PENDAHULUAN Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infact myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen St dan penderita dengan infark miokardium tanpa elevasi ST. SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis. Yaitu suatu fase akut dari Angina Pektoris Tak Stabil (APTS) yang disertai IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Vulnerable). Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi. Mortalitas tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50–70% yang tidak stabil, yakni fibrous cap ‘dinding (punggung) plak’ yang tipis dan mudah erosi atau ruptur. Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan secara luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard: baik Angina tidak stabil, infark miokard
tanpa
gelombang
Q,
dan
infark
miokard
gelombang
Q
mempunyai substrat patogenik umum berupa lesi aterosklerosis pada arteri koroner. Terminologi yang akan sering dipakai pada penderita Angina Pectoris adalah perasaan “berat”, “sesak”, “ditekan”, “didorong” atau “diremas”. Angina Pectoris yang khas biasanya akan terasa di tengah dada/belakang sternum (retrosternal) dan akan menjalar ke dagu dan/atau ke lengan. Angina bisa rasanya dari nyeri ringan sampai ke paling nyeri
1
dan timbul keringatan dingin dan perasaan cemas. Kadang kala akan berserta dengan sesak nafas.
Gambar 1. Angina Pektoris pada SKA Angina sering dipicu dengan aktivitas fisik terutama setelah makan dan pada cuaca yang dingin, dan kebanyakan dicetus oleh perasaan marah atau gembira. Nyeri akan hilang cepat (biasanya berapa menit) dengan istirahat. Kadang kala perasaan itu akan hilang sendiri dengan teruskan aktivitas. Istilah ACS banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian yang gawat pada pembuluh darah koroner.ACSmerupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, unstable angina, Acute Myocardial Infarction dengan segmen ST elevasi (STEMI) dan Acute Myocardial Infarction tanpa segmen ST elevasi (NSTEMI), maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan. Alasan rasional menyatukan semua penyakit itu dalam satu sindrom adalah karena mekanisme patofisiologi yang sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak yang merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stenosis atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli.
2
Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan elevasi ST adalah dari jenis thrombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan trombus mural, Non-elevasi ST dengan thrombus inkomplet/nonklusif,
sedangkan
pada
elevasi
ST
adalah
trombus
komplet/oklusif. Proses terjadinya thrombus dimulai dengan gangguan pada salah satu dari Trias Virchow; kelainan pada pembuluh darah, gangguan endotel, serta aliran darah terganggu. Selanjutnya proses aterosklerosis mulai berlaku, inflamasi, dan formasi plak di pembuluh darah. Pada suatu saat, terjadi rupture/fissure pada plak dan akhirnya menimbulkan thrombus yang akan menghambat pembuluh darah. Apabila pembuluh darah tersumbat 100% maka terjadi STEMI.Namun bila sumbatan tidak total,
tidak
terjadi
infark,
hanya
UAatauNSTEMI.
Definisi Sindrom
koroner
akut
adalah
gabungan
gejala
klinik
yang
menandakan iskemia miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment elevation myocardial infarction = 3
STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan erat, hanya berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum yang mengalami nekrosis. UAP
dan
NSTEMI
merupakan
suatu
kesinambungan
dengan
kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP)
dengan infark miokard akut tanpa elevasi
segmen ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan miokardium, sehingga adanya marker
kerusakan
miokardium
dapat
diperiksa.
Bila
ditemukan
peningkatan enzim-enzim jantung, maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila enzim-enzim jantung tidak meninggi, maka diagnosis adalah UA. Bagan 1. Pembagian SKA US ndnd sm tK ar be lA eu A( nK g) i n a
rr o
S
i
n oo o
r t
n
k A
Pada UAP dan NSTEMI, pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, thrombisis dan vasokonstriksi. Penentuan Troponin I/T adalah ciri paling sensitive dan specific untuk nekrosis miosit dan penentuan pathogenesis dan alur pengobatan.UAP dan NSTEMI merupakan ACS yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokardium. Penyebab utama ACS adalah stenosis koroner akibat thrombus pada plak ateroscklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau rupture dan menyumbat pada pumbuluh darah yang sudah mengalami penyempitan oleh aterosklerosis.UA dan NSTEMI adalah bagian dari sindrom koroner 4
akut kontinum, di mana plak pecah dan terbentuk thrombosis koroner aliran darah ke daerah miokardium.UA dan NSTEMI juga disebutkan sindrom koroner akut non-ST elevasi. Untuk membedakan mereka dari STEMI, pemakaian EKG dibutuhkan. Dalam UA dan NSTEMI, tidak ditemukan ST Elevasi dan gelombang Q patologis pada EKG, pada pasien dengan STEMI, alasan mengapa ST elevasi dan gelombang Q patologis ditemukan, kerana ada hubungan iskemic dari miokardium. Durasi oklusi, sejauh mana daerah infark menjaga kelangsungan hidup selama oklusi, serta letak pembuluh darah yang menentukan infark ada hubungan dengan munculnya ST elevasi dan gelombang Q.
Epidemiologi Penyakit jantung koroner terus-menerusmenempati urutan pertama di antara jenis penyakit jantung lainnya.dan angkakesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%. Diagnosis NSTEMI lebih sulit untuk ditegakkan dibanding
diagnosis
STEMI.Olehkarena
itu
perkiraan
prevalensinya
menjadi lebih sulit.Secara keseluruhan, datamenunjukkan bahwa kejadian NSTEMI dan UA tahunan lebih tinggi daripada STEMI.Perbandingan antara SKA dan NSTEMI telah berubah seiring waktu, karena lajupeningkatan NSTEMI
dan
UA
relatif
terhadap
STEMI
tanpa
penjelasan
yang
jelasmengenai perubahan ini.Perubahan dalam pola kejadian NSTEMI dan UA mungkindapat dihubungkan dengan perubahan dalam manajemen serta upaya pencegahan penyakit jantung koroner selama 20 tahun terakhir.Secara
keseluruhan,
dari
berbagai
penelitian,
didapatkan
bahwakejadian tahunan dari penerimaan rumah sakit untuk NSTEMI dan UA sekitar 3 per 1000penduduk.
Etiologi & Faktor Resiko Sindroma ketidakseimbangan
koroner antara
akut pasokan
ditandai dengan
oleh
kebutuhan
adanya oksigen
miokard. Etiologi SKA antara lain: 1. Penyempitan arteri koroner karena robek/pecahnya thrombus yang ada pada plak aterosklerosis. Mikroemboli dari agregasi trombosit 5
beserta komponennya dari plak yang rupture mengakibatkan infark kecil di distal. 2. Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada segmen arteri koroner epikardium. Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel. 3. Penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme/thrombus terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI). 4. Inflamasi penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur, trombogenesis. Makrofag, limfosit T ↑ metalloproteinase penipisan dan ruptur plak 5. Keadaan/factor pencetus: a. ↑ kebutuhan oksigen
miokard
demam,
takikardi,
tirotoksikosis b. ↓ aliran darah koroner c. ↓ pasokan oksigen miokard anemia, hipoksemia Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi 1. Usia Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan yang lebih panjang terhadap faktorfaktor aterogenik. 2. Jenis kelamin Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita sampai menopause, setelah menopause kerentanannya menjadi sama dengan
pria.
Efek
perlindungan
estrogen
dianggap
sebagai
penjelasan adanya imunitas wanita sebelum menopause. 3. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (yaitu saudara atau orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. Komponen genetik dapat dikaitkan pada beberapa bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan yang kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan stres atau obesitas. 6
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi 1. Merokok Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan
hipoksia
jaringan
arteri,
nikotin
menyebabkan
mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding arteri. 2. Hiperlipidemia Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas)
berasal
dari
makanan
(eksogen)
dan
sintesis
lemak
endogen.Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipd yang relatif mempunyai
makna
klinis
yang
penting
sehubungan
dengan
aterogenesis.Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak larut dalam
plasma.Ikatan
ini
menghasilkan
empat
kelas
utama
lipoprotein, yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL. Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata bersifat aterogenik. 3. Hipertensi Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark.
