LAPORAN MARKET INTELLIGENCE PERKEMBANGAN INDUSTRI SPINNING DI INDONESIA Oktober 2009
Halaman Berikutnya>> datacon Current Issue Secara umum, industri tekstil dan produk tekstil Indonesia memiliki daya saing yang relatif baik di pasar internasional. Sebab, Indonesia memiliki industri yang terintegrasi mulai dari hulu sampai hilir, yakni dari produk benang (pemintalan), pertenunan, rajutan, dan produk akhir. Indonesia memiliki industri pemintalan (spinning) yang besar di kawasan Asia dan Oceania. Demikian pula dengan industri pertenunan yang produksinya kedua terbesar setelah China, serta industri pakaian jadi yang dikenal di dunia internasional Meski industri spinning belum mencapai pertumbuhan optimal, namun dalam dua tahun terakhir ini mengalami perkembangan yang cukup berarti. Hal ini terlihat dari tingkat produksi yang mengalami peningkatan dari 1.872 ribu ton pada 2006 menjadi 2.199 ribu ton pada 2008. Sementara tingkat utilisasi industri spinning juga meningkat menjadi 80,9% pada 2008 dari sebelumnya 78,1% pada 2006. Namun di sisi lain, ekspor produk spinning nasional merosot terus dalam dua tahun belakangan ini. Volume ekspor produk spinning merosot terus menjadi hanya 679 ribu ton atau senilai US$ 1.720 juta pada 2008, dibandingkan dengan 870 ribu ton senilai US$ 1.785 juta pada 2006. Penurunan ekspor tersebut juga dipengaruhi oleh krisis global, yang menyebabkan sejumlah negara pengimpor terpaksa mengurangi permintaan terhadap tektil dan produk tekstil. Menyusul krisis keuangan global di Amerika Serikat yang selama ini menjadi negara tujuan ekspor terbesar bagi tekstil dan produk tekstil nasional, maka kemudian sebagian besar produsen asal Indonesia mengalihkan tujuan ekspornya ke negara lain termasuk ke Uni Eropa, Asia dan Timur Tengah. Sehingga pada 2008 terjadi kelebihan pasokan benang rayon di pasar Uni Eropa (UE). Para pembeli asal UE sebagian besar menghentikan ordernya dari Indonesia dan ada pula yang menunda pengiriman dari Indonesia. Padahal sekitar 80% atau senilai US$ 1.375 juta ekspor benang Indonesia di ekspor ke UE, sisanya ke Brasil dan negara di kawasan Amerika dan Asia. Dengan adanya penundaan dari pasar Uni Eropa menyebabkan sejumlah produsen benang rayon skala besar di dalam negeri sempat memangkas produksinya, yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya volume ekspor produk spinning nasional. Di saat yang sama, harga bahan baku berupa serat mengalami kenaikan, sehingga industri spinning hanya memperoleh margin yang tipis.
Dalam laporan ini akan dibahas mengenai kapasitas produksi, produksi, ekspor dan impor dari industri spinning nasional. Deskripsi produk Benang tekstil tersusun dari serat-serat staple atau filament baik yang berasal dari alam maupun sintetis, yang disatukan atau diberi antihan (gintiran) untuk pembuatan kain. Berdasarkan serat penyusunannya, benang tekstil dapat dibedakan kedalam beberapa jenis yaitu benang kapas, benang rayon, benang jute, benang wool, benang sutera, benang linen, benang nylon, benang polyester dan benang acrilic Benang rayon merupakan benang yang dibuat dari serat sintetis yang diregenerasi sehingga strukturnya sama dengan serat selulosa yang lain. Salah satu karakteristik benang rayon adalah memiliki kilap yang tinggi dan warnanya lebih putih dibandingkan dengan benang cotton (kapas). Berdasarkan bentuk serta, benang rayon terbagi menjadi dua yaitu :
Benang Filament Rayon yang dibuat dari sekelompok (15-120) serat-serat rayon yang panjangnya tak terhingga, dengan junlah antihan sedikit (100 antihan per meter), kecuali untuk kain yang mempunyai efek tertentu missalnya pada voile dan crepe. Benang Staple Rayon yang dibuat dari potongan-potongan filament rayon dengan panjang tertentu yang disesuaikan dengan panjang serat kapas atau serat wool, yang kemudian dipintal.
