REFERAT KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI
ANESTESI PADA OPERASI MATA
Disusun oleh: Nicole A. Pramono 07120100077
Pembimbing: dr. Liempy, SpAn
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK 2015
Contents
PENDAHULUAN PENDAHULUAN ............................................................... ..................................................................................................................................... ........................................................................ .. 3 BAB 1 .......................................................................................................................................... ....................................................................................................................................................... ............. 4 ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA .......................................................................................................... ............................................................................................................ .. 4 BAB 2 ..................................................................................................................................................... ..................................................................................................................................................... 11 ANESTESI PADA OPERASI MATA ........................................................... ........................................................................................................... ................................................ 11 BAB 3 KESIMPULAN..................................................................... KESIMPULAN............................................................................................................................... .......................................................... 23 DAFTAR PUSTAKA ........................................................... .............................................................................................................................. ...................................................................... ... 24
2
PENDAHULUAN
Pasien-pasien mata umumnya memiliki risiko khusus terhadap tindakan anestesi. Pasien biasanya datang dengan umur yang ekstrim, sangat muda atau justru sangat tua. Oleh karenanya,kondisi medis yang mendasari keadaan pasien tersebut dapat memperberat risiko anestesi, demikian juga halnya respon pasien terhadap obat-obat anestesi yang diberikan. Seringnya, pasien-pasien mata yang mendapat pengobatan sehubugan dengan penyakit mata yang mereka derita dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tatalaksana anestesi. Terdapat variasi data mortalitas yang berkaitan dengan tindakan anestesi pada operasi-operasi mata sejak tahun 1960 sampai 1970-an, yaitu berkisar antara 0.06% – 0.16% tanpa membedakan apakah pasien mendapat tindakan anestesi lokal atau umum. 1 Quigley pada tahun 1974 menyatakan bahwa morbiditas yang berkaitan dengan tindakan anestesi pada pembedahan mata termasuk di dalamnya mual, muntah, perdarahan retrobulbar, perforasi dan hilangnya humor vitreous. 2 Pengetahuan mengenai anatomi dan fisiologi mata merupakan hal yang penting bagi seorang dokter anestesi, diantaranya adalah pemahaman tentang tekanan intra okuler (TIO) serta bagaimana tekanan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa penyakit dan obat-obatan, termasuk obat-obatyang digunakan dalam tindakan anestesi. 3 Karena, salah satu tujuan penting dalam tatalaksana anestesi selama tindakan pembedahan mata adalah mengupayakan agar TIO tetap terkendali. Terutama sekali pada tindakan pembedahan mata sistem terbuka, dimana variasi perubahan TIO yang besar selama pembedahan dapat berakibat terjadinya kerusakan pada fungsi penglihatan paska operasi. Pada pasien-pasien seperti ini, tindakan-tindakan yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya suatu peningkatan TIO, termasuk stres mekanik ataupun farmakologik, haruslah dihindarkan.4 Usaha-usaha untuk mengendalikan TIO dalam rentang nilai yang fisiologis (berkisar antara 10-20 mmHg) merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan kondisi anatomis yang diperlukan untuk fungsi refraksi dan penglihatan yang optimal.
3
BAB 1 ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA
Mata adalah organ penglihatan yang mendeteksi cahaya. Yang dilakukan mata yang paling sederhana tak lain hanya mengetahui apakah lingkungan sekitarnya adalah terang atau gelap. Mata yang lebih kompleks dipergunakan untuk memberikan pengertian visual.
Organ luar
Bulu mata berfungsi menyaring cahaya yang akan diterima.
Alis mata berfungsi menahan keringat agar tidak masuk ke bola mata.
Kelopak mata ( Palebra) berfungsi untuk menutupi dan melindungi mata.
Organ dalam
Bagian-bagian pada organ mata bekerjasama mengantarkan cahaya dari sumbernya menuju ke otak untuk dapat dicerna oleh sistem saraf manusia. Bagian-bagian tersebut adalah:
Kornea Merupakan bagian terluar dari bola mata yang menerima caha ya dari sumber cahaya.
Sklera Merupakan bagian dinding mata yang berwarna putih. Tebalnya rata- rata 1 milimeter tetapi pada irensi otot, menebal menjadi 3 milimeter.
Pupil dan iris Dari kornea, cahaya akan diteruskan ke pupil. Pupil menentukan kuantitas cahaya yang masuk ke bagian mata yang lebih dalam. Pupil mata akan melebar jika kondisi ruangan yang gelap, dan akan menyempit jika kondisi ruangan terang. Lebar pupil dipengaruhi oleh iris di sekelilingnya.Iris berfungsi sebagai diafragma. Iris inilah terlihat sebagai bagian yang berwarna pada mata.
Lensa mata Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada retina. Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik kuning retina. Untuk melihat objek yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa mata akan menipis. Sedangkan untuk melihat objek yang dekat (cahaya datang dari dekat), lensa mata akan menebal.
