SINTESIS DAN ANALISIS BROMOETANA I. TUJUAN 1. Memahami proses reaksi halogenasi. 2. Membuat bromoetana dari reaksi halogenasi etanol dengan NaBr. 3. Menghitung efisiensi proses pembuatan bromoetana.
II. DASAR TEORI A. Pengertian Halogenalkana Halogenalkana adalah senyawa-senyawa dimana ada satu atau lebih atom hidrogen pada sebuah alkana yang digantikan oleh atom-atom halogen (fluor, klor, brom atau (5) iod). Contoh:
1. Jenis-jenis halogenalkana Halogenalkana terdiri dari beberapa kelompok yang berbeda tergantung pada bagaimana posisi atom halogen dalam rantai atom karbon. Ada beberapa perbedaan sifat kimia antara berbagai jenis halogenalkana. a. Halogenalkana primer Pada halogenalkana primer (1°), atom karbon yang membawa atom halogen hanya (5) berikatan dengan satu gugus alkil lainnya. Beberapa contoh halogenalkana primer antara lain sebagai berikut:
Terdapat pengecualian dalam hal ini, yakni CH 3Br dan metil halida lainnya seringkali ditemukan sebagai halogenalkana primer walaupun tidak ada gugus alkil yang terikat (5) pada atom karbon yang membawa halogen.
b. Halogenalkana sekunder Pada halogenalkana sekunder (2°), atom karbon mengikat halogen juga berikatan langsung dengan dua gugus alkil yang lain, yang bisa sama atau berbeda. Contoh:
Hal 1
c. Halogenalkana tersier Pada halogenalkana tersier (3°), atom karbon yang mengikat halogen berikatan langsung dengan tiga gugus alkil, yang bisa merupakan kombinasi dari gugus akil (5) yang sama atau berbeda. Contoh:
2.
Sifat-sifat Fisik Halogenalkana
a. Titik didih Tiga halogenalkana yang memiliki titik didih di bawah suhu kamar (sekitar 20°C) yaitu CH3Cl, CH3Br, dan CH3CH2Cl. Ketiga halogenalkana tersebut akan berwujud gas pada suhu kamar sedangkan lainnya kemungkinan ditemukan dalam wujud cair. Perlu diingat bahwa: satu-satunya metil halida yang berwujud cair adalah iodometana; kloroetana merupakan sebuah gas.
Titik didih senyawa halogenalkana semakin berkurang dari halogenalkana primer ke halogenalkana sekunder ke halogenalkana tersier. Penurunan titik didih ini adalah akibat dari menurunnya efektifitas gaya-gaya dispersi. Contoh-contoh di bawah ini (5) menunjukkan perbandingan dari titik didih pada isomer-isomer halogenalkana.
b. Gaya-gaya dispersi Van Der Waals Gaya tarik ini menjadi lebih kuat apabila molekul lebih panjang dan memiliki lebih banyak elektron. Ini dapat meningkatkan besarnya dipol-dipol sementara yang terbentuk. Inilah sebabnya mengapa titik didih meningkat apabila jumlah atom karbon dalam rantai meningkat. Mari kita ambil contoh untuk tipe halida tertentu, misalnya klorida. Gaya-gaya dispersi akan menjadi semakin kuat apabila jumlah atom karbon semakin bertambah dalam rantai (misalnya dari 1 menjadi 2, 3 dan seterusnya). Dibutuhkan lebih banyak energi untuk mengatasi gaya dispersi tersebut, sehingga titik didih meningkat. Semakin meningkatnya titik didih dari klorida ke bromida sampai ke iodida (untuk jumlah atom karbon tertentu) juga disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah elektron yang menimbulkan gaya dispersi yang lebih besar. Sebagai contoh, terdapat lebih banyak elektron dalam iodometana dibanding yang terdapat dalam klorometana.
