Kurun 1400an Ditahun 1443 terekam adanya bukti tertulis sebagaimana dilaporkan bahwa pada masa itu air yang merupakan minuman sehari-hari orang Asia Tenggara dialirkan dari gunung mengalir kerumah-rumah penduduk dengan pipa bambu. Kurun 1600an Air minum disalurkan langsung ke Istana Aceh sedangkan sumur diperuntukan bagi daerah yang jauh dari sungai sungai seperti seperti dilaporkan dilaporkan terjadi terjadi pada tahun tahun 1613. Dimulailah penjajahan Belanda melalui misi dagangnya yang terkenal VOC (mulanya pada tahun 1613 VOC menyewa mendirikan loji tidak permanen dengan sewa 1.200 rijkdaader atau 3.000 gulden tapi kemudian mereka dengan liciknya membuat bangunan tembok permanen dengan bahan batu dan beton dan dijadikan benteng pertahanan mereka), kemudian mereka membumi hanguskan Bandar Sunda Kelapa dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, resmilah Belanda menjajah Indonesia dengan diselingi oleh penjajah Perancis ( 1808-1811) dan penjajahan Inggris (1811-1816) penduduk Jakarta waktu itu sekitar 15.000 jiwa dan air minum masih sangat sederhana dengan memanfaatkan sumber air permukaan (sungai) yang pada masa itu kualitasnya masih baik. Di Asia Tenggara kebiasaan penduduk untuk mengendapkan air sungai dalam gentong atau kendi selama 3 minggu atau satu bulan telah dilakukan untuk mendapatkan air minum yang sehat. Kurun 1800an Di Pulau Jawa sebagaimana dilaporkan oleh Raffles pada tahun 1817 penduduk selalu memasak air terlebih dulu dan diminum hangat-hangat untuk menjamin kebersihan dan kesehatan dan dilaporkan bahwa orang Belanda mulai mengikuti kebiasaan ini terutama di Kota Banjarmasin yang airnya keruh. Pada tahun 1818 salah satu syarat penting untuk pemilihan pusat kota serta Istana Raja ditentukan oleh faktor tersedianya air minum. Di Jakarta tahun 1882 tercatat keberadaan air minum di Tanah Abang yang mempunyai kualitas jernih dan baik yang dijual oleh pemilik tanah tanah den gan gan harga F 1,5 per drum, drum, sedangkan sedangkan untuk air sungai dijual 2-3 sen per pikul (isi dua kaleng minyak tanah). Pada masa pra-kemerdekaan, Dinas Pengairan Hindia Belanda (1800 - 1890) membangun saluran air sepanjang 12 kilometer dan bendungan yang mengalirkan air dari Sungai Elo ke pusat kota Magelang untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan mengairi sawah di wilayah Magelang. Pemerintah Penjajahan Hindia Belanda di Surabaya, tahun 1890, memberikan hak konsesi kepada pengusaha Belanda warga Kota Surabaya, Mouner dan Bernie, yang dinilai berjasa
merintis penyediaan air bersih di Surabaya. Konsesi ini berupa pengelolaan mata air Umbulan, Pasuruan, untuk dialirkan ke Kota Surabaya dengan memasang pipa sepanjang 20 kilometer selama dua tahun. Tahun 1900, pemerintah mendirikan perusahaan air minum dan instalasinya diresmikan tiga tahun kemudian. Untuk memberikan proteksi pada perusahaan tersebut, pemerintah mewajibkan penghuni rumah mewah untuk menjadi pelanggan. Tiga tahun setelah berdirinya perusahaan air minum itu, sambungan instalasi air minum di Surabaya mencapai 1.588 pelanggan. Status perusahaan air minum pada bulan Juli 1906 dialihkan dari pemerintah pusat menjadi dinas air minum kotapraja (kini PDAM Kota Surabaya). Kurun 1900-1945 Pada tahun 1905 terbentuklah Pemerintah Kota Batavia dan pada tahun 1918 berdiri PAM Batavia dengan sumber air bakunya berasal dari Mata Air Ciomas, pada masa itu penduduk kurang menyukai air sumur bor yang berada di Lapangan Banteng karena bila dipakai menyeduh teh menjadi berwarna hitam (kandungan Fe/besi nya tinggi). Kurun 1945-1965 Urusan ke-Cipta Karya-an masih sekitar pembanguan, perbaikan dan perluasan Gedung Gedung Negara. Pemerintah Pusat belum menangani air minum dikarenakan keterbatasan keuangan serta tenaga ahli dibidang air minum. Tahun 1953 dimulailah pembangunann Kota Baru Kebayoran di Jakarta, pada saat itu dilakukan pelimpahan urusan air minum ke pemerintah Propinsi Pulau Jawa dan Sumatera. Pada tahun 1955 diadakan Pemilu yang pertama. Ditahun 1959 terbentuklah Djawatan Teknik Penjehatan yang mulai mengurusi air minum, dimulai pembangunan air minum di kota Jakarta (3.000 l/dt), Bandung (250 l/dt), Manado (250 l/dt), Banjarmasin (250 l/ dt), Padang (250 l/dt) dan Pontianak (250 l/dt) dengan sistim “turn key project” loan dari Pemerintah Perancis. Terbitlah UU no. