A. Citra Kota
Dalam memahami citra kota perlu diketahui beberapa pengertian citra kota, elemen-elemen pembentuk citra kota, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan citra kota dan metode identifikasi citra kota.
a) Pengertian Citra Kota
Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia (1987), kata citra itu sendiri mengandung arti: rupa, gambar, gambaran, gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan/organisasi/produk. Dapat juga diartikan sebagai kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kota. Dengan demikian secara harfiah citra kota dapat diartikan sebagai kumpulan dari interaksi sensorik langsung seperti diimplementasikan melalui sistem nilai pengamat dan diakomodasikan kedalam penyimpanan memori dimana input dari sumber tak langsung sama pentingnya (Pocock & Hudson, 1978).
Citra secara luas terkait dengan ruang, dan dapat pula dikaitkan dengan rasa atau persepsi seseorang. Berikut ini merupakan beberapa karakteristik dari sebuah citra (Pocock & Hudson, 1978).
Citra merupakan sebagai representasi parsial dan sederhana.
Citra umumnya skematis atau dibentuk secara fisik atau sosial. Objek yang menimbulkan citra tersebut tidak perlu memiliki bentuk yang sama terhadap lingkungannya.
Citra merupakan "Idiosyncratic" atau dengan kata lain setiap orang akan memiliki respon atau citra yang berbeda terhadap sesuatu hal yang sama.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa citra sangat tergantung pada persepsi atau cara pandang orang masing-masing. Citra juga berkaitan dengan hal-hal fisik. Citra kota sendiri dapat diartikan sebagai gambaran mental dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata pandangan masyarakatnya (Zahnd, 1999). Citra kota mengambarkan suatu persamaan dari sejumlah gabungan atau satuan informasi yang dihubungkan dengan tempatnya (Kotler, 1993). Diterjemahkan melalui gambaran mental dari sebuah kata sesuai dengan rata-rata pandangan masyarakatnya (Lynch, 1982).
Sebuah citra lingkungan (kota) menurut (Lynch, 1982) dalam bukunya "Image of the city" dapat dianalisis kedalam komponen yang meliputi:
Identitas, suatu objek harus dapat dibedakan dengan objek-objek lain sehingga dikenal sebagai sesuatu yang berbeda atau mandiri.
Struktur, citra harus meliputi hubungan spasial atau hubungan pola citra objek dengan pengamat dan dengan objek-objek lainnya.
Makna, yaitu suatu objek harus mempunyai arti tertentu bagi pengamat baik secara kegunaan maupun emosi yang ditimbulkan.
b) Elemen-elemen Pembentuk Citra Kota
Citra kota menurut Lynch (1982) terbentuk dari elemen-elemen pembentuk citra kotanya yang terdiri dari:
Tetenger (Landmark), yang merupakan titik referensi seperti elemen simpul tetapi tidak masuk kedalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Tetenger adalah elemen eksternal yang merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota misalnya gunung, bukit, gedung tinggi, menara, tanah tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi dan lain-lain. Beberapa tetenger letaknya dekat sedangkan yang lain jauh sampai diluar kota. Tetenger adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengenali suatu daerah.
Jalur (Path), yang merupakan elemen paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan citra kotanya secara keseluruhan. Jalur merupakan alur pergerakan yang secara umum digunakan oleh manusia seperti jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran dan sebagainya. Jalur mempunyai identitas yang lebih baik jika memiliki tujuan yang besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun) serta ada penampakan yang kuat (misalnya pohon) atau ada belokan yang jelas.
Kawasan (District), yang merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah kawasan memiliki ciri khas mirip (bentuk, pola dan wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, dimana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. Kawasan dalam kota dapat dilihat sebagai referensi interior maupun eksterior. Kawasan menpunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain.
Simpul (Nodes), yang merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah arah atau aktivitasnya misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, dan jembatan. Kota secara keseluruhan dalam skala makro misalnya pasar, taman, square dan lain sebagainya. Simpul adalah suatu tempat dimana orang mempunyai perasaan masuk dan keluar dalam tempat yang sama.
Batas atau tepian (Edge), yang merupakan elemen linier yang tidak dipakai atau dilihat sebagai jalur. Batas berada diantara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linier misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, topografi dan lain-lain. Batas lebih bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (linkage). Batas merupakan penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk. Batas merupakan pengakhiran dari sebuah kawasan atau batasan sebuah kawasan dengan yang lainnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas membagi atau menyatukan.
Gambar 2.1
Formulasi Elemen Citra Kota Menurut Lynch (1982)
Path Edge
District Nodes
Landmark
c) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Citra Kota
Dalam bukunya Lynch (1982), pembentukan citra kota tergantung pada rasa (sence), pengalaman (experience), persepsi dan imajinasi pengamat atau dalam hal ini adalah masyarakat terhadap sesuatu tempat atau lingkungannya. Keterkaitan antara manusia dengan tempat atau lingkungannya akan mempengaruhi pembentukan citra kota.
