DISASTER VICTIM IDENTIFICATION
I.
PENDAHULUAN Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis
yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.1 Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI, bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.2 Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Secara singkat, bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah cukup banyak. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula.2,3 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi
1
terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia.2
II.
DISASTER VICTIM IDENTIFICATION Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah atau definisi yang
diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline. Tim DVI terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli anthropology (ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA. 3,4,5 DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan. Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. 4 Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir 99% yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. 4
2
Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal. 1 Rujukan Hukum : 6 a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri c. UU No.23 tentang kesehatan d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim Identification f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004 g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003
1. PROSES DISASTER VICTIM IDENTIFICATION Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man made disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim dari berbagai institusi.1 Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah.1 3
Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari : 3,6
1.
Fase 1 : Fase TKP/The Scene Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut: 1,6,8 a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI; b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan tercampur atau hilang; c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh dipisahkan; d. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat; e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk dalam fase kedua dan seterusnya. Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan. 8 Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah : 8 1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line. 2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana. 3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
4
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana. 5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi. 6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area bencana Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.8 Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.8
Gambar 1. Kontainer dan perbendaharaan pemeriksaan badan korban post mortem.9
1.1.2. Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut: 1 1) membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP; 2) memberikan tanda pada setiap sektor; 3) memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah;
5
4) memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik yang tercecer. 5) membuat sketsa dan foto setiap sektor; 6) foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya; 7) isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai berikut : a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP; b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan; c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas; d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI PM 8) masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah; 9) formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek; 10) masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung plastik dan diberi label sesuai nomor properti; 11) evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.
2.
Fase 2 : Fase pengumpulan data jenazah Post Mortem/ The Mortuary Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang
6
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap–lengkapnya mengenai korban.1,6,8 Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut : 1 a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP; b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah dan barang‐barang; c. membuat foto jenazah; d. mengambil sidik jari korban dan golongan darah; e. melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia; f. melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat; g. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban. h. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda i. membuat rontgen foto jika perlu; j. mengambil sampel DNA; k. menyimpan jenasah yang sudah diperiksa; l. melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di mayat yang ditemukan di TKP; m. mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data. Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut : 8 1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA) 2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis) Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI
7
Indonesia adalah didukung minimal salah satu primary identifiers positif atau didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif. Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.7,8 Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik.1
Gambar 2. Skema Pemeriksaan Post Mortem Jenazah. 6
Dalam skema Gambar 9, meskipun DNA merupakan salah satu bagian dari pemeriksaan primer namun diletakkan dalam sisi yang . Hal ini mengingat bagaimanapun pemeriksaan DNA, baik nukleus maupun mitokondria merupakan pemeriksaan identifikasi yang terpercaya, dalam pelaksanaannya tetap memerlukan waktu dan biaya yang relatif mahal, meskipun bersifat sensitive. Sebaliknya
8
pemeriksaan sekunder tetap dilakukan sebagai tugas rutin sesuai prosedur meskipun hasil pemeriksaan primer sudah dapat dilakukan identifikasi.7 Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan, Primary Indentifiers yang terdiri dari : 1) Fingerprints 2) Dental Records 3) DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari : 1) Medical 2) Property 3) Photography Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers. 3,7,8 2. IDENTIFIKASI Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan.9 Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada kecelakaan masal, bencana alam atau huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati, serta potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan orang tuanya. Identifikasi korban bencana, biasanya menjadi tanggung jawab polisi, 9
adalah latihan yang sulit dan menuntut yang hanya dapat membawa kepada kesimpulan yang sukses jika direncanakan dengan baik dan yang memang harus melibatkan partisipasi aktif dari banyak lembaga lainnya.9 Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban serta membangun identitas setiap korban dengan membandingkan dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem. Dalam banyak kasus , meskipun, mengidentifikasi korban sungguh kompleks, dan dapat terjadi permasalahan. Permasalahan yang dapat terjadi adalah tantangan untuk mendapatkan informasi ante mortem dan post mortem sebagai perbandingan. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban. 7,10,11
1.