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan mulailah dibentuk PDAM sampai sekarang. Kurun 1965-1969 Melalui SK Menteri PUTL no 3/PRT/1968 lahir Direktorat Teknik Penyehatan, Ditjen Cipta Karya. Tiga waduk yang dibangun di wilayah Jawa Barat dengan membendung Sungai Citarum, yaitu Waduk Jatiluhur (1966), Waduk Cirata (1987), dan Waduk Saguling (1986) menandai era dimulainya penanganan sumberdaya air secara terpadu. Waduk Jatiluhur, seluas sekitar 8.300 hektar, dimanfaatkan untuk mengairi sekitar 240.000 hektar sawah di empat kabupaten di utara Jawa Barat. Air waduk juga digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas terpasang 150 MW dan sebagai sumber air baku untuk air minum Jakarta (sekitar 80% kebutuhan air baku untuk Jakarta dipasok dari waduk ini melalui Saluran Tarum Barat).
Kurun 1969-1973 (Pelita I) Pembangunan sistem air minum secara lebih terencana mulai dilaksanakan pada periode pembangunan lima tahunan (Pelita). Dalam Pelita I (1969 - 1973), kebijaksanaan pembangunan air minum dititikberatkan pada rehabilitasi maupun perluasan sarana-sarana yang telah ada, serta peningkatan kapasitas produksi melalui pembangunan baru dan seluruhnya didanai oleh APBN. Target pembangunan sebesar 8.000 l/detik. Pembangunan air minum melalui pinjaman OECF (overseas economic cooperation fund) di kota-kota Jambi, Purwekerto, Malang, Banyuwangi dan Samarinda. Pada saat periode inilah mulai diperkenalkan penyusunan TOR (term of reference) atau KAK (kerangka acuan kerja). Hasil pebangunan prasarana/sarana air minum sebesar 6.220 l/detik dan 172.000 SR (sambungan rumah) yang dapat melayani 2.700.000 jiwa. Pada tanggal 78 April 1972 lahir PERPAMSI yang merupakan organisasi persatuan perusahaan-perusahaan air minum seluruh Indonesia. Kurun 1974-1978 (Pelita II) Pada Pelita II (1974 - 1978) pemerintah mulai menyusun rencana induk air bersih, perencanaan rinci dan pembangunan fisik di sejumlah kota Pada saat itu Pemerintah mulai menyusun Rencana Induk (master plan) Air Minum bagi 120 kota, DED untuk 110 kota dan RAB untuk 60 kota, dan pengembangan institusi Pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki pengelolaan air minum dengan mendorong dilakukannya peralihan status dari Jawatan/Dinas menjadi Perusahaan Daerah Air Minum. Dimulai pembangunan Air Minum di 106 Kabupaten/Kota, yang dilanjutkan pembentukan BPAM (Badan Pengelola Air Minum) sebagai embrio PDAM yang mengelola prasarana dan sarana air minum yang telah selesai dibangun. Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam pembangunan „unit produksi” dan Pemda di jaringan distribusi, dalam perjalanan waktu kebijakan ini agak tersendat oleh karena keterlambatan Pemda dalam menyiapkan dana “sharingnya”. Asian Development Bank (ADB) memberikan pinjaman pada proyek BUDP (Bandung Urban Development Project), kemudian menyusul kota Medan dengan MUDP nya. Kurun 1979-1983 (Pelita III) Periode berikutnya (Pelita III, 1979 - 1983), pembangunan sarana air minum diperluas sampai kota-kota kecil dan ibu kota kecamatan (IKK), melalui pendekatan kebutuhan dasar. Diawal tahun 1981 pula diperkenalkan “dekade air minum” (Water Decade) yang dideklerasikan oleh PBB. Terjadi penyerahan kewenangan pembangunan air minum perdesaan dari Departemen Kesehatan kepada Departemen Pekerjaan Umum. Program pembangunan dengan menitik beratkan pada pemanfaatan kapasitas terpasang, o/p prasarana yang telah terbangun, pengurangan kebocoran.
