LAPORAN PENDAHULUAN AUTISME
NUSDIN 07500111115
CI LAHAN
(
CI INSTITUSI
)
(
PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN UIN ALAUDDIN MAKASSAR
)
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN DENGAN KASUS AUTISME PADA An “A” DI SEKOLAH LUAR BIASA SLB) PEMBINA PROVINSI SUL-SEL
NUSDIN 07500111115
CI LAHAN
(
CI INSTITUSI
)
( PROFESI NERS
FAKULTAS KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN UIN ALAUDDIN MAKASSAR
)
LAPORAN PENDAHULUAN AUTISME
BAB I KONSEP KEPERAWATAN
1. DEFINISI Autisme menurut Rutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan kegagalan untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif.(Sacharin, R, M, 1996: 305). Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305). Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang terjadi sebelum usia 30 bulan.(Behrman, 1999: 120). Menurut Isaac, A (2005) autisme merupakan gangguan perkembangan pervasive dengan masalah awal tiga area perkembangan utama yaitu perilaku, interaksi sosial dan komunikasi. Gangguan ini dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas. Autisme adalah kelainan yang mempunyai dampak besar terhadap kehidupan penderita, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Kadang keadaan ini membuat kebingungan dan sangat menyakitkan hati orang tua penderita. Definisi Autisme adalah kelainan neuropsikiatrik yang menyebabkan kurangnya kemampuan berinteraksi sosial dan komunikasi, minat yang terbatas, perilaku tidak wajar dan adanya gerakan stereotipik, dimana kelainan ini muncul sebelum anak berusia 3 tahun (Teramihardja, J, 2007). Suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara klinis ditandai oleh adanya 3 gejala utama berupa : kualitas yang kurang dalam kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas, perilaku tak wajar, disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan
(stereotipik). Selain itu tampak pula adanya respon tak wajar terhadap pengalaman sensorik, yang terlihat sebelum usia 3 tahun. 2. ETIOLOGI Sepuluh tahun yang lalu penyebab autisme belum banyak diketahui dan hanya terbatas pada faktor psikologis saja. Tetapi sekarang ini penelitian mengenai autisme semakin maju dan menunjukkan bahwa autisme mempunyai penyebab neurobiologist yang sangat kompleks. Gangguasn neurobiologist ini dapat disebabkan oleh interaksi faktor genetik dan lingkungan seperti pengaruh negatif selama masa perkembangan otak. Banyak faktor yang menyebabkan pengaruh negatif selama masa perkembangan otak, antara lain; penyakit infeksi yang mengenai susunan saraf pusat, trauma, keracunan logam berat dan zat kimia lain baik selama masa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan, gangguan imunologis, gangguan absorpsi protein tertentu akibat kelainan di usus (Suriviana, 2005). Menurut Dewo (2006) gangguan perkembangan pervasive autisme dapat disebabkan karena beberapa hal antara lain: 1. Genetis, abnormalitas genetik dapat menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel – sel – sel saraf dan sel otak 2. Keracunan logam berat seperti mercury yang banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yang dikonsumsi ibu yang sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yang tinggi. Pada penelitian diketahui dalam tubuh anak-anak penderita autis terkandung timah hitam dan merkuri dalam kadar yang relatif tinggi. 3. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya, atau nutrisi tidak trpenuhi karena faktor ekonomi 4. Terjadi autoimun pada tubuh penderita yang merugikan perkembangan tubuhnya sendiri karena zat – zat yang bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah kekebalan yang dikembangkan oleh tubuh penderita
sendiri yang justru kebal terhadap zat – zat penting dalam tubuh dan menghancurkannya. 3. PATOFISIOLOGI Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps. Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun. Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain growth factors dan proses belajar anak. Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps. Kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut. Sehingga akan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf. Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4, vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia otak yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth factors ini penting bagi pertumbuhan otak. Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan autistik terjadi kondisi growth without guidance, di mana bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara tak beraturan.
Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye. Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan. Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide. Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motor, atensi, proses mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan. Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan yang dikenal sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan dalam fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar yang berperan dalam proses memori). Penelitian pada monyet dengan merusak hipokampus dan amigdala mengakibatkan bayi monyet berusia dua bulan menunjukkan perilaku pasif-agresif. Mereka tidak memulai kontak sosial, tetapi tidak menolaknya. Namun, pada usia enam bulan perilaku berubah. Mereka menolak pendekatan sosial monyet lain, menarik diri, mulai menunjukkan gerakan stereotipik dan hiperaktivitas mirip penyandang autisme. Selain itu, mereka memperlihatkan gangguan kognitif.
