Aprillia Annisa 2010330155 Organisasi Intenasional-Kelas D
The Asian Development Bank (ADB) adalah institusi multilateral pembangunan perekonomian yang dibentuk pada tahun 1996 dengan tujuan utama untuk menghapus kemiskina yang meluas di kawasan Asia Pasifik. Menurut Artikel 1 Agreement Establishing the Asian Development Bank, tujuan ADB lebih menekankan pada memajukan pertumbuhan ekonomi dan kerjasama di dalam kawasan Asia Pasifik serta berkontribusi dalam mempercepat pembangunan ekonomi untuk para anggota yang tergolong dalam negara berkembang di kawasan ini., secara bersama maupun secara individual. Latar belakang terbentuknya ADB karena Jepang merasa tidak puas dengan prinsip World Bank yang menurutnya tidak memenuhi kepentinga Asia dan “terlalu Amerika”, oleh karena itu Jepang merasa harus membentuk sebuah badan yang mirip dengan World Bank di kawasan Asia agar mampu menyamakan kebijakan dengan keadaan ekonomi dan politik di Asia. Menurut Artikel 2 the Agreement ADB, fungsi resmi ADB adalah menjamin pinjaman dan investasi yang adil untuk anggotanya yang tergolong negara berkembang (DMCs), menjamin bantuan teknis untuk perencanaan dan pelaksanaan program dan proyek pembangunan negara serta sebagai penasihat, mempromosikan dan memfasilitasi investasi untuk modal di sektor privat dan publik dalam konteks pembangunan, dan membantu dalam mengkoordinasikan kebijakan dan rencana pembangunan bagi negara anggotanya yang termasuk DMCs. Pada awalnya, ADB mendefinisikan dirinya sebagai lembaga pembiayaan proyek pembangunan yang bertujuan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Perannya selama seperempat abad dari terbentuk tercemin dalam definisi di atas. Namun, karena situasi sosial-politik dan ekonomi di kawasan Asia Pasifik berkembang, peran ADB juga berkembang seiring dengan kondisi di kawasannya. Contohnya pada tahun 1980an, peran ADB berfokus pada proyek seperti lembaga dan kebijakan dengan konteks strategi pembangunan negara. Meskipun ADB mempunyai banyak peran yang bukan saja ekonomi dan peminjaman sebagai peran utama, tetapi bagaimanapun juga peran terpenting ADB adalah menggunakan visi dan pengalamannya untuk membantu para DMCs (Development Member Countries) dalam mengembangkan kebijakan dan melaksanakan program yang telah dirancang untuk menjamin adanya akses yang adil bagi masyarakat miskin untuk pendidikan yang berkualitas di semua kalangan. Sampai sekarang ADB telah memilik 67 negara anggota yang terdiri dari 49 negara di kawasan Asia Pasifik dan 19 negara lainnya berasal dari luar kawasan Asia Pasifik. Negaranegara anggota ADB yang masuk dalam kawasan Asia Pasifik adalah Afganishtan, Armenia, Australia, Azerbaijan, Banglades, Bhutan, Brunei Darusalam, Kamboja, Republik Rakyat Cina, Cook Islands, Fiji, Georgia, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Kazakhstan, Kiribati, Korea
Selatan, Kirgyztan, Laos, Malaysia, Maladewa, Marshall Islands, Micronesia, Mongolia, Myanmar, Nauru, Nepal, Selandia Baru, Pakistan, Republik Palau, Papua Nuginim Philipina, Samoa, Singapura, Solomon Islands, Srilanka, Taiwan, Tajikistan, Thailand, Timor Leste, Tonga, Turkmenistan, Tuvalu, Uzbekistan, Vanuatu dan Vietnam. Sedangkan 19 anggota non Asia Pasifik lainnya adalah Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia, Italia, Luxembourg, Belanda, Norwegia, Portugal, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat. The Asian Development Bank adalah organisasi yang isu utamanya adalah di bidang ekonomi dan termasuk Internasional Government Organization (IGO) dan termasuk organisasi yang berdiri di sebuah kawasan, yang berarti Regionalism. Struktur organisasi dari ADB sendiri adalah ADB diatur dan dipimpin oleh Board of Governors, Board