1
EVALUASI TINGKAT KEBERHASILAN REVEGE REVEGETASI TASI LAHAN LA HAN BEKA S TAMBANG NIKEL DI PT INCO Tbk. SOROWAKO, SOROWAKO, SULA WESI WESI SELA TAN
FIKI ABUBAKAR
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
FIKI ABUBAKAR. Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Nikel di PT. INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh YADI SETIADI.
PT INCO telah melakukan perjanjian pinjam pakai atas kawasan hutan dengan pemerintah untuk kegiatan penambangan. Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT INCO telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang parah. Tetapi dengan penuh kesadaran disertai kewajiban untuk memenuhi perjanjian pinjam pakai dengan pemerintah, maka PT INCO telah melakukan rehabilitasi hutan pada daerah-daerah yang terkena dampak penambangan. Untuk mengetahui status keberhasilan dari rehabilitasi yang dilakukan oleh PT INCO, diperlukan sebuah penilaian. Penilaian ini menitikberatkan pada aspek vegetasi dan biologis agar dapat diketahui sejauh mana kegiatan revegetasi dapat memenuhi tujuan perbaikan sebagaimana tercantum dalam Permenhut Nomor 146/Kpts-II/1999 dan dapat kembali memenuhi fungsi-fungsi dari sebuah kawasan hutan. Objek penelitian ini adalah tegakan hutan hasil revegetasi tahun tanam 1999-2007 serta tahun tanam 1985 dan 1996. Peralatan yang dibutuhkan antara lain : kompas brunton, pita ukur, Sunto clinometer, spherical densiometer, tali tambang plastik. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak berbentuk lingkaran berdiameter 17,8 m. Jumlah plot yang dibuat untuk tiap tahun tanam adalah 2 sampai 3 buah dengan jarak antar plot 50-100 meter, tetapi terdapat juga yang hanya satu plot contoh yang diambil karena keterbatasan lahan. Pada plot itu akan dilakukan pengamatan pertumbuhan tanaman terhadap seluruh tanaman yang berada pada plot contoh, meliputi tinggi tanaman, diameter tanaman, perkembangan akar dan penutupan tajuk. Untuk parameter keberadaan jenis-jenis lokal serta keberadaan satwaliar juga dilakukan pada plot ini. Persentase pertumbuhan pada areal revegetasi berkisar antara 95-100%. Komposisi tumbuhan yang ditanam adalah jenis pioner seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), Eukaliptus (Eucalytus eurograndis), Sengon Buto (Enterolobium macrocarpum) serta jenis lokal seperti Trema (Melochia ( Melochia umbellata), umbellata), Sandro (Sandoricum (Sandoricum kacappeae) kacappeae ) dan Uru (Elmerelia (Elmerelia sp). Itu berarti telah sesuai dengan peraturan pemerintah. Perkembangan akar, pertumbuhan, dekomposisi serasah, erosi serta penutupan tajuk telah menunjukkan perkembangan dalam tataran konsep suksesi. Begitupun dengan satwa liar, telah terjadi introduksi pada lahan-lahan revegetasi. Revegetasi di PT INCO pada beberapa aspek telah memenuhi kriteria dan indikator yang ditetapkan pemerintah, tetapi belum membentuk kembali struktur dan fungsi semula yaitu hutan lindung. Kata Kunci : Lahan bekas tambang, evaluasi, kriteria dan indikator.
RINGKASAN
FIKI ABUBAKAR. Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Nikel di PT. INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh YADI SETIADI.
PT INCO telah melakukan perjanjian pinjam pakai atas kawasan hutan dengan pemerintah untuk kegiatan penambangan. Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT INCO telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang parah. Tetapi dengan penuh kesadaran disertai kewajiban untuk memenuhi perjanjian pinjam pakai dengan pemerintah, maka PT INCO telah melakukan rehabilitasi hutan pada daerah-daerah yang terkena dampak penambangan. Untuk mengetahui status keberhasilan dari rehabilitasi yang dilakukan oleh PT INCO, diperlukan sebuah penilaian. Penilaian ini menitikberatkan pada aspek vegetasi dan biologis agar dapat diketahui sejauh mana kegiatan revegetasi dapat memenuhi tujuan perbaikan sebagaimana tercantum dalam Permenhut Nomor 146/Kpts-II/1999 dan dapat kembali memenuhi fungsi-fungsi dari sebuah kawasan hutan. Objek penelitian ini adalah tegakan hutan hasil revegetasi tahun tanam 1999-2007 serta tahun tanam 1985 dan 1996. Peralatan yang dibutuhkan antara lain : kompas brunton, pita ukur, Sunto clinometer, spherical densiometer, tali tambang plastik. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak berbentuk lingkaran berdiameter 17,8 m. Jumlah plot yang dibuat untuk tiap tahun tanam adalah 2 sampai 3 buah dengan jarak antar plot 50-100 meter, tetapi terdapat juga yang hanya satu plot contoh yang diambil karena keterbatasan lahan. Pada plot itu akan dilakukan pengamatan pertumbuhan tanaman terhadap seluruh tanaman yang berada pada plot contoh, meliputi tinggi tanaman, diameter tanaman, perkembangan akar dan penutupan tajuk. Untuk parameter keberadaan jenis-jenis lokal serta keberadaan satwaliar juga dilakukan pada plot ini. Persentase pertumbuhan pada areal revegetasi berkisar antara 95-100%. Komposisi tumbuhan yang ditanam adalah jenis pioner seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), Eukaliptus (Eucalytus eurograndis), Sengon Buto (Enterolobium macrocarpum) serta jenis lokal seperti Trema (Melochia ( Melochia umbellata), umbellata), Sandro (Sandoricum (Sandoricum kacappeae) kacappeae ) dan Uru (Elmerelia (Elmerelia sp). Itu berarti telah sesuai dengan peraturan pemerintah. Perkembangan akar, pertumbuhan, dekomposisi serasah, erosi serta penutupan tajuk telah menunjukkan perkembangan dalam tataran konsep suksesi. Begitupun dengan satwa liar, telah terjadi introduksi pada lahan-lahan revegetasi. Revegetasi di PT INCO pada beberapa aspek telah memenuhi kriteria dan indikator yang ditetapkan pemerintah, tetapi belum membentuk kembali struktur dan fungsi semula yaitu hutan lindung. Kata Kunci : Lahan bekas tambang, evaluasi, kriteria dan indikator.
SUMMARY
FIKI ABUBAKAR. Succession Evaluation of Nickel Post-mining Land Revegetation Revegetation at PT. INCO Tbk. Sorowako, South Sulawesi. Under Supervision of YADI SETIADI.
PT INCO has made a borrow and use agreement with the government to do mining activity in forest area. This mining activity has caused severe damage to the forest and the land. With full awareness and to fulfill obligation in borrow and use agreement, PT INCO has done rehabilitation to severely damage forest and lands due to its mining activity. An evaluation is needed to measure the succession rate of rehabilitation effort that has been done by PT INCO. This evaluation put an emphasis on vegetational and biological aspect, enabling to see how far the revegetation activity able to fulfill restoration purpose as mention in Permenhut Nomor Nomor 146/Kpts-II/1999 and to restore functions functions of a forest. Object of this research is forest stand resulted from revegetation planted in 1999-2007, 1985 and 1996. Some of the equipments been used in this activity are brunton compass, measuring band, Sunto clinometer, spherical densiometer, plastic rope. Vegetational analysis done by using 17,8 m diameter circle plot. For each planting year make 2-3 plots with range 50 - 100 meter between each plot, for some cases such as limited land one plot is sufficient enough. In it observation made to plant growth factor such as plant height, plant diameter, root development and crown covering. Another parameter that also observed are local species existances and wildlife presence. Growth percentage in revegetation area range from 95% to 100%. Plant composition are pioneer species as Sengon (Paraserianthes falcataria), Eukaliptus (Eucalytus eurograndis), Sengon Buto (Enterolobium macrocarpum)and local species as Trema ( Melochia umbellata), umbellata), Sandro (Sandoricum kacappeae) kacappeae ) dan Uru (Elmerelia (Elmerelia sp). This mean it is suitable with goverment rule. Root development, growth, litter decomposition, erotion and crown covering has shown improvement according to succession concept. Same thing happen to wildlife, introduction has happened to revegetation lands. Revegetation at PT INCO in some aspects has fulfill goverment´s criteria and indicator but this revegetation has not reform original forest structure and function as protected forest. Key words : Post mining land, evaluation, criteria and indicator.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Nikel di PT INCO, Sorowako Sulawesi Selatan adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2008
Fiki Abubakar E14201072
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Gusti Yang Widi, untuk beragam anugerah yang sering datang dengan cara yang tak terduga. Termasuk penyelesaian karya ilmiah ini. Rangkaian kegiatan dalam revegetasi lahan bekas tambang, dimulai dari persiapan lahan, penanaman hingga pemantauan merupakan sebuah upaya memperbaiki kesetimbangan alam juga refleksi dalam berbagi sifat Allah yang telah dititipkan pada seluruh makhluk-Nya. Al-Hayy. Yang Maha Hidup.
Dalam pada itu, penulis memilih judul “Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Nikel di PT. INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan” dibawah bimbingan Dr.Ir. Yadi Setiadi M.Sc.
Untuk pihak-pihak yang telah berpartisipasi dalam terhadirnya karya ilmiah ini di tangan anda, saya ucapkan permohonan maaf, terima kasih serta salam hangat.
RIWAYAT HIDUP
Bercita-cita menjadi wartawan, selepas menamatkan jenjang pendidikan di SMU Negeri 4 Bandung pada tahun 2001, penulis melanjutkan ke Program Studi Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Pemilihan ini didasarkan pada beberapa faktor: pemetaan kemandirian hidup, kecintaan terhadap alam (terutama hutan) serta usaha pengayaan pengetahuan.
Penulis yang dilahirkan di Cimahi, 19 Februari 1984, putra pertama dari pasangan Kiki Umar dan Noerhayati, mengisi masa perkuliahan dengan berusaha banyak membaca, mempublikasi tulisan di dinding kampus serta kegiatan lain yang berhubungan dengan bidang yang penulis tekuni, yaitu ekologi hutan -dengan daya minat lebih terhadap ekologi restorasi, seperti Assistensi mata kuliah Ekologi Hutan 2005-2008, tenaga lapangan pada Garuda Project YPAL-BICONS di Subang (2003), tenaga penunjang di Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (2003) program Internship serta Consultancy Services for Exclosure Research di Wanariset Malinau-CIFOR (2006) serta tenaga lapangan pada AMDAL untuk uji-seismik Serica-Energy di Kalimantan Timur (2007). Selain itu, semenjak tahun 2004, penulis tercatat sebagai anggota BICONS (Bird Conservation Society).
Dalam ranah akademis, penulis melakukan praktek Umum Kehutanan di KPH Banyumas Barat serta KPH Banyumas Timur dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan di KPH Ngawi. Keduanya pada pertengahan 2004. Pada tahun 2006 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang di Wanariset Malinau-CIFOR Kalimantan
Timur.
Setahun
berikutnya
tahap
pengambilan
data
untuk
penyelesaian skripsi yang berjudul “Evaluasi Tingkat Revegtasi Lahan bekas Tambang Nikel di PT.INCO, Sorowako Sulawesi Selatan, dimulai. Penyusunan skipsi ini dibimbing oleh Dr. Ir. Yadi Setiadi, MSc.
Hobi membaca, menulis serta berbagi mulai dicurahkan dalam website-blog kangfiki.wordpress.com.
[ucapan terima kasih] •
•
• •
• •
•
• • •
•
• • •
•
Ibu, Ibu, Ibu dan papap, Ené (almh) serta adik-adik tercinta juga Rifkiyanti Haqqi untuk kasih sayang yang terus berlimpah serta doa yang tak hendak putus. Dr. Ir. Yadi Setiadi M.Sc untuk seluruh dukungan, teladan serta kesabaran dalam melakukan bimbingan. Bu Nining Puspaningsih untuk beragam bantuan selama rangkaian penelitian. Pak Aris Prio Ambodo, Pak Boorliant, Pak Yohan, Erwin, Edy Tangke beserta seluruh staf d i Divisi Mine Revegetation PT.INCO untuk segala fasilitas yang telah diberikan di Sorowako. Pak DR. Ahmad M Thohari serta Pak Prof. Imam Wahyudi sebagai dosen penguji. Mas Imam, Mas Irman, Dedi serta seluruh staf di PT Green Planet Indonesia untuk beberapa data sekunder serta bantuan tenaga lapangan. Bu Yani, Pak Edi Permana, Bu Nunung serta seluruh keluarga L aboratorium Ekologi Hutan: Beni, Welly, Danu, Dania, Eko dkk. Mbak Faiq, Mas Ari, Kang Fatah, Kang Jefri, Teh Susan dan kawan-kawan di PAU. Pak Ismail, Bu Aliyah, Bu Kokom, Bu Layya, Bu Ria, Bu Rusnani, Bu Fifi serta seluruh staf KPAP. Rekan-rekan “ Residu Peradaban”: Among, Berry, Derry, Dika , Muklish, Syuhada dan Tezar untuk beragam bantuan. Kawan-kawan di kampus abu-abu: Ajay, Wempy, Ewink, Jack, Ace, Bayu, John, Irwan dkk yang masih tetap melestarikan tradisi ke-Fahutan-an dalam tafsir yang positif. Rekan seperjuangan : Dasep, Berry, Lisna dan Irin, untuk setiap dukungan di “ruang tunggu”. Rekan di lapangan: Istafiana Candarini dan Ari Prasetiyo untuk setiap bantuan. Mas Agus di PILI; Kang Bayu, Kang Jack serta semua di kost-kostan Manggala untuk fondasi perenialist serta semangat berdikari. Rekan-rekan Fahutan khususnya angkatan 38, lebih khusus lagi Budidaya Hutan.