Hal 2
c. Gaya tarik dipol-dipol Van Der Waals Ikatan karbon-halogen (selain ikatan karbon-iodin) bersifat polar, karena pasangan elektron tertarik lebih dekat ke atom halogen dibanding ke atom karbon. Ini disebabkan karena halogen (kecuali iodin) lebih elektronegatif dibanding karbon. d. Kelarutan halogenalkana Halogenalkana sangat sedikit larut dalam air. Agar halogenalkana bisa larut dalam air, maka gaya tarik antara molekul-molekul halogenalkana harus diputus (gaya dispersi van der Waals dan gaya-tarik dipol-dipol) demikian juga dengan ikatan hidrogen antara molekul-molekul air. Pemutusan kedua gaya tarik ini memerlukan energi. Energi akan dilepaskan apabila gaya tarik terbentuk antara halogenalkana dengan molekul-molekul air. Energi yang terlibat tidak cukup banyak sehingga halogenalkana hanya sedikit larut dalam air. Halogenalkana cenderung larut dalam pelarut organik karena gaya tarik antarmolekul yang baru terbentuk memiliki kekuatan yang sama dengan kekuatan ikatan yang diputus dalam halogenalkana dan pelarut. e. Kereaktifan halogenalkana Agar zat lain bisa bereaksi dengan halogenalkana, maka ikatan karbon-halogen harus diputus. Karena pemutusan semakin mudah dilakukan semakin ke bawah (mulai dari fluoride sampai iodin), maka senyawa-senyawa semakin ke bawah golongan halogen akan semakin reaktif. Iodoalkana merupakan halogenalkana yang paling reaktif dan fluoroalkana merupakan yang paling tidak reaktif. Sebenarnya, kereaktifan fluoroalkana sangat kecil sehingga bisa diabaikan dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya. Salah satu reaksi penting yang dialami oleh halogenalkana melibatkan penggantian halogen oleh sesuatu yang lain, yaitu reaksi substitusi. Reaksi-reaksi ini melibatkan salah satu dari mekanisme berikut: Ikatan karbon-halogen terputus menghasilkan ion positif dan ion negatif. Ion yang memiliki atom karbon bermuatan positif selanjutnya bereaksi dengan sesuatu yang bermuatan negatif (baik negatif penuh maupun negatif parsial). Sesuatu yang bermuatan negatif penuh atau parsial tertarik ke atom karbon yang sedikit bermuatan positif dan melepaskan atom halogen. Kereaktifan ditentukan oleh kekuatan ikatan yang harus diputus, memutus sebuah ikatan karbon-fluorin adalah hal yang cukup sulit, akan tetapi untuk memutus ikatan karbon-iodin adalah hal yang mudah.
3. Pembuatan Halogenalkana Halogenalkana bisa dibuat dari reaksi antara alkena dengan hidrogen halida, akan tetapi halogenalkana lebih umum dibuat dengan cara mengganti gugus -OH pada sebuah alkohol dengan atom halogen. Pembuatan halogenalkana dari alkohol dengan menggunakan hidrogen halida bisa dituliskan dengan reaksi umum sebagai (6) berikut: (1) Dengan X adalah unsur golongan halogen (F,Cl,Br,I)
Hal 3
B. Bromoetana. Bromoetana seperti senyawa-senyawa halogenalkana lain bersifat reaktif sehingga dapat bereaksi dengan banyak senyawa lain menghasilkan bermacam-macam produk senyawa organic seperti alcohol, alkena, eter, ester, asam karboksilat, dan lain sebagainya. Bromoetana biasanya digunakan di laboratorium sebagai pereaksi dalam pembuatan bahan-bahan kimia organik yang lain yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam bidang.
1.
