BETA BLOCKER Reseptor Beta Obat-obat penyekat reseptor beta ( β blocker ) bekerja pada reseptor beta yang merupakan kelompok reseptor adrenergik. Reseptor ini merupakan reseptor yang terkait dengan protein G sehingga disebut G protein-coupled receptors receptors (GPCRs). Protein reseptor memiliki ujung N (nitrogen) yang berada di luar sel, melintasi membran 7 kali (bagian transmembran)
sehingga membentuk 3 lengkungan lengkungan di dalam dan 3 lengkungan lengkungan di luar
membran, dan memiliki ujung karboksil yang terdapat di dalam sel. Masing-masing protein G terdiri atas 3 protein (heterotrimer) yaitu sub-unit sub-unit α, β, dan γ. Molekul efektor protein G pada reseptor beta adrenergik ( Gs) adalah enzim adenilil siklase. Mekanisme kerja obat pada reseptor beta adalah pertama dengan berikatan dengan reseptor beta, hal ini akan mengaktifkan protein G . Subunit α pada protein G akan melepaskan diri kemudian berikatan dengan enzim adenilil siklase. Ikatan sub unit alfa dengan adenilil siklase akan mengaktifkan enzim ini dan selanjutnya akan dihasilkan siklik AMP (cAMP). Senyawa cAMP merupakan suatu caraka kedua (second messenger) yang salah satu aksinya adalah menyebabkan pembukaan kanal kalsium sehingga meningkatkan laju dan kekuatan kontraksi dari miokard (inotropik positif) dan meningkatkan reuptake kalsium ke dalam reticulum sitoplasma (efek relaksasi atau lusitropik). Pada nodus sinus, arus listrik pace maker meningkat (kronotropik positif), sementara laju konduksi juga meningkat (dromotropik). Efek pemberian penyekat beta tergantung bagaimana dia diabsorpsi, ikatan dengan protein plasma, pembentukan metabolit, dan seberapa luas dia dapat menghambat reseptor beta. Reseptor beta terdiri atas 3 klas yaitu β1, 2 dan 3. Reseptor β1 terdapat di jantung dan sel jukstaglomerular ginjal bekerja dengan cara meningkatkan kontraksi otot jantung dan meningkatkan laju kontraksi jantung. Sementara itu di ginjal reseptor ini bekerja meningkatkan pelepasan rennin di sel jukstaglomerular ginjal. Reseptor β2 terdapat pada otot polos saluran nafas, uterus, dan pembuluh darah. Stimulasi reseptor ini akan menyebabkan relaksasi otot polos. Reseptor β3 terdapat pada sel-sel sel -sel lemak dan stimulasinya akan menyebabkan terjadinya lipolysis. Respon tekanan darah terhadap agonis beta reseptor tergantung kepada efeknya yang bertolak belakang pada jantung dan pembuluh darah. Stimulasi reseptor beta pada jantung meningkatkan cardiac output dengan cara merangsang kontraktilitas dan dengan cara
stimulasi langsung nodus SA untuk meningkatkan laju denyut jantung. Agonis beta juga menurunkan resistensi perifer dengan cara mengaktifkan reseptor β2, sehingga terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah tertentu. Isoproterenol adalah suatu agonis β yang non non selektif, ia mengaktifkan baik reseptor β1 maupun β2. Efek bersih dari stimulas i ini adalah mempertahankan atau sedikit meningkatkan tekanan sistolik dan menurunkan tekanan diastolik sehingga tekanan darah rata-rata menjadi menurun. Pada jantung, efek langsung stimulasi reseptor beta ditentukan oleh reseptor β1, meskipun reseptor β2 dan α juga terlibat. Stimulasi reseptor β akan menyebabkan peningkatan masuknya kalsium ke dalam sel jantung. Hal ini akan memberikan konsekuensi elektrik maupun mekanik. Aktivitas pacu jantung (pace maker) baik normal (nodus SA) maupun abnormal (misalnya serabut purkinye) ditingkatkan (efek kronotropik positif). Kecepatan konduktivitas konduktivitas nodus atrioventrikular (AV) meningkat (efek dromotropik dromotropik positif) dan periode refrakter menurun. Kontraktilitas intrinsik meningkat dan masa relaksasi dipercepat. Sehingga pada jantung akan terjadi peningkatan tekanan intraventrikuler yang kemudian turun secara cepat, dan waktu ejeksi yang menurun. Efek langsung ini akan mudah terlihat pada keadaan tidak adanya refleks yang dihasilkan oleh perubahan tekanan darah seperti pada pasien yang menjalani pemblokiran ganglionik. Pada kondisi adanya aktivitas refleks normal, efek langsung pada frekuensi jantung dapat didominasi oleh oleh respons refleks terhadap perubahan tekanan darah. Stimulasi fisiologik jantung oleh katekolamin cenderung meningkatkan aliran darah koroner.