Retina atau Selaput Jala
4
Retina adalah bagian mata yang paling peka terha dap cahaya, khususnya bagian retina yang disebut bintik kuning. Setelah retina, cahaya diteruskan ke saraf optik.
Saraf optik Saraf yang memasuki sel tali dan kerucut dalam retina, untuk menuju ke otak.
Gambar 1 Anatomi Mata
Palpebra o
Palpebra melindungi mata dari cedera dan cahaya yang berlebihan.
o
Tdd : Palpebra superior dan inferior
o
Permukaan suferficial ditutupi oleh kulit dan permukaan dalam diliputi oleh membran mukosa à conjunctiva.
o
Conjunctiva membentuk ruang potensial yaitu saccus conjunctivalis.
o
sudut lateral fissura palpebra lebih tajam dari medial.
o
Sudut medial dan bola mata dipisahkan oleh rongga sempit (lacus lacrimalis) dan terdapat tonjolan kecil ( caruncula lacrimalis)
5
Gambar 2 Anatomi Mata
LAPISAN BOLA MATA
Mata tertanam pada adiposum orbitae, terdapat 3 lapisan : Tunika fibrosa : o
Bagian posterior yang opak
o
Sclera
o
Bagian anterior yang transparan
o
Cornea
Tunika Vasculosa Pigmentosa : o
Choroidea
o
Corpus Cilliary
o
Iris dan pupil
o
Tunika Nervosa : Retina
6
Gambar 3 Otot-otot penggantung bola mata
Vaskularisasi bola mata
Gambar 4 vaskularisasi bola mata
Ada 2 sistem vaskularisasi bola mata : A. Sistem arteri siliar, terdiri dari :
Arteri siliaris anterior (9)
Arteri siliaris posterior brevis (7)
Arteri siliaris longus (4)
B. Sistem arteri Sentralis
Retina (12)
7
Persarafan
Gambar 5 saraf optik
Saraf yang bertangung jawab terhadap mata manusia adalah saraf optikus (Nervus II). Bagian mata yang mengandung saraf optikus adalah retina. Saraf optikus adalah kumpulan jutaan serat saraf yang membawa pesan visual dari retina ke otak.
Gambar 6 Otot dan saraf pada mata
Sedangkan saraf yang menggerakkan otot bola mata adalah saraf okulomotoris (Nervus III), saraf ini bertanggungjawab terhadap pergerakan bola mata, membuka kelopak mata, dan mengatur konstraksi pupil mata.
8
Gambar 7 Persarafan pada mata
Saraf lainnya yang mempengaruhi fungsi mata adalah saraf lakrimalis yang merangsang dalam pembentukan air mata oleh kelenjar air mata. Kelenjar Lakrimalis terletak di puncak tepi luar dari mata kiri dan kanan dan menghasilkan air mata yang encer.
Sistem cairan mata - Intraokular
Gambar 8 Aqueous humor pada mata
9
Mata diisi dengan cairan intraokuolar, yang mempertahankan tekanan yang cukup pada bola mata untuk menjaga distensinya. Cairan ini dibagi dua : Humor aqueous (anterior lensa), Humor vitreus (posterior lensa & retina). Humor aqueous berperan sebagai pembawa zat makanan dan oksigen untuk organ di dalam mata yang tidak berpembuluh darah yaitu lensa dan kornea, disamping itu juga berguna untuk mengangkut zat buangan hasil metabolisme pada kedua organ tersebut. Adanya cairan tersebut akan mempertahankan bentuk mata dan menimbulkan tekanan dalam bola mata/tekanan intra okuler.
Gambar 9 Sirkulasi Aqueous Humor
Fisiologi mata
Gelombang cahaya dari benda yang diamati memasuki mata melalui lensa mata dan kemudian jatuh ke retina kemudian disalurkan sampai mencapai otak melalui sa raf optik, sehingga mata secara terus menerus menyesuaikan untuk melihat suatu benda. Iris bekeja sebagai diafragma, mengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk ke dalam pupil. Pada keadaan gelap pupil membesar dan pada suasana terang pupil akan mengecil. Mekanisme tersebut berjalan secara otomatis, jadi di luar kesadaran kita. Pada saat yang sama ajakan saraf yang lainnya masuk lebih jauh ke dalam otak dan mencapai korteks sehingga memasuki saraf kesadaran. Sistem yang terdiri dari mata dan alur saraf yang mempunyai peranan penting dalam melihat di sebut alat visual. Mata mengendalikan lebih dari 90 % dari kegiatan sehari-hari. Dalam hampir semua jabatan visual ini memainkan peranan yang menentukan. Organ visual ikut bertanggung jawab atas timbulnya gejala kelelahan umum
10
BAB 2 ANESTESI PADA OPERASI MATA
2.2 TEKANAN DINAMIS INTRAOKULER 2.2.1 Fisiologi tekanan intraokuler