Sifat fisik dan Kimia Bromoetana
Tabel 1. Sifat Kimia dan Fisik dari Bromoetana. Bromoetana Etil bromida CH3CH2Br
Nama IUPAC Nama Trivial Rumus Rumus bangun
H 3C
o
Br
1,46 g/ml 108,97 g/mol
Densitas (20 C) Mr o
Cair
Bentuk (20 C)
o
Tekanan uap (20 C)
(4)
Warna Bau Titik cair Titik didih
Tidak berwarna Seperti eter o -118 C o 37-39 C
Titik nyala Kelarutan dalam o air (20 C) Kategori bahaya
-20 C 9 g/L
o
Mudah terbakar, beracun, dan karsinogenik
510 HPa
2. Pembuatan Bromoetana Bromoetana dapat dihasilkan dari reaksi etanol dengan sebuah campuran antara natrium bromida dengan asam sulfat pekat. Pencampuran antara natrium bromida dengan asam sulfat pekat ini akan menghasilkan hidrogen bromida yang bereaksi (6) dengan alkohol. H2SO4 + NaBr
NaHSO4 + HBr
(2) (3)
Teknis pembuatannya dapat dilakukan dengan menambahkan Asam sulfat pekat secara perlahan ke dalam campuran natrium bromida dengan etanol dalam sebuah labu didih disertai dengan pengadukan kuat yang dilakukan pada suhu dingin (5-10 o C). Untuk menyempurnakan proses reaksi dilakukan proses refluks (proses pemanasan dengan mengalirkan kembali uap yang terbentuk ke dalam labu didih). Untuk memisahkan bromoetana yang terbentuk dengan komponen lainnya dapat o dilakukan dengan proses destilasi pada suhu 60 C (proses pemanasan dengan labu didih yang dihubungkan dengan kondensor dimana destilat yang terbentuk dialirkan ke labu penampung). Proses destilasi dilakukan sampai tidak ada lagi tetesan o bromoetana yang terbentuk saat proses pada suhu 60 C. Bromoetana memiliki titik didih yang rendah tapi lebih padat dari air dan hampir tidak larut di dalam air. Untuk mencegah terjadinya penguapan, bromoetana disimpan dalam wadah yang berisi air (di bawah air) yang dikelilingi dengan es.
Hal 4
3. Pemurnian bromoetana Zat pengotor dalam bromoetana mencakup: Natrium bromida (walaupun kebanyakan dari zat ini akan larut dalam air jika boromoetana disimpan di bawah air), bromin - berasal dari oksidasi ion-ion bromida dengan asam sulfat pekat, sulfur dioksida - terbentuk ketika asam sulfat pekat mengoksidasi ion-ion bromida, etanol yang tidak bereaksi, etoksietana (dietileter) terbentuk melalui sebuah reaksi sampingan antara etanol dan asam sulfat pekat.
Tahapan Pemurnian dari bromoetana adalah sebagai berikut: 1. Jika bromoetana telah terkumpul di bawah lapisan air, pindahkan isi labu penampung tersebut ke sebuah corong pisah. Atau langsung memasukkan bromoetana tidak murni ke dalam corong pisah, tambahkan sedikit air lalu dikocok. Tungkan cairan dan biarkan lapisan bromoetana tetap berada dalam corong. Cairan yang dibuang tersebut hampir semua kandungannya adalah hidrogen bromida, dan cukup banyak bromin, sulfur dioksida dan etanol yang tertinggal sebagai zat pengganggu kemurnian. 2. Untuk mengeluarkan semua zat asam pengotor yang masih tersisa (termasuk bromin dan sulfur dioksida), kembalikan bromoetana ke corong pisah dan kocok dengan larutan natrium karbonat atau natrium hdrogenkarbonat. Larutan ini akan bereaksi dengan asam apapun yang ada melepaskan karbon dioksida dan membentuk garam-garam yang dapat larut. Pisahkan dan simpan lapisan bromoetana di bagian bawah seperti prosedur sebelumnya. 3. Sekarang cuci bromoetana dengan air dalam sebuah corong pisah untuk menghilangkan zat-zat organik pengotor yang masih tersisa (larutan natrium karbonat berlebih, dll). Kali ini, pindahkan lapisan bromoetana di bagian bawah ke sebuah tabung uji yang kering. 4. Tambahkan beberapa kalsium klorida anhidrat ke dalam tabung, kocok dengan baik dan biarkan beberapa lama. Kalsium klorida anhidrat merupakan sebuah agen pengering dan menghilangkan air yang tersisa. Zat ini juga menyerap etanol, sehingga setiap etanol yang tersisa juga akan dihilangkan (tergantung pada berapa banyak kalsium klorida yang digunakan). 5. Pindahkan bromoetana kering ke sebuah labu distilasi dan kemudian lakukan distilasi dalam beberapa faksi, kumpulkan apa yang terdistilasi ke atas pada suhu antara 35-40°C. Pada prinsipnya, prosedur ini akan menghilangkan semua zat pengotor organik yang masih tersisa. Namun pada prakteknya, etoksietana (yang merupakan zat pengotor yang paling mungkin tertinggal pada tahap ini) memiliki titik didih yang sangat mirip dengan titik didih bromoetana. Anda tidak mungkin mampu untuk memisahkan keduanya. Jika masih ada etanol tersisa yang belum diserap oleh kalsium klorida, maka sudah pasti bisa dihilangkan karena titik didihnya jauh lebih tinggi dibanding bromoetana.
