Standardisasi Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia terdiri dari simplsiia nabati, hewani dan mineral. nabati, hewani dan mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang di maksud eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari selnya atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaan simplisia harus memenuhi persyaratan minimal untuk standardisasi simplisia. Standardisasi simplisia mengacu pada tiga konsep antara lain sebagai berikut:
Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu umum (nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian, aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, distribusi) Simplisia sebagai bahan dan produk siap pakai harus memenuhi trilogi Quality-Safety-Efficacy Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang berkontribusi terhadap respon biologis, harus memiliki spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan (Depkes RI, 1985).
Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam proses standardisasi suatu simplisia. Parameter standardisasi simplisia meliputi parameter non spesifik dan spesifik. Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor lingkungan dalam pembuatan simplisia sedangkan parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam tanaman. Penjelasan lebih lanjut mengenai parameter standardisasi simplisia sebagai berikut: 1. Kebenaran simplisia Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara organoleptik, makroskopik dan mikroskopik. Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik dilakukan dengan menggunakan indera manusia dengan memeriksa kemurnian dan mutu simplisia dengan mengamati bentuk dan ciri-ciri luar serta warna dan bau simplisia. Sebaiknya pemeriksaan mutu organoleptik dilanjutkan dengan mengamati ciri-ciri anatomi histologi terutama untuk menegaskan keaslian simplisia. 1. Parameter non spesifik Parameter non spesifik meliputi uji terkait dengan pencemaran yang disebabkan oleh pestisida, jamur, aflatoxin, logam berat, penetapan kadar abu, kadar air, kadar minyak atsiri, penetapan susut pengeringan. 1. Parameter spesifik Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari simplisia.Uji kandungan kimia simplisia digunakan untuk menetapkan kandungan senyawa tertentu dari simplisia. Biasanya dilkukan dengan analisis kromatografi lapis tipis (Depkes RI, 1985). Standardisasi Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang diperoleh diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Standardisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian parameter yang dibutuhkan sehingga ekstrak persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa aktif dari setiap batch yang diproduksi dapat dipertahankan, dan juga dapat mempertahankan pemekatan kandungan senyawa aktif pada ekstrak sehingga dapat mengurangi secara signifikan volume permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan terpenuhi, serta ekstrak yang diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat dipergunakan sebagai bahan pembuatan formula lain secara mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet, dan lain-lain. 1. Parameter Non Spesifik a)
Susut Pengeringan
Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai konstan, yang dinyatakan dalam porsen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka (Depkes RI, 2000). b) Bobot Jenis Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang mengindikasikan spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting, karena bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah serta jenis komponen atau zat yang larut didalamnya (Depkes RI, 2000). c)
Kadar air
Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung zat atau banyaknya air yang diserap dengan tujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000). d)
Kadar abu
Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari jumlah abu fisiologik bila simplisia dipijar hingga seluruh unsur organik hilang. Abu fisiologik adalah abu yang diperoleh dari sisa pemijaran (Depkes RI, 2000). 2.
Parameter Spesifik
a)
Identitas
Identitas ekstrak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Deskripsi tata nama: 1. 2. 3. 4.
Nama Ekstrak (generik, dagang, paten) Nama latin tumbuhan (sistematika botani) Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, buah,) Nama Indonesia tumbuhan
Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas artinya senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu. Parameter identitas ekstrak mempunyai tujuan tertentu untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas (Depkes RI, 2000).
b)
Organoleptik
Parameter oranoleptik digunakan untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa menggunakan panca indera dengan tujuan pengenalan awal yang sederhana dan seobyektif mungkin (Depkes RI, 2000). c)
Kadar sari
Parameter kadar sari digunakan untuk mengetahui jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia. Parameter kadar sari ditetapkan sebagai parameter uji bahan baku obat tradisional karena jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia akan berkaitan erat dengan reproduksibilitasnya dalam aktivitas farmakodinamik simplisia tersebut (Depkes RI,1995). d) Pola kromatogram Pola kromatogram mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran awal komponen kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram kemudian dibandingkan dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu (Depkes RI, 2000). Standardisasi Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia terdiri dari simplsiia nabati, hewani dan mineral. nabati, hewani dan mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang di maksud eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari selnya atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaan simplisia harus memenuhi persyaratan minimal untuk standardisasi simplisia. Standardisasi simplisia mengacu pada tiga konsep antara lain sebagai berikut:
Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu umum (nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian, aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, distribusi) Simplisia sebagai bahan dan produk siap pakai harus memenuhi trilogi Quality-Safety-Efficacy Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang berkontribusi terhadap respon biologis, harus memiliki spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan (Depkes RI, 1985).
Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam proses standardisasi suatu simplisia. Parameter standardisasi simplisia meliputi parameter non spesifik dan spesifik. Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor lingkungan dalam pembuatan simplisia sedangkan parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam tanaman. Penjelasan lebih lanjut mengenai parameter standardisasi simplisia sebagai berikut: 1. Kebenaran simplisia Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara organoleptik, makroskopik dan mikroskopik. Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik dilakukan dengan menggunakan indera manusia dengan memeriksa kemurnian dan mutu simplisia dengan mengamati bentuk dan ciri-ciri luar serta warna dan
bau simplisia. Sebaiknya pemeriksaan mutu organoleptik dilanjutkan dengan mengamati ciri-ciri anatomi histologi terutama untuk menegaskan keaslian simplisia. 1. Parameter non spesifik Parameter non spesifik meliputi uji terkait dengan pencemaran yang disebabkan oleh pestisida, jamur, aflatoxin, logam berat, penetapan kadar abu, kadar air, kadar minyak atsiri, penetapan susut pengeringan. 1. Parameter spesifik Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari simplisia.Uji kandungan kimia simplisia digunakan untuk menetapkan kandungan senyawa tertentu dari simplisia. Biasanya dilkukan dengan analisis kromatografi lapis tipis (Depkes RI, 1985). Standardisasi Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang diperoleh diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Standardisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian parameter yang dibutuhkan sehingga ekstrak persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa aktif dari setiap batch yang diproduksi dapat dipertahankan, dan juga dapat mempertahankan pemekatan kandungan senyawa aktif pada ekstrak sehingga dapat mengurangi secara signifikan volume permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan terpenuhi, serta ekstrak yang diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat dipergunakan sebagai bahan pembuatan formula lain secara mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet, dan lain-lain. 1. Parameter Non Spesifik a)
Susut Pengeringan
Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105 oC selama 30 menit atau sampai konstan, yang dinyatakan dalam porsen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka (Depkes RI, 2000). b) Bobot Jenis Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang mengindikasikan spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting, karena bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah serta jenis komponen atau zat yang larut didalamnya (Depkes RI, 2000). c)
Kadar air
Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung zat atau banyaknya air yang diserap dengan tujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000). d)
Kadar abu
Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari jumlah abu fisiologik bila simplisia dipijar hingga seluruh unsur organik hilang. Abu fisiologik adalah abu yang diperoleh dari sisa pemijaran (Depkes RI, 2000). 2.
