikan lipatan nasolabial. Ruam eritema yang menimbul disertai pengelupasan keratotk Ruam diskoid dan penyumbatan folikular. Pada lesi lama, dapat terjadi parut atrofk. Ruam kulit yang tmbul akibat paparan sinar matahari, pada Fotosensitf anamnesis/ pemeriksaan fsis Ulkus oral Ulserasi oral atau nasofaringeal yang tdak nyeri Artrits non erosif pada dua atau lebih persendian perifer, Artrits ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi Pleurits, riwayat pleuritc pain atau terdengar pleural fricton rub, atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fsis atau Serosits Perikardits, dibuktkan dengan EKG, atau terdengar pericardial fricton rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fsis Proteinuria persisten >0,5 g/ hari atau pemeriksaan Bang (+3) jika pemeriksaan kuanttatf tdak dapat dilakukan atau Gangguan ginjal Cellular cast , yaitu eritrosit, Hb, granular, tubular, atau campuran Kejang, tdak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis, atau ketdakseimbangan elektrolit atau Gangguan neurologi Psikosis yang tdak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolic (uremia, ketoasidosis, atau ketdakseimbangan elektrolit) Terdapat salah satu kelainan darah: Anemia hemolitk dengan retkulositosis Gangguan Leukopenia: < 4000/mm3 pada ≥ 1 pemeriksaan hematologi Limfopenia: < 1500/ mm3 pada ≥ 2 pemeriksaan Trombositopenia: < 100.000/ mm3 tanpa adanya intervensi obat Terdapat salah satu kelainan: Ant ds-DNA diatas tter normal Ant- Sm (Smith) (+) Antbodi antfosfolipid (+) berdasarkan: Gangguan imunologi 1. Kadar serum IgG atau IgM antkardiolipin yang abnormal 2. Antkoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar 3. Tes Siflis (+) palsu paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfrmasikan dengan pemeriksaan mikroskopis atau antbodi treponema Antbodi antnuklir Tes ANA (+)
9
Keterangan: Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 d ari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensiti• itas 85% dan spesi• isitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.1,4 Tabel 3. Rekomendasi penilaian awal dan monitoring sistemik lupus eritematos. 1
E. Diagnosis banding Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:1 1. Undifferentiated connective tissue disease 2. Sindroma Sjögren 3. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS) 4. Fibromialgia (ANA positif) 5. Purpura trombositopenik idiopatik 10
6. Lupus imbas obat 7. Artritis reumatoid dini 8. Vaskulitis
F. Beberpa bentuk lupus tersendiri. Lupus memiliki beberapa bentuk tersendiri, berikut beberapa bentuk dari lupus eritematosus yakni: 1. Lupus diskoid kronik Lupus diskoid dibedakan dengan lupus eritematosus sitemik dari riwayat evolusi yang menetap sebagai kelainan kulit. Lesi kulit kronik ini identik dengan kelainan kulit pada penyakit lupus sistemik. Kriteria lain dari kedua keadaan ini, misalnya secara histologi atau epidemiologi sangat mirip, dan kedua bentuk lupus dapat ditemukan dalam satu keluarga. Sebaliknya pemeriksaan imunofluorosensi kulit yang tidak mengalami gangguan pada penderita lupus diskoid selalu negatif, sedangkan ANA serta antiDNA tidak konstan atau positif lemah.7 Pada beberapa pengamatan tentang lupus diskoid kronik yang menjadi bentuk sistemik pada akhir evolusinya (lambat atau cepat) menimbulkan dugaan bahwa kedua bentuk yang molekulnya berbeda ini sebetulnya mempunyai kelainan dasar yang sama.7 2. Lupus medikamentosa Diagnosis ditentukan oleh kelainan klinis dan /atau laboratorium setelah pemberian suatu macam obat yang cepat atau lambat akan menghilang bila obat tersebut dihentikan dan akan bangkit kembali pada pemberian ulang obat tersebut. Gambaran klinis dan laboratorium pada saat munculnya kelainan (dari beberapa hari sampai beberapa bulan) secara epidemiologis berbeda untuk setiap obat penginduksi lupus.7 Dari sudut klinis pada lupus medikamentosa sangat jarang terjadi kelainan ginjal, anemia, leukopenia, atau gangguan saraf pusat. Pada pemeriksaan laboratorium anti DNA dan antiSm sangat jarang terdapat, sedangkan antihiston merupakan kekhususan lupus medikamentosa.