7
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial injury). 4. Diabetes Mellitus Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar menurun, dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang berikatan dengan dinding vaskuler.7 5. Obesitas Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.7 Faktor Predisposisi 1. Hipertensi Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya rupturnya plak pada pembuluh darah. 2. Anemia Adanya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk ke jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk meningkatkan cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan
kebutuhan
oksigen
di
jantung
meningkat.
Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen mengakibatkan gangguan pada jantung. 3. Kerja fisik/olahraga Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan
dan
mengakibatkan
miokardium suplai
meningkat.
oksigen
tidak
Adanya
aterosklerosis
mencukupi,
akhirnya
mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa terjadi infark.
Patogenesis
8
Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi lapisan fibrotik dari plak arteri koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi dan adhesi platelet, trombosis terlokalisir, vasokonstriksi, dan embolisasi trombus distal. Keberadaan kandungan lipid yang banyak dan tipisnya lapisan
fibrotik,
menyebabkan
tingginya
resiko
ruptur
plak
arteri
koronaria. Pembentukan trombus dan terjadinya vasokonstriksi yang disebabkan
pelepasan
serotonin
dan
tromboxan
A2
oleh
platelet
mengakibatkan iskemik miokardium yang disebabkan oleh penurunan aliran darah koroner. Aterosklerosis adalah
bentuk
arteriosklerosis
dimana
terjadi
penebalan dan pengerasan dari dinding pembuluh darah yang disebabkan oleh akumulasi makrofag yang berisi lemak sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan kelainan
tunggal
mempengaruhi
namun
system
merupakan vaskuler
proses
seluruh
patologi
tubuh
yang
dapat
sehingga
dapat
menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi dalam manifestasi klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit arteri koroner. Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi
dengan
mekanisme
stress
primer.
oksidatif
Diabetes
dan
mellitus,
aktivasi
makrofag
merokok,
dan
adalah
hipertensi
dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi oleh peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I. Penyebab lain dapat berupa peningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi insulin, stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal. LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi sel otot polos, aktivasi respon imun dan inflamasi.LDL teroksidasi masuk ke dalam tunika intima dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag. Makrofag yang mengandung oksi-LDL disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah yang signifikan maka akan membentuk
jejas
fatty
streak.
Pembentukan
lesi
tersebut
dapat
ditemukan pada dinding pembuluh darah sebagian orang termasuk anakanak.Ketika terbentuk, fatty streak memproduksi radikal oksigen toksik yang
lebih
banyak
dan
mengakibatkan
perubahan
inflamasi
dan
9
imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih progresif.Kemudian terjadi proliferasi sel otot polos, pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di atas sel otot polos tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi termasuk growth factor (TGF beta). Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga, sehingga timbul gejala klinis (angina atau claudication intermitten). Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur.Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase perdarahan
matriks
pada
lesi.Plak
dan
cathepsin
atherosklerosis
sehingga
menyebabkan
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur.Plak yang menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung menjadi rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau rupture) terjadi karena shear forces, inflamasi dengan pelepasan mediator inflamasi yang multiple, sekresi macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade pembekuan darah, dan pembentukan thrombus
yang
sangat
cepat.
Thrombus
tersebut
dapat
langsung
menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.
10
Atherosclerotic plaque with a lipid-rich core and thin fibrous cap
ear forces, inflammation, apoptosis, macrophage-derived degradative enzymes
Rupture of plaque
lease of multiple cytokines, platelet activation and adherence, production of thrombin and vasoconstrictors
Thrombus formation over lesion plus vasoconstriction of vessel
Acute decrease in coronary blood flow
Unstable angina or myocardial infarction
Gambar 1: Pathogenesis unstable plaque dan pembentukan thrombus
Patofisiologi Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahanlahan.
Namun,
apabila
terjadi
obstruksi
koroner
tiba-tiba
karena
pembentukan thrombus akibat plak aterosklerotik yang rupture atau mengalami ulserasi, maka terjadi sindrom koroner akut. - Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat -
mencetuskan terjadinya infark. Infark miokard : terjadi apabila
iskemia
yang
berkepanjangan
menyebabkan kerusakan ireversibel dari otot jantung.
11
Atherosclerotic plaque partially obstructs coronary blood flow
Stable plaque
Unstable plaque with ulceration or rupture and thrombosis
Stable angina
Acute coronary syndromes
Trancient ischemia
Sustained ischemia
Unstable angina
Myocardial infarction
Stunned myocytes Hibernating myocytes
Myocardial inflammation and necrosis
Myocardial remodeling
Gambar 2 :Patofisiologi Sindrom Koroner Akut Unstable angina Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan kebutuhan
oksigen
jantung
hipertensi).Berkurangnya
suplai
(cth
karena
oksigen
terjadi
takikardi karena
atau adanya
pengurangan diameter lumen pembuluh darah yang dipengaruhi oleh vasokonstriktor dan/atau thrombus.Pada banyak pasien unstable angina, mekanisme
berkurangnya
suplai
oksigen
lebih
banyak
terjadi
dibandingkan peningkatan oksigen demand.Tetapi pada beberapa kasus, keduanya dapat terjadi secara bersamaan. Ruptur Plak Ruptur dari plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting dari angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami rutur sebelumnya mempunyai penyempitan 50 % atau kurang, dan pada 97 % pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70 %. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak.Kadang-kadang 12
keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim
protease
yang
dihasilkan
makrofage
dan
secara
enzimatik
melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan
aktivasi
terbentuknya
thrombus.
Bila
thrombus
menutup pembuluh darah 100 % akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil. Trombosis dan Agregasi Trombosit Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena integrasi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa
untuk
memulai
kaskade reaksi
enzimatik
yang menghasilkan
pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermitten, pada angina tak stabil.
Vasospasme Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasm. Spasm yang terlokalisir seperti pada angina Prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasm seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran pembentukan trombus. Erosi pada Plak tanpa Ruptur 13
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi. Infark miokard Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi nekrosis sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas plak, dan pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti yang terjadi pada sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada MI trombusnya lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang lebih lama, sehingga iskemia miokardial dapat berkembang menjadi nekrosis dan kematian miosit.Jika thrombus lisis sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal yang komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan miokardium yang berada langsung di bawah endokardium (subendocardial MI). Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka infarknya dapat memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi jantung yang parah (transmural MI).Secara klinis, MI transmural harus diidentifikasi, karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius dan harus mendapat terapi yang segera. Jejas Selular Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit sebelum mengalami kematian.Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60
detik
setelah
hipoksia.Bahkan
jika
telah
terjadi
perubahan
metabolisme yang non fungsional, sel miosit tetap viable jika darah kembali dalam 20 menit.Penelitian menunjukkan bawa sel miosit dapat beradaptasi
terhadap
perubahan
suplai
oksigen.
Proses
tersebut
dinamakan ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik penurunan aliran darah, miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan lebih dingin. Glikolisis anaerob yang terjadi hanya dapat mensuplai 65-70% dari kebutuhan energi, karena diproduksi ATP yang lebih sedikit daripada metabolisme
aerob.