Parameter Spesifik
a)
Identitas
Identitas ekstrak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Deskripsi tata nama: 1. 2. 3. 4.
Nama Ekstrak (generik, dagang, paten) Nama latin tumbuhan (sistematika botani) Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, buah,) Nama Indonesia tumbuhan
Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas artinya senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu. Parameter identitas ekstrak mempunyai tujuan tertentu untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas (Depkes RI, 2000). b)
Organoleptik
Parameter oranoleptik digunakan untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa menggunakan panca indera dengan tujuan pengenalan awal yang sederhana dan seobyektif mungkin (Depkes RI, 2000). c)
Kadar sari
Parameter kadar sari digunakan untuk mengetahui jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia. Parameter kadar sari ditetapkan sebagai parameter uji bahan baku obat tradisional karena jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia akan berkaitan erat dengan reproduksibilitasnya dalam aktivitas farmakodinamik simplisia tersebut (Depkes RI,1995). d) Pola kromatogram Pola kromatogram mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran awal komponen kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram kemudian dibandingkan dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu (Depkes RI, 2000). Standardisasi Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia terdiri dari simplsiia nabati, hewani dan mineral. nabati, hewani dan mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang di maksud eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari selnya atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaan simplisia harus memenuhi persyaratan minimal untuk standardisasi simplisia. Standardisasisimplisia mengacu pada tiga konsep antara lain sebagai berikut: Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu umum (nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian, aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, distribusi) Simplisia sebagai bahan dan produk siap pakai harus memenuhi trilogi Quality-Safety-Efficacy Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang berkontribusi terhadap respon biologis, harus memiliki spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan (Depkes RI, 1985). Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam proses standardisasi suatu simplisia. Parameter standardisasi simplisia meliputi parameter non spesifik dan spesifik. Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor
lingkungan dalam pembuatan simplisia sedangkan parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam tanaman. Penjelasan lebih lanjut mengenai parameter standardisasi simplisia sebagai berikut: 1. Kebenaran simplisia Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara organoleptik, makroskopik dan mikroskopik. Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik dilakukan dengan menggunakan indera manusia dengan memeriksa kemurnian dan mutu simplisia dengan mengamati bentuk dan ciri-ciri luar serta warna dan bau simplisia. Sebaiknya pemeriksaan mutu organoleptik dilanjutkan dengan mengamati ciri-ciri anatomi histologi terutama untuk menegaskan keaslian simplisia. a. Parameter non spesifik Parameter non spesifik meliputi uji terkait dengan pencemaran yang disebabkan oleh pestisida, jamur, aflatoxin, logam berat, penetapan kadar abu, kadar air, kadar minyak atsiri, penetapan susut pengeringan. b. Parameter spesifik Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari simplisia.Uji kandungan kimia simplisia digunakan untuk menetapkan kandungan senyawa tertentu dari simplisia. Biasanya dilkukan dengan analisis kromatografi lapis tipis (Depkes RI, 1985). Standardisasi Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang diperoleh diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Standardisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian parameter yang dibutuhkan sehingga ekstrak persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa aktif dari setiap batch yang diproduksi dapat dipertahankan, dan juga dapat mempertahankan pemekatan kandungan senyawa aktif pada ekstrak sehingga dapat mengurangi secara signifikan volume permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan terpenuhi, serta ekstrak yang diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat dipergunakan sebagai bahan pembuatan formula lain secara mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet, dan lain-lain. 1.Parameter Non Spesifik a)Susut Pengeringan Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai konstan, yang dinyatakan dalam porsen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka (Depkes RI, 2000). b)Bobot Jenis Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang mengindikasikan spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting, karena bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah serta jenis komponen atau zat yang larut didalamnya (Depkes RI, 2000). c)Kadar air Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung zat atau banyaknya air yang diserap dengan tujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000). d)Kadar abu Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari jumlah abu fisiologik bila simplisia dipijar hingga seluruh unsur organik hilang. Abu fisiologik adalah abu yang diperoleh dari sisa pemijaran (Depkes RI, 2000). 