Identifikasi Korban Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data : 8
A. Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian namun terdaftar sebagai korban selamat) B. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian Dalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk beberapa tim atau unit, diantaranya : 8, 10 A. Bagian Korban Hilang (Missing Brunch), terdiri dari : 1) Unit pengumpulan data ante-mortem (Ante-mortem record unit) 2) Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit) 3) Daftar korban (Victim list) B. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery), terdiri dari : 1) Koordinator tim pemulihan (Recovery Co-ordinatory) 2) Tim pencari (Search teams) 3) Tim dokumentasi (Photography) 10
4) Tim pemulihan jenazah (Body Recovery team) 5) Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property Recovery team) 6) Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue Station) C. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch), terdiri dari : 1) Unit keamanan (Security unit) 2) Unit transportasi jenazah (Body movement unit) 3) Unit pengumpul data post-mortem (Post-mortem record unit) 4) Unit pemeriksa jenazah (Body Examination unit), terdiri dari: a) Unit dokumentasi (Post-mortem photography unit) b) Unit sidik jari (Post-mortem property unit) c) Unit barang-barang pribadi (Post-mortem property unit) d) Unit media (Post-mortem medical unit) e) Unit pemeriksa gigi geligi (Post-mortem dental unit) D. Pusat Identifikasi (Identification Centre), terdiri dari : 1) Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre file section) 2) Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre specialized section), terdiri dari: a) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section) b) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print) c) Bagian penyelidkan barang-barang pribadi (Property section) d) Bagian penyelidikan medis (Medical section) e) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section) f) Bagian analisis DNA (DNA analysis) g) Badan identifikasi (Identification board) h) Bagian pelepasan jenazah (Body realese section)
2.
Metode dan Teknik Identifikasi Secara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan data ante
mortem dengan post mortem. Dahulu dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu :1,3,8 11
A. Metode Sederhana yakni, visual, kepemilikan (perhiasan dan pakaian) dan dokumentasi. B. Metode Ilmiah yakni, sidik jari, serologi, odontologi, antropologi, biologi molekuler. C. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi. Khusus pada korban bencana massal, saat ini berdasarkan standar Interpol untuk proses identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :1,3 A. Metode identifikasi primer, yaitu sidik jari, gigi geligi, DNA. B. Metode identifikasi sekunder, yaitu medis, property, fotografi/visual
A. Metode Sederhana / Identifikasi sekunder 1. Visual/Photography dan Medis Termasuk metode yang sederhana dan mudah dikerjakan yaitu dengan memperlihatkan tubuh terutama wajah korban kepada pihak keluarga, metode ini akan member hasil jika keadaan mayat tidak rusak berat dan tidak dalam busuk lanjut. Metode visual tidak dipakai di dalam metode identifikasi untuk DVI saat ini karena metode ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh karena melibatkan faktor psikologi keluarga yang melakukannya (sedang berduka, stress, sedih dll).8,13
Gambar 3. Jenazah dapat Diidentifikasi sederhana secara visual.7
Gambar 4. Pemeriksaan sekunder medis: adanya sikatrik.7
12
Gambar 5. Pemeriksaan sekunder medis: pada korban terlihat kumis, tahi lalat.7
Gambar 6. Pemeriksaan sekunder medis dari tatto sebagai sarana identifikasi.7
Gambar 7. Pemeriksaan sekunder medis dari sex dan Tinggi Badan.7
2.
Kepemilikan/Property Termasuk metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban telah rusak atau hangus. Initial yang terdapat pada cincin dapat memberikan informasi siapa si pemberi cincin tersebut, dengan demikian dapat diketahui pula identitas korban. Sedangkan dari pakaian, dapat diperoleh model pakaian, bahan yang dipakai, merek penjahit, label binatu yang dapat merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas korban.8,13
Gambar 8. Barang bukti berupa pakaian dan perhiasan .8
13
3.
