BAB I PENDAHULUAN Pneuomonia masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia (Afrika dan Asia Tenggara). Di Indonesia sendiri terjadi kematian bayi sebesar 27,6% dan kematian balita sebesar 22,8% karena pneumonia. Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang, diantaranya: pneumoni yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasibakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok). Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru, yang sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil oleh karena hal lain (aspirasi). Pneuomonia oleh karena bakteri biasanya awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. Bakteri yang paling sering sebagai penyebab pneumonia di negara berkembang adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus. Berdasarkan tempat infeksi, dikenal 2 bentuk pneumoniae, yaitu: pneumonia masyarakat (community acquaired pneumonia) – infeksi yang terjadi di masyarakat, pneumonia RS/nosokomial (hospital acquaired pneumonia) – infeksi yang terjadi di RS.
BAB II BRONKOPNEUMONIA 2.1. DEFINISI Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru; peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal.1 Walaupun banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk merumuskan satu definisi tunggal yang universal. Pneumonia adalah sindrom klinis, sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya. Salah satu definisi klinis klasik menyatakan pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah, dengan gambaran infiltrat pada foto rontgen toraks.2 Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang maksudnya lebih kurang sama. Banyak yang menganut pengertian bahwa pneumonia adalah inflamasi paru karena proses infeksi sedangkan pneumonitis adalah inflamasi paru non-infeksi. Namun hal inipun tidak sepenuhnya ditaati oleh para ahli.2
ANATOMI Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap usia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau partikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiolus terminalis membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru. Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari epitel kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting dalam mekanisme pertahanan paru. Sel goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan seperti
bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi sputum. Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari
bronkhiolus distal sampai
terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli. Pada pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat dibanding pulmo sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut incissura interlobaris dalam beberapa Lobus Pulmonis. Pulmo dekstra dibagi menjadi 3 lobi, yaitu: 1. Lobus Superior Dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior 2. Lobus Medius Dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis 3. Lobus Inferior Dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal, laterobasal, posterobasal Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu: 1. Lobus Superior Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior, lingularis inferior. 2. Lobus Inferior Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal, dan posterobasal MEKANISME PERTAHANAN PARU Saluran napas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun bersebelahan dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati orofaring dan terpajan oleh mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara yang dihirup. Sterilitas saluran napas bagian bawah adalah hasil mekanisme penyaringan dan pembersihan yang efektif. 3
1. PEMBERSIHAN UDARA Temperatur dan kelembapan udara bervariasi, dan alveolus harus terlindung dari udara dingin dan kering. Mukosa hidung, turbinasi hidung, orofaring dan nasofaring, mempunyai suplai darah yang besar dan memiliki area permukaan yang luas. Udara yang terhirup melewati area-area tersebut dan diteruskan ke cabang trakeobonkial, dipanaskan pada temperatur tubuh dan dilembapkan. 3 2. PEMBAU Reseptor pembau berada lebih banyak di posterior hidung dibandingkan dengan di trakhea n alveoli, sehingga seseorang dapat mencium untuk mendeteksi gas yang secara potensial berbahaya, atau bahan-bahan berbahaya di udara yang dihirup. Inspirasi yang cepat tersebut membawa udara menempel pada sensor pembau tanpa membawanya ke paru-paru. 3 3. MENYARING DAN MEMBUANG PARTIKEL YANG TERHIRUP Udara yang melewati saluran traktus respiratorius awalnya difiltrasi oleh bulu hidung. Gerakannya menyebabkan partikel berukuran besar dapat dikeluarkan. Sedimentasi partikel berukuran lebih kecil terjadi akibat gravitasi di jalan nafas yang lebih kecil. Partikel-partikel tersebut terperangkap dalam mukus yang ada di saluran pernafasan atas, trakhea, bronkus dan bronkhiolus. Partikel kecil dan udara iritan mencapai duktus alveolaris dan alveoli. Partikel kecil lainnya disuspensikan sebagai aerosol dan 80% nya dikeluarkan. 3 Pembuangan partikel dilalui dengan beberapa mekanisme : - Refleks jalan nafas : refleks batuk, refleks bersin dan refleks glottis Stimulasi reseptor kimia dan mekanik di hidung, trakhea, laring, dan tempat lain di traktus respiratorius menyebabkan bronkokonstriksi untuk mencegah penetrasi lebih lanjut dari iritan ke jalan nafas dan juga menghasilkan batuk atau bersin. Bersin terjadi akibat stimulasi reseptor di hidung atau nasofaring, dan batuk terjadi sebagai akibat stimulasi reseptor di trakhea. Inspirasi yang dalam demi mencapai kapasitas paru total, diikuti oleh ekspirasi melawan glotis yang terutup. Tekanan intrapleura