11
Beberapa jenis obat yang dapat menginduksi lupus antaralain adalah hidralazin, prokainamid, proktolol, penisilamin, isoniazid, etosuksimid, difenilhidantion, tiourasil, dan klorpromazin.7 3. Sindrom lupus neonatus Bayi lahir dari ibu penderita SLE dapat memperlihatkan menifestasi lupus pada periode neonatal, yang lebih sering terjadi pada bayi perempuan daripada lelaki. Sebagian besar gejala klinis sindrom lupus neonatus berupa kelainan kulit yang bersifat transien, serta kelainan hematologik (sitopenia).7 4. Pengaruh kehamilan dengan SLE terhadap fetus Pada kehamilan dengan SLE terdapat kecenderungan timbul berbagai gangguan seperti abortus spontan, lahir mati, atau prematuritas. Angka abortus bahkan sudah terlihat lebih tinggi sebelum timbul gejala SLE, dan setelah gejala muncul maka angka abortus spontan berkisar antara 7-40%.7 Pada masa klinis aktif SLE kematian fetus dan prematuritas lebih sering terjadi. Prognosis fetus pada kehamilan dengan SLE sebanding dengan keadaan pada ibu hamil dengan hipertensi dan insufisiensi ginjal tanpa SLE. Tetapi bila remisi tercapai pada masa kehamilan maka kemungkinan lahir hidup adalah 90% sebanding dengan keadaan normotensi pada berbagai penyakit parenkim ginjal.7 Pengaruh pengobatan terhadap SLE dan kelainan ginjal semula dikawatirkan akan menganggu janin, terutama kortikosteroid dosis tinggi yang dapat menimbulkan kelainan fetus dan gangguan pertumbuhan. Akan tetapi hal ini tidak terbukti, mungkin karena aktivitas enzim plasenta 11 beta-dehidrogenase yang mengoksidasi glukokortikoid.7 Laporan
terakhir
terus
menunjukan
perbaikan
prognosis
fetus
yang
mungkin
berhubungan dengan makin baiknya tatalaksana SLE secara keseluruhan termasuk terhadao SLE pada masa kehamilan.7
Patogenesis Patogenesis SLN diduga behubungan dengan pasase autoantibodi IgG maternal
transplasenta, yaitu anti Ro (SS-A) dan antiLa (SS-B). Pada pemeriksaan laboratorium dapat 12
ditemukan ANA, sel LE, kompleks imun, dan penurunan kadar komplemen serum yang biasanya tidak berhubungan dengan manifestasi klinis SLE. Autoantibodi dengan ativitas karakteristik paling berperan adalah anti Ro.7 AntiRo maternal berhubungan dengan terjadinya blok jantung kongenital walaupun tidak terdapat riwayat lupus ibu, akan tetapi banyak bayi yang ibunya mengandung anti Ro sepenuhnya normal. Antigen Ro terdapat tersebar pada sistem konduksi jantung dan miokardium, kulit serta jaringan lain. Pada bayi SLN yang meninggal dengan blok jantung kongenital komplit ditemukan anti Ro yang terikat pada sistem konduksi jantung.7
Manifestasi klinis Gejala klinis SLN tersering adalah erupsi kulit fotosentitif. Kelainan yang lebih jarang
ditemukan adalah blok jantung kongenital, defek struktur jantung, dan yang lebih jarang lagi adalah gangguan hati dan saluran cerna.7 Kelainan karakteristik SLN berupa eritema anulare yang muncul beberapa jam sampai beberapa hari setelah lahir, tetapi dapat pula terlihat pada saat lahir. Lesi bersifat multipel yang tersebar di seluruh tubuh termasuk kepala, muka, telapak tangan, dan kaki, sampai selaput mukosa. Kelainan ini akan menghilang tanpa bekas. Beberapa lesi fotosensitif di daerah malar sering meninggalkan bekas atrofi serta gagguan pigmen kulit yang memeberikan gambaran lupus diskoid.7 Kelainan jantung yang ditemukan adalah blok jantung kongenital komplit, kelainan struktur jantung seperti defek septum, atau transposisi arteri besar. Blok jantung kongenital merupakan kelainan jantung tersering dan