Dokumentasi : KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya merupakan sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas.8,13
Gambar 9. Pemeriksaan sekunder properti dari KTP yang melekat. 7
B. Metode Ilmiah (Identifikasi Primer) 1. Sidik jari Sidik jari atau Finger prints dapat menentukan identitas secara pasti oleh karena sifat kekhususannya yaitu pada setiap orang akan berbeda walaupun pada kasus saudara kembar. Keterbatasannya hanyalah cepat rusak/membusuknya tubuh. Walaupun Fingerprinting sangat sulit karena kondisi tubuh tetapi dapat berhasil dilakukan oleh ahli ilmiah. Teknik pengembangan sidik jari pada jari telah keriput, serta mencopotnya kulit ujung jari yang telah mengelupas dan memasangnya pada jari yang sesuai jari pemeriksa, baru kemudian dilakukan pengambilan sidik jari, merupakan prosedur yang harus diketahui oleh dokter.9,13,14 Dalam persiapan untuk fingerprinting, jari dan tangan harus bersih dengan air atau dengan sabun emulsi dan dikeringkan dengan kain atau handuk selulosa. Pembersihan tangan pertama kali memakai alcohol akan menghasilkan print yang lebih bagus.14 Tergantung pada kondisi dari tangan, jari-jari (jika permukaan kulit masih melekat), permukaan kulit yang terpisah atau dermis (setelah pemberian acetone)
14
diwarnai dengan bubuk sidik jari dengan menggunakan sikat (zephr, fairy hair atau kosmetik). Kemudian pelindung belakang dikeluarkan dari herma adhesive label berwarna putih (ukuran 32 mm x 40 mm), lalu label diletakkan pada body pan dengan permukaan yang halus dibawah, dan permukaan yang cekung menghadap keatas. Cetakan individu kemudian diambil dengan body pan, lalu diperiksa viabilitasnya dan dijajarkan dari sebelah kanan ke kiri (ibu jari dikanan, jari kelingking di kiri) pada slide transparan. Lalu kemudian slide dibalik. Hasilnya akan terlihat satu set sidik jari normal (positif dan memiliki warna akurat) pada latar putih. 14 Kulit pada jari dihapus dengan dengan hati-hati dengan teknik „degloving‟dan ditempatkan pada ujung jari salah satu dari dua operator. Setelah powdering, sidik jari kemudian dicetak di kertas. Penggunaan terpisah kamar untuk pemeriksaan sidik jari terbukti berguna. 9
Gambar 10. Glove on. Teknik Fingerprinting.9
Gambar 11. Analisis Sidik Jari. 8
Gambar 12. Pada foto pertama tampak Prosedur Hand boiling dan pada foto kedua tampak foto sidik jari setelah Hand boiling.14
15
Gambar 13. Kulit terlepas, double-rowed pappillaries sudah tampak pada kondisi tangan setelah hand boiling. Pada gambar kedua, tampak jejak dari ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan setelah dilakukan hand boiling, diwarnai dengan bubuk arang, dicetak dengan adhesive labels dan ditekankan pada slide transparan.14
2. Serologi Prinsipnya ialah dengan menentukan golongan darah, dimana pada umumnya golongan darah seseorang dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani, dan cairan tubuh lainnya. Penentuan golongan darah yang diambil baik dari dalam tubuh korban, maupun bercak darah yang berasal dari bercak yang terdapat pada pakaian, akan dapat mengetahui golongan darah si korban. Orang yang demikian termasuk golongan sekretor (penentuan golongan darah dapat dilakukan dari seluruh cairan tubuh) 75-80% dari penduduk termasuk dalam golongan ini. Pada mereka yang termasuk non-sekretor, penentuan golongan darah hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan darahnya saja.13,14
3.
Odontologi Odontology adalah cabang kedokteran forensic yang melibatkan dokter gigi. Gigi adalah bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan terhadap trauma, pembusukan, air, dan api. Penentuan identifikasi forensik berdasarkan pemeriksaan primer masih dapat dilakukan dengan pemeriksaan gigi geligi yaitu pada jenazah terbakar karena gigi merupakan medium yang tidak mudah rusak seperti fingerprint tissue dan memiliki daya tahan terhadap dekomposisi dan 16
panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. 1,15,16
Gambar 14. Gigi tetap dalam keadaan utuh pada suhu yang tinggi, walaupun tubuh telah rusak, tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.16
Gigi dapat juga dipakai untuk membantu dalam hal perkiraan umur serta kebiasaan /pekerjaan dan kadang-kadang golongan suku tertentu. Kebiasaan merokok akan meninggalkan pewarnaan akibat nikotin pada gigi, gigi yang dipangur (diratakan) menujukkan ras/suku tertentu.13