Reseptor β adrenergik dan reseptor α adrenergik. Reseptor ini bekerja melalui pengaktifan protein G yang kemudian mengaktifkan enzim adenil siklase. Pengaktifan adenil siklase selanjutnya akan menyebabkan efek biologis pada sel. Obat-obat Penyekat reseptor beta adrenergik Obat-obat penyekat reseptor β memiliki ciri utama yaitu melawan efek katekolamin pada adrenoseptor β. Obat-obatan ini menempati reseptor dan secara kompetitif menurunkan jumlah pengikatan reseptor ini oleh katekolamin dan agonis β yang lain. Sebagian besar penyekat β murni sebagai antagonis, yang mana dengan menempati reseptor β menyebabkan hilangnya aktivitas reseptor. Namun demikian, beberapa dari obat-obat ini bersifat agonis parsial yang mana obat ini menyebabkan aktivasi parsial yang lebih lemah dibandingkan epinefrin atau isoproterenol. Karakteristik beta blocker berdasarkan farmakologinya dapat dilihat pada table dibawah.
Selektifitas relatif antagonis adrenoseptor RhYmxlPjx0YWJ
selektifitas Aktivitas
Kerja
Kelarutan
Waktu
agonis
anestetik
dalam
paruh
parsial
lokal
lipid
Bioavailibilitas (%)
Acebutolol
β1
ya
ya
rendah
3-4 jam
50
Atenolol
β1
tidak
tidak
rendah
6-9 jam
40
Betaxolol
β1
tidak
ringan
rendah
14-22
90
bisoprolol
β1
tidak
tidak
rendah
jam 9-12
80
tidak
ya
tidak
rendah
Carvedilol
tidak
tidak
tidak
sedang
Celiprolol
β1
ya
tidak
rendah
Esmolol
β1
tidak
tidak
rendah
jam
0
Labetalol
tidak
ya
ya
rendah
4-5 jam
30
Metoprolol
β1
tidak
ya
sedang
10 menit
50
Nadolol
tidak
tidak
tidak
rendah
5 jam
33
Nebivolol
β1
?2
tidak
rendah
3-4 jam
NF3
Penbutolol
tidak
ya
tidak
tinggi
14-24
>90
Pindolol
tidak
ya
ya
sedang
Propanolol
tidak
tidak
ya
tinggi
Sotalol
tidak
Timolol
tidak
Carteolol 1
1
jam 6 jam 7-10
jam 11-30
85 25-35 70
90 304
jam tidak
tidak
rendah
90 5 jam
tidak
tidak
sedang
50 3-4 jam 3,5-6
jam 12 jam 4-5 jam Keterangan: 1
Juga menyebabkan blokade reseptor β1
2
Tidak ditentukan
3
Tidak ditemukan
4
Biavailibilitas tergantung dosis Seperti telah diutarakan sebelumnya bahwa agonis parsial menghambat aktivasi
reseptor pada kondisi kadar katekolamin tinggi namun agak mengaktifkan reseptor bila dalam kondisi tidak ada agonis parsial. Akhirnya bukti-bukti menunjukkan bahwa beberapa beta blocker tertentu (seperti: betaxolol, metoprolol) merupakan suatu agonis terbalik yaitu obat yang menurunkan aktivitas konstitutif reseptor pada beberapa jaringan. Namun demikian kemaknaan klinik dari sifat ini belum diketahui. Obat-obat penyekat reseptor berbeda dalam hal afinitas relatifnya untuk β1 atau β2, dan selektifitas ini dapat memiliki implikasi klinik. Disebabkan tak satupun antagonis reseptor yang tersedia yang memiliki sifat spesifik mutlak terhadap reseptor
β1, selektifitas tersebut berhubungan dengan dosis, dan cenderung
menghilang pada kadar obat tinggi. Perbedaan utama yang lain diantara antagonis berhubungan dengan sifat farmakokinetik dan efek stabilisasi-membran anestetik lokal.
Absorpsi.
Sebagian besar obat-obatan ini dapat diabsorpsi dengan baik diusus, puncak kadar di dalam plasma tercapai sekitar 1-3 jam. Saat ini juga tersedia beberapa sediaan lepas lambat dari jenis propanolol dan metoprolol.
Bioavalibilitas
Propanolol di dalam hati menjalani metabolisme yang ekstensif oleh karena itu bioavailabilitasnya menjadi relatif rendah. Proporsi obat yang mencapai sirkulasi meningkat sesuai peningkatan dosis, hal ini menunjukkan bahwa mekanis ekstraksi hati dapat menjadi jenuh. Konsekuensi utama dari rendahnya bioavailabilitas propanolol setelah pemberian oral adalah kadar obat ini pada pemberian oral dapat sangat kecil dibandingkan dengan pemberian
intravena. Namun demikian terdapat variasi individual dalam hal kadar plasma yang dapat dicapai setelah pemberian oral.