of Executive Director, seorang Presiden, 4 Wakil Presiden dan Kepala Departemen dan Kantor cabang. Setiap negara anggota menunjuk seorang Governor untuk merepresentasikan dan hak voting untuk negaranya sendiri. Setiap Governor memilih Executive Directors yang bertanggung jawab atas semua kebijakan yang dibuat dan pengaturannya sendiri. Di dalam tradisinya, Presiden ADB selalu orang Jepang. Presiden ADB adalah kepala dari Board of Governors dan juga kepala dari Board of Directors. Presiden ADB yang sekarang adalah Haruhiko Kuroda yang berasal dari Jepang. Proses pengambilan keputusan ADB kurang lebih sama seperti World Bank karena ADB merupakan “World Bank Asia” yaitu sistem voting yang menguntungkan dimana suara-suara didistribusikan dalam suatu proporsi dengan ketentuan dimana negara pendonor terbanyak mendapatkan saham yang lebih banyak juga di dalam ADB sendiri dan tentu hak votingnya pun lebih istimewa dibandingkan dengan negara lainnya. Baru-baru ini, Jepang dan Amerika Serikat menjadi negara pemegang saham terbesar dengan presentase masingg-masing 12, 576%, lalu Cina memegang saham sebesar 6,429% dan India 6, 317%. Ini mencerminkan bahwa Jepang dan Cina sebagai pemegang saham terbesar di ADB mempunyai pengaruh besar di dalam proses pengambilan keputusan dalam Board of Directors. Isu-isu perdebatan yang terjadi di dalam ADB maupun di luar ADB telah bayak terjadi, dan masyarakat internasional sempat menilai bahwa ADB adalah suatu organisasi yang hampir gagal karena banyaknya kekurangan dan kesalahan yang mereka perbuat. Para pengamat mengkategorikan masalah-masalah yang terjadi di dalam ADB karena 4 hal : pendekatan, metodologi, struktur dan perilaku. Meskipun semua tujuan, program dan peran ADB bermaksud baik, proyek-proyek yang telah didanai oleh ADB selama ini menyebabkan kerusakan lingkungan dan sosial yang meluas dan mempengaruhi daerah-daerah kawasan masyarakat miskit dan rentan. Lalu meskipun ADB dibiayai oleh pajak publik, kegiatan ADB (beserta multilateral development bank lainnya) kebanyakan dilakukan tanpa menginformasikan kepartisipasian masyarakat, LSM, dan di banyak kasus pejabat-pejabat di negara peminjam itu sendiri. PRS (Poverty Reduction Strategy), yaitu sebuah proyek ADB yang berusaha mengurangi kemiskinan di Asia Pasifik dengan pilar strateginya yaitu berpihak terhadap pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan untuk masyarakat miskin, pembangunan sosial dan pemerintahan yang baik. Elemen-elemen di atas akan dilaksanakan melalui strategi yang telah dibuat oleh ADB. Tambahan terhadap 3 pilar strategi, PRS juga mempunyai 5 prioritas dasar : pembangunan sektor privat, lingkungan, persamaan gender, kerjasama regional dan peningkatan kapasitas. Lalu, orang-orang di dalam ADB sendiri mengakui bahwa hambatan utama dalam melaksanakan PRS adalah staffnya sendiri yang ternyata tidak tahu apa-apa bagaimana cara mengurangi kemiskinan dengan baik atau tidak mampu bergerak dari paradigm pertumbuhan ekonomi yang standar. Stafstaf di negara-negara anggota pun tidak bisa menunjukkan hubungan yang positif antara kebijakan makro-ekonomi dan pemberantasan kemisikinan. Dan dapat dipastikan bahwa ADB berjuang menghadapi apa yang disebut “goal congestion” dimana tujuan-tujuan baru bermunculan, sedangkan tujuan-tujuan lama belum terselesaikan dan terjadi penumpukan yang menyebatkan kemacetan menyelesaikan tujuannya sendiri. ADB membuat kebijakan baru dimana akan mempromosikan partnerships sektor privat dan publik antara pemerintah dan perusahaan sektor privat dibawah aturan Build-Own-Operate (BOO) dan Build-Own-Transfer (BOT) dimana ADB menjamin kesamarataan pinjaman untuk pemerintah dan kredit parsial juga jaminan untuk resiko-resikonya terhadap