INTERFERENSI BAHASA SUNDA DALAM BAHASA JAWA PADA KARANGAN NARASI SISWA ASAL KECAMATAN BANTARKAWUNG KELAS VIII SMP N 1 BUMIAYU
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Hasanudin
NIM 04205241011 04205241011
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA JAWA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2011
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
Cobaan hidup bisa membuat kita jatuh, setelah itu kita yang menentukan akan bangkit atau tetap jatuh….
Persembahan
Karya sederhana ini penulis persembahkan untuk: 1. Ibu dan almarhum bapak tercinta atas segala curahan kasih sayang yang membuatku pantang menyerah, 2. Keluarga besar H. Asro, yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan kasih sayang.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Keberhasilan penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Zamzani, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni. 2. Prof Dr. Endang Nurhayati, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa. 3. Siti Mulyani, M.Hum dan Hardiyanto, M Hum selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang dengan penuh kesabaran telah membimbing dan mencurahkan perhatian, tenaga, waktu, pikiran, dan sarannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 4. Venny Indria Ekowati, S.Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahannya. 5. Bapak dan ibu dosen beserta karyawan Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa yang telah memberikan ilmunya. 6. Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Bumiayu, H. Suripno M. Pd yang telah memberikan izin penelitian. 7. Guru mata pelajaran bahasa Jawa SMP Negeri 1 Bumiayu, Drs. Sumaryati yang telah mendampingi serta memberi waktu untuk penelitian. 8. Ibu, almarhum Bapak, Mbak Yu, adik-adikku dan semua saudara yang tiada henti memberikan dukungan, semangat, kasih sayang, dan doa untuk keberhasilan penulis. 9. Siswa-siswi SMP Negeri 1 Bumiayu, khususnya siswa asal Kecamatan Bantarkawung kelas VIII, yang telah bersedia bekerja sama dalam proses penelitian.
10. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, khususnya angkatan 2004 yang telah memberi dukungan moral, bantuan, dan bersama-sama berjuang selama studi di kampus ini. 11. Rekan-rekan Madawirna angkatan 2005 (fachda, Lelly, Ve, Rencang, Harry, Nick (Alm), Tiwi, Tarno Miun, Dewa dll), yang telah menginspirasiku untuk tetap berusaha. 12. Keluarga besar Madawirna yang telah menjadi tempat berteduh sebagai keluarga kedua ku selama di Jogja. 13. Teman-teman yang selalu memberi semangat, dorongan, dan hiburan. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu sampai terselesaikannya skripsi ini, semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Amin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Yogyakarta, Mei 2011 Penulis
Hasanudin
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN ..........................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................
iv
LEMBAR MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..............................................
v
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xi
ABSTRAK ......................................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................
3
C. Batasan Masalah ...........................................................................
3
D. Rumusan Masalah ..........................................................................
4
E. Tujuan Penelitian ...........................................................................
4
F. Manfaat Penelitian .........................................................................
5
G. Batasan Istilah ................................................................................
5
BAB II KAJIAN TEORI
A. Sosiolinguistik ...............................................................................
7
B. Kontak Bahasa .................................................................................
8
C. Kedwibahasaan ...............................................................................
9
D. Dwibahasawan ...............................................................................
11
E. Interferensi .....................................................................................
12
F. Bidand-bidang Interferensi ............................................................
14
G. Sebab-sebab Terjadinya Interferensi .............................................
23
H. Karangan ........................................................................................ I. Jenis Karangan …………………………………………………...
27 28
J. Penelitian yang Relevan ……………………………………………
30
K. Kerangka Berfikir………………………………………………….
31
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ...............................................................................
34
B. Data Penelitian ..............................................................................
34
C. Sumber Data ...................................................................................
34
D. Pengumpulan Data .........................................................................
35
E. Instrument Penelitian ....................................................................
36
F. Teknik Analisis Data .....................................................................
36
G. Validitas Realibilitas Data..............................................................
37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ..............................................................................
39
B. Pembahasan ....................................................................................
43
1. Jenis Jenis Interferensi Bahasa Sunda dalam Bahasa Jawa ....
43
2. Sebab-Sebab Terjadinya Interferensi Bahasa Sunda dalam Bahasa Jawa ........................................................................................
57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................................
72
B. Implikasi .........................................................................................
73
C. Saran ...............................................................................................
74
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
76
LAMPIRAN ....................................................................................................
78
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Jenis Interferensi Bahasa Sunda Dalam Bahasa Jawa Pada Karangan Narasi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Bumiayu .....................................................
Tabel 2.
39
Sebab-Sebab Terjadinya Interferensi Bahasa Sunda Dalam Bahasa Jawa Pada Karangan Narasi Siswa Asal Kecamatan Bantarkawung Kelas VIII SMP Negeri 1 Bumiayu ...................................................
41
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.
Tabel analisis interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi Siswa kelas VIII asal kecamatan Bantarkawung SMP Negeri 1 Bumiayu
79
Lampiran 2.
Karangan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Bumiayu
88
Lampiran 3.
Surat Izin Penelitian Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Surat Ijin Penelitian Sekretariat Daerah DIY
89
Surat Ijin penelitian KESBANGLINMAS Kabupaten Brebes Surat Ijin Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Brebes Surat Keterangan melakukan Penelitian SMP Negeri 1 Bumiayu
91
Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7.
90
92 93
INTERFERENSI BAHASA SUNDA DALAM BAHASA JAWA PADA KARANGAN NARASI SISWA ASAL KECAMATAN BANATARKAWUNG KELAS VIII SMP NEGERI 1 BUMIAYU
Oleh: Hasanudin NIM: 04205241011
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan jenis dan bentuk interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa kelas VIII SMP N 1 Bumiayu yang berasal dari Kecamatan Bantarkawung. (2) mengetahui sebab-sebab terjadinya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa kelas VIII SMP N 1 Bumiayu yang berasal dari Kecamatan Bantarkawung. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan subjek penelitian karangan siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Bumiayu dari Kecamatan Bantarkawung. Data penelitian ini berupa satuan linguistik bahasa Sunda berupa ejaan, awalan, sisipan, imbuhan serta frase, yang terdapat dalam karangan bahasa Jawa pada karangan siswa asal Kecamatan Bantarkawung. Untuk mengumpulkan data penelitian ini dilakukan dengan teknik baca catat. Membaca secara berulang untuk mengetahui letak keterpengaruhan bahasa Jawa oleh bahasa Sunda dan kemudian mencatat letak keterpengaruhan bidang bahasa tersebut. Analisis data dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Keabsahan data diperoleh melalui reliabilitas data dengan menafsirkan serta menginterpretasikan data secara berulang dalam waktu yang berbeda, validitas data menggunakan pencocokan dengan teori-teori yang ada serta mengkonsultasikan kepada dosen pembimbing. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa asal Kecamatan Bantarkawung. Interferensi tersebut terjadi pada bidang bahasa fonologi, mofologi, serta sintaksis. Terjadinya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa disebabkan oleh faktor kebahasaan (fonologi, morfologi, sintaksis) berupa penggantian fonem bahasa Jawa, penambahan afiksasi bahasa Sunda serta penggunaan konstruksi frase bahasa Sunda dan faktor dari luar kebahasaan berupa kebiasaan-kebiasaan yang menimbulkan adanya pengaruh bahasa Sunda terhadap bahasa Jawa
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
SMP Negeri 1 Bumiayu merupakan salah satu sekolah tingkat pertama yang paling favorit di wilayah Kabupaten Brebes selatan, SMP ini sudah berstandar nasional. Letaknya yang berada di Kecamatan Bumiayu sangat strategis, sehingga membuat sekolah ini diminati oleh siswa-siswa yang akan melanjutkan sekolah tingkat menengah pertama. Siswa-siswa yang berhasil masuk dalam sekolah favorit ini tak jarang berasal dari daerah perbatasan yang berjarak lumayan jauh. Salah satu wilayah di Jawa Tengah yang berada di perbatasan yakni daerah Kecamatan Bantarkawung, meskipun letak geografisnya berada agak jauh dari perbatasan akan tetapi bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda. Kecamatan Bantarkawung berada di antara perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Barat. Fasilitas pendidikan di daerah ini sudah lengkap akan tetapi baru berstatus akreditas atau setara. Untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang berstandar nasional, masyarakat di daerah ini harus menuju Kecamatan Bumiayu yang letaknya berdekatan dengan Kecamatan Bantarkawung. Anak-anak yang melanjutkan
pendidikan (SMP) di luar daerah
Bantarkawung dalam hal ini bersekolah di daerah Kecamatan Bumiayu mengalami kesulitan pada aspek pelajaran bahasa daerah. Para siswa yang
berasal dari Kecamatan Bantarkawung berbahasa ibu bahasa Sunda, kesulitan dalam menerima pelajaran bahasa daerah Kecamatan Bumiayu yang berlatar belakang bahasa Jawa. Bagi siswa asal daerah Bantarkawung pelajaran bahasa daerah (Jawa) dirasa sebagai bahasa kedua setelah bahasa Sunda. Siswa asal Bantarkawung yang sebelumnya belum pernah mendapatkan pelajaran bahasa Jawa di tingkat Sekolah Dasar (SD), selanjutnya akan mendapatkan pelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam proses belajar bahasa Jawa di SMP, siswa asal Bantarkawung mengalami kontak bahasa dikarenakan kaidah antara bahasa Jawa mirip dengan kaidah bahasa Sunda. Kontak bahasa ini memunculkan adanya pengaruh (interferensi) terhadap bahasa dalam hal ini baha sa Jawa oleh bahasa Sunda. Pengaruh bahasa ini frekuensi kemunculannya akan sering terjadi oleh karena pelajaran bahasa Jawa masih dianggap sebagai bahasa kedua. Interferensi bahasa Sunda terhadap bahasa Jawa akan mempengaruhi pemahaman dan penguasaan bahasa Jawa secara utuh pada siswa asal Bantarkawung. Pemahaman akan bahasa Jawa oleh siswa yang berbahasa Sunda akan terpengaruhi oleh kebiasaan pemakaian bahasa Sunda di tempat tinggal mereka, sedangkan bahasa Jawa hanya diperoleh ketika di Sekolah. Perlu waktu yang lama untuk meningkatkan pemahaman
dan penguasaan
kemampuan siswa berbahasa Sunda terhadap bahasa Jawa. Dampak dari interferensi Bahasa Sunda terhadap Bahasa Jawa akan merusak kaidah bahasa Jawa.
Interferensi sendiri dapat timbul dalam berbagai bidang bahasa, gangguan terhadap bahasa Jawa oleh bahasa Sunda terdapat pada bidang bahasa diantaranya pada bidang Fonologi, Morfologi, Sintaksis. Interferensi bidang bahasa ini dapat terjadi dalam bahasa tulis maupun bahasa lisan.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. pelajaran bahasa Jawa dianggap sebagai bahasa kedua daerah perbatasan 2. daerah perbatasan merupakan daerah transisi lintas budaya yang mengalami banyak kesulitan, dalam hal ini budaya berbahasa. 3. dampak interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa akan merusak kaidah bahasa Jawa 4. interferensi dapat timbul dalam berbagai bidang bahasa 5. interferensi dapat terjadi dalam bahasa tulis maupun bahasa lisan.
C. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah 1. interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa kelas VIII SMP N 1 Bumiayu yang berasal dari kecamatan Bantarkawung 2. sebab terjadinya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa kelas VIII SMP 1 Bumiayu yang berasal dari Kecamatan Bantarkawung.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1. bagaimanakah jenis interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa kelas VIII SMP N 1 Bumiayu yang berasal dari Kecamatan Bantarkawung ? 2. bagaimanakah sebab terjadinya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada Karangan narasi siswa kelas VIII SMP N 1 Bumiayu yang berasal dari Kecamatan Bantarkawung ?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah 1. mendeskripsikan jenis dan bentuk interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa kelas VIII SMP N 1 Bumiayu yang berasal dari Kecamatan Bantarkawung. 2. mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa kelas VIII SMP N 1 Bumiayu yang berasal dari Kecamatan Bantarkawung.
F. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah
1. secara teoritis hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan berupa hasil penelitian dalam bidang bahasa (sosiolinguistik), terutama interferensi bahasa . 2. secara praktis hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi pemerhati ilmu bahasa, bahwa di indonesia memiliki kekayaan bahasa yang perlu dijaga agar tetap lestari dengan kaidah bahasanya masing-masing.
G. Batasan Istilah
1. interferensi adalah gangguan, rintangan atau pencampuran kaidah-kaidah suatu bahasa, karena terbawanya kebiasan-kebiasaan ujaran dari satu bahasa ke bahasa lain sewaktu dwibahasawan berbicara atau menulis sebagai akibat penguasaan atas dua bahasa atau lebih. 2. bahasa Jawa merupakan bahasa asli masayarakat Jawa dan merupakan alat komunikasi utama bagi masyarakat Jawa dalam pergaulan sehari -hari. 3. bahasa Sunda adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat Suku Sunda, terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki tatar Sunda. Namun demikian, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap. 4. interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa adalah gangguan, pengaruh atau pencampuran kaidah-kaidah bahasa Jawa dengan kaidah-kaidah bahasa Sunda. Penyimpangan bahasa Jawa dengan bahasa Sunda ini umumnya terjadi pada dwibahasawan bahasa Jawa-Sunda yang sedang
mempelajari bahas Jawa, dalam hal ini bahasa Sunda sebagai bahasa ibu sedangkan bahasa Jawa sebagai bahasa perolehan. 5. karangan narasi adalah karya tulis hasil dari kegiatan seseorang untuk mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami, gagasan yang diungkapkan dalam hal ini yang berkenaan dengan rangkaian peristiwa yang telah dialami penulis.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Sosiolinguistik
Istilah Sosiolinguistik terdiri atas dua unsur, yaitu sosio dan linguistik. Sosio merupakan hal yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok masyarakat dan fungsi kemasyarakatan, sedangkan linguistik adalah ilmu yang mempelajari atau membicarakan unsur-unsur bahasa. Sosiolinguistik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa khususnya perbedaan-perbedaaan (variasi) yang terdapat dalam hal yang berkaitan dengan faktor kemasyarakatan (Nababan, 1984: 2). Sosiolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa yang digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain ( http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiolinguistik ). Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004: 3) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur. Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa. Fungsi-fungsi bahasa dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini berkaitan satu sama lain dalam masyarakat tutur.