Distribusi dan Pembersihan
Obat-obat β antagonis didistribusikan secara cepat dan memiliki volume distribusi yang besar. Propanolol
dan penbutolol merupakan obat yang agak lipofilik dan dapat
melintasi sawar otak. Sebagian besar antagonis β memiliki waktu paruh 3-10 jam. Sebuah pengecualian adalah esmolol, yang mana cepat mengalami hidrolisis dan memiliki waktu paruh yang sangat pendek (10 menit). Propanolol dan metoprolol mengalami metabolism hati yang luas, dengan sedikit obat dapat ditemukan di dalam urin. Genotipe sitokrom P450 2D6 (CYP2D6) merupakan penentu utama adanya perbedaan antar individu dalam hal bersihan plasma metoprolol. Individu yang kurang memetabolisms obat ini menunjukkan 3 -10 kali lipat lebih kadar plasma obat dibandingkan dengan
pada pasien dengan kemampuan
metabolisme luas. Atenolol, celiprolol dan pindolol merupakan obat-obat yang dimetabolisir kurang lengkap. Nadolol disekresikan tanpa ada perubahan di urin dan memiliki waktu paruh terpanjang dari sediaan yang ada (lebih dari 24 jam). Waktu paruh nadolol mengalami pemanjangan pada gagal ginjal. Eliminasi obat-obat seperti propanolol dapat mengalami pemanjangan pada pasien penyakit hati, berkurangnya aliran darah hati atau inhibisi enzim hepatik. Sebagai catatan bahwa efek farmakodinamik dari obat-obat ini terkadang memanjang di atas waktu yang diprediksi dari data waktu paruh.
Efek kardiovaskuler β blocker
Obat golongan β blocker mulanya didisain oleh pemenang hadiah nobel Sir James Black untuk melawan efek samping kardial dari stimulasi adrenergik karena meningkatkan kebutuhan oksigen dan memperburuk angina. Hasil risetnya menghasilkan prototype beta blocker yaitu propanolol. Penemu ini menunjukkan bahwa dengan menyekat reseptor beta jantung, obat ini dapat menginduksi efek inhibisi terhadap nodus sinoatrial, nodus atrioventrikular dan kontraksi miokard. Ini yang kemudian secara berurutan dikenal dengan kronotropik negative, dromotropik negative, dan ionotropik negative.
Efek kardiak obat-obat penyekat reseptor β pada tingkat nodus SA, AV dan miokard.
Meskipun obat-obat penghambat reseptor beta ini menyebabkan vasokontriksi koroner melalui peningkatan resistensi vaskuler koroner. Namun pemanjangan waktu pengisian diastolik yang diakibatkan oleh obat ini menyebabkan penurunan denyut jantung pada waktu olahraga, sehingga menyebabkan perfusi miokard yang lebih baik. Sehingga secara umum memberikan manfaat terapi terhadap myokard.
Interaksi obat dengan
beta bl ocker
Interaksi farmakodinamik dapat diprediksi dan terjadi pada saat obat beta blocker dikombinasikan dengan obat yang menekan nodus SA atau AV atau dengan obat yang memiliki kerja inotropik negative lain. Interaksi farmakokinetik umumnya terjadi pada tingkat metabolism di hati. Simetidin menurunkan aliran darah ke hati dan meningkatkan kadar beta blocker di dalam darah, terutamanya untuk
yang dimetabolisme di dalam hati
yaitu propanolol. Verapamil dapat menghambat pemecahan metoprolol dan propanolol, dan juga beta blocker lain yang dimetabolisme di hati. Untuk menghindari interaksi ini, secara sederhana dapat digunakan beta blocker yang tidak dimetabolisme di hati. Beta blocker juga
dapat menekan aliran darah hati sehingga kadar lidokain di dalam darah akan meningkat sehingga dapat meningkatkan toksisitas terhadap lidokain.
Kontraindikasi penggunaan
beta bl ocker
Kontraindikasi absolute
beta blocker dapat disimpulkan berdasarkan profil
farmakologis efek dan efek samping beta blocker . Kontraindikasi absolut jantung meliputi bradikardi berat, AV block derajat tinggi, sindroma sinus sick , kegagalan ventrikel kiri yang nyata, kecuali bila ditangani secara konvensional dan stabil. Sementara itu kontraindikasi paru adalah asma yang jelas, bronkospasme berat, tergantung dari beratnya penyakit dan kardioselektivitas beta blocker yang digunakan, hal ini dapat menjadi kontraindikasi absolute atau relatif. Kontraindikasi system saraf pusat adalah depresi berat (khususnya propanolol). Secara terperinci kontraindikasi beta blocker dapat dilihat pada tabel berikut.