2.Parameter Spesifik a)Identitas Identitas ekstrak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Deskripsi tata nama: Nama Ekstrak (generik, dagang, paten) Nama latin tumbuhan (sistematika botani) Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, buah,) Nama Indonesia tumbuhan Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas artinya senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu. Parameter identitas ekstrak mempunyai tujuan tertentu untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas (Depkes RI, 2000). b)Organoleptik Parameter oranoleptik digunakan untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa menggunakan panca indera dengan tujuan pengenalan awal yang sederhana dan seobyektif mungkin (Depkes RI, 2000). c)Kadar sari Parameter kadar sari digunakan untuk mengetahui jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia. Parameter kadar sari ditetapkan sebagai parameter uji bahan baku obat tradisional karena jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia akan berkaitan erat dengan reproduksibilitasnya dalam aktivitas farmakodinamik simplisia tersebut (Depkes RI,1995). d)Pola kromatogram
Pola kromatogram mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran awal komponen kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram kemudian dibandingkan dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu (Depkes RI, 2000). Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
BAB I PENDAHULUAN PARAMETER SPESIFIK DALAM SEDIAAN FITOFARMASI (PENETAPAN KADAR SARI DAN KADAR KANDUNGAN KIMIA) Standardisasi ekstrak tumbuhan obat di Indonesia merupakan salah satu tahapan penting dalam pengembanganobat asli Indonesia. Ekstrak tumbuhan obat dapat berupa bahan awal, bahan antara, atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan awal dianalogikan dengankomoditi bahan baku obat yang dengan teknologi fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara merupakan bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Adapun jika sebagai produk jadi berarti ekstrak yang berada dalam sediaan obat jadi siap digunakan, baik dalam bentuk kapsul, tablet, pil, maupun dalam bentuk sediaan topikal. Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan kemajuan teknologi dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kepercayaan terhadap manfaat obat yang berasal dari bahan alam. Salah satu penelitian yang telah dilakukan adalah pembuatan ekstrak tumbuhan berkhasiat obat yang dilanjutkan dengan standardisasi kandungannya untuk memelihara keseragaman mutu, keamanan, dan khasiatnya. BAB II PEMBAHASAN Tanaman gedi (Abelmoschus manihot), suku Malvaceae, merupakan tumbuhan tahunan yang berbatang tegak dengan tinggi sekitar 1,2 – 1,8 m. Kandungan mucilago dari tanaman tersebut terdiri atas polisakarida dan protein. Tanaman ini mengandung quercetin-3-o-robinobiosid, hyperin, isoquercetin, gossipetin-8-o glukuronid, dan myricetin (Liu et al., 2006). Bunganya mengandung quercetin-3-robinoside, quercetin3’-glikosida, hyperin, myrecetin, antosianin, dan hyperoside. Hyperoside memiliki kemampuan antivirus, antinosiseptif, antiinflamasi, kardioprotektif, hepatoprotektif, dan efek protektif terhadap gastrimukosal (lapisan membran mukus pada lambung). Daun gedi juga telah diuji dapat mencegah ovariectomy-induced femoral ostopenia (kondisi densitas mineral tulang yang lebih rendah dari batas normal pada bagian sendi tungkai akibat operasi pengangkatan rahim/ovarium) (Lin-lin et al., 2007; Jain et al., 2009). Tanaman gedi juga dapat meningkatkan fungsi penyaringan glomerular, mengurangi proteinuria, hyperplasia messangium yang dapat mengurangi kerusakan jaringan ginjal (Shao-Yu et al., 2006). Senyawa flavonoid mempunyai berbagai fungsi penting untuk kesehatan, antara lain dalam menurunkan risiko serangan penyakit kardiovaskuler, tekanan darah, aterosklerosis, dan sebagai antioksidan (Hodgson et al., 2006). Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar yang terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh. Berdasarkan strukturnya, flavonoid adalah turunan senyawa induk flavon yang mempunyai sejumlah sifat yang sama. Aglikon flavonoid terdapat pada tumbuhan dengan bentuk struktur yang berbeda-beda. Setiap struktur mengandung atom karbon dalam inti dasar yang tersusun dalam bentuk konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Semua varian flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama dari alur sikimat dan alur asetat malonat. Flavonoid dalam tumbuhan umumnya terikat sebagai glikosida, baik O-
glikosida maupun Cglikosida (Markham, 1988; Harborne, 1987). Flavonoid pada sayuran merupakan metabolit sekunder yang dimanfaatkan untuk kesehatan dan bahan pengkhelat yang menjadi penyumbang utama terhadap kapasitas fungsinya sebagai antioksidan. Selain berfungsi sebagai antioksidan, flavonoid juga dapat memodulasi jalur sinyal sel dan efeknya dapat ditandai pada fungsi sel dengan mengubah protein dan fosforilasi lemak dan modulasi ekspresi gen (Číž et al., 2010). Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai standardisasi mutu ekstrak tanaman gedi (Abelmoschus manihot L.) Medik agar diperoleh keseragaman mutu, keamanan, dan khasiatnya sebagai antioksidan. a. Pembuatan Ekstrak Daun gedi diambil pada pagi hari yaitu daun yang kelima dari pucuk hingga ke bawah yang masih hijau, dipetik secara langsung dengan tangan. Daun yang telah dikumpulkan dari ketiga daerah, yakni daerah Makassar, Palu, dan Gorontalo masing-masing disortasi basah atau dicuci dengan air mengalir, kemudian dikeringkan. Daun yag telah kering disortasi kering dan diserbukkan. Serbuk daun gedi diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi dan infundasi. Mula-mula 800 g serbuk daun gedi dimaserasi dengan pelarut etanol 70% dan 96% selama 3x24 jam pada wadah kaca yang berbeda hingga 1- 3 cm di atas serbuk. Filtrat dikumpulkan lalu diuapkan dengan rotavapor hingga diperoleh ekstrak kental etanol 70% dan 