Mata dapat dianggap sebagai bola hampa dengan dinding yang kaku. Jika isi dari bola mata meningkat, tekanan intraokuler ( normal 12 – 20 mmHg) akan naik. Sebagai contoh, glaukoma disebabkan oleh sumbatan aliran humor aquos. Begitu juga tekanan intraokuler akan naik jika volume darah dalam bola mata meningkat. Naiknya tekanan vena akan meningkatkan tekanan intraokuler oleh penurunan aliran aquos dan peningkatan volume darah koroid. Perubahan yang ekstrim dari tekanan darah arteri dan ventilasi dapat meningkatkan tekanan intraokuler. Pemberian anestesi merubah parameter ini dan dapat menpengaruhi tekanan intraokuler seperti laryngoscopy, intubasi, sumbatan jalan napas, batuk, posisi trendelenburg). peningkatan ukuran bola mata yang tidak proporsional mengubah volume isinya akan meningkatkan tekanan intraokuler. Penekanan pada mata dari sungkup yang sempit, posisi prone yang tidak baik, atau perdarahan retrobulber merupakan tanda peningkatan tekanan. 1 Tabel 1 efek kardiak dan respiratori pada tekanan intraokular
Tekanan intraokuler membantu mempertahankan bentuk dan oleh karena itu membangun optik dari mata. Variasi temporer tekanan biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh mata normal. Dalam kenyataanya kebutaan menaikkan tekanan intraokuler sebanyak 5 mmHg dan juling 26 mmHg. Episode transien peningkatan tekanan intraokuler pada pasien
11
dengan tekanan arteri optalmikus yang rendah. ( hipotensi, arteriosklerotik arteri retina), bagaimanapun dapat membahayakan perfusi retina yang menyebabkan iskemia retina. 2.2.2 Efek obat – obat anestesi pada tekanan intraokuler
Umumnya obat – obat anestesi lain yang rendah tidak berefek pada tekanan intraokuler. Anestesi inhalasi menurunkan tekanan intraokuler yang proporsional sesuai dalamnya anestesi. Penyebab penurunannya multipel antara lain ; penurunan tekanan darah mengurangi volume koroidal, relaksasi otot-otot ekstraokuler menurunkan tekanan dinding bola mata, kontriksi pupil memudahkan aliran aquos. Anestesi intravena juga dapat menurunkan tekanan intraokuler. Mungkin pengecualian adalah ketamin, yang dapat menaikkan tekanan darah arteri dan tidak menyebabkan relaksasi otot ekstraokuler. Tabel 2 Efek obat anestesi pada tekanan intraokuler
Pemberian obat antikolinergik topikal menyebabkan dilatasi pupil (midriasis), yang dapat menyebabkan glaukoma sudut tertutup. Dosis premedikasi atropin sistemik yang dianjurkan tidak berhubungan dengan hipertensi intraokuler, karena bagaimanapun hal ini akan terjadi pada pasien-pasien dengan glaukoma. Besarnya empat struktur amonium glikopirolat dapat memperbesar batas keamanan dan mencegah penularan ke dalam system saraf pusat. Suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokuler sebanyak 5 – 10 mmHg selama 5 – 10 menit setelah pemberiannya, menembus terutama ke dalam otot – otot ekstraokuler dan menyebabkan kontraktur. Tidak seperti otot skelet lainnya, otot ekstraokuler terdiri dari sel – sel dengan multipel neuromuskuler junction. Setelah pemulihan depolarisasi sel – sel ini oleh suksinilkolin menyebabkan kontraktur yang berkepanjangan. Hasilnya terjadi peningkatan tekanan intraokuler yang mempunyai beberapa efek. Hal ini akan menyebabkan pengukuran palsu terhadap tekanan intraokuler selama pemeriksaan dalam pengaruh anestesi pada pasien – pasien glaukoma, peningkatan ini tidak penting dalam pembedahan, oleh karena itu 12
kenaikan tekanan intraokuler dapat menyebabkan ekstruksi okuler akibat bedah terbuka atau trauma yang tembus. Efek akhir kontraktur yang berkepanjangan dari otot – otot ekstraokuler adalah tes forced duction abnormal selama 20 menit. Manuver ini menilai penyebab ketidakseimbangan otot ekstraokuler dan pengaruh tipe pembedahan strabismus. Kongesti vena – vena koroid juga dapat menaikkan tekanan intraokuler. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak menaikkan tekanan intraokuler. 2.3 REFLEKS OKULOKARDIAK
Refleks okulokardiak adalah refleks trigeminovagal yang khas pada klinis terjadi bradikardi, aritmia, dan gangguan irama jantung akibat manipulasi pada mata khususnya setelah traksi pada otot eksternal. Traksi otot-otot ekstraokular atau tekanan pada bola mata terutama otot rektus medialis dapat memunculkan berbagai variasi disritmia jantung yang berkisar dari bradikardia dan ektopi ventrikular hingga henti sinus atau vibrilasi ventrikel. Insidensi dari refleks okulokardiak diperkirakan dari 32% hingga 90% dari studi sebelumnya. Refleks okulokardiak sering didapati pada pasien pediatrik yang menjalani operasi strabismus. Walaupun begitu, refleks ini dapat dimunculkan pada semua kelompok usia dan selama berbagai prosedur mata, termasuk ekstraksi katarak, enukleasi, dan perbaikan retinal detachment (perlepasan retina). Pada pasien yang sadar, refleks okulokardiak dapat berhubungan dengan somnolens dan nausea.