Faktor lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain kecukupan oksigen, protein, energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi, seng, yodium, hormon tiroid, asam lemak esensial, serta asam folat. Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain alkohol, keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita ibu pada masa kehamilan, radiasi, serta ko kain. 4. MANIFESTASI KLINISl Keterlambatan atau fungsi abnormal pada ketrampilan berikut, muncul sebelum umur 3 tahun. 1. Interaksi sosial. 2. Bahasa yang digunakan sebagai komunikasi sosial. 3. Bermain simbolik atau imajinatif. Diagnosis harus memenuhi kriteria DSM IV ( Diagnostic And Statistical Of Manual Disorders 1992 Fourth Edition). Diagnosis autisme bisa ditegakkan apabila terdapat
enam atau lebih gejala dari (1), (2) dan (3) dengan paling sedikit 2 dari (1) dan 1 dari masing-masing (2) dan (3). 1. Gangguan kualitatif interaksi sosial, muncul paling sedikit 2 dari gejala berikut : 1. Gangguan yang jelas dalam perilaku non – verbal (perilaku yang dilakukan tanpa bicara) misalnya kontak mata, ekspresi wajah, posisi tubuh dan mimik untuk mengatur interaksi sosial. 2. Tidak bermain dengan teman seumurnya, dengan cara yang sesuai. 3. Tidak berbagi kesenangan, minat atau kemampuan mencapai sesuatu hal dengan orang lain. 4. Kurangnya interaksi sosial timbal balik. 2. Gangguan kualitatif komunikasi, paling sedikit satu dari gejala berikut : 1. Keterlambatan atau belum dapat mengucapkan kata-kata berbicara, tanpa disertai usaha kompensasi dengan cara lain.
2. Bila dapat berbicara, terlihat gangguan kesanggupan memulai atau mempertahankan komunikasi dengan orang lain. 3. Penggunaan bahasa yang stereotipik dan berulang, atau bahasa yang tidak dapat dimengerti. 4. Tidak adanya cara bermain yang bervariasi dan spontan, atau bermain menirukan secara sosial yang sesuai dengan umur perkembangannya. 3. Pola perilaku, minat dan aktivitas yang terbatas, berulang dan tidak berubah (stereotipik), yang ditunjukkan dengan adanya 2 dari gejala berikut : 1. Minat yang terbatas, stereotipik dan meneetap dan abnormal dalam intensitas dan fokus. 2. Keterikatan pada ritual yang spesifik tetapi tidak fungsional secara kaku dan tidak fleksibel. 3. Gerakan motorik yang stereotipik dan berulang, misalnya flapping tangan dan jari, gerakan tubuh yang kompleks. 4. Preokupasi terhadap bagian dari benda.