Hal 5
4. Analisis Bromoetana Analisis bromoetana meliputi analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi analisis warna, massa jenis dan kelarutan bromoetana dalam air (bromoetana lebih berat dari air dan tidak bercampur dengan air). Sedangkan analisis kuantitatifnya meliputi perhitungan berat bromoetana yang dihasilkan dan nilai efisiensi prosesnya. Nilai efisiensi proses dapat dicari dengan persamaan berikut.
() III. ALAT DAN BAHAN Alat alat yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut: 1. Satu set rangkaian alat refluks dan destilasi (lihat Gambar 2 dan 3). 2. Neraca 3. Kaca arloji 4. Spatula 5. Corong pemisah 6. Botol timbang 7. Pipet tetes 8. Botol semprot
Keterangan: 1. Labu
leher
3
tempat
reaksi
berlangsung. 2. Termometer. 3. Corong pemisah yang berisi H 2SO4 pekat. 4. Batang pengaduk. 5. Bejana yang berisi es batu, yang digunakan
untuk
mendinginkan
suasana proses reaksi.
Gambar 1. Proses Pencampuran Etanol, NaBr, dan H 2SO4 pekat yang dilakukan o
pada suhu dingin (5-10 C)
Hal 6
Keterangan: 1. Kompor listrik 2. Labu didih 250 mL 3. Selang aliran air pendingin 4. kondensor. 5. Penjepit tabung. Gambar 2. Rangkaian Alat Proses Refluks.
Gambar 3. Rangkaian Alat Proses Destilasi Bromoetana. Keterangan: 1. Labu didih
4. Statip
2. Adaptor.
5. Pendingin
3. Termometer
6. Adaptor 7. Erlenmeyer penampung destilat yang di isi air suling. Hal 7
Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut: 1. Kristal NaBr 2. Etanol 96 % 3. H2SO4 pekat 4. Es Batu. 5. Air suling.
IV. LANGKAH PERCOBAAN 1. Dimasukkan 15,06 gram NaBr dan 20 ml air suling ke dalam labu leher tiga 250 ml, diaduk hingga larut, kemudian ditambahkan 9 ml etanol 96 %. 2. Larutan campuran dalam labu didinginkan hingga suhu 5-10
o
C dengan
menempatkan labu pada wadah berisi es batu (Gambar 1). 3. Ditambahkan 7,8 ml H 2SO4 pekat yang ditambahkan perlahan melalui corong pemisah sambil terus diaduk agar reaksi merata dan tetap menjaga suhu agar o
tetap berada di bawah 10 C. 4. Alat dirangkai seperti pada Gambar 2. 5. Dilakukan proses refluks selama 30 menit dengan diberi beberapa butir batu didih, dan dijaga proses pemanasannya agar tidak ada uap yang terlepas. Setelah proses refluks selesai, larutan didinginkan. 6. Alat dirangkai seperti pada Gambar 3. 7. Erlenmeyer 100 ml yang digunakan sebagai penampung destilat diisi air hingga ujung pipa adaptor tercelup sebagian. o
8. Dilakukan proses destilasi dengan suhu uap destilat sekitar 60
C.