Gambar 10 Patofisiologi refleks okulokardiak
Obat-obat antikolinergik sering bermanfaat dalam pencegahan refleks okulokardiak. Pemberian atropin atau glikopirolat intravena sebelum pembedahan lebih efektif dibanding premedikasi intramuskular. Glikopirolat lebih sedikit menimbulkan takikardi dibanding 13
atropin. Haruslah diingat bahwa obat-obat antikolinergik dapat berbahaya pada pasien usia lanjut, yang seringkali memiliki penyakit arteri koroner derajat tertentu. Atropin 15 µg/kg efektif dalam mencegah terjadinya OCR. Dari 60 pasien yang diteliti, 70% OCR dan 33 % bradikardi pada grup tanpa atropin, 10% OCR dan tidak ada yang mengalami bradikardi pada grup dengan atropin. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah refleks okulokardiak :
Anestesia yang adekuat
Oksigenasi dan ventilasi terjamin
Pemberian atropin 0,5-1 mg intravena prabedah
Blok retrobulber
Penatalaksanaan refleks okulokardiak :
Penghentian manipulasi pada mata sampai denyut nadi meningkat
Konfirmasi ventilasi yang adekuat, oksigenasi, dan kedalaman anestesi
Pemberian atropin 10 g/kg iv jika denyut nadi masih belum meningkat setelah manipulasi dihentikan
Pada periode yang sulit dikendalikan, infiltrasi m. rectus dengan anestesi local. Refleks akan melemah dengan sendirinya dengan penarikan otot ekstraokuler berulang
2.4 EKSPANSI GAS INTRAOKULAR
Suatu gelembung gas dapat diinjeksikan oleh oftalmolog ke dalam bilik posterior selama pembedahan vitreous. Injeksi udara intravitreal akan cenderung mendatarkan retina yang terlepas dan memungkinkan penyembuhan yang benar secara anatomis. Gelembung udara diabsorbsi dalam 5 hari oleh difusi gradual melalui jaringan yang berdekatan ke dalam aliran darah. Jika pasien menghirup NO, gelembung udara akan bertambah besar. Ini dikarenakan NO adalah 35 kali lebih larut dibanding nitrogen dalam darah. Maka NO cenderung berdifusi ke dalam gelembung udara secara lebih cepat dibanding nitrogen (komponen utama udara) diabsorbsi ke dalam aliran darah. Jika gelembung bertambah besar setelah mata ditutup, tekanan intraokular akan naik. SF6 adalah gas inert yang kurang larut dalam darah dibanding nitrogen – dan jauh kurang larut dibanding NO. Durasi kerjanya yang lebih lama (hingga 10 hari) dibanding gelembung udara dapat menguntungkan bagi oftalmolog. Ukuran gelembung menjadi dua 14
kali dalam 24 jam setelah injeksi karena nitrogen dari udara yang dihirup memasuki gelembung udara secara lebih cepat dibanding SF6 berdifusi ke aliran darah. Walaup begitu, kecuali SF6 murni dengan volume besar diinjeksikan, ekspansi gelembung yang perlahan biasanya tidak meningkatkan tekanan intraokular. Namun jika pasien menghirup NO, gelembung akan secara cepat bertambah besar dan dapat mengarah pada hipertensi intraokular. Konsentrasi NO inspirasi sebesar 70% akan hampir memperbesar volume gelembung 1 mL tiga kali lipat dan dapat menggandakan tekanan dalam mata tertutup dalam 30 menit. Penghentian NO selanjutnya akan mengarah pada resorbsi gelembung, yang telah menjadi campuran NO dan SF6. Penurunan tekanan intraokular yang menyusul dapat mempresipitasi perlepasan retina lain. Komplikasi-komplikasi yang melibatkan ekspansi gelembung gas intraokular dapat dihindari dengan menghentikan NO pada sekurang-kurangnya 15 menit sebelum injeksi udara atau SF¬6. Jelas, waktu yang diperlukan untuk mengeliminasi NO dari darah akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain tingkat kecepatan aliran gas baru dan adekuasi ventilasi alveolar. Kedalaman anestesia harus dipelihara dengan pemberian agen anestetik lain. NO harus dihindari hingga gelembung diabsorbsi (5 hari setelah injeksi udara dan 10 hari setelah injeksi SF6).
2.5 EFEK-EFEK SISTEMIK DARI OBAT-OBAT MATA
Tetes mata topikal diabsorbsi oleh pembuluh-pembuluh dalam saccus alveolaris mukosa ductrus nasolacrimalis. Satu tetes (biasanya 1/20 mL) dari fenilefrin 10% mengandung 5 mg obat. Bandingkan ini dengan dosis fenilefrin intravena (0.05-0.1 mg) yang digunakan untuk menangani pasien dewasa dengan hipotensi. Obat topikal diabsorbsi dalam kecepatan yang terletak di antara absorbsi setelah injeksi intravena dan subkutan (dosis subkutan toksik dari fenilefrin adalah 10 mg). Anak-anak dan orang lanjut usia terutama berada dalam risiko untuk efek toksik obat yang diberikan secara topikal dan harus menerima paling banyak larutan fenilefrin 2.5%. Kebetulan para pasien ini merupakan pasien yang paling sering memerlukan pembedahan mata.
