TINJAUAN PUSTAKA (SINDROM NEFRITIK AKUT) A. Definisi
Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan kumpulan kelainan klinis yang timbul mendadak berupa oliguria, edema, hipertensi yang disertai adanya kelainan urinalisis (proteinuria < 2 gram/hari, hematuria serta silinder eritrosit)1-3. Hal ini terjadi karena reaksi peradangan mencederai dinding kapiler sehingga sel darah merah dapat lolos ke dalam urine, dan menyebabkan perubahan hemodinamik sehingga terjadi penurunan GFR 4.
B. Epidemiologi
Sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus dengan gejala klinis yang jelas termasuk penyakit dengan insiden yang tidak terlalu tinggi, sekitar 1 : 10.000. Sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus tanpa gejala insidennya mencapai jumlah 4 - 5 kali lebih banyak. Umumnya menyerang semua usia, namun terutama laki-laki usia 3 -7 tahun Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS)
tercatat sebagai penyebab penting terjadinya gagal
ginjal, yaitu terhitung 10 . 15% dari kasus gagal ginjal di Amerika Serikat. 5 Selama 2-3 dekade terakhir insidensi GNAPS
di Amerika Serikat menurun menurun
seperti di negara-lain seperti Jepang, Eropa Tengah, dan Britania Raya. Diperkiraan kejadian penyakit ini di seluruh dunia adalah sekitar 472.000 kasusu/tahun dengan 404.000 dilaporkan terjadi pada anak-anak, dan 456.000 kasus ditemukan di negara-negara berkembang. 6 GNAPS dapat muncul secara sporadik maupun epidemik terutama menyerang anak-anak atau dewasa muda pada usia sekitar 4 -12 tahun dengan puncak usia 5 -6 tahun. Lebih sering pada laki-laki dari pada wanita dengan rasio r asio 2 : 1. 5 Di Indonesia, penelitian multisenter selama 12 bulan pada tahun 1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan, terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan
Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak usia 6-8 tahun (40,6%). 7-8 GNAPS merupakan penyakit ginjal supuratif tersering dengan manifestasi klinis berupa penyakit yang ringan hingga asimtomatis, hanya sedikit sekali dengan manifestasi klinis yang berat, dengan rasio 3: 1. Mengingat insiden GNAPS dengan manifestasi klinis yang jelas jarang ditemukan, maka diagnosis dan terapi merupakan masalah penting untuk dibahas. 5
C. Etiologi
Etiologi dari SNA sangat banyak antara lain 1) Faktor Infeksi: GNAPS, Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain misal endokarditis bakterialis subakut. 2) Penyakit multisistemik antara lain : Lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch Schnolein, vaskulitis, 3) Penyakit Ginjal Primer : Nefropati IgA, nefritis herediter (Sindrom Alport).3,9 Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) yang merupakan contoh klasik penyebab SNA, dimana terjadi suatu proses inflamasi pada tubulus dan glomerulus ginjal yang terjadi setelah adanya suatu infeksi Streptokokus. GNAPS berkembang setelah strain streptokokus tertentu yaitu streptokokus ß hemolitikus group A tersering tipe 12 menginfeksi kulit atau saluran nafas,
5,10-11
kadang juga disebabkan tipe 1,4 ,6 dan 25. Tipe 49 paling sering dijumpai pada glomerulonefritis yang didahului infeksi kulit/ pioderma, walaupun galur 53, 55, 56, 57 dan 58 dapat pula berimplikasi. 8 Protein streptokokus galur nefritogenik yang merupakan antigen antara lain endostreptosin, antigen presorbing (PA-Ag), nephritic strain-associated protein (NSAP) yang dikenal sebagai streptokinase dan nephritic plasmin binding protein (NPBP).8 Terdapat periode antara infeksi Streptococcus dengan manifestasi klinis SNA yang menunjukkan adanya mekanisme imunologis dalam proses penyakit ini. Masa laten bervariasi yaitu berkisar antara 1 -2 minggu untuk infeksi saluran nafas dan 1 - 3 minggu untuk infeksi kulit.5,10-11 Mekanisme yang terjadi pada GNAPS adalah sutu proses kompleks imun dimana antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan antigen yang beredar dalam
darah dan komplemen untuk membentuk suatu kompleks imun. Kompleks imun yang beredar dalam darah dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat melekat pada kapiler-kapiler glomerulus dan terjadi perusakan mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi.10-12
D. Patogenesis dan Gambaran Histologis
Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti. 13 Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya penyakit dengan ditemukannya HLA-D dan HLADR. Diduga respon yang berlebihan dari sistem imun pejamu pada stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal glomerulus. Disini terjadi aktivasi sistem komplemen yang melepas substansi yang akan menarik neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas netrofil merupakan faktor responsif untuk merusak glomerulus. Hipotesis lain adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus akan mengubah IgG endogen menjadi autoantigen. Terbentuknya autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut, mengakibatkan pembentukan komplek imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal.7-8,13 Semakin meningkatnya kerusakan pada glomerulus menyebabkan semakin meningkatnya kebocoran kapiler sehingga protein dan sel darah merah dapat lolos dari filtrasi dan terdeteksi dalam urine.7 Fase awal glomerulonefritis akut berlangsung beberapa hari sampai 2 minggu. Setelah itu anak akan merasa lebih baik, diuresis lancar, oedema dan hipertensi hilang, Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kembali normal. Penyakit ini dapat
sembuh
sendiri,
jarang
berkembang
menjadi
kronik.