96%. Selain itu, dibuat infusa dari daun gedi dengan menimbang sebanyak 500 gram serbuk daun gedi, kemudian dibasahkan dengan 5000 ml air suling di dalam panci. Pemanasan dilakukan pada suhu 90°C selama 15 menit sambil sesekali diaduk. Infus disekai sewaktu masih panas melalui kain flannel dan untuk mencukupi volumenya, ditambahkan air mendidih melalui ampasnya. Kemudian dikeringkan secara freeze drying. b. Penentuan parameter-parameter standardisasi Parameter spesifik 1. Penetapan organoleptik ekstrak meliputi bentuk, warna, rasa, dan bau. 2. Penetapan kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu. a. Kadar senyawa yang larut dalam air Sejumlah 2,5 g ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 50 ml airkloroform LP, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Diuapkan 10 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 105°C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal. Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali. b. Kadar senyawa yang larut dalam etanol Sejumlah 2,5 g ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 50 ml etanol 95% menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol, kemudian diuapkan 10 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap yang telah ditera, residu dipanaskan pada suhu 105°C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol terhadap berat ekstrak awal. Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali. 3. Analisis kandungan flavonoid total a. Proses Hidrolisis Ekstrak 200 mg simplisia ditimbang dan dimasukan ke dalam labu alas bulat. Ditambahkan sistem hidrolisis: 1 ml larutan 0,5% b/v heksametilenetramina, 20 ml aseton, dan 2 ml larutan 25% HCl dalam air. Dilakukan hidrolisis dengan pemanasan sampai mendidih (digunakan pendingin air untuk refluks) selama 30 menit. Campuran hasil hidrolisis disaring menggunakan kapas ke dalam labu ukur 100 ml. Residu hidrolisis ditambah 20 ml aseton untuk didiihkan kembali sebentar, dilakukan dua kali dan filtrat dikumpulkan semua ke dalam labu ukur. Setelah labu ukur dingin, maka volume ditepatkan sampai tepat 100,0 ml dan dikocok rata. 20 ml filtrat hidrolisa
dimasukkan ke corong pisah dan ditambahkan 20 ml H2O. Selanjutnya dilakukan ekstraksi kocok, pertama dengan 1ml etilasetat. Kemudian dua kali dengan 10 ml etilasetat, dan dikumpulkan fraksi etilasetat ke dalam labu ukur 50 ml, akhirnya ditambahkan etilasetat sampai tepat 50 ml. dilakukan replikasi 3 – 4 kali. Cara Perhitungan Kadar Sari : Berat Ekstrak = (Berat total penimbangan – Berat cawan kosong) Kadar sari Larut etanol (N) = x 100 % Kadar Sari Rata-rata = x 100 % b. Pembuatan larutan baku flavonoid Rutin yang telah dihidrolisis ditimbang teliti sejumlah 5 mg, kemudian dilarutkan dengan alkohol 96% pada labu ukur hingga 100 ml sehingga diperoleh konsentrasi 20 ppm. Larutan tersebut dipipet sebanyak 1; 2; 3; 4; dan 5 ml ke dalam labu ukur 10 ml dan ditambahkan 1 ml larutan 2 g AlCl3 dalam 100 ml larutan asam asetat glasial 5% v/v. Larutan dicukupkan volumenya dengan larutan asam asetat glasial 5%v/v hingga 10 ml sehingga diperoleh 5 konsentrasi,yakni 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm. c. Penentuan λ maksimum Salah satu konsentrasi larutan baku diukur serapannya pada λ 200 – 500 nm. λ yang menunjukkan serapan tertinggi merupakan λ maksimum. d. Pengukuran serapan flavonoid total Sejumlah 10 ml larutan fraksi etilasetat (hidrolisa) dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml kemudian ditambahkan 1 ml larutan 2 g AlCl3 dalam 100 ml larutan asam asetat glasial 5% v/v. Larutan ini kemudian ditambahkan larutan asam asetat glasial 5%v/v sampai tepat 25 ml. Hasil reaksi siap diukur pada spektrometer UV-VIS setelah 30 menit berikutnya pada λ maksimum yang diperoleh. Kadar Flavanoid Total = BAB III KESIMPULAN Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui rumus struktur senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak daun Gedi. Ekstrak daun gedi (Abelmoschus manihot L.) Medik yang dipersyaratkan adalah ekstrak etanol 96%, yakni: Secara organoleptis ekstrak yang berasal dari ketiga daerah tidak berbeda, yakni berbentuk kental, berwarna hijau kecoklatan, berbau khas, dan berasa sepat. Parameter spesifik meliputi Susut pengeringan Kadar air Kadar abu Bobot jenis DAFTAR PUSTAKA Pratiwi, S. T. 2005. Pengujian Cemaran Bakteri Dan Cemaran Kapang/Khamir Pada Produk Jamu Gendong Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pharmacon. Sudarmadji, S., Haryono, B., & Suhardi. 1986. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Widowati, W., Astiana S., dan Raymond J. 2008. Efek Toksik Logam, Pencegahan, dan Penanggulangan Pencemaran. CV Andi Offset. Jakarta. Harborne. I.B., 1987. Metode Fitokimia , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso. penerbit ITB. Bandung. Arifin, H.,Nelvi, A., Dian, H., Roslinda, R. 2006. Standarisasi Ekstrak Etanol Daun Eugenia Cumini Merr.J. Sains Tek. www.pdf.parameter spesifik dan parameter non spesifik MAKALAH PARAMETER NON SPESIFIK DALAM SEDIAAN FITOFARMASI (PENETAPAN KADAR AIR DAN KADAR ABU) NAMA : EBNI SUHARA STAMBUK : 150 209 315 KELAS : L 2 / 09 LABORATORIUM FARMAKOGNOSI FAKULTAS FARMASI MAKASSAR 2012 BAB I PENDAHULUN PARAMETER NON SPESIFIK DALAM SEDIAAN FITOFARMASI (PENETAPAN KADAR ABU AIR DAN KADAR ABU) Sediaan obat tradisional atau herbal dibuat dari simplisia tanaman atau bagian dari hewan, atau mineral dalam keadaan segar atau telah dikeringkan dan diawetkan. Agar sediaan obat tradisional atau herbal tersebut dapat dipakai dengan aman, terjaga keseragaman mutu dan kadar kandungan senyawa aktifnya, maka diperlukan standardisasi baik standardisasi sediaan maupun standarisasi bahan baku simplisia Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam proses standardisasi suatu simplisia. Parameter standardisasi simplisia meliputi parameter non spesifik dan