Chaer dan Agustina (2004: 2) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa dalam hubungan dengan pengunaan bahasa didalam mas yarakat. Berdasarkan pendapat berbagai tokoh linguistik mengenai deskripsi sosiolinguistik, dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik merupakan bidang ilmu yang mempelajari tentang variasi bahasa yang timbul oleh budaya atau kebiasaan masyarakat dalam menggunakan bahasa.
B. Kontak Bahasa
Kontak bahasa merupakan suatu kontak atau persinggungan dua bahasa ketika dipelajari atau diperoleh baik secara bersamaaan maupun berurutan. Kontak bahasa dapat terjadi dimana saja termasuk dalam masyarakat Jawa yang mempunyai bahasa ibu bahasa Jawa dan yang mengenal bahasa lain. Dalam keadaan seperti itu akan akan terjadi saling pengaruh antar bahasa yang berdampak pada terjadinya alih kode, campur kode, integrasi dan interferensi. Pengertian lain mengenai kontak bahasa dijabarkan oleh Mickey (melalui Suwito, 1982: 34) bahwa kontak bahasa merupakan pengaruh bahasa satu dengan yang lain, baik langsung maupun tidak langsung dan menimbulkan perubahan bahasa yang dimiliki oleh ekabahasawan. Menurut pendapat ini kontak bahasa terjadi karena adanya dua bahasa yang digunakan atau dipelajari secara bersamaan oleh seorang yang menguasi bahasa ibu (b1).
Menurut Weinrich (dalam Chaer dan Agustina 2004: 159) kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Pendapat Weinrich ini menyatakan bahwa kontak bahasa merupakan peristiwa perolehan lebih dari satu bahasa oleh seorang penutur yang diperoleh secara berurutan atau bergantian. Berdasarkan beberapa pendapat dari ahli bahasa di atas, dapat dikatakan bahwa kontak bahasa terjadi apabila terdapat saling pengaruh dari dua bahasa at au lebih yang digunakan secara bersamaan oleh seorang penutur. Berdasarkan pendapat
itu
pula
kontak
bahasa
menimbulkan
adanya
penutur
yang
dwibahasawan dan terjadi dalam konteks sosial. Kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan antara beberapa bahasa yang berakibat adanya pergantian pemakaian bahasa oleh penutur dalam konteks sosial.
C. Kedwibahasaan
Kedwibahasaan merupakan hasil dari adanya kontak dua bahasa atau lebih dari seorang penutur, disebut pula sebagai bilingualisme. Mackey (melalui Chaer, 1995: 112) menyatakan bahwa secara sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan oang lain atau praktek penggunaan bahasa sec ara bergantian dari bahasa satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur. Berdasarkan pendapat tersebut, bilingualisme diartikan sebagai pengguaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulan kesehariannya di masyarakat.
Pendapat yang sama dinyatakan oleh Hartman dan Stonk (melalui Chaer, 1995: 114) yang mendifinisikan bilingualisme adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran. Pendapat tersebut diperkuat dengan pendapat dari Bloomfield (dalam Chaer, 1995: 65) yang mendeskripsikan bilingualisme sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Pendapat ini merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa. Penutur
yang dapat
menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual , dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Bilingualitas adalah kemampuan seorang penutur dalam dua bahasa, hal ini diperkuat oleh pendapat Ervin dan Ogood (dalam Nababan, 1984: 28) yang menyatakan bilingualitas merupakan kemampuan dalam dua bahasa seorang penutur. Pendapat yang sama juga dikemukakan Robert Lado (dalam Hayi, 1985: 7) bilingualitas merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Berdasarkan pendapat dari kedua tokoh bahasa tersebut, bilingualitas dapat disimpulkan sebagai kemampuan sesorang dalam menguasai dua bahasa atau lebih dengan sama baiknya ataupun tidak. Menurut beberapa pendapat di atas mengenai kedwibahasaan yakni segala hal yang berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur dalam pergaulan keseharian di dalam masyarakat. Kemampuan untuk menggunakan dua bahasa oleh seorang penutur disebut sebagai bilingualitas
sedangkan penggunaan dua bahasa atau lebih dari seorang penutur disebut sebagai bilingualisme.
D.
Dwibahasawan
Dwibahasawan menurut Samsuri (1982: 56) merupakan pembicara yang memiliki kebiasaan untuk menggunakan dua bahasa secara bergiliran. Dalam pendapat ini menerangkan seorang pembicara yang menggunakan dua bahasa dengan porsi
sama secara bergantian. Sejalan dengan pendapat ini Mackey
(melalui Chaer, 1995: 112) menambahkan bahwa dwibahasawan merupakan orang yang dapat menggunakan kedua bahasa, yaitu bahasa pertama dan bahasa kedua. Masih dalam pengertian yang sama Hastuti (1989: 1) dalam bukunya berpendapat
bahwa
dwibahasawan
adalah
seseorang
yang
mempunyai
kemampuan menggunakan dua bahasa secara bergiliran. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat Bloomfield (melalui Chaer, 1995: 65) yang menyatakan pengertian dwibahasawan yakni orang yang dapat menguasai dua bahasa dengan sama baiknya. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli bahasa di atas, pengertian dwibahasawan yakni orang yang menguasai dua bahasa dan dapat menggunakan kedua bahasa tersebut secara bergantian dalam berkomunikasi dengan orang lain .
E.
Interferensi
Dampak dari adanya dwibahasa salah satunya adalah interferensi, interferensi menurut Haugen dalam Hastuti (1989: 33) adalah peristiwa kontak bahasa dan bagian-bagian yang rumpang pada setiap bahasa itu saling ditutup oleh bahasa yang berkontak, dan sekaligus penerapan dua buah sistem secara bersamaan pada satu bahasa. Kamarudin (1989: 62) menjelaskan secara singkat mengenai pengertian interferensi yakni pengaruh yang tidak sengaja dari satu bahasa ke bahasa yang lainnya. Interferensi adalah salah satu bukti bahasa pertama berpengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua. Proses penguasan bahasa yang melibatkan transferisasi sehingga tingkat kesamaan atau kemiripan antara bahasa pertama dan bahasa kedua sangat berpengaruh. Oleh karena itu, apabila bahasa pertama dan bahasa kedua mempunyai banyak perbedaan akan menyebabkan adanya alih struktur dan interferensi bahasa. Interferensi dalam bahasa Inggris disebut interference ‘gangguan’. Pada istilah sosiolinguistik Robert Lado (dalam Hayi, dkk, 1985: 8) menyatakan bahwa interfernsi adalah kesulitan yang timbul dalam proses penguasaan bahasa kedua dalam bunyi, kata, atau konstruksi sebgai akibat perbedaan kebiasaan dengan bahasa pertama. Ditambahkan pula oleh Valdman (dalam Hayi, 1985: 8) interferensi merupakan hambatan akibat kebiasaan pemakaian bahasa Ibu dalam penguasaan bahasa kedua yang dipelajari. Selain itu Weinrich (dalam Hayi, dkk, 1985: 8) menyatakan bahwa interferensi merupakan penyimpangan dari norma bahas masing-masing dalam tuturan dwibahasawan sebagai akibat pengenalan dua
bahasa atau lebih. Menurutnya, interfernsi dapat terjadi pada ujaran maupun pada bahasa sebagai sistem.
Menurut pendapat pakar bahasa Soejarwo (1985: 55) menyatakan interferensi merupakan perancuan unsur-unsur kosakata maupun struktur antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain dalam ujaran para dwibahasa. Interferensi, ditambahkan oleh Nababan (1984) merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (2004: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih. Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari (Chaer dan Agustina ,2004: 165)
Alwasilah
(1985:
131)
mengetengahkan
pengertian
interferensi
berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan
yang
disebabkan
oleh
adanya
kecenderungan
membiasakan
pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Interferensi berdasarkan pendapat di atas menerangkan bahwa interferensi berupa pengaruh bahasa dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain baik dari bahasa yang dikuasai terlebih dahulu ataupun bahasa yang sedang dipelajari.
Menurut pendapat pakar bahasa Soejarwo (1985: 55) menyatakan interferensi merupakan perancuan unsur-unsur kosakata maupun struktur antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain dalam ujaran para dwibahasa.
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. kontak
bahasa
menimbulkan
gejala
interferensi
dalam
tuturan
dwibahasawan. 2. interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain 3. unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan dampak negatif.
F. Bidang-bidang Interferensi
Suwito (1983: 55) menerangkan interferensi dapat terjadi dalam semua komponen bahasa, ini berarti bahwa peristiwa interferensi dapat terjadi dalam bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, tata kata dan tata makna. Interferensi pada umumnya meliputi komponen filologi, morfologi, dan sintaksis, serta leksikal. Interfernsi antara bahasa pertama dan bahasa kedua terbagi menjadi interfernsi aktif dan interferensi pasif. Interfrensi aktif adalah interferensi bentuk, pola, dan
arti bahasa pertama kedalam bahasa kedua yang digunakan secara
sengajaatau tanpa ragu-ragu. Interfernsi pasif adalah interferensi bentuk, pola, dan
arti bahasa pertama ke dalam bahasa kedua yang sedang digunakan dengan sikap penutur yang merasa asing atau ragu-ragu. Pada lain pihak Kridalaksana (1974: 27) menerangkan mengenai interferensi yakni studi tentang penyimpangan – penyimpangan kaidah bahasa yang terjadi
pada orang bilingual sebagai akibat penguasaan dua bahasa.
Interferensi dapat terjadi dalam sistem fonologis, sistem gramatikal, sistem leksikal dan sistem semantik suatu bahasa. Pendapat lain mengenai interferensi ditambahkan oleh Alwasilah (1985: 131) interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata dan makna bahkan budaya – baik dalam ucapan maupun tulisan – terutama ketika seseorang sedang mempelajari bahasa kedua. Dalam penelitian ini hanya akan meneliti interferensi bidang bahasa sebagai berikut: 1.
Fonologi
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Laas, (1991: 1) secara garis besar fonologi adalah ilmu suatu sub-disiplin dalam ilmu bahasa atau linguistic yang membicarakan tentang bunyi bahasa . Pendapat serupa yang menguatkan pernyataan tersebut dikatakan oleh Verhaar, Fonologi merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan leksikal dalam bahasa tersebut (Verhaar, 1989: 36). Hal yang sama dinyatakan oleh Mulyani, (2004: 1) yang menyatakan fonologi adalah cabang linguistik yang khusus memepelajari seluk beluk bunyi bahasa.
Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Aspek yang dianalisi dalam fonologi yakni meliputi pelfalan (ucapan) bagi bahasa lisan, ejaan dalam bahasa tulis. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi: 1. Fonetik yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. 2. Fonemik yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tesebut sebagai p embeda. Interferensi fonologi sendiri terjadi apabila fonem-fonem yang digunakan dalam suatu bahasa meneyerap dari fonem-fonem bahasa lain. Menurut Coolsma (1985: 5) abjad bahasa Sunda yang dipinjam dari bahasa Jawa, terdiri dari 18 konsonan. Sesuai dengan urutan dalam abjad Sunda, konsonan iu ditulis dengan huruf latin: h, n, c, r, k,d, t, s, w, l, p, j, y, ny, m, g, b, ng. Huruf-huruf ini semua diucapakan dengan bunyi /a/, ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, ja, ya, nya, ma, ga, ba, nga. Pada huruf Jawa diantara /p/ dan /j/ terdapat /d/. Begitu juga diantara /b/ dan /ng/masih ada /t/. Akan tetapi dwibahasawan bahasa Sunda sering menulis /d/ dengan tanda-tanda yang dalam bahasa Jawa dipergunakan untuk /d/. Begitu pula dengan /t/ dengan tanda-tanda yang dalam bahasa Jawa dipergunakan untuk /t/.
Interferensi fonologi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa terjadi apabila terdapat pengacauan fonem bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa, misalkan pada kata thuthukane (BJ) penutur yang bahasa Sunda yang belajar bahasa Jawa menyebutkan dengan tutukane (BS). Interferensi yang terjadi berupa pengacauan fonem /t/ dengan fonem /t/. 2.
Morfologi
Morfologi merupakan bidang bahasa yang mengkaji atau mempekajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal (Verhaar, 1989: 52). Morfologi merupakan bagian dari linguistik yang berhubungan dengan kajian kata, struktur internalnya dan sebagian maknanya. Pendapat serupa menyatakan morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang bidangnya menyelidiki seluk beuk bentuk kata, dan lemungkinan adanya perubahan golongan dan arti kata yang timbul sebgai akibat perubahan bentuk kata (Ramlan dalam Nurhayati, 2001: 1) bidang kajian dari morfologi diantaranya ialah morfem. Morfem merupakan satuan terkecil dan kata menjadi satuan terbesar dalam morfologi. Morfem sendiri dibagi menjadi dua, yakni morfem terikat dan morfem bebas. Morfem terikat ialah semua afiks dan imbuhan, dalam bahasa Sunda menurut Coolsma (1985: 75) mengenal afiks-afiks sebagai berikut: a) Awalan (prefiks) : n-, ny-, m-, ng-, atau nga-, mang-, di-, ka- atau k-, pa-, pang-, per-, pra-, pri-, pan-, ba- dan sa-. Contoh : Awalan ba- + gilir ‘ganti’ menjadi bagilir ‘bergantian’ Awalan ny- + cokot ‘gigit’ menjadi nyokot ‘menggigit’
b) Sisipan (infiks) : -um-, -ar-, atau -al-, dan -in-. Contoh : Geulis ‘cantik’ + sisipan –um- menjadi gumeulis ‘merasa cantik’ Mandi + sisipan –ar- menjadi marandi ‘pergi mandi’ c) Akhiran (sufiks) : -an, -keun, -na, -ing, dan –eun, dipakai sendiri atau dikombinasikan Contoh : Cacing + akhiran –an menjadi cacingan ‘terkena penyakit cacing’ Lempeng ‘ lurus’+ akhiran –keun menjadi lempengkeun ‘ luruskan’ Menurut Nurhayati dan Mulyani ( 2006: 71-86) dalam bahasa Jawa mengenal afiks-afiks sebagai berikut : a) Awalan : N-, di-, tak-, kok-, ma-, mer-, ka-, ke-, a-, aN-, sa-, paN-, pi-, pra-, kuma-, kapi-, kami-, tar- . Contoh : ater-ater dak + pangan ‘makan’ menjadi dakpangan ‘saya makan’ ater-ater ‘a’ + klambi ‘baju’ menjadi aklambi ‘berbaju’ b) Sisipan : -um-, -in-, -el-, dan –er-. Contoh : Tulis + seselan -in- menjadi tinulis ‘ditulis’ Kendel ‘berani’ + seselan -um- menjadi kumendel ‘berlagak berani’ c) Akhiran : -i, -ake, -a, -en, -na, -ana, -an, d an –e. Contoh : Tulis + panambang –en menjadi tulisen ‘tulislah’
Jaran ‘kuda’ + panambang –an menjadi jaranan ‘kuda-kudaan’ d) Konfiks : ka- / -an, ke- / -an, ke- / -en, N- / -i, N- / -ake, n- / -na, pan- / -an, paN-/ -e, pa- / -an, pi- / -an, pra- / -an, tak- / -ane, tak- / -e, tak- / -i, tak- / na, tak- / -ana, tak- / -a, kok- / -i, kok- / -ake/ , kok/ -ke, kok- / -a, kok- / na, kok- / -ana, di- / -i, di-/ -ake, kami- / -en, kami- / -an, sa- / -e, -in-/ -an Contoh : Ater-ater pa- + siram ‘mandi’ + panambang –an menjadi pasiraman ‘tempat mandi’. Ater-ater ke- + kuning + panambang –en menjadi kekuningen ‘terlalu kuning’. Interferensi morfologi terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada bidang morfologi misalnya terjadi penyerapan afiks –na (BS), sebagai contoh pada kata bukuna ‘bukunya’ , rambutna ‘rambutnya’ , segana ‘nasinya’. Bentukan-bentukan dengan afiks seperti itu sebenarnya tidak perlu, sebab untuk mengungkapkan konsep tersebut telah ada padanannya dalam bahasa Jawa yaitu afiks –ne atau –e. Contoh di atas dapat diganti dengan afiks –ne / e sehingga bentuknya menjadi bukune ‘bukunya’ , klambine ‘bajunya’, rambute ‘rambutnya’, segane ‘nasinya’. 3.
