BAB I PENDAHULUAN
Kerangka acuan MOHO (Model Of Human Occupational) merupakan perkembangan dari kerangka ke rangka acuan perilaku, digambarkan sebagai model holistik untuk
latihan,
edukasi,
dan
penelitian.
Model
yang
sangat
eklektik,
menggabungkan pandangan yang diungkapkan oleh awal terapis okupasi dan pendukung teori sistem umum dengan ide-ide dari eksistensial dan humanistik psikologi, psikologi ego, teori kognitif, sosiologi, sosi ologi, biologi, psikologi sosial. sosi al. Ide ini digabungkan untuk menggambarkan sifat pendudukan manusia seperti yang berkembang di seluruh rentang hidup. MOHO mengambil perspektif sistem orang, menekankan transaksi konstan orang, tugas, dan lingkungan. MOHO diyakini bahwa mensupport dan penting untuk pemeliharaan manusia dan organisasi diri. Okupasi terapi melihat kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas
li tion, Ha H abi tuation tuation , dan Performance. berdasarkan 3 subsistem yaitu V olition, 1. Volition : kemauan (willing) yang berupa pengaruh kuat (motivasi) yang
mendasari
/
mempengaruhi
seseorang
memilih
dan
mengerjakan aktivitas. Pada subsistem volition ini merujuk pada : a. Personal causation : pemahaman terhadap dirinya akan kemampuannya
bila
memilih
mengerjakan
aktivitas.
Personal causation ini terdiri dari 2 dimensi yaitu kapasitas
seseorang (personal capacity) capacity) dan efektivitas sesorang ( self selfefficacy) dalam efficacy) dalam melakukan suatu aktivitas. b. Values suatu kesan atau image tentang apa yang baik, benar, dan penting untuk dikerjakan. Values terdiri dari kepercayaan seseorang ( personal personal conviction) conviction) dan komitmen ( self of obligation) c. I nte nter est : persaan tertarik berdasarkan pengalaman positif atau
bagaimana
agar
aktivitas
yang
dikerjakan
menyenangkan. Terdiri atas perasaan senang atau puas terhadap suatu aktivitas (enjoyment (enjoyment ) dan konfigurasi / pola yang khusus dan unik yang didapat dari pengalaman ( pattern) pattern) d. V oliti li tiona onall pr pr ocesse cessess : volition merupakan proses berfikir dan
perasaan yang terjadi terus-menerus te rus-menerus bila individu mengalami (experience), experience), menginterpretasi (interpret (interpret ), ), mengantisispasi (anticipate), anticipate), dan choose occupation. occupation. 2. H abi tuation tuation : merupakan
pola perilaku yang konsisten yang
ditunjukkan dengan kebiasaan (habits ( habits)) dan peran (roles ( roles)) dan sesuai dengan waktu, fisik, dan lingkungan sosial. Habituation tebagi menjadi 2 yaitu habits dan habits dan roles : roles : a. Habits : kecenderungan untuk melakukan sesuatu secara
otomatis dan melakukan sesuatu dengan cara tertentu dan konsisten pada lingkungan tertentu.
b. Roles : mengetahui dan melakukan tindakan sesuai dengan
perannya di lingkungan dan statusnya. 3. Performance : merupakan
struktur biologi atau proses yang
terorganisasi dari kemampuan fisik dan mental yang akan skills dan digunakan sebagai keterampilan untuk mengerjakan suatu aktivitas. Agar performance yang dilakukan dalam mengerjakan aktivitas bisa baik maka diperlukan : a. Constituents of skill : suatu aturan struktur biologi dan
fungsi, misal sistem saraf.