dapat meningkat lebih dari 100mmHg. Selama fase refleks tersebut glotis tiba-tiba membuka dan tekanan di jalan nafas menurun cepat, menghasilkan penekanan jalan nafas dan ekspirasi yang besar, dengan aliran udara yang cdepat melewati jalan nafas yang sempit, sehingga iritan ikut terbawa bersama-sama mukus keluar dari traktus respiratorius. Saat bersin, ekspirasi melewati hidung; saat batuk ekspirasi melewati mulut. Kedua refleks tersebut juga membantu mengeluarkan mukus dari jalan nafas. 3
- Sekresi trakheobronkial dan transport mukosilier Sepanjang traktus respiratorius dilapisi oleh epitel bersilia dimana terdapat mukus yang dihasilkan oleh sel goblet. “Eskalator mukosilier” adalah mekanisme yang penting dalam menghilangkan dalam menghilangkan partikel yang terinhalasi. Partikel terperangkap dalam mukus kemudian dibawa ke atas kefaring. Pergerakan tersebut dapat meningkat cepat selama batuk. Mukus yang mencapai faring dikentalkan atau dikeluarkan melalui mulut atau hidung. Karenanya, pasien yang tidak bisa mengeluarkan sekret trakheobronkial (misal tidak dapat batuk) terus menghasilkaan sekret yang apabila tidak dikeluarkan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. 3 4. MEKANISME PERTAHANAN DARI UNIT RESPIRASI TERMINAL - makrofag alveolar - pertahanan imun Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan unit-unit yang dibentuk melalui percabangan progresif jalan napas. Kurang lebih 80% sel yang membatasi jalan napas di bagian tengah merupakan epitel bersilia, bertingkat, kolumner dengan jumlah yang semakin berkurang pada jalan napas bagian perifer. Masing-masing sel bersilia memiliki kira-kira 200 silia yang bergerak dalam gelombang yang terkoordinasi kira-kira 1000 kali per menit, dengan gerakan ke depan yang cepat dan kembali dalam gerakan yang lebih lambat. Gerakan silia juga terkoordinasi antara sel yang bersebelahan sehingga setiap gelombang disebarkan ke arah orofaring. 3
Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa permukaan hidung sebelah distal biasanya akan dibersihkan pada saat bersin, sementara partikel yang terkumpul pada permukaan bersilia yang lebih proksimal akan disapukan ke sebelah posterior ke lapisan mukus nasofaring, saat partikel tersebut ditelan atau dibatukkan. Penutupan glottis secara refleks dan batuk akan melindungi saluran napas bagian bawah. Partikel infeksius yang melewati pertahanan di dalam saluran napas dan diendapkan pada permukaan alveolus dibersihkan oleh sel
fagosit dan faktor
humoral. Makrofag alveolar merupakan fagosit utama di dalam saluran napas bagian bawah. Makrofag alveolar akan menyiapkan dan menyajikan antigen mikrobial pada limfosit dan mensekresikan sitokin yang mengubah proses imun dalam limfosit T dan B. 3
2.2. EPIDEMIOLOGI Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau di dalam rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia nosokomial/PN). 4 Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotik secara empiris. 1
2.3. KLASIFIKASI Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan
bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. 5 a. Berdasarkan lokasi lesi di paru Pneumonia lobaris Pneumonia lobularis Pneumonia intersitialis b. Berdasarkan asal infeksi Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired pneumonia) Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital based pneumonia) c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab Pneumonia bakteri Pneumonia virus Pneumonia mikoplasma Pneumonia jamur d. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia Pneumonia tipikal Pneumonia atipikal e. Berdasarkan lama penyakit Pneumonia akut Pneumonia persisten
Klasifikasi berdasarkan Lingkungan dan Pejamu Tipe Klinis
Epidemiologi
Pneumonia Komunitas
Sporadis atau endemis; orang tua atau orang muda
Pneumonia Nosokomial
Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens
Terdapat dasar penyakit paru kronik
Pneumonia Aspirasi
Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan imun
Pasien transplantasi, onkologi, AIDS
2.4. ETIOLOGI Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung : 5
a. Usia b. Status imunologis c. Status lingkungan d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara) e. Status imunisasi f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi) Usia pasien mrupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam sprectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di negara maju : 5,6 Usia Lahir – 20 hari
Etiologi tersering
Etiologi terjarang
Bakteri : E.colli,
Bakteri : Bkateri anaerob,
Streptococcus grup B, Listeria
Streptococcus grup D,
monocytogenes
Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae Virus : CMV, HMV
3 minggu – 3 bulan
Bakteri : Clamydia
Bakteri : Bordetella pertusis,
trachomatis, Streptococcus
Haemophilus influenza tipe B,
pneumoniae
Moraxella catharalis, Staphylococcus aureus
Virus : Adenovirus, Influenza, 4 bulan – 5 tahun
Parainfluenza 1, 2, 3
Virus : CMV
Bakteri : Clamydia
Bakteri : Haemophilus
pneumoniae, Mycoplasma
influenza tipe B, Moraxella
pneumoniae, Streptococcus
catharalis, Staphylococcus
pneumoniae
aureus, Neisseria meningitidis
Virus : Adenovirus, Rinovirus,
Virus : Varicela zoster
Influenza, Parainfluenza 5 tahun - remaja
Bakteri : Clamydia
Bakteri : Haemophilus
pneumoniae, Mycoplasma
influenza, Legionella sp.
