STUNTING MAKALAH (Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Gizi Masyarakat)
Disusun oleh: Kelompok 3, Kelas E Imatul Khoiroyah 132110101073 132110101073
Nur Aini Fimbay
142110101207 142110101207
Ailsa Nurul Qibektiah
152110101038 152110101038
Devita Dian Safitri
152110101046 152110101046
Umdatus Sholihah
152110101065 152110101065
Meda Vio Azara
152110101072 152110101072
Wahyu Febriyanto Aji
152110101089 152110101089
Leni Ika Safitri
152110101122 152110101122
Zamilla Briliana
152110101136 152110101136
Halima
152110101152
Rahmawati Kumarungky
152110101181 152110101181
Dosen Pengampu: Sulistiyani, S.KM., M.Kes. Jumat, 15 September 2017 Pukul 14.20 WIB/Ruang Kuliah 7 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS JEMBER 2017
i
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Stunting” Stunting” dengan tepat waktu. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, yaitu : 1. Ibu Sulistiyani, S.KM., M.Kes. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan
dan
dorongan
kepada
penulis
sehingga
tersusunlah makalah ini. 2. Orang tua kami yang tidak lupa selalu mendoakan kami dan merupakan motivasi terbesar kami sampai saat ini. 3. Rekan-rekan yang menempuh mata kuliah Gizi Masyarakat yang telah memberikan dukungan moril. Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, baik dari segi materi maupun penyajiannya. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaannya dan semoga paper ini dapat memberikan tambahan wawasan bagi kita semua khususnya teman-teman mahasiswa serta bisa menjadi bahan referensi untuk pembelajaran kita bersama.
Jember, 12 September 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3
Tujuan Penulisan ...................................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 3 1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 3 BAB 2. PEMBAHASAN ........................................................................................ 4 2.1 Definisi Stunting............................................................................................ 4 2.2 Gejala Stunting .............................................................................................. 5 2.3 Klasifikasi Stunting ....................................................................................... 5 2.4 Penyebab Stunting ......................................................................................... 6 2.5 Pencegahan terhadap Stunting..................................................................... 17 2.6 Penanggulangan Stunting ............................................................................ 19 BAB 3. PENUTUP ............................................................................................... 21 3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 21 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22
iii
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Perkembangan masalah gizi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu: Masalah gizi yang secara public health sudah terkendali; Masalah yang belum dapat diselesaikan (un-finished); dan Masalah gizi yang sudah meningkat dan mengancam kesehatan masyarakat (emerging). Masalah gizi lain yang juga mulai teridentifikasi dan perlu diperhatikan adalah defisiensi vitamin D. Masalah gizi yang sudah dapat dikendalikan meliputi kekurangan Vitamin A pada anak Balita, Gangguan Akibat Kurang Iodium dan Anemia Gizi pada anak 2-5 tahun. Penanggulangan masalah Kurang Vitamin A (KVA) pada anak Balita sudah dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1970-an, melalui distribusi kapsul vitamin A setiap 6 bulan, dan peningkatan promosi konsumsi makanan sumber vitamin A. Dua survei pada tahun 2007 dan 2011 menunjukkan, secara nasional proporsi anak dengan serum retinol kurang dari 20 ug sudah di bawah batas masalah kesehatan masyarakat, artinya masalah kurang vitamin A secara nasional tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penanggulangan GAKI dilakukan sejak tahun 1994 dengan mewajibkan semua garam yang beredar harus mengandung iodium sekurangnya 30 ppm. Data status Iodium pada anak sekolah sebagai indikator gangguan akibat kurang Iodium selama 10 tahun terakhir menunjukkan hasil yang konsisten. Median Ekskresi Iodium dalam Urin (EIU) dari tiga survai terakhir berkisar antara 200230 g/L, dan proporsi anak dengan EIU <100 g/L di bawah 20%. Secara nasional masalah gangguan akibat kekurangan Iodium tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah gizi ketiga yang sudah bisa dikendalikan adalah anemia gizi pada anak 2-5 tahun. Prevalensi anemia pada anak mengalami penurunan, yakni 51,5% (1995) menjadi 25,0% (2006) dan 17,6% (2011). Masalah gizi yang belum selesai adalah masalah gizi kurang dan pendek (stunting). Pada tahun 2010 prevalensi anak stunting 35.6 %, artinya 1 diantara