15
Tabel 3 Efek sistemik dari obat mata
Ekhotiofat (Echothiophate) merupakan inhibitor kolinesterase ireversibel yang digunakan dalam penatalaksanaan glaukoma karena dapat menurunkan tekanan intraokular.2 Aplikasi topikal berujung pada absorbsi sistemis dan reduksi aktivitas kolinesterase plasma. Karena suksinilkolin dimetabolisir oleh enzim ini, ekhotiofat akan memperpanjang durasi kerja suksinilkolin. Namun paralisis biasa tidak melebihi 20 atau 30 menit dan apneu postoperatif kemungkinan besar tidak terjadi. Inhibisi aktivitas kolinesterase bertahan selama 3-7 minggu setelah penghentian tetes ekhotiofat. Efek samping muskarinik – seperti bradikardia selama induksi – dapat dicegah dengan obat antikolinergik intravena (seperti atropin, glikopirolat). Tetes mata epinefrin dapat menyebabkan hipertensi, takikardia, dan disritmia ventrikular; efek disritmogenik ini dipotensiasi oleh halotan. Pemberian langsung epinefrin ke dalam bilik anterior mata belum dihubungkan dengan toksisitas kardiovaskular. 1 Timolol, suatu
antagonis
β-adrenergik
nonselektif,
mengurangi
tekanan
intraokular
dengan
menurunkan produksi humor aqueous. Tetes mata timolol yang dipakai secara topikal, yang biasa digunakan untuk mengatasi glaukoma, pada kasus-kasus yang langka telah dikaitkan dengan bradikardia resistan-atropin, hipotensi, dan bronkospasme selama anestesia umum. Cyclopentolate adalah suatu midriatika yang dapat menghasilkan toksisitas siste m saraf pusat. Acetazolamide ketika diberikan secara kronis untuk mengurangi IOP dapat berhubungan
dengan
hilangnya
ion
bikarbonat
dan
kalium
lewat
ginjal.
SF6 (sulfur hexafluoride) diinjeksikan ke dalam vitreous untuk secara mekanis memfasilitasi perlekatan kembali retina. N2O (kelarutan gas darah 0.47) harus dihindari selama 10 hari setelah injeksi SF6 intravitreous (kelarutan gas darah 0.004).
2.6 ANESTESIA UMUM UNTUK OPERASI MATA 16
Pilihan antara anestesi umum dan lokal harus dibuat secara bersama-sama oleh pasien, anestesiolog, dan ahli bedah. Sebagian pasien menolak bahkan untuk mendiskusikan anestesia lokal. Sikap ini disebabkan oleh rasa takut untuk sadar selama suatu prosedur bedah atau pengalaman nyeri selama tekhnik regional terdahulu. Walaupun tidak terdapat bukti yang konklusif bahwa satu bentuk anestesia adalah lebih aman dibanding yang lain, anastesia lokal tampak kurang memberikan stres. Anestesia umum diindikasikan pada pasien yang tidak kooperatif, karena bahkan gerakan kepala yang sedikit dapat memberikan hasil yang terbukti berbahaya selama pembedahan mikro. Pada pasien lain, anestesia lokal dikontraindikasikan untuk alasan-alasan beda. Pada kejadian yang manapun, suatu keputusan definitif harus dibuat. Anestesia lokal-umum – suatu tekhnik sedasi dalam dengan kontrol jalan napas yang diragukan – harus dihindari karena ia membawa gabungan risiko dari anestesia lokal dan umum.
2.6.1 Premedikasi
Pasien yang menjalani operasi mata dapat cemas, terutama jika mereka telah menjalani banyak prosedur dan terdapat kemungkinan kebutaan permanen. Pasien pediatrik sering memiliki kelainan-kelainan kongenital terkait (seperti sindrom rubella, sindrom Goldenhar, sindrom Down). Pasien dewasa biasa berusia lanjut, dengan setumpuk penyakit sistemik (seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit arteri koroner). Semua faktor-faktor ini harus dipertimbangkan ketika memilih premedikasi.