PENATALAKSANAAN MEDIS 5. PENATALAKSANAAN
Kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah serotonin 5hydroxytryptamine (5-HT), yaitu neurotransmiter atau penghantar sinyal di sel-sel saraf. Sekitar 30-50 persen penyandang autis mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah. Kadar norepinefrin, dopamin, dan serotonin 5-HT pada anak normal dalam keadaan stabil dan saling berhubungan. Akan tetapi, tidak demikian pada penyandang autis. Terapi psikofarmakologi tidak mengubah riwayat keadaan atau perjalanan gangguan autistik, tetapi efektif mengurangi perilaku autistik seperti hiperaktivitas, penarikan diri, stereotipik, menyakiti diri sendiri, agresivitas dan gangguan tidur. Sejumlah observasi menyatakan, manipulasi terhadap sistem dopamin dan serotonin dapat bermanfaat bagi pasien autis. Antipsikotik generasi baru, yaitu antipsikotik atipikal, merupakan antagonis kuat terhadap reseptor serotonin 5-HT dan dopamin tipe 2 (D2). Risperidone bisa digunakan sebagai antagonis reseptor dopamin D2
dan serotonin 5-HT untuk mengurangi agresivitas, hiperaktivitas, dan tingkah laku menyakiti diri sendiri. Olanzapine, digunakan karena mampu menghambat secara luas pelbagai reseptor, olanzapine bisa mengurangi hiperaktivitas, gangguan bersosialisasi, gangguan reaksi afektual (alam perasaan), gangguan respons sensori, gangguan penggunaan bahasa, perilaku menyakiti diri sendiri, agresi, iritabilitas emosi atau kemarahan, serta keadaan cemas dan depresi. Untuk meningkatkan keterampilan sosial serta kegiatan sehari-hari, penyandang autis perlu diterapi secara nonmedikamentosa yang melibatkan pelbagai disiplin ilmu. Menurut dr Ika Widyawati SpKJ dari Bagian Ilmu Penyakit Jiwa FKUI, antara lain terapi edukasi untuk meningkatkan interaksi sosial dan komunikasi, terapi perilaku untuk mengendalikan perilaku yang mengganggu/membahayakan, terapi wicara, terapi okupasi/fisik, sensori-integrasi yaitu pengorganisasian informasi lewat semua indera, latihan integrasi pendengaran (AIT) untuk mengurangi hipersensitivitas terhadap suara, intervensi keluarga, dan sebagainya. Untuk memperbaiki gangguan saluran pencernaan yang bisa memperburuk kondisi dan gejala autis, dilakukan terapi biomedis. Terapi itu meliputi pengaturan diet dengan menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi (kasein dan gluten), pemberian suplemen vitamin dan mineral, serta pengobatan terhadap jamur dan bakteri yang berada di dinding usus. Dengan pelbagai terapi itu, diharapkan penyandang autis bisa menjalani hidup sebagaimana anak-anak lain dan tumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri dan berprestasi
BAB II KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN DITINJAU DARI KEPERAWATAN ANAK Pengkajian data focus pada anak dengan gangguan perkembangan pervasive menurut Isaac, A (2005) dan Townsend, M.C (1998) antara lain:
Tidak suka dipegang
Rutinitas yang berulang
Tangan digerak-gerakkan dan kepala diangguk-anggukan
Terpaku pada benda mati
Sulit berbahasa dan berbicara
50% diantaranya mengalami retardasi mental
Ketidakmampuan untuk memisahkan kebutuhan fisiologis dan emosi diri sendiri dengan orang lain
Tingkat ansietas yang bertambah akibat dari kontak dengan dengan orang lain
Ketidakmampuan untuk membedakan batas-batas tubuh diri sendiri dengan orang lain
Mengulangi kata-kata yang dia dengar dari yang diucapkan orang lain atau gerakkan-gerakkan mimik orang lain
Penolakan atau ketidakmampuan berbicara yang ditandai dengan ketidakmatangan stuktur gramatis, ekolali, pembalikan pengucapan, ketidakmampun untuk menamai benda-benda, ketidakmampuan untuk menggunakan batasan-batasan abstrak, tidak adanya ekspresi nonverbal seperti kontak mata, sifat responsif pada wajah, gerak isyarat.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN Menurut Townsend, M.C (1998) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada pasien/anak dengan gangguan perkembangan pervasive autisme antara lain: Risiko tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan dengan:
1. Tugas-tugas perkembangan yang tidak terselesaikan dari rasa percaya terhadap rasa tidak percaya 2. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan 3. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu, fenilketonuria tidak teratasi, ensefalitis, tuberkulosa sclerosis, anoksia selama kelahiran dan sindroma fragilis X 4. Deprivasi ibu 5. Stimulasi sensosrik yang tidak sesuai 6. Sejarah perilaku-perilaku mutilatif/melukai diri sebagai respons terhadap ansietas yang meningkat 7. Ketidakacuhan yang nyata terhadap lingkungan atau reaksi-reaksi yang histeris terhadap perubahan-perubahan pada lingkungan
Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan: 1. Gangguan konsep diri 2. Tidak adanya orang terdekat 3. Tugas perkembangan tidak terselsaikan dari percaya versus tidak percaya
4. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak teratasi, ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom fragilis X) 5. Deprivasi ibu 6. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan: 1. Ketidakmampuan untuk mempercayai 2. Penarikan diri dari diri 3. Perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak teratasi, ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom fragilis X) 4. Deprivasi ibu 5. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
Gangguan identitas diri/pribadi berhubungan dengan: 1. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan 2. Tugas-tugas tidak terselesaikan dari rasa percaya versus rasa tidak percaya 3. Deprivasi ibu 4. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
1. PERENCANAAN DAN RASIONALISASI Menurut Townsend, M.C (1998) perencanaan dan rasionalisasi untuk mengatasi masalah keperawatan pada anak dengan gangguan perkembangan pervasife autisme antara lain: 1.