b. Skills : keterampilan yang harus dimiliki seseorang dalam “
”
mengerjakan suatu aktivitas. Misalnya:
Communication merupakan kemampuan berbagi informasi dengan orang lain untuk menghasilkan aktivitas yang bermutu (baik) sesuai dengan tujuan
Pr ocess skill Kemampuan untuk memanage dalam mengerjakan suatu aktivitas, misal: problem solving
Kognitif merupakan kemampuan intelektual dalam berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah
BAB II STUDI KASUS
A. Identitas pasien Pasien berinisial Ny. Wl berumur 27 tahun. Ny. Wl berjenis kelamin perempuan dan beragama Islam. Ny. Wl beralamat di Wonorejo, RT 09 RW 03 Kalijambe, Sragen. Ny. Wl sudah menikah dan sekarang sudah bercerai sejak satu tahun yang lalu. Pekerjaan Ny. Wl sebelum dirawat di RSJD Surakarta adalah seorang penjaga toko. Diagnosis pasien menurut rekam medis adalah pada Aksis I : Skizofrenia (F20), Aksis II : tidak terdapat diagnosis, Aksis III : tidak ada penyakit penyerta, Aksis IV : masalah psikososial dan lingkungan lain, dan Aksis V : GAF 61-50. B. Data Subjektif 1. Initial assessment Berdasarkan interview pada tanggal 3 Januari 2014, pasien aktif dan kooperatif. Pasien mampu memahami dan menjawab pertanyaan dari terapis. Intonasi suara pasien sudah sesuai (tidak pelan dan tidak nyaring), kontak mata sudah bagus saat berbicara dengan terapis dan komunikasi pasien sudah bagus. Pasien mulai dirawat di RSJD Surakarta sejak 2 tahun yang lalu. Dalam 2 tahun, pasien masuk ke RSJD Surakarta sebanyak 9 kali. Pertama kali masuk RSJD Surakarta, pasien diantar oleh suaminya. Pasien sering merasa jenuh berada di RSJD Surakarta dan berharap cepat
pulang. Pasien sekarang sudah bercerai dengan suaminya dan belum mempunyai anak. Pasien sekarang tinggal bersama dengan ibunya yang bekerja sebagai buruh di sawah. Pasien sekarang adalah seorang ibu rumah tangga. Alasan pasien berada di RSJD Surakarta karena di rumah kadang-kadang mengamuk, mondar-mandir dan tidak mau minum obat. 2. Observasi klinis Berdasarkan observasi pada tanggal 2 Januari 2014, interaksi sosial dengan orang lain sudah bagus, kontak mata sudah baik saat diajak bicara. Pasien aktif dan kooperatif, penampilan cukup rapi serta motivasi cukup tinggi. Pasien sudah mampu memulai dan mempertahankan pembicaraan dengan baik. Menurut level Allen pasien termasuk level kognitif 5 dan 6. 3. Sreening test Berdasarkan psychiatric screening pada tanggal 3 Januari 2014, diperoleh hasil pasien merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Dahulu pasien memiliki suami yang bernama Paryadi yang bekerja serabutan dan sekarang sudah bercerai sejak 1 tahun yang lalu. Di dalam keluarga pasien dekat dengan ibunya. Pekerjaan pasien sebelum mengalami gangguan jiwa adalah sebagai penjaga toko di toko tetangganya. Pendidikan terakhir pasien adalah SD. Penampilan pasien cukup rapi dan sikap pasien kooperatif. Pasien dapat mengawali dan mempertahankan pembicaraan dengan orang lain. Pada kognisi pasien menurut Mini Mental Status Examination (MMSE), pasien mendapat nilai 26 dari 30, yaitu tidak ada
gangguan kognitif. Insight diri pasien berada pada level 4 yaitu kesadaran akan gangguan jiwa, disebabkan karena suatu yang tidak diketahui pasien. Pada area ADL pasien mampu mandiri, seperti makan, mandi, berpakaian, melakukan pekerjaan rumah dan berbelanja. Berdasarkan rekam medis, pasien masuk RSJD Surakarta pada tanggal 12 Desember 2013 dengan alasan pasien bingung, gaduh, tidak tenang/gelisah, bicara ngelantur, tidak mau minum obat dan mondarmandir. Pasien mulai menjalani perawatan di RSJD Surakarta sejak tanggal 2 Januari 2012. C. Data Objektif Pemeriksaan yang telah diberikan kepada pasien antara lain MMSE ( Mini Mental Status Examination), COTE (Comprehensive Occupational Therapy Evaluation Scale), Interest Checklist , dan Role Checklist. Berdasarkan pemeriksaan menggunakan MMSE ( Mini Mental Status Examination) yang dilakukan pada tanggal 3 Januari 2014, diperoleh hasil 26 dari 30 yang berarti pasien tidak ada gangguan kognitif. Berdasarkan pemeriksaan Comprehensive Occupational Therapy Evaluation Scale (COTE) yang dilakukan pada minggu pertama, pada bagian I yaitu perilaku umum mendapatkan subtotal 0, pada bagian II yaitu interpersonal mendapatkan subtotal 0, pada bagian III yaitu perilaku melaksanakan tugas mendapatkan subtotal 4. Pada bagian III, pasien mendapat skala 1 pada komponen problem solving , yang berarti pasien mampu menyelesaikan masalah setelah diberi 1 kali bantuan.
