23
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konseling kelompok merupakan suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan melalui suasana kelompok. Konseling kelompok merupakan suatu hal yang esensial, karena sifatnya yang preventif dan edukasional. Konseling kelompok adalah salah satu layanan dari bimbingan dan konseling yang bertujuan memberikan kemungkinan siswa untuk memperoleh kesempatan pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok. Dinamika kelompok ialah suasana yang hidup, yang berdenyut, yang bergerak, yang ditandai dengan adanya interaksi antar sesama anggota kelompok (Prayitno dalam Vitalis, 2008: 63).
Tujuan konseling kelompok adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa, khususnya kemampuan berkomunikasinya. Melalui konseling kelompok hal-hal yang dapat menghambat atau mengganggu sosialisasi dan komunikasi siswa diungkap dan didinamikakan melalui berbagai teknik, sehingga kemampuan sosialisasi dan berkomunikasi siswa berkembang secara optimal (Tohirin, 2007: 181). Oleh karena itu, konseling kelompok penting bagi konseli terutama individu yang memperoleh kesulitan membutuhkan suasana kelompok untuk memecahkan kesulitannya. Kadang konseli kesulitan mengemukakan masalahnya secara individu atau membutuhkan orang lain. Kadang seorang konseli tidak berani bertatap muka dengan seorang konselor. Diperlukan juga pengamatan secara sosial perilaku konseli di dalam lingkungan kelompok.
Kemampuan yang perlu dimiliki dan diterapkan oleh seorang konselor adalah kemampuan memberi layanan konseling dalam kegiatan kelompok. Berdasarkan hal itu, seorang konselor harus mampu mengetahui tahapan-tahapan dalam konseling kelompok agar proses konseling kelompok dapat berjalan dengan optimal. Pelaksanaan konseling kelompok tentunya memiliki berbagai tahapan yang sistematis. Di dalam literatur profesional terdapat berbagai perdebatan mengenai apa dan kapan kelompok melewati tahapan. Konseling kelompok seringkali dipecah menjadi empat atau lima tahap, namun ada beberapa model yang hanya memiliki tiga tahap dan bahkan ada yang sampai enam tahap. Dari berbagai penjelasan di atas, maka kami akan menjelaskan tahapan konseling kelompok menurut Gladding (dalam Rusmana, 2009: 86) yang terdiri dari empat tahap, yaitu tahap tahap awal (beginning a group), tahap transisi (transition stage), tahap kerja (performing stage), dan tahap terminasi (termination stage), serta tambahan dua tahap dari Kurnanto (2014: 179) yaitu evaluasi kelompok dan tindak lanjut.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
Bagaimana tahap awal (beginning a group) dalam konseling kelompok?
Bagaimana tahap transisi (transition stage) dalam konseling kelompok?
Bagaimana tahap kerja (performing stage) dalam konseling kelompok?
Bagaimana tahap terminasi (termination stage) dalam konseling kelompok?
Bagaimana cara mengevaluasi kelompok?
Bagaimana sesi tindak lanjut dalam konseling kelompok?
Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan:
Untuk mengetahui tahap awal (beginning a group) dalam konseling kelompok.
Untuk mengetahui tahap transisi (transition stage) dalam konseling kelompok.
Untuk mengetahui tahap kerja (performing stage) dalam konseling kelompok.
Untuk mengetahui tahap terminasi (termination stage) dalam konseling kelompok.
Untuk mengetahui cara mengevaluasi kelompok.
Untuk mengetahui sesi tindak lanjut dalam konseling kelompok.
BAB II
PEMBAHASAN
Tahapan-Tahapan dalam Konseling Kelompok
Tahap Awal (Beginning a Group)
Dalam konseling kelompok, pembentukan kelompok merupakan tahap awal yang sangat berpengaruh dalam taham konseling selanjutnya. Karena tahap ini mempunyai pengaruh besar terhadap keberlangsungan proses konseling, maka sebelum pembentukaan kelompok dilakukan, menurut Kurnanto (2014: 136) ada beberapa persiapan yang harus dilakukan oleh seorang konselor sebagai berikut:
Fungsi dan Peranan Konselor Kelompok
Fungsi konselor kelompok
Ada beberapa yang harus dilakukan oleh konselor kelompok pada tahap awal, yaitu (Corey dalam Kurnanto, 2014: 137):
Mengajarkan cara-cara dan garis besar secara umum untuk berpartisipasi aktif guna meningkatkan kesempatan mereka dalam memperoleh hasil dari kelompok
Mengembangkan dasar hukum dan tatanan norma
Mengajarkan dasar-dasar proses kelompok
Menjelaskan pembagian tanggung jawab
Membantu anggota dalam mengembangkan kepercayaan
Berhubungan terbuka dengan kepedulian dan pertanyaan-pertanyaan konseli
Membagi harapan-harapan dan keinginan-keinginan kepada kelompok
Membantu konseli untuk berbagi tentang apa yang mereka pikirkan dan rasakan mengenai apa yang terjadi dalam kelompok
Berusaha untuk mengurangi ketergantungan konseli terhadap konselor kelompok
Mengajarkan keterampilan-keterampilan dasar dalam berhubungan dengan orang lain
Peranan konselor kelompok
Prayitno (dalam Kurnanto, 2014: 139) mengemukakan bahwa peranan konselor kelompok pada tahap awal konseling kelompok adalah sebagai orang yang benar-benonselor kelompok pada tahap awal konseling elompok adalah eka rasakan a dalam memperoleh hasil dariar dapat dan bersedia melakukan hal-hal; (1) membantu para konseli mencapai tujan mereka, (2) merangsang dan memantapkan partisipasi anggota-anggota dalam suasana kelompok seperti yang diharapkan, (3) menumbuhkan sikap kebersamaan dan perasaan sekelompok, (4) menjelaskan asas-asas yang perlu diikiuti konseli, (5) enumbuhkan rasa saling mengenal antara sesama konseli, (6) menumbuhkan sikap saling percaya dan saling menerima antar sesama konseli, (7) memulai pembahasan tentang tingkah laku dan suasana perasaan anggota-anggota dalam kelompok.