bromoetana yang terbentuk tidak larut dalam air dan memiliki massa jenis yang lebih berat dari air sehingga terletak di dasar erlenmeyer penampung. 9. Bromoetana yang terbentuk dipisahkan dari air dan dipindahkan dengan pipet tetes ke dalam botol timbang yang telah diketahui bobot kosongnya. 10. Bromoetana yang dihasilkan ditimbang bobotnya dan dihitung nilai efisiensi prosesnya.
V. DATA HASIL PERCOBAAN Berikut ini adalah data-data yang diperoleh dari hasil percobaan. Massa kristal NaBr
: 15,06 gram
Volume etanol 96 %
: 9 ml
Volume H2SO4 pekat
: 7,8 ml
Bobot bromoetana
: 0,099 gram
Hal 8
Pengamatan fisik: Terbentuk cairan yang tidak larut dalam air tidak berwarna dan memiliki berat jenis yang lebih besar dari pada air (berada di bawah air) seperti terlihat pada Gambar 4.
Keterangan: 1. Air. 2. Cairan destilat yang terbentuk.
Gambar 4. Bromoetana Hasil Destilasi
VI. PENGOLAHAN DATA Perhitungan Nilai Efisiensi proses pembuatan Bromoetana 1.
Perhitungan Mol Natrium Bromida
⁄ ⁄ 2.
Perhitungan Mol Etanol
⁄ ) (
Hal 9
3.
Perhitungan Mol Bromoetana
CH3CH2OH +
HBr
CH3CH2Br
+
H2O
0,1519
0,1464
-
0,1464
0,1464
0,1464
0,1464 (mol) Bereaksi
0,0055
-
0,1464
0,1464
-
(mol) Awal
(mol) Akhir
Berdasarkan reaksi kesetimbangan di atas maka dapat dihitung bahwa mol dari bromoetana yang dihasilkan adalah sebesar 0,1464 mol.
4.
Perhitungan Massa Bromoetana Teoritis
5.
Perhitungan % efisiensi proses pembuatan bromoetana.
VII. PEMBAHASAN Dalam percobaan pembuatan bromoetana kali ini, reaksi yang diharapkan terjadi adalah reaksi antara etanol dengan asam bromida, dimana asam bromida yang bereaksi bukanlah senyawa yang ditambahkan secara langsung dalam bentuk HBr melainkan hasil dari reaksi antara natrium bromida dengan asam sulfat pekat sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan Reaksi (2). Reaksi ini disebut sebagai reaksi subtitusi/pergantian gugus alkohol, dimana terjadi pergantian gugus ( –OH) oleh gugus ( –Br) dengan bantuan asam sulfat pekat.
Hal 10
Asam sulfat memiliki fungsi yang sangat penting dalam percobaan ini, H 2SO4 pekat dalam percobaan ini memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Merubah garam bromida menjadi asam bromida sesuai Persamaan Reaksi (2), dan asam bromida yang dihasilkan lalu akan bereaksi dengan etanol membentuk bromoetana. 2. Suatu gugus pergi dalam sebuah reaksi subtitusi seharusnya merupakan gugus yang mudah digantikan. Gugus pergi dari suatu etanol adalah (-OH), sedangkan gugus yang akan menggantikannya adalah ( –Br) yang berasal dari NaBr. Jika dilakukan tanpa adanya asam sulfat pekat, maka reaksi antara etanol dengan NaBr tidak akan terjadi, karena ikatan antara etil (CH 3CH2-) dengan gugus (-OH) lebih kuat dan stabil dari pada ikatan antara etil (CH 3CH2-) dengan (-Br).
