Syndrome Steven Johnson Khairunnisa Esam @ Hisham (102012508) (102012508)
[email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN). Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme (EM). Sekarang sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura. Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis.Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk. SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan. Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik. Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara antara dokter, penderita atau keluarga penderita yang mempunyai hubungan dekat dengan pasien, mengenai semua data tentang penyakit. Dalam anamnesis, harus diketahui adalah identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang dan dulu, riwayat kesihatan keluarga, riwayat peribadi dan riwayat ekonomi. Perlu ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya dengan alergi obat secara sistemik. Dalam rekam medik, perlu ada anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis kerja, penatalaksanaan dan prognosis.
1|10 20 12 50 8
Keluhan pada kulit
Pertanyaan lanjut
Lokasi gatal-predileksi, perluasan area gatal, semenjak kapan
Gatal
kegatalan dan waktu-waktu khusus gatal. Merah
Dokter melihat adanya eritema atau purpura. Pertanyaan adalah adakah merah pada semua tubuh atau beberapa bagian tubuh? Selainnya
ditanya
apakah
suhu
persekitaran
mempengaruhi
kemerahan kulit seperti kedinginan,kehujanan atau panas. Bersisik
Skuama/sisiknya apakah tebal,halus,kasar atau berlapis dan dimana tempat yang bersisik serta warnanya.
Sakit/Panas
Semenjak kapan sakit/nyeri, Nyeri di bagian mana dan apakah kalau dicubit atau terkena air dingin mahupun panas terasa nyeri. Bagian kulit yang mana berbau. Kebiasaannya pasien dengan
Bau
Gangrene diabetik akan sangat berbau. Tabel 1: Anamnesis Kulit.1 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah proses dari seorang ahli medis yang memeriksa tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit. Pada pemeriksaan ini, dapat ditentukan lokalisasi dan sifat-sifat dari suatu penyakit. Untuk Sindrom Steven Johnsons perlu dilihat adanya trias kelainan pada Sindrom Stevens Johnson yaitu kelainan pada kulit, selaput lender orifisium dan mata. Pada pasien dilakukan inspeksi, palpasi dan auskultasi. Pada inspeksi, dilihat: 1.
Adanya eritema, area kemerahan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah darah yang teroksigenasi pada vaskularisasi dermal
2.
Adanya area yang melepuh dan perkembangannya ditubuh
3.
Pengeluaran cairan pada bulla (lepuhan) baik jumlah, warna dan bau
4.
Pada area mulut adakah terdapatnya bula atau lepuhan dan lesi arosive serta adanya rasa gatal, rasa terbakar dan kekeringan dimata.
5.
Kemampuan klien dalam menelan dan minum serta berbicara secara nornal juga ditentukan
6.
Bentuk dada simetris kanan dan kiri, terdapat sumbatan pada jalan napas, klien tampak sesak, terdengar stridor saat ekspirasi/inspirasi, retraksi dinding dada, penggunaan otototot pernapasan, frekuensi pernafasan > 20 x/menit, reflek bentuk ada, pernapasan cepat dan dangkal, klien batuk
2|10 20 12 50 8
Pada palpasi, dilihat: 1.
Nadi melemah akiabat terjadinya dehidrasi
2.
Tekanan darah hipotensi, irama jantung tidak beraturan, tidak ada bunyi jantung tambahan
Pada auskustalsi, dilihat: 1.
Sekret dalam rongga pernafasan ditandai dengan suara whezing
2.
Peristaltik usus meningkat atau menurun
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan gambaran penyakit secara dini dan mencakup antara lain: 1 1.
Pemeriksaan laboratorium : a) Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam diagnose selain pemeriksaan biopsy. b) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat. c) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya. d) Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin. e) Pemeriksaan elektrolit. f) Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi. g) Pemeriksaan
bronchoscopy,
esophagogastro
duodenoscopy
(EGD),
dan
kolonoskopi dapat dilakukan. 2.
Imaging studies: Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
3.
Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosis. Biopsi kulit memperlihatkan luka superiderma dan adanya mikrosis sel epidermis serta infiltrasi limfosit pada daerah ferifaskulator.2, 3.