Ion
hydrogen
dan
asam
laktat
kemudian
14
berakumulasi sehingga terjadi asidosis, dimana sel miokardium sangat sensitif pada pH yang rendah dan memiliki sistem buffer yang lemah. Asidosis menyebabkan miokardium menjadi rentan terhadap kerusakan
lisosom
yang
mengakibatkan
terganggunya
fungsi
kontraktilitas dan fungsi konduksi jantung sehingga terjadi gagal jantung. Kekurangan oksigen juga disertai gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara
normal
miokardium
berespon
terhadap
kadar
katekolamin
(epinefrin dan norepinefrin/NE) yang bervariasi. Pada sumbatan arteri yang signifikan, sel miokardium melepaskan katekolamin sehingga terjadi ketidakseimbangan fungsi simpatis dan parasimpatis, disritmia dan gagal jantung. Katekolamin merupakan mediator pelepasan dari glikogen, glukosa dan cadangan lemak dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol plasma dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut. Kadar FFA (Free Fatty Acid) yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap membran sel. NE meningkatkan kadar glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel hepar dan sel otot. NE juga menghambat aktivitas sel beta pankreas sehingga produksi insulin berkurang dan terjadi keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi setelah 72 jam onset serangan. Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi dalam patogenesis MI, dengan cara yaitu: 1. Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga meningkatkan beban jantung, akibatnya memperparah penurunan kemampuan kontraktilitas jantung. 2. Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth factor sel otot polos
pembuluh
merangsang
darah,
peningkatan
miosit kadar
dan
fibroblast
katekolamin
jantung, dan
sehingga
memperparah
vasospasme koroner.
Kematian selular Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan jejas hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis jaringan. Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan
15
pelepasan beberapa enzim intraseluler tertentu melalui membrane sel yang rusak ke dalam ruang intersisisal.Enzim yang terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh darah limfe ke pembuluh darah.Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis. Perubahan fungsional dan structural Infark miokardial menyebabkan perubahan fungsional dan struktural jantung.Perubahan tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini. Waktu
Perubahan Jaringan
Tahapan
setelah
Proses
Pemulihan
MI 6-12
Tidak
jam
makroskopis;
sianosis
subseluler
dengan
ada
perubahan Belum dimulai
18-24
penurunan temperatur Pucat sampai abu- Respon
jam
kecoklatan; slight pallor
2-4 hari
intraseluler Tampak nekrosis; kuning- Enzim proteolitik coklat
di
tengah
inflamasi;
pelepasan
enzim
dan dipindahkan
hiperemis di sekitar tepi
debris;
oleh
katekolamin,
lipolisis,
dan
glikogenolisis meningkatkan glukosa plasma dan FFA untuk membantu miokard keluar dari 4-10
Area
soft,
hari
degenerasi
anaerobic state dengan Debris telah lemak
di dibersihkan; collagen
tengah, daerah perdarahan matrix laid down 10-14
pada area infark Weak, fibrotic scar tissue Penyembuhan
hari
dengan revaskularisasi
awal berlanjut namun area sangat lunak, mudah dipengaruhi stress 16
6
Jaringan
parut
minggu
telah komplit
biasanya Jaringan parut kuat yang
tidak
elastis
menggantikan miokardium
yg
nekrosis Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat dalam beberapa jam. Walaupun dalam 30-60 detik terjadi perubahan EKG. Miokardium yang infark dikelilingi oleh zona jejas hiposia yang dapat berkembang menjadi nekrosis, kemudian terjadi remodeling atau menjadi normal kembali. Jaringan jantung yang dikelilingi daerah infark juga mengalami perubahan yang dapat dikategorikan ke dalam: 1. Myocardial stunning, yaitu kehilangan sementara fungsi kontraktilitas yang berlangsung selama beberapa jam – beberapa hari setelah perfusi kembali normal. 2. Hibernating myocardium,
yaitu
jaringan
yang
mengalami
persisten dan telah mengalami adaptasi metabolik. 3. Myocardial remodeling, adalah suatu proses yang
iskemi
diperantarai
Angiotensin II, aldosteron, katekolamin, adenosine dan sitokin inflamasi yang menyebabkan hipertrofi miositdan penurunan fungsi kontraktilitas pada daerah jantung yang jauh dari lokasi infark. Semua perubahan di atas dapat dibatasi melalui restorasi yang cepat dari aliran koronerdan penggunaan ACE-inhibitor dan beta blocker setelah MI. Tingkat keparahan gangguan fungsi tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi infark. Perubahan fungsional termasuk: (1). Penurunan kontraktilitas jantung dengan gerak dinding jantung abnormal, (2). Perubahan compliance dari ventrikel kiri, (3). Penurunan stroke volume, (4). Penurunan fraksi ejeksi, (5). Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, (6). Malfungsi dari SA node, (7). Disritmia yang mengancam jiwa dan gagal jantung sering menyertai MI. Fase Perbaikan Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang diakhiri dengan perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang rusak, proliferasi fibroblast dan sintesis jaringan parut. Banyak tipe sel, hormone, dan substrat nutrisi harus tersedia agar proses penyembuhan
17
dapat berlangsung optimal. Dalam 24 jam terjadi infiltrasi lekosit dalam jaringan nekrotik dan degradasi jaringan nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil scavenger. Fase pseudodiabetik sering timbul oleh karena lepasnya katekolamin dari sel yang rusak yang dapat menstimulasi lepasnya glukosa dan asam lemak
bebas.Pada
minggu
kedua,
terjadi
sekresi
insulin
yang
meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar gula darah. Pada 10-14 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan rentan terhadap jejas yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu merasa sehat dan meningkatkan aktivitasnya kembali sehingga proses penyembuhan terganggu. Setelah 6 minggu, area nekrosis secara utuh
diganti
oleh
jaringan
parut
yang
kuat
namun
tidak
dapat
berkontraksi seperti jaringan miokardium yang sehat.
Diagnosis Diagnosis ACS dapat diitegakkan dengan riwayat dan gejala, namun bisa juga dengan bantuan EKG dan pemeriksaan laboratorium. Langkah pertama dalam pengelolaan ACS ialah penetapan diagnosis pasti. Diagnosis yang tepat amat penting, karana bila diagnosis ACS telah dibuat
di
dalamnya
terkandung
pengertian
bahwa
penderitanya
mempunyai kemungkinan akandapat mengalami infark jantung atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah sering menpunyai konsekuensi buruk terhadap kuaitas hidup penderita. Pada orang – orang muda, pembatasan kegiatan jasmami yang tidak pada tempatnya mungkin akan dinasihatkan. Bila hal ini terjadi pada orang – orang tua, maka mereka mungkin harus mengalami pensium yang terlalu dini, harus berulang kali dirawat di rumah sakit secara berlebihan atau harus makan obat – obatan yang
potensial
toksin
untuk
jangka
waktu
lama.