paling serius dengan risiko kematian tinggi. Kelainan konduksi jantung tersebut berhubungan dengan antiRo yang terdapat juga pada berbagai penyakit autoimun lain seperti sindrom sjogren dan berbagai penyakit reumatik. Blok jantung kongenital terdapat pula pada penyakit autoimun tersebut.7 Kelainan hematologik terlihat dari gambaran sitopenia yang terjadi karena autoantibodi maternal terhadap eritrosit, trombosit, dan neutrofil. Biasanya kelainan ini ditemukan pada saat kelahiran yang menetap selama beberapa hari atau minggu, dan jarang berhubungan dengan kelainan klinis berarti. Kelaianan ini berangsur membaik sesuai dengan paruh igG 13
maternal (24-48 jam). Petekia dapat merupakan satu-satunya indikasi trombositopenia yang mungkin dapat berbahaya. Hepatomegali dengan peningkatan enzim hati serum sering terjadi dan pernah pula dilaporkan ikterus kolestatik. Selain itu dapat pula terjadi perdarahan saluran cerna akibat trombositopenia.7
Pengobatan Bayi yang lahir dari ibu SLE memerlukan observasi serta perawatan suportif sesuai
dengan kelainan yang timbul. Bila tidak disertai blok jantung kongenital biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pemantauan terhadap kemungkianan blok jantung inutero perlu dilakukan untuk dapat melakukan langkah yang tepat, misalnya dengan persalinan darurat diikuti pemakaian alat pacu jatung. Gejala in utero ditandai oleh bradikardi mendadak yang menimbulkan gangguan jantung kongestif serta hidrops fetalis.
Prognosis Sindrom lupus neonatus yang umumnya berupa kelainan kulit akan berangsur
menghilang dalam waktu beberapa minggu atau bulan, biasanya jarang lebih dari 60 hari. Kematian umumnya terjadi karena blok jantung kongenital komplit. Diperkirakan bahwa 1/3 dari bayi penderita blok jantung kongenital komplit dilahirkan dari ibu penderita penyakit jaringan ikat, biasanya SLE. Angka kematian bayi dari ibu penderia SLE pada masa perinatal adalah 3.6% sedangkan pada masa neonatal adalah 1.2 %. Beberapa penelitian melaporkan tentang terjadinya SLE pada orang dewasa yang pernah SLN. 5. Tatalaksana Batasan
operasional
pengelolaan
SLE
dapat
diartikan
sebagai
digunakannya/
diterapkannya prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan yang lebih holistik yaitu berlandaskan pendekatan bio-psiko-sosial.1
14
a. Tujuan Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan S LE adalah 1. Mendapatkan masa remisi yang panjang 2. Menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin 3. Mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ Intinya membuat aktivitas dan keseharian pasien danpat be rjalan secara optimal b. Pilar pengobatan Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, dan
diterapi
secara
multidisipliner
baik
dari
pendidikan,
sosial,
reumatologi,
dermatovenereologi, psikiatri, psikologi dan neurologi.1,4 1. Edukasi / Konseling Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.1
15
Tabel 4. Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE
2. Program rehabilitasi Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:1 a. Terapi fisik b. Istirahat c. Terapi dengan modalitas d. Ortotik e. Lain-lain
16
3. Medikamentosa.4 a. Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)
Diberikan bila manifestasi hanya mengenai kulit dan sendi, dalam bentuk AINS tunggal atau kombinasi dengan hidroksiklorokuin.
Salisilat: dosis: BB <20 kg: 80-90 mg/kgBB/hari po, dibagi 3-4 dosis; BB >20 kg: 60- 80 mg/kgBB/hari po, dibagi 3-4 dosis;
Diberikan bersama makanan.
