Antagonis H2 Yang termasuk antagonis reseptor H2 adalah Simetidine, Ranitidine, Nizatidine, dan Famotidine. Senyawasenyawa antagonis reseptor H2 secara kompetitif dan reversibel berikatan dengan reseptor H2 di sel parietal, menyebabkan berkurangnya produksi sitosolik siklik AMP dan sekresi histamine yang menstimulasi sekresi asam lambung. Interaksi antara siklik AMP dan jalur kalsium menyebabkan inhibisi parsial asetilkolin dan gastrin yang menstimulasi sekresi asam. Yang potensinya paling lemah adalah simetidin sedangkan yang paling kuat adalah Famotidin. Ranitidin memiliki durasi yang lebih lama dari Simetidin. Ranitidine dan Simetidin digunakan juga untuk profilaksis. Reseptor H2 terdapat di lambung, pembuluh darah (menurunkan tekanan darah dengan menurunkan resistensi perifer, positif kronotropisme, inotropik positif). Antagonis reseptor H2 menghambat secara sempurna sekresi asam lambung yang sekresinya diinduksi oleh histamin maupun gastrin, tetapi menghambat secara parsial sekresi asam lambung yang sekresinya diinduksi oleh asetilkolin. Hal tersebut dapat terjadi dengan melihat kembali mekanisme sintesis asam lambung di sel parietal. Antagonis reseptor H2 juga menghambat sekresi asam lambung yang distimulasi oleh makanan, insulin, kafein, pentagastrin, dan nokturnal. Antagonis reseptor H2 mengurangi volume cairan lambung dan konsentrasi H+. Seluruh senyawa yang termasuk antagonis reseptor H2 efektif menyembuhkan tukak lambung maupun tukak duodenum. Secara umum kekambuhan setelah terapi umumnya berhenti (60-100%). Kegunaan terapi antagonis reseptor H2: Tukak peptic, Zoolinger Ellison Syndrom, Tukak akut, dan GERD (Gastro Esophageal Refluks Disease) / heart burn. Efek samping Antagonis reseptor H2 Sakit kepala, pusing, mual, diare, obstipasi, sakit otot d an sendi, sistem saraf pusat (kecemasan, halusinasi terutama pada orang tua dan konsumsi jangka panjang), penurunan transaminase serum. • Simetidin, memiliki struktur imidazole, dapat terdistribusi luas ke seluruh tubuh, termasuk air susu dan dapat melewati plasenta. Diekskresi sebagian besar lewat urin, memiliki t½ pendek, meningkat pada gangguan ginjal. 30% dosis diinaktivasi lambat dalam hati. 70% dosis eksresi lewat urin dalam b entuk tidak berubah. Dosis : dewasa 200 mg & 400 mg 3x / hari sebelum tidur atau 400 mg sebelum sarapan & 400 mg sebelum tidur. Anak-anak 20-40 mg/kg BB/ hari. Efek Samping : lelah, pusing, diare, ruam, Jarang : ginekomastia, rasa bingung yang reversibel, impotensi (pria), reaksi alergi, artralgia, mialgia, gangguan darah, nefritis interstitial, interstitial, sakit kepala, hepatotoksik, pankreatitis. Interaksi Obat : meningkatkan kadar lignokain, fenitoin, warfarin, teofilin, beberapa golongan antiaritmia (benzodiazepin, β-bloker, vasodilator) dalam darah. • Ranitidine, memiliki cincin furan dan durasi du rasi yang lebih lama dan 5-10 kali lebih potensial dari simetidin. Ranitidine dimetabolisme dalam hati. Dosis : 150 mg 2x / ha hari ri atau dosis tunggal 300 mg sebelum tidur. Efek samping : sakit kepala, pusing, gangguan gastro intestinal, ruam kulit. Interaksi obat : ranitidin menurunkan bersihan warfarin, prokainamid, dan N-asetil prokainamid, meningkatkan absorpsi midazolam, menurunkan absorpsi kob alamin. • Famotidin, memiliki struktur thiazole, serupa dengan Ranitidin pada aksi farmakologi. Memiliki aksi 20-60 kali lebih potensial dari Simetidin dan 3-200 kali lebih potensial dari Ranitidin. Famotidin dimetabolisme dalam hati. Dosis : Ulkus duodenum terapi akut 40 mg 1 x / hari sebelum tidur atau 20 mg 2 x / hari, pemeliharaan 20 mg 1 x / hari sebelum tidur. Kondisi hipersekresi patologis 20 mg 4 x / hari. Efek samping : konstipasi, diare, muntah, erupsi ku lit, sakit kepala, trombositopenia, nyeri