Di
pihak
lain,
konsekuensis fatal dapat terjadi bila adanya penyakit jantung koroner yang tidak diketahui atau bila adanya penyakit-penyakit jantung lain yang menyebabkan angina pectoris terlewat dan tidak terdeteksi. Cara – cara diagnostic yang dipakaikan ada di table 2, tapi yang harus
dokter lakukan buat diagnosis
ACS adalah
anamnesis
dan
18
pemeriksaan fisik. Dengan mempunyai anamnesis dan pemeriksaan fisik yang bener dan lengkap, sudah cukup mengarahkan kita ke arah ACS. Cara – Cara Diagnositik 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan Fisik 3. Laboratium 4. Foto Dada 5. Pemeriksaan Jantung Non – Invasif - EKG istirehat - Uji Latihan Jasmani (treadmill) - Uji latih Jasmani Kombinasi Pencitraan: - Uji Latih Ekokardiagrafi (Stress Eko) - Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard - Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging - Ekokardiografi Istirehat - Monitoring EKG ambulatory - Teknik non invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner : - computed tomography -Magnetic resonance arteriography 6. Pemerikasaan invasive menentukan anatomi koroner - arteriografi koroner - ultrasound intravascular (IVUS) Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti, penentuan faktor risiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala angina pectoris ringan,cukup dilakukan pemeriksaan noninvasif. Bila pasien dengan keluhan yang berat dan kemungkinan diperlukan tindakan revaskularisasi, maka tindakan angiografi sudah merupakan indikasi. Pada keadaan yang meragukan dapat melakukan Treadmill test. Treadmill test lebih sensitive dan specific dibandingkan dengan EKG isitrahat dan merupakan tes pilihan untuk mendeteksi pasien yang
19
kemungkinan Angina Pectoris dan pemeriksaan ini sarannya yang mudah dan biayanya terjangkau. Pemeriksaan
alternatif
lain
yang
dapat
dilakukan
adalah
ekokardiografi dan teknik non – invasive penentuan kalsifikasi koroner dan anatomi
koroner,
Computed
Tomography,
Magnetic
Resonance
Arteriography, dengan sensifitas dan specifitas yang lebih tinggi. Dari anamnesis kita harus menanyakan beberapa soalan yang mengarahkan kita ke ACS.Pertanyaan seperti berikut : a. Sakit dada berterusan berapa lama? b. Ada 15 menit? atau lebih lama? c. Sakit dada di sebelah mana? Sila ditunjukkan! d. Sakit itu rasa seperti apa? Terbakar? Tertekan? Ditindih? e. Sakit waktu lakukan apa? Aktivitas? Apakah waktu istirahat? f. Apakah sakit itu dengan rasa sesak? Lemas? g. Apakah rasa sakit itu radiasi ke tangan kiri? h. Apakah rasa sakit itu terasosiasi dengan keringatan dingin? i. Sakit itu membaik dengan istirehat? j. Apakah pasien perokok? Konsumsi alcohol? k. Apakah pasien punya riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia? l. Dalam keluarga ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung? Stroke? Mati mendadak? Dari pemeriksaan fisik, kita harus mempunyai tanda-tanda yang harus kita curiga ke arah ACS. Tanda – tanda seperti berikut : 1. Tachycardia > 100x/min 2. Tachypnea >24/min. 3. Tampak Cemas 4. Tekanan Darah tinggi > 140/90 atau rendah <100/70. 5. Pulsasi arrhythmia. 6. Kedengaran murmurmungkin adalah komplikasi dari ACS. Diteruskan dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG istirahat dan pemeriksaan darah; periksa darah rutin dan enzim jantung (CK, CK-
20
MB, Troponin T dan Troponin I). Pasien dengan STEMI dan NSTEMI akan kita lihat kelainan di EKG seperti ST elevasi, ST depresi, Tall T wave, T inversi.UA tiada kelainan di EKG, karana di thrombus itu menyumbat tidak total dan tidak lama di arteri koroner dan tidak akan menyebabkan perubahan di EKG. Pemeriksaan darah rutin dibutuhkan karana dari keputusannya akan mengarahkan apakah pasien ini anemis dan apakah pasien ini ada infeksi. Pemeriksaan enzim jantung juga mengarahkan kita ke ACS, di keadaan fisiologis enzim jantung Troponin I dan T tidak akan meningkat, tapi enzim CK dan CK-MB akan meningkat jika melakukan aktivitas yang berat, kerusakan otot-otot atau mengalami febris yang tinggi. Pemeriksaan Enzim dapat membedakan antara NSTEMI dan Unstable Angina. Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB dengan ataupun tanpa perubahan EKG untuk iskemi, seperti adanya depresi
segmen
ST
ataupun
elevasi
yang
sebentar
atau
adanya
gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan angina pectoris tidak stabil seringkali tak bisa dibedakan dari NSTEMI. Penderita penyakit jantung koroner akan kita mengevaluasikan risiko mortalitas, ACS yang baru atau recurrent atau butuh revascularisasi yang darurat. Setiap pasien datang dengan diagnosis ACS harus dilakukan score ini, namanya TIMI Risk Score Table: TIMI score di UA dan NSTEMI
21
Table: TIMI Score di STEMI
Diagnosis dan Gambaran Klinis Angina Pektoris Tidak Stabil
22
Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang dengan keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan
disebabkan
oleh
trauma,
yang
mengarah
pada
iskemia
miokardium, pada laki-laki terutama berusia > 35 tahun atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian khusus dan evaluasi lebih lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh makanan, reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor resiko. Wanita sering mengeluh nyeri dada atipik dan gejala tidak khas, penderita diabetes mungkin tidak menunjukkan gejala khas karena gangguan saraf otonom. Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas, ditikam, ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di blakang sternum, dibagian tengah atau dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan satu jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri atau kedua lengan. Lama nyeri > 20menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau pemberian nitrat. Keluhan pasien umumnya berupa - Resting angina : terjadi saat istirahat berlangsung > 20 menit - New onset angina : baru pertama kali timbul, saat aktivitas fisik seharihari, aktifitas ringan/ istirahat - Increasing angina : sebelumnya usah terjadi, menjadi lebih lama, sering, nyeri atau dicetuskan aktivitas lebih ringan. Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas. Elektrokardiografi (ECG) Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukan kemungkinan adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan gelombang T negatif kurang dari 2mm, tidak spesifik
23
untuk iskemi, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% ECG juga normal. Exercise test Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral insuffisiensi dan abnormalitas gerakan dinding reginal jantung, menandakan prognosis kurang baik. Stress ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan adanya iskemi miokardium. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European
Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap adanya
mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu.Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin. CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48jam. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (NSTEMI) Nyeri dada
dengan
lokasi
khas
substernal
atau
kadangkala
epigastrium dengan ciri khas seperti diperas, diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan mereka memiliki gejala dengan onset baru angina berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih baik berbanding dengan memiliki nyeri pada waktu istirahat.Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar terutama pasien lebih dari 65 tahun. Elektrokardiogram (ECG) Gambaran EKG, secara
spesifik
berupa
deviasi
segmen
ST
merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada
24
Thrombolysis in Myocardial Ischemia Trial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0.05mV merupakan predictor outcome yang buruk.Outocme yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST dan baik depresi segmen ST maupun perubahan
troponin
T
keduanya
memberikan
tambahan
informasi
prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI. Biomarker Kerusakan Miokard Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai, karena lebih spesifik berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB.Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4jam dan dapat menetap sampai 3-4minggu.
Diagnosis
dan
Gambaran
KlinisInfark
Miokard
Akut
Dengan
Elevasi ST (STEMI) Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau 1mm pada dua sadapan ektremitas. Pmeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle. Anamnesis Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga. Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit 25
medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut2 : Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, sperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung interskapular, perut dan dapat juga ke
lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan
sesudah makan. Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.
Gambar 3 : Pola nyeri dada pada iskemia miokard Pemeriksaan Fisik Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir 26
setengah pasien infark posterior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi). Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI . Elektrokardiogram Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di UGD. Pemriksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan unutk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan infark miokard nontransmural jika EKG
hanya
menunjukkan
perubahan
sementara
segmen
ST
atau
gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG
27
dengan lokasi infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q atau non Q menggantikan infark mural atau nontransmural.
Gambar 5 : STEMI dengan evolusi patologik Q wave di lead I dan VL Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers) Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac Specific Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi
diberikan
segera
mungkin
dan
tidak
tergantung
pada
pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard) CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat pada operasi jantung, miokarditis dan
kardioversi elektrik. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
28
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai
puncak dalam 4-8 jam. Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal
dalam 3-4 hari. Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
DIAGNOSIS BANDING Berbagai diagnosa banding sindrom koroner akut antara lain: a.
Mengancam jiwa dan perlu penanganan segera: diseksi aorta,
perforasi ulkus peptikum atau saluran cerna, emboli paru, dan tension pneumothorax. b.
Non iskemik: miokarditis, perikarditis, kardiomyopati hipertropik,
sindrom Brugada, sindrom wolf-Parkinson-White. c.
Non kardiak: nyeri bilier, ulkus peptikum, ulkus duadenum, pleuritis,
GERD, nyeri otot dinding dada, serangan panik dan gangguan psikogenik. Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli
paru,
diseksi
aorta
akut,
kostokondritis
dan
gangguan
gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut.