investor swasta. Umumnya resiko parsial menjamin kedaulatan negara dan resiko politik juga biasanya membutuhkan jaminan balik dari host government. Pemerintah juga harus menjamin harga output dari proyek, meskipun mahal. ADB mengklaim bahwa keuangan dan strategi mereka menjamin kenyamanan dalam peminjam komersial dan investor di public-privat partnership. Nyatanya, pemerintah dan masyarakat di host countries tidak mendapatkan apa yang ADB janjikan, yaitu kenyamanan dalam bekerja sama. Pemerintah dibebankan kepada resiko devisa negara, kenaikan hutang, kenaikan harga alat-alat dan jeleknya kualitas servis dari ADB. Alasan utama ADB dalam promosinya secara gencar-gencaran dari partisipasi sektor swasta di dalam infrastruktur public adalah sektor swasta seolah-olah mengurangi tekanan keuangan mereka pada sektor public yang kurangnya sumber daya dan tidak efisien, hal ini memungkinkan pemerintah untuk mengarahkan langsung sumber daya agar dibebaskan dari biaya produksi dan infrastruktur terhadap sektor sosial dan proyek-proyek sektor swasta yang telah dirancang dengan baik dalam lingkungan yang bagus biasanya beroperasi lebih efisien dibandingkan dengan proyek-proyek di sektor public yang merupakan peningkatan mutu dan akses bagi masyarakat miskin dan malah mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, melihat pengalaman di seluruh Asia-Pasifik, proyek ADB yang didukung oleh sektor swasta menunjukkan hasil yang sebaliknya. Contoh kasus lainnya adalah kasus penyuapan masal di Dewan Perwakilan Rakyat Philipina yang dikenal sebagai kasus National Power Corporation (NAPOCOR) yang dibilang sebagai “the biggest scandal of ADB”. NAP OCOR adalah program liberalisasi sektor energi melaui investasi jenis BOT. Dengan mudahnya ADB mengabaikan resiko valuta asing terhadap NAPOCOR karena telah menjamin pembayaran dan membuat Power Purchase Agreements untuk perusahaan swasta dalam US$. Krisis financial Asia meninggalkan NAPOCOR dengan
banyak bencana seperti beban hutang negara, devaluasi mata uang dan meningkatnya harga ritel yang mengakibatkan drastisnya penurunan permintaan energi. Tanggapan ADB pada krisis 1998 adalah mendorong pemerintahan Philipina dengan agresif untuk mengikat dan meprivatisasi NAPOCOR, yang ditandai dengan skandal korupsi secara besar-besaran di pertengahan 2000an dan kerusuhan sosial yang massive. Menurut beberapa pengamat, ADB bingung di dalam hal masalah keamanan bukannya menjamin di dalam bidang infrastruktur. Contoh kasus kesalahan konsultasi kebijakan serupa oleh ADB adalah proyek sektor energi dan air di Vietnam, Laos, Kamboja, Philipina, Indonesia, India dan Pakistan yang menyimpulkan bahwa setiap pemerintahan yang telah memasuki program public-private partnership buatan ADB sekarang menghadapi kenaikan hutang dan kewajiban membayar. ADB mempunyai 4 elemen dasar dalam Good Governance yaitu Akuntabilitas, Partisipasi, Predictability dan Transparansi. Karena dalam kerangka kerja pemerintah di ADB tidak membahas dimensi politik pemerintah, ini menunjukkan sedikit ketertarikan bahwa pada faktanya proyek-proyek ADB melanggar hak-hak konstitusional dan hak demokrasi masyarakat. ADB bertindak sebagai hambatan secara akuntabilitas pemerintah dengan rakyatnya. Transformasi sektor public yang menjadi melayani perusahaan dan kepentingan pasar melemahkan kemampuan negara untuk memenuhi kewajiban public. Hal ini juga menciptakan masalah baru terutama bagi masyarakat miskin dan termarginalisasi secara politik. Kebijakan ADB tentang Good Governance tidak menawarkan solusi yang baik terhadap institusi pemerintahan negara anggotanya. Orang-orang didalam ADB sendiri mengungkapkan bahwa ADB semakin terganggu oleh buruknya kinerja staff dan