Kontraindikasi dan Perhatian pada Penggunaan Beta blocker Jantung
Absolut: Bradikardi berat, block jantung derajat tinggi, syok kardiogenik, gagal ventrikel kiri yang tidak dalam pengobatan. Relatif: Kontraindikasi dan Perhatian pada Penggunaan Beta blocker -lanjutan
Angina Prinzmetal, pengobatan yang menekan nodus SA dan AV dosis tinggi (verapamil, diltiazem, digoksin, agen antiaritmik): pada angina hindari penghentian mendadak. Paru
Absolut: Asma berat dan bronkospasme. Tak seorangpun dapat diberikan beta blocker tanpa anamnesis tentang riwayat asma. Pengabaian terhadap aturan ini dapat berakibat fatal. Relatif: Asma, bronkospasme atau penyakit saluran nafas ringan. Berikanlah obat-obat selektif yang disertai stimulan β2 (inhalasi)
Sistem saraf pusat
Absolut: Depresi berat (hindari propanolol) Relatif: Gangguan mimpi: hindari agen yang larut dalam lemak dan pindolol; hindari pemberian di malam hari. Halusinasi visual: beralih dari propanolol. Fatigue (semua agen). Apabila low cardiac output
adalah penyebab fatigue, coba betablocker vasodilator. Impotensia dapat
terjadi (cek penggunaan diuretik; pertimbangkan untuk beralih ke ACE inhibitor atau ARB). Obat-obat psikotropika (yang dapat meningkatkan adrenergik) dapat berinteraksi dengan beta-blocker.
Pembuluh darah perifer, fenomena Rainaud
Absolut: Penyakit aktif: ganggren, nekrosis kulit, klaudikasio berat atau memburuk, nyeri pada saat istirahat. Relatif: Ekstremitas dingin, pulsasi yang menghilang, fenomena Raynaud. Hindari agen nonselektif (propanolol, sotalol, nadolol); pilihlah agen vasodilator.
Diabetes melitus
Relatif; Diabetes yang membutuhkan insulin: agen nonselektif menurunkan reaksi terhadap hipoglikemi; gunakan agen yang selektif. Sebagai catatan terdapat penggunaan yang berhasil dari atenolol pada pasien DM tipe 2 pada uji klinis yang dilakukan di UK.
Sindroma Metabolik
Beta blocker dapat meningkatkan kadar gula darah 1.0-1,5 mmol/L dan mengganggu sensitifitas insulin khususnya pada yang disertai dengan diuretik, maka perlu dilakukan kontrol gula darah dan hindari kombinasi.
Gagal ginjal
Relatif: Apabila ditemukan penurunan aliran darah ke ginjal, kurangi dosis obat yang dihancurkan di ginjal.
Penyakit Hati
Relatif: Hindari agen yang banyak dibersihkan dihati (propanolol, carvedilol, timolol, acebutolol, metoprolol). Gunakan agen yang sedikit mengalami pembersihan di hati (atenolol, nadolol, sotalol). Apabila protein plasma menurun, kurangi dosis agen yang banyak terikat protein (pindolol, propanolol, bisoprolol).
Hipertensi pada Kehamilan
Penggunaan beta blocker mengalami peningkatan namun mungkin dapat menekan tandatanda vital neonatus dan menyebabkan vasokontriksi rahim. Labetolol dan atenolol adalah obat yang diujicoba dengan sangat baik. Obat yang lebih dianjurkan adalah metildopa.
Operasi pembedahan
Lebih dianjurkan penggunaan esmolol. Gunakan atropine untuk bradikardi dan beta agonis untuk hipotensi berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Flaherty JD, Bax JJ, Luca LD, et al. Acute Heart Failure Syndromes in Patients With Coronary Artery Disease Early Assessment and Treatment. J Am Coll Cardiol 2009; 53:254 – 63. 2. Ezekowitz JA, Hernandez AF, Starling RC, et
al.