1
tiga anak kita kemungkinan besar pendek. Sementara prevalensi gizi kurang telah turun dari 31% (1989), menjadi 17.9% (2010). Dengan capaian ini target MDGs sasaran 1 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi 15.5% pada tahun 2015 diperkirakan dapat dicapai. Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa 35,6% anak Indonesia “stunted”. Sebagai akibatnya, produktivitas individu menurun dan masyarakat harus hidup dengan penghasilan yang rendah.Stunting atau penurunan tingkat pertumbuhan pada manusia utamanya disebabkan oleh kekurangan gizi. Lebih jauh lagi, kekurangan gizi ini disebabkan oleh rusaknya mukosa usus oleh bakteri fecal yang mengakibatkan terjadinya gangguan absorbsi zat gizi. Dengan demikian, peningkatan cakupan sanitasi dan perilaku hygiene sebesar 99% dapat membantu menurunkan
insiden
diare
sebesar
30%
dan
menurunkan
prevalensi stuntingsebesar 2,4%. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sanitasi buruk mengakibatkan beragam dampak negatif, baik bagi kesehatan, ekonomi maupun lingkungan. Saat ini, tantangan pembangunan sanitasi semakin berat dengan adanya temuan bahwa sanitasi
buruk
mengakibatkan
terdiagnosa stunted. Sanitasi
sebagian
besar
generasi
buruk dan air minum
penerus
bangsa
yang terkontaminasi
mengakibatkan diare yang mengganggu penyerapan zat-zat gizi dalam tubuh. Akibatnya, anak-anak tidak mendapatkan zat gizi yang memadai sehingga pertumbuhannya terhambat.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis mencoba mengidentifikasi beberapa pertanyaan yang akan dijadikan bahan dalam penyusunan dan penyelesaian makalah. Rumusan masalah adalah sebagai berikut: 1. Apa pengertian dari stunting? 2. Bagaimanakah gejala dari stunting? 3. Apa saja klasifikasi dari stunting? 4. Apa saja penyebab stunting? 5. Bagaimana cara pencegahan stunting?
2
6. Bagaimana cara penanggulangan stunting?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Gizi Masyarakat, juga memiliki tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui penyakit stunting yang masih banyak di derita balita di Indonesia dan cara pencegahannya.
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus pembuatan makalah ini adalah : 1. Mengetahui dan memahami pengertian dari stunting. 2. Mengetahui gejala dari stunting. 3. Mengetahui klasifikasi dari stunting. 4. Mengetahui penyebab stunting. 5. Mengetahui cara pencegahan stunting. 6. Mengetahui cara penanggulangan stunting.
3
BAB 2. PEMBAHASAN 2.1 Definisi Stunting
Menurut data yang dilansir WHO, 178 juta anak di bawah lima tahun mengalami stunted. Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional. Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya (MCN, 2009). Stunted adalah tinggi badan yang kurang menurut umur (<-2SD), ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunted merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak (Dinkes Sumsel). Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted). Stunting adalah perawakan pendek yang timbul akibat malnutrisi yang lama (Candra, 2013). Menurut Millennium Challenge Account -Indonesia, stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia. Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting merupakan
masalah
kesehatan
masyarakat
yang
berhubungan
dengan
4
meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh growth faltering dan catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik.
2.2 Gejala Stunting
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Selatan anak yang mengalami stunting ini memiliki ciri-ciri atau gejala-gejala sebagai berikut: a. Anak yang stunted, pada usia 8-10 tahun lebih terkekang/tertekan (lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye-contact) dibandingkan dengan anak non-stunted jika ditempatkan dalam situasi penuh tekanan. b. Anak
dengan
kekurangan
protein
dan
energi
kronis
(stunting)
menampilkan performa yang buruk pada tes perhatian dan memori belajar, tetapi masih baik dalam koordinasi dan kecepatan gerak. c. Pertumbuhan melambat, batas bawah kecepatan tumbuh adalah 5cm/tahun decimal d. Tanda tanda pubertas terlambat (payudara, menarche, rambut pubis, rambut ketiak, panjangnya testis dan volume testis e. Wajah tampak lebih muda dari umurnya f. Pertumbuhan gigi yang terlambat
2.3 Klasifikasi Stunting
Menurut Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U),
5
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score). Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan ini menggunakan standar Z score dari WHO. Normal, pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek) (Nailis, 2016). Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan per umur (TB/U). I.