29
Gambar : Diagnosis banding nyeri dada
TATALAKSANA Sekiranya pasien sudah mempunyai tanda-tanda ACS, kita harus segera bertindak supaya tidak menyebabkan konsekuensi yang lebih parah.Penatalaksanaan dapat menggunakan akrronim MONACO. Dapat dimulai dengan memberikan oksigen 4L/mnt, Aspirin 300mg, Clopidogrel 300mg, Nitroglycerin 0.6mg SL ulang setiap 5 minute sebanyak tiga kali, jika pasien mengeluhkan nyeri dada yang berat sekali, morphine IV 0.5mg/ml sebanyak 5 ml dimasukin. Seterusnya, EKG harus dipantau dan mengetahui apakah ini UA, NSTEMI atau STEMI.Jika pasien mengalami UA, kita
harus
memastikan
dengan
pemeriksaan
enzim
jantung,
dan
melanjutkan ke arah edukasi dan terapi rawat jalan. Jika pasien mengalami
STEMI/NSTEMI,
kita
harus
memikirkan
apakah
rencana
reperfusi dengan Percutaneus Coronary Intervention (PCI) boleh dilakukan apa tidak? Jika tidak boleh, kita harus rencanakan fibrinolysis. Tujuan pengobatan pada ACS adalah untuk memperbaiki prognosis dengan cara mencegah infark miokard dan kematian. Upaya yang dilakukan adalah bagaimana mengurangi terjadinya thrombotic akut dan
30
disfungsi ventrikel kiri. Tujuan ini dapat dicapai dengan modifikasi gaya hidup ataupun intervensi farmakologik yang akan (i)
mengurang progresif plak
(ii)
menstabilkan
plak,
dengan
mengurangi
inflamasi
dan
memperbaiki fungsi endotel, dan akhirnya, (iii)
mencegah thrombosis bila terjadi disfungsi endotel atau pecahnya
plak.
Selain
itu,
obat
juga
dipakai
untuk
memperbaiki simtom dan iskemi yaitu nitrat kerja jangka pendek dan jangka panjang, Beta – Blocker, CCB. Kepada pasien yang menderita ACS maupun keluarganya perlu kita terangkan tentang perjalanan penyakit, pilihan obat yang tersedia. Pasien harus diyakinkan bahwa kebanyakan kasus angina dapat mengalami perbaikan dengan pengobatan dan modifikasi gaya hidup sehingga kualitas hidup lebih baik. Kelainan penyerta seperti hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dll, perlu ditangani secara baik. Cara pengobatan ACS yaitu, (i)
pengobatan farmakologis,
(ii)
revaskularisasi miokard. Perlu diingat bahwa tidak satu pun cara di atas sifatnya menyembuhkan. Dengan kata lain tetap diperlukan modifikasi gaya hidup dan mengatasi factor-factor risiko.
Di pengobatan farmakologik, ada banyak jenis obat yang boleh dipakai dan ada tertentu yang sering dipakaikan dan akan dibahaskan nanti. Yang pertama adalah Aspirin dosis rendah, dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan obat utama untuk mencegahan thrombosis. Meta-analysis menunjukkan bahwa dosis 75 – 150 mg sama efektivitasna dibandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin disarankan diberi pada semua pasien ACS kecuali ditemukan
kontraindikasi.Selain
itu,
efek
samping
seperti
iritasi
gastrointestinal dan perdarahan, alergi harus diperhatiin.Cardioaspirin memberikan efek samping yang lebih minimal dibandingkan Aspirin.Selain itu, Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine merupakan antagonis ADP dan menghambat agregasi Thrombosit.Clopidogrel lebih diindikasikan
31
pada penderita dengan resistensi atau intoleransi terhadap Aspirin. AHA/ACC guidelines update 2007 memasukkan kombinasi Aspirin dan Clopidogrel pada pasien dengan ACS menunjukkan lebih rendah mortality rate. Obat penurun kolesterol juga dipakai di pasien ACS, pengobatan dengan statin digunakan untuk mengurangi risiko baik pada prevensi primer maupun pervensi sekunder.Berbagai studi membuktikan bahwa statin dapat menurunkan komplikasi sebesar 39%. Selain menurunkan kolesterol, statin juga mempunyai mekanisme lain yang dapat berperan sebagai anti inflamasi, anti thrombotic dll (pleiotropic effect). Target penurunan LDL kolesterol adalah < 100mg/dl dan pada pasien risiko tinggi, Diabetes Mellitus, penderita penyakit jantung koroner dianjurkan menurunkan LDL kolesterol < 70mg/dl.
32
Pengunaan
Angiotensin
Converter
Enzyme
–
Inhibitor
(ACEI)/
Aldosterone Receptor Blocker (ARB) sebagai kardioproteksi untuk prevensi infark sekunder pada pasien dengan penyakit jantung koroner telah dibuktikan dari studi. Nitrat pada umumnya disarankan pada pasien ACS karena nitrat memiliki efek venodilator sehingga preload miokard dan afterload ventrikel kiri dapat menurun sehingga dengan demikian konsumsi oksigen miokard juga akan menurun. Nitrat juga melebarkan pembuluh darah normal dan yang mengalami aterosklerotik, menaikkan aliran darah kolateral dan menghambat agregasi thombosit.Bila serangan Angina tidak respons dengan Nitrat jangka pendek seperti Nitroglycerin, maka harus
33
diwaspadai adanya STEMI.Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala dan flushing. β blocker juga merupakan obat standar yang diberikan pada pasien ACS, β blocker menghambat efek katekolamin pada sirkulasi dan reseptor β-1 yang dapat menyebabkan penurunan konsumsi oksigen miokardium. Pemberian β blocker dilakukan dengan target denyut jantung sekitar 60 kali per menit. Kontraindikasi terpenting pemberian β blocker adalah riwayat asma bronchial serta disfungsi ventrikel kiri akut. Kalsium channel blocker juga diberikan, dia mempunyai efek vasodilatasi. Kalsium channel blocker dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah mendapat nitrat atau β blocker; terutama pada pasien yang mempunyai kontraindikasi penggunaan β blocker. Kalsium channel blocker tidak disarankan bila terdapat penurunan fungsi ventrikel kiri atau gangguan konduksi atrioventrikel. Selain obat di atas, obat anticoagulant juga dipakai untuk coba membuka pembuluh darah yang teroklusi. Unfractionated Heparin (UFH) adalah obat yang memicu aktivitas antithrombin III dan mencegah converse fibrinogen ke fibrin. Obat ini tidak melysiskan thrombusnya tapi mencegeh lanjutan thrombogenesis. Selain UFH, terdapat Low Molecular Weight Heparins (LMWH) yang dapat dipakai juga. LMWH adalah indikasi untuk terapi STEMI dan adalah prophylaksis pada UA dan NSTEMI.LMWH ada kelebihan dari UFH, karena LMWH tidak harus dimonitor International Normalized Ratio (INR).Di UFH harus melakukan INR berterusan supaya tidak sampai tahap yang mungkinkan perdarahan. Setelah obat farmakologi, sekarang masuk ke revaskularisasi miokard. Ada dua cara revaskularisasi yang telah terbukti baik pada ACS stabil
yang
disebabkan
aterosklerotik
koroner
yaitu
tindakan
revaskularisasi pembedahan, bedah pintas koroner (coronary artery bypass graft = CABG) dan tindakan intervensi perkutan (percutaneous coronary intervention = PCI). Akhir – akhir ini kedua cara tersebut telah mengalami kemajuan pesat yaitu diperkenalkannya tindakan, off pump surgery
dengan
invasive
minimal
dan
drug
eluting
stent
(DES).