Standardizing care for acute
decompensated heart failure in a large megatrial: The approach for the Acute Studies of Clinical Effectiveness of Nesiritide in Subjects with Decompensated Heart Failure (ASCEND-HF). Am Heart J 2009;157:219-28. 3. Laothavorn P, Hengrussamee, K, Kanjanavanit, R, et al. Thai Acute Decompensated Heart Failure Registry (Thai ADHERE). CVD Preventi on and Control 2010; 5: 89 – 95. 4. Hollister A, Neubauer S, Richard D, et al. Use of beta blocker in heart failure. Medicines Advisory Committee. Oxford Radcliffe Hospitals 2002;3(5): 1-2. 5. Jondeau G, Neuder Y, Eicher JC, et al. B-CONVINCED: Beta-blocker CONtinuation Vs.interruption
in
patients
with
Congestive
heart
failure
hospitalizED
for
a
decompensation episode. European Heart Journal 2009; 30: 2186-92. 6. Biaggioni I, Robertson D. Adrenoceptor agonist & sympathomimetic drugs.In: Katzung BG, Master SB , Trevor AJ, editor. Basic and clinical pharmacology, 11th ed . McGraw Hill: 2009; 127-148. 7. Opie LH, Wilson PAP. Beta blocking agent. In: Opie LH, Gersh BJ, editors. Drug of the heart, 6th ed. Elsivier: 2006; 1-32 8. Robertson D, Biaggioni I. Adrenoceptor antagonist drugs. In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editors. Basic and clinical pharmacology. McGraw Hill Medical: 2009; 14966. 9. Teerlink JR. Diagnosis and management of acute heart failure. In: Libby P, editor. Braunwalds's Heart Disease. WB Saunders Elsevier: 2008; 583-610.
10. Nieminen MS, Bohm M, Chowie MR, et al. Guidelines on diagnosis and treatment of acute heart failure. The European Society of Cardiology, 2005. 11. Khan SS, Gheorghiade M, Dunn JD, et al. Managed Care Interventions for Improving Outcomes in Acute Heart Failure Syndromes. Am J Manag Care. 2008; (supl) 14: S27386. 12. Abraham WT, Adams KF, Fonarow GC, et al. In-Hospital Mortality in Patients With Acute Decompensated Heart Failure Requiring Intravenous Vasoactive Medications: An Analysis From the Acute Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE). J Am Coll Cardio 2005; 46: 57-64. 13. Manurung D. Gagal Jantung Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Penerbit FKUI: 2006; 1505-10. 14. Fuster V, Rourke RA, Wilson PP, et al. Hurst's the heart, 12 ed. Philadelphia: McGraw Hill; 2008. 15. Vahanian A, Camm J, Dean V, et al. ESC guideline desk reference. London: Lippincott William & Wilkins; 2008. 16. Domanski MJ, , Steinrauf HK, Massie BM, et al. A Comparative Analysis of the Results From 4 Trials of b-Blocker Therapy for Heart Failure: BEST, CIBIS-II,MERIT-HF, and COPERNICUS. J of Cardiac Failure, 2003: 9;354-63. 17. Vielma LL, Mendoza HC, Donis JH, et al. Acutely decompensated systolic heart failure: Effects of frequent doses of furosemide vs a single dose plus carvedilol on clinical status, neurohormonal activation and ventricular arrhythmias. ijcard 2009: 28; 302-4. 18. Fonarow GC, Abraham WT, Albert NM, et al. Influence of Beta-Blocker Continuation or Withdrawal on Outcomes in Patients Hospitalized With Heart Failure. J of the Am Coll Cardiol 2008;52(3):190-9. 19. Swedberg K. b-Blockers in worsening heart failure. European Heart Journal 2009; 30;2177-79.
β Blocker
Adrenoseptor dibagi menjadi dua tipe utama, yaitu reseptor α dan reseptor β.
Reseptor α memperantarai efek eksitasi dari amina simpatomimetik, sementaraefek inhibisinya secara umum diperantarai oleh reseptor β (kecuali pada otot polos usus, dimana stimulasi α merupakan inhibisi dan pada jantung, dimana stimulasi β merupakan eksitasi). Adrenoseptor β tidak bersifat homogen, sebagai contoh norepinefrin merupakan stimulan yang efektif untuk reseptor β pada jantung, tetapi hanya sedikit berpengaruh atau tidak berpengaruh sama sekali pada resptor β yang memperantarai vasodilatasi. Obat-obat yang menghalangi pengikatan norepinefrin dan epinefrin (adrenalin) pada reseptornya di syaraf simpatis, khususnya reseptor β disebut juga dengan β blocker. Hal ini menghambat efek simpatik normal yang bertindak melalui reseptor tersebut. β blocker bersifat mengurangi atau menghilangkan efek stimulasi pada reseptor beta oleh katekolamin (noradrenalin dan adrenalin) yang dihasilkan pada ujung postganglion saraf simpatik dan pada medula suprarenalis. Oleh karena itu β blocker termasuk obat simpatolitik. β blocker disebut juga dengan β-adrenergic blocking agents . Pemakaian β blocker dapat memperlambat atau menurunkan frekuensi denyut jantung, mengurangi kontraksi otot jantung, menurunkan kontraksi pembuluh darah di jantung, otak, serta dapat mengurangi produksi zat berbahaya yang dihasilkan oleh tubuh sebagai respon terhadap gagal jantung. β blocker mengurangi produksi dari aqueous humor dalam mata dan oleh karenanya digunakan untuk mengurangi tekanan dalam mata yang disebabkan oleh glukoma. β blocker dapat diberikan pada pasien dengan aritmia jantung, takikardia dan irama jantung yang tidak teratur, seperti denyut prematur ventrikel. Juga dapat digunakan untuk mengobati angina karena dapat menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung. Angina pectoris terjadi ketika kebutuhan jantung akan oksigen lebih besar dari pasokan yang tersedia. Beta blocker juga digunakan untuk mencegah sakit kepala migrain dan beberapa golongan penyakit tremor.