Sintaksis
Sintaksis merupakan cabang tata bahasa yang membicarakan seluk beluk penggunaaan kata dengan kata menjadi frase, klausa maupun kalimat. Bidang kajian sintaksis sendiri meliputi tiga hal yakni kalimat, klausa dan
frase. Menurut Adi Sumarto (1985: 40) sintaksis atau tata kalimat merupakan cabang tata bahasa yang membicarakan seluk beluk penggunaan kata dengan kata menjadi frase, klausa, maupun kalimat. Tata bahasa maupun tata kalimat itu bersifat khusus yaitu bahwa tiap bahasa
mempunyai
sistem
tersendiri.
Selain
itu,
tata
kalimat
juga
menggunakan sifat universal bahasa misalnya terdiri atas gabungan kata, menggnunakan intonasi. Setiap kalimat terikat alat hubungan sintaksis yaitu urutan kata, bentuk kata, dan intonasi (Adi Sumarto,1985: 40). Kalimat merupakan satuan tuturan yang dipandang sempurna, berpola subjek-predikat dan kadang-kadang ditambah objekdan keterangan. Kalimat dikelompokkan menjadi dua yakni kalimat tunggal dan kalimat majemuk (Cook dalam Tarigan, 1983: 58). Unsur bidang sintaksis yang lain yaitu klausa, menurut Ramlan (1987: 89) mendefinisikan klausa sebagai satua gramatikal yang terdiri dari subyek predikat, baik disertai objek atau keterangan dan ataupun tidak disertai. Berbeda dengan pendapat yang disampaikan Cook (dalam Tarigan, 1983: 87) yang mengatakan definisi dari klausa yakni kelompok kata yang hanya mengandung satu predikat. definisi
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut
klausa ialah gabungan kata yang terdiri dari subjek dan predikat
sertadapat ditambahkan keterangan maupun objek. Berdasarkan distribusi unitnya, klausa dapat dilasifikasikan menjadi klausa bebas dan klausa terikat. Klausa bebas yakni klausa yang dapat berdiri sendiri sebagai kalimat yang sempurna (Cook dalam Tarigan, 1983: 87).
Klausa terikat yakni klausa yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat sempurna,hanya mempunyai potensi sebagai kalimat tidak sempurna (Cook dalam Tarigan, 1983: 87). Unsur bidang sintaksis berikutnya yakni frase, menurut Cahyono (1994: 88) frase merupakan gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif, gabungan tersebut dapat rapat maupun renggang. Menurut Cook (dalam Tarigan, 1983: 93) frase merupakan satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih, yang memiliki ciri-ciri klausa. Ditambahkan oleh Ramlan (dalam Tarigan, 1983: 93) frase adalah satuan linguistic ang tidak melampauibatas subyek maupun predikat, dengan kata lainsifatnya prediatif. Berdasarkan tipe sturkturnya frase dapat dibedakan menjadi dua yakni frase eksosentris dan frase endosentris. Frase eksosentris adalah frase yang tidak berhulu, tidak berpusat. Frase endosentris adalah frase yang mempunyai fungsi yang sama dengan hulunya. Interferensi sintaksis bahasa Sunda dalam bahasa Jawa, khususnya pada frase numeralia sering dijumpai pada saat bahasa Jawa dipelajari oleh dwibahasawan misalnya
pada kalimat Adek duwe lima iwak ‘Adik
mempunyai ikan lima’. Pada kalimat tersebut terdapat frase numeralia lima iwak , konstruksi frase tersebut tidak dimiliki oleh kontruksi frase bahasa Jawa, kontruksi tersebut dimiliki oleh kontruksi frase bahasa Sunda. Kontruksi frase pada bahasa Jawa akan tertulis menjadi iwak lima ‘ikan lima’, interferensi ini
terjadi dikarenakan oleh kebiasan dwibahasawan yang memiliki bahasa pertama bahasa Sunda, dan kemudian mempelajari bahasa Jawa. 4. Interferensi Leksikal
Leksikal mengkaji pula mengenai leksikon, leksikon suatu bahasa merupakan perbendaharaan kata suatu bahasa / kosakata . lebih jelas lagi arti leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam suatu bahasa (Adi Sumarto, 1985: 43).
Intereferensi leksikal sendiri terjadi apabila terdapat pengacauan kosakata antara bahasa pertama ke dalam bahasa kedua, penyerapan kosakata dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua. Interferensi leksikal, harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau integrasi telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi belum dapat diterima sebagai bagian bahasa kedua. Masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat mengganggu. Interferensi leksikal bahasa Sunda dalam bahasa Jawa dapat dijumpai pada pemakaian bahasa Sunda, seperti kata panto ‘pintu’, hade ‘baik, bagus’, lada ‘pedas’, tangkal ‘pohon’ dan lain-lain.
G. Sebab-Sebab Terjadinya Interferensi
Menurut Weinrich (via http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com ) selain kontak bahasa, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
1. Kedwibahasaan peserta tutur Kedwibahasaan
peserta
tutur
merupakan
pangkal
terjadinya
interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi. Kedwibahasan peserta tutur menjadi penyebab adanya interferensi dapat dicontohkan dengan seorang penutur yang berdwibahasa akan mengucapkan suatu kosakata dengan gaya bahasa pertama akan tetapi dapat juga menggunakan kosakata dalam bahasa yang sedang dipelajari.
2. Kurangnya pemakaian bahasa penerima Kurangnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa baru cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa baru yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
Contoh kurangnya kesetiaan pemakaian bahasa penerima atau bahasa yang sedang dipelajari yakni penutur yang sedang mempelajari bahasa setelah bahasa ibu sering menggunakan kaidah bahasa ibu ke dalam bahasa yang sedang dipelajari, sehingga menimbulkan percampuran kaidah anatara kedua bahasa. 3. Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi. Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa penerima. Contoh interferensi yang disebabkan oleh hal ini yakni
penggunaan kosakata atau kaidah satu bahasa ke dalam bahasa lain, misalnya dalam bahasa Jawa tidak terdapat kata ‘komunikasi’ (bahasa Indonesia) sehingga dwibahasawan menggunakan kata ‘komunikasi’ meskipun dalam tuturan bahasa Jawa. 4. Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian berkurang. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber. Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima. 5. Kebutuhan akan sinonim Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat
mempunyai
variasi
kosakata
yang
dipergunakan
untuk
menghindari
pemakaian kata secara berulang-ulang. Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi. 6. Prestise bahasa sumber terhadap bahasa yang dipelajari Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsurunsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan. Pada bahasa Sunda untuk menunjukkan pekerjaan yang dilakaukan oleh orang lain digunakan imbuhan –keun, sedangkan dalam bahasa Jawa menggunakan imbuhan –ke, -ake. Dwibahasawan bahasa Sunda dan bahasa Jawa menuturkan hal tersebut dengan imbuhan yang dikuasai terlebih dahulu (bahasa ibu) yang dianggap berprestise dibandingkan dengan bahasa yang sedang dipelajari. 7. Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa
dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadangkadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya. Misalnya penutur yang memiliki dwibahasa bahasa Jawa dengan bahasa Indonensia, menyebutkan kata gawe ‘kerja, membuat’ ( bahasa Jawa) untuk menggantikan kata ‘kerja’ dalam bahasa Indonesia.
H. Karangan
Tarigan (1982: 3) mengatakan bahwa menulis atau mcngarang merupakan
suatu
keterampilan
berbahasa
yang
dipcrgunakan
untuk
berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap rnuka dengan orang Iain. Dalam kegiatan menulis penulis haruslah terampil memanfaatkan struktur bahasa dan kosa kata. Keterampilan menulis tidak akan datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktik yang banyak dan teratur. Karangan adalah hasil dari Inspirasi seseorang yang dituangkan melalui tulisan. Nurdin (2005: 231) mengatakan bahwa karangan adalah bentuk tulisan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarang dalam satu kesatuan tema yang utuh. Pernyataan lain tentang karangan dipaparkan pula dalam (http://id.wikipedia.org/wiki/Karangan) yang mengatakan bahwa karangan
merupakan karya tulis hasil dari kegiatan seseorang untuk mengungkapkan gagasan dan menyampaikanya melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami. Lima jenis karangan yang umum dijumpai dalam keseharian adalah narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan karangan adalah hasil dari inspirasi seseorang yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarang.
I. Jenis-Jenis Karangan
Secara garis besar karanagan dibagi menjadi dua yakni faktawi (non fiksi) dan khayali (fiksi). Karangan faktawi adalah ragam karangan yang bertujuan memberi informasi sesuai dengan fakta senyatanya, sedangkan karangan khayali adalah ragam karangan yang bermaksud menggugah hati pembaca dan merupakan rekaan dari penulis (Gie, 1995: 24). Menurut Sirait (1985: 15) berdasarkan tujuan penulisan, secara tradisional dikenal dengan adanya 4 jenis karangan, yaitu eksposisi (paparan), deskripsi (lukisan), narasi (cerita), dan argumentasi. Adapun penjelasan dari jenis-jenis karangan tersebut sebagai berikut : 1. Eksposisi atau paparan, adalah salah satu jenis karangan yang berusaha untuk menerangkan atau menjelaskan pokok pikiran yang dapat memperluas pengetahuan orang yang membaca uraian tersebut (Sirait, 1985: 15). Karangan ini berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik dengan tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi
pembaca. Untuk memperjelas uraian, dapat dilengkapi dengan grafik, gambar atau statistik. 2. Deskripsi, adalah salah satu jenis karangan yang melukiskan suatu objek sesuai dengan keadaaan sebenarnya sehingga pembaca dapat melihat, mendengar, merasakan, mencium, secara imajinatif apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dicium oleh penulis tentang objek yang dimaksud (Sirait, 1985: 20). Karangan ini berisi gambaran mengenai suatu hal/ keadaan sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan hal tersebut. 3. Narasi, adalah karangan yang berkenaan dengan rangkaian peristiwa yang telah dialami penulis (Sirait, 1985: 24). Pada karangan narasi terdapat peristiwa atau kejadian dalam satu urutan waktu. Pada kejadian itu terdapat pula tokoh yang menghadapi suatu konflik. Ketiga unsur berupa kejadian, tokoh, dan konflik merupakan unsur pokok sebuah narasi. Jika ketiga unsur itu bersatu, ketiga unsur itu disebut plot atau alur. Karangan narasi dapat berisi fakta atau fiksi. Contoh narasi yang berisi fakta: biografi, autobiografi, atau kisah pengalaman. Contoh narasi yang berupa fiksi: novel, cerpen, cerbung, ataupun cergam. 4. Argumentasi, adalah karangan yang mengemukakan apa yang harus diterima dan apa yang harus ditolak (Sirait, 1985: 27). Karangan ini bertujuan membuktikan kebenaran suatu pendapat/ kesimpulan dengan data/ fakta sebagai alasan/ bukti. Dalam argumentasi pengarang mengharapkan pembenaran pendapatnya dari pembaca.
J. Penelitian yang Relevan
Sepanjang pengetahuan penulis terdapat penelitian yang relevan atau berkaitan dalam interfrensi bahasa Sunda terhadap bahasa Jawa. Adapun penelitian tersebut berjudul Interferensi Bahasa Sunda dalam Bahasa Jawa pada Karangan Siswa kelas II SLTP N 2 Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap. Penelitian tersebut mendeskripsikan jenis-jenis interfernsi, menghitung frekuensi kemunculan setiap jenis interferensi, serta mendeskripsikan secara tekstual mengenai terjadinya interferensi. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa interferensi terjadi pada 4 bidang bahasa, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, serta leksikal. Berdasarkan data yang diperoleh frekuensi dari masing-masing bidang fonologi 20,23%, morfologi 29,07%, sintaksis 1,83 %, leksikal 48, 82 %. Secara tekstual interferensi fonologi dapat terjadi karena tidak terdapatnya fonem dh dan th pada bahasa Sunda. Bidang morfologi menunjukkan perbedaan pembentukan kata jadian antara bahasa Sunda dengan bahasa Jawa. Bidang sintaksis terdapat perbedaan pembentukan konstruksi frase bilangan atau numeralia. Bidang leksikal dapat terjadi karena leksikon bahasa Sunda dengan bahasa Jawa banyak memiliki kemiripan. Penelitian relevan lainnya terdapat pada Judul penelitian Analisis Kesalahan Berbahasa Jawa Sebagai Bahasa Kedua Mahasiswa Jawa Barat di Mrican Yogyakarta. Penelitian tersebut mendsekripsikan kesalahan-kesalahan
kebahasaan yang terjadi pada proses penguasaan bahasa Jawa sebagai bahasa kedua mahasiswa Jawa Barat yang menguasai bahasa pertama bahasa Sunda. Hasil penelitian menunjukkan (1) adanya kesalahan berbahasa Jawa pada bidang bahasa fonologi, morfologi, sintaksis, serta leksikal. (2) Faktor pendukung proses penguasaan bahasa Jawa oleh mahasiswa Jawa Barat di Mrican ialah motivasi pembelajar, persamaan antara kedua bahasa dan lingkungan bahasa. (3) Faktor penghambat proses penguasaan bahasa Jawa pada Mahasiswa Jawa Barat di Mrican ialah perbedaan kaidah kedua bahasa, serta lingkungan yang mengabaikan proses pembenaran kepada Mahasiswa Jawa Barat yang melakukan kesalahan berbahasa Jawa.