2.6.2 Induksi
Pilihan tekhnik induksi untuk operasi mata biasa lebih tergantung pada masalahmasalah medis pasien dibanding pada penyakit mata pasien atau jenis operasi yang direncanakan. Satu perkecualian adalah pada pasien dengan bola mata ruptur. Kunci untuk induksi anestesia pada pasien dengan cedera mata terbuka adalah kontrol tekanan intraokular dengan induksi yang mulus. Secara spesifik, batuk selama intubasi harus dihindari dengan mencapai anestesia yang dalam dan paralisis yang nyata. Respon tekanan intraokular terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakheal dapat ditumpulkan dengan pemberian lidokain intravena (1.5 mg/kg) atau opioid (seperti alfentanil 20 µg/kg).1,4 Suatu relaksan otot nodepolarisasi digunakan sebagai pengganti suksinilkolin karena pengaruh suksinilkolin pada tekanan intraokular. Sebagian besar pasien dengan cedera bola mata terbuka memiliki perut yang penuh dan memerlukan tekhnik induksi sekuens-cepat.
17
2.6.3 Pengawasan Dan Pemeliharaan
Operasi mata memerlukan posisi anestesiolog jauh dari jalan napas pasien, yang membuat penggunaan pulse oxymetry merupakan suatu kewajiban bagi semua prosedur oftalmologis. Pengawasan berkelanjutan akan diskoneksi sirkuit pernapasan atau ekstubasi secara tidak sengaja juga penting. Kemungkinan penekukan dan obstruksi tuba endotrakhea dapat diminimalisir dengan menggunakan tuba endotrakhea yang diperkuat atau sudut-kanan. Kemungkinan disritmia yang disebabkan refleks okulokardiak meningkatkan tuntutan pengawasan elektrokardiograf secara konstan. Berkebalikan dengan sebagian besar pembedahan pediatrik, temperatur tubuh bayi sering naik selama pembedahan mata karena pembungkusan dari kepala hingga ujung kaki dan paparan permukaan tubuh yang tidak signifikan. Analisis CO2 end-tidal membantu membedakan peningkatan ini dari hipertermia maligna. Nyeri dan stres yang diakibatkan pembedahan mata adalah kurang dibanding prosedur intra abdomen mayor. Tingkat anestesia yang lebih dangkal akan memuaskan jika saja konsekuensi dari gerakan pasien tidaklah begitu berbahaya. Kurangnya stimulasi kardiovaskular yang merupakan bagian semua prosedur mata dikombinasikan dengan kebutuhan akan kedalaman anestesia yang adekuat dapat menghasilkan hipotensi pada individu usia lanjut. Masalah ini biasa dihindari dengan memastikan hidrasi intravena yang adekuat, pemberian efedrin dosis kecil (2-5 mg), atau memberikan paralisis intraoperatif dengan relaksan otot nondepolarisasi. Pilihan terakhir ini memungkinkan pemeliharaan tingkat anestesia yang lebih dangkal. Emesis yang disebabkan oleh stimulasi vagus merupakan masalah postoperatif yang sering terjadi, terutama setelah operasi strabismus. Efek Valsava dan peningkatan tekanan vena sentral yang menyertai muntah dapat berakibat buruk bagi hasil operasi dan meningkatkan risiko aspirasi. Pemberian metoklopramid intravena intraoperatif (10 mg pada dewasa) atau droperidol dosis kecil (20 µg/kg) dapat terbukti bermanfaat. Karena biayanya, ondansetron biasa dicadangkan untuk pasien dengan riwayat mual muntah postoperatif.
2.6.4 Ekstubasi Dan Pengembalian Kesadaran
Walaupun materi jahitan dan tekhnik penutupan luka modern mengurangi risiko robek luka postoperatif, pengembalian kesadaran yang mulus dari anestesia umum masihlah diharapkan. Batuk pada penyingkiran tuba endotrakhea dapat dicegah dengan mengekstubasi pasien selama tingkat anestesia menengah. Ketika akhir prosedur bedah mendekat, relaksasi otot dipertahankan dan respirasi spontan dikembalikan. Agen-agen anestetik dapat diteruskan 18
selama pembersihan jalan napas. NO kemudian dihentikan, dan lidokain intravena (1.5 mg/kg) dapat diberikan untuk menumpulkan refleks batuk secara sementara. Ekstubasi diteruskan 1-2 menit setelah lidokain dan selama respirasi spontan pada oksigen 100%. Kontrol jalan napas yang tepat adalah penting hingga refleks batuk dan menelan pasien kembali. Jelas, tekhnik ini tidak cocok bagi pasien yang berisiko tinggi untuk aspirasi. Nyeri postoperatif yang berat adalah tidak lazim dijumpai setelah pembedahan mata. Prosedur-prosedur scleral buckling, enukleasi, dan perbaikan bola mata yang robek adalah operasi-operasi yang paling menimbulkan nyeri. Narkotik intravena dosis kecil (seperti 15-25 mg meperidin bagi dewasa) biasanya cukup. Nyeri yang berat dapat merupakan tanda hipertensi intraokular, abrasi kornea, atau komplikasi bedah lainnya.