Sangat pendek
: Zscore < -3,0
II.
Pendek
: Zscore < -2,0 s.d. Zscore ≥ -3,0
III.
Normal
: Zscore ≥ -2,0 13
Dan di bawah ini merupakan klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator TB/U dan BB/TB. I.
Pendek-kurus : -Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
II.
Pendek-normal : Z-score TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara 2,0 s/d 2,0
III.
Pendek-gemuk : Z-score ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0
2.4 Penyebab Stunting
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari diri anak itu sendiri maupun dari luar diri anak tersebut. Faktor penyebab stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersedian pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor lainnya (Bappenas R.I, 2013). a. Faktor Langsung 1) Asupan Gizi Balita
6
Saat
ini
Indonesia
mengahadapi
masalah
gizi
ganda,
permasalahan gizi ganda tersebut adalah adanya masalah kurang gizi dilain pihak masalah kegemukan atau gizi lebih telah meningkat. Keadaan gizi dibagi menjadi 3 berdasarkan pemenuhan asupannya yaitu: a)
Kelebihan gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan zat gizi yang lebih banyak dari kebutuhan seperti gizi lebih, obesitas atau kegemukan.
b)
Gizi baik adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan.
c)
Kurang gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan zat gizi yang lebih sedikit dari kebutuhan seperti gizi kurang dan buruk, pendek, kurus dan sangat kurus (Depkes R.I, 2008).
Asupan
gizi
yang
adekuat
sangat
diperlukan
untuk
pertumbuhan dan perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya. Namun apabila intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar keterlambatan pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh. Begitu pula dengan balita yang normal kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima tidak mencukupi. Dalam penelitian yang menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa konsumsi energi balita berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu pada level rumah tangga konsumsi energi rumah tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak balita pendek. Dalam upaya penanganan masalah stunting ini, khusus untuk bayi dan anak telah dikembangkan standar emas makanan bayi dalam pemenuhan kebutuhan gizinya yaitu 1) Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
7
yang harus dilakukan sesegera mungkin setelah melahirkan; 2) Memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan tanpa pemberian makanan dan minuman tambahan lainnya; 3) Pemberian makanan pendamping ASI yang berasal dari makanan keluarga, diberikan tepat waktu mulai bayi berusia 6 bulan; dan 4) Pemberian ASI diteruskan sampai anak berusia 2 tahun (Bappenas R.I, 2013). Asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan akan membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebaliknya asupan gizi yang kurang dapat menyebabkan kekurangan gizi salah salah satunya dapat menyebabkan stunting. 2) Penyakit Infeksi Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting, Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Penyakit infeksi akan ikut menambah kebutuhan akan zat gizi untuk membantu perlawanan terhadap penyakit ini sendiri. Pemenuhan zat gizi yang sudah sesuai dengan kebutuhan namun penyakit infeksi yang diderita tidak tertangani akan tidak dapat memperbaiki status kesehatan dan status gizi anak balita. Untuk itu penanganan terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita. Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku sehat (Bappenas R.I, 2013). Ada beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang menyatakan
8
bahwa diare merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak usia dibawah 5 tahun. b. Faktor Tidak Langsung 1) Ketersediaan Pangan Akses pangan pada rumah tangga menurut Bappenas adalah kondisi
penguasaan
finansial/keuangan,
alam,
sumberdaya
(sosial,
dan
yang
manusia)
teknologi, cukup
untuk
memperoleh dan/atau ditukarkan untuk memenuhi kecukupan pangan, termasuk kecukupan pangan di rumah tangga. Masalah ketersediaan ini tidak hanya terkait masalah daya beli namun juga pada pendistribusian dan keberadaan pangan itu sendiri, sedangkan pola konsumsi pangan merupakan susunan makanan yang biasa dimakan mencakup jenis dan jumlah dan frekuensi dan jangka waktu tertentu. Aksesibilitas
pangan
yang
rendah
berakibat
pada
kurangnya
pemenuhan konsumsi yang beragam, bergizi, seimbang dan nyaman di tingkat keluarga yang mempengaruhi pola konsumsi pangan dalam keluarga sehingga berdampak pada semakin beratnya masalah kurang gizi masyarakat (Bappenas R.I, 2013). Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Ratarata asupan kalori dan protein anak balita di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas R.I, 2013). Oleh karena itu penanganan masalah gizi ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun juga melibatkan lintas sektor lainnya. Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian stunting, ketersediaan pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, pendapatan keluarga yang lebih rendah dan biaya yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih rendah
9
merupakan beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek. Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan bahwa pendapatan perkapita yang rendah merupakan faktor risiko kejadian stunting (Nasikhah dan Margawati, 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku Utara dan di Nepal menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam keluarga (Ramli et all, 2009; Paudel et all, 2012). 2) Status Gizi Ibu saat Hamil Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor tersebut dapat terjadi sebelum kehamilan maupun selama kehamilan.