Sujarto (1988, dalam Prasidha (1999) dan Prastianti (2006)) menyatakan bahwa citra kota tercermin dari kinerja penampilan fisik kota yang pada hakekatnya menyangkut 3 aspek pertimbangan antara lain:
aspek normatis kota (kondisi sosial-budaya)
aspek fungsional kota (kegiatan khas masyarakat) dan
aspek fisik kota (kekhasan penampilan fisik kota)
Dari uraian tersebut terlihat bahwa aspek fungsional kota merupakan aspek non fisik yang turut mempengaruhi terbentuknya citra kota. Sejalan dengan pemikiran Lynch (1982) bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi citra kota selain objek fisik yang tampak terkait juga dengan:
Makna sosial (social meaning)
Fungsi (function)
Sejarah (history)
Nama (name) dari kota tersebut.
Kotler (1993), menyebutkan beberapa faktor yang dapat menentukan citra suatu kota antara lain:
Persepsi personal terhadap suatu tempat dapat beragam antara orang yang satu dengan yang lainnya (penduduk asli, pengunjung, pengusaha, investor dan pelancong)
Posisi dari tempat tersebut akan mendukung citra yang tercipta
Tergantung pada waktu dan dapat berlaku sepanjang waktu.
Selain itu dijelakan pula bahwa terdapat 3 cara dalam membahasakan citra antara lain:
Slogan, tema dan kedudukan
Simbol visual
Peristiwa dan kegiatan dimana media massa memiliki peran penting melalui ketiganya dalam memunculkan citra suatu kota di mata masyarakat.
Adanya perbedaan-perbedaan yang nyata dan terasa dalam setiap kota akan memunculkan ciri khas kota tersebut (Rapoport, 1997) yang pada akhirnya akan memunculkan citra kota. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan yang menyangkut fisik, sosial dan sesuatu yang bersifat temporal.
Perbedaan fisik, mennyangkut sifat kota berdasarkan penilaian
Visual sebagai akibat perbedaan wujud, bentuk, ukuran, tinggi, warna dan lain-lain
Suara
Bau-bauan
Pergerakan udara dan perbedaan iklim
Bentuk dan tekstur permukaan jalan
Perbedaan sosial
Karakteristik masyarakat
Jenis aktivitas dan intensitasnya
Intensitas norma dan budaya lokal pada pemanfaatan ruangnya
Simbol dan hirarki atau tanda sebagai makna ciri dan status sosial
Perbedaan yang bersifat temporal
Jangka panjang berkaitan dengan perubahan sosial masyarakat, indikator sosial dan perkembangan kebudayaan
Jangka pendek berkaitan dengan intensitas pemanfaatan waktu tempo dan irama kegiatan.
d) Metode Identifikasi Citra Kota
Pengidentifikasian citra kota berdasarkan hasil pengamatan masyarakat dapat dilakukan dengan beberapa metode berikut ini:
1. Metode Menurut Kevin Lynch
Menekankan pada penilaian masyarakat akan kelima elemen pembentuk citra kota. Metode tersebut dilakukan melalui kegiatan wawancara yang mendalam (In depth interview) dan pemetaan citra kota (Mental mapping). Saat wawancara dapat diajukan pertanyaan mengenai bagaimana suatu kota disimbolkan oleh masyarakat kemudian diminta untuk mendeskripsikan perjalanan mereka dari rumah sampai dengan ke tempat aktivitas rutin seperti bekerja dan sekolah termasuk tanda-tanda yang mereka alami selama perjalanan. Mereka juga diminta untuk membuat suatu daftar dan deskripsi mengenai bagian-bagian yang paling mudah mereka kenali atau memiliki ciri khas. Selain wawancara mereka juga diminta untuk membuat suatu sketsa atau peta kasar dari kota itu. Dari sketsa itu dapat dilihat bahwa mereka tidak akan mencantumkan tempat-tempat yang membingungkan dan bagian-bagian kota yang tidak disukai oleh masyarakat.
2. Metode Menurut Jack L. Nasar
Metode yang digunakan dalam melakukan penilaian citra kota berdasarkan persepsi masyarakat sama dengan metode Lynch yaitu dengan wawancara dan mental map, hanya saja isi dari pertanyaan wawancara serta penekanan mental mapnya berbeda. Dalam bukunya "The Evaluative Image Of The City (1998), menekankan pada penilaian masyarakat terhadap komponen atau elemen citra kota yang termasuk dalam makna yang disebutnya Likebility (kesukaan). Likebility adalah penegasan dari makna konotatif dimana suatu tempat atau kota memiliki nilai emosional terhadap pengamat. Seseorang akan lebih mudah mengingat suatu tempat apabila orang tersebut menyukai tempat atau kota tersebut.
Mental mapping pada metode ini diarahkan untuk melihat area atau bagian-bagian dari suatu kota mulai dari yang paling disukai sanpai yang paling tidak disukai oleh responden. Dengan demikian respondenn diminta untuk menilai area atau bagian kota berasarkan tingkat kesukaan.