Kronisitas
dihubungkan dengan awal penyakit yang berat dan kelainan morfologis berupa hiperselularitas lobulus. Pasien sebaiknya kontrol tiap 4-6 minggu dalam 6 bulan pertama setelah awitan nefritis. Pengukuran tekanan darah, pemeriksaan eritrosit dan protein urin selama 1 tahun lebih bermanfaat untuk menilai perbaikan. 1,10 Kadar C3 akan kembali normal pada 95% pasien setelah 8-12 minggu, edem membaik dalam 5-10 hari, tekanan darah kembali normal setelah 2-3 minggu, walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu.
Gross hematuria biasanya
menghilang dalam 1-3 minggu, hematuria mikroskopik menghilang setelah 6 bulan, namun dapat bertahan sampai 1 tahun. Proteinuria menghilang 2-3 bulan pertama atau setelah 6 bulan. Pearlman dkk, di Minnesota menemukan 17% dari 61 pasien dengan urinalisis rutin abnormal selama 10 tahun pemantauan. Ketidaknormalan tersebut meliputi hematuria atau proteinuria mikroskopik sendiri-sendiri atau bersama-sama. Dari 16 spesimen biopsi ginjal tidak satupun yang menunjukkan karakteristik glomerulonefritis kronik. Penelitian Potter dkk, di Trinidad, menjumpai 1,8% pasien dengan urin abnormal pada 4 tahun pertama tetapi hilang 2 tahun kemudian dan 1,4% pasien dengan hipertensi. Hanya sedikit urin dan tekanan darah yang abnormal berhubungan dengan kronisitas GNAPS. Nissenson dkk, mendapatkan kesimpulan yang sama selama 7-12 tahun penelitian di Trinidad. Hoy dkk, menemukan mikroalbuminuria 4 kali lebih besar pada pasien dengan riwayat GNAPS, sedangkan Potter dkk di Trinidad, menemukan 3,5% dari 354 pasien GNAPS mempunyai urin abnormal yang menetap dalam 12 -17 tahun pemantauan. Penelitian White dkk, menemukan albuminuria yang nyata dan hematuria masing-masing pada 13% dan 21% dari 63 pasien selama 6-18 tahun pemantauan. Kemungkinan nefritis kronik harus dipertimbangkan bila dijumpai hematuria bersama-sama proteinuria yang bertahan setelah 12 bulan.8,1314
Pada kasus ringan, pemeriksaan dengan mikroskop cahaya menunjukkan kelainan minimal. Biasanya terjadi proliferasi ringan sampai sedang dari sel mesangial dan matriks. Pada kasus berat terjadi proliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel yang difus disertai infiltrasi sel polimorfonuklear dan monosit, serta penyumbatan lumen kapiler. Istilah glomerulonefritis proliferatif eksudatif endokapiler difus digunakan untuk menggambarkan kelainan morfologi penyakit ini.13 Bentuk bulan sabit dan inflamasi interstisial dapat dijumpai mulai dari yang halus sampai kasar yang tipikal di dalam mesangium dan di sepanjang dinding kapiler. Endapan imunoglobulin dalam kapiler glomerulus didominasi oleh Ig G dan sebagian kecil Ig M atau Ig A yang dapat dilihat dengan mikroskop imunofluoresen. Mikroskop elektron menunjukkan deposit padat elektron atau
humps terletak di daerah subepitelial yang khas dan akan beragregasi menjadi AgAb kompleks.8,13
E. Patofisiologi
Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dengan gambaran klinis kerusakan glomerulus menunjukkan bahwa proses imunologis memegang peranan penting dalam patogenesis glomerulonefritis. Mekanisme dasar terjadinya sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus adalah adanya suatu proses imunologis yang terjadi antara antibodi spesifik dengan antigen streptokokus. Proses ini terjadi di dinding kapiler glomerulus dan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Selanjutnya sistem komplemen memproduksi aktivator komplemen 5a (C5a) dan mediator-mediator infamasi lainnya. Sitokin dan faktor pemicu imunitas seluler lainnya akan menimbulkan respon infamasi dengan manifestasi proliferasi sel dan edema glomerular.3,15-18 Penurunan laju filtrasi glomerulus berhubungan dengan penurunan koefsien ultrafltrasi glomerulus. Penurunan laju filtrasi glomerulus diikuti penurunan ekskresi atau kenaikan reabsorbsi
natrium sehingga terdapat
penimbunan natrium dengan air selanjutnya akan diikuti kenaikan volume plasma dan volume cairan ekstraselular sehingga akan timbul gambaran klinis oliguria, hipertensi, edema dan bendungan sirkulasi. Edema terjadi pada 85% pasien SNA pasca infeksi streptokokus, biasanya terjadi mendadak dan pertama kali terjadi di daerah periorbital dan selanjutnya dapat menjadi edema anasarka. Derajat berat ringannya edema yang terjadi tergantung pada beberapa faktor yaitu luasnya kerusakan glomorelus yang terjadi, asupan cairan, dan derajat hipoalbuminemia. Hematuri makrokospis terjadi sekitar 30- 50% pada penderita SNA pasca streptokokus. Manifestasi yang timbul urine dapat berwarna seperti cola, teh ataupun keruh dan sering dengan oliguri. Hipertensi merupakan tanda kardinal ketiga bagi SNA pasca infeksi streptokokus, dilaporkan 50 . 90% dari penderita yang dirawat dengan glomeluronefritis akut. Ledingham mengungkapkan hipotesis terjadinya hipertensi mungkin akibat dari dua atau tiga faktor berikut yaitu, gangguan keseimbangan natrium, peranan sistem renin angiotensinogen dan