Berdasarkan dari jenis reseptor beta yang dihalangi dan efek yang ditimbulkan, beta bloker dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :
1. Non-selektif beta bloker menghalangi mempengaruhi
beta-1
dan
jantung,
cotohnya propanolol (Inderal), yang fungsinya
beta-2
reseptor.
Efek
pembuluh-pembuluh
yang
darah,
ditimbulkan
dan
akan
saluran-saluran
pernafasan. Diciptakan oleh Sir James W. Black pada akhir 1950-an, Propranolol merupakan beta bloker penggunaan klinis pertama, itu merevolusi pengelolaan medis angina pektoris dan dianggap sebagai salah satu kontribusi paling penting klinis Kedokteran dan farmakologi abad ke-20. 2. Selektif beta bloker
contohnya metoprolol (Lopressor, Toprol XL) yang
memiliki fungsi menghalangi beta-1 reseptor dan oleh karenanya kebanyakan mempengaruhi jantung dan tidak mempengaruhi saluran-saluran pernafasan. 3. Dan beberapa beta bloker
contohnya
pindolo (Visken) mempunyai Intrinsic
Sympahtomimetic Activity (ISA), yang berarti meniru efek-efek dari epinefrin dan norepinefrin serta dapat menyebabkan peningkatan dalam tekanan darah dan denyut jantung. Beta-bloker dengan ISA mempunyai efek-efek yang lebih kecil pada denyut jantung daripada agen-agen yang tidak mempunyai ISA. 4.
Labetalol dan carvedilol menghalangi beta dan alfa-1 reseptor. Menghalangi alfa reseptor menambah pada pembuluh darah efek yang melebarkan.
Macam-macam beta-blocker
Kardioselektif dengan sifat ISA : Practolol Tanpa sifat ISA : Metoprolol Atenolol Bevantolol
Non-kardioselektif dengan sifat ISA : Oxprenolol Alprenolol Pindolol
Tanpa sifat ISA : Propanolol Timolol
Beta blocker bervariasi dalam hal kelarutan dalam lemak dan kardioselektifitasnya. Akan tetapi, kesemuanya memblok reseptor beta-1 dan sama efektifnya dalam menurunkan tekanan darah dan mencegah angina. Obat yang lebih larut lemak akan lebih cepat diabsorbsi dalam usus, lebih banyak mengalami metabolisme lintas pertama dalam hati, dan lebih cepat dieliminasi. Obat tersebut juga lebih mungkin menembus otak dan menyebabkan efek sentral (misalnya mimpi-mimpi buruk). Kardioselektifitasnya relatif dan berkurang dengan peningkatan dosis. Akan tetapi, blokade beta-1 selektif sendenrung menyebabkan vasokonstriksi perifer yang lebih ringan dan tidak mengurangi respons hipoglikemia yang diinduksi oleh olahraga. Obat kardioselektif bisa mempunyai aktifitas beta-2 yang cukup untuk mempresipitasi bronkospasme berat pada pasien asma dan mereka harus menghindari penggunaan beta bloker. Generasi pertama dari beta-blocker merupakan non-selektif beta-blocker, yang berarti bahwa mereka diblokir baik oleh β1 dan β2 adrenoseptor. Generasi kedua beta-blocker lebih cardioselective yang artinya relatif selektif untuk β1 adrenoseptor. Dengan catatan bahwa selektivitas relatif ini dapat hilang pada dosis obat yang lebih tinggi. Akhirnya, generasi ketiga beta-blocker adalah obat yang juga memiliki tindakan vasodilator melalui blokade pembuluh darah alpha-adrenoseptor. Mekanisme kerja β blocker tidak dimengerti dengan jelas. Yang sekarang diketahui adalah obat ini menyebabkan penurunan curah jantung, dengan refleks baroreseptor tidak mengompensasi secara penuh, dan kemudian reseptor barorefleks ini diatur kembali, dan dengan demikian resistensi perifer turun. Hipotesis lainnya adalah obat β blocker memiliki efek sentral, yang mengubah tonus simpatis atau dengan menghambat pelepasan renin dari ginjal. Efek samping dari beta-bloker dapat mencakup, antara lain: 1. Bronko spasme, beta-bloker non-kardioselektif dan tanpa mengandung sifat AIS sering menyebabkan spasme bronkhus pasa pasien dengan riwayat asma bronkial atau penyakit paru-paru kronik.