sendi, penurunan nafsu makan. Interaksi obat : Antasid, ketokonazol, obat yang dimetabolisme melalui sistem mikrosom hati (warfarin, teofilin, diazepam). • Nizatidin, memiliki struktur kombinasi cincin thiazole Famotidin dan rantai samping Ranitidin. Serupa dengan Ranitidin pada aksi farmakologi dan potensinya. Nizatidin dieliminasi melalui ginjal dan bioavailabilitas mendekati 100%. Dosis : tukak duodenum aktif dewasa 300 mg / hari sebelum tidur atau 150 mg 2 x / hari selama 8 minggu. Perawatan tukak duodenum yang sudah sembuh dewasa 150 mg 1 x / hari sebelum tidur. Penyakit refluks gastroesofageal 150-300 mg 2 x / hari selama 12 minggu. Tukak lambung aktif yang jinak 150 mg 2 x / hari atau 300 mg 1 x / hari selama 8 minggu. Ampul infus iv kontinue : larutkan 300 mg dalam 150 mL larutan iv dan infus ditingkatkan rata-rata 10 mg/jam. Infus intermitten : larutkan 10 0 mg dalam 150 mL larutan iv dan infus lebih dari 15 minimal 3 x / hari. Maksimal 480 mg / hr.
Antasida Antasida (senyawa magnesium, aluminium, dan bismut, hidrotalsit, kalsium karbonat, Na-bikarbonat) Antasida adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga efektifitasnya bergantung pada kapasitas penetralan dari antasida tersebut. Kapasitas penetralan (dalam miliequivalen) adalah mEq HCl yang dibutuhkan untuk memepertahankan suspensi antasida pada pH 3,5 selama 10 menit secara in vitro. Peningkatan pH cairan gastric dari 1,3 ke 2,3 terjadi penetralan sebesar 90% dan peningkatan ke pH 3,3 terjadi penetralan sebesar 99% asam lambung. Antasida ideal adalah yang memiliki kapasitas penetralan yang besar, juga memiliki durasi kerja yang panjang dan tidak menyebabkan efek lokal maupun sistemik yang merugikan. Antasida dapat meningkatkan pH cairan lambung sampai pH 4, dan menghambat aktifitas proteolitik dari pepsin. Antasida tidak melapisi dinding mukosa namun memiliki efek adstringen. Secara kimia antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan asam lambung membentuk garam dan air. Antasida juga dapat menstimulasi sintesis prostaglandin. Secara umum antasida dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu antasid sistemik dan non sistemik. Seluruh antasida dapat digunakan untuk terapi tukak duodenum dan terbukti efektif untuk tukak lambung akut. • Antasida sistemik, diabsorpsi dalam usus halus sehingga dapat menyebabkan urin bersifat alkali. Untuk keadaan pasien dengan gangguan ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolik sehingga saat ini penggunaannya sudah jarang. Contoh antasida sistemik adalah Natrium bikarbonat (NaHCO3). • Antasida non sistemik, tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik. Salah satunya adalah Magnesium [Mg(OH)2], Aluminium [(Al(OH)3], Kalsium (CaCO3), Magnesium trisilikat (Mg2Si3O8nH2O), Magaldrat. Mg(OH)2 memiliki efek netralisasi yang lebih lama dibandingkan NaHCO3 atau CaCO3, sedangakan Magnesium trisilikat, Al(OH)3 dan Aluminium fosfat memiliki aktivitas antasid yang lemah. Penggunaannya bermacam-macam, selain pada tukak lambung-usus, juga pada indigesti pada refluks oesophagitis ringan, dan pada gastritis. Obat ini dapat mengurangi rasa nyeri di lambung dengan cepat (dalam beberapa menit). Efeknya bertahan 20-60 menit bila diminum pada perut kosong dan sampai 3 jam bila diminum 1 jam sesudah makan. Makanan dengan daya mengikat asam (susu) sama efektifnya terhadap nyeri. Peninggian pH Garam-garam magnesium dan Na-bikarbonat menaikkan pH isi lambung sampai 6-8, CaCO3 sampai pH 5-6 dan garam-garam aluminium hidroksida sampai maksimal pH 4-5. Kehamilan dan Laktasi Wanita hamil sering kali dihinggapi gangguan refluks dan rasa ”terbakar asam”. Antasida den gan aluminium hidroksida dan magnesiumhidroksida boleh diberikan selama kehamilan dan laktasi.