3. Metode Menurut Philip Kotler
Metode Menurut Philip Kotler dalam Marketing Place: Attracting Investmen, Industry and Tourism to Cities, State and Nations (1993), salah satu faktor penting dalam memasarkan sebuah kota adalah menciptakan citra kota. Metode yang digunakan oleh Kotler dalam melakukan penilaian citra kota berdasarkan persepsi masyarakat adalah lebih menekankan citra kota sebagai potensi ekonomi untuk menarik minat wisatawan, investor maupun penduduk lokal dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi kota.
Dalam metode ini digunakan 3 pendekatan yaitu:
Penilaian keterkaitan dan keadaan menyenangkan
Diferensial sematik dan
Peta evaluative
Dalam pendekatan pada poin (1) langkah pertama dilakukan untuk menilai seberapa kenal masyarakat terhadap tempat atau kota. Responen diminta untuk melihat pilihan di bawah ini:
Tidak pernah dengar
Pernah mendengar
Mengetahui sedikit
Mengetahui lebih banyak
Mengetahui sangat baik
B. Identitas Kota
Identitas bisa diproduksi melalui representasi yang merupakan sebuah sistem simbolik. Sementara itu, sebuah representasi memiliki karakteristik yang khas, yaitu menunjuk kepada sesuatu yang lain, yang bukan dirinya. Namun seringkali sebuah representasi justru beralih menjadi apa yang direpresentasikannya dan seolah-olah menjadi `realitas' yang baru. Melalui representasi tersebut, sebuah identitas baik yang lama ataupun baru bisa menjadi seolah-olah nyata, dan bukan sebuah rekaan.
Dalam risetnya, Kevin Lynch menemukan arti pentingnya citra penduduk suatu kota terhadap kotanya, karena citra yang jelas dapat memberikan banyak hal yang sangat penting bagi masyarakatnya,3 yaitu :
a. Legibility (Kejelasan)
Sebuah kejelasan emosional suatu kota dirasakan secara jelas oleh warga kota. Jelasnya sebuah image yang bersih memungkinkan seseorang melakukan mobilitas di dalam kota secara mudah dan cepat. Artinya suatu kota arau bagian kota atau kawasan bisa dikenali dengan cepat dan jelas mengenai distriknya, landmarknya, atau jalur jalannya dan bisa langsung dilihat pola keseluruhannya.
b. Identitas dan Susunan
Identitas artinya image orang akan menuntut suatu pengenalan atas suatu obyek dimana didalamnya harus tersirat perbedaan obyek tersebut dengan obyek lainnya sehingga orang dengan mudah bisa mengenalinya. Susunan artinya adanya kemudahan pemahaman pola suatu blok-blok yang menyatu antar bangunan dan ruangan terbukanya.
c. Imageability
Artinya kualitas secara fisik suatu obyek yang memberikan peluang yang besar untuk timbulnya image yang kuat yang diterima orang. Sehingga image ditekankan pada kualitas fisik suatu kawasan atau lingkungan yang menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya, dan suatu image dibentuk oleh elemen-elemen pembentuk wajah kota.
C. Kota Baru
Dalam kaitan dengan penelitian mengenai Identifikasi Citra kota baru CitraRaya Berdasarkan Persepsi Masyarakat maka penting untuk memahami konsep dasar kota baru berikut ini.
a) Pengertian Kota Baru
Dari beberapa tinjauan umum dikemukakan mengenai pengertian kota baru pada dasarnya bertolak dari:
Masa atau kurun waktu pembangunan
Segi letak geografisnya
Fungsi dan jangkauan pelayanan
Sifat kemanpuan peranannya baik secara internal maupun eksternal
Berdasarkan faktor waktu, suatu kota dikatakan baru karena mempunyai kaitan dengan suatu kurun waktu tertentu. Jadi suatu kota dikatakan baru saat pertama kali dibangun akan tetapi tidak baru lagi setelah berkembang dan tumbuh dengan berbagai dampak dan akibatnya (Hertzen dan Spreiregen, 1973).
Berdasarkan segi letak geografi, kota baru memiliki pengertian sebagai suatu kota yang direncanakan, didirikan an dibangun diatas suatu lahan baru yang terlepas sampai suatu jarak tertentu yang jelas dari suatu kota induk yang besar (Hertzen dan Spreiregen, 1973).
Berdasarkan fungsionalnya (Golany, 1978) menekankan sebagai kota-kota khusus yang dikembangkan sehubungan adanya upaya pengembangan fungsi tertentu seperti kota industri, perkebunan, instansi dan lain-lain.
Berdasarkan sifat kemampuan perananya baik secara internal maupun eksternal, Urban Land Institute, AS (dalam Verma, 1972) memberikan definisi mengenai kota baru sebagai proyek pengembangan lahan yang luasnya dapat mampu menyediakan unsur-unsur lengkap yang mencakup perumahan, perdagangan, industri dan lain-lain.