Pada umumnya penggunaan benang rayon adalah sebagai berikut :
Benang rayon dari serat rayon kupromunium digunakan khusus untuk bahan pakaian yang halus dan baik mutunya, kaos kaki wanita dan pakaian dalam wanita (lingerie), kaos (knitting) dan kemeja batik (tenun). Benang rayon dari serat rayon viscose digunakan untuk bahan pakaian, benang renda dan untuk bahan pelapis.
Sejauh ini untuk menentukan kualitas produk benang, pemerintah sudah menetapkan SNI (Standar Nasional Industri) untuk benang, sebagai berikut : Karakteristik produk
Industri Spinning (pemintalan) termasuk sebagai industri intermediate dari industri tekstil. Industri spinning adalah memproses bahan baku berupa kapas, rayon fiber, acrylic dan polyester staple fiber menjadi benang. Industri spinning menghasilkan out put berupa benang yang berbeda-beda jenisnya berdasarkan bahan bakunya. Output berupa benang dikonsumsi oleh industri weaving untuk ditenun menjadi kain (facbric) dan ada juga yang dikonsumsi oleh industri knitting untuk dirajut menjadi kain rajut. Pada industri spinning terdapat beberapa mesin yang melakukan proses pemintalan yaitu blowing, carding, pre drawing, lap former, combing, drawing, speed, ring spinning, winding. a. Blowing dan Carding Merupakan proses dalam pembuatan benang, dimana bahan baku kapas atau polyester dimasukkan dalam mesin Blowing untuk diuraikan gumpalan-gumpalan seratnya, dibersihkan kotoran-kotorannya, dan diaduk sehingga terjadi pencampuran yang merata antara beberapa jenis kapas. Dari proses ini dihasilkan “Lap” yang selanjutnya diproses dalam mesin Carding dan menghasilkan "Sliver". b. Combing, Drawing dan Finishing Proses ini merupakan kelanjutan dari proses blowing dan carding yang berfungsi meluruskan dan mensejajarkan serat, memperbaiki kerataan serat dan membuat sliver dengan berat persatuan panjang tertentu. Tugas seksi ini juga membuat campuran antara polyester dengan kapas melalui proses Drawing. c. Ring Spinning dan Finishing Bagian ini menyiapkan benang dari hasil pemintalan dalam bentuk "Cones" dengan mesin Mach Conner. Kapasitas produksi dan produsen a. Kapasitas produksi meningkat rata-rata 3,2% per tahun Dari tahun 2004 hingga tahun 2006 kapasitas produksi industri spinning nasional stagnan hanya berkisar 2.397 ribu ton per tahun. Dalam periode tersebut kapasitas produksi industri spinning nasional tidak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya penambahan kapasitas oleh produsen yang ada maupun pembukaan pabrik baru oleh investor baru. Seiring dengan terjadinya peningkatan permintaan pasar, pada 2007 kapasitas produksi industri spinning bertambah sebesar 6,6% atau meningkat menjadi 2.555 ribu ton per tahun. Kemudian pada 2008 terus mengalami peningkatan sebesar 6,3% sehingga meningkat menjadi 2.716 ribu ton per tahun.