Beberapa
indikator
pengukuran
seperti
1)
kadar
hemoglobin (Hb) yang menunjukkan gambaran kadar Hb dalam darah untuk menentukan anemia atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas (LILA) yaitu gambaran pemenuhan gizi masa lalu dari ibu untuk menentukan KEK atau tidak; 3) hasil pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan berat badan selama hamil yang dibandingkan dengan IMT ibu sebelum hamil. a) Pengukuran LILA Pengukuran LILA dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui status KEK ibu tersebut. KEK merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kekurangan energi dan protein dalam jangka waktu yang lama (Kemenkes R.I, 2013). Faktor predisposisi yang menyebabkan KEK adalah asupan nutrisi yang kurang dan adanya faktor medis seperti terdapatnya penyakit kronis. KEK pada ibu hamil dapat berbahaya baik bagi ibu maupun bayi, risiko pada saat prsalinan dan keadaan yang lemah dan cepat lelah saat hamil sering dialami oleh ibu yang mengalami KEK (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012). Pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas LILA <23,5 cm dikategorikan risiko KEK (Kemenkes R.I, 2013).
10
Pengukuran LILA ini dilakukan dengan mengukur lengan atas ibu hamil tangan yang jarang digunakan dengan menggunakan alat pengukur LILA. Penelitian di Sulawesi Barat menyatakan bahwa faktor yang berhubungan dengan kejadian KEK adalah pengetahuan, pola makan, makanan pantangan dan status anemia (Rahmaniar dkk, 2013). Kekurangan energi secara kronis menyebabkan cadangan zat gizi yang dibutuhkan oleh janin dalam kandungan tidak adekuat sehingga
dapat
menyebabkan
terjadinya
gangguan
baik
pertumbuhan maupun perkembangannya. Status KEK ini dapat memprediksi hasil luaran nantinya, ibu yang mengalami KEK mengakibatkan masalah kekurangan gizi pada bayi saat masih dalam kandungan sehingga melahirkan bayi dengan panjang badan pendek. Selain itu, ibu hamil dengan KEK berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Panjang badan lahir rendah dan BBLR dapat menyebabkan stunting bila asupan gizi tidak adekuat. Hubungan antara stunting dan KEK telah diteliti di Yogyakarta dengan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ibu hamil dengan riwayat KEK saat hamil dapat meningkatkan risiko kejadian stunting pada anak balita usia 6-24 bulan. b) Kadar Hemoglobin Pemeriksaan darah dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui kadar Hb ibu sehingga dapat diketahui status anemia yang dialami ibu saat hamil. Anemia pada saat kehamilan merupakan suatu kondisi terjadinya kekurangan sel darah merah atau hemoglobin (Hb) pada saat kehamilan. Ada banyak faktor predisposisi dari anemia tersebut yaitu diet rendah zat besi, vitamin B12, dan asam folat, adanya penyakit gastrointestinal, serta adanya penyakit kronis ataupun adanya riwayat dari keluarga sendiri. Ibu hamil dengan anemia sering dijumpai karena pada saat kehamilan keperluan akan zat makanan bertambah dan terjadi
11
perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang. Nilai cutoff anemia ibu hamil adalah bila hasil pemeriksaan Hb<11,0 g/dl (Kemenkes R.I, 2013) penyebab anemia pada ibu hamil adalah karena gangguan penyerapan pada pencernaan, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, perdarahan akut maupun kronis, meningkatkan kebutuhan zat besi, kekurangan asam folat dan vitamin, menjalankan diet miskin zat besi pola makan yang kurang baik maupun karena kelainan pada sumsum tulang belakang. Akibat
anemia
bagi
janin
adalah
hambatan
pada
pertumbuhan janin, bayi lahir prematur, bayi lahir dengan BBLR, serta lahir dengan cadangan zat besi kurang sedangkan akibat dari anemia bagi ibu hamil dapat menimbulkan komplikasi, gangguan pada saat persalinan dan dapat membahayakan kondisi ibu seperti pingsan, bahkan sampai pada kematian (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012). Kadar hemoglobin saat ibu hamil berhubungan dengan panjang bayi yang nantinya akan dilahirkan, semakin tinggi kadar Hb
semakin
panjang
ukuran
bayi
yang
akan
dilahirkan.