Secara umum, kota baru diartikan sebagai:
Kota baru adalah kota yang direncanakan, dibangun, dan dikembangkan pada saat satu atau beberapa kota lainnya yang direcanakan dan dibangun sebelumnya telah tumbuh dan berkembang.
Kota lengkap yang ditentukan, direncanakan, dibangun dan dikembangkan pada suatu wilayah dimana belum terdapat konsentrasi penduduk.
Kota yang lengkap direncanakan dan dibangun dalam rangka meningkatkan kemampuan dan fungsi permukiman atau kota kecil yang telah ada disekitarnya untuk membentu pengembangan wilayah sekitar kota atau untuk mengurangi beban kota induk.
Kota yang cukup mampu berfungsi sebagai kota mandiri, dalam arti memenuhi kebutuhan pelayanan serta kegiatan usahanya sendiri atau sebagian besar penduduknya.
b) Dasar-dasar Konseptual Pembentukan Citra Kota Baru
Pembangunan kota baru berbeda dengan kota lama. Kota-kota lama yang tumbuh secara organik dan incremental sedangkan kota baru direncanakan dan dirancang sejak awal dengan pemikiran yang terpadu dan mengacu pada konsep dasarnya (Budiharjo, 1997).
Dengan konsep dasar pembangunan kota baru yang berbeda dengan kota-kota lama tersebut, pembangunan citra untuk kota baru pun berbeda dengan kota lama. Citra kota lama dibentuk melalui proses mental masyarakatnya sedangkan citra kota baru direncanakan sejak awal olah pihak pengembang (developer).
D. Pengertian Kota Seni
Ada banyak interpretasi ketika kita menyandingkan kata kota dengan seni. Interpretasi pertama, dan yang biasanya muncul dalam wacana, adalah kota yang indah, kota yang dipenuhi oleh artefak-artefak seni berupa gedung yang tua dan indah, air mancur, kota yang rapi dan bersih. Intinya, kota lantas bisa dibayangkan seperti sebuah kanvas dimana pemandangannya akan senantiasa picturesque atau fotogenik untuk konsumsi kartu pos. Namun keindahan visual saja tidak cukup. Kota harus juga dilengkapi dengan keindahan taktil (tactile), yaitu keindahan ragawi. Udara yang segar, suasana yang teduh, jalan-jalan yang mudah ditelusuri oleh siapa saja (termasuk masyarakat diffable) adalah keindahan yang tak tampak tetapi nyata-nyata dibutuhkan oleh masyarakat kota.
a) Parameter Kota Seni
Di sini, seni diletakkan sebagai sebuah parameter untuk menghasilkan kualitas kota visual-taktil tersebut. Alun-alun dan ruang terbuka kota, jalan-jalan pedestrian, bangunan publik (perpustakaan, museum, balaikota, masjid, gereja dan klenteng, patung-patung, hingga bangku dan lampu jalan adalah urban fabric yang dapat didekati sebagai sebuah produk seni-kota (urban art) yang menghasilkan keindahan visual. Di lain pihak penghijauan kota sebagai upaya untuk menciptakan softspace dan pengaturan mobilitas yang menekan kecepatan (slowing down) dapat dijadikan sebagai sebuah pintu masuk untuk mencapai kualitas taktilitas. Di sanalah parameter keindahan visual dan taktilitas dapat dipakai untuk mengukur program-program dalam skala urban design.
Namun demikian, parameter tersebut tidak cukup untuk menciptakan kota-seni dalam konteks sebagai sebuah identitas sosial yang kolektif. Kita butuh interpretasi kedua yaitu melihat pada art event di kota itu. Dalam pandangan ini maka kota dipandang sebagai sebuah panggung kesenian yang menampilkan para seniman entah dari kota yang bersangkutan atau undangan. Kota-seni, dengan demikian, identik dengan seberapa sering ia menjadi panggung bagi para seniman, seberapa banyak ia punya teater dan galeri seni, seberapa banyak kota itu punya calon seniman yang magang di padepokan-padepokan. Kota-seni dalam konteks ini sangat terkait dengan perkembangan seni-kota (urban-art) yang tumbuh di masyarakatnya. Mulai dari grafiti, pengamen jalanan hingga penampilan ala Peterpan adalah event yang perlu dipupuk oleh komunitas kota. Seni-kota harus tumbuh dan ditumbuhkan secara partisipatif karena tidak semua seniman dapat tiba-tiba berubah menjadi terkenal dan punya modal. Kota dengan sendirinya harus mampu menjadi panggung yang kondusif dengan menyediakan wadah berupa ruang kota yang terbuka dan aksesibel untuk semua. Dalam definisi ini maka kita dapat membangun parameter yang sesuai untuk mendorong terciptanya kota-seni yang disesuaikan dengan "skala" yang akan diarah (misalnya Venesia dengan Venice Biennale, Kassel dengan Documenta, yang semuanya berskala internasional). Atau ia dapat pula mendorong "keunggulan" di bidang dan tema seni tertentu (Paris dan Milan dengan mode, Amsterdam dengan seni lukis, New York dengan teater Broadwaynya, Los Angeles dengan Holywood, Mumbai dengan Bollywood).Sumber: by maharika at 11:53 pm under Architectural Discourse, Urbanism, 2008.
b) Indikator Kota Seni
Suatu kota disebut sebagai Kota Seni Budaya jika dalam kota tersebut memiliki indikator sebagai berikut :
Memiliki keragaman potensi seni budaya
Adanya kegiatan festival seni budaya yang teratur
Banyaknya tokoh seni dan budaya.