Keterampilan Konselor Pada Tahap Awal Konseling Kelompok
Menurut Jacobs et al (dalam Kurnanto, 2014: 141) ada beberapa keterampilan yang harus dikuasai konselor untuk menyelenggarakan konseling kelompok pada tahap awal dan mungkin juga sebagian untuk tahap berikutnya. Keterampilannya antara lain:
Memulai kegiatan kelompok
Membantu konseli mengenal anggota yang lain
Mengatur dinamika kelompok secara positif
Mengajak/mendorong konseli untu berbicara
Menjelaskan tujuan kelompok
Menjelaskan peran konselor kelompok
Menggambarkan keadaan kelompok yang dipimpin
Membantu konseli mengungkapkan harapannya
Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan
Memfokuskan pada isi
Pertimbangan-Pertimbangan Persiapanain, maka memperkenalkan konseli bisa bermanfaat banyak..
Sebelum sebuah kelompok mengawali pertemuan, terdapat hal-hal tertentu yang harus diputuskan.
Setting fisik
Seting disini adalah setting ruangan yang akan digunakan sebagai tempat proses konseling kelompok dilakukan.
Kelompok terbuka dan tertutup
Pada saat pendirinnya, pemimpin kelompok dapat menetapkan apakah kelompok ini terbuka atau tertutup.
Durasi dan frekuensi pertemuan
Durasi pertemuan menggambarkan berapa lama proses konseling kelompok dilakuan. Durasi ini berbeda antara konselor satu dan konselor yang lain.
Kelompok marathon
Kelompok marathon ini bertemu selama 24 hingga 48 jam tanpa henti. Partisipan harus mengikuti pertemuan ini selama waktu yang telah ditentukan, makan dihidangkan ditempat terapi, dan jika perlu tidur, partisipan hanya diberi waktu istirahat sekedarnya.
Jumlah anggota kelompok
Dalam proses konseling kelompok, jumlah peserta juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberhasilan proses konseling. Jumlah anggota kelompok dapat berkisar antara 5 hingga 10 orang.
Persiapan untuk Terapi Kelompok
Dalam sebuah layanan konseling kelompok, Jcob, at al. (dalam Kurnanto, 2014: 147) menyebutkan bahwa ada dua jenis perencanaan pra kelompok dan perencanaan sesi. Perencanaan pra kelompok yang dibuat oleh pemimpin kelompok menyangkut: (1) seberapa besar kelompok yang akan dibentuk, (2) keanggotaannya terbuka atau tertutup, (3) berapa lama sesi berlangsung, (4) dimana pertemuan kelompok dilakukan, (5) untuk berapa banyak sesi kelompok akan bertemu, (6) kapan kelompok akan bertemu, (7) siapa yang harus menjadi anggota, dan (8) bagaimana para anggota diputar.
Seorang pemimpin harus merencanakan tahap awal, tengah, dan tahap akhir dari setiap sesi tertentu. Perencanaan harus mencakup tidak hanya kegiatan dan topik, tetapi juga waktu yang akan dikhususkan untuk masing-masing. Kesalahan umum tentang perencanaan tidak berencana, perencanaan terlalu banyak, tidak mempertimbangkan bagaimana waktu yang dihasilkan, perencanaan latihan terlalu banyak, dan tidak fleksibel.
Penyiapan Konseli
Konseling kelompok adalah hubungan interaktif yang melibatkan banyak konseli. Keterlibatan banyak konseli ini mengandung konsekuensi akan banyak kepentingan yang harus diperhatikan. Untuk itu, konselor mesti melakukan persiapan terhadap konselinya. Wibowo (2005: 86) menjelaskan bahwa pada tahap awal konselor perlu mempersiapkan terbentuknya kelompok. Pada tahap ini dilakukan upaya untuk menumbuhkan minat bagi terbentuknya kelompok yang meliputi pemberian penjelasan tentang adanya layanan konseling kelompok bagi para siswa, penjelasan pengertian, tujuan dan kegunaan konseling kelompok, ajakan untuk memasuki dan mengikuti kegiatan, serta kemungkinan adanya kesempatan dan kemudahan bagi penyelenggaraan konseling kelompok. Tahap permulaan ini paralel dengan langkah pembentukan (forming) dari Tuckman.