Beragam pihak yang medukung baik satu-dua tetes tinta printer, bensin, tumpangan, pinjaman uang, buku serta helaan nafas, saya haturkan terima kasih.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pertambangan merupakan salah satu sektor yang dapat menghasilkan devisa besar bagi negara. Tercatat bahwa pada tahun 2007, penerimaan negara perpajakan umum dari sektor pertambangan mencapai Rp 24.000 miliar (www.esdm.go.id). Tetapi selain devisa, industri pertambangan (terutama dengan metode pertambangan terbuka) telah menghasilkan dampak ikutan berupa kerusakan lingkungan yang sangat parah terutama pada hutan hujan tropika yang merupakan dominasi lapisan penutup dari permukaan bentang lahan yang ditambang. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : 146/Kpts-II/1999 mengenai Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan menyebutkan bahwa setiap perusahaan pertambangan dan energi memiliki kewajiban untuk melaksanakan reklamasi lahan bekas tambang atas kawasan hutan yang dipinjam-pakai. Hal itu bertujuan untuk memulihkan kondisi kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi sehingga kawasan hutan yang dimaksud dapat berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya. PT International Nickel Indonesia Tbk. (PT INCO) adalah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang pertambangan nikel yang berlokasi di Sorowako, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Utara, Propinsi Sulawesi Selatan. PT INCO melakukan produksi komersial pertama pada tahun 1978 dan program rehabilitasi purna tambang mulai dilakukan enam tahun sesudahnya. PT INCO telah melakukan perjanjian pinjam pakai atas kawasan hutan dengan pemerintah untuk kegiatan penambangan. Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT INCO telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang parah. Tetapi dengan penuh kesadaran disertai kewajiban untuk memenuhi perjanjian pinjam pakai dengan pemerintah, PT INCO telah melakukan rehabilitasi hutan pada daerah-daerah yang terkena dampak penambangan. Pada periode awal, kegiatan revegetasi dilakukan tanpa memperhatikan karekteristik dan manajemen lahan yang benar, tingkat adaptibilitas jenis tanaman, dan metode penanaman yang tepat. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan para perencana dan pelaksana kegiatan revegetasi dalam hal keilmuan ekologi restorasi. Sedangkan sejak tahun 1991 penerapan teknik
silvikultur yang tepat telah digunakan untuk merehabilitasi lahan bekas tambang yang ada (Sirait 1997). Untuk mengetahui status keberhasilan dari rehabilitasi yang dilakukan oleh PT INCO, diperlukan sebuah penilaian. Penilaian ini menitikberatkan pada aspek vegetasi dan biologis agar dapat diketahui sejauh mana kegiatan revegetasi dapat memenuhi tujuan perbaikan sebagaimana tercantum dalam Permenhut Nomor 146/Kpts-II/1999 dan dapat kembali memenuhi fungsi-fungsi dari sebuah kawasan hutan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menilai tingkat keberhasilan dari revegetasi yang dilakukan oleh PT INCO di lahan-lahan bekas pertambangan nikel. 2. Mempelajari proses revegetasi yang tengah berlangsung di areal bekas tambang PT INCO.
Manfaat Peneliti an Hasil dari penelitian ini diharapkan : 1. Dapat digunakan oleh pihak pengelola program revegetasi perusahaan sebagai bahan evaluasi terhadap kegiatan revegetasi yang telah dilakukan. 2. Dapat menjadi acuan untuk memperbaiki program revegetasi yang masih kurang memenuhi kriteria yang berlaku menurut Pedoman Reklamasi Tambang Ditjen RLPS (1997) dan Setiadi (2006).
TINJAUAN PUSTAKA Reklamasi Reklamasi bekas tambang yang selanjutnya disebut reklamasi adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. (Permenhut Nomor: 146-Kpts-II-1999). Rehabilitasi hutan dan lahan adalah kegiatan
yang
dimaksudkan
untuk
memulihkan,
mempertahankan
dan
meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. (Anonim, 2004) Parotta (1993) dalam Setiawan (2003) menyatakan bahwa tujuan rehabilitasi ekosistem hutan yang mengalami degradasi ialah menyediakan, mempercepat berlangsungnya proses suksesi alami. Selain itu juga untuk menambah produktivitas biologis, mengurangi laju erosi tanah, menambah kesuburan tanah dan menambah kontrol biotik terhadap aliran biogeokimia dalam ekosistem yang ditutupi tanaman. Kata reklamasi berasal dari kata to reclaim yang bermakna to bring back to proper state, sedangkan arti umum reklamasi adalah the making of land fit for cultivation.
Membuat keadaan lahan menjadi lebih baik untuk dibudidayakan,
atau membuat sesuatu yang sudah bagus menjadi lebih bagus, sama sekali tidak mengandung implikasi pemulihan ke kondisi asal tapi yang lebih diutamakan adalah fungsi dan asas kemanfaatan lahan. Arti demikian juga dapat diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengubah peruntukan sebuah lahan atau mengubah kondisi sebuah lahan agar sesuai dengan keinginan manusia (Young dan Chan, 1997 dalam Nusantara et al. 2004 ). Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, yaitu: a. Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang sudah terganggu ekologinya. b. Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya. Sasaran akhir dari reklamasi adalah terciptanya lahan bekas tambang yang kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukkannya.
Revegetasi Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang (Ditjen RLPS). Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi (memiliki aksentuasi pada fungsi proteksi dan konservasi serta bertujuan untuk kembali ke kondisi awal), reforestasi dan agroforestri. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa aktivitas dalam kegiatan revegetasi meliputi beberapa hal yaitu (i) seleksi dari tanaman lokal yang potensial, (ii) produksi bibit, (iii) penyiapan lahan, (iv) amandemen tanah, (v) teknik penanaman, (vi) pemeliharaan, dan (vii) program monitoring, Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang adaptif, tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim dan kegiatan pasca penambangan. Vegetasi yang cocok untuk tanah berbatu termasuk klasifikasi herba, pohon dan rumput yang cepat tumbuh, sehingga dapat mengendalikan erosi tanah. Tumbuhan yang bersimbiosis dengan mikroorganisme tanah yang mampu memfiksasi nitrogen adalah salah satu vegetasi revegetasi lahan pasca tambang, seperti tanaman yang termasuk dalam famili Leguminoceaea (Vogel, 1987 dalam Setiawan, 2003). Pada lahan bekas tambang, revegetasi merupakan sebuah usaha yang kompleks yang meliputi banyak aspek, tetapi juga memiliki banyak keuntungan. Beberapa keuntungan yang didapat dari revegetasi antara lain, menjaga lahan terkena erosi dan aliran permukaan yang deras; membangun habitat bagi satwaliar;
membangun
keanekaragaman
jenis-jenis
lokal;
memperbaiki
produktivitas dan kestabilan tanah; memperbaiki kondisi lingkungan secara biologis dan estetika; dan menyediakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis lokal dan plasma nutfah (Setiadi, 2006). Evaluasi Keberhasilan Revegetasi Lahan disebut berhasil direstorasi dan bersifat swalanjut manakala dapat memenuhi kriteria-kriteria berikut
(i) persen daya hidup bibit yang
ditanam adalah tinggi, (ii) pertumbuhan vegetasinya normal dan swalanjut, (iii) perkembangan akar dapat menembus tanah asli (yang berkepadatan tinggi) dan menjangkau bagian lain, (v) penutupan tajuknya cepat, terstratifikasi dan melebar, (v) lahan menghasilkan serasah yang melimpah dan terdekomposisi dengan cepat yang ditunjukkan dengan nisbah C:N yang cepat turun dan
konstan, (vi) terjadi rekolonisasi spesies-spesies spesifik lokasi, dan (vii) tercipta habitat bagi beraneka jenis satwa liar. Setidak-tidaknya ada lima hal penting yang harus diingat sehubungan dengan restorasi yaitu (i) rekolonisasi, (ii) retensi hara dan air, (iii) salingtindak
biotik,
(iv) produktivitas, dan (v)
keswalanjutan (Setiadi, 2004 dalam Nusantara et al. 2004). Daniel, Helms dan Baker (1987) menyatakan bahwa perhatian pertama dari keberhasilan penghutanan kembali adalah kondisi dari tanaman itu yang harus sehat, berbentuk baik, dan bebas dari persaingan hama dan gulma. Tanaman itu hendaknya mempunyai potensi dominasi tinggi dan karakteristik vigor yang diinginkan. Departemen Perindustrian, Pariwisata dan Sumber Daya Pemerintah Australia (2006) menyatakan bahwa umumnya, pemantauan rehabilitasi mencakup: 1. Penilaian kestabilan permukaan (dan lereng) 2. Kinerja lapisan penutup yang dibuat (jika ditaruh di atas limbah tambang atau limbah pemrosesan mineral) 3. Sifat-sifat pada tanah atau medium zona akar (seperti sifat kimia, kesuburan dan hubungan airnya) 4. Atribut-atribut struktural pada komunitas tumbuhan (misalnya sebagai lapisan penutup, kepadatan dan tinggi spesies kayu) 5. Komposisi komunitas tumbuhan (seperti hadirnya spesies yang diinginkan, gulma) 6. Beberapa indikator terhadap ekosistem yang berjalan (seperti biomassa mikroba tanah). Setiadi (2006) menyebutkan beberapa faktor sebagai bahan evaluasi revegetasi
antara
kesinambungan peningkatan
lain,
dan
performa
tingkat
lingkungan
pertumbuhan
pemenuhan
mikro-habitat;
dan
kebutuhan pengurangan
kesesuaian
jenis;
diri oleh
tanaman;
dampak
terhadap
lingkungan serta keuntungan bagi mayarakat sekitar. Sedangkan beberapa kriteria mengenai lahan revegetasi yang swalanjut antara lain: daya hidup anakan
yang
tinggi;
pertumbuhan
tanaman
yang
normal
dan
berkesinambungan; perkembngan akar yang telah mampu menembus lubang tanam; penutupan tajuk yang cepat, beragam dan berstratifikasi; produksi serasah yang banyak dan mudah terdekomposisi; dapat menghasilkan kolonisasi spesies lokal dan dapat menciptakan suasana yang cocok bagi
kehidupan satwaliar. Secara singkat, faktor-faktor yang menjadi parameter bagi evaluasi keberhasilan revegetasi dapat dilihat pada Tabel 1. Evaluasi keberhasilan revegetasi adalah sebuah upaya untuk menjamin bahwa revegetasi tengah berjalan menuju arah yang diharapkan yaitu kondisi asli sebelum terjadinya gangguan. Selain itu, hal ini juga merupakan sebuah mekanisme untuk menentukan keberhasilan revegetasi yang telah dilakukan, berdasarkan parameter silvikultur dan ekologis juga sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengikat bagi pelaksana kegiatan revegetasi, dalam hal ini perusahaan pertambangan.
Tabel 1 Evaluasi Keberhasilan Revegetasi (Setiadi, 2006) No
Kriteria
Indikator
1
Adaptabilitas (≤ 4 tahun)
1.1. Persentase Pertumbuhan 1.2. Perkembangan Pertumbuhan 1.3. Perkembangan Perakaran 1.4. Fase Produksi
2
Kekanjangan
2.1. Keanekaragaman 2.2. Rekolonisasi 2.3. Penyimpanan nutrisi 2.4. Status Hidupan-liar
3
Strukutur dan Komposisi Tegakan (≥ 5 tahun)
3.1 Kerapatan 3.2. Komposisi 3.3. Stratifikasi Tajuk 3.4. Penutupan Tajuk
4
Bentang Lahan
4.1. Erosi 4.2. Stabilitas Lahan
Suksesi dan Klimaks Suksesi adalah perubahan-perubahan langsung yang berkaitan dengan waktu dalam komposisi komunitas dan sifat-sifat ekosistem lainnya. Suksesi disebabkan dinamikan individu-individu di dalam ekosistem karena mereka berinteraksi satu sama lain dan dengan lingkungan fisik. Perubahan langsung dalam komposisi spesies timbul ketika individu-individu dari beberapa spesies digantikan oleh individu-individu dari spesies lain pada waktu individu pertama mati (McNaughton & Wolf 1990). Manan (1998) menyatakan bahwa suatu rangkaian perubahan masyarakat tumbuhan (jenis dan struktur) bersamaan
dengan
perubahan
habitat
tempat
tumbuhnya.
Perubahan
ini
tidaklah
sembarangan, tetapi dapat diramalkan pola dan arahnya. Suksesi sebagai suatu studi orientasi yang memperhatikan semua perubahan dalam vegetasi yang terjadi pada habitat sama dalam suatu perjalanan waktu (Mueller-Dombois and Ellenberg, 1974). Selanjutnya dikatakan bahwa suksesi ada dua tipe, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Perbedaaan dua tipe suksesi ini terletak pada kondisi habitat awal proses suksesi terjadi. Suksesi primer terjadi bila komunitas asal terganggu. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya komunitas asal tersebut secara total sehingga di tempat komunitas asal, terbentuk habitat baru. Suksesi sekunder terjadi bila suatu komunitas atau ekosistem alami terganggu baik secara alami atau buatan dan gangguan tersebut tidak merusak total tempat tumbuh organisme sehingga dalam komunitas tersebut substrat lama dan kehidupan masih ada. Mekanisme perubahan dalam suksesi dapat dibedakan menjadi tiga tahap utama, yaitu (1) kolonisasi, (2) perubahan fisik lahan, dan (3) pergeseran spesies oleh kompetisi dan antibiosis. Sedangkan Clements dalam MuellerDombois and Ellenberg (1974) membedakan enam sub komponen dalam suksesi (a) nudasi, yaitu terbukanya areal baru; (b) migrasi, yaitu sampai dan tersebarnya biji di areal; (c) ecesis, yaitu proses perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangbiakan tumbuhan baru; (d) kompetisi, yaitu proses yang mengakibatkan pergantian jenis-jenis tumbuhan; (e) reaksi, yaitu adanya proses perubahan habitat karena aktivitas jenis-jenis baru; dan (f) klimaks yang merupakan tingkat kestabilan komunitas. Pendapat lain menyatakan bahwa suksesi dimulai dari pioneer stage; menuju consolidation stage; lalu
pada
tingkatan sub klimaks dan berakhir pada klimaks. (Dansereau, 1957 dalam Barnes dan Spurr, 1980). Freeman et al (1977) menyatakan bahwa kemampuan suatu ekosistem untuk mentoleransi penggunaan oleh manusia dan untuk pulih kembali setalah pemakaian sewenang-wenang, sangat bervariasi bergantung pada faktor-faktor iklim dan biologi. Dan meskipun vegetasi masuk dengan cepat menempati kembali daerah yang terbuka, dan suksesi biasanya berjalan cepat, namun pemulihan hutan primer setelah gangguan hebat biasanya berjalan lambat. Hal ini sebagian karena kerumitan hutan hujan klimkas dan jaringan hubungan tumbuhan dan hewan yang rumit memperhambat pemulihan setelah mengalami gangguan.
Merupakan sebuah istilah dari bahasa Yunani, klimaks sebenarnya berarti sebuah jenjang. Namun pada akhirnya selalu diinterpretasikan sebagai titik akhir dari sebuah jenjang (Mueller-Dombois and Ellenberg, 1974). Klimaks adalah sebuah tahap akhir proses suksesi yang bersifat teguh. Perubahan-perubahan komposisi spesies dan banyak sifat ekosistem terjadi dengan sangat cepat pada awal suksesi dan laju perubahan menurun dengan berlangsungnya suksesi. (McNaughton & Wolf 1990). Proses suksesi merupakan sebuah mekanisme alami yang dimiliki oleh suatu lahan untuk kembali pada keadaan semula, tetapi untuk mencapai itu, memerlukan waktu yang sangat lama. Oleh karenanya, pengetahuan mengenai suksesi mutlak diperlukan dalam melakukan revegetasi agar campur tangan yang dilakukan (revegetasi) dapat berdampak dalam mempercepat proses suksesi alami. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan revegetasi haruslah berjalan menuju arah yang seharusnya melalui prinsip regenerasi dan suksesi, sehingga evaluasi keberhasilan penting untuk dilakukan.