Diperkenalkannya “solar cell” alternatif pemanfaatan enerji surya untuk pembangkit pompa air minum didaerah yang sulit air dan tidak terjangkau Mulai diterapkan konsep P3KT (Pendekatan Pembangunan Prasarana Kota Terpadu) yang bersifat “bottom up approach” . Era “bom minyak” telah mulai surut yang berimbas pada keterbatasan keuangan Negara sehingga pendekatan “full cost recovery” mulai diperkenalkan. PDAM/BPAM didorong untuk mencapai suatu kondisi tingkat pendapatan tertentu yang memungkinkan pembiayaan bagi operasi dan pemeliharaan sistim air minum atau lebih dikenal dengan istilah “break even point”. Pada Repelita III melalui Mata Anggaran 16 sebagai penyertaan modal Pemerintah untuk pembangunan kota-kota dengan kebutuhan dasar diatas 125 l/orang/hari dan pada saat itu juga dimulai pembangunan IPA (Instalasi Pengolahan Air) Paket bagi penduduk perkotaan dengan kebutuhan dasar 60 l/orang/hari konsep BNA (basic need approach). Pembangunan 150 IKK dengan perhitungan 45-60 l/orang/hari dan dipasang flow restrictor (alat pengendali aliran), sehingga pada pertengahan Repelita III telah dibangun 396 IKK didanai APBN,serta 99 IKK pinjaman Belanda, 44 pinjaman Denmark, 100 IKK pinjaman Perancis, dan 22 IKK hibah Jepang. Dibidang rekayasa engineering melalui kerjasama Pemerintah RI dan Belanda, dalam Proyek GTA-46 ” Standard Water Purification Plants Indonesia “. Ciri khas dari teknologi ini adalah flokulasi heksakoidal serta sistim pencuciannya serta mudah dalam konstruksi maupun pemeliharaannya, juga hemat energi. Karena inovasi ini mampu menekan biaya investasi dan pemeliharaan hingga 30 %, yang akhirnya dijadikan sebagai prototipe IPA yang dibangun oleh Departemen PU sebagai IPA KEDASIH (KEluaran Direktorat Air berSIH). Hingga kini, IPA KEDASIH sudah diimplementasikan di banyak tempat di Indonesia, dengan kapasitas bervariasi, serta pada tahun 2005 menerima penghargaan dalam KONSTRUKSI INDONESIA kategori bangunan industri dan utilities. . Kurun 1984-1988 (Pelita IV) Pada Pelita IV (1984 - 1988) pembangunan sarana air minum mulai dilaksanakan sampai ke perdesaan Target perdesaan 14 juta jiwa di 3.000 desa. Diawal era 90-an terjadi perubahan organisasi yang tadinya berbasis sektoral, menjadi berbasis “wilayah”. Dimulailah perubahan lima hari kerja (40 jam per minggu). Dimulai didengungkannya program KPS (kerjasama pemerintah dan swasta) di sektor air minum, contohnya mulai digarap Air Minum “Umbulan” Kabupaten Pasuruan sayang belum bisa terealisir karena adanya kendala “tarif air minum-nya” serta masalah kebijakan Pemda lainnya.