Resiko terhadap mutilasi diri
Tujuan: Pasien akan mendemonstrasikan perilaku-perilaku alternative (misalnya
memulai interaksi antara diri dengan perawat) sebagai respons terhadap kecemasan dengan criteria hasil: 1. Rasa gelisah dipertahankan pada tingkat anak merasa tidak memerlukan perilaku-perilaku mutilatif diri 2. Pasien memulai interaksi antara diri dan perawat apabila merasa cemas Intervensi
Jamin keselamatan anak dengan memberi rasa aman, lingkungan yang kondusif untuk mencegah perilaku merusak diri.
Rasional: Perawat bertanggun jawab untuk menjamin keselamatan anak)
Kaji dan tentukan penyebab perilaku – perilaku – perilaku mutilatif sebagai respon terhadap kecemasan
Rasional : pengkajian kemungkinan penyebab dapat memilih cara /alternative /alternative pemecahan pemecahan yang tepat.
Pakaikan helm pada anak untuk menghindari trauma saat anak memukul-mukul – narik kepala, sarung tangan untuk mencegah menarik menarik – narik rambut, pemberian bantal yang sesuai untuk mencegah luka pada ekstremitas saat gerakan-gerakan histeris
Rasional : Untuk menjaga bagian-bagian vital dari cidera
Untuk membentuk kepercayaan satu anak dirawat oleh satu perawat
Rasional : Untuk dapat bisa lebih menjalin hubungan saling percaya dengan pasien
Tawarkan pada anak untuk menemani selama waktu – waktu mening-katnya kecemasan agar tidak terjadi mutilasi
Rasional : dalam upaya untuk menurunkan kebutuhan pada perilakuperilaku mutilasi diri dan memberikan rasa aman
2. Kerusakan interaksi sosial
Tujuan : Anak akan mendemonstrasikan kepercayaan pada seorang pemberi perawatan yang ditandai dengan sikap responsive pada wajah dan kontak mata dalam waktu yang ditentukan dengan criteria hasil: o
Anak mulai berinteraksi dengan diri dan orang lain
o
Pasien menggunakan kontak mata, sifat responsive pada wajah dan perilakuperilaku nonverbal lainnya dalam berinteraksi dengan orang lain
o
Pasien tidak menarik diri dari kontak fisik dengan orang lain
Intervensi
o
Jalin hubungan satu – satu – satu satu dengan anak untuk meningkatkan keper-cayaan
Rasional : Interaksi staf dengan pasien yang konsisten meningkatkan pembentukan kepercayaan
o
Berikan benda-benda yang dikenal (misalnya: mainan kesukaan, selimut) untuk memberikan rasa aman dalam waktu-waktu tertentu agar anak tidak mengalami distress
Rasional : Benda-benda ini memberikan rasa aman dalam waktu-waktu aman bila anak merasa distres
o
Sampaikan sikap yang hangat, dukungan, dan kebersediaan ketika anak berusaha – kebutuhan dasarnya untuk meningkatkan untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan pembentukan dan mempertahankan hubungan saling percaya
Rasional: Karakteristik-karakteritik ini meningkatkan pembentukan dan mempertahankan hubungan saling percaya
o
Lakukan dengan perlahan-lahan, jangan memaksakan interaksi-interaksi, mulai dengan penguatan yang positif pada kontak mata, perkenalkan dengan berangsurangsur dengan sentuhan, senyuman , dan pelukan
Rasional : Pasien autisme dapat merasa terncam oleh suatu rangsangan yang gencar pada pasien yang tidak terbiasa
o
Dengan kehadiran anda beri dukungan pada pasien yang berusaha keras untuk membentuk hubungan dengan orang lain dilingkungannya
Rasional :Kehadiran seorang yang telah terbentuk hubungan saling percaya dapat memberikan rasa aman
3. Kerusakan komunikasi verbal
Tujuan : Anak akan membentuk kepercayaan dengan seorang pemberi perawatan ditandai dengan sikap responsive dan kontak mata dalam waktu yang telah ditentukan dengan kriteria hasil: o