34
Revaskularisai dengan 1 tujuan adalah meningkatkan survival ataupun mencegah infark ataupun menghilangkan gejala. Secara umum, pasien yang memiliki indikasi untuk dilakukan arteriography
koroner
dan
tindakan
kateterisasi
menunjukkan
penyempitan arteri koroner adalah kandidat yang potensial untuk dilakukan ravaskularisasi miokard.selain itu, tindakaan revaskularisasi dilakukan pada pasien jika; 1. Pengobatan tidak berhasil mengontrol keluhan pasien 2.Hasil uji non-invasif menunjukan adanya risiko miokard 3.Dijumpai risiko tinggi untuk kejadian dan kematian 4. Pasien lebih memiilihkan tindakan intervensi disbanding dengan pengobatan biasa dan sepenuhnya mengerti akan risiko dari pengobatan yang diberikan kepada mereka. Dari gambar 1, menunjukkan goal reperfusi adalah PCI atau terapi thrombolitic, jika PCI tidak dapat diakses dalam jangka waktu 90 menit, terapi thrombolitic disarankan. Thrombolitic terapi dapat menurunkan mortalitas dan kurangkan saiz infark di patient dengan STEMI. Terapi ini dilakukan
dalam
3
jam
pertama
dari
angina
berlaku
dan
dapat
menurunkan 50% mortalitas pada pasien ACS. Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina) Tindakan umum Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, dan diistirahatkan (bed rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu ada pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin. Terapi Medikamentosa a. Nitrat Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen.Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral.Yang ada di Indonesia terutama Isosorbit dinitrat,
35
yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4mg/jam.Bila keluhan sudah terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral. b. Penyekat Beta Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium.Metaanalisis dari 4700 pasien dengan UA menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan resiko infark sebesar 13% (p<0.04).Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi seperti asam bronkiale dan
pasien
dengan
bradiaritmia.Beta-bloker
seperti
propanolol,
metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas yang serupa. c. Antagonis Kalsium Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan dihidropiridin seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua golongan ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah. Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif juga lebih kecil. Verapamil dan diltiazem memperbaiki survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin pada pasien SKE dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis kalsium pada pasien yang ada kontraindikasi dengan beta-bloker. d. Aspirin Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal pada pasien UA. Oleh karena itu aspirin dianjurkan seumur hidup dengan dosis awal 160mgper hari dan dosis selanjutnya 80-325 mg per hari. e. Klopidogrel Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi platelet. Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular dan dianjurkan pada pasien yang tidak tahan
36
aspirin. AHA menganjurkan pemberian klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari. f. Unfractionated Heparin Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai
polisakarida
yang
berbeda
panjangnya
dengan
aktivitas
antikoagualn yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin dan faktor Xa. Kelemahan heparin adalah efek terhadap trombus yang kaya trombosit dan heparin dapat dirusak oleh platelet faktor 4. g. Low Molekuler Weight Heparin (LMWH) LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 jam dan hanya bekerja pada faktor Xa.LMWH di Indonesia adalah dalteparin, nadroparin dan enoksaparin.2 Stratifikasi Risiko Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah2: - pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan -
sudah tidak ada serangan sebelumnya tidak memakai obat anti angina ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya. Enzim jantung tidak meningkat termaasuk troponin dan
biasanya usia lebih muda. Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah2: - Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat - Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus - Tidak ada perubahan ST segmen - Enzim jantung tidak meningkat. Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah2: - Angina berlansung lama atau angina pasca
infark;
-
sebelumnya mendapat terapi yang intensif Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau ”rales”
-
pada pemeriksaan fisik Terdapat perubahan segmen ST yang baru Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil.
37
Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan, maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan kemungkinan tindakan revaskularisasi.2 Infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi semen T dan irama jantung. Empat komponen utama terapi yang harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu: Terapi antiiskemia Terapi antiplatelet/antikoagulan Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi) Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS Terapi antiiskemia Terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta dapat diberikan untuk menghilangkan nitrogliserin sublingual dan dapat dilanjutkan dengan
intravena
dan
penyekat
beta
oral
antagonis
kalsium
nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta.2 a. Nitrat Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitat sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit). b.Penyekat Beta Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 5060kali/menit.
Antagonis
kalsium
yang
mengurangi
frekuensi
jantungseperti diltiazem dan verapamil pada pasien dengan nyeri dada persisten. c. Terapi antitrombotik Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi platelet dan pembentukan thrombin-activated fibrin bertanggungjawab atas klot.
38
d. Terapi antiplatelet Aspirin Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaaan UN/NSTEMI. Sindrom ”resistensi aspirin” muncul baru-baru ini. Sindrom ini dideskripsi
dengan
bervariasi
sebagai
kegagalan
relatif
untuk
menghambat (inhibisi) agregasi platelet dan/atau kegagalan untuk memperpanjang waktu pendarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang
terapi
aspirin.
Pasien-pasien
dengan
resisitensi
aspirin
mempunyai risiko tinggi terjadi rekuren. Walaupun penelitian prospektif secara acak belum pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah logis untuk memberikan terapi klopidogrel, wlaaupun aspirin sebaiknya juga tidak dihentikan.2 Klopidogrel Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaanya pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan penelitian Clopidogrel in Unstable Angina To Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for The reduction of Events During Observation (CREDO).
Efek
bermanfaat
ditemukan
unutk
semua
subkelompok,
termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST dan kelompok yang memiliki skor risiko TIMI rendah. Namun, klopidogrel dikaitkan dengan peningkatan pendarahan
mayor
dan
peningkatan
pendarahan
minor, yang
sejalan
dengan
mengancam
jiwa
kecenderungan (life-threatening
bleeding). Berdasarkan hasil-hasil penelitian, maka klopidogrel direkomendasi sebagai obat lini pertama (first-line drug) pada UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan risiko tinggi pendarahan dan pasien yang memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien UA/NSTEMI dengan kondisi: Direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini Diketahui memiliki kontraindikasi untuk operasi Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36jam.
39
e. Terapi antikoagulan UFH (Unfractionated heparin) Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam tujuh tahun penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam tatalaksana UA/NSTEMI untuk lebih dari 15 tahun. Namun demikian terdapat kerugian pada penggunaan UFH.Produksi antbodi antiheparin mungkin berhubungan dengan heparin-induced thrombositopenia. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan yang tidak menentu, memerlukan monitor lebih sering terhadap activated partialthromboplastin time (aPTT), pengaturan dosis dan membutuhkan infus intravena kontinu. LMWH (Low Molecular Weight Heparin) Kerugian pada penggunaan UFH sebagian besar dapat diatasi dengan penggunaan LMWH.Pentingnya pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan dan kejadian trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang.LMWH adalh inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan juga faktor Xa sehingga obat ini mempengaruhi tidak hanya kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti factor IIa), tapi juga mengurangi pembentukan trombin (efek anti factor Xa). Infark Miokard Dengan Elevasi ST Tujuan utama tatalaksana IMA
adalah
diagnosis
cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Pedoman (guideline) yang digunakan dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST adalah dari ACC/AHA 2004. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi intervensi).
Tatalaksana di Ruang Emergensi Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: Mengurangi / menghilangkan nyeri dada
40
Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera, Triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI
Tatalaksana Umum a. Oksigen Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jm pertama. b. Nitrogliserin (NTG) NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan dapat diberikan samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlansungdapat diberikan NTG intravena (iv). NTG juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang menggunakan phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek hipotensi nitrat. c. Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada Hal ini sanagat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung. Morfin Merupakan pilihan dalam nyeri dada STEMI. Diberikan dengan dosis 2-4mg dan dapat diulangi dengan interal 5-15 menit sampai dosis
total 320mg. Aspirin Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di ruangan EMG. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162mg. Penyekat Beta
41
Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5mg setiap 1-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR<0.24detik dan ronki tidak lebih dari 10cm dari
diafragma.
Lima
belas
menit
setelah
dosis
IV
terakhir
dilanjutkan dengan oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama
48jam, dan dilanjutkan 100mg setiap 12 jam. Terapi reperfusi Reperfusi dini akan akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat
disfungsi
dan
dilatasi
ventrikel
dan
mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI) Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif bila dibandingkan fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan panjang yang lebih baik. b.Fibrinolisis Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Antara obat fibrinolitik yang digunakan yaitu: - Streptokinase (SK) - tissue plasmibnogen Activator (tPA, alteplase) - Reteplase (Retavase)
Terapi Farmakologis a. Antitrombotik Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan
bukti
klinis
dan
laboratories
bahwa
trombosis
mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan utama pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner
42
yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tedensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractinated
heparin.