Meningkatkan SGOT/SGPT, namun kerusakan hepar jarang terjadi.
Kontra indikasi: trombositopenia, gangguan hemostasis.
Naproksen 10-20 mg/kgBB/hari po, dibagi 2-3 dosis. Sodium tolmetin (tolektin) 20-30 mg/kgBB/hari po, dibagi 3-4 d osis.
b. Antimalaria
Bila kelainan dominan pada kulit/mukosa dengan atau tanpa artritis dan gejala konstitusional umum.
Hidroksiklorokuin adalah antimalaria yang dapat dipakai pada anak.
Dosis inisial 6-7 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis selama 2 bulan, dilanjutkan 5 mg/kgBB/hari po (maksimal 300 mg/hari).
Merupakan zat penghemat steroid ( steroid-sparing agent )
Efek toksik pada retina (reversibel), kontrol oftalmologi setiap 6 bulan untuk deteksi dini retinopati/degenerasi macula.
c. Kortikosteroid
Prednison (po), diberikan bersama makanan
Dosis rendah (<0,5 mg/kgBB/hari, 2/3 dosis pagi hari, 1/3 dosis siang hari, interval 8 jam), diberikan pada gejala konstitusional yang berat, demam berkepanjangan, kelainan kulit, pleuritis, atau bersamaan dengan pemberian metilprednisolon intermiten iv dosis tinggi
Dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari, maksimal 60-80 mg/hari po, dibagi 3-4 dosis selama 3-6 minggu, dilanjutkan dengan tapering-off selama 1-2 minggu), diberikan pada: o
Lupus fulminan akut
o
Lupus nefritis akut yang berat 17
o
Anemia hemolitik akut yang berat
o
Trombositopenia (<50.000/m3) tanpa perdarahan dan gangguan koagulasi.
o
Lupus eritematosus kutan berat sebagai bagian terapi inisial lupus discoid dan vaskulitis.
Pantau anti ds-DNA, bila negatif, lakukan tappering-off selama 1-2 minggu, stop terapi selama remisi (anti ds-DNA negatif).
Metilprednisolon (parenteral)
Dosis 30 mg/kgBB/hari iv (maksimal 1 g) selama 90 menit, 3 hari berturutturut, dilanjutkan secara intermiten (tiap minggu) disertai prednison dosisrendah setiap hari; diberikan pada: o
Penyakit aktif yang berat yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid per oral dosis tinggi.
o
Rekrensi aktif yang sangat berat
o
Anemia hemolitik yang berat
o
Trombositopenia berat (<50.000/mm3) yang mengancam kehidupan,
Mungkin
perlu
disertai
imunoglobin
intravena
(IGIV)
Bila berjangka panjang dapat disertai: danazol, vinkristin, imunosupresif lain, splenektomi (sangat jarang). o
Triamsinolon (intraartikular): untuk artritis pada sendi tertentu
d. Imunosupresan/sitotoksik/imunomodulator
Azatioprin (1-3 mg/kgBB/hari po) Digunakan pada pasien yang tidak responsif atau mendapat efek simpang berat kortikosteroid, dapat sebagai zat penghemat steroid.
Siklofosfamid
Digunakan pada lupus nefritis berat, neuropsikiatrik.
Per oral: 1-3 mg/kgBB/hari 18
Parenteral: dosis awal 500-750 mg/m2 (pilih dosis terendah untuk leukopenia, trombositopenia, kreatinin > 2g/dL) , maksimum 1 g/m2/hr
Cara pemberian: bolus per infus dalam 150 ml larutan dextrose 5% dalam NaCl 0,225% selama 1 jam bersama hidrasi 2L/m2/hari per infus selama 24 jam, dimulai 12 jam sebelum infus siklofosfamid.
Pemberian parenteral diulangi setiap bulan dengan peningkatan 250 mg/m2/ bulan sesuai dengan toleransi selama 6 bulan, selanjutnya setiap 3 bulan sampai 36 bulan total pengobatan.