Prematuritas, dan BBLR juga merupakan faktor risiko kejadian stunting, sehingga secara tidak langsung anemia pada ibu hamil dapat menyebabkan kejadian stunting pada balita. c) Kenaikan Berat Badan Ibu saat Hamil Menurut
Almatsier,
Ibu
hamil
akan
membutuhkan
tambahan energi dari pada ibu yang tidak hamil, penambahan tersebut dibedakan berdasarkan umur kehamilannya yaitu: 1) Trimester I ibu hamil membutuhkan tambahan energi 150- 200 kal/hari; 2) Trimester II ibu hamil membutuhkan tambahan energi 250-350 kal/hari; 3) Trimester III ibu hamil membutuhkan tambahan energi 400 kal/hari dan jumlah cairan yang dibutuhkan minimal 1500 ml/hari. Penambahan berat badan ibu hamil dihubungkan dengan IMT saat sebelum ibu belum hamil. Apabila IMT ibu sebelum hamil dalam status kurang gizi maka
12
penambahan berat badan seharusnya lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang status gizinya normal atau status gizi lebih. Penambahan berat badan ibu selama kehamilan berbeda pada masing – masing trimester. Pada trimester pertama berat badan bertambah 1,5-2 Kg, trimester kedua 4-6 Kg dan trimester ketiga berat badan bertambah 6-8 Kg. Total kenaikan berat badan ibu selama hamil sekitar 9-12 Kg (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012). Pada penelitian yang dilakukan oleh Yongky tahun 2004 menyatakan bahwa pertambahan berat badan saat hamil merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status kelahiran bayi (BBLR). Penambahan berat badan saat hamil perlu dikontrol karena apabila berlebih dapat menyebabkan obesitas pada bayi sebaliknya apabila kurang dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah, prematur yang merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak balita. d) Berat Badan Lahir Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa tahun 2012 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir dengan kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, bayi dengan berat badan lahir rendah akan
mengalami
hambatan
pada
pertumbuhan
dan
perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi hipotermi (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012). Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting diantaranya yaitu penelitian di Klungkung dan di Yogyakarta menyatakan hal yang s ama bahwa
13
ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian stunting. Selain itu, penelitian yang dilakukan di Malawi juga menyatakan prediktor terkuat kejadian stunting adalah BBLR. e) Panjang Badan Lahir Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin sehingga dapat menyebabkan bayi lahir dengan panjang badan lahir pendek. Bayi yang dilahirkan memiliki panjang badan lahir normal bila panjang badan lahir bayi tersebut berada pada panjang 48-52 cm (Kemenkes R.I, 2013). Penentuan asupan yang baik sangat penting untuk mengejar panjang badan yang seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan lahir, usia kehamilan dan pola asuh merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting. Panjang badan lahir merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada balita. Menurut Riskesdas tahun 2013 kategori panjang badan la hir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <48 cm, 48-52 cm, dan >52 cm, panjang badan lahir pendek adalah bayi yang lahir dengan panjang <48 cm (Kemenkes R.I, 2013). Panjang badan lahir pendek dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat masih dalam kandungan. f) ASI Eksklusif ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
adalah
pemberian
Air
Susu
Ibu
(ASI)
tanpa
menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan (Kemenkes R.I, 2012). Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat terpenuhi dengan pemberian ASI saja. Menyusui eksklusif juga penting karena pada usia ini, makanan selain ASI belum mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada di dalam usus
14
selain itu pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa dilakukan dengan baik karena ginjal belum sempurna (Kemenkes R.I, 2013). Manfaat dari ASI Eksklusif ini sendiri sangat banyak mulai dari peningkatan kekebalan tubuh, pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih, higienis serta dapat meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara ibu dan anak. Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa kejadian stunting disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga, pemberian ASI yang tidak eksklusif, pemberian MP-ASI yang kurang baik, imunisasi yang tidak lengkap dengan faktor yang paling dominan pengaruhnya adalah pemberian ASI yang tidak eksklusif. Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012 dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh berat badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi, pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran namun faktor yang paling dominan adalah pemberian ASI (Arifin dkk, 2013). Berarti dengan pemberian ASI eksklusif kepada bayi dapat menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga tertuang pada gerakan 1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia. g) MP-ASI Kebutuhan anak balita akan pemenuhan nutrisi bertambah seiring
pertambahan
umurnya.