Di ff erential Di agnosis
1. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) Nekrolisis Epidermal Toksik ( NET ) adalah umumnya merupakan penyakit berat, gejala kulit yang terpenting dan khas adalah epidermolisis yang menyeluruh, dapat disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium dan mata. NET adalah suatu penyakit kulit yang bisa berakibat fatal, dimana lapisan kulit paling atas mengelupas lembar demi lembar. 3|10 20 12 50 8
Nekrolisis epidermal toksik adalah kelainan kulit yang memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. NET merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut dan berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru. Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan satu atau lebih membran mukosa.Penyakit ini sangat mirip dengan SSJ. 1,2 2. Pemfigus Vulgaris Pemphigus vulgaris adalah penyakit autoimmune berupa bula yang bersifat kronik, dapat mengenai membran mukosa maupun kulit dan ditemukannya antibodi IgG yang bersirkulasi dan terikat pada permukaan sel keratinosit, menyebabkan timbulnya suatu reaksi pemisahan sel-sel epidermis diakibatkan karena tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis, proses ini disebut akantolisis dan akhirnya terbentuknya bula di suprabasal. Sering dijumpai pada orang dewasa, keadaan umum buruk, tidak gatal, bula berdinding kendor dan biasanya generalisata. Gejala klinis pemphigus vulgaris biasanya didahului dengan keluhan subjektif berupa malaise, anoreksia, subfebris, kulit terasa panas dan sakit serta sulit menelan. Rasa gatal (pruritus) jarang didapat. Kelainan kulit ditandai dengan bula berdinding kendur yang timbul di atas kulit normal atau pada selaput lendir. Bila lesi mengenai paru akan timbul kesukaran menelan karena sakitnya. Selaput lendir lain juga dapat terkena, seperti konjungtiva, hidung, vulva, penis, dan mukosa hi dung-anus. Daerah predileksi biasanya mengenai muka, badan, daerah yang terkena tekanan, lipat paha, dan aksila. Bula berdinding kendur mula-mula berisi cairan jernih kemudian menjadi keruh (seropurulen) atau hemoragik. Dinding bula mudah pecah dan menimbulkan daerahdaerah erosi yang meluas (denuded area), basah, mudah berdarah, dan tertutup krusta. Bila terjadi penyembuhan, lesi meninggalkan bercak-bercak hiperpirmentasi tanpa jaringan parut. Daerah-daerah erosi pada tubuh dan mulut menimbulkan bau yang merangsang dan tidak sedap. Tanda nikolsky dapat ditemukan dengan cara: kulit yang terlihat normal akan terkelupas apabila ditekan dengan ujung jari secara hati-hati atau isi bula yang masih utuh melebar bila kita lakukan hal yang sama (bulla spread phenomenon). Hal ini menunjukkan bahwa kohesi antar sel-sel epidermis telah hilang.2 3. Pemfigoid Bulosa 4|10 20 12 50 8
Pemfigoid bulosa (PB) adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang diatas kulit yang eritematosa, atau disebut juga dengan penyakit berlepuh autoimun . Pada penyakit ini keadaan umumnya baik, dinding bula tegang dan letaknya subepidermal. Keadaan umum pada PB baik, perjalanan penyakit biasanya ringan, sering disertai rasa gatal. Kelainan kulit terutama berupa bula besar (numular-plakat) berdinding tegang berisi cairan jernih, dapat bercampur dengan vesikel yang terkadang hemoragik, daerah sekitar berwarna kemerahan atau eritem. Lesi awal dapat berupa urtika. Lesi paling sering ditemukan pada perut bagian bawah, paha bagian medial atau anterior, dan fleksor lengan bawah. Membran mukosa jarang terkena, mulut hanya ditemukan 20% kasus saja. Tanda Nikolsly (Nicholsky sign) negatif karena tidak ada proses akantolisis. Perjalanan penyakit akan menyembuh sendiri atau self limited disease, namun beberapa tahun kemudian lesi biasanya akan timbul kembali secara sporadis general atau regional. Bula yang pecah menimbulkan erosi yang luas dengan bentuk tidak teratur, namun tidak bertambah seperti pada Pemfigus Vulgaris. Erosi kemudian akan mengalami penyembuhan spontan sehingga dapat dijadikan sebagai tanda penyembuhan. Lesi PB yang menyembuh tidak meninggalkan jaringan parut, tetapi dapat menimbulkan hiperpigmentasi. 2,3 4. Dermatitis Herpertiformis Dermatitis herpetiformis adalah gangguan kulit kronis yang menyebabkan lecet dan ruam sangat gatal pada kulit, terutama pada siku, lutut, punggung dan kulit kepala dan jarang pada wajah. Hal ini juga dikenal dengan nama dermatitis multiformis, penyakit Duhring dan enteropati gluten sensitif. Kondisi ini umumnya terjadi pada orang antara 20 sampai 40 tahun, namun dapat mempengaruhi anak-anak dan orang tua juga. Radang kulit biasanya berhubungan dengan penyakit celiac atau intoleransi terhadap protein yang dikenal sebagai gluten. Didapatkan keadaan umum yang baik, keluhan dengan gatal dan dinding vesikel atau bula tegang dan berkelompok. Dermatitis herpetiformis menyebabkan sejumlah lepuh kecil, papula diskrit atau benjolan dan lesi halus pada kulit. Hal ini dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh, tetapi lepuh biasanya didistribusikan secara simetris pada siku, lutut, punggung dan bokong. Letusan papulovesikular sangat gatal dan dapat menyebabkan sensasi menyengat atau terbakar juga. Menggaruk lanjut mengiritasi kulit dan dapat memperburuk kondisi. Lesi biasanya dimulai dengan perubahan warna kulit di daerah itu diikuti rasa gatal dan terbakar. Benjolan kecil kemudian meletus dari kulit, yang dikenal sebagai papula. Lesi ini umumnya