KEADAAN UMUM LOKASI
Kondisi Fisik Luas dan Letak Lokasi penambangan PT INCO terletak di daerah Sorowako, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Utara, Propinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis, lokasi konsesi awal PT INCO terletak pada posisi 120 045' – 123030' BT (Sua-Sua s/d Torokulu) dan 6030' - 5030' LS (Kolonedale s/d Malapulu). Sorowoako merupakan daerah pertambangan nikel di sebelah utara Teluk Bone, tepatnya 60 km dari pantai Malili. Secara umum, wilayah kontrak karya PT INCO dibagi dalam tiga kategori yang meliputi lokasi :
1. Soroako Project Area (SPA), dengan luas daerah sekitar 10.010,22 ha. 2. Soroako Outer Area (SOA), dengan luas daerah sekitar 108.377,25 ha, meliputi daerah Lingke, Lengkobale, Lasobonti, Lambatu, Tanamalia, Lingkona, Lampenisu, Lampesue, Petea, Topemanu, Tanah Merah, Nuha, Matano, Larona, dan Malili. 3. Sulawesi Coastal Deposite (SCD), dengan luas daerah sekitar 100.141,54 ha, meliputi daerah Bahodopi, Kolonedale (Sulawesi Tengah) dan daerah Latao, Sua-Sua, Pao-Pao, Pomalaa, Malapulu, Torobulu, Lasolo serta Matarape (Sultra). Daerah Soroako Project Area (SPA) yang terdiri dari daerah Blok Timur (East Block) dan Blok Barat (West Block), lokasinya dipisahkan oleh pabrik (Plant Site) dan secara umum berbatasan dengan : 1. Bagian Utara dengan Desa Nuha dan Danau Matano 2. Bagian Timur dengan Danau Mahalona 3. Bagian Selatan dengan Desa Wawondula Kecamatan Towuti 4. Bagian Barat dengan Desa Wasuponda Kecamatan Nuha Iklim Menurut klasifikasi Schmidt & Ferguson daerah Sorowako termasuk tipe iklim A dengan curah hujan yang cukup tinggi 3000 mm/tahun. Curah hujan berlangsung sepanjang tahun dan curah hujan tertinggi yang tercatat yaitu pada bulan Nopember sampai Maret. Suhu udara berkisar antara 25 - 260 C dengan kelembaban rata-rata 80%.
Topografi dan Tanah Daerah penambangan nikel Sorowako dibagi menjadi dua bagian yaitu blok Barat dan blok Timur. Pembagian blok didasarkan pada kondisi geologi daerah tersebut, dimana blok Barat mengandung lebih banyak batuan keras yang berbanding lurus dengan kandungan nikel, sedangkan blok timur memiliki lapisan tanah yang lebih sedikit mengandung batuan keras dengan kadar nikel yang lebih rendah. Rata-rata kemiringan di Sorowako yaitu 9 sampai 30% dengan ketinggian rata-rata 600 m dpl. Perbukitan di blok Barat memiliki kemiringan 40 0 (83.9%) dan blok Timur memiliki kemiringan rata-rata 25 0 (46%). Daerah Sorowako didominasi oleh tanah laterit. Menurut Hardjowigeno (1987), tanah laterit (Oksisol) adalah tanah dengan pelapukan lanjut dan mempunyai horison oksik, yaitu horison dengan kandungan mineral rendah (kurang dari 16 me/100 gr lempung). Banyak mengandung oksida-oksida besi atau oksida Al. Tanah ini tidak mempunyai horison yang jelas. Tanah laterit memiliki erodibilitas yang tinggi (peka terhadap erosi). Berdasarkan sifat fisiknya tekstur tanah lateritik yaitu liat, liat berpasir dan liat berdebu serta berstruktur lempeng. Ruang pori mikro dan makro porositas tanahnya seimbang dengan drainase yang agak buruk sampai buruk. Bulk density bersifat padat mencapai nilai 1,25 – 1,30 gr/cc, dengan permeabilitas tanah yang rendah sampai sangat rendah (0,125 – 2,0). Apabila ditinjau dari sifat kimia tanah, pH tanah lateritik berkisar antara 4,5 – 5,6 (sangat masam sampai masam). Kandungan persentase C-organiknya rendah yaitu kurang dari 0,1 sampai 0,2. Hal tersebut serupa dengan nilai dari nisbah C/N yang besarnya sangat rendah sampai rendah (kurang dari 5 sampai 10). Begitupun dengan kandungan fosfor dalam bentuk P 2O5 yang nilainya sangat rendah yaitu (0,5 -1,8 ppm). Sedangkan persentase Fe dan Al berskala tinggi yaitu (31-60), dengan kandungan Kalium (K) rendah sampai sedang (0,1 – 0,3 me/100 gr tanah). Kandungan Magnesium (Mg) berskala tinggi sampai sangat tinggi ( lebih dari 8 me/100 gr tanah). Untuk kandungan Kalsium (Ca), skalanya sangat rendah sampai rendah (kurang dari 4 – 5 me/100 gr tanah). Kapasitas tukar kation (KTK) berskala rendah (5 -16 me/100 gr tanah) dengan kejenuha basanya sangat tinggi (lebih dari 70 me/100 gr tanah) (Mohr dan Van Baren, 1954).
Kondisi Biologis Vegetasi Kawasan hutan yang dipinjam pakai merupakan hutan hujan tropis dataran rendah yang secara umum sama dengan formasi hutan hujan dataran rendah di Indonesia. Beberapa jenis lokal yang tercatat antara lain; Belulang, Cina-Cina, Cemara (Casuarina equisetifolia), Damar (Podocarpus spp), Nosu (Ficus ribes Reinw. Ex Blume), Lodah (Ficus sp), dan Panopi (Eugenia sp).
Sejarah PT INCO PT International Nickel Indonesia (PT INCO) menandatangani Kontrak Karya dengan pemerintah Republik Indonesia pada bulan Juli 1968 setelah sebelumnya dilakukan survei geologis besar-besaran yang memberikan data bahwa terdapat cadangan nikel dalam jumlah besar di Sulawesi. Kontrak karya tersebut berdasarkan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan ditetapkan berlaku selama 30 tahun (terhitung sejak produksi komersial 1978). Hasil penelitian sumber endapan bijih nikel dalam daerah konsesi PT INCO, tahun 1968 – 1973, seluas 6,6 juta ha menggunakan foto udara, pengambilan contoh dari test pit maupun trenching serta dari hasil penelitian laboratorium di Kanada. Disimpulkan bahwa pengembangan pabrik di Sorowako sangat layak. Sebagian besar daerah konsesi dikembalikan kepada pemerintah RI secara bertahap, dan saat ini hanya mempertahankan hak konsesi seluas 218.000 ha (setelah penyusutan ke-9). Sesuai dengan kontrak karya dengan Pemerintah RI dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 146/Kpts-II/1999, dengan penuh kesadaran PT INCO melakukan kegiatan rehabilitasi pada lahan bekas tambang yang dimulai pada tahun 1984. Pada periode tahun 1984 – 1990 kegiatan revegetasi dilakukan tanpa memperhatikan karekteristik dan manajemen lahan yang benar, tingkat adaptibilitas jenis tanaman, metode penanaman yang tepat, dan sebagainya. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan para perencana dan pelaksana kegiatan revegetasi dalam hal ilmu pembinaan hutan. Sejak tahun 1991 penerapan teknik silvikultur yang tepat telah digunakan untuk merehabilitasi lahan bekas tambang yang ada.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan, dimulai dari awal Januari 2008 sampai dengan awal Maret 2008. Penelitian dilakukan pada lokasi lahan-lahan bekas pertambangan nikel yang telah direvegetasi PT INCO Tbk.
Bahan dan Alat Objek penelitian ini adalah tegakan hutan hasil revegetasi tahun tanam 1999-2007 serta tahun tanam 1985 dan 1996. Sedangkan peralatan yang dibutuhkan antara lain : kompas brunton, pita ukur, Sunto clinometer, spherical densiometer, tali tambang plastik.
Prosedur Pengumpulan Data Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang diambil adalah data mengenai kondisi tegakan terkini yaitu komposisi dan struktur tegakan (jenis, jumlah jenis, jumlah individu, tinggi dan diameter), kondisi tempat tumbuh (serasah dan jenis erosi yang terjadi) serta keberadaan satwa liar. Data mengenai persentase pertumbuhan tanaman diambil dari data sekunder yang merupakan rekapitulasi dari beberapa petak contoh untuk tahun tanam 2004-2007 yang didapatkan dari pihak kontraktor perusahaan.
Tahap Persi apan Setelah dilakukan sigi pada lokasi objek penelitian, maka dipersiapkan plot untuk melakukan analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak berbentuk lingkaran seluas 0,1 Ha dengan jari-jari sepanjang 17.8 m. Penentuan plot dilakukan secara acak, tetapi dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti aksesibilitas terhadap lokasi plot contoh, penyebaran plot contoh, ketersediaan plot dengan umur tanam tertentu yang semuanya dapat terlihat pada peta revegetasi. Sebelumnya dilakukan pengecekan kondisi plot contoh, karena sering terjadi perbedaan antara kondisi aktual dengan kondisi yang tertera pada peta revegetasi.
Jumlah plot yang dibuat untuk tiap tahun tanam adalah 2 sampai 3 buah plot per tahun tanam dengan jarak antar plot 50-100 meter, tetapi terdapat juga yang hanya satu plot contoh yang diambil karena keterbatasan lahan. Pada plot itu akan dilakukan pengamatan pertumbuhan tanaman terhadap seluruh tanaman yang berada pada plot contoh, meliputi tinggi tanaman, diameter tanaman,
perkembangan
akar
dan
penutupan
tajuk.
Untuk
parameter
keberadaan jenis-jenis lokal serta keberadaan satwaliar juga dilakukan pada plot ini. Plot contoh dibuat pada areal revegetasi dengan tahun tanam yang berbedabeda yaitu : Tabel 2 Lokasi Pembuatan Plot Contoh Tahun Tanam
Nama
1985
Butoh
1996
Ponsesa
1999
Ponsesa
2000
Koro South
2001
Watulabu
2002
Debbie
2003
Hasan, Rante
2004
Koro, Triple A
2005
Olivia
2006
Petea
2007
Koro North
Pengambilan data. 1. Parameter Pertu mbu han 1.1. Tingg i d an Diameter Tanaman Pengukuran tingi tanaman dilakukan dengan menggunakan alat ukur tinggi Sunto Clinometer. Dilakukan pembidikan dengan jarak tertentu pada pangkal dan ujung pohon sesuai dengan kemampuan alat. Hasil yang didapat dari alat berbentuk satuan persen (%), oleh karena itu harus dilakukan konversi agar didapat hasil berbentuk satuan meter (m). Pengukuran keliling dilakukan pada bagian tanaman setinggi dada atau 1,3 m dari permukaan tanah untuk tanaman yang memiliki tingi
≥
4 m.
Sedangkan untuk tanaman yang dibawahnya dilakukan pengukuran pada ketinggian 30 cm dari pangkal batang. 1.2. Penutupan tajuk Pengukuran penutupan tajuk dilakukan pada lima titik yaitu titik
tengah plot, serta empat titik lainnya yang simetris pada titik tengah plot itu dengan
menggunakan
alat
ukur
spherical
densiometer.
Alat
ini
menggunakan asumsi bahwa tiap kotak yang ditampilkan pada alat ekuivalen dengan dengan luasan penutupan tajuk. Tetapi untuk dapat menghasilkan dalam bentuk persentase, maka perlu dilakukan konversi dengan menggunakan rumus :
Luasan penutupan tajuk =
Jumlah kotak yang tertutupi Jumlah seluruh kotak
x100%
1.3. Perkembangan akar Pengukuran perkembangan akar diukur dengan menggali tanah di sekitar tanaman dengan jarak lebih dari lubang tanam di setiap sisi dari tanaman. Pengukuran dilakukan pada lahan hasil revegetasi yang berumur dua dan empat tahun. Jumlah yang diambil sebagai sampel adalah 5 tanaman pada masing-masing plot.
1.4. Komposi si tegakan Pengukuran komposisi tegakan dilakukan dengan mengamati jenis dan jumlah tanaman yang ada pada plot contoh. Setelah itu dilakukan rekapitulasi jumlah jenis antara jenis pioner, jenis primer serta jenis-jenis lokal yang ada pada plot contoh.
2. Kondisi Tempat Tumbuh 2.1.Kond isi Serasah Pengamatan serasah dilakukan dengan cara mengamati kondisi serasah yang ada pada lokasi pengamatan. Parameter dari kondisi serasah yang diamati adalah keberadaan serasah serta keadaan serasah. 2.2.Tanah Pengamblan sampel tanah dilakukan dengan mengambil tanah secara komposit. Pengambilan dilakukan pada plot contoh analisis vegetasi dengan masing-masing plot mengambil lima titik yaitu titik tengah plot, serta empat titik lainnya yang simetris pada titik tengah plot itu dengan kedalaman 0-20 cm. Sampel tanah dari kelima titik tadi lalu kemudian dicampur dan disishkan sebanyak 50 gram untuk dibungkus dengan kertas alumunium
untuk kemudian dilakukan analisis laboratorium.
3. Keanekaragaman Keanekaragaman hayati. 3.1. Vegetas Vegetas i Pengukuran
untuk
keanekaragaman
hayati
dilakukan
dengan
analisis vegetasi menggunakan petak lingkaran seluas 0,1 Ha dengan diameter 17,8 m. Pengukuran dilakukan pada setiap tanaman yang ada, baik yang merupakan hasil penanaman ataupun hasil rekolonisasi. Untuk pengenalan jenis, dilakukan dengan melibatkan pengenal jenis. Parameter yang diukur untuk vegetasi adalah tinggi dan diameter. Untuk jenis-jenis rekolonisasi hanya dicatat keberadaannya saja dan dilakukan pengenalan jenis secara langsung oleh pengenal jenis maupun dengan bantuan dokumentasi. 3.1. Fauna Pengamatan keberadaan satwa liar dilakukan pada setiap plot contoh, dengan metode audio dan visual, selain itu dilakukan juga wawancara pada pihak pekerja yang pernah mendatangi tempat itu. Pencatatan dilakukan berdasarkan parameter keberadaannya, dan hanya diidentifikasi sampai tingkatan takson kelas. Jika dimungkinkan tertangkap jelas oleh kamera, kamera, maka dapat dapat dilakukan identifikasi identifikasi sampai sampai tingkat jenis.