Senyawa magnesium dan aluminium Keduanya dengan sifat netralisasi baik tanpa diserap usus merupakan pilihan pertama. Karena garam magnesium bersifat mencahar, maka biasanya dikombinasi dengan senyawa aluminium (atau kalsium karbonat) yang bersifat obstipasi (dalam perbandingan 1:5). Persenyawaan molekuler dari Mg dan Al adalah hidrotalsit yang juga sangat efektif. Natriumbikarbonat dan kalsiumkarbonat Bekerja kuat dan pesat, tetapi dapat diserap usus dengan menimbulkan alkalosis. Adanya alkali berlebihan di dalam darah dan jaringan menimbulkan gejala mual, muntah, anoreksia, nyeri kepala, dan gangguan perilaku. Semula penggunaannya tidak dianjurkan karena terbentuknya banyak CO2 pada reaksi dengan asam lambung, yang dikira justru mengakibatkan hipersekresi asam lambung (rebound effect). Tetapi penelitian pada tahun 1996 tidak membenarkan perkiraan tersebut. Bismutsubsitrat Dapat membentuk lapisan pelindung yang menutupi tukak, lagipula berkhasiat bakteriostatik terhadap Helicobacter pylori. Kini banyak digunakan pada terapi eradikasi tukak, selalu bersama dua atau tiga obat lain. Waktu makan obat Secara umum, keasamaan di lambung menurun segera setelah makan dan mulai naik lagi satu jam kemudian hingga mencapai konsentrasi tinggi tiga jam sesudah makan. Oleh karena itu, antasida harus digunakan lebih kurang satu jam sesudah makan dan sebaiknya dalam bentuk suspensi. Telah dibuktikan bahwa tablet bekerja kurang efektif dan lebih lambat, mungkin karena proses pengeringan selama pembuatan mengurangi daya netralisasinya. Pada oesophagitis dan tukak lambung sebaiknya obat diminum 1 jam sesudah makan dan sebelum tidur. Pada tukak usus 1 dan 3 jam sesudah makan dan sebelum tidur. Penyebab kegagalan pengobatan dengan antasida dapat terjadi karena frekuensi pengobatan tidak adekuat,
dosis yang diberikan tidak cukup, pemilihan sediaan tidak tepat, dan sekresi asam lambung sewaktu tidur tidak terkontrol.
Proton Pump Inhibitor (PPI) Contoh : Omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, rabeprazol dan esomeprazol. Mekanisme kerja Obat-obat golongan proton pump inhibitor mengurangi sekresi asam lambung dengan jalan menghambat enzim H+, K+, ATPase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) secara selektif dalam sel-sel parietal. Enzim pompa proton bekerja memecah KH ATP yang kemudian akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan antara bentuk aktif obat dengan gugus sulfhidril dari enzim ini yang menyebabkan terjadinya penghambatan terhadap kerja enzim. Kemudian dilanjutkan dengan terhentinya produksi asam lambung. Farmakologi Dosis : 20 mg sehari, kecuali untuk pasien sindrom Zollinger-Ellison yang memerlukan 60-70 mg sehari. Penghambatan terhadap enzim pompa proton maksimal bertahan selama 4 jam, tetapi produksi asam lambat kembali ke jumlah normal (3-5 hari setelah pe makaian dosis tunggal). Kerjanya panjang akibat akumulasi di sel-sel parietal. Kadar penghambatannya tergantung dosis dan pada umumnya lebih kuat dari AH2. Obat-obat golongan ini memiliki digunakan untuk mengobati tukak peptik dan sindrom Zollinger-Ellison.