spesifik. Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor lingkungan dalam pembuatan simplisia sedangkan parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam tanaman. BAB II PEMBAHASAN Parameter nonspesifik 1. Parameter kadar air Sejumlah 1 g ekstrak ditimbang dalam krus porselen bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105°C selama 90 menit dan telah ditera. Ratakan dengan menggoyangkan hingga merupakan lapisan setebal 10 – 15 mm dan dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap, buka tutupnya, biarkan krus dalam keadaan tertutup dan mendingin dalam desikator hingga suhu kamar, kemudian dicatat bobot tetap yang diperoleh untuk menghitung persentase susut pengeringannya. Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali. 2. Parameter kadar abu Sejumlah 2 gram ekstrak ditimbang dengan seksama ke dalam krus yang telah ditera, dipijarkan perlahanlahan. Kemudian suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600 ± 250C sampai bebas karbon, Selanjutnya, didinginkan dalam desikator, serta ditimbang berat abu. Kadar abu dihitung dalam persen berat sampel awal. Dilakukan sebanyak tiga kali replikasi. Kadar abu yang tidak larut dalam asam Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, kemudian dididihkan dengan 25 ml asam klorida encer P selama 5 menit. Bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicucidengan air panas, disaring dan ditimbang, ditentukan kadar abu yang tidak larut asam dalam persen terhadap berat sampel awal. Dilakuakn replikasi sebanyak tiga kali. 3. Penentuan total bakteri dan total kapang a. Penetuan total bakteri Sejumlah 1 ml ekstrak dari pengenceran 10-4 dipipet dengan pipet steril, kemudian ditanamkan dalam medium NA, lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Kemudian diamati dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran. Dilakukan replikasi sebanyak tiga kali. b. Penentuan total kapang Sejumlah 1 ml ekstrak dari pengenceran 10-1 dipipet dengan pipet steril, kemudian ditanam dalam medium PDA, lalu diinkubasi pada suhu 25°C selama tiga hari. Kemudian diamati dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran. Dilakukan replikasi sebanyak tiga kali. 4. Penentuan batas logam timbal (Pb) Penentuan batas logam Pb di dalam ekstrak dilakukan secara destruksi basah ekstrak dengan asam nitrat dan hidrogen peroksida, kadar Pb ditentukan dengan spektrofotometri serapan atom. Ekstraksi Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun gedi (Abelmoschus manihot L. Medik) yang diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi dan infudasi. Metode maserasi dipilih sebagai metode dalam mengekstraksi karena adanya sifat daun yang lunak dan mudah mengembang dalam cairan pengekstraksi. Selain itu, maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana karena cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif ini akan larut dan adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dengan di luar sel menyebabkan larutan yang terpekat keluar hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dengan di luar sel. Cairan penyari yang digunakan dalam proses maserasi ini adalah etanol 70% dan 96%. Etanol dipertimbangkan sebagai cairan penyari karena: 1. lebih selektif, 2. kapang sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, 3. tidak beracun, 4. netral, 5. absorbsinya baik, 6. etanol dapat bercampur dengan air dalam segala perbandingan, 7. memerlukan panas yang lebih sedikit untuk proses pemekatan, dan 8. zat pengganggu yang larut terbatas. Pelarut etanol dipilih sebagai cairan penyari karena senyawa yang akan diekstraksi adalah senyawa fenolik. Ekstraksi senyawa fenolik dari jaringan tumbuhan dalam bentuk glikosida menggunakan pelarut metanol atau etanol
pada suhu kamar dengan cara maserasi (Andersen, 2006; Markham, 1988). Infudasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Cara ini sangat sederhana dan sering digunakan oleh perusahaan obat tradisional. Cairan penyari yang digunakan dalam metode infudasi ini adalah air. Air dipertimbangkan sebagai penyari karena: 1. murah dan mudah diperoleh, 2. stabil, 3. tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, 4. tidak beracun, dan 5. alamiah. Parameter Organoleptik Standardisasi merupakan proses penjaminan produk akhir (obat, ekstrak, atau produk ekstrak) agar mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu. Untuk menjamin mutu dari ekstrak tanaman obat, perlu dilakukan penetapan standar mutu spesifik dan non spesifik agar nantinya ekstrak terstandar dapat digunakan sebagai obat yang mengandung kadar senyawa aktif yang konstan dan dapat dipertanggungjawabkan. Parameter organoleptik ekstrak bertujuan memberikan pengenalan awal ekstrak secara objektif berupa bentuk, warna, bau, dan rasa. Data ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji simplisia secara fisis selama penyimpanan yang dapat mempengaruhi khasiatnya. Penentuan Kadar Senyawa Terlarut Dalam Pelarut Etanol dan Air Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu bertujuan memberikan gambaran awal jumlah kandungan senyawa yang dapat diekstraksi. Penentuan parameter ini dilakukan secara gravimetrik dan mempersyaratkan untuk menggunakan dua pelarut, yaitu pelarut air dan etanol. Kedua pelarut ini dan campuran keduanya merupakan cairan pelarut yang diperbolehkan dan memenuh syarat kefarmasian (pharmaceutical grade). Pelarut air dimaksudkan untuk melarutkan senyawa polar dan etanol untuk melarutkan senyawa kurang polar yang terdapat dalam ekstrak. Pada penelitian ini persentase