K. Kerangka Berfikir
Penelitian ini berjudul Interferensi Bahasa Sunda dalam Bahasa Jawa Pada Karangan Narasi Siswa Asal Kecamatan Bantarkawung Kelas VIII SMP Negeri 1 Bumiayu. Berdasarkan pengertian mengenai interferensi, dikatakan bahwa interferensi merupakan fenomena penyusupan sistem bahasa dari bahasa pertama terhadap bahasa kedua yang baru dipelajari. Adanya penyusupan sitem bahasa satu ke dalam bahasa yang lainnya menimbulkan keterpengaruhan ataupun pengacauan terhadap bahasa yang sedang dipelajari. Keterpengaruhan sistem bahasa ini terjadi pada bidang-bidang bahasa seperti fonologi, morfologi, serta sintaksis. Sebab terjadinya interferensi ini dapat dikarenakan oleh kaidah kedua bahasa yang berbeda.
Bahasa Jawa dengan bahasa Sunda merupakan dua bahasa yang memiliki kaidah bahasa yang berbeda. Adanya perebedaan kaidah antara kedua bahasa ini memberikan batas perbedaan yang jelas dari kedua bahasa. Kedua bahasa ini memiliki kosakata yang mirip oleh karena letak pengguna kedua bahasa ini berdekatan. Bahasa Sunda mayoritas penututrnya berada di tataran Sunda atau kawasan Jawa Barat, sedangkan bahasa Jawa penuturnya mayoritas berada di daerah Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Karangan merupakan suatu hasil karya inspirasi seseorang yang dituangkan dalam tulisan yang mengungkapkan perasaan dan pikiran penulis. Interferensi dapat terjadi pada bahasa lisan maupun tulisan, pada bahasa lisan interferensi berupa bercampurnya kaidah bahasa berupa bunyi, tata kalimat, konstruksi kata. Pada bahasa tulis hampir serupa dengan interferensi yang terjadi pada bahasa lisan, hanya berbeda pada interferensi bunyi bahasa. Karangan merupakan salah satu hasil karya berupa bahasa tulis, dalam karangan yang diuat oleh dwibahasawan memungkinkan adanya interferensi dalam bidang-bidang bahasa. Hal ini pula yang terjadi dalam karangan siswa asal Kecamatan Bantarkawung kelas VIII SMP Negeri 1 Bumiayu, dimana dimungkinkan adanya interferensi bidang-bidang bahasa dan sebab-sebab terjadinya interferensi berdasarkan proses kebahasaan maupun diluar proses kebahasaan.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis
penilitian
ini
adalah
penelitian
deskriptif,
mendeskripsikan
interferensi (fonologi, morfologi, sintaksis) bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada
karangan
narasi
siswa
kelas
VIII
yang berasal
dari
Kecamatan
Bantarkawung di SMP Negeri 1 Bumiayu. Serta sebab munculnya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa yang terjadi pada karangan siswa asal Kecamatan Bantarkawung. B. Data Penelitian
Data dari penelitian ini yakni unsur-unsur kebahasaan yang berasal dari bahasa Sunda yang bersifat mengganggu kaidah bahasa Jawa, dalam hal ini bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa kelas VIII SMP N 1 Bumiayu. Interferensi bidang-bidang bahasa ini mencakup bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis. C. Sumber Data
Sumber data dari penelitian ini yakni berasal dari hasil karangan narasi siswa kelas VIII SMP N 1 Bumiayu yang berasal dari Kecamatan Bantarkawung. Hasil karangan narasi siswa ini diambil dari tes mengarang yang diberikan pada siswa asal Bantarkawung sebagai acuan untuk mendapatkan data berupa gangguan unsur-unsur bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa.
D. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan teknik baca catat oleh peneliti. Hasil karangan narasi dari siswa kelas VIII asal Bantarkawung dibaca dan dicermati kemudian dicatat hal-hal yang berkaitan mengenai gangguan kaidah bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa. Adapun langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pertama-tama semua hasil karangan narasi dari siswa asal Bantarkawung dibaca secara cermat oleh peneliti. 2.
Menandai atau mengidentifikasi khususnya yang menyangkut interferensiinterferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa yang muncul dalam karangan narasi siswa. Untuk mempermudah identifikasi, setiap interferensi yang muncul diberikan simbol huruf F (fonologi), simbol M (morfologi), simbol S (sintaksis), dan simbol L (leksikal) untuk setiap gejala interferensi menurut bidang kebahasaan.
3.
Interferensi yang sudah ditandai tersebut kemudian diinfentarisasi dengan menggunakan kartu data, dicatat secara terpisah di tiap jenis interferensi. Adapun format kartu data dan contoh pengisian kartu data tersebut adalah sebagi berikut :
Sumber data Bentuk Data Bentuk lengkap Jenis interferensi Sebab terjadinya
: Lia Aeni, VIII A : mudun – mudhun mudhun “turun” : ora mudun malah mabur-mabur terus : Fonologi : konsonan dh digantikan dengan konsonan d
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian pada dasarnya merupakan alat untuk mendapatkan data. Penelitian ini menggunakan instrument utama yang berupa
human
instrument ‘peneliti’. Peneliti sebagai kunci utama atau instrumen utama dalam menetapkan dan menjalankan penelitian ini dari pencarian data sampai dengan selesainya penganalisisan data. Peneliti menggunakan pengetahuannya untuk mengidentifikasi dan menentukan interferensi yang terdapat dalam objek penelitian. Setelah diidentifikasi kemudian yang dianggap data penelitian dikelompokkan berdasarkan bentuk dan jenis interferensi nya. F. Teknik Analisis Data
Pengertian umum analisis adalah memeriksa suatu masalah untuk menemukan semua unsur yang bersangkutan. Oleh karena itu masalah yang diperiksa dapat diketahui susunannya (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1988:10). Adapun langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini yakni : 1. setelah semua data dikumpulkan, data-data dikelompokkan kemudian dideskripsikan masing-masing menurut jenis interferensinya (fonologi, morfologi, sintaksis). Data yang ada dideskripsikan menurut interferensi unsur-unsur bahasa Sunda yang terjadi pada hasil karangan siswa. 2. dilanjutkan pendeskripsian bentuk-bentuk interferensi berdasarkan kajian jenis interferensi yang terjadi dalam data tersebut. Data yang telah dikelompokkan menurut jenis interferensinya kemudian diidentifikasi berdasarkan bentuk interferensi yang terjadi dalam data tersebut.
3.
data yang telah diketahui jenis serta bentuk interferensinya, kemudian diidentifikasi mengenai sebab terjadinya interferensi berdasarkan jenis dan bentuk interferensinya.
G. Pemeriksaan Keabsahan Data
Pemeriksaan keabsahan data digunakan agar data lebih absah, maka diperlukan reabilitas dan validitas. Peneliti melakukan kegiatan menafsirkan atau mengintepretasikan data secara berulang-ulang dalam waktu yang berlainan. Berdasarkan hasil kegiatan ini, telah diperoleh data yang reliabel karena terdapat persamaan temuan penelitian yang dilakukan pada waktu yang berlainan dan tidak ditemukan lagi interferensi yang baru dalam karangan narasi siswa asal Kecamatan Bantarkawung. Data yang reliabel ini menjadikan sebuah stabilitas dan keteraturan penafsiran dari waktu yang dilakukan secara berulang-ul ang. Validitas data dilakukan dengan membandingkan data yang sudah diperoleh dengan berbagai sumber, metode atau teori agar dapat diperoleh keabsahan data. Teknik ini dilakukan dengan mengkonsultasikan data hasil penelitian pada pihak yang ahli di bidangnya (dosen pembimbing). Selain itu digunakan bahan referensi berupa buku yang berisi teori linguistik Bahasa Jawa dan bahasa Sunda yang dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan akan kebenaran data yang ditemukan dalam penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan mengenai interferensi
bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa asal Bantarkawung, hasil penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 1 : Interferensi Bahasa Sunda dalam Bahasa Jawa Pada karangan Narasi Siswa Asal KecamatanBantarkawung Kelas VIII SMP Negeri 1 Bumiayu NO
Interferen si
1 1.
2 Fonologi
2.
Morfologi
3.
Sintaksis
Bentuk interferensi
Indikataor
3
4 1.Penggantian Dhaharan – daharan, dhewe – dewe, fonem dh – d dhuwur – duwur ”fonem dh diganti dengan d” 2.Penggantian entheng – enteng, bathuk – ba tuk fonem th – t fonem th diganti dengan t 1.Kata dasar Jebulne – jebulna, ketingallipun – Jawa + sufiks ketingalina, Kata dasar bahasa Jawa Sunda mendapat imbuhan bahasa Sunda na 2.Reduplikasi Sore-sorene – sore-sorena “reduplikasi Jawa + sufiks afiks ne diganti menjadi na” Sunda 1. Substitusi Konstruksi frase numeralia
Jambu loro – loro jambu, telung kilo – tilu kilo “konstruksi frase numeralia (kt benda + kt bilangan) diganti menjadi (kt bilangan + kata benda), “konstruksi frase numeralia (kt bilangan +nasal -ng + kt benda) diganti menjadi (kt bilangan + kata benda).
Berdasarkan tabel di atas, dari penelitian ini ditemukan 3 jenis interferensi dari cabang ilmu bahasa yakni fonologi, morfologi, serta sintaksis. Pada interferensi fonologi ditemukan bentuk interferensi bahasa Sunda berupa penggantian fonem bahasa Jawa digantikan fonem bahasa Sunda. Pada interferensi morfologi ditemukan bentuk interferensi bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa berupa penggunaan kata dasar bahasa Jawa akan tetapi mendapat imbuhan dari bahasa Sunda, serta reduplikasi kata dasar bahasa Jawa dengan ditambahkan imbuhan bahasa Sunda. Pada interferensi bidang sintaksis ditemukan bentuk interferensi bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa berupa pemakaian konstruksi frase numeralia bahasa Sunda dalam karangan yang seharusnya menggunakan konstruksi frase numeralia bahasa Jawa. Munculnya interferensi di atas disebabkan oleh adanya faktor perbedaan proses kebahasaan sehingga menimbulkan kekeliruan, kebingungan, kesalahan dari siswa asal Kecamatan Bantarkawung dalam membuat karangan berbahasa Jawa. Sebab-sebab munculnya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa asal Kecamatan Bantarkawung ini dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2 : Sebab-Sebab Kebahasaan Terjadinya Interferensi Bahasa Sunda
dalam
Bahasa
Jawa
Pada
Karangan
Narasi
Siswa
asal
KecamatanBantarkawung Kelas VIII SMP Negeri 1 Bumiayu NO
1 1.
Interfere nsi 2 Fonologi
Indikator
-
-
3 Dhaharan – daharan dhewe – dewe ”fonem dh diganti dengan d” kathokku – ka tokku Bathuk - batuk “fonem th diganti fonem t” layangane– layanganna ketingallipun-ketingalina “Kata dasar bahasa Jawa mendapat imbuhan bahasa Sunda”
2.
Morfologi
-
3.
Sintaksis
Jambu loro – loro jambu, telung kilo – tilu kilo “konstruksi frase numeralia (kt benda + kt bilangan) diganti menjadi (kt bilangan + kata benda), “konstruksi frase numeralia (kt bilangan +nasal -ng + kt benda) diganti menjadi (kt bilangan + kata benda).
Pada
Sebab Terjadinya
4 Tidak terdapatnya fonem dh dan th dalam bahasa Sunda, sehingga siswa asal Bantarkawung sering keliru menuliskan fonem dh dengan d serta fonem th dengan t.
Konstruksi kata jadian pada afiksasi dan reduplikasi anatra bahasa Sunda dengan bahasa Jawa mempunyai perbedaan dengan fungsi yang sama, sehingga siswa mengalami kebingungan dalam penulisan bahasa Jawa dan memilih menuliskan dengan menggunakan bahasa Sunda. Pada konstruksi frase numeralia antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda pada hakikatnya berbeda, adanya perbedaan pada konstruksi frase numeralia ini mendorong siswa untuk melakukan kekeliruan dengan memilih menuliskan dengan bahasa Sunda yang lebih mereka kuasai.
tabel 2 yang menerangkan mengenai sebab-sebab munculnya
interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa yang terjadi terhadap siswa asal Kecamatan Bantarkawung. Terdapat beberapa faktor yang memunculkan adanya
interferensi bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa. Faktor tersebut berupa faktor dari segi kebahasan siswa yang kurang menguasai bahasa Jawa. Pada bidang fonologi, siswa menggunakan fonem bahasa Sunda karena mereka kurang menguasai fonem dari bahasa Jawa sehingga siswa keliru dalam memilih fonem yang digunakan sebenarnya merupakan fonem bahasa Sunda. Pada interferensi bidang morfologi, terdapat kemiripan dalam pembentukan kata jadian antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda sehingga memunculkan kebingungan pada siswa dalam menuliskan karangan berbahasa Jawa. Pada bidang sintaksis, konsturksi frase numeralia antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda pada hakekatnya berbeda. Adanya perbedaan konstruksi frase numeralia antara kedua bahasa ini mengakibatkan siswa asal Bantarkawung mengalami kekeliruan penggunaan kaidah bahasa Jawa. Sehingga memunculkan kesalahan penulisan konstruksi frase bahasa Jawa yang dituliskan dengan konstruksi frase bahasa Sunda. Selain faktor dari kekeliruan penggunaan bidang kebahasaan di atas, terdapat pula sebab terjadinya interferensi berdasarkan pengaruh dari luar bidang linguistik. Sebab ekstra linguistik merupakan sebab yang berasal dari kondisi keseharian siswa,
sebab yang memicu adanya pengaruh bahasa sunda dalam
karangan berbahasa Jawa. Penjelasan lebih lanjut mengenai hasil interferensi serta sebab-sebab terjadinya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa, akan dipaparkan dalam bab pembahasan berikut ini.