Berdasarkan pemeriksaan interest checklist yang dilakukan pada tanggal 3 Januari 2014, diperoleh hasil pasien memiliki beberapa interest yaitu olahraga, melihat televisi, memasak, jalan-jalan, menyanyi dan mendengarkan musik. Berdasarkan pemeriksaan role checklist yang dilakukan pada tanggal 3 Januari 2014, jenis peran pasien pada masa lalu adalah seorang pekerja, sekarang menjadi ibu rumah tangga, dan yang akan datang pasien tetap ingin menjadi ibu rumah tangga. D. Assessment /Pengkajian Data 1. Rangkuman data subjektif dan objektif Pasien aktif dan kooperatif. Penampilan pasien rapi dan bersih. Pasien mampu memahami dan menjawab pertanyaan dari terapis. Intonasi suara pasien sudah sesuai (tidak pelan dan tidak nyaring), kontak mata sudah bagus saat berbicara dengan terapis dan komunikasi pasien sudah bagus. Pada kognisi pasien menurut MMSE, pasien mendapat nilai 26 dari 30, yaitu tidak ada gangguan kognitif. Pada bagian III pemeriksaan COTE, yaitu komponen perilaku melaksanakan tugas mendapatkan subtotal 4. Pasien memiliki beberapa interest antara lain olahraga, melihat televisi, memasak, jalan-jalan, menyanyi dan mendengarkan musik. Jenis peran pasien pada masa lalu adalah seorang pekerja, sekarang menjadi ibu rumah tangga, dan yang akan datang pasien tetap ingin menjadi ibu rumah tangga.
2. Aset Berdasarkan KA MOHO aset yang dimiliki pasien adalah : a) Volition : Motivasi pasien saat melakukan aktivitas cukup
tinggi. Pada
interestnya:
memiliki
beberapa
interest
yaitu
olahraga, melihat televisi, memasak, jalan-jalan, menyanyi dan mendengarkan musik. Pada area ADL pasien mampu melakukan pekerjaan rumah dan berbelanja. b) Habituation : Di masa yang akan datang pasien tetap ingin
menjadi ibu rumah tangga. (termasuk dalam roles) c) Performance : pasien aktif dan kooperatif, Pasien mampu
memahami dan menjawab pertanyaan dari terapis. Intonasi suara pasien sudah sesuai kontak mata sudah bagus saat berbicara dengan terapis dan komunikasi pasien sudah bagus. Pasien dapat mengawali dan mempertahankan pembicaraan dengan orang lain.Pasien tidak mengalami gangguan kognitif serta mampu melaksanakan tugas yang diberikan oleh terapis dari awal sampai akhir sesi terapi. Penampilan pasien cukup rapi Pasien sudah mandiri pada area ADL ( Activity Daily living ) seperti makan, mandi, berpakaian dan berdandan. Pasien juga sudah mandiri pada
area produktivitas seperti
berhias,
melakukan pekerjaan rumah, dan lain-lain.