Pada tahun 1984 lahir Direktorat Air Bersih melalui SK MenPU 211/KPTS/ 1984 yang mempunyai tugas nelaksanakan pembinaan sector air minum. Ditahun 1984 telah ditanda tangai SKB (surat keputusan bersama) antara Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Dalam Negeri tentang tugas pembinaan penyelenggara air minum. Dimana diwaktu itu telah beroperasi 148 BPAM dan 137 PDAM. Pada tahun 1985 melalui Surat Edaran Mendagri tanggal 13 November diinstruksikan agar Pemerintah Propinsi membentuk Unit Pemantauan dan Pengembangan Air Minum atau lebih dikenal PMDU (Provincial Monitoring Development Unit) yang keberadaanya dibeberapa propinsi masih eksis hingga saat ini misalnya PMDU Propinsi Sumatera Barat. Pada saat itu mulailah diperkenalkan SIMPAM (Sistim Informasi Manajemen Perusahaan Air Minum) yang merupakan alat (tool) untuk mendiagnose kinerja PDAM, dan hasilnya dapat menunjukan kondisi PDAM per Kabupaten/Kota, Propinsi maupun tingkat nasional, program ini mendapat bantuan dari Pemerintah Belanda melalui program HRDP (Human Resources Development Program), sangat disayangkan SIMPAM ini tidak berlanjut. Kurun 1989-1993 (Pelita V) Pelita V (1989 - 1993) diharapkan merupakan tahap kerangka lepas landas Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJP-II), dimana pembangunan sarana air minum diarahkan bukan hanya untuk melayani kebutuhan rumah tangga, tetapi juga untuk menunjang sektor-sektor industri, perdagangan dan pariwisata, yang diharapkan akan menambah kapasitas produksi air minum sebesar 14.000 l/detik bagi 6 juta jiwa di 820 kota, serta pelayanan air minum perdesaan bagi 42 juta jiwa di 3.000 desa. Kurun 1994-1998 (Pelita VI) Pembangunan pada periode berikutnya (Pelita VI, 1994 - 1998) merupakan pinjakan landasan baru bagi pemerintah untuk memulai periode PJP II, akan tetapi krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang disertai dengan pergantian pemerintahan beberapa kali, telah mempengaruhi perkembangan air minum di Indonesia, banyak PDAM yang mengalami kesulitan, baik karena beban utang dari program investasi pada tahun-tahun sebelumnya, maupun akibat dari dampak krisis ekonomi yang terjadi. Pada periode ini merupakan pijakan baru bagi Pemerintah untuk memulai Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Peningkatan kapasitas 30.000 l/detik untuk 22 juta jiwa dan 22.000 desa bagi 16,5 juta jiwa. Adanya target penurunan kebocoran air dikota metropolitan dan besar dari 38 menjadi 25 %, dan kota sedang dan kecil dari 40 menjadi 30%. Pemerintah mulai memberikan perhatian bagi Desa Tertinggal sehingga lahirlah program P3DT (Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal) yang dimotori oleh Bappenas yang beranggotakan Dep PU, Depdagri, Dep Keu yang selanjutnya juga lahir PPK (Program Pembangunan Kecamatan yang dimotori oleh Ditjen Bangdes, Depdagri. Kedua program diatas
memberikan andil bagi pembangunan prasarana dan sarana air minum yang cukup signifikan pula di kawasan perdesaan khususnya. Tahun 1995 dimulailah program WSSLIC I (Water Supply and Sanitation for Low Income Community) yang dimotori oleh Depkes yang salah satu programnya adalah pembangunan prasarana dan sarana air minum bagi masyarakat perdesaan. Tahun 2000 Pada tahun terbit Permen OTDA No. 8/2000 tentang Pedoman Sistim Akuntasi PDAM yang berlaku sampai sekarang. Tahun 2001 Program WSSLIC I dilanjutkan pada tahun ini dengan nama WSLIC II (Water and Sanitation for Low Income Community), hilang istilah “S” satu dan Departemen Kersehatan sebagai ” executing agency”. Tahun 2002 Terbit Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 Tahun 2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, yang akan menjadikan pedoman dalam monitoring kualitas air minum yang diproduksi oleh PDAM. Dalam rangka meningkatkan kinerja PDAM dan pembangunan sistem penyediaan air minum, dilakukan upaya perumusan kebijakan melalui Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI), dibawah Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan & Industri, dan telah dibentuk Sub Komite Penyehatan PDAM dibawah koordinasi KKPPI dengan maksud untuk merumuskan kebijakan dan strategi percepatan penyehatan PDAM dan melakukan koordinasi dalam program sektor air minum dengan sektor infrastruktur melalui peningkatan kerjasama kemitraan dengan pihak swasta/investor. Tahun 2004 Dimulai tahun 2004 inilah merupakan tonggak terbitnya peraturan dan perundangan yang memayungi air minum yaitu dimulai dengan terbitnya UU no 7 Tahun 2004 tentang SDA (sumber daya air). Pada periode ini Pemerintah memulai program SB-AB (Subsidi Bahan Bakar melalui pembangunan Air Bersih) sebagai kompensasi bagi masyarakat miskin perkotaan akibat adanya kenaikan harga bahan bakar, selanjutnya program ini berganti nama menjadi SE-AB (Subsidi Enerji melalui pembangunan Air Bersih). Tahun 2005 Setelah 60 tahun Indonesia merdeka ditahun ini Indonesia baru memiliki peraturan tertinggi disektor air minum dengan terbitnya PP (peraturan pemerintah) No 16 tentang Pengembangan SPAM (sistim penyediaan air minum).