B.
Pembahasan
1. Jenis-jenis Interferensi Bahasa Sunda dalam Bahasa Jawa
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada tabel 1 ditemukan interferensi bidang bahasa yakni fonologi, morfologi dan sintaksis. Masing– masing interferensi bidang bahasa ini akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. 1.1 Fonologi
Interferensi dalam bidang fonologi ini mengidentifikasi pada pengaruh bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa dilihat dari fonem-fonem yang digunakan dalam penulisan karangan bahasa Jawa. Pada bidang ini mengidentifikasi penggunaan fonem yang seharusnya menggunakan fonem dalam bahasa Jawa, akan tetapi responden menuliskan fonem tersebut menggunakan fonem bahasa Sunda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap siswa asal Kecamatan Bantarkawung mengenai bentuk interferensi fonologi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan siswa. Terdapat dua bentuk interferensi yang terjadi dalam jenis interferensi fonologi. Bentuk pertama yaitu penggantian konsonan dh digantikan dengan konsonan d, selain konsonan dh terjadi pula penggantian konsonan th dengan konsonan t. Penggantian konsonan dh menjadi konsonan d, serta konsosnan th menjadi kosonan t termasuk sebagai wujud interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa. Lebih lanjut bentuk interferensi fonologi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa dijelaskan berikut ini. 1.1.1 Penggantian Fonem dh Menjadi Fonem d
Pada interferensi ini terjadi pengaruh oleh bahasa Sunda dalam bahasa Jawa berupa penggantian fonem dh yang merupakan fonem milik bahasa Jawa digantikan dengan fonem d yang merupakan fonem milik bahasa Sunda. Bentuk interferensi fonologi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa penggantian konsonan dh menjadi konsonan d dapat dilihat dalam contoh berikut : (1) Wis anjog neng kebonan bocah-bocah pada lunga dewe- dewe (Reno Bagas Sanjaya, VIII A) “sesudah sampai di kebun anak-anak pergi sendiri-sendiri” (2) Petani sing nguber aku wonge duwur ireng pokoke medeni (Reno Bagas Sanjaya, VIII A) “petani yang mengejarku orangnya tinggi hitam pokoknya menakutkan” Pada data (1) terdapat interferensi fonologi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada kata dewe-dewe, Kata dasar bahasa Jawa ini mendapat pengaruh dari bahasa Sunda pada salah satu fonemnya yakni pada fonem dh siswa menuliskan dengan fonem d. Pada kata dewe-dewe fonem d merupakan fonem bahasa Sunda untuk menggantikan fonem dh dalam bahasa Jawa. Kata dewe-dewe dianggap salah dan tidak memiliki arti karena kata ini merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa akan tetapi mengalami penggantian fonem dengan fonem bahasa Sunda. Dalam bahasa Jawa seharusnya kata pada data (1) menjadi dhewe-dhewe “sendiri-sendiri”. Kalimat pada data (1) Wis anjog neng kebonan bocah-bocah pada lunga dewe- dewe (Reno Bagas Sanjaya, VIII A) seharusnya dalam bahasa Jawa yang benar menjadi (1) Wis tekan
kebonan bocah-bocah padha lunga
dhewe- dhewe “sesudah sampai di kebun anak-anak pergi sendiri-sendiri”.
Pada data (2) terdapat pula interferensi fonologi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada kata duwur , kata duwur merupakan kata dasar bahasa Jawa yang mengalami penggantian fonem seperti halnya pada data (1). Pada data (2) terjadi penggantian fonem bahasa Jawa dh oleh fonem bahasa Sunda d , kata duwur yang merupakan kata dasar bahasa Jawa menjadi salah dan tidak memiliki arti. Kata duwur seharusnya dituliskan dalam bahasa Jawa dhuwur “tinggi. Pada data (2) Petani sing nguber aku wonge duwur ireng pokoke medeni (Reno Bagas Sanjaya, VIII A) seharusnya kalimat yang benar dalam bahasa Jawa, Petani sing nguber aku wonge dhuwur ireng pokoke medeni
“petani yang mengejarku
orangnya tinggi hitam pokoknya menakutkan”. Bentuk interferensi fonologi penggantian fonem dh menjadi fonem d dalam karangan lainnya dapat dilihat pada kata-kata berikut i ni : -
Kata disik seharusnya dhisik ‘duluan’, fonem dh diganti dengan fonem d .
-
Kata duwit seharusnya dhuwit ‘uang’, fonem dh diganti dengan fonem d.
-
Kata dengkulku seharusnya dhengkulku ‘lututku’, fonem dh diganti dengan fonem d.
-
Kata daharan seharusnya dhaharan ‘makanan’, fonem dh diganti dengan fonem d.
-
Kata padang seharusnya padhang ‘terang’, fonem dh diganti dengan fonem d.
-
Kata pedot seharusnya pedhot ‘putus’, fonem dh diganti dengan fonem d .
-
Kata gede seharusnya gedhe ‘besar’, fonem dh diganti dengan fonem d.
-
Kata adi seharusnya adhi ‘adik’, fonem dh diganti dengan fonem d.
-
Kata dada seharusnya dhadha ‘dada’, fonem dh diganti dengan fonem d.
-
Kata godong seharusnya godhong ‘daun’, fonem dh diganti dengan fonem d.
-
Kata mudun seharusnya mudhun ‘turun’ , fonem dh diganti dengan fonem d.
-
Kata wedus seharusnya wedhus ‘kambing’, fonem dh diganti dengan fonem d.
1.1.2 Penggantian Fonem th Menjadi Fonem t
Pada interferensi bentuk ini terjadi penggantian fonem th yang merupakan fonem milik bahasa Jawa digantikan dengan fonem t yang merupakan fonem milik bahasa Sunda, penggantian fonem bahasa Jawa menjadi fonem bahasa Sunda ini menjadikan kata dasar bahasa Jawa salah dan tidak memiliki arti. Kata dalam bahasa Jawa ini dianggap salah karena tidak seharusnya menggunakan fonem selain fonem milik bahasa Jawa.
Bentuk interferensi fonologi bahasa
Sunda dalam bahasa Jawa penggantian konsonan th menjadi t dapat dilihat dalam contoh berikut : (3) wadahe katonna cilik, tek kira enteng jebul abot aku ora kuat nggawane (Dodi Fitriyadi, VIII B), “tempatnya kelihatan kecil, saya kira ringan ternyata berat saya tidak kuat membawanya” (4) esih mlayu ngerti-ngerti dibalang lemah lempung, kena batuk
jan
munyer (Winda Anisah, VIII E) , “masih sedang berlari dilempar tanah lempung, kena jidat jadi pusing”
(5) gara-garana kena watu, kancaku tiba mrosot nyawel katokku nganti mlorot. “gara-gara terkena batu, temanku jatuh dan menarik celanaku sampai melorot” (Doni Dharmawan, VIII B).
Pada data (3)
terdapat bentuk interferensi berupa penggantian fonem
bahasa Jawa digantikan fonem bahasa Sunda, kata enteng merupakan kata dasar bahasa Jawa. Kata dasar bahasa Jawa ini terpengaruh oleh bahasa Sunda. Kata enteng yang merupakan kata dasar bahasa Jawa menjadi salah dan tidak memiliki arti, hal ini dikarenakan adanya percampuran antara kaidah bahasa Jawa dengan kaidah bahasa Sunda. Pengaruh kaidah bahasa ini berupa terpengaruhnya kata dasar bahasa Jawa melalui masuknya fonem bahasa Sunda. Fonem th yang seharusnya terdapat dalam kata dasar ini digantikan fonem t yang merupakan fonem milik bahasa Sunda, kata enteng seharusnya dituliskan dalam bahasa Jawa menjadi entheng “ringan”. Kalimat pada data (3) Wadahe katonna cilik, tek kira enteng jebul abot aku ora kuat nggawane (Dodi Fitriyadi, VIII B), seharusnya kalimat dalam bahasa Jawa yang benar menjadi Wadahe katone cilik, tek kira entheng jebul abot aku ora kuat nggawane “tempatnya kelihatan kecil, saya kira ringan ternyata berat saya tidak kuat membawanya”. Pada data (4) terdapat interferensi yang terjadi pada kata batuk , terdapat bentuk interferensi penggantian fonem bahasa Jawa oleh bahasa Sunda dalam kata tersebut. Kata batuk merupakan kata dasar dalam bahasa Jawa, kata dasar ini dipengaruhi oleh bahasa Sunda pada salah satu fonem yang digunakan. Pada kata dasar bahasa Jawa yang telah terpengaruh bahasa Sunda ini terdapat fonem yang
seharusnya
dituliskan
dengan
fonem
bahasa
Jawa
akan
tetapi
siswa
menuliskannya dengan fonem bahasa Sunda. Fonem th yang merupakan fonem bahasa Jawa tidak digunakan dalam kata pada data (4), fonem th digantikan dengan fonem t yang merupakan fonem milik bahasa Sunda. Kata batuk seharusnya dalam bahasa Jawa dituliskan dengan kata bathuk “jidat”. Kalimat pada data (4) esih mlayu ngerti-ngerti dibalang lemah lempung, kena batuk jan munyer (Winda Anisah, VIII E), seharusnya kalimat ini dituliskan dalam bahasa Jawa menjadi Esih mlayu ngerti-ngerti dibalang lemah lempung, kena bathuk jan munyer “masih sedang berlari tiba-tiba dilempar tanah liat, kena jidat jadi pusing”. Pada data (5) serupa dengan data (3) dan (4), kata katokku menjadi bahasa Jawa tidak baku. Kata dasar bahasa Jawa ini mengalami penggantian fonem th menjadi t, kata katokku menjadi rancu dan tidak memiliki arti yang baku dalam bahasa Jawa. Kata katokku seharusnya dalam bahasa Jawa baku dituliskan dengan kathokku ‘celanaku’, sehingga pada data (5) kalimat yang benar seharusnya gara garane kena watu, kancaku tiba mrosot nyawel kathokku nganti mlorot. “garagara terkena batu, temanku jatuh dan menarik celanaku sampai melorot”. 1.2 Morfologi
Interefrensi morfologi berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan meliputi dalam hal pembentukan kata jadian dengan proses afiksasi maupun reduplikasi. Proses afiksasi merupakan proses pembentukan kata jadian dengan menambahkan awalan maupun imbuhan, sedangkan reduplikasi merupakan proses pembentukan kata dengan pengulangan kata dasar disertai proses afiksasi. Lebih
lanjut bentuk interferensi morfologi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa dijelaskan berikut ini.
1.2.1 Pemakaian Afiksasi Bahasa Sunda Pada Kata Dasar Bahasa Jawa
Interferensi morfologi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa dalam karangan siswa asal KecamatanBantarkawung, salah satu yang terjadi berupa penggunaan afiksasi bahasa Sunda dengan kata dasar berupa kata yang berasal dari bahasa Jawa sehingga menimbulkan kerancuan terhadap susunan kata jadian bahasa Jawa. Kata jadian yang seharusnya merupakan kata jadian bahasa Jawa mendapat pengaruh dari bahasa Sunda dengan masuknya imbuhan yang merupakan imbuhan bahasa Sunda, sehingga terdapat percampuran antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda. Untuk mengetahui interferensi morfologi bahasa Sunda terhadap bahasa Jawa yang terdapat dalam karangan narasi siswa asal KecamatanBantarkawung dapat dilihat dari kata jadian pada kalimat berikut ini : (6) pengen neng pasar Malioboro arep numbasken oleh-oleh dinggo keluarga neng umah (Syifa Elfrida VIII E), ”ingin ke pasar Malioboro membelikan oleh-oleh untuk keluarga di rumah” (7) wah mlakune koq adoh banget, ketingallina perek lho jebul adoh kaya ngene “wah jalannya kok jauh sekali, kelihatannya dekat ternyata jauh seperti ini” (Ahmad Najih, VIII B). Dari data (6) dan (7) di atas dapat dilihat beberapa bentuk interferensi morfologi bahasa Sunda terhadap bahasa Jawa. Pada data (6) dan (7) Kata
numbasken, ketingallina merupakan kata yang mengalami interferensi morfologi bahasa Sunda terhadap bahasa Jawa. Pada data (6) numbasken merupakan kata kata dasar bahasa Jawa yang berasal dari kata tumbas “beli” dan mendapatkan imbuhan bahasa Sunda, kata ini merupakan kata jadian dengan konstruksi nasal{n-} + tumbas (kata dasar bahasa Jawa) + imbuhan {-ken} (imbuhan bahasa Sunda). Konstruksi kata jadian ini mendapatkan pengaruh dari bahasa Sunda berupa pengaruh imbuhan ken yang merupakan imbuhan bahasa Sunda. Imbuhan {- ken} dalam bahasa Sunda memiliki fungsi melakukan sesuatu untuk orang lain, fungsi serupa juga dimiliki dalam imbuhan bahasa Jawa {-ke, -ake}. Pada kata mbagiken seharusnya dalam bahasa Jawa dituliskan dengan mbagiake “membagikan”. Kalimat pada data (6) pengen neng pasar Malioboro arep numbasken oleh-oleh dinggo keluarga neng umah (Syifa Elfrida VIII E) , seharusnya dalam bahasa Jawa yang benar menjadi pengen neng pasar Malioboro arep numbaske oleh-oleh dingge Keluarga teng omah ”ingin ke pasar Malioboro membelikan oleh-oleh untuk keluarga di rumah”. Pada data (7) dapat dilihat interferensi morfologi pada kata ketingallina, konstruksi kata ini merupakan kata jadian dengan konstruksi awalan ke + tingal + imbuhan {-na}. Pada kata tersebut memiliki kata dasar bahasa Jawa tingal “terlihat”,
konstruksi kata jadian ini mendapatkan pengaruh imbuhan yang
berasal dari bahasa Sunda yakni imbuhan { – na}. Fungsi imbuhan yang sama juga dimiliki bahasa Jawa berupa imbuhan {– e, -ipun}. Pada kata ketingallina menjadi salah dalam bahasa Jawa dan tidak mempunyai arti yang jelas, karena terdapat percampuran kaidah antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda. Kata ketingallina
seharusnya dalam bahasa Jawa dituliskan dengan Ketingale atau ketingalipun (Jawa krama) “kelihatannya”. Kalimat pada data (7) Wah mlakune koq adoh banget, ketingallina perek lho jebul adoh kaya ngene, seharusnya dituliskan dalam bahasa Jawa menjadi Wah mlakune koq adoh banget, ketingalle perek lho jebul adoh kaya ngene “wah jalannya kok jauh sekali, kelihatannya dekat ternyata jauh seperti ini”. 1.2.2 Penambahan Afiks Sunda dalam Reduplikasi Kata Dasar Bahasa Jawa
Interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada bidang morfologi terjadi juga dalam bentuk penambahan afiks bahasa Sunda dalam reduplikasi kata dasar bahasa Jawa, dalam bentuk reduplikasi ini imbuhan bahasa Sunda mengacaukan bahasa Jawa dengan masuknya imbuhan bahasa Sunda. Kata jadian reduplikasi bahasa Jawa menjadi salah dan tidak memiliki arti karena adanya proses pengacauan ini. Adapun bentuk interferensi tersebut dapat dilihat dalam contoh kalimat berikut ini. (8) sore-sorena rombongan piknik pindah neng obyek wisata laine ana ing Jogja (Rahma Nur Izza, VIII C), “sore-sorenya rombongan piknik pindah ke objek wisata lainnya yang ada di Jogja” (9) biasane pas wulan aji akeh keluarga haji sing mbagiken oleh-oleh saka tanah suci, kayadene sajadah, tasbeh, peci lan liya-liyana (Gian Ariana W, VIII E),“ biasanya ketika bulan haji banyak keluarga haji yang membagikan oleh-oleh dari tanah suci , seperti sajadah, tasbih, peci dan lain-lainnya”.