berbelanja,
3. Limitasi Limitasi yang dimiliki pasien yaitu a) Volition : pasien sering bertanya terlebih dahulu kepada terapis saat akan mengambil keputusan ( pasien tidak percaya diri). b) Habituation : pasien suka bingung, ngamuk, tidak tenang/gelisah, bicara ngelantur, suka mondar/mandir dan tidak mau minum obat. 4. KA yang di gunakan : Berdasarkan hasil data objektif dan data subjektif yang telah ditentukan, kami menggunakan KA Model Of Human Occupational (MOHO) untuk strategi pada kasus ini. Dimana pada KA ini OT melihat pasien dalam mengerjakan aktivitas dari 3 subsistem yaitu volition
(kemauan/motivasi),
habituation
(kebiasaan),
dan
performance (keterampilan), sehingga strategi dari KA ini melihat pasien secara kesueluruhan dari 3 subsistem tersebut. E. Perencanaan Terapi 1. Prioritas masalah Berdasarkan hasil dari pemerisaan pasien. Pasien mengalami kurang mampu percaya diri dalam mengambil keputusan dalam melaksanakan aktivitas sejari hari. Sehingga pasien memiliki masalah pada problem solving dan kepercayaan diri. 2. Tujuan Terapi : LTG dan STG
Long Term Goal : Pasien mampu menyelesaikan tugas menjawab soal pada terapi kelompok secara mandiri dalam 6 kali sesi terapi. Short Term Goals : STG 1 : Pasien mampu menyelesaikan tugas menjawab soal pada terapi kelompok sejumlah 5 orang dengan waktu 10 menit dalam 2 kali sesi terapi. STG 2 : Pasien mampu menyelesaikan tugas menjawab soal pada terapi kelompok sejumlah 3 orang dengan waktu 15 menit dalam 2 kali sesi terapi STG 3 : Pasien mampu menyelesaikan tugas menjawab soal secara mandiri dengan waktu 20 menit dalam 2 kali sesi terapi. 3. Aplikasi Strategi Pada kasus ini kami menggunakan kerangka acuan MOHO (Model Of Human Occupational). Kerangka acuan ini merupakan perkembangan dari kerangka acuan perilaku, digambarkan sebagai model holistik untuk latihan, edukasi, dan penelitian. Aplikasi strategi yang digunakan berdasarkan kerangka acuan MOHO adalah melihat pasien dalam melakukan aktivitas secara kesuluruhan yaitu melalui 3 subsistem : a) Volition : mengidentifikasi bagaimana kemauan pasien dalam melakukan aktivitas yang telah diberikan oleh terapis. Sehingga mampu melakukan instruksi dari terapis.
Personal causation : dalam memberikan aktivitas, terapis harus mengetahui dulu kemampuan apa yang dimiliki oleh pasien. Sehingga pasien juga harus
memahami
terhadap
kemampuannya
sendiri apakah dirinya mampu atau tidak dalam melakukan
aktivitas.
Efektif
kemampuan
pasien
dalam
atau
tidak
menyelesaikan
aktivitas yang telah diberikan terapis. Mislanya, pasien diminta terapis untuk melakukan aktivitas meronce
manik-manik
dan
pasien
mampu
melakukannya, maka aktivitas tersebut bisa diberikan oleh pasien.
Values : dalam memberikan aktivitas harus sesuai dengan kepercayaan dan komitmen yang dianut oleh pasien, karena jika aktivitas yang diberikan kepada pasien dianggapnya tidak baik dan tidak penting untuk dilakukan maka pasien tidak akan mau
melakukannya.
Misalnya,
bagi
pasien
aktivitas meroce manik-manik adalah aktivitas yang penting, maka aktivitas meronce manikmanik tersebut bisa diberikan kepada pasien. Karena, meroce manik-manik adalah salah satu aktivitas yang dapat digunakan untuk mengisi
waktu luang sehingga kebosanan yang akan timbul pada pasien dapat di tutupi dengan aktivitas leasure tersebut.
Interest
:
berdasarkan
pemberian
aktivitas
ketertarikannya
juga
atau
harus
hobinya,
sehingga pasien bisa menikmati dan bisa merasa puas terhadap aktivitas yang diberikan. Misalnya, pasien suka dengan aktivitas meronce manik manik, maka aktivitas meronce manik-manik bisa diberikan. Sehingga pasien mampu melakukan aktiviras tersebut tanpa adanya paksaan. b) Habituation : terapis memberikan aktivitas yang nantinya bisa menjadi kebiasaan rutin pasien untuk mengisi waktu luangnya. Misalnya meronce manik-manik.