An alisi ali si s Dat a 1. Anali sis Vegetasi Vegetasi Setelah pengambilan data selesai dilakukan, dilakukan rekapitulasi data dan hasilnya dihitung dengan menggunakan parameter kerapatan. Kerapatan ini dibedakan menjadi dua yaitu untuk tumbuhan dengan diameter 0-10 cm dan tumbuhan dengan diameter diatas 10 cm. Berikut rumus kerapatan (Soerianegara (Soerianegara dan Indrawan, I ndrawan, 1987) :
KERAPATAN =
Jumlah individu Luas areal
2. Parameter Parameter Pertu Pertu mbu han Analisis data dilakukan dengan membandingkan membandingkan secara deskriptif tingkat pertumbuhan sesuai dengan kondisi lahan objek pengamatan yaitu lahan hasil revegetasi dari tahun 1985, 1996, 1999 sampai dengan 2007. Pengamatan pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman, diameter
tanaman, perkembangan akar dan pembukaan tajuk. 3. Persentase Persentase Pertum buh an Tanaman Tanaman Data persentase pertumbuhan tanaman diambil dari data sekunder. Data ini merupakan rekapitulasi dari beberapa petak contoh untuk tahun tanam 2004-2007 yang didapatkan dari pihak kontraktor perusahaan. perusahaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Setelah
melakukan
pengamatan
disertai
pengolahan
data
pada
beberapa blok vegetasi, maka didapatkan hasil seperti tabel-tabel di bawah ini: Tabel 3
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Persen tumbuh untuk beberapa jenis tanaman di beberapa areal revegetasi umur 3 tahun Persen Tumbuh (%) Species Rerata Himalaya Kathryn Layla Sengon (Paraserianthes (Paraserianthes falcataria) falcataria ) 97.0 97.8 100.0 98.2 Kapuk (Ceiba (Ceiba pentandra) pentandra ) 100.0 100.0 100.0 100.0 Akasia ( Acacia Acacia mangium mangium)) 97.1 * 99.5 98.3 Mangga (Mangifera (Mangifera indica) indica ) 80.0 * * 80.0 Saga ( Adenanthera Adenanthera speciosa) speciosa) 100.0 81.3 * 90.6 Uru (Elmerelia (Elmerelia sp) 96.6 100.0 100.0 98.9 Sandro (Sandoricum ( Sandoricum kacappeae) 100.0 * * 100.0 kacappeae ) Eukaliptus (Eucalyptus (Eucalyptus urograndis) urograndis ) 90.2 * 100.0 95.1 Rerata 95.1 94.8 99.9 96.6 Keterangan :* = tidak ada data, jenis tersebut tidak ditanam pada plot.
Tabel 4
No 1 2 3 4
Persen tumbuh untuk beberapa jenis tanaman di beberapa areal revegetasi umur 2 tahun Persen Tumbuh (%) Species Rerata Desy Solia Sengon (Paraserianthes ( Paraserianthes falcataria) 98.3 97.5 97.9 falcataria ) Kemiri ( Aleuritus Aleuritus molluccana molluccana)) 97.6 95.1 96.4 Eukaliptus (Eucalyptus (Eucalyptus urograndis) urograndis ) 97.4 98.1 97.8 (Mimosops eminii) eminii) 88.8 * 88.8 Rerata 95.5 96.9 96.2 Keterangan :* = tidak ada data, jenis tersebut tidak ditanam pada plot..
Tabel 5 No 1 2 3 4 5 6
Species
Persen tumbuh untuk beberapa jenis tanaman di beberapa areal revegetasi umur 1 tahun Persen Tumbuh (%) Rerata Fiona Lorraine Hasan
Sengon (Paraserianthes ( Paraserianthes falcataria) falcataria ) Saga ( Adenanthera Adenanthera speciosa speciosa)) Sengon Buto (Enterolobium ( Enterolobium cyclocarpum) cyclocarpum ) Johar (Cassia (Cassia siamea) siamea) Eukaliptus (Eucalyptus (Eucalyptus urograndis) urograndis ) Kayu Angin (Casuarina (Casuarina sp) Rerata
93.9 100.0 98.2 98. 2 96.2 94.1 * 96.5
100.0 100.0 100.0 100.0 83.3 100.0 97.2
Keterangan :* = tidak ada data, jenis tersebut tidak ditanam pada plot.
100.0 * * 98.9 100.0 100.0 99.7
98.0 100.0 99.1 98.4 92.5 100.0 97.80
Tabel 6 Data rekolonisasi serta kondisi serasah pada tiap plot pengamatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Plot
Tahun Tanam
Rekolonisasi
Butoh Ponsesa Ponsesa Koro South Watulabu Debbie Hasan Rante Koro Triple A Olivia Petea Koro North
1985 1996 1999 2000 2001 2002 2003 2003 2004 2004 2005 2006 2007
Pionir Kelakai, tali-tali, teduhu Rudu, teduhu, liana, Lumut Tali-tali Liana tak berkayu, rudu epifit, tali-tali, teduhu, pionir, anakan liana tak berkayu, epifit Tali-tali liana tak berkayu Tali-tali Liana tak berkayu, teduhu, rudu tidak diketemukan tidak diketemukan
Keterangan : * ketebalan kurang dari 5 cm dengan jumlah sedikit. ** ketebalan lebih dari 5 cm dan tersebar relatif merata. *** ketebalan lebih dari 5 cm, terdiri dari berbagai jenis serasah. **** sudah terdapat dekomposisi.
Tabel 7 Data tipe erosi pada tiap plot pengamatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Butoh Ponsesa Ponsesa Koro South Watulabu Debbie Hasan Rante Koro Triple A Olivia Petea Koro North
Tahun Tanam 1985 1996 1999 2000 2001 2002 2003 2003 2004 2004 2005 2006 2007
Tipe Erosi Percik, Lembar Percik Percik, Alur Percik Percik, Lembar, Alur Percik Percik, Lembar Percik Percik Percik Percik, Lembar Percik, Lembar Percik
Serasah **** **** **** *** *** **** ** * * * *** *** **
Tabel 8 Data kerapatan tanaman, penutupan tajuk serta stratifikasi tajuk pada tiap plot pengamatan Kerapatan (individu/ha) Tahun Penutupan Stratifikasi Nama Plot Tanam Tajuk (%) Tajuk Diameter 0-10 cm Diameter >10 cm
No 1
Butoh
1985
1370
60
65.83
E-D-C
2
Ponsesa
1996
150
280
52.5
E-D-C
3
Ponsesa
1999
150
270
42.71
E-D-C
4
Koro South
2000
110
470
50
E-D-C
5
Watulabu
2001
640
170
48.61
E-D-C
6
Debbie
2002
530
290
56.94
E-D-C
7
Hasan
2003
390
290
41.67
E-D-C
8
Rante
2003
290
140
32.29
E-D-C
9
Koro
2004
230
120
35.83
E-D-C
10
Triple A
2004
320
70
36.98
E-D-C
11
Olivia
2005
330
110
40.63
E-D-C
12 13
Petea Koro North
2006 2007
530 420
70 -
53.67 15.17
E-D E-D
Keterangan : E : Lapisan tumbuhan penutup tanah D : Lapisan tumbuhan dengan ketinggian 1-2 meter C : Lapisan tumbuhan dengan ketinggian > 2 meter
Tabel 9 Data tumbuhan penutup tanah serta persentase penutupan tanah pada tiap plot pengamatan . No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Plot
Tahun Tanam
Tumbuhan penutup tanah
Butoh Ponsesa Ponsesa Koro South Watulabu Debbie Hasan Rante Koro Triple A Olivia Petea Koro North
1985 1996 1999 2000 2001 2002 2003 2003 2004 2004 2005 2006 2007
Brachiaria decumbens Brachiaria decumbens Brachiaria decumbens Brachiaria decumbens Brachiaria decumbens Brachiaria decumbens Brachiaria decumbens Brachiaria decumbens Brachiaria decumbens Wynn cassia, burgundi, bermuda, centro, wf millet Wynn cassia, burgundi, bermuda, centro, wf millet Wynn cassia, burgundi, bermuda, centro, wf millet
Persentase Penutupan Tanah (%) 5 45 90 80 50 40 100 100 100 100 70 60 40
Pembahasan Persentase Pertumbuhan Jika dibandingkan dengan penelitian Sirait pada tahun 1997 di beberapa areal revegetasi PT INCO, terlihat bahwa persentase pertumbuhan memiliki peningkatan: pada tahun 1997 persentase pertumbuhan tertinggi hanya mencapai 93%. Hal itu dapat menjadi takaran bahwa terdapat pembenahan yang baik pada faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persentase pertumbuhan yang terutama disebabkan faktor ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan persen tumbuh di atas 80%, sesuai dengan Pedoman Reklamasi Lahan Tambang dari Ditjen RLPS, kegiatan revegetasi telah dinilai berhasil. Dengan kata lain, daya adaptasi tanaman serta kualitas tempat tumbuh juga penerapan teknologi sudah baik. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat persen tumbuh ini antara lain dimulai dari kondisi bibit, pengangkutan bibit, cara penanaman dan pemupukan. Selain itu, kondisi tanah laterit dapat mempengaruhi persen tumbuh. Seperti diketahui, bahwa karakteristik tanah laterit adalah memiliki kesuburan yang rendah dengan KTK rendah dan memiliki kandungan oksida Fe dan Al tinggi (Hadjowigeno, 1987). Beberapa tanaman yang mencapai persen tumbuh 100% pada tahun ketiga merupakan tanaman pionir lokal yaitu Sandro ( Sandoricum kacappeae) dan Uru (Elmerelia sp). Hal itu menandakan bahwa karakteristik lahan sudah cukup baik bagi tumbuhnya jenis-jenis lokal. Dan juga sudah sejalan dengan peraturan pemerintah yang mengharuskan penanaman jenis lokal di areal bekas tambang.
Perkembangan Tanaman Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa diameter dan tinggi dari tanamantanaman yang ditanam pada areal revegetasi menunjukkan perkembangan. Dengan kata lain dalam 10 pekan pertama, tanaman telah dapat tumbuh dan berkembang dengan grafik yang terus menaik. Diharapkan dengan kondisi seperti itu, maka pertumbuhan pada masa ke depannya akan terus meningkat dan dapat bertahan dari kematian. Peningkatan tertinggi pada diameter juga tinggi justru dicapai oleh jenis lokal yaitu Trema ( Melochia umbellata). Peningkatan tinggi yang baik juga sangat menunjang penutupan lahan yang semakin baik.
Beberapa hal yang dapat menjadi faktor meningkatnya pertumbuhan, antara lain persiapan lahan yang baik serta kondisi bibit yang memiliki daya tahan yang baik juga perakaran yang menunjang.
Gambar 1 Pertumbuhan diameter beberapa jenis tanaman.
Gambar 2 Pertumbuhan tinggi beberapa jenis tanaman.
Perakaran Sistem perakaran yang berada pada areal revegetasi telah cukup berkembang, dalam artian akar tanaman telah menembus tanah asli. Hal itu terjadi pada setiap tahun tanam yang diamati dan pada jenis-jenis yang beragam seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), Eukaliptus (Eucalyptus sp), Trema (Melochia umbellata), Johar (Senna siamea), Kayu Angin (Casuarina sp) juga Dengen (Dillenia serrata). Pada areal Petea dengan tahun tanam 2005, ditemukan akar Sengon (Paraserianthes falcataria) yang telah berkembang baik, yaitu mencapai 3 meter untuk akar horizontal dan 1.74 meter untuk akar vertikal (Gambar 3). Sedangkan di daerah Watulabu dengan tahun tanam 2001, akar Sengon yang teramati mencapai 3 meter untuk akar horizontal sedangkan disitu tidak terdapat akar vertikal. Hal itu dapat terjadi disebabkan karena kondisi tanah bagian bawah yang cukup keras juga belum kuatnya akar pada saat penanaman dilakukan (Gambar 4).
Gambar 3 Perakaran Sengon (Paraserianthes falcataria) di Petea.
Perakaran menjadi penting, karena untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang berkelanjutan diperlukan akar yang baik dalam upaya menyerap unsur hara juga untuk menopang tubuh tumbuhan. Selain perkembangan akar, keberlanjutan pertumbuhan haruslah didukung dengan kondisi tempat tumbuh yang baik, salah satunya dicirikan adanya serasah sebagai wahana keberlangsungan siklus hara.
Gambar 4 Perakaran Sengon (Paraserianthes falcataria) di Watulabu .
Serasah Pada tiap areal pengamatan, sudah terdapat akumulasi serasah, walaupun dalam jumlah dan kondisi yang beragam. Areal yang memiliki akumulasi serasah paling minim yaitu Rante (tahun tanam 2003) juga Koro dan Triple A dengan tahun tanam sama yaitu 2004. Pada areal tersebut, ketebalan serasah masih kurang dari 5 cm dengan jumlah yang sedikit, dan hanya terdiri dari dedaunan saja dengan kondisi belum terdapat dekomposisi. Kondisi seperti ini dapat dipengaruhi oleh keadaan lahan pada areal di atas yang memiliki penutupan oleh tumbuhan penutup tanah yang berupa Signal Grass (Brachiaria decumbens) sebesar 100%. Serasah yang telah terdekomposisi, terdapat pada areal Butoh (tahun tanam 1985), Ponsesa (tahun tanam 1996 dan 1999) serta Debbie (tahun tanam 2002). Serasah yang sudah terdekomposisi berupa daun, sedangkan jenis lainnya seperti ranting belum terdapat dekomposisi. (Gambar 5 dan 6). Dekomposisi berkaitan erat dengan rekolonisasi. Hal itu dapat dilihat bahwa rekolonisasi berupa anakan dari tumbuhan pionir hanya terdapat di tempat yang sudah terdapat dekomposisi serasah (Butoh dan Debbie). Itu menunjukkan bahwa kondisi kedua tempat sudah cukup baik bagi tumbuhnya anakan alami dan
adanya
dekomposisi
serasah
keberlangsungan siklus unsur hara.
dapat
menjadi
pertanda
adanya
Gambar 5 Akumulasi serasah di Debbie.
Gambar 6 Akumulasi serasah di Ponsesa.
Rekolonisasi Pada setiap areal yang diamati, rekolonisasi sudah terjadi dalam skala kecil. Pada umumnya, rekolonisasi yang terjadi didominasi oleh liana tak berkayu dari jenis Mikania micrantha. Jenis ini sangatlah mudah untuk tumbuh dan merambat melalui mekanisme fototaksis. Penyebarannya pun relatif cepat, karena biji dari Mikania micrantha ini sangat kecil dan mudah untuk terbawa angin (ISSG, 2005). Dengan kondisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika jenis ini sangat mudah ditemukan di seluruh areal revegetasi kecuali di Daerah Butoh (tahun tanam 1985) dan Koro serta Petea dengan tahun tanam masingmasing 2007 dan 2006. Tumbuhnya jenis Mikania micrantha ini diduga berasal dari kompos yang digunakan pada saat persiapan lahan dan penanaman. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, penyebaran jenis ini yang sangat cepat dan invasif, menjadikan jenis ini memiliki dampak negatif terhadap program revegetasi yaitu dengan cara menjadi gulma dan dapat menghambat pertumbuhan tanaman pokok (Gambar 7).
Gambar 7 Tanaman pokok yang terinvasi jenis Mikania micrantha di Debbie.