pneumoniae
2.5. PATOGENESIS Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang umum adalah pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus. 3 Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobunlin lain. 5 Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Berikutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, dimana sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. 5 Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler. Diameter jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis, edema intersitial, dan ventilation-perfusition mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko terhadap infeksi bekteri sekunder dengan mengganggu mekanisme pertahanan normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial. 5
Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik bervariasi tergantung organisme yang menginvasi. M. penumoniae menempel pada epitel respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler dan memicu respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan onstruksi jalan napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema lokal yang membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru. 7,8 Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeksi yang lebih difus dengan pneumonia intersitial. Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang compang-camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi dengan cepat menjadi jelek yang disertai dengan morbiditas yang lama dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih mencolok pada sati sisi ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur. 1
2.6. MANIFESTASI KLINIK Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman penyebab, usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik), gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut.3 Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping hidung, takipnu, dispnu, dan timbul apnu. Otot bantu napas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. 2 Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tata laksana pneumonia.
Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Tim WHO telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari normal serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkan sebagai pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan perawatan dengan pemberian antibiotik. Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai nilai diagnostik karena umumnya kelainan patologinya menyebar; suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. 2 Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah halus yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada bayi dan balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan sulit untuk diidentifikasi. 2 Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. 2 Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.
2.6.1. Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS. infeksi juga dapat terjadi karena kontaminasi dari komunitasnya. Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak, mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan keadaan sepsis dan meningitis. 6
2.6.2. Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita dan anak yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadangkadang keluhan gastrointestinal (muntah dan diare). Secara klinis gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrwaing), napas cuping hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersama konjungtivitis, otitis media,
faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Bila terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan dada juga terganggu bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan semakin bertambah, tetapi nyeri pleura akan semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul. 6 Kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri ini dapat menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai appendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerografi atau ileus paralitik. Hati akan teraba bila tertekan oleh diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai akibat komplikasi pneumonia. 6
2.6.3. Pneumonia atipik Mikroorganisme penyebab adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia spp, Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab potensial infeksi respiratori dan pneumonia pada anak, terutama pada anak usia sekolah dan remaja. Chlamydia trachomatis sering ditemukan sebagai penyebab infeksi akut respiratori pada bayi melalui transmisi vertikal (proses kersalinan) dan merupakan etiologi infeksi perinatal yang penting. Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum jarang dilaporkan menyebabkan ifeksi pada anak. 6
2.6.3.1. Infeksi oleh Mycoplasma pneuoniae Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat (di asrama, keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang sangat banyak). Masa inkubasi lebih kurang 3 minggu. Gambaran klinis pneumonia atipik didahului dengan gejala menyerupai influenza (influenza like flu syndrome) seperti demam (jarang lebih dari 380C), malaise, sakit kepala, mialgia, tenggorokan gatal dan batuk. Kadang-kadang dapat sembuh sendiri, tetapi kasus berat seperti severe necrotizing pneumonitis dengan konsolidasi luas pada jaringan paru dan efusi pleura pernah dilaporkan. Kadang dapat berlanjut menjadi bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia. 6 Batuk terjadi 3-5 hari setelah awitan penyakit, awalnya tidak produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum mungkin berbercak darah dan batuk dapat
menetap hingga berminggu-minggu. Mengi dapat ditemukan pada 30-40% kasus pneumonia mikoplasma dan lebih sering ditemukan pada anak yang lebih besar. Kultur bakteri memerlukan waktu 2 minggu dan uji serolig hanya bermanfaat bila telah terjadi pembentukan antibodi (ketika penyakit telah sangat berkembang). Gambaran foto rontgennya sangat bervariasi, meliputi gambaran infiltrat intersisial, retikuler, retikulonoduler, bercak konsolidasi, pembesaran kelenjar hilus, dan kadang-kadang disertai efusi pleura. 6
2.6.3.2. Infeksi oleh Chlamydia penumoniae Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering, mialgia, sakit kepala, malaise, pilek, dan demam yang tidak tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi dada tidak ditemukan kelainan. Gejala respiratori umunya tidak mencolok. Leukosit darah tepi biasanya normal. Gambaran foto rontgen toraks menunjukan infiltrat difus atau gambaran peribronkial nonfokal yang jauh lebih berat daripada gejala klinis. Pneumonia Klamidia lebih sering ditemukan di daerah tropis, bersifat endemik, dan epidemik dengan interval 3-4 tahun. Infeksi Klamidia juga dapat berperan dalam patogenesis asma. 6