Menurut Gladding (dalam Rusmana, 2009: 92) tidak menutup kemungkinan meskipun telah memenuhi persiapan seperti yang diteorikan, dalam pelaksanaannya akan menjumpai beberapa masalah dalam konseling kelompok. Masalah yang mungkin akan dijumpai adalah adanya stereotype individual anggota kelompok yang beragam, silence members, focuser on other, manipulators, tidak memiliki informasi yang memadai tentang sifat kelompok, atau pasif dan tidak memikirkan apa yang mereka inginkan atau mengharapkan dari kelompok.
Tahap Transisi (Transition Stage)
Tahap transisi merupakan masa setelah proses pembentukan dan sebelum tahap kerja. Tahap ini merupakan proses dua bagian, yang ditandai dengan ekspresi sejumlah emosi dan interaksi anggota. Masa transisi ditandai dengan adanya tahapan storming dan norming. Pada tahap transisi akan terjadi masa badai/ periode pancaroba/ kacau yaitu masa terjadinya konflik dalam kelompok, yang mana adanya kekhawatiran anggota kelompok dalam memasuki proses konseling. Kekhawatiran ini biasanya berkaitan dengan rasa takut akan kehilangan kontrol, salah pengertian, terlihat bodoh, atau ditolak. Beberapa anggota menghindari resiko dengan bersikap diam. Sementara anggota lain yang ingin mendapat posisi dalam kelompok bersifat lebih terbuka dan mempengaruhi anggota kelompok yang lain. Oleh karena itu, tahap ini bertujuan membebaskan anggota dari perasaan atau sikap enggan, ragu, malu atau saling tidak percaya untuk memasuki tahap berikutnya, makin mantapnya suasana kelompok dan kebersamaan, makin mantapnya minat untuk ikut serta dalam kegiatan kelompok (Kurnanto, 2014: 157).
Menurut Prayitno (dalam Kurnanto, 2014:158) kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya, menawarkan atau mengamati apakah para anggota sudah siap menjalani kegiatan pada tahap berikutnya, membahas suasana yang terjadi, dan meningkatkan keikutsertaan anggota.
Pada masa transisi juga terjadi tahap pembentukan norma (norming) sebagai aturan-aturan dan standar yang digunakan dalam menjalankan konseling kelompok. Dengan adanya norma, anggota kelompok dapat belajar mengatur, mengevaluasi, dan mengkoordinasikan tindakan-tindakan mereka. Dalam prakteknya kelompok biasanya menerima dua jenis norma, yakni norma preskriptif yang menggambarkan tentang perilaku yang harus dilakukan, dan norma proskriptif yang menggambarkan perilaku yang harus di hindari. Bila proses norming ini berjalan dengan baik, maka kelompok akan siap melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu tahap kerja (Rusmana, 2009: 95).
Tahap Kerja (Performing Stage)
Tahap kerja sering disebut juga sebagai tahap kegiatan (Gladding, 1995), tahap performing (Tuckman dan Jensen, 1977), tahap tindakan (George dan Dustin, 1988), tahap realisasi (Gibson dan Mitchell, 2011), dan tahap pertengahan yang merupakan inti kegiatan konseling kelompok, sehingga memerlukan alokasi waktu yang terbesar dalam keseluruhan kegiatan konseling kelompok (dalam Wibowo, 2005: 94). Tahap ini merupakan tahap kehidupan yang sebenarnya dari konseling kelompok, yaitu para anggota memusatkan perhatian terhadap tujuan yang akan dicapai, mempelajari materi-materi baru, mendiskusikan berbagai topik, menyelesaikan tugas, dan mempraktekkan perilaku-perilaku baru.
Pada tahap ini perasaan empati, keharuan, perhatian penuh, dan kedekatan emosional kelompok berangsur-angsur tumbuh. Hal ini sebagai akibat interaksi antar anggota kelompok dan pemahaman masing-masing anggota kelompok yang lebih baik. Perhatian utama dalam tahap kerja adalah produktivitas kerja yang dapat dicapai melalui; (1) saling memuji keunggulan masing-masing anggota kelompok, (2) role playing, (3) home work, dan beberapa strategi seperti modeling, brainstorming, written projections, dan lain-lain (Rusmana, 2009: 96).
Tahap kegiatan bertujuan membahas suatu masalah atau topik yang relevan dengan kehidupan anggota secara mendalam dan tuntas. Dalam tahap ini pemimpin kelompok mengumumkan suatu masalah atau topik tanya jawab antara anggota dan pemimpin kelompok tentang hal-hal belum jelas yang menyangkut masalah atau topik tersebut secara tuntas dan mendalam. Adapun peranan pemimpin kelompok adalah sebagai pengatur lalulintas yang sabar dan terbuka, aktif tetapi tidak banyak bicara. Corey (dalam Kurnanto, 2014: 160) mengemukakan tahap ini ditandai adanya eksplorasi masalah-masalah yang nampak dengan tindakan yang efektif untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang dikehendaki. Menurut Prayitno (dalam Kurnanto, 2014: 162) kegiatan yang harus dilakukan pada tahap ini, adalah:
Masing-masing anggota secara bebas mengemukakan masalah.