Ditahun ini terbit pula PP No. 23 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang merupakan pengejawantahan upaya Pemerintah dalam melayani air minum bagi masyarakatnya (public service obligation-pso) yang ditunjukan dengan dimungkinkannya alokasi APBD Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Terbitnya PP ini juga sejalan dengan niat semua pihak untuk mendukung Pemerintah mencari terobosan bentuk “kelembagaan” pengelola Air Minum, dimana pada tahun ini atas sponsor Bank Dunia berkumpul para penentu kebijakan dari Dep. PU, Depdagri, Depkeu dan Bappenas di Tanah Lot Bali untuk membahas perkembangan Air Minum khususnya kelembagaan pengelolanya. Ditahun ini terbit PP No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dengan lahirnya PP ini menjadi semakin jelaslah posisi KPS Air Minum. Dengan dimulainya kembali pembinaan Air Minum dari yang semula berbasis “wilayah” menjadi berbasis “sektor” lahir kembali Direktorat Jenderal Cipta Karya dan Direktorat Pengembangan Air Minum keluarlah kebijakan “Penyehatan PDAM” yang dimulai dengan dilakukannya Bantek Penyehatan PDAM yang akan menghasilkan rekomendasi “Bantuan Program” yang merupakan bantuan fisik bagi PDAM serta “Bantuan Manajemen” berupa bantuan pelatihan non fisik. Pada masa ini sempat muncul pendekatan “rounding up” yaitu pendekatan program bagi PDAM untuk pembulatan kembali sistim PDAM dari segi teknis, keuangan maupun kelembagaannya. Ditahun ini Departemen PU mulai memberikan penghargaan kepada Pemda dan PDAM dalam bentuk PKPD (Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah) dalah dibidang penyelenggaraan Air Minum dan munculah kota/kabupaten Medan dan Buleleng menjadi pemenang pertamanya. Ditahun ini pula terbit Permen PU 294/2005 tentang Badan Pendukuntg Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) yang mempunyai maksud untuk membantu Pemerintah dalam terwujudnya pengelolaan dan pelayanan air minum berkualitas dengan harga terjangkau, tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan, dan tercapainya peningkatan efisiensi dan cakupan pelayanan air minum. Tahun 2006 Terbit Permen PU No 20 tahun 2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM, sebagai langkah acuan bagi semua pihak dalam penyelenggaraan SPAM, dan terbit pula Permendagri 23 tahun 2006 tentang petunjuk perhitungan tarif air minum. Tahun 2007 Sebagai realisasi amanat PP 16/2005 telah terbit Permen PU no. 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan SPAM, yang mulai memberikan penjelasana dari perencanaan, pembangunan pelaksanaa, rehabilitasi, pemeliharaan, evaluasi, pemantauan dan pelaporan.