kadar senyawa terlarut dalam air dan persentase kadar senyawa terlarut dalam etanol pada ekstrak daun gedi dapat dilihat pada tabel 3. Dari data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa ekstrak daun gedi yang diperoleh dari infudasi mengandung senyawa yang lebih polar, sedangkan untuk ekstrak yang diperoleh dari proses maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 70% dan 96% mengandung senyawa yang kurang polar. Penentuan Kadar Air Untuk penentuan kadar air digunakan metode gravimetrik, yang pada prinsipnya menguapkan air yang ada pada bahan dengan jalan pemanasan pada suhu 1050C, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan. Pada penelitian ini persentase kadar air ekstrak daun gedi dapat dilihat pada tabel 3. Pada penelitian ini, persentase kadar air dalam ekstrak daun gedi tergolong memenuhi syarat . Menurut literatur, kadar air dalam ekstrak tidak boleh lebih dari 10%. Hal ini bertujuan untuk menghindari cepatnya pertumbuhan jamur dalam ekstrak (Soetarno dan Soediro, 1997). Cara perhitungan Kadar Abu = (Berat total penimbanganBerat cawan kosong) Kadar Abu Total (N) = x 100% Kadar Abu Rata-rata = x 100% Penetapan kadar abu total dan abu tidak larut asam Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu : 1. Garam-garam organik, misalnya garam dari asam malat, oksalat, asetat, pektat, dan lain-lain 2. Garam-garam anorganik, misalnya fosfat, karbonat, klorida, sulfat nitrat danlogam alkali. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat terbentuk sebagai senyawa yang kompleks yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya adalah sangat sulit. Oleh karenanya
biasanya dilakukan dengan menentukan sisa pembakaran garam mineral tersebut yang dikenal dengan pengabuan (Sudarmadji, 1986). Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain: 1. menentukan baik tidaknya suatu pengolahan, 2. mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan 3. penentuan parameter nilai gizi pada bahan makanan. Data kadar abu total dan abu tidak larut dalam asam yang terdapat pada ekstrak daun gedi Besarnya kadar abu total dalam setiap ekstrak daun gedi mengindikasikan bahwa ekstrak yang diperoleh dari proses maserasi dan infudasi banyak mengandung mineral. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang rendah menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain dalam kadar rendah. Cara Kerja Penetapan Kadar Sari Penetapan Kadar sari yang larut dalam etanol Timbang serbuk sampel sebanyak 5 gram Maserasi dengan 100 ml etanol (95%) selama 24 jam menggunakan labu bersumbat kaca sambil sekali-kali dikocok selama 6 jam, kemudian diamkan selama 18 jam. Saring dengan menggunakan corong buchner dengan bantuan pompa vakum Uapkan 20 ml filtrat dalam cawan dangkal dasar rata yang telah ditera diatas tangas air hingga ekstrak kering Panaskan ekstrak pada suhu 1050C hingga bobot tetap/konstan. Hitung kadar dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Penetapan kadar sari yang larut dalam air Timbang serbuk sampel sebanyak 5 gram Maserasi dengan 100 ml air kloroform (2,5 ml kloroform dalam 1000 ml air).Selama 24 jam menggunakan labu bersumbat kaca sambil sekali-kali dikocok selama 6 jam,Kemudian diamkan selama 18 jam, saring . Uapkan 20 ml filtrat dalam cawan dangkal dasar rata yang telah ditera diatas tangas air hingga ekstrak kering, Panaskan ekstrak pada suhu 1050C hingga bobot tetap/konstan Hitung kadar dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara. Penetapan Kadar kandungan Kimia Tentukan kadar zat aktif sesuai dengan bahan yang akan diujikan, dan ikuti prosedur kerja yang ada Konsultasikan ke dosen tutorial atau asisten pembimbing jika anda menemui kesultan dalam menetapkan kadar zat aktif yang dikerjakan. BAB III KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: Kadar rata-rata senyawa yang terlarut dalam air yakni 7,38 ± 0,22 – 8,91±0,21 %b/b. Kadar rata-rata senyawa yang terlarut dalam etanol yakni 21,12 ± 0,16 – 29,44±0,2 %b/b. Kadar air maksimum yang terkandung yakni 8,25± 2,51%b/b. Kadar abu total maksimum yang terkandung yakni 22,00 ± 1,46%b/b. Kadar abu tidak larut asam maksimum yang terkandung yakni 0,50 ± 0,12%b/b. Parameter nonspesifik meliputi Identitas Pola kromatogram Kadar sari Organoleptik DAFTAR PUSTAKA Pratiwi, S. T. 2005. Pengujian Cemaran Bakteri Dan Cemaran Kapang/Khamir Pada Produk Jamu Gendong Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pharmacon. Sudarmadji, S., Haryono, B., & Suhardi. 1986. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Widowati, W., Astiana S., dan Raymond J. 2008. Efek Toksik Logam, Pencegahan, dan Penanggulangan Pencemaran. CV Andi Offset. Jakarta. Harborne. I.B., 1987. Metode Fitokimia , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso. penerbit ITB. Bandung. Arifin, H.,Nelvi, A., Dian, H., Roslinda, R. 2006. Standarisasi Ekstrak Etanol Daun Eugenia Cumini Merr.J. Sains Tek. www.pdf.parameter spesifik dan parameter non spesifi
BAB IV
PROSEDUR PENELITIAN
4.1. Pengambilan Sampel Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun jambu (Psidium guajava L.) yang diperoleh dari Manoko (Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat). Determinasi akan dilakukan di Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung.
4.2. Pembuatan Simplisia dan Serbuk Simplisia Daun jambu biji segar dibuat menjadi simplisia melalui pengeringan dengan cara dianginanginkan. Simplisia daun jambu yang telah didapat kemudian digiling pada mesin penggiling lalu diayak dengan pengayak sehingga diperoleh serbuk. Serbuk simplisia yang diperoleh kemudian ditentukan kualitasnya melalui pengukuran parameter standar simplisia. Di samping itu juga dilakukan penapisan fitokimia.