2. Bradikardi, semua beta-bloker terutama yang tidak mengandung sifat AIS menyebabkan penurunan denyut jantung kira-kira 10-15%. 3. Payah jantung, beta-bloker non-kardioselektif dan tanpa mengandung AIS dapat menyebabkan payah jantung pada pasien yang sudah menderita gangguan faal jantung. 4. Gangguan susunan saraf pusat, beta-bloker yang larut lemak seperti propanolol dapat menyebabkan gangguan susunan saraf pusat seperti agitasi, insomnia, dan depresi 5. Gangguan saluran pencernaan, semua beta-bloker menyebabkan iritasi lambung, diare atau konstipasi pada pasien tertentu, indvidual.
Penggunaan Pada Angina Pectoris Angina pectoris merupakan gejala yang terjadi karena ketidak seimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dengan penyediaan oksigen, umumnya oleh karena berkurangnya aliran darah melalui sistem koroner, karena meningkatnya kerja ventrikel kiri maka kebutuhan oksigen akan meningkat. Beta-bloker mengurangi kerja ventrikel kiri dengan cara mengurangi kekuatan kontraksi miokard, mengurangi kecepatan denyut ventrikel, serta mengurangi tahanan sistole ventrikel kiri. Pada keadaan angina yang disertai dengan kegagalan jantung yang membahayakan, dapat diberikan digitalis kombinasikan dengan beta bloker.
Penggunaan Pada Hipertensi Para peneliti telah sependapat bahwa beta-bloker efektif menurunkan tekanan darah pada hipertensi esensial. Aspek lain peranan beta-bloker untuk terapi hipertensi, disinyalir beta bloker dapat mencegah penyulit-penyulit vaskuler stroke atau infark miokard. Golongan beta-bloker merupakan salah satu obat antihipertensi yang diduga dapat menekan plasma renin. Blokade reseptor beta-1 dalam sel jukstaglomerolus ginjal mungkin terlibat, tetapi beta-bloker hanya efektif pada pasien dengan kadar renin normal atau bahkan rendah.
Mekanisme Beta-bloker Pada Pasien Asma β bloker non selektif bekerja dengan cara memblok seluruh reseptor β yang terdapat pada otot polos. Reseptor β berdasarkan perbedaan selektivitas berbagai agonis dan antagonisnya masih dibedakan lagi menjadi 2 subtipe yang disebut β1 dan β2. Reseptor β1 terdapat di jantung dan sel-sel jukstaglomeruler, sedangkan reseptor β2 pada bronkus, pembuluh darah, saluran cerna dan saluran kemih-kelamin, selain itu juga terdapat di otot rangka dan hati. Aktivasi reseptor β1 menimbulkan perangsangan jantung dan peningkatan sekresi renin dari sel jukstaglomerular. Sedangkan aktivasi β2 menimbulkan relaksasi otot polos dan glikogenesis dalam otot rangka dan hati.Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa adanya perangsangan adrenergik pada reseptor β dapat menyebabkan denyut jantung meningkat, kontraktilitas otot jantung meningkat, dan dilatasi pada ateriola dan vena. Selain itu juga dapat mengakibatkan bronkodilatasi, penurunan sekresi dari kelenjar bronkus dan penurunan pelepasan mediator inflamasi (sel mast). Perangsangan adrenergik tersebut terjadi apabila sel efektor distimulasi oleh agonis adrenergiknya. Melalui perangsangan/stimulus reseptor beta (khususnya β 2) pada bronkus menyebabkan aktivasi adenilsikliklase. Enzim ini mengubah ATP (adenosintriphosphat) menjadi cAMP (cyclic adenosine monophosphat) dengan membebaskan energi yang digunakanuntuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP dalam sel menghasilkan efek bronkodilatasi. Efek dari agonis pada reseptor β ini bertentangan dengan efek antagonisnya (β bloker). Jika reseptor β2 dari sistem adrenergis terhambat oleh antagonisnya maka sistem kolinergis akan mendominasi dan menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi.Stimulasi saraf parasimpatis, menyebabkan pelepasan asetilkolin. Asetilkolin pada reseptor muskarinik dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronki akan mengaktivasi enzim guanisiklase untuk mengubah GTP (guanosine triphosphat) menjadi cGMP (cyclic guanosine monophosphat). Fosfodiesterase kemudian memecah cGMP menjadi GMP (guanosine monophosphat). Peningkatan
kadar
GMP
ini
akan
mengakibatkan
bronkokonstriksi.