Menetapkan masalah yang akan di bahas terlebih dahulu.
Anggota membahas masing-masing masalah secara mendalam dan tuntas.
Kegiatan selingan.
Keterampilan dan teknik kepemimpinan pada tahap kegiatan
Natawijaya (dalam Kurnanto, 2014: 162) menjelaskan beberapa keterampilan yang harus dimiliki konselor pada tahap kegiatan ini dengan uraian sebagai berikut:
Merangsang pikiran anggota
Seorang konselor perlu mempersiapkan untuk merangsang pikiran anggota dalam diskusi karena ia tidak selalu dapat menggantungkan diri pada anggota untuk saling berbagi ide. Untuk melakukan hal ini, konselor dapat menggunakan latihan dan aktivitas yang bervariasi. Dia juga bisa menggunakan beberapa pertanyaan yang umum atau komentar yang mendorong dan memudahkan terjadinya berbagi rasa dan diskusi. Contoh pertanyaan yang dapat memunculkan pikiran para anggota: Coba ungkapkan satu atau dua hal apa yang menarik bagi anda dalam pembicaraan kelompok ini? Apakah orang lain juga merasakan begitu? Apakah ada orang lain yang ingin mengomentari hal tersebut?
Menggunakan intonasi suara untuk meminta angota berpikir
Kualitas suara konselor dan langkah pembicaraannya dapat mempengaruhi nada pembicaraan kelompok tersebut. Suara nada yang termodulasi dan lebih lembut disertai dengan langkah pelan dan tidak tergesa-gesa cenderung menolong anggota memfokuskan pikiran mereka lebih dalam. Pertanyaan yang diajukan dengan sikap seperti itu dapat membuat para anggota lebih berpikir, dan tidak hanya menjawab secara umum dan dangkal. Dalam hal ini, semakin mempribadi pikiran yang mereka berikan, maka semakin banyak energy yang mereka keluarkan ketika mereka berbagi rasa.
Memperkenalkan topik
Untuk menjaga minat para anggota agar tetap tinggi, konselor harus secara berkesinambungan mendengarkan pandangan atau tema yang dibicarakan oleh para konseli disaat mereka mendiskusikan bermacam-macam subjek. Bila konselor melihat energi mereka mulai berkurang, ia perlu memperkenalkan topik baru untuk diskusi. Konselor dapat melakukan hal ini dengan beralih dari apa yang telah dibicarakan dengan memfokuskan kepada topik yang muncul secara emergent pada saat diskusi.
Mengubah bentuk pertemuan
Pada beberapa kelompok , bentuk pada setiap sesi bisa tetap sama karena para anggotanya tampak menyukainya dan memperoleh manfaat darinya. Misalnya, suatu kelompok mungkin selalu dimulai dengan perkenalan anggota baru, berpindah pada pengulangan pertanyaan-pertanyaan, dan diikuti dengan film dan diskusi. Pada kelompok lain, konselor mungkin perlu mengubah bentuk pertemuan jika ia melihat para anggota kelompok telah bosan dengan agenda yang sama.
Menggunakan laporan kemajuan
Pada kelompok terapi, kelompok pertumbuhan, dan kelompok dukungan seringkali para anggota berbagi rasa tentang aspek hidup meraka yang biasanya terus dilanjutkan pada sesi-sesi berikutnya. Salah satu cara terbaik untuk melakukan hal ini adalah memulai tiap sesi dengan laporan kemajuan dari beberapa anggota. Hal ini tidak hanya membantu anggota yang berbagi kemajuan, tetapi berbagi rasa seperti ini juga membantu kekohesifan dalam kelompok.
Menemui anggota secara individual
Pada kelompok tertentu, konselor mungkin perlu bertemu dengan setiap konseli secara individual untuk mendiskusikan perasaan mereka terhadap kelompok. Pertemuan tersebut dapat memeberikan suatu kesempatan kepada konseli untuk berbagi pendapat dan bereaksi terhadap kelompok dan konselor karena konseli mengetahui bahwa perhatian konselor cukup tercurah kepadanya.
Mengubah gaya kepemimpinan jika diperlukan
Kadang pada tahap pertengahan, konselor merasakan adanya kebutuhan untuk mengubah gaya kepemimpinannya. Pengubahan gaya kepemimpinan tersebut sering dilakukan dengan cara lebih sedikit mengarahkan dan mendorong anggota untuk lebih banyak bertanggung jawab. Namun dalam situasi yang lain, mungkin saja lebih menuntut konselor untuk mengambil peranan yang lebih aktif, khususnya jika kelompok telah berkembang menjadi kelompok terapi.
Menginformasikan sebelumnya kepada anggota bila kelompok berakhir
Karena kadang-kadang para anggota mempunyai perasaan tertentu terhadap berakhirnya kelompok, sangat perlu bagi konselor untuk memberitahukan kepada konseli tentang kapan dan dalam kondisi apa kelompok itu berakhir.