Metotreksat Sebagai zat penghemat steroid. Dosis 10-20 mg/m2 peroral, 1x/minggu diberikan bersama asam folat per oral. Hindari alkohol (meningkatkan risiko sirosis hepatis). Obat ini diberikan pada:
Trombositopenia (<50.000/mm3) jangka panjang setelah terapi inisial metilprednisolon dosis tinggi.
Poliartritis berat, bila dosis rumatan kortikosteroid >10 mg/hr
LE kutan berat
Mikofenolat Mofetil (MMF) Diberikan bila refrakter terhadap terapi konvensional; terapi ini masih dalam penelitian. Dosis: 15-23 mg/kgBB per oral 2 kali/hari. Efektivitas MMF sebanding dengan siklofosfamid iv tiap bulan. Toksisitas MMF dan azatioprin lebih aman dari siklofosfamid.
e. Topikal
Diberikan bila ada kelainan kulit. Obat yang biasa digunakan: - Betametason 0,05% - Flusinosid 0,05%: untuk 2 minggu, selanjutnya diganti dengan hidrokortison
19
4. Suportif Diet: setiap pemberian kortikosteroid, apalagi jangka panjang, harus disertai dengan diet rendah garam, gula, restriksi cairan, disertai suplemen Ca dan vitamin D. Dosis kalsium karbonat (caltrate) sebagai kalsium elemental:
Usia <6 bulan : 360 mg/hari
Usia 6-12 bulan : 540 mg/hari
Usia 1-10 tahun : 800 mg/hari
Usia11-18 tahun: 1200 mg/hari
Dosis vitamin D (hidroksikolkalsiferol):
BB<30 kg: 20 mcg po 3 kali/minggu
BB>30 kg: 50 mcg po 3 kali/minggu
6. Prognosis Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi oleh fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley, bangkitan diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru yang memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan predominan pada sendi dan kulit. Beberapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet, infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik yang membentuk siklus aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan, serta kehamilan.6 Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral. Sebaliknya, bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah pengobatan.6 SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.6 20
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan, misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular serebral iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.6 Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu sendiri. Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol, dan satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.6
21
BAB III PENUTUP
Kesimpulan Lupus eritematosus sistemik ( systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang disebabkan oleh keterkaitan faktor lingkungan, hormonal dan genetik dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Kelainan ini merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologis, diantaranya yang terpenting adalah adanya antibodi antinuclear (ANA) dan anti double stranded DNA (anti ds DNA). SLE delapan kali lebih banyak pada wanita daripada pria. Lebih dari 10% pasien dengan lupus yang terbatas pada kulit akan menjadi SLE. Sebelas kriteria dapat membantu dalam mendiagnosis SLE. Pengobatan SLE secara langsung mengurangi peradangan dan/atau tingkat aktifitas autoimun. Pasien dengan SLE dapat mencegah kekambuhan dengan menghindari paparan cahaya matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba-tiba serta memonitor kondisinya pada dokter.
22
Daftar pustaka
1. Kasjimir YI, Handono K, Wijaya LK, dkk. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematous. sistemik. Perhimpunan reumatologi Indonesia. Jakarta, 2011. 2. Surjana IN. Imunopatogenesis lupus eritematous sistemik.Buku ajar ilmu penyakit dalam, Ed 6, vol 3, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2014. 3. Sudewi NP, Kurniati N, Suyoko EM, dkk. Karakteristik lupus eritematous sistemik pada anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Seri pediatri, Vol 11, No 2. 2009 4. Pudjiadi AH, Hegar B, Idris NS, dkk. Pedoman pelayanan medis, Ikantan Dokter Anak Indonesia. Edisi 2, 2011. 5. Evalina R. Gambaran Klinis dan Kelainan Imunologis pada Anak dengan Lupus Eritematosus Sistemik di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Seri pediatri, Vol 13, No 6. 2012 6. Judarwanto, Widodo. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Jakarta, 2009. 7. Akib AP, Munasir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi-imunologi anak, Edisi 2, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008.
23
24