4.3. Pengujian Parameter Standar Simplisia dan Ekstrak Parameter standar simplisia dan ekstrak yang diuji terdiri dari parameter non spesifik dan spesifik menurut Ditjen POM (2000). Parameter ekstrak nonspesifik bertujuan untuk menetapkan kualitas ekstrak dan simplisia meliputi susut pengeringan, kadar air, kadar abu total dan kadar abu tak larut asam. Parameter ekstrak spesifik yang diuji yaitu kadar sari larut air dan larut ethanol bertujuan untuk menetapkan jumlah senyawa yang terlarut dalam air maupun ethanol. 4.3.1. Susut Pengeringan
Bahan ditimbang sebanyak 1-2 gram, dimasukan ke dalam cawan penguap yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105 oC selama 30 menit dan telah ditara. Pengeringan dilakukan pada suhu 105 oC selama 10 menit lalu dimasukan dalam eksikator hingga suhu dingin dan ditimbang. Pengeringan dilakukan hingga didapat bobot ekstrak antara 2 penimbangan perbedaannya tidak kurang dari 0,25%. Rumus :
4.3.2. Kadar Air Pengukuran kadar air dilakukan dengan cara destilasi. Tabung penerima dan pendingin dibersihkan dengan seksama, kemudian dibilas dengan air dan dikeringkan. Sejumlah zat yang ditimbang dan diperkirakan mengandung 2 ml sampai 4 ml air dimasukan ke dalam labu kering. Jika ekstrak berupa pasta ditimbang dalam sehelai lembaran logam dengan ukuran yang sesuai dengan leher labu. Lebih kurang 200 ml toluene dimasukan ke dalam labu, dihubungkan ke alat. Toluene dituangkan ke dalam tabung penerima (R) melalui alat pendingin. Labu dipanaskan dengan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluene mulai mendidih larutan disuling dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes tiap detik, hingga sebagian air tersuling, kemudian kecepatan penyulingan ditingkatkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, bagian dalam pendingin dicuci dengan toluen, sambil dibersihkan dengan sikat tabung yang disambungkan pada sebuah kawat tenbaga dan lebih dibasahi dengan toluen. Penyulingan dilanjutkan selama 5 menit. Tabung penerima pendingin dibiarkan hingga mencapai suhu kamar. Jika ada tetes air yang melekat pada pendingin tabung penerima digosok dengan karet yang dikaitkan pada sebuah kawat tembaga dan dibasahi dengan toluene hingga tetes air turun. Setelah air dan toluene memisah sempurna, baca volume air. Kadar air dihitung dalam persen. Rumus :
4.3.3. Kadar Abu Total Lebih kurang 2 g sampai 3 g zat yang telah digerus dan ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan, lalu dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, didinginkan dan ditimbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas dan disaring melalui kertas saring bebas abu. Sisa kertas dan kertas saring dipijarkan dalam krus yang sama. Filtrat dimasukan ke dalam krus, diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap dan ditimbang. Kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara dihitung. Rumus :
4.3.4. Kadar Abu Tidak Larut Asam Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, dididihkan dengan 25 ml asam sulfat encer P selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, dipijarkan hingga bobot tetap dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara dihitung. Rumus :
4.3.5. Kadar Sari Larut Air
Sebanyak 5 g bahan yang telah dikeringkan di udara, maserasi selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform P, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Maserat disaring, 20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, sisanya dipanaskan pada suhu 105°C hingga bobot tetap. Kadar yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Rumus :
4.3.6. Kadar Sari Larut Ethanol Sebanyak 5 g bahan yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml ethanol, menggunakan Labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Maserat disaring, 20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, sisanya dipanaskan pada suhu 105°C hingga bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Rumus :
4.4 Penapisan Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Penapisan fitokimia dilakukan untuk menguji kandungan kimia yang terdapat pada simplisia dan ekstrak daun jambu biji yang terdiri dari penapisan alkaloid, polifenolat, tannin,
flavonoid, monoterpen, sesquisterpen, steroid, triterpenoid, kuinon dan saponin menurut Mulkiya dkk. (2010). 4.4.1. Alkaloid Simplisia atau bahan uji lain ditempatkan dalam tabung reaksi lalu diasamkan dengan asam klorida 2N, lalu disaring. Filtrat dibasakan dengan larutan amonia 10%, kemudian ditambahkan kloroform dan dikocok kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet sambil disaring, kemudian ke dalamnya ditambahkan asam klorida 2 N lalu dikocok kuat-kuat sampai terdapat dua lapisan dan lapisan asam dipipet dan dibagi tiga bagian: pada bagian 1 ditambahkan pereaksi Mayer dan adanya endapan putih atau kekeruhan menandakan positif alkaloid, pada bagian 2 ditambahkan pereaksi Dragendorff dan adanya endapan jingga-kuning atau kekeruhan menandakan positif alkaloid, dan bagian 3 digunakan sebagai blangko. 4.4.2. Uji Senyawa Polifenolat Simplisia atau bahan uji lain ditempatkan dalam tabung reaksi lalu ditambahkan air secukupnya, lalu dipanaskan di atas penangas air dan disaring. Larutan pereaksi besi (III) klorida ditambahkan ke dalam filtrat dan timbulnya warna hijau atau biru-hijau, merah ungu, biru-hitam hingga hitam menandakan positif fenolat atau timbul endapan coklat menandakan adanya polifenolat. 4.4.3. Uji Tanin Sejumlah kecil simplisia atau bahan uji lain ditempatkan dalam tabung reaksi lalu ditambahkan air secukupnya, kemudian dipanaskan di atas penangas air lalu disaring. Larutan gelatin 1% ditambahkan ke dalam filtratdan adanya endapan putih menandakan positif tanin. 4.3.4. Uji Flavonoid Simplisia atau bahan uji lain ditempatkan dalam tabung reaksi lalu dicampur dengan serbuk magnesium dan asam klorida 2 N dan dipanaskan di atas penangas air dan disaring.