Farmakokinetik Obat-obat golongan ini mempunyai masalah bioavailabilitas karena mengalami aktivitasi di dalam lambung lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan. Oleh karena itu, sebaiknya diberikan dalam bentuk tablet salut enterik. Obat-obat golongan ini mengalami metabolisme lengkap. Tidak ditemukan dalam bentuk asal di urin, 20% dari obat radioaktif yang ditelan ditemukan dalam tinja.
Efek Samping Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan kenaikan gastrin darah dan dapat menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada manusia belum dapat dibuktikan. Interaksi Obat 1. Omeprazol dengan Diazepam à terjadi peningkatan kadar Diazepam. 2. Omeprazol dengan Barbiturat à memanjangkan waktu tidur yang merupakan efek dari Barbiturat. ANALOG PROSTAGLANDIN Mekanisme kerja Prostaglandin E2 dan I2 dihasilkan oleh mukosa lambung, menghambat seksresi HCl dan merangsang seksresi mukus dan bikarbonat (efek sitoprotektif). Defisiensi prostaglandin diduga terlibat dalam patogenesis ulkus peptikum. Farmakologi dan farmakokinetik Misoprostol yaitu analog prostaglandin E digunakan untuk mencegah ulkus lambung yang disebabkan antiinflamasi non steroid (NSAIDs). Obat ini kurang efektif bila dibandingkan antagonis H2 untuk pengobatan akut ulkus peptikum. Efek samping yang sering timbul adalah diare dan mual. Selain itu, menyebabkan kontraksi uterus dan menjadi kontraindikasi selama kehamilan. Dosis 200 µg 4x sehari atau 400 µg 2x sehari
SUKRALFAT • Mekanisme kerja Mekanisme Sukralfat atau aluminium sukrosa sulfat adalah disakarida sulfat yang digunakan dalam penyakit ulkus peptik. Mekanisme kerjanya diperkirakan melibatkan ikatan selektif pada jaringan ulkus yang nekrotik, dimana obat ini bekerja sebagai sawar terhadap asam, pepsin, dan empedu. Obat ini mempunyai efek perlindungan terhadap mukosa termasuk stimulasi prostaglandin mukosa. Selain itu, sukralfat dapat langsung mengabsorpsi garam-garam empedu, aktivitas ini nampaknya terletak d idalam seluruh kompleks molekul dan
bukan hasil kerja ion aluminium saja. • Farmakologi dan farmakokinetik Sukralfat dapat digunakan untuk mengobati ulkus, tetapi lebih utama digunakan dalam pencegahan stress ulserasi. Diindikasikan untuk penggunaan jangka pendek, dan lebih efektif pada ulkus usus. Obat ini sukar diabsorpsi secara sistemik (meskipun telah didokumentasikan adanya peningkatan kadar obat ini dalam darah pada penderita gagal ginjal). Berikatan dengan protein bebas, dan konsentrasi sukralfat pada bagian ulkus lebih besar daripada pada jaringan normal. Efek samping yang sering terjadi dari penggu naan obat ini yaitu konstipasi yang disebabkan karena adanya aluminium. Sekitar 3-5% aluminium dari dosis diabsorpsi dapat menyebabkan toksisitas aluminium pada penggunaan jangka panjang. Resiko ini meningkat pada pasien dengan gangguan ginjal. Efek yang jarang terjadi termasuk diare, mual, kesulitan mencerna, mulut kering, dan mengantuk. • Dosis Dosis sukralfat adalah 2 g 2 kali sehari (pagi dan sebelum tidur malam) atau 1 g 4 kali sehari pada waktu lambung kosong (paling kurang 1 jam sebelum makan dan sebelum tidur malam), diberikan selama 4-6 minggu atau pada kasus yang resisten 12 minggu, maksimal 8 g sehari. Anak-anak tidak dianjurkan mengkonsumsi obat ini. Profilaksis tukak stress (suspensi), 1 g 6 kali sehari (maksimal 8 g sehari). Saran untuk obat ini yaitu sediaan tablet dapat didispersikan dalam 10-15 ml air. Obat ini juga diperlukan pH asam untuk diaktifkan dan sehingga tidak boleh diberikan bersama antasid atau antagonis reseptor H2. Jika digunakan bersama antasida harus diberikan 30 menit sebelum atau sesudah sukralfat. • Interaksi obat Sukralfat dapat menurunkan absorpsi siprofloksasin, norfloksasin, ofloksasin, tetrasiklin, warfarin, fenitoin, ketokonazol, glikosida jantung, dan tiroksin, simetidin, ranitidin dan teofilin.