substansi renal medullary hypotensive factors, diduga prostaglandin. Bendungan sirkulasi banyak terjadi pada penderita yang dirawat di rumah sakit. Manifestasi klinis yang tampak dapat berupa dyspneu, orthopneu, batuk dan edema paru. 5,10-
Gambar 1. Patogenesis dan Patofisiologi Sindrom Nefritik Akut Pasca Infeksi Streptococcus.19 Pada pemeriksaan laboratorium, Silinder eritrosit merupakan tanda kerusakan parenkim masih aktif. Konsentrasi Fibrin Degradation Product (FDP) meningkat, pada pasien-pasien berat terutama yang berubah menjadi rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN). Penentuan konsentrasi FDP dalam urin
sangat penting untuk menentukan prognosis sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus. Biakan urin pada setiap penyakit ginjal apapun juga, karena infeksi saluran kemih sering kali tersembunyi dan tidak memberikan keluhan. Pada sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus tidak jarang dijumpai kelainan urin yang menyerupai infeksi: lekosituri dan silinder lekosit walaupun tidak terbukti secara bakteriologis menderita infeksi sekunder. Beberapa sumber menyebutkan kadang-kadang terjadi glukosuri. 3,5,10-12,15
F. Gambaran Klinis
Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimptomatik. Kasus klasik atau tipikal diawali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului timbulnya sembab. Periode laten rata-rata 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau kulit. Hematuria dapat timbul berupa gross hematuria maupun mikroskopik. Gross hematuria terjadi pada 30-50 % pasien yang dirawat. Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai seperti demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu. 8 Pada pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya ringan atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah menurun perlahan-lahan dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edem pretibial atau berupa gambaran sindrom nefrotik. Asites dijumpai pada sekitar 35% pasien dengan edem. Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan takipne dan dispneu. Gejala gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria karena penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).8
G. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan faal ginjal sering digunakan ureum, kreatinin serum, dan penjernihan kreatinin menentukan derajat faal Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Kombinasi dari ketiga para meter ini sangat penting. Seperti diketahui, ureum serum tidak tepat untuk memperkirakan faal LFG karena: (a) ureum tidak hanya difiltrasi oleh glomerulus tetapi akan direbsorpsi juga oleh tubulus ginjal,
(b) konsentrasi ureum tergantung dari diet protein dan katabolisme protein. Walaupun demikian penentuan ureum serum penting untuk menentukan derajat katabolisme protein. Serum kreatinin lebih tepat dari ureum serum untuk memperkirakan faal LFG karena konsentrasi serum kretinin semata-mata tergantung dari masa otot-otot dan faal LFG. Masa otot-otot relatif konstan sehingga serum kreatinin semata-mata tergantung dari faal LFG. Beberapa kerugian dari nilai penjernihan kreatinin: (a) sering ditemukan kenaikan semu dari pasien (b) sering terdapat kesalahan selama penampungan urin 24 jam. Pada gangguan faal tubulus terutama ekskresi elektrolit. Pada pasien dengan oliguri atau anuri tidak jarang ditemukan hiperkalemi. 19 Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia ringan normokorm dan normositer karena retensi natrium dan hemodilusi. Pada sediaan darah tepi dijumpai sistosit, fragmentasi eritrosit disertai tanda-tanda mikroangiopati. Laju endapan darah meninggi walaupun tidak mempunyai arti diagnosis maupun prognosis. Jumlah lekosit dan trombosit masih dalam batas normal. Pada pasien berat terutama RPGN sering dijumpai gangguan perdarahan yang mempunyai hubungan dengan trombositopenia atau gangguan faal trombosit (trombopati). Pada beberapa pasien mungkin terdapat penurunan protein serum terutama albumin akibat retensi natrium dan ekspansi volume cairan ekstraseluler. Hiperlipidemi
ringan
dan
sementara,
mekanismenya
tidak
diketahui.