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 (dua) kemungkinan: 1 a). memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan identifikasi; Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, bentuk wajah dan salah satu sampel DNA. Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas‐batas umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data‐data orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.1 b). mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut; Disini dicatat ciri‐ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih
17
akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri‐ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban.1 Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi, bagian lain dari kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada wajah. Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan manual, sinar X dan
pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dan sebagainya. 3,14,15
Gambar 15. Pemeriksaan gigi : pada gigi emas terdapat inisial korban16
Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi melalui proses pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien yaitu pemeriksaan gigi, meskipun keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi korban dengan tepat. Semakin lama terpapar dalam air maka proses pembusukan juga akan berlangsung dengan cepat sehingga akan menyebabkan terbatasnya upaya pemeriksaan primer. Proses identifikasi pada konsisi harus dilakukan kombinasi pemeriksaan primer dengan sekunder secara cermat dan akurat. Pada kasus ini korban berikutnya ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian sehingga tidak ada satu pun yang
18
berhasil diidentifikasi berdasarkan pemeriksaan primer yang terjangkau yaitu sidik jari maupun gigi karena terjadi pembusukan lanjut. 7 Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan otot mengecil diikuti mengkerutnya kulit, termasuk pengerutan peridontal ligament atau periodontal membran sebagai jaringan penyangga tulang dan gigi. Hal ini akan sulit dilakukan pada jenazah yang meninggal dengan cara tenggelam. Pada jenazah yang meninggal dalam air pada saat proses pembusukan berlangsung disertai dengan proses pembusukan pada maksila dan mandibula yang akan diikuti dengan terlepasnya gigi dari tulang akibat lisis jaringan penyangga. Gigi yang terlepas akan sulit dilakukan pemeriksaan karena sebagian besar akan jatuh dalam air. Hal ini pula yang mempengaruhi keberhasilan identifikasi primer melalui pemeriksaan gigi geligi pada korban tenggelam.7
Gambar 16. Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat Akibat Avulsi Gigi Postmortem dan Hilangnya Jaringan Lunak. 7
Gambar 17. Proses Pemeriksaan Jenazah Terbakar : Pemeriksaan gigi yang tetap utuh dan merupakan ciri khas masing-masing.7
19
a). Identifikasi Forensik Odontology Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:17 1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan kraniofasial. 2. Penentuan umur dari gigi. 3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark). 4. Penentuan ras dari gigi. 5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan. 6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli. 7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.
Penentuan Usia berdasarkan gigi Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun. Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang lebih baik daripada pemeriksaan antropologi lainnya
pada masa pertumbuhan.
Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. 16 Mineralisasi gigi dimulai saat 12-16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat
20
digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. Penentuan usia antara 15 dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini dapat digunakan untuk aplikasi forensik. 16,18
Gambar 18. memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-anak (a) gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan perkembangan pada usia 9 tahun (pada usia 6 tahun terjadi erupsi dari akar gigi molar atau gigi 6 tapi belum tumbuh secara utuh). Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour dan Massler (b) menunjukkan pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun. 18
Penentuan Jenis Kelamin berdasarkan gigi -Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya. Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin.18
Penentuan Ras berdasarkan gigi Penentuan ras pada gigi dan rahang tidak dapat diandalkan, meskipun beberapa morfologi menunjukkan statistic perbedaan dalam frekuensi antara ras. Contoh gambaran gigi pada ras mongoloid adala, Insisivus berbentuk sekop. Insisivus pada maksila menunjukkan nyata berbentuk sekop pada 8599% ras mongoloid. 2 sampai 9 % ras kaukasoid dan 12 % ras negroid memperlihatkan adanya bentuk seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas.