b. Jumlah mesin bertambah Berdasarkan data Departemen Perindustrian jumlah mesin pemintalan yang dimiliki oleh industri spinning di dalam negeri tidak mengalami peningkatan hingga 2006 yaitu 7.803.241 unit spindle dan 90.000 unit rotor. Pada saat itu sekitar 64,4% atau 5.025.287 spindle (mata pintal) dari 7.803.241 spindle tidak layak digunakan. Di industri pertenunan, sekitar 204.393 alat tenun mesin (ATM) atau 82,1% dari total 248.957 ATM harus segera diganti. Dengan kata lain, hanya 44.564 ATM yang dinyatakan layak beroperasi. Namun sejalan dengan program restrukturisasi tekstil dan produk tekstil, maka terjadi penambahan mesin pada industri spinning nasional. Pada 2007 jumlah spindle bertambah menjadi 7.854.000 unit dan rotor juga meningkat menjadi 110.000 unit. Peningkatan mesin dalam indtri tekstil dan produk tekstil tersebut untuk mendongkrak produksi agar dapat memenuhi kebutuhan pasar domestic maupun ekspor. c. Tingkat utilisasi 80,9% Secara umum dalam periode 2004-2008 tingkat utilisasi industri spinning mengalami pertumbuhan 3,7% per tahun. Setelah tingkat utilisasi sempat turun menjadi 67,7% pada 2005 dari sebelumnya 70,6% kemudian kembali mengalami kenaikan sebesar 15% hingga menjadi 78,1% pada 2006. Kemudian tahun berikutnya tingkat utilisasi kembali meningkat menjadi 83,3%, namun tahun 2008 turun menjadi 80,9%. Turunnya tingkat utilisasi industri pemintalan ini dipengaruhi oleh kondisi di pasar global yang sedang mengalami krisis. Sejumlah produsen melakukan berbagai upaya guna mempertahankan tingkat utilisasi, misalnya PT Sritex produsen benang dan kain dari Bandung-menurunkan harga hingga 50% di pasar Amerika Serikat. Hal ono untuk tetap mempertahankan daya saing dan utilisasi pabrik. c. Produsen dan kapasitas produksinya Berdasarkan data dari Deprin jumlah perusahaan yang bergerak dalam industri spinning tercatat berjumlah 204 perusahaan. Namun sebagian besar diantaranya merupakan produsen kecil. Seiring dengan terjadinya krisis keuangan global, yang mengakibatkan permintaan benang di pasar dunia menurun terutama di pasar Amerika Serikat. Hal ini juga berdampak pada industri spinning di dalam negeri, beberapa produsen TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) terpaksa menghentikan produksinya, sedangkan sebagian lagi melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya akibat kehilangan order dari pembeli di Amerika yang selama ini rutin memesan. Akibat ordernya terhenti, maka modal perusahaan ini terganggu dan akhirnya
menghentikan produksi. Salah satu produsen benang yang menghentikan produksinya yaitu PT Malaktex. Sementara itu yang tergolong produsen besar diantaranya PT. Indorama Synthetics, Tbk, PT. Apac Inti Corpora Tbk, PT. Tifico, PT. Unitex Tbk., PT. Primissima dan lainlain. Profil Pemain utama
Indorama
PT Indo-Rama Synthetics merupakan PMA didirikan pada 1975 oleh. S.P. Lohia. Perusahaan ini bergerak dalam industri yarn spinning. Perusahaan ini merupakan produsen polyester di Indonesia. Tahun 1990 Indorama go public dengan menjual 42% sahamnya ke public. Produksi Indorama terdiri dari Textured Yarn of Polyester of Synthetic Filament Man-Made Filaments, yarn of polyester of syhthetic filament – man made filament, high tenacity yarn of polyester of synthetic filament – man made filament, woven fabrics of synthetic staple fibres – man made staple fibres. Pada awal operasinya, Indorama membangun pabriknya dikawasan seluas 67 ha berlokasi di Purwakarta. Indorama memiliki kapasitas produksi Spun Blended Yarn 270.000 ton per tahun dan 100% Polyester Filament Grey Fabrics 30 juta meter per tahun. Kemudian Indorama membangun pabrik baru untuk perluasan di areal seluas 50 ha di Cempaka sekitar 15 km dari Purwakarta. Di pabrik baru ini dilengkapi 2 unit pabrik yarn spinning, satu khusus untuk memproduksi Sewing Thread Yarn (100% polyester) dan satunya lagi untuk memproduksi 100% Combed Cotton Spun Yarns dengan kapasitas produksi 9,000 ton. Sementara pabrik lainnya di Bandung memproduksi 22 juta meter dyed and printed a 100%- Polyester Filament Fabrics. Fasilitas mesin di pabrik Indorama terdiri dari cutting-edge technology yang bekerjasama dengan principal dunia yaitu Du Point (USA), Zimmer, Trutzschler & Schlafhorst (Jerman), Toyobo, Teijin Seiki, Toyoda dan Murata (Jepang). Untuk kebutuhan energi, Indorama membangun pembangkit listrik sendiri berkapasitas 60 MW yang dioperasikan 2006. Indorama menerima sertifikat ISO 9001:2000 untuk Quality Management System serta sertifikat OEKOTEX untuk produk yarn dan fibre. Sejauh ini produknya diekspor ke berbagai Negara seperti Australia, Uni Eropa dan USA. Saat ini produk polyester memberikan kontribusi sebesar 73% dari total penjualan Indorama, sedangkan produk pemintalan memberikan kontribusi sekitar 21%. Indorama merupakan eksporter dunia terbesar untuk Filament Yarns, Staple Fibre & PET Resin ke sekitar 93 negara tujuan. Pada 2008, Indorama berhasi meraih penjualan ekspor senilai US$ 365,47juta, sedangkan penjualan local sebesar US$ 193,08 juta.