Hiperlipidemi ini tidak mempunyai hubungan dengan derajat penurunan albumin seperti pada sindrom nefrotik. 19 Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan pengecatan gram/methyline blue dan biakan dari bahan pemeriksaan hapus tenggorokan atau pus (impetigo) untuk isolasi dan identifikasi streptokokus. Hasil biakan positif ditemukan hanya 25% dari pasien-pasien yang tidak mendapat antibiotik selama infeksi akut oleh streptokokus. Perlu dicatat, bahwa hasil biakan positif belum dapat memastikan etiologi glomerulonefritis akut mungkin hanya merupakan infeksi sekunder. Peningkatan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO) terjadi 10- 14 hari setelah infeksi streptokokus. Kenaikan titer ASTO terdapat pada 75-80% pasien yang tidak mendapat antibiotik. Titer ASTO pasca infeksi streptokokus pada kulit
jarang meningkat dan hanya terjadi pada 50% kasus. Titer antibodi lain seperti antihialuronidase (Ahase) dan anti deoksiribonuklease B (DNase B) umumnya meningkat. Pengukuran titer antibodi yang terbaik pada keadaan ini adalah terhadap antigen DNase B yang meningkat pada 90-95% kasus. Pemeriksaan gabungan titer ASTO, Ahase dan ADNase B dapat mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus. 19,8
Kenaikan titer anti
streptolisin O (ASO) hanya ditemukan pada 80% pasien-pasien yang tidak mendapat antibiotik selama fase dari infeksi streptokokus. Kenaikan titer ASO dapat dijumpai pada beberapa keadaan seperti pembawa kuman (karier), hiperkolesterolemi, dan infeksi streptokokus yang baru tetapi bukan bersifat nefritogenik.3,5,10 Pemeriksaan penunjang pencitraan dengan ultrasonografi diperoleh adanya pembesaran ringan ginjal bilateral dengan beberapa kasus yang menunjukkan adanya peningkatan ekogenesitas. Foto toraks sering ditemukan gambaran kongesti vena sentral di area hilus sesuai dengan peningkatan volume ekstraseluler.5,10-12 Penurunan komplemen C3 dijumpai pada 80-90% kasus dalam 2 minggu pertama, sedang kadar properdin menurun pada 50% kasus. Penurunan C3 sangat nyata, dengan kadar sekitar 20-40 mg/dl (normal 80-170 mg/dl). Kadar IgG sering meningkat lebih dari 1600 mg/100 ml pada hampir 93% pasien.