Pasien mampu berkomunikasi dengan cara yang dimengerti oleh orang lain
o
Pesan-pesan nonverbal pasien sesuai dengan pengungkapan verbal
o
Pasien memulai berinteraksi verbal dan non verbal dengan orang lain
Intervensi
o
Pertahankan konsistensi tugas staf untuk memahami tindakan-tindakan dan komunikasi anak
Rasional: Hal ini memudahkan kepercayaan dan kemampuan untuk memahami tindakan-tindakan dan komunikasi pasien
o
Antisipasi dan penuhi kebutuhan-kebutuhan anak sampai kepuasan pola komunikasi terbentuk
Rasional : Pemenuhan kebutuhan pasien akan dapat mengurangi kecemasan anak sehingga anak akan dapat mulai menjalin komunikasi dengan orang lain dengan asertif
o
Gunakan tehnik validasi konsensual dan klarifikasi untuk menguraikan kode pola komunikasi ( misalnya :” Apakah anda bermaksud u ntuk mengatakan bahwa…..?” )
Rasional: Teknik-teknik ini digunakan untuk memastikan akurasi dari pesan yang diterima, menjelaskan pengertian-pengertian yang tersembunyi
di dalam pesan. Hati-hati untuk tidak “berbicara atas nama pasien tanpa seinzinnya” o
Gunakan pendekatan tatap muka berhadapan untuk menyampaikan ekspresiekspresi nonverbal yang benar dengan menggunakan contoh
Rasional: Kontak mata mengekspresikan minat yang murni terhadap dan hormat kepada seseorang
4. Gangguan Indentitas Pribadi
Tujuan: Pasien akan menyebutkan bagian-bagian tubuh diri sendiri dan bagian-bagian tubuh dari pemberi perawatan dalam waktu yang ditentukan untuk mengenali fisik dan emosi diri terpisah dari orang lain saat pulang dengan kriteria hasil: o
Pasien mampu untuk membedakan bagian-bagian dari tubuhnya dengan bagianbagian dari tubuh orang lain
o
Pasien menceritakan kemampuan untuk memisahkan diri dari lingkungannya dengan menghentikan ekolalia (mengulangi kata-kata yang di dengar) dan ekopraksia (meniru gerakan-gerakan yang dilihatnya)
Intervensi:
o
Fungsi pada hubungan satu-satu dengan anak
Rasional : Interaksi pasien staf meningkatkan pembentukan data kepercayaan
o
Membantu anak untuk mengetahui hal-hal yang terpisah selama kegiatan-kegiatan perawatan diri, seperti berpakaian dan makan
Rasional : Kegiatan-kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan anda terhadap diri sebagai sesuatu yang terpisah dari orang lain
o
Jelaskan dan bantu anak dalam menyebutkan bagian-bagian tubuhnya
Rasional : Kegiatan-kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan anak terhadap diri sebagai sesuatu yang terpisah dari orang lain
o
Tingkatkan kontak fisik secara bertahap demi tahap, menggunakan sentuhan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan antara pasien dengan perawat. Berhatihati dengans entuhan sampai kepercayaan anak telah terbentuk
Rasional: Bila gerak isyarat ini dapat diintepretasikan sebagai suatu ancaman oleh pasien
o
Tingkatkan upaya anak untuk mempelajari bagian-bagian dari batas-batas tubuh dengan menggunakan cermin dan lukisan serta gambar-gambar dari anak
Rasional: Dapat memberikan gambaran tentang bentuk tubuh dan gambaran diri pada anak secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymuous, 2010. 2010 .http://ms32.multiply.com/journal/item/23. Diakses tanggal 04 JUNI 2012
Carpenito, Lynda Juall. (1997). Diagnosa Keperawatan : buku saku. saku . edisi 6 . Jakarata : EGC
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Price. (1995). Patofisiologi: Proses-proses Penyakit Edisi: 4, Editor peter Anugrah Buku II.Jakarta: EGC
Wilkinson, M, Judith; (1997) . Buku saku diagnosis keperawatan dengan NIC dan NOC . Edisi 7 .Jakarta : EGC.