(2)
Akan tetapi dengan adanya H 2SO4, maka etanol akan diprotonkan terlebih dahulu +
menjadi etanol terprotonasi yang memiliki gugus pergi (-OH 2 ). Dengan adanya +
perubahan gugus pergi (-OH) menjadi (-OH 2 ) maka reaksi subtitusi etanol baru +
dapat berlangsung, karena gugus (-OH 2 ) lebih mudah lepas dan dapat digantikan posisinya oleh gugus (-Br).
↔ etanol terprotonasi
bromoetana
Reaksi yang terjadi antara alkohol, natrium bromida, dan asam sulfat pekat dapat mengalami berbagai macam reaksi yang berbeda-beda dan hasil yang berbeda pula tergantung dari struktur alcohol yang digunakan (primer/sekunder/tersier), pelarut (3) yang digunakan, konsentrasi zat, dan suhu reaksi. Proses reaksi pembuatan o bromoetana dilakukan pada suhu rendah/dingin, yaitu pada suhu 5-10 C. Hal ini dilakukan agar reaksi yang terjadi cenderung kearah reaksi subtitusi pembuatan bromoetana. Percobaan pembuatan bromoetana seringkali gagal bila suhu reaksi tidak dilakukan pada suhu rendah, karena semakin tinggi suhu reaksi maka reaksi yang terjadi akan semakin cenderung kearah reaksi eliminasi dari etanol yang menghasilkan etena, bukan ke arah reaksi subtitusi alkohol yang menghasilkan (3) bromoetana. Reaksi pembuatan senyawa halogenalkana seringkali mengalami beberapa reaksi samping. Beberapa reaksi samping yang dapat terjadi dalam percobaan ini adalah sebagai berikut.
Hal 11
1. Reaksi antara alkohol dengan asam sulfat pekat juga dapat menghasilkan ester sulfat monoalkil atau dialkil. Reaksi etanol dengan asam sulfat pekat pada suhu 0 o
C akan menghasilkan etil hydrogen sulfat (ester sulfat monoalkil), dietil sulfat
(ester sulfat dialkil), dan air.
(3)
Ester sulfat monoalkil yang dihasilkan dapat tersubtitusi lebih lanjut oleh etanol menghasilkan eter.
(2)
→ atau akan bereaksi lebih lanjut menghasilkan etena dengan adanya proses (2)
pemanasan.
→ 2. Reaksi etanol dengan asam sulfat pekat pada suhu 140 dietileter dan air.
o
C akan menghasilkan
(3)
3. Reaksi etanol dengan asam sulfat pekat pada suhu 170 etena dan air.
o
C akan menghasilkan
(3)
4. Reaksi samping lainnya adalah oksidasi dari etanol oleh asam sulfat atau oleh gas -
Br2, gas Br2 terbentuk dari oksidasi ion Br oleh asam sulfat).
(2)
Dalam percobaan ini proses pemurnian bromoetana dilakukan dengan proses destilasi. Proses destilasi dilakukan untuk memisahkan bromoetana yang terbentuk sebagai hasil reaksi, dari zat-zat lain yang merupakan sisa pereaksi atau hasil reaksi yang tidak diinginkan, sehingga dapat diperoleh bromoetana dalam keadaan murni yang terpisah dari zat lainnya. Suhu pemisahan dilakukan pada suhu uap maksimum o
60 C. hal ini berdasarkan pertimbangan titik didih dari larutan yang mungkin ada pada labu didih baik sebagai sisa pereaksi atau hasil reaksi, sebagaimana tercantum pada Tabel 2.