Apac Inti Corpora
PT Apac Inti Corpora merupakan produsen yarn dan tekstil yang bergerak dalam pemintalan benang dan pertenunan kain. Apac merupakan pabrik tekstil terbesar di dunia yang berada dalam satu lokasi seluas 247 ha di Semarang, Jawa Tengah. Apac mengoperasikan 14 unit pabriknya dengan jumlah karyawan sekitar 14.000 orang. Fasilitas yang tersedia merupakan infrastruktur terbesar, terintegrasi serta dilengkapi dengan mesin pertenunan dan pemintalan dengan teknologi modern. Perusahaan ini memiliki kapasitas produksi Yarn 480,000 bales (1Bale = 181,44 kg) per tahun. Selian itu, Apac juga memproduksi Kain Grey 80,000,000 meter, kain Finished 6,000,000 meter, kain Denim 60,000,000 yard per tahun. Apac memasarkan produknya dengan merk “APACINTI”, hasil produksinya berupa Yarn, kain Greige, kain Finished dan Denim. Apac telah mengekspor produknya ke 70 negara yaitu skitar 70% ke pasar Amerika Utara & Selatan, Eropa, Asia, Afrika dan Australia dan sisanya 30% untuk pasar domestik. Nilai ekspor rata-rata USD 238 juta per tahun. Pada awal 2008 Apac Inti Corpora bekerjasama dengan PT Dayaindo Resources International Tbk akan membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Selama ini Apac Inti mengandalkan mesin diesel untuk menggerakkan mesin-mesin tekstilnya. Namun seiring dengan makin tingginya harga minyak, termasuk solar, maka penggunaan diesel dipastikan menjadi semakin tidak ekonomis. Oleh sebab itu pembangunan PLTU berbahan bakar batubara menjadi alternatif. Pembangunan konstruksi PLTU ini dimulai pada 2009 dan diperkirakan akan selesai pada 2011. Pembangkit ini berkapasitas 45 MW yang terdiri dari 3x15 MW. PLTU tersebut menggunakan bahan bakar batubara yang menelan investasi sekitar US$ 45 juta atau senilai Rp 414 miliar.
Panasia Group
Melalui dua anak perusahaannya yaitu PT. Sinar Pantja Djaja (SPD) dan PT. Fiberindo Inti Prima (FIP) bergerak dalam industri spinning. SPD yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah memiliki kapasitas produksi 120.000 spindles, sedangkan FIP miliki kapasitas produksi 60.000 spindles dan berlokasi di Tangerang, Jawa Barat. SPD merupakan salah satu eksportir benang terbesar di dalam negeri, dengan product range 100% RS viscose Ne 30’s, 100% RS polyester Ne 30’s, Polyester viscose Ne 30’s, Ne 30/2 dan Polyester cotton Ne 30’s. Sejauh ini kedua perusahaan yang berorientasi eskpor ini, mengekspor produk benangnya ke berbagai negara yaitu USA, Brazil, Jerman, Mexico, Mesir dan Korea Selatan.