Habits
:
pasien
merupakan
diberikan
rutinitas
yang
aktivitas dulunya
yang sering
dilakukan dan masih akan dilakukan nantinya. Misalnya,
dulunya
pasien
rutin
melakukan
aktivitas meronce manik-manik pada saat pasien bekerja
menjadi
karyawan,
maka
aktivitas
meronce manik-manik dapat diberikan kepada pasien agar pasien tidak merasa bosan pada saat adanya aktu luang. Sehingga pasien dapat
melakukan aktivitas meroce manik-manik tanpa paksaan dari terapis. Roles : pemberian aktivitas bisa disesuaikan
dengan perannya. Misalnya, pasien dulunya seorang karyawan sebuah pabrik, maka aktivitas yang diberikan harus sesuai dengan kegiatan karyawan yang selalu menggerakkan ekstremitas atas untuk beraktivitas, yaitu meronce manikmanik. Singga pasien tidak mrsa kehilanga pekerjaannya. c) Performance : terapis mengidentifikais bagaimana pasien dalam
melaksanakan
tugasnya,
serta
bagaimana
kemampuannya dan keterampilannya. Misalnya, pada saat aktivitas
meronce
manik-manik
pasien
mampu
menggunakan motoriknya untuk memasukkan benang pada manik-manikya tersebut. Dan pasien mampu juga mengkoordinasikan mata tangannya
pada aktivitas
memasukkan benang pada manik-manik. Sehingga pada saat aktivitas meronce, pasien mampu meronce tanpa adanya kesulitan. Pada terapi ini terapi juga mampu menentukan pilihan mana manik-manik yang tepat untuk di ronce sehingga menjadi accecoris yang bagus.
Constituent of skill : dalam pemberian aktivitas terapis harus mempertimbangkan tentang adanya masalah pada struktur dan fungsi biologis atau tidak.
Skills : terapis dalam memberikan aktivitas harus bisa mengidentifikasi keterampilan apa saja yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu aktivitas, dan apakah keterampilan itu bisa dimiliki oleh pasien atau tidak.
4. Frekuensi Terapi Frekuensi terapi untuk pasien dilakukan selama 2 kali terapi dalam seminggu. 5. Durasi Terapi Durasi untuk melakukan terapi yaitu 20 menit dalam 1 kali sesi terapi. 6. Media terapi Terapi yang akan dilakukan menggunakan aktifitas yaitu berupa aktifitas mengerjakan soal , sehingga media yang akan digunakan dalam proses terapi diantaranya adalah berbagai peralatan menulis seperti kertas, pensil dan penghapus, serta terapis juga menyiapkan petanyaan-petanyaaan untuk dikerjakan pasien. Selain itu terapis juga memberikan instruksi berupa tahap-tahap cara mengerjakan soal yang diberikan terapis.
7. Rencana Pelaksanaan Terapi Berdasarkan tujuan terapi maka rencana terapi yang dilakukan adalah melatih kemampuannya dalam pengambilan keputusan tanpa harus bertanya terlebih dahulu kepada terapis. Rinciannya adalah sebagai berikut : a) Pasien mengambil keputusan dengan konsekuensi ringan yaitu misalnya pasien diberi perintah untuk memilih perlengkapan menulis. Untuk alat tulis sudah disiapkan oleh terapis sehingga pasien harus segera mengambil keputusan untuk memilih alat tulis apa saja yang akan di pakai
untuk
mengerjakan
soal.