2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG a) Darah Perifer Lengkap Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis ( 15.000 – 40.000/mm3 ). Dengan prdominan PMN. Leukopenia ( < 5000/mm3 ) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan eksudat berkisar 300-100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan LED yang meningkat. Secara umum hasil peneriksaan darah perifer lengkap tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti. 6
b) C- Reaktif Protein ( CRP ) CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin,
terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak. 6 Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis atau profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus atau infeksi superfisialis daripada profunda. 6
c) Uji Serologis Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik seperti Mycoplasma dan chlamydia tampak peningkatan anibodi IgM dan IgG. 6
d) Pemeriksaan mikrobiologis Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. 6 Kultur darah jarang positif pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia. 6
e) Pemeriksaan rontgen Thoraks Secara umum gambaran oto thoraks terdiri dari : Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler, peribronchial cuffing dan hiperaerasi. 6 Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus ( pneumonia lobaris ), atau terlihat sebagai lei tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas, menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia. 6 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial. 6 Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu penelitian, ditemukan bahwa lesi
pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di pru kiri dan terbanyak di olbus bawah, hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih besar. 6
2.8. DIAGNOSIS Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau serologis merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorim yang memadai. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea, batuk, nafas cuping hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta didukung oleh gambaran radiologis. 6 Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam upaya peanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana pneumonia yang sederhana. 6 Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut. 6,8 Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun o Pneumonia sangat berat
Tidak dapat minum/makan
Kejang
Letargis
Malnutrisi
o Pneumonia berat
Bila ada sesak nafas, ada retraksi
Harus dirawat dan diberikan antibiotik
o Pneumonia
Bila tidak ada sesak nafas
Ada nafas cepat dengan laju nafas
> 50 x / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
> 40 x / menit untuk anak usia >1-5 tahun
Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
o Bukan pneumonia
Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas.
Bayi berusia dibawah 2 bulan o Pneumonia sangat berat
Tidak mau menetek/minum
Kejang
Letargis
Demam atau hipotermi
Bradipnea atau pernapasan ireguler
o Pneumonia harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bila ada nafas cepat ( > 60 x / menit ) atau sesak nafas
Retraksi
Harus dirawat dan diberikan antibiotik
o Bukan pneumonia
Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis
2.9. KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi tersering oleh pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase juga meningkat, dan gagal jantung) juga dilaporkan cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. 6
2.10.PENATALAKSANAAN Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,disters pernafasan, tidak mau makan atau
minum,
atau
ada
penyakit
dasaryang
lain,
komplikasi,
dan
terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. 6 Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemeberin cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan
demam dapat diberikan analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. 6 Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. 6 a. Pneumonia Rawat Jalan Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol. 6 Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan bakteri atipik. Dosis eritromisin 3050 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali sehari dengan dosis 15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari (hari pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya. 6 b. Pneumonia Rawat Inap Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta laktam, ampisilin atau amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol. Antibiotik yang diberikan berupa : Penisilin G intrvena ( 25.000 U/kgBB setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6 jam ), dan seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya diberikan selama 10 hari. 6
2.12.PREVENTIF 2.12.1. Pencegahan Primer Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: 9 a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT (Dipteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan. b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita. Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu mendapat perhatian.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar ruangan. d. Mengurangi kepadatan hunian rumah. 2.12.2. Pencegahan Sekunder Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan ternjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: 9 a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral dan penambahan oksigen. b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin, atau amoksisilin. c. Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi antibiotik. Bila demam tinggi diberikan paracetamol. Bersihkan hidung pada anak yang mengalami pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan. 2.12.3. Pencegahan Tersier Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita, mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan. Upaya yang dilakukan dapat berupa : 9 a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak memburuk. b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan kematian.
2.13.PROGNOSIS Dengan pemberian antiboitik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi. 1
DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim. Bronkopneumoni. Diunduh dari : http://id.scribd.com 2. Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006. Diunduh dari : Sari Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6 3. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 1997. Hal 633. 4. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1999. hal: 695-705. 5. Pedoman Diganosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005 6. Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter Anaka Indonesia. Jakarta: 2008.h.350-64. 7. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Bandung: 2005. 8. Pedoman Pelayan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010. 9. Definisi Pneumoni. Diunduh dari : Chapter II.pdf