Pemberian
UFH
IV
segera
sebagai
tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK) membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. b. Penyekat beta Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian secara iv membaiki kebutuhan suplai serta kebutuhan oksigen moikard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang khusus. c. ACE inhibitor Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas
bertambah
dengan
penambahan
aspirin
dan
penyekat beta. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif.
KOMPLIKASI Banyak komplikasi akan berlaku jika ACS tidak ditanganin dengan segera dan membiarin proses iskemic berterusan. Yang paling sering kelihat di pasien ACS adalah congestive heart failure (CHF). CHF post STEMI adalah suatu feature prognostic yang buruk dan membutuhkan terapi obat supaya mortalitas rate diturunkan. Klasifikasi Killip digunakan untuk assess pasien yang CHF post STEMI. 1) Killip 1 – tiada ronchi dan tiada suara jantung ke-3. 2) Killip 2 – ronchi di < 50% paru – paru atau ada 43
suara jantung ke – 3. 3) Killip 3 – ronchi > 50% paru – paru. 4) Killip 4 – Syok Cardiogenic. Untuk penderita CHF yang ringan biasanya akan respon terhadap Intravenous Furosemide 40-80mg dan Nitroglycerin administrasi kalau tekanan darah dalam batas normal. Oksigen adalah mandatory dan regular tahap oksigen monitor. ACE-I boleh diberikan dalam < 24-48 jam jika tekanan darah dalam batas normal.Penderita dengan CHF yang berat butuh melakukan Swan-Ganz katetherisasi untuk memeriksa tekanan pulmonary.Intravenous
inotropic
seperti
dopamine
dan
dobutamine
dibutuhkan pada penderita CHF yang berat.Jika pasien menderita syok kardiogenic, revaskularisasi dan/atau intra-aortic ballon pump insersi dibutuhkan. Selain gagal jantung, penderita juga mungkin mengalami rupture miokardium dan dilatasi aneurism.Ruptur di dinding ventrikel kiri biasanya adalah tanda – tanda awal dan yang fatal. Penderita akan mengalami kollaps haemodynamic dan mengikuti cardiac arrest. Ruptur subakut masih boleh lakukan pericardiocentesis dan pembaikan ruptur dengan operasi.Dilatasi aneurism pada miokardium yang infark adalah komplikasi yang lambat dan butuhkan operasi. Ventricular Septal Defect juga mungkin berlaku pada 1 – 2% pasien STEMI dan biasanya disebabkan keterlambatan dan gagal fibrinolisis. Mortalitasnya sangat tinggi dengan tanpa operasi langsung, mortalitas akan mencapai 92%. Mitral regurgitasi mungkin berlaku pada pasien STEMI juga. Sever mitral regurgitasi mungkin berlaku pada awal proses STEMI. Tiga mechanism mungkin menyebabkan mitral regurgitasi di STEMI, dengan bantuan Transoesophageal Echocardiogram (TOE) akan konfirmasikan causanya, 1) disfungsi ventricular kiri yang sever dan dilatasi menyebabkan annular dilatasi pada katup dan menyebabkan regugitasi. 2) miokardium infark di dinding inferior yang menyebabkan disfungsi otot papillary yang control buka dan tutup katupnya. 3) miokardium infark pada otot papilari dan menyebabkan akut sever oedem pulmo dan syok kardiogenic.
44
Irama jantung juga akan terganggu pada penderita ACS. Ventrikular takikardi dan ventricular fibrilasi adalah gejala yang sering ketemu di pasien STEMI terutama dengan reperfusi.Ventrikular takikardi harus di terapi dengan Intravenous Beta – blockers, lidocain atau amiodarone. Kalau pasien adalah hipotensi, synchronized kardioversi dilakukan, dan memastikan kalium adalah di atas 4.5 mmol/L. Refractori ventricular takikardi atau fibrilasi akan ada respon terhadap magnesium 8 mmol/L dalam 15 menit IV. Atrial fibrillasi sering ketemu juga dan diterapikan beta – blocker atau digoxin. Bradyarrthimia boleh diterapi dengan IV Atripine 0.5mg dan diulangkan 6 kali dalam 4 jam. Kadang kala, gangguan konduksi aliran listrik jantung juga mungkin berlaku. AV blok adalah yang paling sering ketemu pada AMI, terutama kalau adalah dinding inferior yang infark, karena arteri koroner yang kanan supply ke SA dan AV node. Gangguan konduksi boleh temporary dan permenant.Jika temporary, hanya dilakukan Atropine atau pacemaker yang temporary.Tapi kalau adalah permanent, pacemaker yang permanent dibutuhkan. a. Disfungsi ventrikular Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark, ventrikel kiri mengalami
dilatasi.Secara
infark.Selanjutnya
terjadi
akut pula
hasil
ini
pemanjangan
berasal
dari
segmen
ekspansi
non
infark,
mengakibatan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan dilatasi pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dengan prognosis yang buruk. b. Gangguan hemodinamik Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari 45
infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada roentgen sering dijumpai kongesti paru. c. Syok kardiogenik Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90% ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel. d. Infark ventrikel kanan Sekitar sepertiga pasien
dengan
menunjukkan
nekrosis
sekurang-kurangnya
infark
posteroposterior
ventrikel
kanan
derajat
ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan
yang
berat
(distensi
vena
jugularis,
tanda
Kussmaul’s,
hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi takanan arteri pulmonalis. e. Aritmia pasien pasca STEMI Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset
gejala.
Mekanisme
aritmia
terkait
infark
mencakup
ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan penghambatan konduksi di zona iskemia miokard. f. Ekstrasistol ventrikel Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam mencegah aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum diupayan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2 mmol/liter.
46
g. Takikardi dan fibrilasi ventrikel. Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa tanda bahaya aritmia sebelumnya. h. Komplikasi mekanik - Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventikel. - Penatalaksaan : operasi.
PENCEGAHAN Tidak ada motto yang boleh mengganti ini, “Mencegah lebih baik daripada mengobati”.Ini berlaku untuk siapapun, terlebih pada orang yang mempunyai factor risiko yang tinggi.Prioritas pencegahan terutama dilakukan pada pasien dengan penyakit jantung koroner, penyakit arteri periferi dan ateroscklerosis cerebrovascular.Selain itu, pasien yang tanpa gejala tapi mempunyai risiko tinggi karena banyak factor risiko dan besarnya risiko dalam 10 tahun bakal dapat penyakit kardiovascular yang fatal. Peningkatan salah satu komponen factor risiko seperti cholesterol > 320mg/dl, LDL >240 mg/dl, tekanan darah > 180/110mmhg dan pasien diabetes tipe2 dan tipe 1 dengan mikroalbuminuria. Riwayat keluarga dekat pasien yang mempunyai penyakit kardiovaskular aterosklerotik atau riwayat mati mendadak.Semua yang diatas adalah factor – factor risiko yang menyebabkan penyakit jantung koroner yang memungkin pada pasien. Jadi kita sebagai pelayan medis, harus mencarikan factor risiko yang ada pada pasien dan membantu pasien mencegahkan factor risiko tersebut dengan cara nonfarmakologik dan farmakologik. ACC/AHA merekomendasikan
petunjuk
untuk
untuk
pencegahan
penyakit
kardiovaskular yang ditentukan dari factor risiko yang ada.