Mengubah bentuk kelompok jika diperlukan
Mungkin ada beberapa kesempatan tertentu dalam tahap pertengahan yang pada saat itu konselor melihat adanya kebutuhan untuk mengubah kelompok. Perubahan tersebut bisa dengan cara menambah anggota baru, pertemuan yang semakin jarang, atau memperpanjang pertemuan. Sebelum memutuskan salah satu perubahan ini, konselor biasanya terlebih dahulu memperkenalkan ide diskusi.
Merancang topik tahap pertengahan
Akan sangat menolong bila mengambil sejumlah topik umum untuk kelompok dan membuat rancangan kunci permasalahan yang memungkinkan untuk dibicarakan. Seringkali konselor tidak tahu cara mengembangkan topik yang penting menjadi berarti bagi anggota kelompok, sehingga topik menjadi sia-sia.
Tahap Terminasi (Termination Stage)
Kegiatan suatu kelompok tidak mungkin berlangsung terus menerus tanpa berhenti. Setelah kegiatan kelompok memuncak pada tahap kerja, kegiatan kelompok ini kemudian menurun, dan selanjutnya kelompok akan mengakhiri kegiatan. Penghentian terjadi pada dua tingkatan dalam kelompok, yaitu pada akhir masing-masing sesi, dan pada akhir dari keseluruhan sesi kelompok. Menurut Corey (dalam Wibowo, 2005: 97), tahap terminasi atau pengakhiran sama pentingnya seperti tahap permulaan pada sebuah kelompok. Selama pembentukan awal pada sebuah kelompok, anggota datang untuk saling mengenali satu sama lain dengan baik. Selama masa penghentian, para anggota kelompok memahami diri mereka sendiri pada tingkat yang lebih mendalam. Penghentian memberi kesempatan pada anggota kelompok untuk memperjelas arti dari pengalaman mereka, untuk mengkonsolidasi hasil yang mereka buat, dan untuk membuat keputusan mengenai tingkah laku mereka yang ingin dilakukan di luar kelompok dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika kelompok memasuki tahap pengakhiran, kegiatan kelompok hendaknya dipusatkan pada pembahasan dan penjelajahan tentang apakah para anggota kelompok akan mampu menerapkan hal-hal yang telah mereka pelajari dalam suasana kelompok, pada kehidupan nyata mereka sehari-hari. Peranan konselor disini ialah memberikan penguatan (reinforcement) terhadap hasil-hasil yang telah dicapai oleh anggota kelompok dan oleh kelompok, khususnya terhadap keikutsertaan secara aktif para anggota kelompok dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh masing-masing anggota kelompok.
Pengakhiran konseling kelompok hendaknya membuat kesan yang positif bagi anggota kelompok, jadi jangan sampai anggota kelompok mempunyai ganjalan-ganjalan. Untuk itu perlu diberikan kesempatan bagi masing-masing anggota untuk mengemukakan ganjalan-ganjalan yang sesungguhnya mereka rasakan selama kelompok berlangsung. Dengan demikian para anggota kelompok akan meninggalkan kelompok dengan perasaan lega dan puas. Dengan kata lain, bahwa pada akhir kegiatan kelompok hendaknya para anggota merasa telah memetik suatu hasil yang cukup berharga dari kegiatan kelompok yang diikutinya itu.
Jenis-Jenis Penutupan dalam Konseling Kelompok
Jacob at al (dalam Kurnanto, 2014: 171) menjelaskan bahwa ada dua jenis penutupan yaitu sebagai berikut:
Closing phase (menutup sesi konseling), adalah periode sesi ketika pemimpin menutup seluruh kegiatan sesi. Tahap penutupan diskusi atau tugas kelompok mungkin hanya akan meringkas ide utama atau keputusan yang dibuat. Tahap penutupan mempunyai tujuan berikut:
Meringkas dan menyoroti tujuan utama,
Memperkuat komitmen yang dibuat oleh masing-masing anggota,
Memeriksa unfinished business dari sesi.
Closing stage, mungkin sesi terakhir bagi kelompok atau beberapa sesi terakhir, tergantung pada jenis kelompok dan total jumlah sesi yang terlibat. Tugas pemimpin selama tahap penutupan adalah fokus terhadap manfaat.
Jumlah waktu yang di perbolehkan untuk menyelesaikan tahap penutupan kelompok tergantung pada jenis kelompok, tujuannya, jumlah sesi, dan kebutuhan para anggota. Tujuan dari tahap penutupan adalah untuk menarik ide-ide bersama yang signifikan, perubahan pribadi dan keputusan yang dialami oleh anggota selama kelompok. Berikut adalah beberapa tugas dari tahap penutupan sebagai berikut:
Meninjau dan meringkas pengalaman kelompok.
Menilai pertumbuhan dan perubahan anggota.
Finishing bisnis.
Menerapkan perubahan ke kehidupan sehari-hari (keputusan pelaksanaan).
Memberikan umpan balik.
Penanganan selamat tinggal.
Perencanaan dan keberlangsungan resolusi masalah.