ASI
eksklusif
hanya
dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi balita sampai usia 6 bulan, selanjutnya ASI hanya mampu memenuhi kebutuhan energi sekit ar 60-70% dan sangat sedikit mengandung mikronutrien sehingga memerlukan tambahan makanan lain yang biasa disebut makanan pendamping ASI (MP-ASI). Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah makanan/minuman selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan selama pemberian makanan peralihan yaitu pada saat
15
makanan/ minuman lain yang diberikan bersamaan dengan pemberian ASI kepada bayi. Pemberian MP-ASI merupakan proses transisi dimulainya pemberian makanan khusus selain ASI secara bertahap jenis, jumlah, frekuensi maupun tekstur dan kosistensinya sampai sel uruh kebutuhan gizi anak dipenuhi oleh makanan keluarga. Jenis MPASI ada dua yaitu MP-ASI yang dibuat secara khusus baik buatan rumah tangga atau pabrik dan makanan biasa dimakan keluarga yang dimodifikasi agar mudah dimakan oleh bayi. MP-ASI yang tepat diberikan secara bertahap sesuai dengan usia anak baik jenis maupun jumlahnya. Resiko terkena penyakit infeksi akibat pemberian MP-ASI terlalu dini disebabkan karena usus yang belum siap menerima makanan serta kebersihan yang kurang. Menurut Global Strategy for infant and Young Child Feeding ada 4
persyaratan pemberian MP-ASI yaitu: i.
Tepat waktu yaitu pemberian MP-ASI dimulai saat kebutuhan energi gizi melebihi yang di dapat dari ASI yaitu pada umur 6 bulan.
ii.
Adekuat yaitu pemberian MP-ASI harus cukup energi, protein, dan mikronutrien sesuai dengan kebutuhan.
iii.
Tepat cara pemberian yaitu pemberian MP-ASI sejalan dengan tanda lapar dan nafsu makan yang ditunjukkan serta frekuensi dan cara pemberiannya sesuai dengan umur
iv.
Aman yaitu pemberian MP-ASI harus diawasi baik dari penyimpanan, persiapan, dan saat diberikan MP-ASI harus higienis. Penelitian yang dilakukan di Purwokerto, menyatakan
bahwa usia makan pertama merupakan faktor resiko terhadap kejadian stunting pada balita. Pemberian MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti diare hal ini terjadi
16
karena MP-ASI yang diberikan tidak sebersih dan mudah dicerna seperti ASI. Zat gizi seperti zink dan tembaga serta air yang hilang selama diare jika tidak diganti akan terjadi malabsorbsi zat gizi selama diare yang dapat menimbulkan dehidrasi parah, malnutrisi, gagal tumbuh bahkan kematian (Meilyasari dan Isnawati, 2014).