Pada awal
penyakit kebanyakan pasien mempunyai krioglobulin dalam sirkulasi yang mengandung IgG atau IgG bersama-sama IgM atau C3. 8 Penurunan kadar komplemen terjadi akibat adanya deplesi komplemen
H. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis sindroma nefritik akut dibuat berdasarkan adanya: (i) oliguri (ii) edema (iii) hipertensi serta (iv) kelainan urinalisis berupa proteinuri kurang dari 2 gram/hari dan hematuri serta silinder eritrosit. Namun pada beberapa kepustakaan disebutkan proteinuri masif dapat terjadi pada 2,5% penderita GNAPS usia muda, bahkan dapat menyerupai suatu gambaran proteinuri pada sindrom nefrotik.19 Diagnosis
banding
terdekat
sindrom
nefritik
akut
pasca
infeksi
streptokokus adalah penyebab lain dari sindrom nefritik akut yaitu penyakit-
penyakit parenkim ginjal baik primer maupun sekunder, seperti glomerulonefritis akut non streptokokus, nefropati Ig A, sistemik lupus eritematosus, purpura Henoch-Schoenlein, sindroma Good-Pasture, dan granulomatosis Wegener. Pada Tabel 1 berikut diuraikan secara singkat gambaran histologis serta patogenesis masing-masing diagnosa banding dari SNA pasca infeksi streptokokus. 5,10,12,19 Tabel 1. Klasifikasi dan Perbedaan beberapa Etiologi Glomerulonefritis
19
Berdasarkan bentuk kliniknya maka SNA dibedakan menjadi dua jenis yaitu SNA dengan hipokomplemenemia dan SNA dengan normokomplemenemia. 1) SNA hipokomplemenemia ditandai dengan Hematuria (makroskopik atau mikroskopik), proteinuria, selinderuria (terutama selinder eritrosit), dengan atau tanpa edema, hipertensi, oliguria yang timbul secara mendadak disertai merendahnya kadar sejumlah komplemen. SNA dengan hipokomplemenemia dapat dibedakan lagi berdasarkan gejalanya yaitu a) SNA hipokomplemenemia asimptomatik : hanya menunnjukkan kelainan urinalis minimal (hematuria mikroskopik, selinder eritrosit, proteinuria trace atau tanpa gejala lain. b)SNA
dengan hipokomplementemia simptomatik Kelainan urinalisis yang nyata dengan gejala-gejala yang nyata.20 Penyebab SNA dengan hipokomplementemia antara lain 1) GNAPS: Dicurigai sebagai penyebab SNA tanpa gejala bila pada anamnesis dijumpai riwayat kontak dengan keluarga yang menderita GNAPS (pada suatu epidemi). Kelainan urinalis minimal, ASTO > 200 IU, Titer C3 rendah (<80 mg/dl). Dicurigai sebagai penyebab SNA dengan gejala bila ditemukan riwayat ISPA atau infeksi kulit, dengan atau tanpa disertai oliguria. Lembab pada muka sewaktu bangun tidur, kadangkadang ada keluhan sakit kepala. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai edema, hipertensi, kadang-kadang gejala-gejala kongesti vaskuler (sesak, edema paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan sistem saraf pusat (penglihatan kabur, kejang; penurunan kesadaran). Hasil urinalisis menunjukkan hematuria, protenuria (+2) selinderuria. Gambaran kimia darah menunjukkan kadar BUN, kreatinin serum, dapat normal atau meningkat, elektrolit darah (Na, K, Ca, P, Cl) dapat normal atau terganggu. Kadar kolesterol biasanya normal, sedang kadar protein total dan albumin dapat normal atau sedikit merendah, kadar globulin biasanya normal. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan apusan tenggorok /keropeng kulit positif untuk kuman Streptococus B hemoliticus atau ASTO > 200 IU. Hematuria, proteinuria dan selinderuria. Kadar CH50 dan C3 merendah (<80 mg/dl), yang pada evaluasi lebih lanjut menjadi normal 6 – 8 minggu dari onset penyakit. Kadar C4 biasanya normal.
2). Endokarditis
bakterialis subakut Dicurigai sebagai penyebab SNA bila pada anamnesis didapatkan riwayat panas lama, adanya penyakit jantung kongenital/didapatkan riwayat panas lama, adanya penyakit jantung kongenital/didapat, yang diikuti oleh kemih berwarna seperti coca cola (hematuria makroskopik). Pada pemeriksaan fisik ditemukan panas, rash, sesak, kardiomegali, takikardi, suara bising jantung, hepatosplenomegali artritis/artralgia jarang dijumpai. Pada urinalisis dapat ditemukan hematuria, proteinuria atau kelainan pada sedimen urine berupa hematuria
mikroskopik,
lekosituria,
selinderuria.