Sebagaimana tahapan konseling kelompok lainnya, pada tahap penutupan ini diperlukan keterampilan-keterampilan bagi konselor. Natawijaya (dalam Kurnanto, 2014: 175) menjelaskan beberapa keterampilan yang mesti dimiliki oleh konselor pada tahap penutupan konseling kelompok sebagai berikut:
Harapan, teknik ini berguna untuk membentuk perasaan-perasaan positif dan saling membantu bagi sesama anggota kelompok.
Mengatasi kritikan dalam pertemuan, konselor kelompok hendaknya sudah mempersiapkan dirinya terhadap kritik yang dilontarkan saat pertemuan akan berakhir. Untuk hal ini penting sekali diingat bahwa konselor tidak melakukan pertahanan diri. Banyak terjadi konselor yang tidak mau di kritik.
Menghargai anggota baru, konselor bisa sedikit memvariasikan cara penutupan di saat terdapat anggota baru dalam sesi itu. Pada kesempatan seperti itu, konselor bisa memberikan fokus tersendiri pada anggota baru jika ia merasa cukup senang untuk diberi perhatian khusus.
Menghargai anggota yang keluar, kadang-kadang terjadi adanya anggota kelompok yang meninggalkan kelompoknya meskipun aktivitas kelompok sedang berlangsung. Ketika hal itu terjadi konselor hendaknya memberi tambahan waktu pada saat akhir sesi di lakukan untuk membicarakan anggota yang menghilang tersebut. Banyak persoalan-persoalan yang mungkin dapat teratasi saat ini, misalnya konselor mencoba mengubah programnya, memberikan umpan balik, dan kemudian bisa saja menutup dengan ucapan "Selamat berpisah, dan minggu depan kita berjumpa lagi" atau sejenisnya.
Menurut Prayitno (dalam Kurnanto, 2014: 178) mengungkapkan peran pemimpin kelompok pada tahap ini yaitu; tetap mengusahakan suasana hangat, bebas, dan terbuka, memberikan pernyataan dan megucapkan terima kasih atas keikutsertaan anggota, memberikan smangat untuk kegiatan lebih lanjut, dan penuh rasa persahabtan serta empati.
Mengevaluasi Kelompok
Evaluasi merupakan bagian dari keseluruhan proses konseling itu sendiri, bukan suatu kegiatan yang terlepas, yang dilakukan pada tahap akhir. Dengan begitu, evaluasi masuk menjadi satu dalam bagan arus proses konseling yang dimulai dari penetapan tujuan sampai pengakhiran konseling kelompok. Di dalam pelaksanaan konseling kelompok, konselor mempunyai tanggung jawab untuk mengevaluasi kesuksesan perilaku kerja dan mengadakan tindak lanjut. Tahap ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh manakah konseling kelompok yang telah dilaksanakan mencapai hasil, dan tindakan apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh konselor (Winkel dan Hastuti, 2008).
Evaluasi yang dilakukan oleh konselor secara umum meliputi evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses konseling kelompok mengidentifikasikan variabel proses yang memberi konstribusi atau mendorong pencapaian tujuan. Evaluasi proses dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keefektifan layanan konseling kelompok dilihat dari prosesnya. Aspek yang di nilai dalam evaluasi proses yaitu antara lain: (1) kesesuaian antara program dengan pelaksanaan, (2) keterlaksanaan program, (3) hambatan yang dijumpai, (4) faktor penunjang, dan (5) keterlibatan siswa dalam kegiatan. Sedangkan evaluasi hasil konseling kelompok dimaksudkan untuk memperoleh informasi keefektifan konseling kelompok dlihat dari segi hasilnya. Aspek yang dinilai dalam evaluasi hasil konseling kelompok yaitu perolehan siswa dalam hal: (1) pemahaman baru, (2) perasaan, (3) rencana kegiatan yang akan dilakukan pasca pelayanan, (4) dampak layanan terhadap perubahan perilaku ditinjau dari pencapaian tujuan layanan, tugas perkembangan, dan hasil belajar, (5) permasalahan terpecahkan dan aspek-aspek tertentu pada diri siswa dapat berkembang secara baik, titik-titik lemah yang dapat mengganggu perkembangan dapat dihilangkan, dan permasalahan dapat dipecahkan dengan cepat dan lancar (Winkel dan Hastuti, 2008).
Evaluasi dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan secara terus menurus pada konselor dan juga bagi anggota kelompok. Oleh karena itu, konselor memiliki tanggung jawab untuk menilai dan mengevaluasi efektifitas diri atau kelompoknya secara berkesinambungan (Kurnanto, 2014: 179).
Evaluasi Diri Sendiri
Evaluasi diri dilakukan untuk memberikan umpan balik tentang sikap, perilaku, dan pendekatan fasilitatif umum yang diterapkan kepada kelompok. Kritik diri juga bisa dilakukan melalui pemanfaatan teknologi, seperti kaset atau rekaman video. Evaluasi diri tersebut dapat dilakukan oleh konselor melalui prosedur yang membantu dengan bersandarkan pada pertanyaan seperti bagaimana kelompok yang saya alami? Bagaimana perasaan yang saya alami dalam sesi ini? Apa reaksi saya kepada anggota kelompok? Apa yang saya komunikasikan dengan masing-masing anggota? dan sebagainya.