Sumber: Kajian Model Pengembangan Seni Dan Budaya Daerah Kota Bandung Kerjasama Kantor Litbang Dengan PT Belaputera Interplan, 2005
E. Peranan Citra Kota bagi Kota Baru
Citra kota merupakan kesan fisik yang memberikan ciri khas atau identitas fisik kepada kota sehingga citra kota yang teridentifikasi merupakan identitas fisik bagi suatu kota baru. Menurut Lynch (1982) elemen pembentuk citra kota dapat menstrukturkan identitas kota. Menurutnya semakin nyata atau semakin jelas (secara visual) penempatan elemen-elemen pembentuk citra kota dalam suatu lingkungan tersebut maka semakin mudah bagi seseorang untuk mengenal dan mengingat lingkungan tersebut.
Elemen-elemen tersebut akan menjadi identitas atau ciri khas visual kota melalui penataan elemen-elemen pembentuk citra kota yang baik dapat memunculkan identitas kota ataupun memperkuat identitas kota yang sudah ada. Oleh sebab itu citra kota dapat membantu kota baru untuk memunculkan identitas (secara fisik) kota dan membantu dalam hal pemasaran kota.
F. Aspek-aspek yang Dipertimbangkan dalam Mengidentifikasi Citra Kota Baru Berdasarkan Persepsi Masyarakat
Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan, maka dalam upaya mengindentikasikan citra kota dengan menstrukturkan elemen dan faktor pembentuk citra kota, perlu dipertimbangkan aspek-aspek berikut:
Karakteristik Masyarakat
Berdasarkan persepsi personal masyarakat kota baru, karakteristik masyarakat dibedakan antara penghuni dengan pengunjung
Berdasarkan posisi pengamat kota baru, karakteristik penghuni dibedakan menurut lokasi tempat tinggal didalam kota baru tersebut
Berdasarkan waktu, karakteristik penghuni dibedakan menurut lama tinggal sedangkan pengunjung dibedakan menurut pengalaman berkunjung
Kriteria Elemen Pembentuk Citra Kota
Proses pengidentifikasian citra kota baru tidak dapat dilepaskan dari elemen fisik pembentuk citra kotanya. Sesuai dengan konsep citra kota menurut Lynch terdapat lima elemen pembentuk citra kota yaitu landmark, district, nodes, edge dan path. Kelima elemen tersebut merupakan elemen fisik akan tetapi citra kota pun dipengaruhi pula oleh elemen non fisik oleh karena itu perlu juga dipertimbangkan elemen-elemen non fisik.
Metode Identifikasi Citra Kota
Pengidentifikasian faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dalam pemilihan elemen pembentuk citra kota dan elemen citra kota baru perlu dilakukan dengan mengunakan pendekatan atau metode citra kota yang sudah ada. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan kombinasi dari ketiga metode yang telah diuraikan. Elemen-elemen fisik pembentuk citra kota baru diketahui dengan jawaban pertanyaan responden sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dalam pemilihan elemen pembentuk citra kota diketahui dari karakteristik masyarakatnya yang merupakan bagian dari faktor internal dan juga mengidentifikasi faktor eksternal yang juga ikut mempengaruhi persepsi masyarakat. Dengan demikian dapat diketahui apakah elemen yang berkesan menimbulkan perasaan yang positif lalu responden juga ditanya mengenai elemen-elemen fisik yang mereka sukai beserta alasannya.