SENYAWA BISMUT • Mekanisme kerja Senyawa bismut juga bekerja secara selektif berikatan deng an ulkus, melapisi dan melindungi ulkus dari asam dan pepsin. Postulat lain mengenai mekanisme kerjanya termasuk penghambatan aktivitas pepsin, merangsang produksi mukosa, dan meningkatkan sintesis prostaglandin. Obat ini mungkin juga mempunyai beberapa aktivitas antimikroba terhadap H pylori. Bila dikombinasi d engan antibiotik seperti metronidazol dan tetrasiklin, kecepatan penyembuhan ulkus mencapai 98%. Biaya dan potensi toksisitas dari regimen ini dapat membatasi penggunanya pada ulkus yang serius atau pada penderita yang sering kambuh. Garam bismut tidak menghambat ataupun menetralisasi asam. • Farmakologi dan farmakokinetik Bismut subsalisilat (Pepto-Bismol®) telah digunakan dalam uji di AS. Ketidaknormalan ginjal dapat menurunkan eliminasi bismut, sehingga perlu perhatian penggunaannya pada pasien lanjut usia dan gagal ginjal. Bismut subsalisilat dapat menyebabkan sensitif terhadap salisilat dan perdarahan, dan perlu perhatian juga pada pasien yang menerima terapi dengan salisilat. Pasien harus diberitahu bahwa garam bismut dapat menyebabkan warna hitam pada tinja dan lidah (jika menggunakan sediaan cair). Trikalium disitratobismutat telah diuji secara luas di Eropa dan memperlihatkan proses penyembuhan ulkus lambung dan ulkus duodenum lebih baik dari plasebo. Trikalium disitratobismutat memilki masa tinggal lebih panjang jika dinbanding dengan antagonis reseptor H2, tetapi masih terjadi kambuh dan sekarang telah dikembangkan aturan pakai regimen yang melibatkan antibiotika. Meskipun kandungan bismutnya rendah, tetapi telah dilaporkan terjadinya absorpsi. Efek sampingnya yaitu dapat membuat lidah berwarna gelap dan wajah kehitaman, mual dan muntah, dan belum ada laporan tentang terjadinya ensefalopati pada pemakaian jangka panjang senyawa bismut lain. Sediaan tablet sama efektifnya dengan sediaan cair dan lebih enak. • Dosis Regimen dosis bismut dengan kombinasi 3 obat lain digunakan dalam lini pertama pengobatan ulkus karena H pylori. Regimen ini terdiri dari antagonis reseptor H2 (omeprazole 40 mg 2 kali sehari), bismuth subsalisilat 525 mg 4 kali sehari, metronidazol 250-500 mg 4 kali sehari, dan tetrasiklin 400 mg 4 kali sehari (atau amoksisilin 500 mg 4 kali sehari atau klaritromisin 250-500 mg 4 kali sehari). Jangka waktu pemakaian regimen dosis ini yaitu 14 hari. • Interaksi obat Trikalium disitratobismutat dapat menurunkan absorpsi tetrasiklin.