Termasuk didalamnya ada keharusan bagi Pemerintah Propinsi untuk membentuk unit pemantauan penyelenggaraan air minum di wilayahnya. Mulai tahun 2007 ini kembali Pemerintah mengulangi kesuksesan pembangunan IKK dengan membangun 59 IKK melalui Satker (Satuan Kerja) DJCK Pusat. Sebagai kelanjutan program WSSLIC I dan WSLIC II yang telah dimulai sejak tahun 1995 pada tahun ini nama program berubah menjadi “PAMSIMAS” dengan “executing agency” beralih dari Depkes ke Dep PU. Tahun 2008 Untuk lebih memberikan panduan yang lebih rinci Dirjen Cipta Karya menerbitkan SE (Surat Edaran) no. 1 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan BLU-SPAM (Badan Layanan Umum SPAM), dan sejak saat itu mulailah terbentuk BLUD-SPAM dimulai dari paling barat BLUDSPAM Kabupaten Aceh Jaya sampai kewilayah paling timur di Papua Barat yaitu BLUD-SPAM Kabupaten Teluk Wondama. Terbit pula PMK (Peraturan Menteri Keuangan) no 120 Tahun 2008 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah Pada Perusahaan Daerah Air Minum, yang intinya semua tunggakan, denda dan biaya administrasi dihapuskan kecuali hutang pokoknya sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.. Pada tahun ini pula Pemerintah juga melanjutkan pembangunan 127 IKK yang pelaksanaannya dikerjakan oleh Satker PAM IKK Pusat. Tahun 2009 Di era ini muncul sejarah baru dengan adanya gagasan 10 juta SR (Sambungan Rumah) dimana Direktorat Jenderal Cipta Karya,Dep PU telah menghitung dana yang dibutuhkan sekitar Rp 78,4 trilyun, yang terdiri dari kebutuhan pembangunan unit air baku 85.000 l/detik sebesar Rp 7,4 trilyun, peningkatan unit produksi 65.000 l/detik sebesar Rp. 17 trilyun, dan peningkatan unit distribusi dan sambungan rumag sebesar Rp. 54 trilyun Pembangunan IKK yang telah dimulai kembali tahun 2007 juga dilanjutkan dengan membangun 150an IKK (bp). Jakarta 25 Mei 2009 Sekapur sirih Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan tulang dan manusia mati sebagai insan air minum, meninggalkan kenangan bagi generasi air minum mendatang, sehingga secuplik tulisan ini mudah-mudahan dapat memberikan suatu nilai informasi bagi siapapun yang membutuhkan. Semoga bermanfaat. Ucapan Terima kasih Terima kasih kami sampaikan khususnya kepada Bapak/Ibu/Saudara Risyana Sukarma, Priyono Salim, Poedjastanto S, Abdul Gani, Ida Mokhsen Gumelar, Andik Yulianto, Djohan Hidayat,
Bambang Kusumo, Siti Hadiati, Noor Abidin, Shandi EB, Syamsul Komar, Setyo Gunadi, Zaenal Nampira, Dwike Riantara, Liliek Srimulyati, Rositayanti Hadisoebroto, Baskoro, Magdalena LP, Pranoto Aza, Trijoko, Aryananda Sihombing, Dades P dan Bapak/Ibu/Sdr yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu mengoreksi, memberi saran masukkan serta memberi dukungan sehingga selesainya tulisan ini. Daftar kata penting: Batavia, Bantuan Manajemen, Bantuan Program, BPPSPAM, BLU-SPAM, BPAM, Break Even Point, BUDP, Dekade Air Minum, Dinas Air Minum, Dinas Pengairan Hindia Belanda, IPA, IPA KEDASIH, IKK, Flow Restrictor, Full Cost Recovery, Jayakarta, KAK, KKPPI, Kepmenkes 907/2002, KPS, Konsesi, Konstruksi Indonesia, Lima Hari Kerja, MUDP, PAMSIMAS, Permen OTDA 8/2000, Penyehatan PDAM, PERPAMSI, PKPD, PMDU, PPK, PP 16/2005, PP67/2005, PP 23/2005, Permendagri 23/2005,P3DT, P3KT, Pipa Bambu, Rounding Up, PSO, Pelita; PermenPU 294/2005, Permen PU 20/2006, Permen PU 18/2007, PMK 120/2008, SB-AB, SE-AB, SE Dirjen CK 01/2008, SKB, TOR, Solar Cell; Turn Key Project, UU no 5/62, Waduk Jatiluhur, Water Decade, WSSLIC, WSLIC, 10 juta SR Daftar Pustaka Asia Tenggara dalam Kurun 1450-1680 (Anthony Reid); Buku Putih Kerjasama PemerintahSwasta dalam Pelayanan Air Minum di Indonesia (National Water Dialogue, Indonesia); Indonesia, Enabling Water Untilities to Serve the Urban Poor (World Bank); Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework (Alain Lacusol); Indonesia Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Unicef Indonesia); Indonesia Averting an Infrastructure Crisis; A Framework for Policy and Action (The World Bank); Jakarta Tempo Doeloe (Abdul Hakim); Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Koentjaraningrat); Permen PU No. 20/2006, 18/2007, 294/2005; Permendagri 23/2006; PP 16/2005; SE Dirjen Cipta Karya Dep PU (No. 01/2008); UU 5/62, UU 7/2004; Air Bersih-Upaya menunjang pembangunan sektor strategis (Ditjen Cipta Karya, Dep. PU); 45 Tahun Perkembangan Bidang Cipta Karya (Ditjen Cipta Karya, Dep PU); 50 Tahun Perkembangan Bidang Cipta Karya (Ditjen Cipta Karya, Dep PU)