Dalam
hal
ini
konsekuensinya ringan karena pasien hanya memilih alat tulis yang akan dipakai, karena pada dasarnya semua alat tulis bisa di pakai untuk menulis. b) Pasien
mengambil
keputusan
dari
berbagai
pilihan
(ditentukan sendiri) dengan konsekuensi sedang yaitu misalnya pasien diberi pilihan oleh terapis untuk memilih soal, namun pasien harus memilih dari 3 soal yang berbeda. Kemudian pasien harus segera mengambil keputusan soal mana yang harus pasien pilih untuk dikerjakan bersama teman kelompoknya. Konsekuensi bisa dikatakan sedang karena kalau pasien tidak segera mengambil keputusan maka pasien tidak akan segera
mengerjakan soal, namun apabila pasien sudah bisa memutuskan soal mana yang akan dikerjakan pasien hanya akan menerima konsekuensi yaitu jika pasien tidak puas terhadap soal yang dipilih. c) Pasien mampu mengambil keputusan yang dibuat sendiri dengan konsekuensi berat yaitu misalnya pasien mampu menentukan jawaban dari teman-teman kelompok untuk jawaban soalnya. Dikatakan konsekuensi berat karena apabila pasien tidak segera memutuskan apa yang akan dipilih untuk jawaban soal tersebut maka pasien dan teman-temannya tidak akan segera menyelesaikan tugas dari terapis, namun apabila pasien sudah menentukan jawaban mana yang akan dipilih untuk menjawab soal dari terapis konsekuensinya ada pada pasien, akan merasa puas atau tidak dengan jawaban teman-temannya. 8. Home Program Home program yang diberikan kepada pasien adalah dari terapis menyarankan kepada anggota keluarga pasien untuk tetap memberikan tugas yang sesuai dengan perannya yaitu ibu rumah tangga, misalnya pasien diberi tugas untuk membersihkan rumah setiap hari seperti menyapu lantai atau halaman, dan mengepel lantai. Pasien diharuskan melaksanakan tugas tersebut dengan rutin tetapi dengan memutuskan sendiri kapan harus melakukan tugas
tersebut diwaktu yang sesuai. Namun anggota keluarga tetap memberikan pengawasan dan melihat apakah hal tersebut memberikan dampak yang baik atau buruk pada pasien. F. Rencana Re-evaluasi Untuk reevaluasi dilakukan setelah beberapa kali pelaksanaan te rapi yang sudah dijalani serta telah mendapatkan home program. Sehingga nantinya akan bisa diketahui apakah aktivitas yang diberikan memberikan dampak yang baik atau buruk bagi pasien.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Pasien berinisial Ny. Wl berumur 27 tahun. Ny. Wl berjenis kelamin perempuan dan beragama Islam. Diagnosis pasien menurut rekam medis adalah pada Aksis I : Skizofrenia (F20), Aksis II : tidak terdapat diagnosis, Aksis III : tidak ada penyakit penyerta, Aksis IV : masalah psikososial dan lingkungan lain, dan Aksis V : GAF 61-50. Berdasarkan pemeriksaan menggunakan MMSE ( Mini Mental Status Examination) diperoleh hasil 26 dari 30 yang berarti pasien tidak ada gangguan kognitif. Berdasarkan pemeriksaan Comprehensive Occupational Therapy Evaluation Scale (COTE) pada bagian I yaitu perilaku umum mendapatkan subtotal 0, pada bagian II yaitu interpersonal mendapatkan subtotal 0, pada bagian III yaitu perilaku melaksanakan tugas mendapatkan subtotal 4. Pada bagian III, pasien mendapat skala 1 pada komponen problem solving , yang berarti pasien mampu menyelesaikan masalah setelah diberi 1 kali bantuan. Pasien memiliki beberapa interest yaitu olahraga, melihat televisi, memasak, jalan-jalan, menyanyi dan mendengarkan musik. J enis peran pasien pada masa lalu adalah seorang pekerja, sekarang menjadi ibu rumah tangga, dan yang akan datang pasien tetap ingin menjadi ibu rumah tangga. Pada kasus ini, kami menggunakan Kerangka Acuang MOHO (Model Of Human Occupational). Dan pada KA ini okupasi terapi melihat kemampuan pasien
dalam melakukan aktivitas berdasarkan 3 subsistem yaitu
Volition,
Habituation, dan Performance.
B. Saran 1. Keluarga Keluarga pasien disarankan untuk memberikan aktivitas sesuai dengan aktivitas yang disukai oleh pasien dan aktivitas yang telah disarankan oleh terapis agar pasien dapat kembali melakukan perannya sebagai ibu rumah tangga. 2. Terapis Dalam pemberian aktivitas atau terapi, terapi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pasien, juga harus sesuai dengan interest pasien agar meningatkan motivasi kepada aktivitas yang diberikan, dan aktivitas atau terapi tersebut memberikan dampak yang progresif bagi pasien. 3. Masyarakat Dalam hal ini, apabila masyarakat menemui pasien dengan kondisi keterbatasan atau gangguan mental dan jiwa disarankan untuk tidak memperlakukannya secara diskriminasi, tetapi harus dapat bekerjasama agar pasien tersebut mampu kembali menjalankan perannya di keluarga maupun dimasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bruce, M. A., & Borg, B. (2002). Psychosocial Frame of Reference : Core For Occupation-based Practice. USA. Slack