2.7 ANESTESIA REGIONAL UNTUK OPERASI MATA
Anestesia regional untuk operasi mata telah secara tradisional terdiri atas blok retrobulbar, blok saraf facialis, dan sedasi intravena. Walaupun kurang invasif dibanding anestesia umum dengan intubasi endotrakhea dan kurang mungkin untuk berhubungan dengan nausea postoperatif, anestesia tidaklah tanpa komplikasi potensial. Selain itu, blok ini dapat tidak menyediakan akinesia atau analgesia yang adekuat pada mata, atau pasien dapat tidak mampu berbaring tanpa bergerak selama durasi operasi. Untuk alasan-alasan ini, peralatan dan personel yang diperlukan untuk menangani komplikasi anestesia lokal dan untuk menginduksi anestesia umum harus selalu tersedia. Pada satu waktu, istilah siap sedialokal mendeskripsikan peran anestesiolog dalam kasus-kasus ini. Istilah ini sekarang digantikan oleh perawatan anestesia termonitor, karena anestesiolog harus secara berkelanjutan mengawasi pasien selama operasi dan tidak hanya berdiri di samping pasien.
2.7.1 Blokade Retrobulbar
Dalam tekhnik ini, anestetik lokal diinjeksikan di belakang mata ke dalam kerucut yang dibentuk oleh otot-otot ekstraokular. Suatu jarung ujung tumpul gauge 25 menembus kelopak mata bawah pada persambungan pertengahan dan sepertiga lateral orbita (biasanya 0.5 cm medial terhadap kanthus lateral). Pasien diinstruksikan untuk memandang ke supranasal ketika jarum dimajukan 3.5 cm menuju apex kerucut otot-otot. Setelah aspirasi untuk mencegah injeksi intravaskular, 2-5 mL anestetik lokal diinjeksikan dan jarum disingkirkan. Pilihan anestetik lokal bervariasi, namun lidokain dan bupivakain merupakan yang paling lazim digunakan.1,4 Hialuronidase, suatu hidrolizer polisakarida jaringan ikat, sering ditambahkan untuk menambah penyebaran anestetik lokal retrobulbar. Suatu blok 19
retrobulbar yang sukses disertai oleh anestesia, akinesia, dan lenyapnya refleks okulosefalik (yaitu mata yang terblok tidak bergerak selama penggelengan kepala).
Gambar 11 Pelaksanaan blok retrobulbar
Komplikasi injeksi anestetik lokal retrobular antara lain adalah pendarahan retrobulbar, perforasi bola mata (terutama pada mata dengan panjang aksial lebih dari 26 mm), atropi saraf optik, konvulsi yang jelas, refleks okulokardiak, edema pulmonar neurogenik akut, blok saraf trigeminal, dan henti napas. Injeksi paksa anestetik lokal ke dalam arteri oftalmikus menyebabkan aliran balik ke otak dan dapat menyebabkan seizure spontan. Sindrom apneu post-retrobulbar mungkin dikarenakan injeksi anestetik lokal ke dalam selubung saraf optik, dengan penyebaran ke dalam cairan serebrospinal. Sistem saraf pusat terpapar terhadap anestetik lokal konsentrasi tinggi, yang menyebabkan kecemasan dan ketidaksadaran. Apneu terjadi dalam 20 menit dan beresolusi dalam satu jam. Sementara itu, terapi bersifat suportif, dengan ventilasi tekanan positif untuk mencegah hipoksia, bradikardia, dan henti jantung. Ventilasi yang adekuat harus diawasi secara berkelanjutan pada para pasien yang telah menerima anestesia retrobulbar. Injeksi retrobulbar biasanya tidak dilakukan pada pasien dengan kelainan pendarahan (karena risiko pendarahan retrobulbar), miopia yang sangat berat (bola mata yang lebih panjang meningkatkan risiko perforasi), atau cedera mata terbuka (tekanan dari cairan yang diinjeksikan di belakang mata dapat menyebabkan ekstrusi isi intraokular melalui l uka).
2.7. 2 Blok Saraf Facialis
20
Suatu blok saraf facialis mencegah penyempitan kelopak mata selama operasi dan memungkinkan penempatan spekulum kelopak mata. Terdapat beberapa tekhnik blok saraf facialis: van Lint, Atkinson, dan O’Brien. Komplikasi utama dari blok -blok ini adalah pendarahan subkutan. Prosedur lain, tekhnik Nadbath, menyekat saraf facialis ketika ia keluar dari foramen stilomastoid di bawah kanalis auditorius eksternus, berdekatan dengan saraf vagus dan glossofaringeus. Blok ini tidak direkomendasikan karena ia telah dikaitkan dengan paralisis korda vokalis, laringospasme, disfagia, dan distres respiratorik.
2.7.3 Teknik-Teknik Regional Yang Kurang Invasif
Pada beberapa tahun terakhir, tekhnik-tekhnik regional yang kurang traumatik untuk pembedahan bilik depan dan glaukoma telah berevolusi. Alternatif yang ada antara lain adalah anestesia peribulbar melalui injeksi anestetik lokal bervolume kecil (seperti 0.5 mL) ke dalam kuadran superior subkonjungtiva menunju ruangan sub Tenon. Ini dapat diselesaikan dengan penggunaan jarum kecil gauge 27 atau kanula lengkung tumpul, penggunaan kanula menghindari risiko perforasi bola mata. Tekhnik yang lebih baru lagi mengeliminasi injeksi anestetik sama sekali. Setelah pemberian tetes anestetik lokal (0.5% proximetakain klorhidrat) yang diulangi pada interval 5 menit untuk 5 kali pemberian, suatu gel anestetik (lidokain klorhidrat plus 2% metilselulosa) diapuskan ke sakus konjungtiva superior dan inferior. Tekhnik-tekhnik yang lebih baru dan kurang invasif ini tidaklah tepat untuk operasi bilik posterior (seperti perbaikan perlepasan retina dengan buckle) dan paling baik digunakan untuk ahli bedah dengan tekhnik yang cepat namun lembut.