21
Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras mongoloid, Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada 20% mongoloid, Lengkungan palatum berbentuk elips, serta batas bagian bawah mandibula berbentuk lurus.18
Gambar 19. Gigi seri berbentuk sekop pada wanita cina. 17
b). Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik: - Bila rahang atas dan bawah lengkap : 12 1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah. 2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas. 3. Melakukan dental charting/odontogram. 4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan rahang bawah. 5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA. 6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up 7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem 8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi. - Pada rahang yang tidak utuh : 12 Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya dengan menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan menggunakan self curing acrylic. Lalu melakukan pencetakan, dilakukan pemotretan closeup, dan pengembalian pada jenazah.Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat memperoleh gambaran perkiraan raut wajah korban untuk membantu memudahkan identifikasi.12
22
4. DNA DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan. Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam mitokondria. Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti buccal swab (usapan mulut pada pipisebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun lebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA. Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum antara lain ; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan dan masalah forensik (dalam identifikasi korban bencana).18
5. Antropologi Ahli
Antropologi
forensik
adalah
seseorang
yang
ahli
dalam
mengidentifikasikan tulang dan rangka manusia. Ilmu mereka mencakup tentang jenis kelamin, suku, usia, dan perkiraan waktu kematian.18 a). Penentuan jenis kelamin pada rangka.14 Penentuan ini didasarkan pada ciri-ciri yang mudah dikenali pada tulang, seperti tulang panggul, tengkorak, tulang panjang, tulang dada. Tulang mempunyai nilai tinggi dalam hal penentuan jenis kelamin, yaitu tulang panggul dan baru kemudian tengkorak. Secara umum dapat dikatakan bahwa rangka wanita mempunyai bentuk dan tekstur yang lebih halus bila dibandingkan dengan rangka seorang pria. Panggul : Dari pemeriksaan panggul secara tersendiri tanpa pemeriksaan lain, jenis kelamin sudah dapat ditentukan pada sekitar 90% kasus. Indeks ischiumpubis pada wanita 15% lebih besar dari pria, ini terdapat pada lebih dari 90% wanita. Indeks tersebut diukur dari ischium dan pubis dari titik tempat mereka bertemu pada acetabulum. Bentuk dari “Greater schiatic notch”mempunyai nilai tinggi dalam penentuan jenis kelamin dari tulang panggul, 75% kasus dapat ditentukan hanya dari pemeriksaan tersebut.
23
Gambar 20. Struktur dari pelvis a) wanita dan b) pria.19
Tengkorak : Untuk dapat menentukan jenis kelamin dari tengkorak, diperlukan penilaian dari berbagai data ciri-ciri yang terdapat pada tengkorak tersebut. Ciri utama adalah tonjolan di atas orbita (supraorbital ridges); prosesus mastoideus; palatum; serta bentuk rongga mata dan rahang bawah. Ciri-ciri tersebut akan tampak jelas setelah usia 14-16 tahun. Menurut Krogman ketepatan penentuan jenis kelamin atas dasar pemeriksaan tengkorak dewasa adalah 90%. Luas permukaan prosesus mastoideus pada pria lebih besar dibanding wanita. Hal ini dikaitkan dengan adanya insersi otot leher yang lebih kuat pada pria.
Gambar 21. Perbedaan tulang tengkorak pria dan wanita.16
24
Gambar 33. Pelvis pria memiliki sudut subpubic yang lebih sempit,bentuk triangular pubic,dan sacrum yang lebar, berbeda dengan sudut subpubic yang lebar, tubuh persegi pubic dan sacrum yang lebih kecil pada wanita. Tengkorak pria memiliki dahi yang menonjol, proc.mastoid yang besar,dagu yang cekung disertai ramus yang tertekuk dan oksipital yang menonjol. Pada wanita, dahi kurang menonjol, ramus lurus, dan dagu bulat.18
Tulang dada : Rasio panjang dari manubrium sterni dan korpus sterni menentukan jenis kelamin. Pada wanita manubrium sterni melebihi separuh panjang korpus sterni; dan ini mempunyai ketepatan sekitar 80%. Tulang panjang : Pria pada umumnya memiliki tulang yang lebih panjang, lebih berat, dan lebih kasar, serta impresinya lebih banyak. Tulang paha (Os.Femur) merupakan tulang panjang yang dapat diandalkan dalam penentuan jenis kelamin. Ketepatannya pada orang dewasa sekitar 80%. Konfigurasi, ketebalan, ukuran dan caput femoris serta bentukan dari otot dan ligament serta perangai radiologis perlu diperhatikan. b). Penentuan Tinggi Badan 13 Penentuan tinggi badan menjadi penting pada keadaaan dimana yang harus diperiksa adalah tubuh yang sudah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau sebagian dari tulang saja.
25
Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan pengertian bahwa tubuh yang diperiksa itu pendek,sedang atau jangkung. Perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang panjang yaitu, Tulang paha (femur) menunjukkan 27% dari tinggi badan Tulang kering (tibia) 22% dari tinggi badan Tulang lengan atas (humerus) 35% dari tinggi badan Tulang belakang, 35% dari tinggi badan Yang perlu diperhatikan di dalam pengukuran tulang : Pengukuran dengan osteometric board Tulang harus dalam keadaan kering (dry bone) Formula yang dapat dipergunakan untuk pengukuran tinggi badan adalah : 1. Formula Stevenson TB Femur = 61,7207 + 2,4378 x Femur + 2,1756 TB Humerus = 81,5115 + 2,8131 x Humerus+2,8903 TB Tibia = 59,2256 + 3,0263 x Tibia + 1,8916 TB Radius = 80,0276 + 3,7384 x Radius + 2,6791 2. Formula Trotter dan Gleser TB = 70,37 + 1,22 (Femur + Tibia) + 3,24 Untuk mendapatkan tinggi badan yang mendekati ketepatan sebaiknya pengukuran dilakukan menurut kedua formula tersebut. C. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi. Superimposisi adalah suatu system pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Foto ante mortem dan post mortem korban dibuka dan digabung menggunakan Adobe Photoshop.