Evaluasi Pemimpin Kelompok
Evaluasi pemimpin kelompok dikembangkan oleh William F. Hill (dalam Kurnanto, 2014: 181) dengan produk berupa Hill's Interaction Matrix (HIM). HIM dapat berfungsi sebagai alat yang sangat berharga bagi pemimpin kelompok. Ini adalah salah satu alat ukur yang paling berguna bagi konselor yang digunakan dalam mengkonseptualisasikan proses dan dinamika kelompok dengan memeriksa interaksi verbal antara anggota. ini juga merupakan salah satu cara untuk membantu menentukan secara obyektif sejauh mana kemajuan kelompok terhadap tujuan bersama. Prinsip-prinsip kategorisasi HIM:
Gaya Konten
HIM dikonseptualisasikan dalam interaksi verbal kelompok dalam dua dimensi utama. Pertama adalah content style yaitu konten mengategorikan apa yang dibahas kelompok. Bagian kedua harus dilakukan dengan gaya kerja anggota dan terkait dengan proses komunikasi atau bagaimana anggota berhubungan satu sama lain dengan kelompok. Beberapa yang termasuk dalam kategori konten adalah tema yaitu sebagian besar dari isi diskusi kelompok, kelompok yang melibatkan pemeriksaan aturan dan prosedur, formasi, dan tujuan kelompok, personal yang berfokus pada orang atau seseorang yang sedang dibahas baik itu kepribadiannya, sifat, perilaku, atau masalah yang dialami, dan hubungan yaitu berhubungan dengan dimensi antara apa yang sedang terjadi dan masa depan anggota kelompok.
Gaya Kerja
Gaya kerja atau kategori proses berfokus pada cara dimana anggota mendiskusikan beberapa kemungkinan konten dengan menginisiasi atau menanggapi konten kelompok. Lima kategori proses gaya kerja dari HIM, yaitu responsive dengan menunjukan keengganan pada bagian dari anggota kelompok untuk berpartisipasi secara lisan, konvensional yaitu percakapan tentang topik umum, fakta, atau informasi, asertif yaitu berupa permusuhan atau pernyataan yang argumentatif tetapi juga dapat berupa perilaku pasif, spekulatif yaitu interaksi yang ditandai oleh keinginan bekerjasama untuk memecahkan masalah, dan konfrontatif yaitu memperjelas perkataan untuk mengevaluasi dan memecahkan masalah.
Evaluasi Anggota Kelompok dan Fasilitator/Konselor
Proses evaluasi ini dapat dilakukan saat proses dialog dalam kelompok dengan cara membuat kalimat terbuka untuk umpan balik evaluasi anggota. Konselor sebagai fasilitator dapat memberi kesimpulan atau memberikan bentuk respon yang akan disampaikan kembali (Breg, Landreth dan Fall, dalam Kurnanto, 2014: 184).
Evaluasi Diri Sendiri Anggota
Anggota kelompok mengungkapkan bagaimana mereka berubah, apa pengalaman yang berarti bagi mereka, atau perubahan yang mereka amati pada anggota lainnya. Selama proses mendapat pengalaman, anggota dapat mendefinisikan kembali harapan mereka sendiri atau mungkin menetapkan tujuan baru.
Sesi Tindak Lanjut
Kegiatan akhir dari kelompok adalah postgroup yang berupa follow up (tindak lanjut). Follow up dapat dilaksanakan secara kelompok maupun secara individu. Pada kegiatan tindak lanjut ini para anggota kelompok dapat membicarakan tentang upaya-upaya yang telah di tempuh. Mereka dapat melaporkan tentang kesulitan-kesulitan yang mereka temui, berbagai kesukacitaan dan keberhasilan dalam kelompok. Anggota kelompok menyampaikan pengalaman-pengalaman mereka dan hasilnya selama mengikuti kegiatan konseling kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Sesi tindak lanjut ini menjadi bagian penting karena memberikan kesempatan anggota kelompok untuk menangani terselesaikannya isu dan menerima dukungan atau dorongan dari kelompok. Konselor dapat mengadakan evaluasi dengan memberikan pertanyaan atau wawancara dengan batas tertentu dan dilihat apakah anggota sudah menguasai topik yang dibicarakan atau belum. Hal tersebut dapat memberikan gambaran akan keberhasilan kegiatan kelompok (Kurnanto, 2014: 186).
Breg, Landreth dan Fall (dalam Kurnanto, 2014: 186) mengatakan bahwa penjadwalan sesi tindak lanjut 2 sampai 3 bulan setelah berakhirnya kelompok dapat memberikan dorongan bagi anggota untuk terus memberitahukan pertumbuhan perubahan. Cara yang paling efektif adalah dengan mengumumkannya sebelum pembuaran kelompok (Rusmana, 2009: 101). Sesi tindak lanjut itu penting untuk memberikan kesempatan anggota untuk menangani terselesaikannya isu dan menerima dukungan dan dorongan dari kelompok. Kritik utama jangka pendek dari kelompok intensif adalah kegagalan konselor untuk menyediakan semacam sesi tindak lanjut. Konselor harus:
Merencanakan sesi tindak lanjut,
Mengembangkan sumber rujukan profesional kepada siapa mereka dapat merujuk saat anggota kelompok melanjutkan kegiatan profesional dengan fasilitator lain,
Menginformasikan kepada anggota kelompok sumber bantuan lainnya.