Amil alkohol ditambahkan ke dalamlalu dikocok kuat-kuat dan timbulnya warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol menandakan positif flavonoid. 4.4.5. Uji Monoterpenoid dan Seskuiterpenoid Simplisia atau bahan uji lain digerus dengan eter lalu dipipet sambil disaring. Filtrat ditempatkan dalam cawan penguap dan dibiarkan menguap sampai kering, lalu ditambahkan larutan vanillin 10% dalam asam sulfat pekat dan timbulnya warna-warna menandakan positif senyawa mono dan seskuiterpen.
4.4.6. Uji Steroid dan Triterpenoid Simplisia atau bahan uji lain digerus dengan eter lalu dipipet sambil disaring. Filtrat ditempatkan dalam cawan penguap dan dibiarkan menguap sampai kering, lalu ditambahkan larutan pereaksi Liebermann Burchard dan terjadinya warna ungu menandakan positif triterpenoid, sedangkan bila warna hijau-biru menunjukkan positif steroid. 4.4.7. Uji Senyawa Kuinon Sejumlah kecil simplisia atau bahan uji lain ditempatkan dalam tabung reaksi lalu dipanaskan di atas penangas air lalu disaring. Larutan kalium hidroksida 5% ditambahkan kedalam filtrat dan timbulnya warna kuning hingga merah menandakan positif kuinon. 4.4.8. Uji Saponin Sejumlah kecil simplisia atau bahan uji lain ditempatkan dalam tabung reaksi lalu dipanaskan di atas penangas air selama 30 menit, lalu setelah dingin dikocok kuat-kuat dan terjadinya busa setinggi ± 1 cm yang bertahan selama 5 menit menandakan positif saponin.
4.5. Pembuatan Ekstrak 4.5.1. Maserasi Serbuk simplisia daun jambu biji diekstrak dengan menggunakan ethanol 70% dalam bejana maserator selama 2 hari dengan sesekali dikocok. Larutan ekstrak ditampung lalu dilakukan kembali remaserasi dengan memasukan pelarut baru kedalam ampas ekstrak, diekstraksi kembali selama 1 hari lalu ekstrak diambil dan dicampurkan dengan ekstrak pertama (Ditjen POM, 2000). 4.5.2. Ekstraksi Sinambung Serbuk simplisia daun jambu biji diekstrak dengan menggunakan Ethanol 70% dalam soxhet pada suhu 50-70oC hingga larutan menjadi jernih menandakan simplisia telah terekstrak sempurna (Ditjen POM, 2000).
4.6. Fraksinasi 4.6.1. Fraksi N-heksan Ekstrak yang didapat difraksinasi menggunakan metode ekstraksi cair-cair dengan alat corong pisah. Ekstrak dilarutkan dalam aquadestilata, dimasukan ke dalam corong pisah lalu ditambah larutan n-heksan dengan volume sebanding, campuran dikocok hingga terpisah dengan sesekali dibuka pipanya untuk mengeluarkan udara yang dihasilkan, didiamkan hingga terbentuk dua lapisan kemudian fraksi n-heksan ditampung dan dipekatkan. 4.6.2. Fraksi Etil Asetat Fraksi yang tidak larut n-heksan difraksinasi kembali menggunakan Etil Asetat. Fraksi ditambah etil asetat dengan volume sebanding dimasukan ke dalam corong pisah, dikocok hingga terpisah dengan sesekali dibuka pipanya untuk mengeluarkan udara yang dihasilkan,
didiamkan hingga terbentuk dua lapisan kemudian fraksi etil asetat ditampung dan dipekatkan.
4.6.3. Fraksi Air Fraksi air adalah lapisan yang tidak larut dalam etil asetat. Fraksi yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan pemanasan pada cawan penguap.
4.7. Pemantauan KLT Fraksi n-heksan, fraksi etil asetat, fraksi air dan pembanding quercetin ditotolkan pada plat KLT silica gel dengan pengembang kloroform-methanol (96:4), kloroform-etil asetat (7:3) dan metilen klorid-etil asetat (4:1) dengan penampak bercak FeCl3 dalam air (Andersen, 2006; Herowati dkk., 2006).
4.8. Pengujian Antioksidan dengan DPPH Pertama-tama dibuat tiga macam larutan menurut Molyneux (2003) yaitu:
Larutan DPPH: dibuat 50µg/ml DPPH dalam ethanol.
Larutan Fraksi: setiap fraksi dibuat pengenceran tiap fraksi dengan konsentrasi 10, 30, 50, 70 dan 90 µg/ml dalam ethanol.
Larutan Vitamin C: dibuat pengenceran vitamin C dengan konsentrasi 10, 30, 50, 70 dan 90 µg/ml dalam ethanol.
Larutan uji dibuat dengan mencampurkan larutan DPPH dan fraksi dengan perbandingan 1:1. Larutan pembanding dibuat dengan mencampurkan larutan Vitamin C dan larutan DPPH dengan perbandingan 1:1. Larutan kontrol yang digunakan yaitu larutan DPPH (Molyneux, P., 2003). Larutan uji, larutan pebanding dan larutan kontrol masing-masing dikocok lalu didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang, lalu diukur serapannya pada spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 517 nm (Kikuzaki, et al., 2002). Kapasitas antioksidan untuk menghambat radikal bebas menurut Andayani dkk. (2008) ditentukan dengan persamaan:
Absorbansi kontrol merupakan serapan larutan kontrol sedangkan absorbansi sampel merupakan serapan larutan uji atau larutan pembanding yang diukur serapannya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 517 nm. Nilai IC50 ditentukan dari kurva hubungan antara % inhibisi terhadap konsentrasi larutan uji atau pebanding (µg/ml). Selanjutnya dari kurva ini dibuat regresi liner sehingga diperoleh persamaan (y=bx+a). Nilai IC50 dihitung dari persamaan regresi yang diperoleh dengan memasukan nilai 50% pada y sehingga diketahui nilai konsentrasi efektifnya. Nilai IC50 larutan uji dan larutan pembanding ditentukan dari persamaan yang diperoleh dari kurva masing-masing.