Pada data (8) ditemukan interferensi morfologi berupa pengulangan kata atau disebut pula dengan reduplikasi. Kata sore-sorena merupakan kata jadian reduplikasi yang mengalami pengacauan oleh bahasa Sunda, data (8) merupakan kata dasar bahasa Jawa yang mengalami proses reduplikasi dan diikuti dengan penambahan afiks bahasa Sunda. Pengaruh bahasa Sunda terletak pada reduplikasi yang diikuti dengan akhiran bahasa Sunda na, akhiran –na merupakan bentuk afiksasi dari bahasa Sunda. Penggunaan akhiran –na ini mempunyai fungsi menunjukkan waktu atau keadaan, dalam bahasa Jawa untuk fungsi yang sama menggunakan bentuk akhiran ne, ipun (bahasa Jawa krama) dituliskan menjadi sore-sorene ”sore harinya”. Kalimat pada data (8) Sore-sorena rombongan piknik pindah neng obyek wisata laine ana ing Jogja (Rahma Nur Izza, VIII C), seharusnya dalam bahasa Jawa kalimat yang benar menjadi Sore-sorene rombongan piknik pindah neng obyek wisata liyane ana ing Jogja “sore-sorenya rombongan piknik pindah ke objek wisata lainnya yang ada di Jogja” Pada data (9) terdapat pula bentuk interferensi pengacauan reduplikasi, pada data (9) dap dilihat pada kata liya-liyana. Kata liya-liyana berasal dari kata dasar bahasa Jawa liya “lain” yang mengalami proses reduplikasi, akan tetapi mengalamai proses pengacauan oleh bahasa Sunda pada bagian afiks atau imbuhan Sunda {–na}. Kata liya-liyana menjadi salah dalam bahasa Jawa dan tidak memiliki arti yang jelas, karena terdapat percampuran antara pengulangan kata dasar bahas Jawa liya “lain” dan imbuhan {- na } yang berasal dari bahasa Sunda. Imbuhan {-na} dalam bahasa Sunda fungsinya sama dengan imbuhan { –ne} dalam bahasa Jawa,
kata liya-liyana seharusnya dalam bahasa Jawa
dituliskan menjadi liya-liyane “lain-lainnya”. Pada kalimat data (9) biasane pas wulan aji akeh keluarga haji sing mbagiken oleh-oleh saka tanah suci, kayadene sajadah, tasbeh, peci lan liya-liyana, seharusnya dalam bahasa Jawa kalimat yang benar menjadi Biasane pas wulan aji akeh keluarga haji kang mbagiken oleholeh saking tanah suci, kayadene sajadah, tasbeh, peci lan liya-liyane “ biasanya ketika bulan haji banyak keluarga haji yang membagikan oleh-oleh dari tanah suci , seperti sajadah, tasbih, peci dan lain-lainnya”. 1.3 Sintaksis
Sintaksis merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji penggabungan kata-kata menjadi kalimat yang berbeda-beda (Nababan, 1988: 1), sedangkan Ramlan (1987: 21) menyatakan sintaksis merupakan cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frase. Berdasarkan hasil penelitian ini interferensi sintaksis yang tejadi berupa pengaruh dalam konstruksi frase numeralia. Pengaruh bahasa Sunda pada bahasa Jawa dalam frase nemeralia ini berupa konstruksi frase. Konstruksi frase numeralia yang dimilki bahasa Jawa dan bahasa Sunda pada hakekatnya memiliki konstruksi frase yang berbeda dengan bahasa Sunda. Interferensi sintaksis bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan siswa asal Kecamatan Bantarkawung yang terjadi berupa pengubahan konstruksi frase numeralia. Siswa seharusnya menggunakan konstruksi frase numeralia bahasa Jawa, akan tetapi mereka menuliskan konstruksi frase numeralia dengan menggunakan konstruksi frase bahasa Sunda. Bentuk interferensi sintaksis bahasa
Sunda dalam bahasa Jawa dapat dilihat dari beberapa kalimat berikut, khususnya pada kata yang digaris bawahi. (10)Aku mung olih loro jambu, padahal wes lara awak kaya kiye .”Saya Cuma dapat jambu dua, padahal badan sampai sakit seperti ini” (Reno Bagas, VIII A). (11) wektu kelas 5 SD mbiyen aku duwe pengalaman piknik neng Jogja, piknik karo kanca-kanca sekelas lan Guru suwene telu dina (Syifa Elfrida VIII E). “Pada Waktu kelas 5 SD saya mempunyai pengalaman piknik di Jogja, piknik dengan teman satu kelas dan guru selama 3 hari”. Pada data di atas merupakan beberapa bentuk interferensi sintaksis bahasa Sunda dalam bahasa Jawa yang terdapat dalam karangan siswa, kata telu dina dan loro jambu menunjukkan frase numeralia bahasa Jawa yang terpengaruh frase numeralia bahasa Sunda. Pada data (10) terdapat bentuk interferensi sintaksis berupa
frase
numeralia loro jambu “dua jambu”. Frase ini telah terpengaruh frase numeralia bahasa Sunda. Letak keterpengaruhan frase ini terdapat pada konstruksi frase yang seharusnya menggunakan konstruksi frase bahasa Jawa akan tetapi menggunakan konstruksi frase bahasa Sunda. Konstruksi frase numeralia yang dimiliki bahasa Jawa menunjukkan kata benda kemudian diikuti dengan kata bilangan (kt benda + kt bilangan). Berbeda dengan konstruksi frase bahasa Sunda yang memiliki konstruksi frase numeralia kata bilangan berada di awal dan diikuti oleh kata benda (kt bilangan + kt benda).
Pada data (10) loro jambu berkonstruksi frase kata bilangan loro “dua” berada di awal dan diikuti dengan kata benda jambu “jambu” (kt bilangan + kt benda). Pada frase ini kedua kata dasar merupakan kata dasar bahasa Jawa, akan tetapi digabungkan dalam konstruksi frase yang dimiliki bahasa Sunda. Frase ini dianggap salah dan tidak memiliki arti yang tepat dalam bahasa Jawa karena menggunakan konstruksi frase milik bahasa Sunda. Pada data (10) fras e numeralia loro jambu seharusnya dalam bahasa Jawa yang benar menjadi jambu loro “dua buah jambu”, sehingga kalimat pada data (10) Aku mung olih loro jambu, padahal wes lara awak kaya kiye dalam bahasa Jawa yang benar menjadi Aku mung olih jambu loro, padahal wes lara awak kaya kiye ”aku Cuma dapat jambu dua, padahal badan sakit seperti ini”. Pada data (11) terdapat frase numeralia yakni telu dina “tiga hari”, frase ini mengalami pengacauan pada konstruksi frase yang digunakan. Frase ini terdiri dari gabungan dua kata dasar bahasa Jawa, gabungan dua kata ini menjadi rancu karena penggunaan konstruksi frase numeralia bahasa Sunda. Pada hakekatnya konstruksi frase numeralia antara bahasa Jawa dengan konstruksi frase numeralia bahasa Sunda berbeda, konstruksi frase numeralia yang dimiliki bahasa Jawa menunjukkan kata benda kemudian diikuti dengan kata bilangan (kt benda + kt bilangan), berbeda dengan konstruksi frase bahasa Sunda yang memiliki konstruksi frase numeralia kata bilangan berada di awal dan diikuti oleh kata benda (kt bilangan + kt benda). Pada konstruksi frase numeralia bahasa Jawa konstruksi tersebut dapat berubah menjadi kata bilangan berada di awal dan diikuti dengan kata benda,
diikuti penambahan nasal –ng setelah kata bilangan (kt bilangan, nasal {–ng }+ kt benda). Pada konstruksi ini mirip dengan konstruksi frase numeralia milik bahasa Sunda, hanya saja terdapat penambahan nasal -ng sebagai penguat keterangan ukuran kata benda dalam frase. Penggunaan konstruksi frase numeralia bahasa Jawa seperti ini terbatas, konstruksi seperti ini hanya digunakan untuk menyatakan keterangan ukuran kata benda. Pada data (11) frase telu dina menggunakan konstruksi frase numeralia bahasa Sunda (kt bilangan + kt benda), dalam frase konteks kalimat bahasa Jawa pada data (11) frase ini menyatakan keterangan ukuran dari kata benda. Untuk menunjukkan keterangan ukuruan kata benda dalam bahasa Jawa seharusnya menggunakan konstruksi frase (kt bilangan, nasal-ng + kata benda). Frase pada data (11) telu dina seharusnya dalam bahasa Jawa konstruksi frase ini menjadi telung dina “tiga hari”, terdapat penambahan nasal {–ng-} diantara kata bilangan dan kata benda. Frase ini menunjukkan fungsi ukuran lamanya hari. Kalimat pada data (11) Wektu kelas 5 SD mbiyen aku duwe pengalaman piknik neng Jogja, piknik karo kanca-kanca sekelas lan Guru suwene telu dina seharusnya kalimat yang benar dalam bahasa Jawa Wektu, kelas 5 SD mbiyen aku duwe pengalaman piknik neng Jogja, piknik karo kanca-kanca sekelas lan Guru suwene telung dina “waktu kelas 5 SD dulu saya mempunyai pengalaman piknik di Jogja, piknik dengan teman satu kelas dan guru selama 3 hari”. 2. Sebab-sebab Terjadinya Interferensi Bahasa Sunda dalam Bahasa Jawa
Sebab-sebab terjadinya interferensi bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa pada karangan narasai siswa asal Kecamatan Bantarkawung kelas VIII SMP N 1
Bumiayu dipengaruhi oleh beberapa hal. Sebab-sebab terjadinya interferensi tersebut berupa sebab yang berasal dari segi kebahasaan (linguistik) dan sebab yang berasal dari luar kebahasaan (ekstra linguistik). Sebab-sebab terjadinya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut. 2.1 Sebab Terjadinya Interferensi Berasal dari Bidang Kebahasaan
Sebab-sebab interferensi yang terjadi berdasarkan proses kebahasaan, terdapat pada bidang bahasa fonologi, morfologi serta sintaksis. Berdasarkan proses bidang kebahasan tersebut dapat diidentifikasi sebab-sebab interferensi sebagai berikut. 2.1.1 Perbedaan Konsonan Bahasa Jawa dengan Bahasa Sunda
Berdasarkan hasil penelitian, salah satu sebab kebahasaan terjadinya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa yakni perbedaan konsonan yang dimiliki oleh bahasa Sunda dengan bahasa Jawa. Perbedaan kepemilikan konsonan ini menyebabkan adanya penggantian konsonan bahasa Jawa oleh bahasa Sunda dalam kata yang digunakan dalam karangan berbahasa Jawa. Konsonan dalam kata berbahasa Jawa, seharusnya menggunakan semua konsonan yang dimiliki bahasa Jawa. Pada karangan siswa asal Kecamatan Bantarkawung, terdapat penggunaan konsonan bahasa Sunda dalam karangan yang seharusnya menggunakan konsonan bahasa Jawa. Pada bahasa Jawa selain konsonan t masih terdapat pula konsonan th, begitu pula konsonan d masih terdapat konsonan dh. Sebaliknya
konsonan
bahasa Sunda tidak memiliki konsonan dh dan th, untuk menggantikan konsonan dh dan th dituliskan dengan konsonan d dan t. Adanya perbedaan pemilikan konsonan mengakibatkan siswa mengalami kebingungan dan berdampak pada kekeliruan penggunan konsonan. Konsonan yang seharusnya menggunakan konsonan bahasa Jawa dituliskan oleh siswa asal Kecamatan Bantarkawung dengan konsonan bahasa Sunda. Siswa asal Kecamatan Bantarkawung sering melakukan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya perbedaan konsonan antara kedua bahasa ini. Kekeliruan penulisan bahasa Jawa dapat dilihat pada kata dewe-dewe, seharusnya kata tersebut dituliskan dengan dhewe-dhewe “sendiri-sendiri”. Pada kata dhewe-dhewe ”sendiri-sendiri” menjadi keliru karena ditulis dengan dewedewe, pada kata tersebut terjadi penggantian konsonan dh (konsonan bahasa Jawa) menjadi konsonan d (konsonan bahasa Sunda). Kekeliruan serupa terjadi pula pada kata enteng , kata ini salah dan tidak memiliki arti yang jelas dalam bahasa Jawa. Pada kata enteng terjadi penggantian konsonan th (konsonan bahasa Jawa) yang diganti menjadi t (konsonan bahasa Sunda). Seharusnya kata enteng ditulis dalam bahasa Jawa menjadi entheng “ringan”. Pemakaian konsonan dh dan th ini dalam bahasa Jawa banyak digunakan dalam kata, sehingga kemungkinan terjadinya interferensi yang disebabkan oleh perbedaan konsonan sangat banyak terjadi. 2.1.2 Perbedaan Pembentukan Kata Jadian
Interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa dalam bidang morfologi disebabkan adanya perbedaan pembentukan kata jadian. Pembentukan kata jadian
dalam hal ini pemakaian awalan, sisipan serta imbuhan. Bahasa Jawa memiliki pembentuk kata jadian sendiri, pembentuk kata jadian ini memiliki fungsi masingmasing. Sama halnya dengan bahasa Jawa, bahasa Sunda juga memiliki pembentuk kata jadian. Pembentuk kata jadian ini pada dasarnya sama fungsinya yakni untuk menguatkan kata dasar yang dijadikan kata jadian. Pada dasarnya pembentuk kata jadian pada bahasa Jawa dan bahasa Sunda memiliki fungsi yang sama pada kata jadian yang dibentuk. Kedua bahasa ini memiliki pembentuk yang berbeda pada kata jadian, akan tetapi sebenarnya memiliki fungsi yang sama pada kata jadian. Oleh karena fungsi yang sama akan tetapi berbeda dalam bentuknya, mengakibatkan adanya kebingungan pada siswa asal Bantarkawung yang sedang mempelajari bahasa Jawa. Kebingungan siswa dalam membentuk kata jadian berbahasa Jawa mengakibatkan kekliruan dalam penulisan kata jadian bahasa Jawa. Siswa asal Kecamatan Bantarkawung mengalami kekeliruan berupa penggunaan pembentuk kata jadian bahasa Sunda dalam kata dasar bahasa Jawa. Mereka lebih memilih menggunakan pembentuk kata jadian bahasa Sunda untuk membentuk kata jadian yang kata dasarnya bahasa Jawa. Hal ini dapat dilihat dalam kata numbasken, pada kata tersebut memiliki konstruksi kata jadian nasal n- + tumbas ”beli” (kata dasar bahasa Jawa) + ken (akhiran Sunda). Kata jadian numbasken dianggap salah dan tidak memiliki arti yang jelas dalam bahasa Jawa. Kata numbasken seharusnya dituliskan dalam bahasa Jawa menjadi numbasake “membelikan”.