2.7.4 Sedasi Intravena
21
Beberapa tekhnik sedasi intravena tersedia untuk operasi mata. Obat yang digunakan adalah kurang penting daripada dosisnya. Sedasi dalam harus dihindari karena ia meningkatkan risiko apneu dan gerakan tak sadar pasien selama operasi. Di sisi lain, blok retrobulbar dan saraf facialis dapat relatif tidak nyaman bagi pasien. Sebagai kompromi, beberapa anestesiolog memberikan suatu dosis kecil barbiturat kerja singkat (seperti 10-20 mg metoheksital atau 25-75 mg thiopental) untuk menghasilkan episode singkat ketidaksadaran selama blok regional. Sebagai alternatif, suatu bolus kecil alfentanil (375-500 µg) memungkinkan suatu periode singkat analgesia yang kuat. Anestesiolog lain, yang percaya bahwa risiko henti napas dan aspirasi tidak dapat diterima, membatasi dosis mereka untuk menghasilkan relaksasi minimal dan amnesia.1 Midazolam (1-3 mg) dengan atau tanpa fentanil (12.5-25 µg) merupakan regimen yang lazim. Dosis cukup bervariasi antar pasien dan harus diberikan dalam peningkatan-peningkatan kecil. Tanpa tergantung tekhnik yang digunakan, ventilasi dan oksigenasi harus terus dimonitor (lebih disukai melalui pulse oxymetry), dan peralatan untuk menyediakan ventilasi tekanan positif harus segera tersedia. 1
22
BAB 3 KESIMPULAN
Mata dapat dianggap sebagai bola hampa dengan dinding yang kaku. Jika isi dari bola mata meningkat, tekanan intraokuler ( normal 12 – 20 mmHg) akan naik. Pemberian anestesi merubah parameter ini dan dapat menpengaruhi tekanan intraokuler seperti laryngoscopy, intubasi, sumbatan jalan napas, batuk, posisi trendelenburg). Banyak obat-obat anestesi memiliki pengaruh terhadap peningkatan tekanan intraokular. Anestesi inhalasi menurunkan tekanan intraokuler yang proporsional sesuai dalamnya anestesi. Anestesi intravena juga dapat menurunkan tekanan intraokuler. Mungkin pengecualian adalah ketamin, yang dapat menaikkan tekanan darah arteri dan tidak menyebabkan relaksasi otot ekstraokuler. Pilihan antara anestesi umum dan lokal harus dibuat secara bersama-sama oleh pasien, anestesiolog, dan ahli bedah. Anestesia umum diindikasikan pada pasien yang tidak kooperatif, karena bahkan gerakan kepala yang sedikit dapat memberikan hasil yang terbukti berbahaya selama pembedahan mikro. Pilihan tekhnik induksi untuk operasi mata biasa lebih tergantung pada masalah-masalah medis pasien dibanding pada penyakit mata pasien atau jenis operasi yang direncanakan. Kunci untuk induksi anestesia pada pasien dengan cedera mata terbuka adalah kontrol tekanan intraokular dengan induksi yang mulus. Masalah-masalah penting seperti regulasi tekanan intraokular, dengan memperhatikan efek obat-obat anestesi pada tekanan intraokular, refleks okulokardiak, dengan penggunaan obat-obat antikolinergik yang termasuk dalam prosedur manajemen penanganan refleks okulokardiak, pencegahan ekspansi gas intraokular, dengan menghentikan penggunaan nitrous oksida 15 menit sebelumnya, sebagai upaya pencegahan, pencegahan efek-efek sistemik pada bola mata dengan penggunaan agen-agen anestesi dengan tepat dan benar, ketepatan dalam penggunaan anestesi umum atau regional pada operasi mata, serta penanganan dini keadaan spesifik dan komplikasi pada operasi mata merupakan problem problem fundamental klinis yang perlu diwaspadai dan dilakukan upaya pencegahan dini.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006 2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 3. Mr. Safavi, A Honarmand. Comparative effects of different anesthetic regimes on the oculocardiac reflex. Iranian Cardiovascular Research Journal vol.1, No 2, 2007 4. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2009. h:1-12. 5. Radjiman T, dkk. Ilmu Penyakit Mata, Penerbit Airlangga, Surabaya, 1984. h:1-8. 6. Vaughan, Daniel G dkk. 1996. Oftalmologi Umum. Jakarta : Penerbit Widya Medika.
24