2.5 Pencegahan terhadap Stunting
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan stunting atau tubuh pendek dapat dicegah dengan beberapa cara, antara lain: a. Pemberian ASI secara baik dan tepat disertai dengan pengawasan berat badan secara teratur dan terus menerus b. Menghindari pemberian makanan buatan kepada anak untuk mengganti ASI sepanjang ibu masih mampu menghasilkan ASI, terutama pada usia dibawah empat bulan c. Meningkatkan pendapatan keluarga yang dapat dilakukan dengan upaya mengikutsertakan para anggota keluarga yang sudah cukup umur untuk bekerja dengan diimbangi dengan penggunaan uang yang terarah dan efisien. Cara lain yang dapat ditempuh ialah pemberdayaan melalui peningkatan keterampilan dan kewirausahaan d. Meningkatkan intensitas komunikasi informasi edukasi (KIE) kepada masyarakaat, terutama para ibu mengenai pentingnya konsumsi zat besi yang diatur sesuai kebutuhan. Hal ini dapat dikoordinasikan dengan kegiatan posyandu. Menurut Millenium Challenge Account-Indonesia (2015) stunting dapat dicegah dengan beberapa cara yaitu: a. Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi, suplementasi zat gizi (tablet zat besi atau Fe), dan terpantau kesehatannya. Namun, kepatuhan ibu hamil untuk meminum tablet tambah darah hanya 33%. Padahal mereka harus minimal mengkonsumsi 90 tablet selama kehamilan.
17
b. ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasn ya. c. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan. d. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. Intervensi gizi saja belum cukup untuk mengatasi masalah stunting. Faktor sanitasi dan kebersihan lingkungan berpengaruh pula untuk kesehatan ibu hamil dan tumbuh kembang anak, karena anak usia di bawah dua tahun rentan terhadap berbagai infeksi dan penyakit. Paparan terus menerus terhadap kotoran manusia dan binatang dapat menyebabkan infeksi bakteri kronis. Infeksi tersebut, disebabkan oleh praktik sanitasi dan kebersihan yang kurang baik, membuat gizi sulit diserap oleh tubuh. Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan pun memicu gangguan saluran pencernaan, yang membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi. Sebuah riset menemukan bahwa semakin sering seorang anak menderita diare, maka semakin besar pula ancaman stunting untuknya. Selain itu, saat anak sakit, lazimnya selera makan mereka pun berkurang, sehingga asupan gizi makin rendah. Maka, pertumbuhan sel otak yang seharusnya sangat pesat dalam dua tahun pertama seorang anak menjadi terhambat. Dampaknya, anak tersebut terancam menderita stunting, yang mengakibatkan pertumbuhan mental dan fsiknya terganggu, sehingga potensinya tak dapat berkembang dengan maksimal. Penelitian lain menunjukkan potensi stunting berkurang jika ada intervensi yang terfokus pada perubahan perilaku dalam sanitasi dan kebersihan. Adapun akses terhadap sanitasi yang baik berkontribusi dalam penurunan stunting sebesar 27%. Untuk memotong rantai buruknya sanitasi dan kebersihan serta kaitannya dengan stunting, ibu hamil dan anak perlu hidup dalam
18
lingkungan yang bersih. Dua cara utama adalah dengan tidak buang air besar sembarangan, serta mencuci tangan dengan sabun.
2.6 Penanggulangan Stunting
Menurut Dinak Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, periode yang paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun yang disebut dengan periode emas (seribu hari pertama kehidupan). Oleh karena itu perbaikan gizi diprioritaskan pada usia seribu hari pertama kehidupan yaitu 270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya. Secara langsung masalah gizi disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan masalah kesehatan. Selain itu asupan gizi dan masalah kesehatan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Adapun pengaruh tidak langsung adalah ketersediaan makanan, pola asuh dan ketersediaan air minum (bersih), sanitasi dan pelayanan kesehatan. Seluruh faktor penyebab ini dipengaruhi oleh beberapa akar masalah yaitu kelembagaan, politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, dan sumberdaya, lingkungan, teknologi, serta kependudukan. Berdasarkan faktor penyebab masalah gizi tersebut, maka perbaikan gizi dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara langsung (kegiatan spesifik) dan secara tidak langsung (kegiatan sensitif). Kegiatan spesifik umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan seperti PMT ibu hamil KEK, pemberian tablet tambah darah, pemeriksaan kehamilan, imunisasi TT, pemberian vitamin A pada ibu nifas. Untuk bayi dan balita dimulai dengan inisiasi menyusu dini (IMD), ASI eksklusif, pemberian vitamin A, pemantauan pertumbuhan, imunisasi dasar, pemberian MP-ASI. Sedangkan kegiatan yang sensitif melibatkan sektor terkait seperti penanggulangan kemiskinan, penyediaan pangan, penyediaan lapangan kerja, perbaikan infrastruktur (perbaikan jalan, pasar), dan lain-lain. Kegiatan perbaikan gizi dimaksudkan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Multicentre Growth Reference Study (MGRS) Tahun 2005 yang kemudian menjadi dasar standar pertumbuhan internasional, pertumbuhan anak sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi,
19
riwayat kesehatan, pemberian ASI dan MP-ASI. Untuk mencapai pertumbuhan optimal maka seorang anak perlu mendapat asupan gizi yang baik dan diikuti oleh dukungan kesehatan lingkungan. Penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan pada seribu hari pertama kehidupan, meliputi : a. Pada ibu hamil 1) Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut. 2) Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan. 3) Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami s akit b. Pada saat bayi lahir 1) Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). 2) Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja (ASI Eksklusif) c. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun 1) Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih. 2) Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, imunisasi dasar lengkap. d. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah tangga.