Kesalahan penggunan pembentuk kata jadian terjadi juga dalam bentuk reduplikasi atau pengulangan kata. Kesalahan yang terjadi berupa pengulangan kata dasar bahasa Jawa yang diikuti dengan penambahan imbuhan yang berasal dari bahasa Sunda. Hal ini terdapat pada contoh kata sore-sorena, kata dasar bahasa Jawa sore “sore” mengalami proses pengulangan kata yang diikuti dengan imbuhan {-na} (imbuhan bahasa Sunda). Kata sore-sorena seharusnya dituliskan dalam bahasa Jawa menjadi sore-sorene “sore-sorenya”. Secara umum, siswa yang berasal dari Kecamatan Bantarkawung lebih memilih menggunakan pembentuk kata jadian bahasa Sunda. Mereka lebih menguasai pembentukan kata jadian bahasa Sunda dibandingkan pembentukan kata jadian bahasa Jawa yang baru mereka pelajar i. 2.1.3 Perbedaan Konstruksi Frase
Sebab kebahasaan terjadinya interferensi bahasa sunda dalam bahasa Jawa yang terakhir yakni perbedaan konstruksi frase antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda. Konstruksi frase yang dimaksud dalam hal ini konstruksi frase numeralia, frase yang menunjuk pada keterangan bilangan atau jumlah. Konstruksi frase numeralia antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda berbeda, antara kedua bahasa ini memiliki konstruksi frase numeralia masingmasing. Pada konstruksi frase numeralia bahasa Jawa, konstruksi frase yang dimiliki berupa kata benda berada di awal dengan diikuti dengan kata bilangan (kata benda + kata bilangan). Berbeda dengan konstruksi frase numeralia yang dimiliki bahasa Jawa, pada konstruksi frase numeralia yang dimiliki oleh bahasa
sunda meenpatkan kata bilangan berada di awal dan diikuti oleh kata benda (kata bilangan + kata benda). Perbedaan konstruksi frase numeralia antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda
memunculkan
adanya
kekeliruan
oleh
siswa
asal
Kecamatan
Bantarkawung. Kekeliruan ini disebabkan karena kekurang pahaman siswa asal Bantarkawung terhadap bahasa Jawa yang sedang dipelajari. Bentuk-bentuk interferensi yang terjadi karena perbedaan konstruksi frase numeralia ini berupa penggunaan konstruksi frase numeralia bahasa Sunda pada gabungan kata bahasa Jawa yang membentuk frase. Konstruksi yang benar seharusnya menggunakan konstruksi frase bahasa Jawa dengan konstruksi kata benda di awal dan diikuti dengan kata bilangan. Kesalahan penggunaan konstruksi frase numeralia dalam karangan siswa asal Bantarkawung dapat dilihat pada kata loro jambu. Pada frase numarelia loro jambu dianggap salah dan tidak memiliki arti yang jelas dalam bahasa Jawa. Gabungan kata tersebut merupakan gabungan dua kata dasar bahasa Jawa jambu “jambu” dan loro “dua”, akan tetapi gabungan kata ini menggunakan menggunakan konstruksi frase numeralia yang dimiliki bahasa Sunda. Konstruksi frase numeralia tersebut jika dituliskan dalam bahasa Jawa menjadi jambu menjadi jambu loro “dua buah jambu”. Kekeliruan serupa juga terdapat pada bentuk frase numeralia yang menyatakan ukuran. Contohnya pada frase numeralia papat dina, dina, konstruksi tersebut merupakan konstruksi frase numeralia yang dimiliki bahasa Sunda. Pada konstruksi frase numeralia bahasa Jawa, bentuk frase numeralia yang menyatakan ukuran konstruksinya menjadi kata bilangan + nasal {–ng}+ kata benda. Sehingga
frase numeralia papat dina dituliskan dalam bahasa Jawa menjadi patang dina “empat hari”. Adanya perbedaan kaidah bahasa Jawa dengan bahasa Sunda memicu kekurangpahaman siswa asal Bantarkawung terhadap bahasa Jawa. Siswa asal Kecamatan Bantarkawung lebih memilih menggunakan bahasa Sunda jika terjadi ketidakpahaman pada bahasa Jawa. Para siswa dari Kecamatan Bantarkawung lebih menguasai bahasa Ibu mereka bahasa Sunda, dibandingkan dengan bahasa Jawa sebagai bahasa yang baru dipelajari.
2.2 Sebab Terjadinya Interferensi Bahasa Sunda dalam Bahasa Jawa Berdasarkan Faktor Ekstra Linguistik
Sebab-sebab terjadinya interferensi yang berasal dari luar kebahasaan, merupakan sebab yang berasal dari ruang lingkup keseharian penutur. Sehingga mempengaruhi adanya pencampuran bahasa Sunda Sunda ke dalam bahasa bahasa Jawa. Sebab ini dapat berasal dari penutur sendiri, lingkungan, pihak lain dalam hal ini guru dan teman satu kelas. Lebih lanjut sebab-sebab interferensi yang berasal dari ekstra linguistik akan dipaparkan berikut ini. 2.2.1 Bahasa Ibu Ibu Bahasa Sunda
Bahasa ibu ialah bahasa yang pertama kali didapatkan di lingkungan terdekat dalam hal ini keluarga, pemakaian bahasa ini dimulai pada lingkup terkecil penutur. Bahasa ibu yang dimiliki masyarakat Kecamatan Bantarkawung ialah bahasa Sunda, meski berada di daerah Jawa Tengah yang mayoritas bahasa
ibu menggunakan bahasa Jawa. Pada siswa asal Kecamatan Bantarkawung yang memilih melanjutkan sekolah di luar daerah Bantarkawung pada khususnya Kecamatan Bumiayu, mereka akan mengalami percampuran bahasa. Kecamatan Bumiayu mayoritas masyarakatnya memiliki bahasa ibu bahasa Jawa, hal ini berbeda dengan siswa asal Kecamatan Bantarkawung yang memiliki bahasa ibu bahasa Sunda. Siswa asal Kecamatan Bantarkawung memiliki perbedaan dalam segi bahasa, hal ini menyebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaaan bahasa Sunda sebagai bahasa yang lebih dikuasai terhadap bahasa Jawa yang baru mereka pelajari. Terbawanya kebiasaan bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa yang sedang dipelajari, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol penggunaan bahasa Sunda dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa Jawa. Kurangnya kontrol pemakaian bahasa Sunda, dalam hal ini para siswa menggunakan bahasa Sunda yang mereka kuasai serta membawa kebiasaan ini dalam pemakaian bahasa Jawa yang baru sedikit mereka pahami. Kurangnya penguasaan bahasa Jawa merupakan akibat adanya kekurang pahaman pelajaran bahasa Jawa yang dialami oleh para siswa asal Kecamatan Bantarkawung. Siswa asal Bantarkawung ini lebih menguasai bahasa Sunda dibandingkan dengan bahasa jawa yang baru pertama kali mereka pelajari. Karena kedwibahasaan siswa asal Bantarkawung, mereka kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa Jawa, para siswa memasukkan kebiasaan-kebiasaan di dalam bahasa Sunda. 2.2.2
Bahasa Jawa Dianggap Sebagai Bahasa Kedua
Berdasarkan penejelasan pada point pertama yang menjelaskan bahwa bahasa Sunda sebagai bahasa ibu siswa asal Kecamatan Bantarkawung, artinya bahasa Sunda menjadi bahasa yang pertama kali mereka kenal semenjak usia dini. Tingkat penguasaan kebahasaan siswa terhadap bahasa Sunda berada pada tingkat mahir, siswa asal Bantarkawung sangat menguasai bahasa Sunda sebagai bahasa yang mereka kenal sejak kecil. Berkebalikan dengan bahasa Sunda, bahasa Jawa sebagai bahasa yang baru pertama kali siswa dapatkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Siswa
asal
Kecamatan
Bantarkawung
sebelumnya
tidak
pernah
mempelajari bahasa Jawa di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Dasar mereka berada di wilayah sekitar Kecamatan Bantarkawung yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa daerah. Pada Sekolah Menengah Pertama Kecamatan Bumiayu, bahasa Jawa menjadi bahasa daerah untuk sekolah ini. Terdapat perbedaan bahasa daerah yang diterima siswa asal Kecamatan Bantarkawung, perbedaan bahasa daerah ini menimbulkan keterpengaruhan bahasa oleh bahasa yang dikuasai lebih dominan terhadap bahasa yang baru dipelajari. Bahasa Jawa menjadi bahasa kedua bagi siswa asal Bantarkawung, mereka lebih menguasai bahasa Sunda sepenuhnya dari pada bahasa Jawa. Pemakaian bahasa Jawa sendiri oleh siswa asal Kecamatan Bantarkawung terbatas, hanya ketika pelajaran bahasa Jawa diadakan di kelas. Siswa asal Bantarkawung ini lebih memilih bahasa Sunda sebagai bahasa yang mereka pergunakan baik di lingkungan keluarga maupun sekolah, bahasa Jawa sangat jarang digunakan dalam berkomunikasi.