Unitex
Unitex didirikan pada 1971 sebagai PMA (Penanaman Modal Asing), dimana saham Marubeni dari Jepang sebesar 25,23%. Perusahaan yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat .ini bergerak dalam industry textile yang terintegrasi yaitu industri spinning
dan weaving. Awalnya Unitex mengoperasikan pabrik weaving, kemudian pada 1972 membangun fasilitas spinning dengan memasang mesin 36 set. Pada 1982 Unitex menjadi perusahaan Go Public melalui Bursa Efek Jakarta setelah menawarkan saham sebesar 43,20% kepada masyarakat. Kemudian pada 1990 perusahaan mengadakan ekspansi pada unit spinning dan kini memiliki 17 unit mesin yarn dyeing. Pada 2009 ini Unitex menargetkan untuk meningkatkan produksi seiring dengan adanya kenaikan pemintaan pasar. Berkaitan dengan ini, Unitex mendapatkan pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham, Unitika Ltd dari Jepang. Pada September 2008 lalu Unitex mencatat penjualan sebesar Rp 109,1 miliar. Sementara laba bersih mencapai Rp68,05 miliar. Laba tersebut lebih disebabkan oleh penghapusan pinjaman (write-off) pemegang saham sebesar Rp104,1 miliar. Meski tahun 2009 ini tidak ada penghapusan pinjaman, namun Unitex mentargetkan tetap bisa mencatat laba bersih sekitar Rp 60 miliar. Untuk mencapai target itu, Unitex akan membidik pasar beberapa negara, di antaranya Jepang, Eropa dan Amerika Serikat. Melalui langkah itu, Unitex mendapatkan order rutin dari konsumen di kawasan itu. Ada dua BUMN yaitu PT. Industri Sandang Nusantara dan PT. Primissima yang beroperasi terintegrasi dalam industri pemintalan dan kain. Untuk mwningkatkan kinerja dua BUMN ini, pemerintah merencanakan privatisasi PT Industri Sandang Nusantara melalui strategic sales atau IPO apabila memungkinkan. Sedangkan akan melakukan divestasi saham milik Pemerintah pada PT Primissima kepada mitra pemegang saham atau melalui tender offer. PT. Industri Sandang Nusantara merupakan pabrik tekstil yang didirikan pada 1965. Perusahaan ini memiliki fasilitas pabrik pamitalan dengan kapasitas 408.496 spindle. PT. Primissima didirkan pada 1971 merupakan patungan antara pemerintah dengan Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Penyertaan pemerintah berupa satu unit pemintalan dan pertenunan serta perlengkapannya yang berasal dari grant pemerintah Belanda. Grant tersebut berasal dari para pengusaha tekstil Belanda yang ditujukan kepada pemerintah untuk melestarikan produksi kain mori berkualitas tinggi. Sedangkan GKBI menyertakan tanah, bangunan pabrik, biaya pemasangan dan modal. Primissima memiliki kapasitas terpasang pemintalan 2.580 ton per tahun. Pabrik perusahaan ini berlokasi di Yogyakarta memproduksi benang dan grey 100% cotton dengan kualitas baik. Perusahaan telah mendapatkan srtifikat ISO 9001 : 2000 untuk produk unggulan dan kualitas.
Produksi meningkat 7,1% per tahun Dalam periode 2004-2008 produksi spinning di dalam negeri mengalmi pertumbuhan rata-rata 7,1% per tahun, yaitu dari 1.692 ribu ton pada 2004 meningkat menjadi 2.199 ribu ton pada 2009. Kenaikan produksi paling tinggi terjadi pada 2006 yaitu naik sebesar 15,3% menjadi 1.872 ribu ton dari tahun sebelumnya 1.623 ribu ton. Selanjutnya produksi terus meningkat masing-masing menjadi 2.129 ribu ton pada 2007 dan 2.199 ribu ton pada 2008. Meningkatnya produksi spinning nasional tersebut merupakan konstribusi dari sejumlah produsen besar yang memiliki pasar yang luas di dalam negeri. Selain itu para produsen ini juga membuka pasar ekspor baru di luar pasar Amerika Serikat yang anjlok akibat krisis keuangan di negaranya.