Hal 12
Tabel 2. Data Titik Didih Beberapa Zat Pereaksi Dan Hasil Reaksi Yang Mungkin Terdapat Pada Percobaan Dibandingkan Dengan Bromoetana. Nama Zat
Titik Didih
Kelarutan dalam air
Cara pemisahan dari Bromoetana
Etanol (C2H5OH)
78.3 °C
larut
Destilasi
Asam sulfat (H2SO4)
310 °C
Larut
Destilasi
Asam Asetat (CH3COOH)
116 - 118 °C
Larut
Destilasi
Bromine (Br2)
58.8 °C
35.5 g/l (20 °C)
Ekstraksi dengan NaHCO3
Bromoetana(C 2H5Br)
37 - 39 °C
9 g/l (20 °C)
dietileter(CH3CH2)2O
34.6 °C
69 g/l (20 °C)
-
Dari tabel 2. di atas dapat kita ketahui bahwa dengan proses destilasi pada suhu 60 o
C, bromoetana dapat di pisahkan dari sebagian besar pereaksi sisa dan zat hasil o
reaksi yang memiliki titik didih lebih dari 60 C, sehingga bromoetana yang ada akan menguap dan meninggalkan pengotor yang ada pada labu didih, kecuali pengotor yang memiliki titik didih mendekati bromoetana seperti bromine dan dietileter. Melalui proses destilasi ini bromoetana yang dihasilkan sudah cukup murni akan tetapi jika dikehendaki bromoetana yang lebih murni lagi dan benar-benar bebas pengotor, maka dapat dilakukan proses pemurnian lebih lanjut yang diantaranya dapat dilakukan dengan cara ekstraksi dengan air dan proses pengeringan. Untuk memastikan bahwa destilat yang dihasilkan adalah bromoetana maka dilakukan uji kualitatif pada destilat yang dihasilkan. Uji kualitatif yang dilakukan meliputi warna, massa jenis, dan kelarutan bromoetana dalam air. Dalam percobaan ini destilat yang terbentuk berupa cairan tidak berwarna, berada di bawah lapisan air, dan tidak larut atau terpisah dalam air (lihat Gambar 4). Destilat hasil percobaan berupa cairan tidak berwarna dan memiliki kerapatan yang lebih besar dari air, hal ini dapat dilihat dari posisi cairan yang berada di bawah lapisan permukaan air pada Erlenmeyer penampung. Hal ini dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk bahwa zat destilat yang dihasilkan adalah bromoetana. Bromoetana seperti zat halogenalkana lainnya memiliki sifat yang sedikit berbeda dengan senyawa organik lain pada umumnya berdasarkan kerapatannya. Adanya massa sebuah atom halogen kecuali fluor (dalam hal ini adalah atom Br) yang lebih berat dibandingkan dengan atom karbon atau hidrogen membuat nilai kerapatannya lebih besar dari senyawa organik lain yang sepadan pada umumnya, dan juga dari
Hal 13
air. Dalam literatur mengenai sifat fisik dan kimia bromoetana disebutkan bahwa (4)
kerapatan bromoetana murni adalah sebesar 1,46 g/ml . Sayangnya nilai kerapatan destilat yang diperoleh tidak dapat ditentukan karena jumlahnya yang terlalu sedikit sehingga tidak mencukupi untuk ditentukan nilai kerapatannya. Akan tetapi posisi cairan yang lebih berat dari air sudah cukup untuk membuktikan secara kualitatif bahwa destilat yang dihasilkan adalah bromoetana. Destilat yang dihasilkan memiliki sifat tidak larut atau tidak bercampur dengan air. Hal ini juga dapat dijadikan petunjuk tambahan bahwa destilat yang dihasilkan adalah bromoetana, karena sifat tersebut sesuai dengan sifat bromoetana yang juga merupakan cairan yang tidak larut dalam air. Dalam percobaan sintesis bromoetana kali ini, jumlah bromoetana yang dihasilkan sejumlah 0,099 gram, dengan nilai efisiensi proses pembuatan bromoetana sebesar 0,62 %. Hasil inipun merupakan bromoetana yang masih mengandung pengotor karena tidak mengalami proses pemurnian, sehingga jumlah bromoetana murni yang sebenarnya mungkin kurang dari itu.