26
Gambar 22. Teknik Superimposisi yang menggunakan anterior dari gigi sebagai panduan. Tingkat kejernihan : a. 1% b. 25% c. 50% dan d. 90%. 20
Gambar 23. Teknik ini menggunakan Adobe Photoshop-Mediated superimposition
27
Kesulitan dalam menggunakan tehnik ini adalah: 3,20 1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya. 2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya. 3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi. 4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri. 1.3. Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem Information Retrieval Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah.1,8 Kegiatan : 1 1. menerima keluarga korban; 2.
mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam bencana tersebut;
3.
mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja, RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;
4.
data‐data Ante Mortem gigi‐geligi; a. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat; b. sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari klinik gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembaga‐lembaga pendidikan Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.
28
5 mengambil sampel DNA pembanding; 6 apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data‐data Ante Mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan Negara asing (kedutaan/konsulat); 7 memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM; 8 mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.
1.4. Fase 4 : Fase Analisa/Reconciliation Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.1,6,8 Kegiatan :1 1) mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem; 2) mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat Rekonsiliasi; 3) mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal; 4) membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem; 5) check and Recheck hasil Unit Pembanding Data; 6) mengumpulkan hasil identifikasi korban; 7) membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban yang dikenal dan surat‐surat lainnya yang diperlukan;
29
8) publikasi
yang
benar
dan
terarah
oleh
Unit
Rekonsiliasi
sangat
membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.
1.5. Fase 5 : Fase Evaluasi/Debriefing Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.1,6,8 Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil dentifikasi.2 Perawatan jenazah yang dapat dilakukan meliputi antara lain: 3 a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan) c. Perawatan sesuai agama korban d. Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari Komisi Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses serah terima jenazah yakni, Tanggal dan jam, Nomor registrasi jenazah, Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan korban, serta Dibawa kemana atau dimakamkan dimana Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga
30
korban. Sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.3 Pada prinsipnya, tim identifikasi pada korban massal tetap berada di bawah koordinasi Badan Penanggulangan Bencana seperti: Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang telah terbentuk di Provinsi Sumatera Utara diketuai oleh Gubernur dan instansi terkait seperti: Kepolisian Daerah Sumatera Utara/Polda Sumut, Dinas Kesehatan Tk. I Sumut, Universitas Sumatera Utara, Dinas Perhubungan, Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia dan instansi terkait lainnya serta Bakorlak, Satkorlak dan Satlak. Khusus tim identifikasi di lapangan berada di bawah tim investigasi (Penyidik Polri/PPNS) yang melakukan peyelidikan dan penyidikan sebab dan akibat dari bencana massal tersebut, karena hasil identifikasi korban banyak membantu dalam proses penyelidikan sebab dan akibat, selain tentunya pengeluaran surat-surat legalitas harus melalui tim investigasi.3 Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada setiap kasus bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan kendala yang ditemui di lapangan untuk menerapkan prosedur DVI.2 Pada kasus tenggelamnya kapal Rimba III, mayat sudah dalam kondisi membusuk lanjut. Proses identifikasi sesuai kelima fase tersebut menemui hambatan karena polisi mengirimkan mayat ke instalasi kamar jenazah dengan Surat Permintaan Visum yang sudah berisi identitas korban. Identifikasi dilakukan oleh pihak penyidik bersamasama dengan keluarga di TKP berdasarkan property (pakaian, tas, dompet, perhiasan) yang melekat pada tubuh korban. Akibat tindakan tersebut, keluarga menolak dilakukan pemeriksaan terhadap korban dengan alasan sudah dikenali. Properti yang ada pada jenazah juga sudah langsung diserahkan pada keluarga di TKP, sehingga sempat terjadi insiden tertukarnya jenazah. Hal ini dapat diatasi setelah dilakukan pemeriksaan fisik terhadap mayat korban.2 31