Tabel 2.1
Elemen Pembentuk Citra Kota
Variabel
Berdasarkan Teory
Keterangan
Elemen-elemen pembentuk citra kota
Jalur/path
Batas atau tepian/edge
Kawasan/districk
Simpul/nodes
Tetenger/landmark
Kevin Lynch dan Jack L.Nasar
Kevin lynch dalam bukunya "Image of the city" dan Jack L.Nasar dalam bukunnya " The evaluation Image of the city"
Sumber: Kevin lynch, 1982 dan Jack L.Nasar, 1998
Tabel 2.2
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat
Variabel
Berdasarkan Teory
Keterangan
Faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya citra kota
Persepsi masyarakat mengenai elemen-elemen pembentuk citra kota (landmark, edge, districk, nodes, dan path)
(penghuni/pengunjung)
2. Waktu pengamatan masyarakat
(berdasarkan lama tinggal untuk penghuni dan pengalaman berkunjung/frekuensi kunjungan untuk pengunjung)
3. Posisi pengamat (dibedakan menurut lokasi tempat tinggal)
Kevin Lynch dan Philip Kotler
Teory Kotler lebih menekankan pada teori marketing place dimana faktor penting dalam memasarkan kota adalah menciptakan citra kota
Sumber: Kevin lynch, 1982 dan Philip Kotler, 1993
Tabel 2.3
Metode Identifikasi Citra Kota
Metode
Berdasarkan Teory
Keterangan
Metode identifikasi Citra Kota
Wawancara
Mental Mapping, untuk penelitian ini metode Mental mapping tidak digunakan
Kevin Lynch dan Jack L.Nasar
Kevin Lynch:pertanyaan mengenai bagaimana suatu kota disimbolkan oleh masyarakat dan diminta untuk membuat daftar dan deskripsi mengenai bagian" paling mudah dikenali dalam bentuk sketsa kasar
Jack L.Nasar: seseorang akan lebih mudah mengingat suatu tempat apabila orang tersebut menyukai tempat atau kota tersebut (Likebility)
Sumber: Kevin lynch, 1982 dan Jack L.Nasar, 1998
G. Definisi Persepsi
Persepsi adalah proses pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari proses penginderaan terhadap objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh otak. Istilah persepsi sering dikacaukan dengan sensasi. Sensasi hanya berupa kesan sesaat, saat stimulus baru diterima otak dan belum diorganisasikan dengan stimulus lainnya dan ingatan-ingatan yang berhubungan dengan stimulus tersebut (Wikimedia).
Persepsi adalah proses mulai dari diterimanya suatu rangsangan (penginderaan= sensation) yang meliputi objek, kualitas, hubungan antargejala, maupun peristiwa; interpretasi terhadap rangsangan-rangsangan tersebut sampai rangsangan itu disadari dan dimengerti. Oleh karena itu persepsi boleh dikatakan sebagai interpretasi/penafsiran dari pengalaman (the interpretation of experience).
Persepsi, menurut Rakhmat Jalaludin (1998: 51), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafslrkan pesan. Menurut Ruch (1967: 300), persepsi adalah suatu proses tentang petunjukpetunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan.
Untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Senada dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991: 201) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1994: 53) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.
Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1989: 358) Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209). Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986: 54).
a) Pengamatan Dunia Nyata
Untuk kita ketahui, persepsi bersifat subjektif karena bukan sekadar penginderaan. Persepsi selalu terjadi dalam konteks tertentu. Ada beberapa prinsip umum yang mengatur pengamatan kita terhadap dunia nyata:
Konstatansi: bersifat psikologis karena arti dari suatu objek atau gejala bagi kita bersifat tetap.
Ada tiga macam konstatansi, yakni:
· konstatansi tempat atau lokasi
· konstatansi warna
· konstatansi bentuk dan ukuran
- Figur dan Latar Belakang: keberadaan suatu objek pengamatan menggejala sebagai suatu figur yang menonjol di antara objek-objek lain (latar belakang), baik karena sifatnya memang menonjol di antara objek-objek lain maupun karena si pengamat sengaja memusatkan perhatiannya pada objek tertentu.
- Hukum-hukum Gestalt: suatu totalitas, tetapi bukan hasil penjumlahan dari totalitas itu.
Ada beberapa cara persepsi berdasarkan totalitas Gestalt:
Hukum kedekatan (proximity): objek-objek persepsi yang berdekatan cenderung diamati sebagai suatu kesatuan.
Hukum kesamaan (similarity): Objek cenderung diamati sebagai totalitas karena mempunyai sebagian besar ciri-ciri yang sama.
Hukum bentuk-bentuk tertutup (closure): bentuk-bentuk yang sudah kita kenal, walau hanya nampak sebagian atau tidak sempurna, kita lihat sebagai sempurna.
Hukum kesinambungan (continuity): pola-pola yang sama dan berkesinambungan, walau ditutup oleh pola-pola lain, tetap diamati sebagai kesatuan.
Hukum gerak bersama (common fate): unsur-unsur yang bergerak dengan cara dan arah yang sama dilihat sebagai suatu kesatuan.
- Persepsi Kedalaman (depth perception): kemampuan indera penglihatan untuk mengindera ruang.
Ada beberapa patokan yang digunakan manusia dalam persepsi kedalaman yaitu:
Perspektif atmosferik: semakin jauh objek, semakin kabur.
Perspektif linier: semakin jauh, garis-garis akan makin menyatu menjadi satu titik (konvergensi).
Kualitas permukaan (texture gradient), berkurangnya ketajaman kualitas texture karena jarak makin jauh.
Posisi relatif: objek yang jauh akan ditutupi atau kualitasnya menurun karena bayangan objek-objek yang lebih dekat.
Sinar dan bayangan: bagian permukaan yang lebih jauh dari sumber cahaya akan lebih gelap dibanding yang lebih dekat.
Patokan yang sudah dikenal: benda-benda yang sudah kita kenal ukurannya akan lebih kecil di kejauhan.
Persepsi Gerak: pengamatan terhadap sesuatu yang berpindah posisinya dari patokan. Kalau patokan tidak jelas, maka kita akan memperoleh informasi gerakan semu.