manajemennya, kurangnya kejelasan tentang kebijakan dan prosedurnya sendiri dan tidak adanya disiplin di dalam institusi ini. Isu utama adalah kebijakan ADB tentang keterbukaan informasinya dan tidak adanya partisipasi public terhadap proyek pembangunan maupun evaluasinya. ADB sangat tidak akuntabel, tidak transparan dalam kebijakan proyeknya dan pengambilan keputusan terhadap public serta tidak bertanggung jawab dalam komitmennya untuk mempromosikan partisipasi public dan akses informasi. Pengungkapan kebijakan informasi ADB ditandai dengan tidak relevannya pengambilan keputusan, sifantnya yang selektif dan kualitasnya yang meragukan. Malah kebijakan dan keputusan operasional ADB yang paling penting dibuat berdasarkan kepentingan ekonomi dan politiknya bukan pada apa yang bagus untuk publik. Merasa gerah dikritik ADB muncul dengan draf Public Communication Policy pada 2003, dan lagi-lagi draf inipun dikritik karena membatasi partisipasi publik kepada apa yang ADB dibuat kepada public dan gagal dalam mendemonstrasikan bagaimana pandangan beberapa yang mempunyai kepentingan sebenarnya akan merubah sikap ADB dalam memimpin sebuah proyek. Kritik bertambah karena operasi sektor privat ADB mayoritas didanai oleh public, masyarakat pun harus mempunyai hak untuk tahu apa saja yang terjadi di dalam sektor privat maupun public. Dalam pembahasan disebutkan juga bahwa PCP menuai kritik yaitu direncankan dan dilaksanakan dengan jelek. Workshops yang diadakan ADB tidak dibuka untuk umum dan partisipasi di dalamnya harus diseleksi untuk kelompok masyarakat sipil yang dianggap
memenuhi kriteria ADB. Undangannya juga sampai terlalu dekat dengan acara, dokumen yang dibuat tidak menyediakan dalam bahasa lokal yang membuat partisipan kesulitan dalam mengartikan serta waktu untuk berdiskusi pun sangat pendek. Workshop yang dilaksanakan pada Juli 2004 di India menmperlihatkan bahwa ADB tidak serius dengan komitmennya terhadap 4 elemen penting Good Governance. Menurut saya, PCP merupakan sebuah kedok dan lebih berorientasi dengan meningkatkan citranya sendiri daripada memperdalam komitmennya dalam transparansi dan akuntabilitas. Pada tahun 2000 OED mengidentifikasi bahwa setengah dari proyek ADB sukses dan setengahnya lagi dipertanyakan kelanjutannya. Problem utama dalam gagalnya proyek-proyek yang telah diperiksa adalah jeleknya persiapan dan struktur di dalam proyek, desainnya cacat, tidak adanya catatan atau pembukuan, tidak ada manfaat dari Benefit Monitoring and Evaluation (BME), kurangnya konsultasi dengan masyarakat, kurangnya partisipasi public dalam persiapan proyek, biaya dan waktu yang melampaui batas dan kegagalan mengatasi dampak massive terhadap sosial dan lingkungan. Yang menjadi kekhawatiran juga bahwa ketidakinginan ADB untuk mengasumsi pertanggungjawaban terhadap kegagalan proyek, program dan kebijakannya. ADB malah menggunakan pemerintahan lokal dan nasional sebagai “cover”nya karena semua proyek, program dan kebijakannya dengan satu atau lain cara dibangun kedalam rencana pembangunan nasional dan sub-nasional. ADB mengklaim bahwa pengambilan keputusan ada di tangan pemerintah dan masalah jeleknya desain dan manjemen program, kebijakan yang cacat, korupsi, dan gagalnya proyek adalah gejala sistemik dalam kapasitas nasional dan pemerintahan. Kesimpulan yang bisa saya ambil dari isu-isu perdebatan yang terjadi di ADB adalah ADB berusaha seperti World Bank bagi Asia dimana pada tujuan awalnya bisa melayani kepentingan masyarakat Asia. Nyatanya dengan sejumlah kegagalan dan kekurangannya ADB dikritik keras dan dianggap gagal menyamakan diri dengan World Bank. The Asian Development Bank telah menjadi bagian dari masalah dibandingkan menjadi solusi untuk isu pembangunan di Asia.