47
Panduan pencegahan primer penyakit kardiovaskular dan stroke berdasarkan factor risko. Selain daripada yang diatas, terdapat prevensi sekunder pada individu yang terbukti menderita penyakit jantung koroner adalah upaya untuk mencegah agak ACS itu tidak berulang lagi.Prevensi sekunder itu sangat diperlukan pada individu yang pernah atau sudah terbukti menderita ACS, cenderung untuk mendapat sakit jantung lagi, dan orang yang belum pernah sakit jantung tapi mempunyai kemungkinanya yang besar. Selain itu, individu yang mempunyai proses aterosklerosis pada pembuluh darah organ lain seperti di otak, aorta atau arteri karotis, arteri perifer dll. Oleh sebab itu, pervensi sekunder itu penting supaya tidak menyebabkan ACS nanti.Tabel 5 di bawah adalah intervensi – intervensi yang harus dilakukan pada penderita atau bakal penderita ACS supaya ACS tidak berlaku. Tabel:Intervensi Faktor risiko. Faktor risiko dan Perubahan yang diharapkan Merokok: berhenti total. Tidak terpapar pada lingkungan perokok. Kontrol tekanan darah :
48
Tujuan TD < 140/90 mmHg; <130/80 mmHg pada gangguan gingal atau gagal jantung dan diabetes. Diet : Tujuan : mengkonsumsi makanan yang menyehatkan Pemberian Aspirin : Tujuan: Aspirin dosis rendah pada penderita dengan risiko tinggi kardiovaskular Pengaturan Lipid di Dalam tubuh: tujuan : LDL – C < 160 mg/dl jika factor risiko ≤ 1, LDL < 130 mg/dl jika memiliki ≥ 2 faktor risiko dan risiko CHD 20%, atau LDL – C < 100 mg/dl untuk factor risiko ≥ 2 faktor risiko dimiliki dan memiliki 10% risiko CHD ≥20% atau jika pasien juga terkena diabetes. Aktivitas fizik : Tujuan : aktivatas fizik minimal 30 menit atau aktivitas fizik dengan intensitas sedang setiap hari dalam 1 minggu. Pengaturan Berat Badan Tujuan : mencapai dan mempertahankan berat (BMI 18.5 – 24.9 kg/m 2) Bila BMI ≥ 25 kg/m2, lingkar pinggang ≤ 40 inci pada pria dan ≤ 35 inci pada wanita Pengeloaan Diabetes Tujuan : KGD puasa (< 110 mg/dl) dan HBA1c (<7%) Atrial Fibrilasi Kronik Tujuan : mencapai sinus ritme atau jika muncul atrial fibrilasi kronik, antikoagulan dengan INR 2.0 – 3.0 ( target : 2.5) Pada pasien yang post AMI harusnya diberikan terapi farmakologic supaya moralitas dan rekurrensi boleh diturunkan. Jadi, menurut AHA/ACC, pasien post AMI harus menggunakan Aspirin 75 – 100 mg/day, Beta Blocker supaya denyutan nadi < 60 b.pm. eg. Metoprolol 50 mg 2 kali sehari, ACE – I, eg. Ramipril 2.5mg 2 kali sehari dan mentitrasi sampai dosis yang diinginkan, jika ACE – I tidak ditoleransi oleh pasien, diganti dengan ARB, eg Valsartan 20mg 2 kali sehari.Statin juga digunakan seperti simvastatin 20-80 mg/hari.Clopidogrel 75mg/hari for 9 – 12 bulan harus ditambahin
49
pada pasien yang berisiko sedang – tinggi dan NSTEMI.Aldosterone antagonist eg. Eplerenone 25mg/hari harus diberikan pada pasien post AMI dengan gejala klinis gagal jantung dan ejeksi fraction berkurang.
PROGNOSIS Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan prognosis pasien pasca IMA: Klas I II III IV
Definisi
Mortalitas
Tidak ada tanda gagal jantung kongestif + S3 dan / atau ronkhi basah Edema paru Syok kardiogenik
(%) 6 17 30-40 60-80
Tabel: Klasifikasi Killip pada IMA Penelitian
menunjukkan
bahwa
penderita
yang
simtomatis
prognosisnya lebih baik daripada yang penderita yang asimtomatis. Data saat ini menunjukkan bahwa bila penderita asimtomatis atau dengan simtom ringan, kematian tahunan pada penderita dengan pada satu dan dua pembuluh darah koroner adalah 1,5 % dan kira-kira 6 % untuk lesi pada tiga pembuluh darah koroner. Kalau pada golongan terakhir ini kemampuan latihan (exercise capacity) penderita baik, kematian tahunan adalah 4 % dan bila ini tidak baik kematian tahunannya kira-kira 9 %, karena itu penderita harus dipertimbangkan untuk revaskularisasi.
50
KESIMPULAN ACS adalah penyakit yang gawat dan harus diidentifikasi dan ditangain dengan cepat supaya komplikasi yang lebih parah tidak terjadi.Pada fase awal, ACS itu masih reversible, tapi bila sudah fase lebih lama,infarktidak dapat dikembali ke otot jantung yang normal.Otot jantung tidak dapat pulih dengan sendirinya. Selain itu, faktor – faktor resiko ACS seperti diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, merokok dll dapat menyebabkan lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami kerusakan sehingga terbentuknya plak pada pembuluh darah koroner dan menyempitnya lumen arteri koroner, dan mengurangi
aliran
darah/iskemia
miokard.
Bila
plak
aterosklerotik
mengalami rupture akan menyebabkan ACS. Walaupun cara – cara diagnosis ACS bermacam – macam, setiap dokter harus mengetahui kemampuan dan keterbatasan masing – masing cara tersebut. Untuk membuat suatu diagnosis yang menyeluruh tidak selalu membutuhkan semua pemeriksaan tersebut. Pada penderita, uji latihan jasmani mungkin merupakan pemeriksaan yang sudah mencukupi tetapi pada penderita lain mungkin diperlukan arterigrafi koroner tanpa harus sebelumnya menjalani uji latihan jasmani. Pengobatan ACS ada banyak cara, pengobatan farmakologis, tindakan intervensi kardiologi dan pembedahan. Tetapi yang paling penting kita harus evaluasi apa factor risiko yang ada pada penderita dan menghilangkan risiko itu. Dengan cara modifikasi gaya hidup, mengatasi factor risiko/penyebab agar progresi penyakit dapat dihambat dan rekurensi ACS diminimalisasikan. Tindakan PCI maupun bedah pintas jantung (CABG) dikerjakan sesuai dengan indikasi yang tepat.Dengan kemajuan yang pesat dalam bidang intervensi kardiologi, sebagian kasus ACS yang dulunya harus dilakukan tindakan bedah jantung, sekarang ini dapat diatasi dengan PCI.Saat ini tindakan PCI maupun primary PCI sudah 51
rutin dikerjakan.Pencegahan ACS penting sekali diperhatikan terutama pada kelompok orang dengan risiko tinggi.Pemeriksaan factor risiko harus dimulai sejak umur 20tahun terutama bila ada riwayat keluarga dengan ACS. Seluruh orang dewasa usia di atas 40 tahun harus mengetahui factor risiko dan prediksi besarnya risiko ACS dalam 10 tahun dengan tujuan menurunkan factor risiko sebesar-besarnya. Pasien diabetes atau risiko 10 tahun > 20% dianggap sama pasien ACS.
DAFTAR PUSTAKA Rani A. et al., 2006, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, halaman 63 Fauci A. et al., 2005, Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th edition, p1425 Kumar P and Clark M, 2006, Clinical Medicine 7th Edition, page 743 Brady W. et al. 2012, Acute Coronary Syndrome : 2010 American Heart Association
Guidelines
for
Cardiopulmonary
Resuscitation
and
Emergency Cardiovascular Care, AHA Aroney C. et al. 2006, Guidelines for the management of acute coronary syndromes 2006, National Heart Foundation of Australia. Acute Coronary Syndromes : a national clinical guidelines, 2007, Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Harrisons, Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed, Philadelphia, McGraw Hill, 2000,1387–97. Andra. Sindrom Koroner Akut:Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif?. Majalah Farmacia Edisi Agustus 2006 , Halaman: 54 Sunarya Soerianata, William Sanjaya. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut dengan Revaskularisasi Non Bedah. Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004 R.A. Nawawi, Fitriani, B. Rusli, Hardjoeno. NILAI TROPONIN T (cTnT) PENDERITA SINDROM KORONER AKUT (SKA). Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006: 123-126
52
53