Ada dua macam gerakan semu:
Efek otokinetik, bila kita memandang setitik cahaya dalam keadaan gelap gulita, cahaya itu akan nampak bergerak.
Gerakan stroboskopik: terjadi karena ada dua rangsang yang berbeda yang muncul hampir bersamaan.
Ilusi: kesalahan dalam persepsi, yaitu memperoleh kesan yang salah mengenai fakta-fakta objektif yang disajikan oleh alat-alat indera kita.
Ilusi disebabkan oleh faktor-faktor eksternal: (gambar atau bayangan di cermin kelihatannya terletak di belakang cermin)
Ilusi disebabkan kebiasaan: rangsang-rangsang yang disajikan sesuai dengan kebiasaan kita dalam mengenali rangsang akan dengan mudah menimbulkan ilusi.
Ilusi karena kesiapan mental atau harap tertentu: kita akan sering melihat sesuatu yang mirip dengan barang yang hilang yang sangat kita harapkan untuk kembali.
Ilusi karena kondisi rangsang terlalu kompleks: bila rangsang yang diamati terlalu kompleks, maka rangsang tersebut dapat menutup-nutupi atau menyamarkan fakta-fakta objektif.
b) Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Persepsi
Karena persepsi lebih bersifat psikologis daripada merupakan proses penginderaan saja, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi.
Perhatian yang selektif: pemusatan perhatian pada rangsang-rangsang tertentu saja.
Ciri-ciri rangsang: rangsang yang bergerak di antara rangsang-rangsang yang diam akan lebih menarik perhatian.
Nilai-nilai dan kebutuhan individu: seorang seniman mempunyai pengamatan yang berbeda dengan yang bukan seorang seniman dalam mengamati objek tertentu.
Pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi dunianya.
c) Pembentukan Persepsi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi (dalam Yusuf, 1991: 108) sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan "interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh.
Menurut Asngari (1984: 12-13) pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam atau dahulu. memegang peranan yang penting. Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal (Rakhmat 1998: 55). Selanjutnya Rakhmat menjelaskan yang menentukan persepsl bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli. Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986 : 54). Selaras dengan pernyataan tersebut Krech, dkk. (dalam Sri Tjahjorini Sugiharto 2001: 19) mengemukakan bahwa persepsi seseorang ditentukan oleh dua faktor utama, yakni pengalaman masa lalu dan faktor pribadi.
d) Penyimpangan dalam Persepsi
Melakukan persepsi kadang kala manusia melakukan kesalahan interpretasi atau penyimpangan (ketidaktepatan dalam mempersepsi) suatu stimulus. Ada dua penyimpangan persepsi yaitu :
Ilusi; yaitu salah menafsirkan rangsang, Jadi persepsi tidak sesuai kenyataan. Ilusi bukanlah kelainan dalam jiwa seseorang. Beberapa faktor yang menyebabkan ilusi adalah sebagai berikut :
Faktor kealaman : ilusi terjadi karena pengaruh alam misal ilusi kaca atau gema (echo)
Faktor stimulus :
stimulus yang mempunyai arti lebih dari satu (ambigu) dapat menimbulkan ilusi
stimulus yang tidak dianalisi lebih lanjut akan memberi impresi secara total
Faktor individu :
Faktor ini disebabkan karena adanya kebiasaan dan dapat juga karena adanya kesiapan psikologis (mental set) misal kebiasaan mendengarkan bunyi klakson motor Honda, suatu saat mendengar bunyi yang sama akan dikatakan sebagai bunyi motor Honda padahal bukan.
Halusinasi (gambaran khayal) ; adalah sangkaan dari organisme seolah-olah melihat, mendengar, padahal objek tidak ada atau individu merasa melakukan persepsi padahal individu tersebut tidak dikenai stimulus, jadi ini merupakan persepsi subjektif dari individu. Contoh orang mabuk kadang melihat sesuatu yang objeknya tidak ada karena terganggu indera dan sensorisnya. Keadaan ini merupakan kondisi yang tidak normal dan umumnya merupakan pertanda bahwa jiwanya telah mengalami gangguan.
e) Perhatian (attention)
Perhatian sebenaranya merupakan syarat untuk dapat terjadinya persepsi atau langkah awal persiapan akan kesediaan individu melakukan persepsi. Perhatian terjadi ketika kesadaran dominan pada stimuli tertentu atau dengan kata lain keaktifan jiwa yang diarahkan pada sesuatu objek baik di dalam maupun di luar dirinya.
Pengertian lain mendefinisikan perhatian sebagai pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada satu atau sekumpulan objek.
Syarat agar perhatian penuh tertuju pada suatu stimulus atau objek, adalah :
inhibisi : pelarangan atau penyingkiran isi kesadaran yang tidak diperlukan atau menghalangi kesadaran. Contoh jika sedang menghadapi ujian maka singkirkan segala ajakan nonton dan hura-hura agar perhatian tetap tertuju pada ujian
Appersepsi ; pengerahan dengan sengaja semua isi kesadaran termasuk tanggapan, pengertian dan sebagainya yang telah dimiliki dan bersesuaian dengan objek pengertian. Misal belajar tentang agama Hindu maka perlu mengerti tentang barang-barang peninggalan agama hindu seperti candi, arca dan sebaginya
Adaptasi (penyesuaian diri) ; penyesuaian diri dengan objek atau stimulus.