Fungsi
ginjal
lazimnya
mengalami gangguan (BUN dan kreatinin serum). Gambaran darah tepi berupa lekositosis, LED meningkat, CRP (+), titer komplemen (C3, C4) turun, kadang-
kadang ditemukan pula peningkatan titer faktor rematoid, kompleks imun dan krioglobulin dalam serum. Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan di atas disertai hasil kultur darah (+) terhadap kuman penyebab infeksi dan pada ekokardiografi dijumpai vegetasi pada katup jantung. 3) Shunt nefritis: Diagnosis dibuat
berdasarkan
adanya
riwayat
pemasangan
shunt
atrioventrikulo
atrial/peritoneal untuk penanggulangan hidrosefalus, panas lama, muntah, sakit kepala, gangguan penglihatan, kejang-kejang, penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik dijumpai hidrosefalus dengan shunt yang terpasang, suhu tubuh meninggi, hipertensi, edema, kadangkadang dengan asites dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Urinalisis menunjukkan hematuria, proteinuria, selinderuria. Fungsi ginjal biasanya terganggu. Kadar total protein dan albumin serum biasanya rendah. Kadar total protein dan albumin serum biasanya rendah. Kadar elektrolit darah dapat terganggu. CRP (+), titer komplemen (C3,C4) rendah. Kultur yang diperoleh dari shunt terinfeksi (+). 4). Lupus eritematosus sistemik (LES) Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan keluhan yang dijumpai pada anamnesis dapat berupa panas lama, berat badan turun, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, depresi, psikosis, kejang, sakit ruam pada kulit. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan alopesia, butterfly rash, discoid lupus, fotosensitifity, ulkus pada mulut/nasofaring, pleuritis, perikarditis, hepatitis, nyeri abdomen, asites, splenomegali. Pemeriksaan laboratorium: Darah tepi: Anemia normositik normokhrom, retikulositosis, trombositopenia, leukopenia, waktu protrombin/waktu tromboplastin partial biasanya memanjang. Immunoserologis Uji Coomb (+). Sel Le (+). Persisten. Keterlibatan ginjal ditandai dengan sindroma nefritis akut dengan atau tanpa disertai gagal ginjal akut atau sindroma nefrotik. Diagnosis: dari nefritis lupus ditegakkan berdasarkan kelainan diatas, dengan gambaran biopsi ginjal, mulai dari yang ringan berupa GN proliferatif fokal ringan sampai yang berat berupa proliferatif difusa. 20 Penyebab SNA dengan normokomplenemia antara lain: 1. Purpura Henoch-Schonlein (PHS) Diagnosa PHS sebagai penyebab, SNA ditegakkan berdasarkan riwayat ruam pada kulit, sakit sendi dan gangguan, gastrointestinal (mual, muntah, nyeri abdomen, diare berdarah atau melena)
dan serangan hematuria. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai edema, dan hipertensi, ruam pada daerah bokong dan bagian ekstensor dan ekstremitas bawah, arthralgia/arthritis, nyeri abdomen. Pada urinalis is dijumpai hematuria, proteinuria dan silinderuria. BUN kreatinin serum dapat normal atau meningkat dapat terjadi penurunan fungsi ginjal yang progresif yang ditunjukkan dengan meningkatnya kadar ureum dan kreatinin serum. Kadar protein tolal, albumin, kolesterol dapat normal, atau menyerupai gambaran sindroma nefrotik. ASTO biasanya meningkat sedangkan IgM normal. Trombosit, waktu protombin dan tromboplastin normal. Pada PHS dengan kelainan ginjal berat biopsi ginjal perlu dilakukan untuk melihat morfologi dari glomeruli pengobatan dan untuk keperluan prognosis. 2. Netropati IgA Kecurigaan kearah nefropati IgA pada seorang anak dibuat bila timbulnya serangan hematuria makroskopis secara akut dipicu oleh suatu episode panas yang berhubungan dengan ISPA. Hematuria makroskopik biasanya bersifat sementara dan akan hilang bila ISPA mereda, namun akan berulang kembali bila penderita mengalami panas yang berkaitan dengan ISPA. Diantara 2 episode, biasanya penderita tidak menunjukkan gejala kecuali hematuria mikroskopik dengan proteinuria ringan masih ditemukan pada urinalisis. Edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan. Kadar IgA serum, biasanya meningkat pada 10,2% dari jumlah kasus yang telah dilaporkan, kadar komplemen (C2, C4) dalam serum biasanya normal. Diagnosis pasti dibuat berdasarkan biopsi ginjal.20
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
yang
direkomendasi
pada
penderita
SNA
post
streptokokus adalah terapi simtomatik yang berdasar pada derajat keparahan penyakit secara klinis. Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik.8 Perawatan dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai berat ( klirens kreatinin < 60 ml/1 menit/1,73 m2), BUN > 50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah, letargi, hipertensi ensefalopati, anuria atau oliguria menetap. Tujuan utama dari pengobatan adalah mengendalikan hipertensi