Sesi tindak lanjut dapat memberika kesempatan yang sangat baik untuk anggota kelompok dalam hal mengidentifikasi tujuan-tujuan baru untuk diri mereka sendiri, mengeksplorasi sumber untuk pertumbuhan lanjutan terhadap tujuan-tujuan baru, serta untuk bekerja pada setiap masalah yang belum terselesaikan. Setelah menjadi "diri sendiri" selama beberapa minggu, anggota tampaknya membutuhkan dukungan emosional dan penegasan lebih dari yang mereka butuhkan berupa jawaban atau saran. Evaluasi dan sesi tindak lanjut merupakan langkah penting dalam proses konseling kelompok dan tidak boleh dipandang sebagai pelengkap yang akan ditambahkan ke pengalaman kelompok. Sebuah prosedur evaluasi yang sistematis dan efektif dapat meningkatkan upaya fasilitatif dari fasilitator. Sesi tindak lanjut membatu angota untuk mempertahankan fokus pada diri sendiri dan untuk memperbaharui komitmen untuk berubah (Kurnanto, 2014: 187).
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulkan sebagai berikut:
Tahapan dalam konseling kelompok terdiri dari tahap tahap awal (beginning a group), tahap transisi (transition stage), tahap kerja (performing stage), dan tahap terminasi (termination stage), serta evaluasi kelompok dan tindak lanjut.
Tahap awal (beginning a group) merupakan tahap yang sangat berpengaruh dalam keberlangsungan proses konseling. Pada tahap ini dilakukan upaya untuk menumbuhkan minat bagi terbentuknya kelompok yang meliputi pemberian penjelasan tentang adanya layanan konseling kelompok bagi para siswa, penjelasan pengertian, tujuan dan kegunaan konseling kelompok, ajakan untuk memasuki dan mengikuti kegiatan, serta kemungkinan adanya kesempatan dan kemudahan bagi penyelenggaraan konseling kelompok.
Tahap transisi (transition stage) atau peralihan merupakan jembatan antara tahap pertama dengan ketiga yang bertujuan agar anggota kelompok tidak memiliki rasa malu, enggan, ragu atau saling tidak percaya untuk memasuki tahap selanjutnya. Kegiatannya yaitu dengan menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya, menawarkan atau mengamati apakah para anggota sudah siap menjalani kegiatan pada tahap berikutnya.
Tahap kerja (performing stage) ditandai dengan adanya perasaan empati, keharuan, perhatian penuh, dan kedekatan emosional kelompok berangsur-angsur tumbuh. Hal ini sebagai akibat interaksi antar anggota kelompok dan pemahaman masing-masing anggota kelompok yang lebih baik. Anggota kelompok memusatkan perhatian terhadap tujuan yang akan dicapai, mempelajari materi-materi baru, mendiskusikan berbagai topik, menyelesaikan tugas, dan mempraktekkan perilaku-perilaku baru.
Tahap terminasi (termination stage) terjadi pada dua tingkatan dalam kelompok, yaitu pada akhir masing-masing sesi, dan pada akhir dari keseluruhan sesi kelompok. Selama masa penghentian, para anggota kelompok memahami diri mereka sendiri pada tingkat yang lebih mendalam. Penghentian memberi kesempatan pada anggota kelompok untuk memperjelas arti dari pengalaman mereka, untuk mengkonsolidasi hasil yang mereka buat, dan untuk membuat keputusan mengenai tingkah laku mereka yang ingin dilakukan di luar kelompok dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengevaluasi kelompok dimaksudkan untuk mengetahui sejauh manakah konseling kelompok yang telah dilaksanakan mencapai hasil, dan tindakan apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh konselor. Evaluasi yang dilakukan oleh konselor secara umum meliputi evaluasi proses dan evaluasi hasil.
Sesi tindak lanjut adalah usaha mengumpulkan kembali anggota kelompok setelah berakhirnya konseling kelompok. Anggota kelompok dapat membicarakan tentang upaya-upaya yang telah di tempuh. Mereka dapat melaporkan tentang kesulitan-kesulitan yang mereka temui, berbagai kesukacitaan dan keberhasilan dalam kelompok. Anggota kelompok menyampaikan pengalaman-pengalaman mereka dan hasilnya selama mengikuti kegiatan konseling kelompok dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Gibson, Robert L dan Mitchell, Marianne H. 2011. Bimbingan Dan Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurnanto, Edi. 2014. Konseling Kelompok. Bandung: Alfabeta.
Rusmana, Nandang. 2009. Bimbingan dan Konseling Kelompok Di Sekolah (Metode, Teknik, dan Aplikasi). Bandung: Rizqi Press.
Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Vitalis, DS. 2008. Layanan Konseling Kelompok. Madiun: IKIP PGRI Madiun.
Wibowo, Eddy Mungin. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: Unnes Press.
Winkel dan Hastuti, Sri. 2008. Bimbingan dan Konseling Kelompok. Jakarta: Rineka Cipta.