Dalam pada itu perlu dilakukan pemeliharaan pada areal yang terganggu oleh jenis Mikania micrantha. Pemeliharaan yang dilakukan adalah pembebasan tanaman pokok dari jenis Mikania micrantha baik dengan cara mekanis yaitu mencabuti untuk areal yang tidak terlalu banyak terserang ataupun cara nonmekanis seperti penyemprotan herbisida untuk areal yang terkena dampak serangan parah seperti di Debbie dengan tahun tanam 2002. Pembebasan tanaman pokok dari gulma mutlak diperlukan untuk memberikan ruang tumbuh yang optimal. Selain itu, kesehatan tanaman juga menjadi salah satu kriteria yang ditetapkan oleh Ditjen RLPS untuk keberhasilan revegetasi lahan bekas tambang. Anakan pionir hanya dapat ditemukan di areal Butoh (tahun tanam 1985) dan Debbie (tahun tanam 2002) (Gambar 8). Pada dua wilayah ini dapat ditemukan kesamaan pada variabel lain pengamatan yaitu keduanya memiliki persentase penutupan tajuk oleh kanopi paling tinggi (Butoh : 65,93% dan Debbie : 56,94%); memiliki persentase penutupan lahan oleh tumbuhan penutup tanah paling rendah (Butoh : 5% dan Debbie : 40%); serta kondisi serasah di kedua tempat sudah menunjukan adanya dekomposisi.
Gambar 8 Anakan hasil rekolonisasi di Debbie.
Jenis epifit serta lumut terdapat di Ponsesa dengan tahun tanam 1999 (Gambar 9 dan 10). Terdapatnya jenis lumut merupakan salah satu keadaan yang baik, karena karakteristik lumut yang dapat mengeluarkan eksudat berupa organic acid dapat membantu terjadinya pelapukan pada bagian-bagian tanah yang keras (Setiadi 2006). Jenis-jenis herba seperti kelakai dapat ditemukan di Ponsesa dengan tahun tanam 1996 (Gambar 11). Jenis jamur dapat ditemukan di bukit Triple A dengan tahun tanam 2003 (Gambar 12).
Gambar 10 Lumut di Ponsesa. Gambar 9 Epifit di Ponsesa.
Gambar 11 Kelakai di Ponsesa.
Gambar 12 Jenis jamur di Triple A.
Mengacu pada Budowski (1965) dalam Freeman, Dasmann dan Milton (1977), maka terlihat bahwa suksesi tengah berjalan pada peralihan antara strata pionir menuju sekunder awal. Beberapa cirinya antara lain: memiliki tumbuhan merambat yang bayak dengan batang basah tetapi memiliki spesies yang sedikit; dengan penyebaran biji tumbuhan dominan oleh burung, kelelawar dan angin; serta regenerasi tumbuhan dominan yang sangat langka atau bahkan praktis tidak ada.
Tumbuhan Penutup Tanah Dengan sudah masuknya beberapa jenis hewan yang dapat membantu penyebaran biji ke lahan revegetasi, sebenarnya merupakan simptom terjadinya rekolonisasi, tetapi kondisi tumbuhan penutup tanah yang sangat padat (terutama jenis seperti uraso dan signal grass) memungkinkan biji tidak mencapai lantai hutan untuk kemudian berkecambah. Jika pun ada biji yang mencapai lahan hutan, akan terjadi kesulitan dalam persaingan hara, kerasnya lahan sehingga sulit bagi akar yang baru untuk memembus tanah dan faktorfaktor pendukung perkecambahan lainnya. Hal sebaliknya terjadi pada lahan dengan tumbuhan penutup tanah jenis dari famili Leguminaceae; penutupan tidak terlalu rapat, sehingga kesempatan bagi biji-biji untuk berkecambah terbuka lebih lebar. Beragam jenis digunakan sebagai tumbuhan penutup tanah. Pada awalnya, yang digunakan adalah uraso ( Sacharum sp), tetapi mulai tahun 2003, penggunaan uraso telah diganti oleh signal grass (Brachiaria decumbens). Bersamaan dengan itu, dilakukan juga secara bertahap penggantian uraso (Sacharum sp) di lapangan dengan signal grass (Brachiaria decumbens) untuk tegakan tahun 2003 ke atas.
Tabel 10 Komposisi tumbuhan penutup tanah pada areal penanaman 2005-2007 Nama umum
Nama latin
Komp osis i (%)
Bermuda
Cynodon dactylon
30 %
Burgundy
Macroptilium bracteatum
20 %
WF millet
Panicum miliaceum
25 %
Wynn cassia
Chamaecrista rotundifolia
25 %
. Gambar 13 Persentase penutupan tajuk dan penutupan tanah oleh cover crops
Signal grass (Brachiaria decumbens) digunakan karena memiliki sifat yang dapat cepat tumbuh menutupi lahan, dapat berkembang pada daerah yang miskin hara dan dapat mengontrol erosi (Shelton, 2007). Tetapi, seperti halnya uraso
(Sacharum sp)
yang
memiliki
penutupan
lahan
sangat
rapat,
keberadaannya dapat menghambat terjadinya rekolonisasi. Rekolonisasi pada tegakan 2003 ke atas, diduga terjadi pada saat masa penggantian tanaman penutupan tanah itu. Dimulai tahun 2005, kombinasi dari beberapa tanaman yaitu Wynn cassia, burgundi, jenis Leguminaceae, Crotalaria sp. mulai dipergunakan sebagai tumbuhan penutup tanah. Leguminaceae dipilih karena dapat menambah N tanah, tidak berkompetisi dengan tanaman pokok, juga beberapa jenisnya sangat toleran terhadap tanah miskin (Hadjowigeno, 1987). Gambar 13 menunjukkan bahwa penutupan lahan oleh tumbuhan penutup tanah cenderung memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan penutupan tajuk. Hal itu dapat dilihat pada tegakan tahun tanam 2003 dan 2004 yang memiliki penutupan lahan oleh signal grass (Brachiaria decumbens) sebesar 100% (Gambar 14), justru memiliki penutupan tajuk yang rendah (berkisar pada 30-an %), sedangkan Butoh dan Debbie yang memiliki penutupan tajuk tertinggi (masing-masing 65,93% dan 56,94%); memiliki persentase penutupan lahan oleh tumbuhan penutup tanah paling rendah sebesar 5% dan 40% (Gambar 15). Hal itu dapat disebabkan karena adanya reduksi cahaya
matahari oleh tajuk sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan signal grass (Brachiaria decumbens).
Gambar 14 Kondisi penutupan lahan di Rante
Gambar 15 Kondisi lantai hutan di Butoh
Penutupan tanah oleh tumbuhan penutup tanah berkaitan erat dengan kondisi serasah juga penutupan tajuk. Semakin rapat penutupan tajuk, maka akan semakin rendah persentase penutupan tanah dan dapat menyebabkan serasah
langsung
jatuh
ke
tanah
yang
memudahkan
untuk
terjadinya
dekomposisi. Oleh karena itu pada lahan-lahan yang memiliki persentase penutupan tanah 100% seperti di Hasan (tahun tanam 2003), Rante (tahun tanam 2003), Koro (tahun tanam 2004) dan Triple A (tahun tanam 2004) perlu dilakukan penanaman jenis-jenis sisipan dengan jarak tanam yang lebih rapat. Selain untuk mempercepat reduksi persentase penutupan tanah, upaya ini dapat berguna dalam meningkatkan keanekaragaman juga pembentukan stratifikasi tajuk. Hal seperti itu perlu juga dilakukan pada lahan di Ponsesa (tahun tanam 1999) dan Koro South (tahun tanam 2000).
Erosi Salah satu hal yang terpenting dari tumbuhan penutup tanah adalah dalam pengendalian erosi. Penutupan tanah yang baik akan menghasilkan reduksi erosi, mengingat bahwa di areal PT INCO memiliki curah hujan yang cukup tinggi yaitu 3000 mm/tahun. Pada bebereapa areal revegetasi, penutupan lahan oleh signal grass (Brcahiaria decumbens), telah menghasilkan reduksi erosi yang cukup baik. Tercatat hanya di Watulabu (tahun tanam 2001) dan Hasan (tahun tanam 2003) saja yang terjadi jenis erosi lembar. Untuk daerah Watulabu (tahun tanam 2001), dengan persentase penutupan tanah yang tidak terlalu besar, yaitu 50%, erosi terjadi di lahan yang tidak tertutupi oleh tumbuhan penutup tanah. Di daerah ini juga ditemukan erosi jenis alur yang ada pada lahan yang tak tertutupi oleh tumbuhan penutup tanah dan tidak ternaungi juga oleh tajuk. Sedangkan di Hasan (tahun tanam 2003) dengan persentase penutupan tanah 100%, erosi terjadi di bagian luar tegakan (Gambar 16). Erosi lembar dapat ditemukan juga pada areal dengan tahun tanam 2005 dan 2006 (Olivia dan Petea) yang memiliki tumbuhan penutup tanah jenis kombinasi Wynn cassia, Burgundi, Leguminaceae dan Crotalaria sp. Hal itu dapat terjadi karena topografi areal pada kedua lahan tersebut cukup miring (hampir 100%), juga penutupan lahan oleh tumbuhan penutup tanah belum terlalu sempurna (masing-masing 60 dan 40%). Pada tahun areal Koro North (tahun tanam 2007) walaupun penutupan lahannya hanya 40% dengan tumbuhan penutup tanah yang sama, tidak terdapat erosi lembar, dikarenakan kondisi lahannya relatif landai. Pada areal Ponsesa tahun tanam 1999 ditemukan situs erosi alur yang tidak aktif karena telah tertutupi oleh tumbuhan penutup tanah (Gambar 17 ). Dalam artian bahwa kemungkinan erosi itu terjadi pada saat lahan belum tertutupi dengan baik oleh tumbuhan penutup tanah dan intensitasnya lambat laun berkurang seiring perkembangan tumbuhan penutup tanah. Water log dapat ditemukan pada areal muda dengan tahun tanam 2006 dan 2007 yang terdapat di luar tegakan.
Gambar 16 Erosi percik pada arel pengamatan
Gambar 17 Situs erosi alur di Ponsesa
Gambar 18 Water log di Koro (2007)
Penutupan d an Stratifikasi Tajuk Salah satu hal yang dapat menghambat terjadinya erosi adalah penutupan tajuk yang baik. Seperti terlihat di areal Butoh dengan tahun tanam 1985, walupun dengan persentase penutupan tanah yang sangat kecil (5%), tetapi tidak terdapat jenis erosi alur, hal ini dapat disebabkan penutupan tajuknya yang paling rapat dibandingkan areal lain. Selain itu jumlah individu pohon pada areal ini yang relatif banyak walaupun didominasi oleh tumbuhan berdiameter dibawah 10 cm dapat menyebabkan adanya mekanisme pengurangan laju curahan tajuk (throughfall). Seperti telah dijelaskan di atas, Gambar 13 menunjukkan bahwa penutupan tajuk yang baik akan menghambat pertumbuhan penutup tanah yang semakin invasif. Sehingga pada akhirnya dengan penutupan tajuk yang semakin sempurna, maka lahan pun akan semakin bebas dari tumbuhan penutup tanah yang akan memudahkan bagi terjadinya rekolonisasi. Penutupan juga stratifikasi tajuk merupakan salah satu faktor yang
penting dalam keberhasilan rehabilitasi. Memiliki fungsi hidro-orologis seperti halnya stratifikasi tajuk, penutupan tajuk juga memiliki fungsi sebagai mekanisme penahan lantai hutan dari sinar matahari nyang dapat menyebabkan perubahan iklim mikro dengan penurunan suhu dan peningkatan kelembaban. Umumnya di daerah areal revegetasi telah terbentuk 3 lapisan. Lapisan pertama yaitu lapisan penutup tanah yang didominasi oleh tumbuhan penutup tanah; lapisan kedua yaitu lapisan yang terbentuk akibat penanaman tanaman sisipan yang biasanya berupa tanaman lokal dengan tinggi kurang lebih 1-2 meter; dan lapisan paling atas adalah yang didominasi oleh tanaman pokok revegetasi
seperti
Sengon
(Paraserianthes
falcataria),
Sengon
Buto
(Enterolobium macrocarpum) dan Eucaliptus (Eucalyptus urograndis). Stratifikasi tajuk dapat pula memungkinkan introduksi berbagai jenis satwa, karena jenis-jenis satwa tertentu memiliki habitat dalam strata tajuk yang spesifik. Contohnya jenis burung-burung pemangsa lebih menyukai untuk hidup dan membangun sarang dalam strata tajuk A atau B yang memiliki ketinggian lebih dari 25 meter dan mencari mangsa pada strata tajuk yang lebih rendah.
Gambar 19 Kondisi penutupan tajuk di Ponsesa (1996)
Satwa Liar Gambar 21 Kondisi penutupan tajuk di Olivia
Gambar 20 Kondisi penutupan tajuk di Ponsesa (1999)
Gambar 22 Kondisi penutupan tajuk di Butoh
Keberadaan satwa liar merupakan salah satu indikator yang penting dalam
keberhasilan
rehabilitasi.
Dengan
adanya
satwa
liar
setidaknya
mencerminkan dua hal: keadaan lahan yang mulai mendukung sebagai habitat bagi satwa liar sebagai site visit, mencari makan juga bersarang yang menadakan bahwa telah terbentuk sebuah ekosistem; juga indikasi adanya vektor pembawa biji dari hutan alam sebagai awal dari tahapan rekolonisasi. Selain hal itu, mekanisme ekologis makan dan dimakan (rantai makanan) memungkinkan satwa menjadi pemain penting dalam hal pengendalian hama dan penyakit hutan. Masuknya satwa liar telah terjadi pada lahan dengan tahun tanam 2007 (kurang dari 1 tahun) walaupun tidak untuk melakukan kegiatan reproduksi dan bersarang, tetapi hanya sebagai tempat singgah saja. Sedangkan pada tahun tanam 2004 yaitu di Hasan, ditemukan sarang burung pipit pada plot pengamatan (Gambar 23). Hal itu menunjukan bahwa kondisi di tegakan itu sudah kondusif untuk habitat beberapa jenis satwa. Beberapa satwa yang ditemukan secara langsung antara lain dari jenis herpetofauna seperti kadal; jenis-jenis burung seperti elang, alap-alap, kutilang dan jenis lain yang belum teridentifikasi; juga jenis unggas yaitu ayam hutan. Menurut keterangan, banyak ditemukan juga tikus hutan dan ular. Keberadaan
elang
yang
sempat
terdeteksi
hinggap
di
daerah
Watulabudengan tahun tanam 2001 merupakan hal yang sangat baik. Dengan perannya dalam piramida ekologi sebagai top predator, maka dapat disimpulkan bahwa beberapa satwa yang menjadi makanannya (terutama dari tingkatan konsumen tingkat 2) pun berada disana. Keragaman dari satwa pun akan memunculkan keragaman dari jenis vegetasi. Hal itu dapat dimungkinkan karena beberapa satwa hanya dapat hidup bila terdapat jenis-jenis tertentu saja dan begitupun sebaliknya, jenis-jenis tumbuhan tertentu hanya dapat disebarkan melalui jenis satwa yang tertentu.