dan edema. Selama fase akut, penderita dibatasi aktivitasnya dengan pemberian diet 35 kal/kg berat badan perhari, pembatasan diet protein hewani 0,5-0,7 gram/kg berat badan perhari, lemak tak jenuh, dan rendah garam yaitu 2 gram natrium perhari. Asupan elektrolit pun harus dibatasi. Natrium 20 meq perhari, rendah kalium yaitu kurang dari 70-90 meq perhari serta kalsium 600 . 1000 mg perhari. Restriksi cairan secara ketat dengan pembatasan cairan masuk 1 liter perhari, guna mengatasi hipertensi.8 Pengobatan hipertensi dapat dengan menggunakan diuretik kuat, atau bila hipertensi tetap tidak teratasi pilihan obat selanjutnya adalah golongan calcium channel blocker, ACE inhibitor atau bahkan nitroprusid intravena bagi hipertensi maligna. Pada beberapa kasus berat dengan kondisi hiperkalemi dan sindrom uremia yang berat diindikasikan untuk hemodialisa 19. Pasien hipertensi dapat diberi diuretik atau anti hipertensi.2,3 Bila hipertensi ringan (tekanan darah sistolik 130 mmHg dan diastolik 90 mmHg) umumnya diobservasi tanpa diberi terapi. 10,21 Hipertensi sedang (tekanan darah sistolik > 140 – 150 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) diobati dengan pemberian hidralazin oral atau intramuskular (IM), nifedipin oral atau sublingual. 14 Dalam prakteknya lebih baik merawat inap pasien hipertensi 1-2 hari daripada memberi anti hipertensi yang lama. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0,15-0,30 mg/kbBB intravena, dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpin 0,03-0,10 mg/kgBB (1-3 mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 1-8 m/kgBB/menit. Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat bersama furosemid 2 mg/kgBB iv. Pilihan lain, klonidin drip 0,002 mg/kgBB/kali, diulang setiap 4-6 jam atau diberi nifedipin sublingual 0,25-0,5 mg/kgBb dan dapat diulang setiap 6 jam bila diperlukan.8,14 Terapi steroid intravena terutama diindikasikan untuk glomerulonefritis tipe kresentik dengan luas lesi lebih dari 30% glomerulus total. Metil prednisolon 500 mg intravena perhari terbagi dalam 4 dosis selama 3-5 hari. Namun beberapa referensi menyebutkan tidak diindikasikan untuk pemberian terapi steroid dalam jangka
panjang.5,10 Antibiotika
diindikasikan
untuk
pengobatan
infeksi
streptokokus. Pilihan obat yang direkomendasikan adalah penicillin G oral 4 x
250 mg selama 7-10 hari atau injeksi benzatin penisilin 50.000 IU/KgBB IM atau eritromisin oral 40 mg/KgBB selama 10 hari bila alergi penisilin. 8,22
Gambar 2. Dosis Benzatin Penisilin untuk GNAPS
27
Pada umumnya terdapat 4 kemungkinan perjalanan penyakit dari sindrom nefritis akut pasca infeksi streptokokus, yaitu kematian selama masa akut dapat disebabkan infeksi sekunder terutama infeksi paru (pneumonia), bendungan paru akut, ensefalopati hipertensif, dan hiperkalemi. Angka kematian biasanya kurang dari 5% berkat kemajuan terapi misalnya pemberian obat-obat antihipertensi yang poten/kuat, hemodialisis/peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal.3,23 Sebagian pasien glomerulonephritis akut (5. 10%) memperlihatkan tipe perjalanan penyakit yang cepat dan progresif disertai oliguri dan anuri, dapat meninggal dalam waktu 2-3
bulan,
yang
disebut
juga
dengan
sindrom Rapidly
Progressive
Glomerulonephritis (RPGN). Tipe perjalanan penyakit ini terutama mengenai pasien-pasien dewasa. Gejala klinis oliguri dan anuri yang timbul sementara, ti dak selalu menunjukan prognosis yang buruk.19
J. Prognosis
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara lain umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu, pola serangan sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis glomerulus. 18,9 Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik glomerulus. Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis yang baik. Insiden gangguan fungsi
ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10 %; sekitar 0,52% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal.8 Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %.Melihat GNAPS masih sering dijumpai pada anak, maka penyakit ini harus dicegah karena berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, mengontrol dan mengobati infeksi kulit. Pencegahan GNAPS berkontribusi menurunkan insiden penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian hari.13 Pada umumnya prognosis dapat diramalkan hanya berdasarkan kelainankelainan histopatologis berupa proliferasi ekstra kapiler yang ekstensif meliputi lebih dari 75% glomeruli. Kelainan laboratorium yang mencurigakan perjalanan penyakit yang progresif seperti kenaikan circulating brinogen dan atau FDP urin, disamping oliguri dan anuri yang berlangsung lama, selama beberapa minggu. Terjadi glomerulonefritis kronis, bila selama perjalanan penyakit ditemukan satu atau lebih tanda klinis, atau proteinuri dengan atau tanpa hematuri asimtomatik yang menetap selama bertahun-tahun akan berubah menjadi kronis, dan akhirnya gagal ginjal kronis. Frekuensi perjalanan penyakit ini rendah, antara 5-10%. Sebagian dari pasien-pasien masih mempunyai kelainan-kelainan histopatologis tanpa gejala klinis dan dapat hidup normal. Penyembuhan klinis disertai penyembuhan laboratorium biasanya berangsur-angsur dan akhirnya terjadi penyembuhan sempurna. Bentuk perjalanan penyakit ini paling sering ditemukan terutama pada pasien anak-anak (80 . 85%). Gejala-gejala klinis seperti edema paru akut, hipertensi, edema dan oliguri, segera hilang setelah terjadi diuresis, biasanya setelah beberapa hari/minggu. Kelainan sedimen urin terutama hematuri mikroskopis baru hilang setelah beberapa bulan, bahkan hingga beberapa tahun. 1
DAFTAR PUSTAKA
1. Messina LM, Pak LK, Tierney LM.. Glomerulonephropathies. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. 2004. Lange current medical diagnosis & treatment. 43rd ed. Philadelphia: Lange Medical Books/McGraw Hill.p.882-90. 2. Brady HR, O.Meara YM, Brenner BM. Glomerular disease. In: Dennis LK, Fauci AS, Branwald E, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. 2005. Harrison.s principles of internal medicine, 16th ed. New York: Mc Graw Hill;.p.1674-88. 3. Enday S. 1997. Nefrologi klinik , edisi II. Bandung: ITB.p.145-63. 4. Kumar V, Cotran R.S, dan Robbins S.L., 2007. Buku Ajar Patologi Ronnins. Edisi 7 Volume 2. Jakarta: EGC. 5. Travis L. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. (http:// www.eMedicine acute poststreptococcal glomerulonephritis, 26 Juli 2012). 6. Bhima R. 2001., Acute Poststreptococcal Glomerulonephritis. (http://emedicine.medscape.com/article/980685-overview#a0104, 26 Juli 2012). 7. Price S, Wilson L, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed 6. Jakarta: EGC 8. Lambanbatu S., 2003. Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptococcus pada Anak. (http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/5-2-4.pdf, 26 Juli 2012). 9. Dugdale D. Acute Nephritic Syndrome. Available at http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000495.htm Accessed on 26th Jul 2012 10. Geetha D. Glomerulonephritis, Poststreptococcal . (http:// www.eMedicine glomerulonephritis, poststreptococcal, 26 Juli 2012). 11. Maureen H. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. Available from: http://www.lifesteps.com/gm/atoz/ency/acute_poststreptococcal_glomerulone phritis.jsp, 26 Juli 2012). 12. Vinen CS, Oliveira DBG. 2003. Acute glomerulonephritis. Postgraduated Medical Journal. 79:206-13. 13. Noer MS. 2002. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak . Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. h. 345-53. 14. White AV, Hoy AW, McCredie DA. 2001. Chilhood poststreptococal glomerulonephritis as a risk factor for chronic renal disease in later life. MJA. 174:492- 631.
15. Smith JF. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. (http://www. chclibrary.org/, 26 Juli 2012). 16. Fransisco L. 1993. Papper.s clinical nephrology. 3rd ed. Boston: Little,Brown and Company Inc. p.142-50. 17. Tomson CRV. 1997. Key topics in renal medicine. Oxford: BIOS Scienti!c Publisher Limited.p.139-43. 18. Glassock RJ, Cohen AH, Adler SG. 2000. Primary glomerular diseases. In: Brenner B, Rector F, editors. The kidney. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders Co;.p.1392-402. 19. Rena,A Suwitra K. Case Report : Seorang Penderita Sindrom Nefritik Akut Pasca Infeksi Streptococcus. (http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/seorang%20penderita%20sindrom%20nefri tik%20 kut%20pasca.pdf, 26 Juli 2012). 20. Schwartz, M.W. 1996. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta:EGC 21. Rodriguez-Iturbe B. 2000. Postinfectius glomerulonephritis. Am J Kidney Dis;35(1):46-8. 22. Krause V, Johnson F, Kearns T, 2010. Northern Teritory Guidelines for Acute Post-Streptococcal Glomerulonephritis. (http://www.health.nt.gov.au/library/scripts/objectifyMedia.aspx?file=pdf/10/ 84.pdf&siteID=1&str_title=Acute%20PostStreptococcal%20Glomerulonephri tis.pdf, 26 Juli 2012). 23. Ponticelli C. 1999. Can prolonged treatment improve the prognosis in adults with focal segmentalglomerulosclerosis? Am J Kidney Dis;34:618.