Para siswa Bantarkawung mengaku kurang menguasai bahasa Jawa, bahkan ketika pelajaran bahasa Jawa mereka masih meminta bantuan teman sekelas yang mengerti bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa siswa asal Bantarkawung merasa kesulitan dalam mempelajari bahasa Jawa oleh karena bahasa Jawa dianggap sebagai bahasa yang masih baru mereka pelajari. Oleh karena siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari bahasa Jawa, mengakibatkan munculnya kekeliruan-kekeliruan yang terdapat pada bahasa Jawa yang mereka pergunakan. Kekeliruan yang terjadi dalam hal ini kekeliruan yang terdapat pada bahasa tulis, kekeliruan tersebut mencakup pada pengaruh bahasa Sunda terhadap bahasa jawa pada bidang-bidang kebahasaan. 2.2.3
Lingkungan Belajar Terbatas
Lingkungan belajar merupakan segala hal yang berkenan dengan tempat dan suasana pembelajaran, dalam hal ini pembelajaran bahasa Jawa di sekolah maupun luar sekolah. Siswa asal Bantarkawung yang bersekolah di SMP N 1 Bumiayu berjumlah sedikit, dari jumlah keseluruhan siswa kelas VIII sebanyak 282 siswa tercatat hanya 32 siswa yang berasal dari Kecamatan Bantarkawung. Siswa asal Kecamatan Bantarkawung ini masih tersebar pula di kelas VIII yang berjumlah delapan kelas dan setiap kelasnya berjumlah 34 sampai 36 siswa, jumlah siswa asal Bantarkawung di setiap kelasnya hanya terdapat 4 sampai 5 siswa. Mereka setiap harinya berinteraksi dengan teman satu kelas yang berasal dari lingkungan berbahasa Jawa, meski berada di antara siswa yang menguasai bahasa Jawa tiap harinya mereka masih mengaku kesulitan dalam mepelajari bahasa Jawa. Siswa asal Bantarkawung memilih menggunakan bahasa Indonesia
untuk berkomunikasi dengan siswa lainnya, mereka lebih menguasai bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Jawa. Bahasa
Jawa
sangat
jarang
sekali
digunakan
oleh
siswa
asal
Bantarkawung, bahasa Jawa yang mereka kenal sebatas bahasa Jawa yang mereka sering dengarkan dari siswa setempat. Bahasa Jawa yang dipergunakan siswa setempat yakni bahasa Jawa tingkat ngoko, hal ini mempengaruhi pula pada tingkat bahasa Jawa yang mereka pahami. Tingkatan bahasa Jawa yang dipahami oleh siswa asal Kecamatan Bantarkawung hanya sebatas bahasa Jawa tingkat ngoko, untuk bahasa Jawa tingkat krama masih belum bisa mereka pahami. Setelah kegiatan persekolahan selesai, siswa asal Bantarkawung kembali ke tempat tinggal mereka yang berbahasa Sunda. Di tempat tinggal mereka, bahasa Jawa tidak pernah digunakan untuk berkomunikasi di lingkungan tempat tinggal mereka yang mayoritas menggunakan bahasa Sunda. Pelajaran bahasa Jawa yang didapatkan dari sekolah tidak pernah mereka pergunakan di lingkungan tempat
tinggal,
oleh
karena
itu
penguasaan
bahasa
Jawa
sulit
untuk
dikembangkan. Hal ini mengakibatkan siswa asal Bantarkawung mengalami kesulitan dalam komunikasi menggunakan bahasa Jawa, lingkungan belajar maupun tempat tinggal sangat mempengaruhi tingkat penguasaan bahasa Jawa yang mereka pelajari. Tingkat pemahaman dan penguasaan bahasa Jawa yang rendah pada siswa asal Kecamatan Bantarkawung menyebabkan kekeliruan, kebingungan, dan kesalahan dalam menggunakan bahasa Jawa. 2.2.5
Peranan Guru Kurang Maksimal
Tingkat keberhasilan pembelajaran salah satunya dipengaruhi oleh sumber daya tenaga pengajar, dalam hal ini guru mata pelajaran bahasa Jawa. Semakin tinggi kompetensi guru dalam bidangnya, semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pembelajaran. Kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh tenaga pengajar di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yakni sarjana (S1) di bidangnya, namun pada kenyataannya terdapat guru mata pelajaran yang tidak sesuai dengan bidangnya. Untuk mata pelajaran bahasa Jawa juga dituntut tenaga pengajarnya memiliki kompetensi sarjana (S1) bahasa Jawa. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Bumiayu sebagai sekolah standar nasional, keseluruhan tenaga pendidiknya memiliki kompetensi sarjana (S1). Pada mata pelajaran bahasa Jawa kelas VIII diampu oleh dua orang guru, keduanya memiliki kompetensi sarjana (S1). Akan tetapi yang memenuhi kompetensi sarjana bahasa Jawa hanya satu orang, satu guru yang lain berkompetensi sarjana akan tetapi bukan sarjana bahasa Jawa. Peranan
guru
didalam
kelas
secara
umum
sudah
memberikan
pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi, akan tetapi peranan untuk siswa yang memiliki kultur bahasa berbeda dengan bahasa Jawa masih kurang. Bagi siswa yang berasal dari daerah setempat cara penyampaian pelajaran bahasa Jawa oleh guru mudah dipahami. Siswa daerah setempat mengaku tidak mengalami kendala dalam menerima pelajaran bahasa Jawa. Hal ini berbeda dengan yang dialami siswa asal Kecamatan Bantarkawung, mereka mengaku kesulitan dalam menerima pelajaran bahasa Jawa. Siswa asal Bantarkawung terlebih dahulu mengartikan apa yang disampaikan guru bahasa Jawa, dengan cara menanyakan
pada teman yang mengerti bahasa Jawa. Mereka baru dapat memahami apa yang disampaikan dalam pelajaran tersebut jika telah mengerti arti bahasa Jawa yang disampaikan oleh guru. Pada proses pembelajaran bahasa Jawa di kelas merupakan faktor penentu utama siswa dalam mempelajari bahasa Jawa. Oleh karena itu Jika dalam proses ini terdapat ketidak pahaman dalam penerimaan materi maka akan berdampak pada pemahaman bahasa Jawa secara utuh. Ketidak pahaman secara utuh oleh siswa yang baru mempelajari bahasa Jawa dapat menimbulkan kerusakan bahasa Jawa. Kerusakan bahasa Jawa yang diakibatkan oleh siswa asal Bantarkawung berupa bercampurnya kebiasaan-kebiasaan bahasa Sunda yang sering mereka pergunakan. 2.2.6
Intensitas Penggunaan Bahasa Jawa Kurang
Pada proses belajar suatu bahasa, cara yang paling cepat untuk menguasai bahasa yang sedang dipelajari yakni dengan sesering mungkin menggunakan bahasa tersebut. Cara ini merupakan cara yang paling sederhana untuk menguasai bahasa yang dipelajari. Begitu pula pada siswa yang mendapatkan pelajaran bahasa, siswa akan lebih cepat menguasai pelajaran bahasa jika mereka sering menggunakan bahasa yang diajarkan. Pada siswa asal Bantarkawung, mereka sebelumnya telah menguasai bahasa daerah mereka sendiri yakni bahasa Sunda. Setelah masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) mereka mendapatkan pelajaran bahasa daerah baru yakni bahasa Jawa. Agar dapat menguasai bahasa yang dianggap baru ini, mereka perlu mempelajari bahasa Jawa dengan disertai penggunaan bahasa Jawa sesering
mungkin. Akan tetapi pada siswa asal Kecamatan Bantarkawung masih belum menggunakan bahasa Jawa untuk bahasa komunkasi mereka. Siswa asal Bantarkawung masih sangat terbatas dalam penggunaan bahasa Jawa yang mereka pelajari, mereka lebih memilih menggunakan bahasa Sunda ataupun bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Siswa asal Kecamatan Bantarkawung memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan teman satu kelas. Untuk teman satu kelas yang berasal dari satu daerah Bantarkawung, mereka berkomunikasi dengan bahasa Sunda atau bahasa Indonesia. Siswa asal Kecamatan Bantarkawung menerima pelajaran bahasa Jawa dua jam tiap minggunya, dalam waktu tersebut mereka berkesempatan menggunakan bahasa Jawa untuk mereka pelajari. Pada saat pelajaran bahasa Jawa berlangsung, siswa asal Kecamatan Bantarkawung belum memahami sepenuhnya apa yang disampaikan oleh Guru. Mereka tak jarang menanyakan pada teman satu bangku atau teman yang mengerti bahasa Jawa untuk mencari tahu materi yang disampaikan guru. Pada saat di luar kelas, untuk berkomuikasi dengan siswa daerah Kecamatan Bumiayu mereka menggunakan bahasa Indonesia. Siswa asal Kecamatan Bantarkwung merasa lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia yang lebih dikuasai daripada bahasa Jawa yang belum mereka kuasai. Begitu pula ketika siswa asal Bantarkawung berada di luar sekolah, dalam hal ini di lingkungan sekitar tempat tinggal. Pada lingkungan tempat tinggal yang
memiliki bahasa daerah bahasa sunda, mereka sudah pasti menggunakan bahasa sunda untuk berkomunikasi dengan keluarga, tetangga, serta teman bermain. Hal ini menunjukkan kurangnya intensitas penggunan bahasa Jawa oleh siswa asal Kecamatan Bantarkawung dalam mempelajari bahasa Jawa. Oleh karena itu tingkat penguasaan bahasa Jawa pada siswa asal Kecamatan Bantarkawung masih kurang. Kurangnya penguasaan terhadap bahasa Jawa dibandingkan dengan bahasa Sunda menimbulkan pengaruh, pengaruh tersebut terjadi dalam bidang-bidang kebahasaan. Berdasarkan sebab-sebab diatas interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa muncul pada karangan narasi siswa. Sebab-sebab tersebut memunculkan interfernsi terhadap bidang-bidang bahasa dalam bahasa Jawa oleh bahasa Sunda. Sebab-sebab
tersebut
memicu
munculnya
ketidakpahaman,
kebingungan,
kekeliruan, kesalahan oleh siswa asal Bantarkawung yang sedang mempelajari bahasa Sunda. Adanya kekeliruan, ketidakpahaman hingga kesalahan pada proses mempelajari bahasa Jawa, akan berdampak pada rusaknya bahasa Jawa. Rusaknya bahasa Jawa dimulai dari hal terkecil mulai dari fonem, pembentukan kata, sampai pada kata itu sendiri.
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa asal kecamatan Bantarkawung SMP Negeri 1 Bumiayu dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa ditemukan pada tiga bidang bahasa yang meliputi bidang fonologi, morfologi, sintaksis. Interferensi fonologi sendiri meliputi pemakaian fonem bahasa Sunda menggantikan fonem bahasa Jawa . Interferensi morfologi meliputi proses pembentukan afiksasi, serta reduplikasi dengan kombinasi antara kata dasar bahasa Jawa dengan afiksasi bahasa Sunda. Interferensi sintaksis meliputi konstruksi frasa numeralia yang terpengaruh konstruksi frase numeralia bahasa Sunda. 2. Munculnya
interferensi disebabkan oleh dua faktor yakni dari segi
kebahasaan dan dari luar kebahasaan. Berdasarkan bidang kebahasaan interferensi disebabkan oleh bidang bahasa fonologi, morfologi, serta sintaksis. Munculnya interferensi fonologi terjadi karena tidak terdapatnya fonem dh dan th dalam fonem bahasa Sunda, sehingga sering menuliskannya dengan fonem d dan t. Munculnya interferensi morfologi terjadi disebabkan konstruksi kata jadian pada afiksasi dan reduplikasi antara bahasa Sunda dengan bahasa Jawa memiliki perbedaan. Imterferensi Sintaksis disebabkan
karena konstruksi frase numeralia anatara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda pada hakekatnya bebeda. Sebab munculnya interferensi yang berasal dari luar kebahasaan yakni dikarenakan berbedanya bahasa ibu, lingkungan yang kurang mendukung proses belajar, peranan guru yang kurang maksimal serta intensitas
penggunan
bahasa
Jawa
yang
kurang
oleh
siswa
asal
Bantarkawung. B.
Implikasi
Berdasarkan
penelitian
dan
pembahasan,
implikasi
penelitian
ini
mencakup hal-hal berikut ini : 1. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai pengetahuan dalam bidang sosiolinguistik mengenai interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa pada karangan narasi siswa kelas VIII SMP N 1 Bumiayu khususnya pada bidang-bidang bahasa dalam karangan siswa. Penelitian ini juga dapat dijadikan salah satu acuan bagi mahasiswa dalam mempelajari bahasa yaitu tentang sosiolinguistik khusunya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa. Bagi pemerhati bahasa hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk meneliti interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa dengan pengkajian yang tidak terbatas pada jenis interferensi dan sebab terjadinya, tetapi dapat diadakan penelitian yang belum dikaji seperti frekuensi terjadinya interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa. 2. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran bahasa khususnya bahasa Jawa yaitu sebagai fenomena jenis dan sebab interferensi. Diharapkan guru dapat menggunakan hasil penelitian ini
dalam pengajaran bahasa Jawa yang mempelajari pembentukan kata, pembentukan kata jadian, pembentukan frase pada bahasa Jawa sehingga siswa dapat memahami penulisan kata, pembentukan kata jadian dan frase bahasa Jawa yang benar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan siswa agar tidak hanya memahami secara teoritis kaidah bahasa Jawa, tetapi juga dapat menerapkan kaidah bahasa Jawa yang benar pada penggunaan bahasa Jawa dalam keseharian. C. Saran
Penelitian mengenai Interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa sudah mendapatkan hasil dan kesimpulan . Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, saran yang perlu dikemukakan sebagai berikut. 1. Penelitian ini mempunyai kelemahan yaitu terbatas membahas mengenai jenis Interferensi dan sebab-sebab interferensi pada karangan siswa kelas VIII. Diharapkan bagi pemerhati bahasa dapat diadakan penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam yaitu tidak terbatas pada jenis dan sebab interferensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa, tetapi juga dapat membahas lebih mendalam mengenai masing-masing jenis interferensi lebih detail pada penelitian selanjutnya. 2. Penelitian ini terbatas pada seting penelitian serta bahan yang diteliti. Diharapkan dapat dilaksanakan penelitian lebih lanjut dengan fokus penelitian yang tidak hanya terbatas pada karangan narasi siswa kelas VIII , tetapi juga dapat meneliti bentuk interferensi dalam bahasa lisan keseharian di sekolah pada siswa asal Bantarkawung. Penelitian ini juga
dapat dilaksanakan lebih lanjut pada seting berbeda yaitu sekolah lain yang letaknya berdekatan dengan daerah perbatasan. Selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti yang ingin meneliti dalam bidang bahasa khususnya Interefrensi bahasa Sunda dalam bahasa Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sumarto, Mukidi. Pengantar Ilmu Bahasa Umum. Yogyakarta: FPBS IKIP. Alwasilah, A Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Arikunta. S. 1998. Proses Penenlitian Suatu Pendekatan Praktik . Jakarta: Bina Aksara. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal . Jakarta: Rineka Cipta. Coolsma. 1985. Tata Bahasa Sunda. Jakarta : Djambatan Gie, The Liang. 1995. Pengantar Dunia Karang Mengarang . Yogyakarta: Liberty. Hastuti, PH. Sri. 1989. Sekitar Analisis Bahasa Indonesia. Yogakarta: Mitra Gama Widya. Kamaruddin. 1989. Kedwibasaan dan Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dwibahasa.
Jakarta:
Kridalaksana, Harimurti. 1974. Fungsi bahasa dan Sikap Bahasa: Kumpulan karangan. Flores: Nusa Indah. Mulyani, Siti. 2004. Fonologi Bahasa Jawa. Yogyakarta: UNY Nababan, P. W. J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar . Jakarta: PT Gramedia. Nurhayati, Endang. 2001. Morfologi Bahasa Jawa. Yogyakarta: FBS UNY Nurhayati Endang dan Siti Mulyani. 2006. Linguistik Bahasa Jawa Kajian Fonologi, Morfologi, Sintaksis dan Semantik. Yogyakarta: Bagaskara. Ramlan, M.1987. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono Rindjin, Ketut, Dkk. 1981. Interferensi Gramatikal Bahasa Bali dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Murid SD di Bali. Jakarta: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Bahasa. Sirait, Bistok. 1985. Pedoman Karang Mengarang . JakartaPusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemeb Pendidikan dan Kebudayaan.
Soejarwo. 1985. Disekitar Bahasa Indonesia Kumpulan Karangan. Semarang: Effhar Pubhlising Suwito. 1982. Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Hendry Offset. Tarigan, H. G.1983. Prinsip Dasar sintaksis. Bandung: Angkasa Veerhar. 1989. Pengantar Linguistik . Jakarta: Gajahmada University Press.
http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com (http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiolinguistik). (http://id.wikipedia.org/wiki/Karangan) .