Gambar 23 Sarang burung di Hasan
Kompos isi Tanaman Dari tabel dapat dilihat bahwa areal yang memiliki kerapatan tertinggi yaitu Butoh (tahun tanam 1985) dengan 1430 individu per hektar. Nilai itu berbeda jauh sekali dengan Koro (tahun tanam 2004) yang memiliki nilai terendah yaitu 350 individu per hektar. Hal yang patut diperhatikan adalah meskipun Butoh memiliki kerapatan individu tertinggi, tetapi komposisinya didominasi oleh tumbuhan dengan diameter kurang dari 10 cm (1370 indivdu per hektar), sedangkan tumbuhan dengan diameter lebih dari 10 cm hanya 60 individu per hektar yang merupakan nilai terendah dari semua areal untuk strata tumbuhan berdiameter lebih dari 10 cm. Hal itu dapat terjadi karena meskipun areal Butoh telah ditanami sejak 1985 dan mengalami beberapa pemeliharan, tetapi pada awal penanaman dilakukan tanpa memperhatikan karakteristik dan manajemen lahan, tingkat adaptabilitas jenis tanaman, metode penanaman dan sebagainya. Dapat terlihat juga bahwa setiap lahan memiliki komposisi tumbuhan berdiameter kurang dari 10 cm lebih banyak daripada tumbuhan berdiameter lebih dari 10 cm. Hanya pada tegakan di atas tahun 2000 saja yang memiliki kondisi yang bernegasi. Hal itu dapat disebabkan karena tumbuhan berdiameter kurang dari 10 cm didominasi oleh tumbuhan sisipan baru yang merupakan hasil dari penanaman jenis-jenis lokal, sedangkan pada tegakan-tegakan tua, terlihat belum dilakukan penanaman jenis-jenis lokal. Mulai dari beberapa tahun ke belakang, jenis tanaman yang ditanam pada lahan revegetasi menggunakan prinsip polikultur (beragam jenis) dalam satu lahan. (Lihat lampiran 4) Hal itu dilakukan untuk mencegah serangan hama penyakit yang menyerang jenis tertentu saja. Prinsip monokultur terbukti jika diserang oleh hama dan penyakit, maka hasilnya akan tampak seperti kurang
lebih pada bukit Hasan dengan tahun tanam 2000: kerapatan per hektarnya pada tahun 2007 tidak melebihi dari 300 individu per hektar. Selain untuk menghindari serangan hama dan penyakit, prinsip polikultur juga bermanfaat untuk menekan kompetisi nutrisi juga eksploitasi nutrisi berlebih oleh satu jenis tertentu. Penyediaan habitat yang berbeda untuk pelbagai jenis bianatang serta ketersediaan keanekaragaman penutupan lahan merupakan manfaat lain dari polikultur. Paling terpenting, polikultur yang dilakukan telah melibatkan jenis-jenis lokal (lihat lampiran 3) yang merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam melakukan reklamasi lahan bekas tambang (Pedoman Reklamasi Lahan Tambang-Ditjen RLPS, 1997).
An ali si s Tan ah Lampiran 5 menunjukkan hasil sementara analisis yanah yang dilakukan pada areal pengamatan. Dapat terlihat bahwa secara umum bahwa tanah pada areal revegetasi memiliki tekstur tanah yang sedang yaitu lempung dan lempung berdebu. Hanya pada daerah Watulabu (tahun tanam 2001) saja yang memiliki kelas tekstur lempung liat berdebu dengan tekstur yang agak halus. Jenis tanah lempung ini merupakan jenis tanah yang umum ditemui di daarah pertanian (Soepardi, 1983). Tekstur memiliki hubungan erat dengan KTK. Makin halus tekstur tanah, maka akan makin tinggi KTK (Soepardi, 1983). Hasil analisis tanah menunjukkan hal yang kongruen (Lihat lampiran 5). Anomali terjadi pada Butoh (tahun tanam 1985), yang memiliki KTK tertingi (10.61) tetapi justru memiliki kelas tekstur tanah berupa lempung yang lebih kasar dibandingkan Watulabu (tahun tanam 2001). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tanah pada areal itu belum normal. Soepardi (1983) menyatakan bahwa Fe (besi) memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan unsur mikro lainnya di dalam tanah. Tetapi, hasil analisis tanah
menunjukan
keadaan
yang
tidak
normal:
Mn
(Mangan)
memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan unsur lainnya di semua wilayah pengamatan. Bahkan di daerah Petea (tahun tanam 2006) tercatat konsentrasi Mn yang sangat ekstrim: 128 ppm berbanding 2 ppm untuk Fe. Ini menunjukkan ketidakseimbangan dan dalam jangka panjang akan menyebabkan gejala-gejala defisiensi Fe seperti kesulitan dalam membentuk klorofil, terganggunya penyusunan enzim dan protein, serta distrorsi pada oksidasi-reduksi dalam respirasi (Hadjowigeno, 1987).
pH pada daerah pengamatan berkisar antara agak masam dan netral. Kondisi seperti itu merupakan suasana rata-rata yang baik bagi t anaman, karena keadaan kimia maupun biologi berada pada titik optimum. Apabila pH bergerak ke arah sangat masam dan sangat basa, maka akan terjadi ketidakseimbngan unsur hara yang dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan. Persentase bahan organik pada areal pengamatan menunjukkan kondisi yang normal, dimana kadar bahan organik tidak lebih dari 5%. Bahan organik ini sangat penting, karena sangat mempengaruhi sifat fisik tanah. Bahan organik cenderung meningkatkan jumlah air yang dapat ditahan tanah dan jumlah air yangtersedia bagi tanaman juga merupakan sumber energi bagi jasad mikro. Tanpa bahan organik, semua kegiatan biokimia terhenti (Soepardi, 1983).
KESIMPULA N DAN SARAN
Kesimpulan Pada beberapa variabel yang ditetapkan oleh Ditjen RLPS, revegetasi lahan bekas tambang di PT INCO telah memenuhi kriteria keberhasilan yaitu persentase pertumbuhan yang telah mencapai > 80% dan penanaman jenis-jenis lokal. Sementara kesehatan tanaman, belum memenuhi kriteria, karena masih banyak terdapat tanaman yang terkena penyakit juga terserang hama maupum gulma. Status rekolonisasi belum menunjukan nilai yang semakin meningkat untuk tiap area berdasarkan umur tanam. Hal ini membutuhkan perbaikan. Secara keseluruhan, revegetasi di PT INCO belum membentuk struktur dan fungsi yang semula yaitu hutan lindung.
Saran Untuk menghasilkan rekapitulasi data yang baik dan dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya, perlu dibangun petak ukur permanen untuk aspek-aspek yang menjadi takaran bagi keberhasilan revegetasi. Petak ukur permanen haruslah mencerminkan pelbagai ragam kondisi yang ada pada lahan revegetasi. Penanaman tanaman sisipan diperlukan pada areal revegetasi seperti di Hasan, Rante (2003); Koro, Triple A (2004) ; serta Ponsesa (1996 dan 1999). Hal itu dilakukan untuk menambah kerapatan serta mempercepat penutupan tajuk. Untuk menjamin terbebasnya tanaman dari gulma perlu dilakukan pembebasan dari gulma yang dilakukan dengan cara mekanis di tiap arealterutama yang terdapat tali-tali (Mikania micrantha). Cara non-mekanis seperti penyemprotan herbisida dapat dilakukan di Debbie (2002), karena serangan gulma sudah relatif parah.
SENARAI PUSTAKA . [ISSG] Invasive Species Specialist Group. 2005. Mikania micrantha (vine, climber). http://www.issg.org/database/species/ecology.asp?si=42. [04 Juni 2008] [Dephut] Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 1997. Pedoman Reklamasi Lahan Tambang. Jakarta : Dephut. [Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia Nomor 146/KptsII/1999 tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang dalam Kawasan Hutan. Jakarta: Dephutbun. [DITR]
Departement
of
Industry
Tourism
and
Resources,
Australian
Government.2006. Mine Rehabilitation: Leading Practice Sustainable Development Program for The Mining Industry. Commonwhealth of Australia. [LEH IPB] Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 2004. Bahan Kuliah Ekologi Hutan, Program Sarjana Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan. Ambodo A. 2005. Mine Rehabilitation Best Practice. Sulawesi : PT INCO Tbk. Tidak Dipublikasikan. Barnes BV dan Spurr SH. 1980. Forest Ecology (Wiley International Edition). John Wiley and Sons, Inc. United States of America. Daniel TW, JA Helms dan FS Baker. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Freeman
PH,
Dasmann
RP,
Milton
JP.
1977.
Prinsip
Ekologi
untuk
Pembangunan Ekonomi. PT Gramedia, diterbitkan untuk yayasan Obor Indonesia dan Lembaga ekologi Universitas Padjadjaran. Jakarta Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah (Edisi Revisi). Akademika Pressindo. Jakarta. Kloer W, Manfred K. 1988. Arti Humus Bagi Erosi Tanah Dan Stabilitas Lereng di daerah Tropis-Lembab Musiman di Papua Nugini. Di dalam : Gustav Espig, penyunting. Ekologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Kormondy EJ. 1969. Concept of Ecology. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Kustiawan W. 2001. Revegetasi
Perkembangan Vegetasi dan Kondisi Tanah serta pada
Lahan
Bekas
Galian
Tambang
Batubara di
Kalimantan Timur. Jurnal Ilmiah ”Rimba Kalimantan” Volume 6, No.2, Des 2001. Hal 20-31. Manan S. 1998. Hutan, Rimbawan dan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. McNaughton SJ dan LL Wolf. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Method of Vegetation Ecology (Wiley International Edition). John Wiley and Sons, Inc. United States of America. Nusantara A, Enny W, Iwan S, Arief D, Untung S. 2004. Strategi Restorasi Lahan Terdegradasi
[makalah].
Sekolah
Pasca
Sarjana,
IPB.
Tidak
Diterbitkan. Setiadi Y. 2006. Bahan Kuliah Ekologi Restorasi. Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan,
Sekolah
Pasca
Sarjana,
IPB.
Tidak
Diterbitkan. --------------.
2006.
Criteria
and
Indicator
for
Evaluation
the
Succesfull
Revegetation Programme. In Press. Setiawan IE. 2003. Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi Pada Lahan Bekas Tambang Timah PT. KOBA TIN, Koba, Bangka- Belitung. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan. Shelton M. 2007. Brachiaria descumbens, Graminae. http://www.fao.org/AG/AGP [02 Juni 2008] Sirait, EESA. 1997. Evaluasi Keberhasilan Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Nikel PT. INCO, Soroako, Sulawesi Selatan. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan. Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Usaha Nasional. Surabaya.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Diktat mata kuliah Ilmu Tanah. Institut Pertanian Bogor. Soerianegara I, Indrawan A. 1987. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Sutisna U, Karlina T, Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan Indonesia. Yayasan PROSEA, Bogor dan Pusdiklat Pegawai & SDM Departemen Kehutanan. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Lokasi Areal konsesi PT INCO
(Sumber: Div. Mine Rehabilitation PT.INCO)
Lampiran 2 Lahan purna tambang yang telah direhabilitasi hingga Kuartal III tahun 2007 (Sumber: Div. Mine Rehabilitation PT.INCO)
Lampiran 3 Rekapitulasi, Jenis, Jumlah dan Rerata Diameter
Tahun Tanam 1996 No Nama Lokal 1 Eucalyptus 2 Sengon
Tahun Tanam 1999 No Nama Lokal 1 Sengon 2 Sengon Buto 3 Eucalyptus 4 Lamtoro 5 unidentified 6 Trema
Tahun Tanam 2000 No Nama Lokal 1 Sengon 2 Jambu-jambuan 3 Unidentified
Tahun Tanam 2001 No Nama Lokal 1 Sengon 2 Buri 3 Damar 4 Eucalyptus 5 Jambu-jambuan 6 Kayu angin 7 Sandro
Nama Latin Eucalyptus urograndis Paraserianthes falcataria
Famil i Myrtaceae Fabaceae
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik
Nama Latin Paraserianthes falcataria Enterolobium macrocarpum Eucalyptus urograndis Leucaena leucochepala
Famili Fabaceae Fabaceae Myrtaceae Fabaceae
Status Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer
Melochia umbellata
Sterculiaceaea
Pioneer Lokal
Nama Latin Paraserianthes falcataria Kjellbergiodendron celebicum
Nama Latin Paraserianthes falcataria Weinmannia blumei Agathis damara Eucalyptus urograndis Kjellbergiodendron celebicum Casuarina sp Sandoricum kacappeae
Famil i Fabaceae Myrtaceae
Famil i Fabaceae Cunnoniaceae Araucariaceae Myrtaceae Myrtaceae Casuarinaceae Podocarpaceae
eksotik eksotik eksotik eksotik
Status Pioneer eksotik Pioneer Lokal
Status Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer Lokal
Juml ah 4 39
Rerata Diameter (cm) 9.06 11.59
Juml ah 2 33 1 1 4 1
Rerata Diameter (cm) 13.85 12.33 6.69 6.69 7.32 < 3 cm
Juml ah 56 1 1
Rerata Diameter (cm) 16.67 5.73 < 3 cm
Juml ah 20 1 18 3 2 32 5
Rerata Diameter (cm) 22.78 < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm
Tahun Tanam 1996 No Nama Lokal 1 Eucalyptus 2 Sengon
Nama Latin Eucalyptus urograndis Paraserianthes falcataria
Tahun Tanam 1999 No Nama Lokal 1 Sengon 2 Sengon Buto 3 Eucalyptus 4 Lamtoro 5 unidentified 6 Trema
Tahun Tanam 2000 No Nama Lokal 1 Sengon 2 Jambu-jambuan 3 Unidentified
Tahun Tanam 2002 No Nama Lokal 1 Akasia 2 Sengon 3 Betao 4 Eboni 5 Kemiri 6 Nyamplung 7 Sandro 8 Uru 9 unidentified
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik
Nama Latin Paraserianthes falcataria Enterolobium macrocarpum Eucalyptus urograndis Leucaena leucochepala
Famili Fabaceae Fabaceae Myrtaceae Fabaceae
Status Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer
Melochia umbellata
Sterculiaceaea
Pioneer Lokal
Nama Latin Paraserianthes falcataria Kjellbergiodendron celebicum
Tahun Tanam 2001 No Nama Lokal 1 Sengon 2 Buri 3 Damar 4 Eucalyptus 5 Jambu-jambuan 6 Kayu angin 7 Sandro
Famil i Myrtaceae Fabaceae
Nama Latin Paraserianthes falcataria Weinmannia blumei Agathis damara Eucalyptus urograndis Kjellbergiodendron celebicum Casuarina sp Sandoricum kacappeae
Nama Latin Acacia mangium Paraserianthes falcataria Calophyllum solatri Diospyros sp Aleurites moluccana Willd Calophyllum inophyllum Sandoricum kacappeae Elmerillia tsiampacca (L.) Dandy
Famil i Fabaceae Myrtaceae
Famil i Fabaceae Cunnoniaceae Araucariaceae Myrtaceae Myrtaceae Casuarinaceae Podocarpaceae
Famil i Fabaceae Fabaceae Guttiferae Ebenaceae Euphorbiaceae Guttiferae Podocarpaceae Magnoliaceae
eksotik eksotik eksotik eksotik
Status Pioneer eksotik Pioneer Lokal
Status Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer Lokal
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal
Tahun Tanam 2003 (Hasan) No Nama Lokal 1 Akasia 2 Sengon 3 Betao 4 Blulang 5 Eucaliptus 6 Jabon 7 Jambu-jambu 8 Johar 9 Kayu angin 10 Kole 11 Trema
Nama Latin Acacia mangium Paraserianthes falcataria Calophyllum solatri Gonystylus sp Eucalyptus urograndis Anthocephalus cadamba Miq Kjellbergiodendron celebicum Senna siamea Casuarina sp Alpitonia incana (Roxb.)Hats. Melochia umbellata
Famili Fabaceae Fabaceae Guttiferae Thymelaeaceae Myrtaceae Rubiaceae Myrtaceae Fabaceae Casuarinaceae Rhamnaceae Sterculiaceaea
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer Lokal
Tahun Tanam 2003 (Rante) No Nama Lokal 1 Akasia 2 Sengon 3 Sengon Buto 4 Eucalyptus 5 Johar 6 Kayu Angin 7 Kemiri 8 Kole
Nama Latin Acacia mangium Paraserianthes falcataria Enterolobium macrocarpum Eucalyptus urograndis Senna siamea Casuarina sp Aleurites moluccana Willd Alpitonia incana (Roxb.)Hats.