Jumlah ini sangat sedikit sekali bila
dibandingkan dengan jumlah bromoetana yang dapat dihasilkan secara teoritis, yaitu sebesar 15,9532 gram. Kecilnya jumlah hasil dan nilai efisiensi proses pembuatan bromoetana dalam percobaan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Reaksi yang terjadi antara etanol, natrium bromida, dan asam sulfat pekat tidak hanya berjalan melalui satu jalur reaksi (reaksi halogenasi etanol membentuk bromoetana) akan tetapi juga dapat mengalami berbagai macam reaksi yang berbeda-beda dan hasil yang berbeda pula, tergantung pada jenis dan konsentrasi senyawa yang direaksikan dan kondisi prosesnya. Adanya reaksi samping yang terjadi membuat reaksi pembentukan bromoetana tidak terjadi 100 %, sehingga jumlah bromoetana yang dihasilkan juga akan kurang dari 100 % tergantung dari seberapa banyaknya bahan yang mengalami reaksi samping sebagaimana telah dibahas di awal pembahasan. 2. Adanya bromoetana yang terlepas selama proses refluks dan destilasi. Bromoetana o
murni memiliki titik didih/uap antara suhu 37-39 C. Rendahnya titik didih zat yang dihasilkan membuatnya sangat rentan terhadap penguapan walaupun pada suhu o
ruangan (± 29 C) terlebih pada proses yang menggunakan pemanasan seperti pada proses refluks dan destilasi. Kehilangan sejumlah bromoetana berupa uap dapat terjadi pada hal-hal berikut:
Proses refluks yang menggunakan suhu tinggi tanpa proses pendinginan uap yang baik dapat membuat sebagian bromoetana yang dihasilkan menguap ke udara bebas.
Kondisi pemasangan alat proses refluks dan destilasi yang tidak tepat/pas terutama pada sambungan rangkaian alat juga dapat membuat uap bromoetana
Hal 14
dapat lolos dan keluar ke udara bebas melalui celah saat proses refluks atau proses destilasi dilakukan.
VIII.
KESIMPULAN
1. Proses halogenasi yang terjadi dalam percobaan ini adalah proses subtitusi/penggantian gugus hidroksil (-OH) yang ada pada senyawa etanol oleh gugus halogen (-Br) yang berasal dari senyawaan halogen (NaBr) dengan bantuan asam sulfat pekat. 2. Bromoetana dapat dibuat dari proses halogenasi etanol, yaitu dengan mereaksikan etanol dengan natrium bromida dengan bantuan asam sulfat o
pekat pada suhu rendah (5-10 C). 3. Bromoetana merupakan senyawa organik yang berupa cairan tidak berwarna, memiliki kerapatan yang lebih besar daripada air (berada di bawah lapisan air) dan tidak larut dalam air. 4. Efisiensi proses pembuatan bromoetana pada percobaan ini adalah sebesar 0,62 % dengan berat bromoetana yang dihasilkan dari proses percobaan sejumlah 0.099 gram.
IX. DAFTAR PUSTAKA 1. Putra S., Petunjuk Praktikum Kimia Organik. STTN-BATAN. Yogyakarta. 2009 2. Fessenden, R.J., dkk. Teqniques and Experiments for Organic Chemistry. Brooks Publishing Company. California. 1983. Hal 174-180. 3. Fessenden, R.J., dkk. Kimia Organik Terjemahan Jilid 1 Edisi ke 3. Penerbit Erlangga. Jakarta. 1997. Hal 271 dan 282. 4. _.ChemDAT ® The Merck Chemical Database: Bromoetana. Merck KGaA. Darmstadt. 2006 5. http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/sifat_senyawa_organik/ halogenalkana_haloalkana_atau_alkil_halida_/pengantar_halogenalkana_halo alkana_atau_alkil_halida/ 6. http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/sifat_senyawa_organik/ halogenalkana_haloalkana_atau_alkil_halida_/pembuatan_halogenalkana_hal oalkana_atau_alkil_halida/ Yogyakarta, 4 Juni 2009 Asisten,
Sugili Putra, ST
Praktikan,
Haries Handoyo
Hal 15