Pembagian Macam/Jenis Perhatian Terdiri dari:
Involuntary
adalah perhatian yang tanpa disengaja/ diluar kehendak. Ini memerlukan sedikit atau tidak usaha pada bagian dari seorang penerima. Suatu stimulus mengganggu kesadaran seseorang yang pada sesungguhnya dia tidaklah menginginkan hal tersebut. Dalam kasus ini, perhatian didapatkan pada basis dari intensitas dari stimulus itu, seperti; suara yang keras / bising, cahaya yang benderang, dsb.
Nonvoluntary
adalah perhatian yang tidak disengaja. Kadang – kadang disebut juga spontaneous attention / perhatian yang secara spontan terjadi bila seorang tertarik terhadap suatu stimulus dan melanjutkan untuk membayar perhatian terhadap stimulus itu karena hal tersebut menarik untuk dirinya. Dalam situasi ini seseorang baik menolak / melawan stimulus namun sekali perhatiannya tertarik, individu itu melanjutkan untuk memberikan perhatiannya, karena stimulus tersebut memiliki suatu keuntungan atau relevansi untuk dirinya.
Voluntary
Perhatian yang disengaja terjadi bila seseorang dengan sengaja/penuh kesadaran mengarahkan perhatian pada objek tertentu. Contoh : Orang yang baru saja membeli suatu produk, seperti automobile akan dengan sengaja memperhatikan pesan – pesan tentang mobil untuk menentramkan hati mereka terhadap ketelitian dalam mengambil keputusan membeli mobil tersebut.
Faktor eksternal penarik perhatian
Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol yaitu :
Gerakan : manusia secara visual tertarik pada objek-objek yang bergerak. Kita tertarik pada display lampu yang berkerlap-kerlip daripada yang bersinar secara monoton
Intensitas stimulus : manusia akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol, lebih besar dan yang lebih kuat.
Kebaruan (novelty) : Hal-hal baru atau diluar kebiasaan akan membuat individu tertarik.
Ulangan dari stimulus : Stimulus yang diulangi akan menarik perhatian dari pada yang tidak. Contoh bunyi klakson yang berulang-ulang akan menarik perhatian
Kontras ; stimulus yang berbeda atau bertentangan dengan stimulus lainnya akan lebih menarik perhatian.
Faktor internal penarik perhatian
Perhatian adalah bersifat selektif artinya individu dalam memperhatikan sesuatu berdasar kan juga kehendak yang ada dalam jiwanya.
faktor biologis adalah faktor berkaitan dengan kebutuhan manusia. Dalam keadaan lapar seluruh pikiran manusia akan tertuju pada makanan.
Faktor sosiopsikologis yaitu faktor yang dipengaruhi akan kebiasaan, sikap dan kemauan.
H. Lokasi yang diamati
pemancinganAREAKOMPLEKKompleks perumahan Taman Pulo Indah yang berlokasi di jalan Raya Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur.
pemancingan
AREA
KOMPLEK
Kedai kenangaa
Kedai kenangaa
a) Batas-batas Teritori
1. sebelah Utara : Jl. Komarudin; Tempat pemancingan
2. sebelah Selatan : Jl. Damar Elok; Kedai Kenanga
3. sebelah Barat : Jl. Raya Penggilingan
4. sebelah Timur : Jeunjing Elok; Jl. Rasamada Elok
b) Permasalah
memiliki akses masuk berupa gerbang utama sebagai Landmark, namun gerbang yang digunakan hanya 1 digunakan sebagai akses masuk dan keluar. Sedangkan gerbang yang satumya digunakan pada jam-jam sibuk seperti pagi hari saat orang pada pergi keluar maupun sore hari saat orang pulang ke rumah,
Tidak adanya jalan bagi pejalan kaki(trotoar,dsb),
Terdapat pos penjaga pada gerbang tersebut, kemudian terdapat paths berupa jalan utama,
lalu kemudian terdapat nodes berupa simpul dari jalan-jalan utama, dalam kasus ini yaitu perempatan,
terdapat edges berupa batas antara 2 jalur untuk penghijauan
sudah mulai ada jalan bagi pejalan kaki(trotoar) yang hanya lebar 1 meter, juga tidak digunakan sebagaimana mestinya, malah digunakan sebagai lahan untuk berjualan,
Terdapat beberapa district, seperti komplek Perumahan, Komplek Ruko, Komplek Rusunawa, dsb
I. KESIMPULAN
Masih banyak kekurangan seperti tidak adanya jalan untuk pejalan kaki, disalahgunakan sebagai lahan untuk berjualan, kemudian juga masih banyak ruang yang belum tertata dengan baik.
27