Famili Fabaceae Fabaceae Fabaceae Myrtaceae Fabaceae Casuarinaceae Euphorbiaceae Rhamnaceae
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer Lokal
Juml ah 4 39
Rerata Diameter (cm) 9.06 11.59
Juml ah 2 33 1 1 4 1
Rerata Diameter (cm) 13.85 12.33 6.69 6.69 7.32 < 3 cm
Juml ah 56 1 1
Rerata Diameter (cm) 16.67 5.73 < 3 cm
Juml ah 20 1 18 3 2 32 5
Rerata Diameter (cm) 22.78 < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm
Juml ah 6 16 11 3 11 13 17 3 2
Juml ah 11 13 2 1 16 13 1 5 3 1 2
Juml ah 1 4 14 16 2 1 4 1
Rerata Diameter (cm) 14.75 17.19 3.74 < 3 cm 15.61 4.02 4.84 8.92 9.55
Rerata Diameter (cm) 17.14 19.19 < 3 cm < 3 cm 9.74 < 3 cm < 3 cm 6.13 < 3 cm 3.18 < 3 cm
Rerata Diameter (cm) 12.42 22.21 8.29 7.91 6.37 13.91 8.28 13.91
Tahun Tanam 2002 No Nama Lokal 1 Akasia 2 Sengon 3 Betao 4 Eboni 5 Kemiri 6 Nyamplung 7 Sandro 8 Uru 9 unidentified
Nama Latin Acacia mangium Paraserianthes falcataria Calophyllum solatri Diospyros sp Aleurites moluccana Willd Calophyllum inophyllum Sandoricum kacappeae Elmerillia tsiampacca (L.) Dandy
Famil i Fabaceae Fabaceae Guttiferae Ebenaceae Euphorbiaceae Guttiferae Podocarpaceae Magnoliaceae
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal
Tahun Tanam 2003 (Hasan) No Nama Lokal 1 Akasia 2 Sengon 3 Betao 4 Blulang 5 Eucaliptus 6 Jabon 7 Jambu-jambu 8 Johar 9 Kayu angin 10 Kole 11 Trema
Nama Latin Acacia mangium Paraserianthes falcataria Calophyllum solatri Gonystylus sp Eucalyptus urograndis Anthocephalus cadamba Miq Kjellbergiodendron celebicum Senna siamea Casuarina sp Alpitonia incana (Roxb.)Hats. Melochia umbellata
Famili Fabaceae Fabaceae Guttiferae Thymelaeaceae Myrtaceae Rubiaceae Myrtaceae Fabaceae Casuarinaceae Rhamnaceae Sterculiaceaea
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer Lokal
Tahun Tanam 2003 (Rante) No Nama Lokal 1 Akasia 2 Sengon 3 Sengon Buto 4 Eucalyptus 5 Johar 6 Kayu Angin 7 Kemiri 8 Kole
Nama Latin Acacia mangium Paraserianthes falcataria Enterolobium macrocarpum Eucalyptus urograndis Senna siamea Casuarina sp Aleurites moluccana Willd Alpitonia incana (Roxb.)Hats.
Famili Fabaceae Fabaceae Fabaceae Myrtaceae Fabaceae Casuarinaceae Euphorbiaceae Rhamnaceae
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer Lokal
Tahun Tanam 2004 (Koro) No Nama Lokal 1 Akasia 2 Sengon 3 Johar 4 Kapuk 5 unidentified1 6 unidentified2 7 unidentified3 8 unidentified4
Tahun Tanam 2004 (Triple No Nama Lokal 1 Akasia 2 Sengon 3 Sengon Buto 4 Johar 5 Kayu Angin 6 Sandro 7 Uru 8 unidentified
Tahun Tanam 2005 No Nama Lokal 1 Eucalyptus 2 Johar 3 unidentified 4 Sengon
Nama Latin Acacia mangium Paraserianthes falcataria Senna siamea Ceiba pentandra
A) Nama Latin Acacia mangium Paraserianthes falcataria Enterolobium macrocarpum Senna siamea Casuarina sp Sandoricum kacappeae Ermerillia tsiampacca (L.) Dandy
Famil i Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae
Famil i Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Casuarinaceae Podocarpaceae Magnoliaceae
Status Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer
eksotik eksotik eksotik eksotik
Status Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer
eksotik eksotik eksotik eksotik Lokal Lokal Lokal
Nama Latin Eucalyptus urograndis Senna siamea
Famil i Myrtaceae Fabaceae
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik
Paraserianthes falcataria
Fabaceae
Pioneer eksotik
Juml ah 6 16 11 3 11 13 17 3 2
Juml ah 11 13 2 1 16 13 1 5 3 1 2
Rerata Diameter (cm) 14.75 17.19 3.74 < 3 cm 15.61 4.02 4.84 8.92 9.55
Rerata Diameter (cm) 17.14 19.19 < 3 cm < 3 cm 9.74 < 3 cm < 3 cm 6.13 < 3 cm 3.18 < 3 cm
Juml ah 1 4 14 16 2 1 4 1
Rerata Diameter (cm) 12.42 22.21 8.29 7.91 6.37 13.91 8.28 13.91
Juml ah 7 11 3 4 1 7 1 1
Rerata Diameter (cm) 8.78 15.55 3.50 7.64 < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm
Juml ah 1 20 3 10 1 1 1 2
Rerata Diameter (cm) 7.64 11.67 < 3 cm 3.95 < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm
Juml ah 16 15 6 14
Rerata Diameter (cm) 10.33 7.01 < 3 cm 14.27
Tahun Tanam 2004 (Koro) No Nama Lokal 1 Akasia 2 Sengon 3 Johar 4 Kapuk 5 unidentified1 6 unidentified2 7 unidentified3 8 unidentified4
Tahun Tanam 2004 (Triple No Nama Lokal 1 Akasia 2 Sengon 3 Sengon Buto 4 Johar 5 Kayu Angin 6 Sandro 7 Uru 8 unidentified
Tahun Tanam 2005 No Nama Lokal 1 Eucalyptus 2 Johar 3 unidentified 4 Sengon
Tahun Tanam 2006 No Nama Lokal 1 Sengon 2 Sengon Buto 3 Eucaliptus 4 Johar 5 Kayu Angin 6 Kole 7 Sandro 8 Trema 9 unidentified Tahun Tanam 2007 No Nama Lokal 1 unidentified1 2 unidentified2 3 unidentified3 4 unidentified4 5 Kayu Angin 6 Sengon 7 Trema
Nama Latin Acacia mangium Paraserianthes falcataria Senna siamea Ceiba pentandra
A) Nama Latin Acacia mangium Paraserianthes falcataria Enterolobium macrocarpum Senna siamea Casuarina sp Sandoricum kacappeae Ermerillia tsiampacca (L.) Dandy
Famil i Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae
Famil i Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Casuarinaceae Podocarpaceae Magnoliaceae
Status Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer
eksotik eksotik eksotik eksotik
Status Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer Pioneer
eksotik eksotik eksotik eksotik Lokal Lokal Lokal
Nama Latin Eucalyptus urograndis Senna siamea
Famil i Myrtaceae Fabaceae
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik
Paraserianthes falcataria
Fabaceae
Pioneer eksotik
Nama Latin Paraserianthes falcataria Enterolobium macrocarpum Eucalyptus urograndis Senna siamea Casuarina sp Alpitonia incana (Roxb.)Hats. Sandoricum kacappeae Melochia umbellata
Juml ah 7 11 3 4 1 7 1 1
Rerata Diameter (cm) 8.78 15.55 3.50 7.64 < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm
Juml ah 1 20 3 10 1 1 1 2
Rerata Diameter (cm) 7.64 11.67 < 3 cm 3.95 < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm
Juml ah 16 15 6 14
Rerata Diameter (cm) 10.33 7.01 < 3 cm 14.27
Famil i Fabaceae Fabaceae Myrtaceae Fabaceae Casuarinaceae Rhamnaceae Podocarpaceae Sterculiaceaea
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer Lokal
Juml ah 17 7 1 7 7 10 1 5 5
Rerata Diameter (cm) 8.97 8.30 < 3 cm 5.60 5.16 < 3 cm < 3 cm 5.54 < 3 cm
Nama Latin
Famil i
Status
Casuarina sp Paraserianthes falcataria Melochia umbellata
Casuarinaceae Fabaceae Sterculiaceaea
Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer Lokal
Juml ah 1 1 3 1 3 2 31
Rerata Diameter (cm) < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm 4.46
Tahun Tanam 2006 No Nama Lokal 1 Sengon 2 Sengon Buto 3 Eucaliptus 4 Johar 5 Kayu Angin 6 Kole 7 Sandro 8 Trema 9 unidentified Tahun Tanam 2007 No Nama Lokal 1 unidentified1 2 unidentified2 3 unidentified3 4 unidentified4 5 Kayu Angin 6 Sengon 7 Trema
Nama Latin Paraserianthes falcataria Enterolobium macrocarpum Eucalyptus urograndis Senna siamea Casuarina sp Alpitonia incana (Roxb.)Hats. Sandoricum kacappeae Melochia umbellata
Famil i Fabaceae Fabaceae Myrtaceae Fabaceae Casuarinaceae Rhamnaceae Podocarpaceae Sterculiaceaea
Status Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer eksotik Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer Lokal Pioneer Lokal
Juml ah 17 7 1 7 7 10 1 5 5
Rerata Diameter (cm) 8.97 8.30 < 3 cm 5.60 5.16 < 3 cm < 3 cm 5.54 < 3 cm
Nama Latin
Famil i
Status
Casuarina sp Paraserianthes falcataria Melochia umbellata
Casuarinaceae Fabaceae Sterculiaceaea
Pioneer Lokal Pioneer eksotik Pioneer Lokal
Juml ah 1 1 3 1 3 2 31
Rerata Diameter (cm) < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm < 3 cm 4.46
Lampiran 4 Dokumentasi di Areal Pengamatan
Kondisi tegakan pada tahun tanam 2007
Lampiran 4 Dokumentasi di Areal Pengamatan
Kondisi tegakan pada tahun tanam 2007
Kondisi tegakan pada tahun tanam 2005
Kondisi tegakan pada tahun tanam 2004
Kondisi tegakan pada tahun tanam 2002
Penyakit pada eukaliptus ( Eucalytus sp)
Penyakit pada sengon (Paraserianthes falcataria)
Kaki seribu di Ponsesa (1996)
Kadal Emas ( Eutropis multifasciata)
Jejak babi di Rante
20 Lampiran 5 Hasil Analisis Tanah pada tiap Lokasi Pengamatan
Tahun tanam 1985 1985 1985 2001 2001 2002 2002 2002 2002 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2006 2006 2007 2007 2007 2008 2008
pH 1:1 Lokasi H20 Butoh 1 Butoh 2 Butoh 3 Watulabu 1 Watulabu 2 Debbie 1 Debbie 2 Debbie 3 Debbie 4 Rante 1 Rante 2 Triple A 1 Triple A 2 Koro South 1 Koro South 2 Olivia 1 Olivia 2 Olivia 3 Petea 1 Petea 2 KN 1 KN 2 KN 3 2008 1 2008 2 Lembo 1 Lembo 2 Lembo 3 Purna Tambang 1 Purna Tambang 2
KCl
6,90 6,70 6,10 5,90 5,90 6,60 6,40 6,70 6,80 6,60 6,70 6,30 6,50 6,90 6,50 6,30 6,40 6,50 6,30 6,50 6,60 6,50 6,40 6,70 6,30 5,20 5,00 4,80 6,60 7,10
6,00 5,50 5,00 4,70 4,70 5,80 5,10 5,90 5,90 5,40 5,50 5,00 5,20 5,80 5,70 5,00 5,30 5,70 5,00 5,70 5,80 5,30 5,30 5,80 5,10 4,00 4,00 3,60 5,60 6,00
Walkley & Black C-org (%) 1,20 0,88 2,72 0,08 0,08 1,12 1,52 1,20 0,72 0,56 0,32 1,52 0,96 2,32 2,08 1,12 0,88 0,96 0,40 0,24 0,80 1,28 0,64 0,16 0,72 1,60 2,08 2,24 0,40 0,08
Kjeldhal N-Total (%) 0,13 0,09 0,25 0,03 0,04 0,12 0,18 0,14 0,06 0,06 0,05 0,16 0,08 0,22 0,20 0,12 0,08 0,10 0,05 0,03 0,09 0,12 0,05 0,02 0,09 0,16 0,17 0,23 0,05 0,03
Bray 1 P (ppm) 3,40 3,70 4,10 1,70 1,40 2,50 2,00 2,30 1,70 2,00 1,70 2,20 1,70 2,00 3,90 2,20 2,00 1,90 2,50 1,70 1,70 1,40 1,90 1,90 1,70 25,60 28,10 29,00 2,00 1,40
N NH4O!c pH 7.0 Ca (me/100g) 2,45 2,33 1,96 2,21 2,06 2,58 4,36 5,27 5,78 1,39 1,71 1,77 1,44 3,77 4,60 2,82 2,50 3,89 3,66 4,00 2,92 4,66 4,08 2,29 3,41 1,92 1,85 1,82 2,03 2,17
Mg (me/100g) 6,42 10,60 6,40 0,58 0,58 2,90 1,34 1,86 1,70 1,86 1,39 1,82 2,36 0,52 1,98 1,96 1,75 2,00 2,80 3,10 4,16 1,56 2,26 2,90 0,36 1,32 0,80 0,74 8,82 8,66
K (me/100g) 0,04 0,09 0,04 0,04 0,06 0,08 0,10 0,08 0,08 0,04 0,09 0,05 0,06 0,07 0,08 0,06 0,09 0,06 0,16 0,19 0,06 0,09 0,40 0,12 0,13 0,09 0,06 0,07 0,03 0,03
Na (me/100g) 0,05 0,08 0,08 0,04 0,07 0,12 0,09 0,10 0,12 0,08 0,10 0,08 0,11 0,10 0,11 0,12 0,13 0,08 0,09 0,14 0,08 0,08 0,21 0,24 0,13 0,10 0,07 0,07 0,10 0,09