20
BAB 3. PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Stunting adalah tinggi badan yang kurang menurut umur (<-2SD), ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunted merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak. Anak yang mengalami stunting ini memiliki ciri-ciri atau gejala-gejala seperti Pertumbuhan melambat, batas bawah kecepatan tumbuh adalah 5cm/tahun decimal, Wajah tampak lebih muda dari umurnya, Pertumbuhan gigi yang terlambat, dan lain-lainya. Klasifikasi status gizi stunting daapat diketahui berdasarkan indikator tinggi badan per umur (TB/U) dan klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator TB/U dan BB/TB. Ada dua penyebab stunting dapat terjadi yaitu adanya factor langsung dan factor tidak langsung.
Faktor langsung yang meliputi asupan gizi balita dan
penyakit infeksi sedangkan factor tidak langsung yang menyebabkan stunting adalah ketersediaan pangan dan status gizi ibu saat hamil. Penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan pada seribu hari pertama kehidupan, yang meliputi Pada ibu hamil, Pada saat bayi lahir, Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun dan Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah tangga.
21
DAFTAR PUSTAKA
Arifi n, D. Z., Irdasari, S. Y., & Handayana, S. (2012). Analisis Sebaran dan Faktor Risiko Stunting pada Balita di Kabupaten Purwakarta. Tersedia:
http://www.pustaka.unpad.ac.id. [11 September 2017] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan
dasar
(Riskesdas)
2013.
[Online].
Tersedia:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20 2013.pdf [10 September 2017] Candra, A. (2013). Hubungan underlying factors dengan kejadian stunting pada anak 1-2 tahun. Journal of Nutrition and Health, Vol.1, No.1. Diakses dari http://www.ejournal.undip.ac.id [12 September 2017] Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007 . www.scribd.com/Laporan_ Hasil_ Riskesdas_
NTT_ 2007.pdf [11 September 2017] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Laporan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Jakarta: Balitbangkes Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Kemenkes RI no195/MENKES/SK/XII/2010: Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak . Jakarta; 2011. 14. Dinas
Kesehatan
Sumatera
Selatan.
Tersedia:
http://dinkes.sumselprov.go.id/download/unggah/stunting_anak-2016-01-04.pdf [12 September 2017] Meilyasari, F. & Isnawati, M. (2014). Faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 12 bulan di Desa Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal. Journal
of
Nutrition
College,
3(2),
16-25.
Tersedia:
http://www,ejournals1.undip.ac.id [10 September 2017]
22
Millennium Challenge Account – Indonesia. Backgrounder : Stunting Dan Masa Depan
Indonesia.
[Online].
Tersedia:
http://mca-indonesia.go.id/wp-
content/uploads/2015/01/BackgrounderStunting-ID.pdf [11 September 2017] Nailis, Anisa. (2016). Hubungan Konsumsi Ikan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 2-4 Tahun. Thesis. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang Nasikhah, R dan Margawati, A. (2012). Faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition College,1(1). Tersedia: http:// www.ejournal-s1.undip.ac.id [9 September 2017]
Ramli, Agho, K. E., Inder, K. J., Bowe, S. J. Jacobs, J. & Dibley, M. J. (2009). Prevalence And Risk Factors For Stunting And Severe Stunting Among Under-Fi Ves In North Maluku Province Of Indonesia. BMC Pediatrics, 9-64. doi:10.1186/1471-2431-9-64
23