Daftar Pustaka http://medic-care.blogspot.com/2008/12/artikel-kontraindikasi-penggunaan.html http://www.cvpharmacology.com/cardioinhibitory/beta-blockers.htm
Neal, Michael J, 2006, Medical Pharmacology at a Glance Edisi V, Erlangga, Jakarta Prawirakusumah, Abidin A. dr., 1980, Penggunaan Beta-Bloker Pada Pasien Kardiovaskuler, Cermin Dunia Kedokteran, Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, Jakarta. Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK Universitas Sriwijaya, 2004, Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2, Pnerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Sukandar, Enday. dr., 1980, Hipertensi Esensial: Petogenesa, Patofisiologi & Peranan BetaBlocker, Cermin Dunia Kedokteran, Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, Jakarta
Bagaimana farmakodinamik obat enalapril? EFEK SAMPING
1%-10 % : - Kardiovaskuler : hipotensi 0,9%-6,7%, Chest pain (2%), syncope (0,5%-2%), orthostasis (2%), orthostatic hypotension (2%). - CNS : sakit kepala (2%-5%), pusing/dizzines (4%-8%), fatigue (2%-3%) - Dermatologic : rash (1,5%) - Gastrointestinal : abnormal taste, sakit perut, muntah, mual, diare, anoreksia, konstipasi. - Neuromuscular & skeletal : weakness. - Ginjal : peningkatan serum kreatinin (0,2%-20%), memburuknya fungsi ginjal (pada pasien dengan bilateral renal artery stenosis atau hipovolemia). - Respiratory (1 % - 2 %) : bronchitis, batuk, dyspnea. < 1 % (limited to important or life-threatening ) : agranulositosis, alopecia, angina pectoris, angioedema, ataxia, bronchospasme, cardiac arrest, cerebral vascular accident, depresi, erythema multiforme, exfoliative dermatitis, halusinasi, hemolisis pada pasien G6PD, psikosis, odem paru, Stevens Johnson syndrome, SLE, toksis epidermal necrolysis, vertigo dan lain – lain 5.
INTERAKSI OBAT
Interaksi enalapril dengan obat lain : Efek Cytochrome P450 : substatre of CYP34A (major) Efek meningkat / toksisitas : suplemen kalium, kotrimoksazol (dosis tinggi), angiotensin II reseptor antagonist (contoh candesartan, losartan, irbesartan) atau diuretik hemat kalium (amiloride, spironolakton, triamterene) dapat menghasilkan kadar kalium dalam darah bila dikombinasi dengan enalapril. Efek ACE inhibitor dapat ditingkatkan oleh phenothiazine atau probenecid (kadar kaptopril meningkat). ACE inhibitor dapat meningkatkan konsentrasi dalam serum obat lithium. Diuretik dapat meningkatkan efek hipotensi dengan ACE inhibitor, dan meningkatkan hipovolimia yang potensial menimbulkan adverse renal effects dari ACE inhibitor. Pada pasien dengan compromised renal fuction pemberian bersamaan dengan NSAIDs dapat memperburuk fungsi ginjal. Allopurinal dan ACE inhibitor dapat meningkatkan resiko hipersensitivitas bila digunakan bersamaan. Efek menurun : Aspirin
(dosis tinggi) dapat menurunkan efek terapi ACE inhibitor; pada dosis rendah efek ini tidak signifikan. Antasid dapat mengurangi bioavailabilitas ACE inhibitor; berikan terpisah dengan selang waktu 1 – 2 jam. NSAIDs dapat menurunkan efek hipotensi ACE inhibitor. CYP3A4 inducer dapat menurunkan kadar atau efek enalapril; contoh inducer termasuk amino glutethimide, karbamazepin, nafcillin, nevirapine, phenobarbital, phenytoin, rifampisin5.
DAFTAR PUSTAKA
AHFS Drug Information 2005, hal. 1863 – 1874. 2. AHFS Drug Information 2008 (e-book) 3. ASHP Patient Information, reviewed Jan 2007. 4. British National Formulary, 56th ed., September 2008, hal. 101. 5. Drug Information Handbook, 15th ed., 2007-2008, hal. 578-581. 6. Drug Information Handbook, 12th ed., 2004-2005, hal. 7. Handbook on injectable Drug, 12th ed, 2003, hal. 511-516 8. ISO Indonesia vol. 43, 2008 , hal 253, 255, 259--260. 9. Martindale : The Complate Drug Reference, 35 th ed., 2007 (e-book). 10. MIMS Indonesia 109th ed. 2008, hal 54, 66, 68, 99. 11. USP Drug Information, 2005, Thomson Micromedex, hal. 197-198.