KTK (me/100g) 10,61 16,29 6,74 5,68 4,17 3,03 2,84 3,79 4,17 2,27 1,89 1,70 1,14 1,52 3,79 1,52 3,22 4,17 3,60 2,27 1,89 0,76 0,76 2,27 1,52 21,21 7,76 7,58 6,44 8,33
21 Lampiran 5 Hasil Analisis Tanah pada tiap Lokasi Pengamatan (lanjutan) Tahun tanam 1985 1985 1985 2001 2001 2002 2002 2002 2002 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2006 2006 2007 2007 2007 2008 2008
Lokasi
Butoh 1 Butoh 2 Butoh 3 Watulabu 1 Watulabu 2 Debbie 1 Debbie 2 Debbie 3 Debbie 4 Rante 1 Rante 2 Triple A 1 Triple A 2 Koro South 1 Koro South 2 Olivia 1 Olivia 2 Olivia 3 Petea 1 Petea 2 KN 1 KN 2 KN 3 2008 1 2008 2 Lembo 1 Lembo 2 Lembo 3 Purna Tambang 1 Purna Tambang 2 Keterangan : *= tidak ada data
N KCl H (me/100g) 0,12 0,08 0,12 0,04 0,04 0,12 0,12 0,12 0,08 0,04 0,04 0,08 0,08 0,16 0,16 0,08 0,08 0,08 0,04 0,04 0,08 0,12 0,08 0,12 0,04 0,18 0,22 0,28 0,04 0,04
Fe (ppm) 2,00 0,96 1,28 * 8,64 4,40 1,56 1,60 0,60 * 1,28 1,84 2,76 1,92 1,68 46,54 17,88 3,16 2,44 4,12 36,00 0,60 11,60 * * 9,60 6,64 7,64 16,84 24,28
0.05 N KCl Cu Zn (ppm) (ppm) 1,92 3,48 1,72 3,68 2,20 2,88 * * 3,50 4,42 3,44 4,60 3,28 5,84 3,84 5,88 1,92 1,72 * * 2,64 3,36 5,04 8.16 3,28 5,44 4,32 4,76 3,56 6,36 4,72 6,68 3,48 4,68 3,32 15,84 2,96 3,52 3,12 4,04 4,88 4,88 2,48 2,48 2,00 2,08 * * * * 2,56 3,36 2,60 3,24 2,80 2,72 2,00 3,44 2,16 3,36
Tekstur Mn (ppm) 43,20 42,32 56,64 * 10,76 81,52 49,36 65,00 30,68 * 67,68 14.76 84,23 89,52 76,36 87,88 75,28 67,40 128,88 136,80 59,72 40,20 63,88 * * 14,64 8,44 7,56 77,04 93,24
Pasir 51,01 52,69 42,42 8.54 11.09 17,44 18,46 41,72 16,35 17.20 15.87 38.89 37.29 32,08 39,25 23.46 38.11 33.92 26.01 30.33 30,62 22,52 22,42 17,85 27,77 29,92 23,18 15,57 63,20 75,25
Debu 38,64 34,35 40,16 56,94 58,51 67,17 63,99 46,82 72,16 72,21 66,86 46.43 49,72 51,82 41,12 54,35 49,07 48,01 58,77 52,24 40,79 59,32 57,55 62,31 50,40 42,01 42,35 56,09 23,81 19,70
Liat 10,35 12,96 17,32 34,52 30,40 15,39 17,55 11,46 11,49 10,59 17,27 14.68 12,99 16,10 19,63 22,19 12,82 18,07 15,22 17,43 28,59 18,16 19,93 19,84 21,89 28,07 34,47 28,34 12,99 5,05
21 Lampiran 5 Hasil Analisis Tanah pada tiap Lokasi Pengamatan (lanjutan) Tahun tanam
Lokasi
1985 1985 1985 2001 2001 2002 2002 2002 2002 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2006 2006 2007 2007 2007 2008 2008
Butoh 1 Butoh 2 Butoh 3 Watulabu 1 Watulabu 2 Debbie 1 Debbie 2 Debbie 3 Debbie 4 Rante 1 Rante 2 Triple A 1 Triple A 2 Koro South 1 Koro South 2 Olivia 1 Olivia 2 Olivia 3 Petea 1 Petea 2 KN 1 KN 2 KN 3 2008 1 2008 2 Lembo 1 Lembo 2 Lembo 3 Purna Tambang 1 Purna Tambang 2 Keterangan : *= tidak ada data
N KCl H (me/100g) 0,12 0,08 0,12 0,04 0,04 0,12 0,12 0,12 0,08 0,04 0,04 0,08 0,08 0,16 0,16 0,08 0,08 0,08 0,04 0,04 0,08 0,12 0,08 0,12 0,04 0,18 0,22 0,28 0,04 0,04
Fe (ppm) 2,00 0,96 1,28 * 8,64 4,40 1,56 1,60 0,60 * 1,28 1,84 2,76 1,92 1,68 46,54 17,88 3,16 2,44 4,12 36,00 0,60 11,60 * * 9,60 6,64 7,64 16,84 24,28
0.05 N KCl Cu Zn (ppm) (ppm) 1,92 3,48 1,72 3,68 2,20 2,88 * * 3,50 4,42 3,44 4,60 3,28 5,84 3,84 5,88 1,92 1,72 * * 2,64 3,36 5,04 8.16 3,28 5,44 4,32 4,76 3,56 6,36 4,72 6,68 3,48 4,68 3,32 15,84 2,96 3,52 3,12 4,04 4,88 4,88 2,48 2,48 2,00 2,08 * * * * 2,56 3,36 2,60 3,24 2,80 2,72 2,00 3,44 2,16 3,36
Tekstur Mn (ppm) 43,20 42,32 56,64 * 10,76 81,52 49,36 65,00 30,68 * 67,68 14.76 84,23 89,52 76,36 87,88 75,28 67,40 128,88 136,80 59,72 40,20 63,88 * * 14,64 8,44 7,56 77,04 93,24
Pasir 51,01 52,69 42,42 8.54 11.09 17,44 18,46 41,72 16,35 17.20 15.87 38.89 37.29 32,08 39,25 23.46 38.11 33.92 26.01 30.33 30,62 22,52 22,42 17,85 27,77 29,92 23,18 15,57 63,20 75,25
Debu 38,64 34,35 40,16 56,94 58,51 67,17 63,99 46,82 72,16 72,21 66,86 46.43 49,72 51,82 41,12 54,35 49,07 48,01 58,77 52,24 40,79 59,32 57,55 62,31 50,40 42,01 42,35 56,09 23,81 19,70
Liat 10,35 12,96 17,32 34,52 30,40 15,39 17,55 11,46 11,49 10,59 17,27 14.68 12,99 16,10 19,63 22,19 12,82 18,07 15,22 17,43 28,59 18,16 19,93 19,84 21,89 28,07 34,47 28,34 12,99 5,05
22 Lampiran 6 Sifat-sifat komponen pohon pada stadia sera di hutan lembab Amerika Tropika (Budowski, 1965 dalam Freeman et al . 1977) Pionir
Sekunder awal
Sekunder akhir
Klimaks
Umur komunitas yang diamati (tahun)
1-3
5-15
20-50
lebih dari 100
Tinggi (meter)
5-8
12-20
20-30, beberapa mencapai 50
30-45, beberapa sampai 60
Jumlah spesies berkayu
Sedikit, 1-5
sedikit, 1-10
30-60
sanpai 100 atau lebih sedikit
Komposisi flora dominan
Euphorbiaceae, Cecropia, Ochroma, Trema
Campuran, banyak Meliaceae, Bombacaceae, Tiliaceae
Campuran kecuali pada sosiasi edafis
Distribusi alam tumbuhan dominan
Luas sekali
Luas sekali
Luas, termasuk daerah yang lebih kering
Biasanya terbatas, sering endemik
Jumlah strata
1, sangat padat
2, diferensiasi baik
3, makin tua makin sukar dibedakan
4-5, sukar dibedakan
Kanopi atas
Homogen, padat
Bercabang, berlingkar, tajuk horison tipis
Heterogen, meliputi tajuk yang sangt lebar
Banyak variasi bentuk tajuk
Stratum bawah
Padat, kusut
Padat, banyak spesies herba besar
Relatif langka, meliputi spesies toleran
Langka dengan spesies toleran
Pertumbuhan
Sangat cepat
Sangat cepat
Yang dominan cepat, lainnya perlahan
Perlahan atau sangat perlahan
Umur tumbuhan dominan
Sangat pendek, kurang dari 10 tahun
Pendek, 10-25 tahun
Biasanya 40-100 tahun, beberapa lebih
Sangat panjang 100-1000, beberapa mungkin lebih
Regenerasi tumbuhan dominan
Sangat langka
Praktis tidak ada
Tidak ada atu banyak dengan mortalitas tinggi pada tahun-tahun pertama
Cukup banyak
Penyebaran biji tumbuhan dominan
Burung, kelelawar, angin
Angin, burung, kelelawar
Terutama angin
Gravitasi, mamalia, hewan pengerat, burung
Ochroma, Cecropia, Trema, Heliocarpus paling sering
22 Lampiran 6 Sifat-sifat komponen pohon pada stadia sera di hutan lembab Amerika Tropika (Budowski, 1965 dalam Freeman et al . 1977) Pionir
Sekunder awal
Sekunder akhir
Klimaks
Umur komunitas yang diamati (tahun)
1-3
5-15
20-50
lebih dari 100
Tinggi (meter)
5-8
12-20
20-30, beberapa mencapai 50
30-45, beberapa sampai 60
Jumlah spesies berkayu
Sedikit, 1-5
sedikit, 1-10
30-60
sanpai 100 atau lebih sedikit
Komposisi flora dominan
Euphorbiaceae, Cecropia, Ochroma, Trema
Campuran, banyak Meliaceae, Bombacaceae, Tiliaceae
Campuran kecuali pada sosiasi edafis
Distribusi alam tumbuhan dominan
Luas sekali
Luas sekali
Luas, termasuk daerah yang lebih kering
Biasanya terbatas, sering endemik
Jumlah strata
1, sangat padat
2, diferensiasi baik
3, makin tua makin sukar dibedakan
4-5, sukar dibedakan
Kanopi atas
Homogen, padat
Bercabang, berlingkar, tajuk horison tipis
Heterogen, meliputi tajuk yang sangt lebar
Banyak variasi bentuk tajuk
Stratum bawah
Padat, kusut
Padat, banyak spesies herba besar
Relatif langka, meliputi spesies toleran
Langka dengan spesies toleran
Pertumbuhan
Sangat cepat
Sangat cepat
Yang dominan cepat, lainnya perlahan
Perlahan atau sangat perlahan
Umur tumbuhan dominan
Sangat pendek, kurang dari 10 tahun
Pendek, 10-25 tahun
Biasanya 40-100 tahun, beberapa lebih
Sangat panjang 100-1000, beberapa mungkin lebih
Regenerasi tumbuhan dominan
Sangat langka
Praktis tidak ada
Tidak ada atu banyak dengan mortalitas tinggi pada tahun-tahun pertama
Cukup banyak
Penyebaran biji tumbuhan dominan
Burung, kelelawar, angin
Angin, burung, kelelawar
Terutama angin
Gravitasi, mamalia, hewan pengerat, burung
Ochroma, Cecropia, Trema, Heliocarpus paling sering
23 Kayu dan batang, tumbuhan dominan
Sangat ringan, diameter kecil
Sangat ringan, diameter di bawah 60 cm
Ringan sampai setengah keras, beberapa batangnya sangat besar
Keras dan berat termasuk batangnya
Ukuran biji, atau buah yang disebarkan
Kecil
Kecil
Kecil sampai medium
Besar
Daya tumbuh biji
Lama, laten dalam tanah
Lama, laten dalam tanah
Pendek sampai medium
Pendek
Daun tumbuhan dominan
Selalu hijau
Selalu hijau
Banyak yang meranggas
Banyak spesies dan bentuk kehidupan
Tumbuhan merambat
Banyak, berbatang basah, tetapi spesies sedikit
Banyak, berbatang basah, tetapi spesies sedikit
Banyak, tetapi sedikit yang besar
Banyak, termasuk spesies berkayu yang sangt besar
Semak
Banyak, tapi spesies sedikit
Relatif banyak, tapi spesies sedikit
Sedikit
Jumlah sedikit tetapi spesies banyak
Rumput
Banyak
Banyak atau langka
Langka
Langka
23 Kayu dan batang, tumbuhan dominan
Sangat ringan, diameter kecil
Sangat ringan, diameter di bawah 60 cm
Ringan sampai setengah keras, beberapa batangnya sangat besar
Keras dan berat termasuk batangnya
Ukuran biji, atau buah yang disebarkan
Kecil
Kecil
Kecil sampai medium
Besar
Daya tumbuh biji
Lama, laten dalam tanah
Lama, laten dalam tanah
Pendek sampai medium
Pendek
Daun tumbuhan dominan
Selalu hijau
Selalu hijau
Banyak yang meranggas
Banyak spesies dan bentuk kehidupan
Tumbuhan merambat
Banyak, berbatang basah, tetapi spesies sedikit
Banyak, berbatang basah, tetapi spesies sedikit
Banyak, tetapi sedikit yang besar
Banyak, termasuk spesies berkayu yang sangt besar
Semak
Banyak, tapi spesies sedikit
Relatif banyak, tapi spesies sedikit
Sedikit
Jumlah sedikit tetapi spesies banyak
Rumput
Banyak
Banyak atau langka
Langka
Langka
20
Lampiran 7 Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitan Tanah, 1983 dalam Hadjowigeno, 1987) Sifat tanah
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
C (%)
< 1.00
1.00 - 2.00
2.01 - 3.00
3.01 - 5.00
> 5.00
N (%)
< 0.10
0.10 - 0.20
0.21 - 0.50
0.51 - 0.75
> 0.75
C/N
<5
5 - 10
11 -15
16 - 25
> 25
P2O5 HCl (mg/100g)
< 10
10 - 20
21 - 40
41 - 60
> 60
P2O5 Bray 1 (ppm)
< 10
10 - 15
16 - 25
26 - 35
> 35
P2O5 Olsen (ppm)
< 10
10 - 25
26 - 45
46 - 60
> 60
K2O HCl 25% (mg/100 mg)
< 10
10 - 20
21 - 40
41 - 60
> 60
KTK (me/100g)
<5
5 - 16
17 - 24
25 - 40
> 40
K (me/100g)
< 0.1
0.1 - 0.2
0.3 - 0.5
0.6 - 1.0
> 1.0
Na (me/100g)
< 0.1
0.1 - 0.3
0.4 - 0.7
0.8 - 1.0
> 1.0
Mg (me/100g)
< 0.4
0.4 - 1.0
1.1 - 2.0
2.1 - 8.0
> 8.0
Ca (me/100g)
<2
2- 5
6 - 10
11 - 20
> 20
Kejenuhan Basa (%)
< 20
20 - 35
36 - 50
51 - 70
> 70
Kejenuhan Alumunium (%)
< 10
Okt-20
21 - 30
31 - 60
> 60