5|10 20 12 50 8
terjadi pada kelompok seperti itu herpes. Oleh karena itu, nama dermatitis herpetiformis, yang berarti peradangan kulit mirip dengan herpes. Lepuh mengembangkan remah dan cenderung kehilangan sensasi gatal setelah jangka waktu tertentu. Gejala-gejala dapat berkisar dari ringan sampai parah. Mereka kadangkadang disertai dengan gejala penyakit celiac seperti sakit perut dan kelelahan dijelaskan. Bahkan, kulit yang meradang mungkin merupakan tanda pertama dari penyakit celiac pada beberapa orang.2,3 SSJ
NET
Usia
Anak sp dewasa
Dewasa
KU
Ringan sp berat
Berat
Kesadaran
Kompos mentis
Sering menurun
Tanda Nikolsky
(-)
(+)
Epidermolisis
(-)
(+)
Nekrosis epidermis
(-)
(+)
Prognosis
Lebih baik
Buruk
Usia pasien
> muda
> tua
Tabel 2. Perbandingan SSJ dan NET. 2 Worki ng Diagnosis
Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit akut dan berat, terdiri dari erupsi kulit, kelainan mukosa dan lesi pada mata. Sindrom Stevens-Johnson atau eritema multiformis mayor adalah variasi eritema multiformis mukokutan yang lebih parah dengan ditandai keterlibatan membran mukosa. Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang dari ringan sampai berat berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai makula, vesikel, bula dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih 10 % dari area permukaan tubuh, serta melibatkan lebih dari satu membran mukosa. Kasus dengan pengelupasan epidermis antara 10% sampai dengan 30% disebut dengan overlap Stevens-Johnson Syndrome-Toxic Epidermal Necrolysis ( SJS-NET) , sedangkan kasus dengan pengelupasan epidermis lebih dari 30% disebut Toxic Epidermal Necrolysis (NET).1-3
6|10 20 12 50 8
Epidemiologi
Sindrom Stevens-Johnson paling sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda, jarang terjadi di bawah usia 3 tahun. Rata-rata umur penderita adalah 20-40 tahun, walaupun pernah dilaporkan penderita anak berumur 3 bulan. Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan antara pria dan wanita pada penderita Sindrom Stevens-Johnson adalah 2:1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1981-1995 menyatakan selama periode tersebut terjadi 2646 kasus reaksi samping obat. Dari 2646 kasus, sebanyak 35,6% atau 942 kasus berupa erupsi kulit. Sindrom Stevens-Johnson dilaporkan terjadi pada 8,57% dari kasus erupsi kulit atau sebesar 81 kasus. Di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, insidensi Sindrom Stevens-Johnson setiap tahun kira-kira terdapat 10 kasus, sindrom ini makin meningkat karena salah satu penyebabnya ialah alergi obat dan sekarang semua obat dapat diperoleh secara bebas. 3 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui dikatakan multifaktorial. Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor, sehinggakan dikatakan mempunyai penyebab yang sama. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya sindrom ini antara lain adalah infeksi, alergi sistemik terhadap obat atau zat kimia, penyakit kolagen vaskuler, pasca vaksinasi, penyakit-penyakit keganasan, kehamilan dan menstruasi, neoplasma dan radioterapi. Untuk infeksi, infeksi tersebut bisa dari virus, jamur, parasit atau bakteri. Syndrome Stevens Johnson (SSJ) terjadi pada stadium permulaan dari infeksi saluran nafas atas oleh virus pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada Asian Flu, Measles, Mumps dan vaksinasi Smallpox virus. Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan SSJ ialah Brucellosis, Dyphtheria, dan Pneumonia. Alergi sistemik terhadap obat sperti Penisilin, Streptomycin, Sulfonamide, Tetrasiklin, Analgesik dan jamu-jamuan juga dapat menyebabkan SSJ. Selain itu, zat tambahan pada makanan dan zat warna juga dapat menyebabkan SSJ. Faktor fisik seperti sinar X, sinar matahari dan cuaca juga bisa mnyebabkan SSJ. Penyakit keganasan seperti karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma dan Myeloma juga faktor penyebab SSJ. 3,4 Patofisiologi
Patofisiologis SSJ masih belum jelas, mungkin, disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks Antigen Antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sitim komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil 7|10 20 12 50 8
yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (Target Organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.3 Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. 4 Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:4,5 1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. 2. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%) sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
8|10 20 12 50 8
3. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. 4. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. 5. Kelainan mata konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun. 6. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis. 7. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.4 - 6 Penatalaksaan
1.
Kortikosteroid Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan preanisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya burukdan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kartikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksamate dan intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien stevens-johnson berat harus segera dirawat dan berikan deksametason 6x5 mg intravena setelah masa kritisteratasi, kedaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, tiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan table kortikosteroid, misalnya prenidesone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari,
9|10 20 12 50 8
sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakuakn pemeriksaan elektrolit ( K, Na dan CI ) bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg / hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein / anabolik seperti nandroklok dekanoat dan nanadrolon fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa ( dosis untuk anak tergantung berat badan ). 5,6 2.
Antibiotik. Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotik yang jarang menyebabkan alergi, berspektrom luas dan bersifat sakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
3.
Infus dan Transfusi darah Pengaturan keseimbangan cairan / elektron dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah banyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. 5
4.
Topikal Terapi topikal untuk lesi dimulut dapat berupa kanalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sutratulle atau krim sulfa diarine perak.6
Komplikasi
Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi,antara lain sebagai berikut: 6,7 1.
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara seluruh kasus yang ada.
2.
Kehilangan cairan dan darah
3.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Shock
4.
Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan karena gangguan lakrimasi.
5.
Gastroenterologi - Esophageal strictures
6.
Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina 10 | 1 0 2 0 1 2 5 0 8
7.
Pulmonari – pneumonia, bronchopneumonia
8.
Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder.
9.
Infeksi sistemik, sepsis 3
Prognosis
Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian.7 Kesimpulan
Syndrom steven johnson merupakan syndrom yang mengenai julit, selaput lendir, di orifisum dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema,vesikel atau bula dapat disertai purpura. Beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, yaitu meliputi alergi obat misalnya, penisilin, analgetik, anti peuritik. Infeksi mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, parasit. Neoplasma dan faktor endoktrin, faktor fisik, dan makanan. Pada syndrom ini terlihat adanya trias kelainan, berupa kelainan kulit yang terdiri daribatuk eritema, vesikel dan bula, kelainan selaput lendir di orivisium, dan kelainan mata yang ditemukan konjungtivitis kornea.
11 | 1 0 2 0 1 2 5 0 8
Daftar Pustaka
1.
Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: 5 maret, 2012. Available at: www.jipmer.edu
2.
Djuanda, A. Hamzah, M. 2006, Erupsi Obat Aler gik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. h: 130-6
3.
Anonym. 2010. Doctorology Indonesia Steven Johnson S yndrome. http. www. Steven Johnson syndrome. Diakses tanggal 18 April 2014.
4.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. h: 111-9
5.
Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Sar ipati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta. 2004.h: 80-4
6.
Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.
7.
Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.
8.
Sharma, V.K. : Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006: Management of StevensJohnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrol ysis ( TEN). IADVL. 2006
12 | 1 0 2 0 1 2 5 0 8