PERSEPSI BUDAYA
1. Persepsi
Persepsi secara falsafah mengandung arti cara memberikan makna (John R. Wienburg dan William W.Wilmot dalam Purwasito, 2003: 172) sedangkan menurut Mulyana (2002: 167), persepsi itu muncul karena setiap penilaian dan pemilihan seseorang terhadap orang lain diukur berdasarkan penyertaan budaya sendiri. Dengan persepsi, peserta komunikasi akan memilih apa-apa yang diterima atau menolaknya. Persepsi yang sama akan memudahkan peserta komunikasi mencapai kualitas hasil komunikasi yang diharapkan. Del Vito (1997: 31) menjelaskan bahwa persepsi bermula dari diri sendiri dalam bertemu dengan orang o rang lain, berpengaruh terhadap indera melalui umpan balik yang berharga (kesadaran) yang mengenai perasaan, pemikiran dan prilaku kita sendiri. Daripada perjumpaan tersebut lahir suatu kesadaran tertentu yaitu yaitu bahwa perasaan kita ternyata tidak jauh berbeda de ngan perasaan o rang lain. Hal ini adalah pengukuhan pe ngukuhan positif yang membantu diri seseorang merasa biasa saja hidup dalam lingkungan berbagai budaya. Oleh itu, Philip Goodacre dan Jennifer Follers menyebut persepsi sebagai proses mental yang digunakan untuk mengenali rangsangan (dalam Mulyani 2002: 168) Dalam pengertian yang sederhana, persepsi adalah dimana setiap individu memilih mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan (stimuli) yang berasal dari dunia luar. Persepsi adalah proses dimana kita mempertahankan hubungan dengan dunia dilingkungan kita, karena kita biasanya mampu mendengarkan, melihat mencium, menyentuh dan merasa. Kita dapat menyadari apa yang terjadi di luar kita sebenarnya apa yang kita lakukan adalah menciptakan citra dari segi fisik dan objek sosial serta peristiwa yang kita temukan dalam lingkungan. Dengan kata lain, persepsi adalah sebuah proses internal dikarenakan pergantian energi-energi yang berasal dari dalam sekitar menjadi pengalaman yang penuh arti (Singer, 1987 dalam Samovar dan Porter, 2003: 11). Tahap penting dari persepsi menyangkut pemberian arti kita objek sosial dan peristiwa dalam lingkungan. Objek sosial dan kejadian dapat sangat berubah dalam kemampuan untuk memberikan pengertian yang luas menurut individu dan kebudayaan individu. Sifat alami budaya, bagaimanapun memperkenalkan kepada kita pengalaman yang tidak sama. Menurut Sarbaiugh (1998) dalam Samover,et,al. (2006: 12-14) bahwa ada tiga elemen pokok persepsi budaya yang memiliki tiga pengaruh besar dan langsung terhadap t erhadap individu-
individu peserta komunikasi antarbudaya. Yang pertama adalah pandangan budaya dunia (kepercayaan, nilai sistem tingkah laku), kedua sistem lambang (verbal dan non verbal) dan ketiga organisasi sosial (keluarga dan institusi).
1.1. Pandangan Dunia
Untuk memahami dunia, nilai-nilai dan tindakan tindakan orang lain kita harus memahami kerangka persepsinya. Dalam berkomunikasi antar budaya yang ideal kita berharap banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi budaya. Tetapi karakter budaya berkecenderungan memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang tidak sama atau berbeda berdasarkan pandangan dunia (word view) yang terbentuk semula. Oleh sebab itu ia membawa persepsi budaya yang berbeda-beda pada dunia luar budaya sendiri. Kemudian, cara budaya mengoorganisasikan dirinya dan lingkungannya juga berpengaruh terhadap anggota budayanya dalam mempersepsi dunia dan cara mereka berkomunikasi. Menurut kajian-kajian yang telah dilakukan, didapati bahwa keluarga dan sekolah merupakan dua elemen yang dominan dalam membentuk dan mengubah persepsi budaya individu (Galvin dan Brommel, 1991; Crippen dan Leah Brew, 2007; saurbaugh, 1988; Mulyana, 2001; Susiyanto, 2006; Pelly, 2003). Menurut Mulyana dan Rakhmat (2000: 28), pandangan dunia merupakan dasar dari suatu budaya. Impaknya mempengaruhi kepercayaan/agama, nilai-nilai, prilaku penggunaan waktu dan banyak aspek budaya lainya. Oleh itu, pandangan budaya membentuk budaya dan berfungsi untuk membedakan satu budaya dengan budaya yang liannya. Penington (1985) menyatakan bahwa pandangan dunia merupakan yang tertinggi walaupun bukan yang pertama dan menjadi keutamaan dalam kajian mengenai budaya karena hal tersebut mencakup semua komposisi budaya (dalam Satoshi Ishii,et,al. 1999: 302-317). Sedangkan menurut Parsudi Suparlan (1981), budaya suatu masyarakat biasanya mengandung potensi daya tenaga yang membentuk corak atau warna sikap mental dan watak yang khas (budaya) bagi individu-individu kelompok masyarakatnya. Rata-rata sikap mental daripasa suatu kelompok masyarakatnya memiliki persamaan antara satu individu dengan individu lainnya. Namun jika berbeda budaya, akan berbeda pula keunikannya dan pandangan dunia yang terbentuk. Pada giliranya akan membedakan pula sikap mental individu yang berasal daripada satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainya. Paige dan Martin (1996) menjelaskan bahwa pandangan dunia merupakan satu lensa daripada pandangan manusia yang memandang realitas dunia dan tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling dasar dari pada satu
1
budaya. Dengan cara-cara yang tidak terlihat dan tidak nyata, pandangan dunia sangat mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Oleh itu, sebagai anggota dari suatu budaya, setiap pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam pada orang yang sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lainnya memandang dunia sebagaimana dia memandangnya. Pandangan dunia membentuk budaya dan berfungsi untuk membedakan satu budaya dengan budaya lainya. Penington (1985) menyatakan bahwa pandangan dunia merupakan yang tertinggi walaupun bukan yang pertama dan menjadi prioritas dalam studi mengenai budaya karena hal tersebut mencakupi semua komposisi budaya.
1.1.1. Agama dan Sistem Kepercayaan
Menurut Khaldun (1962: 26), emosi keagamaan sebagai sumber elementer dalam kehidupan keagamaan manusia bersumber pada kesadaran kolektif manusia. Fungsi sosial agama dapat memperkuat struktur sosial dan prinsip-prinsip moral masyarakat agama/ sistem kepercayaan manusia berperan untuk memperbaiki akhlak manusia. Seperti mana temuan Emerson (1996) dimana agama memiliki pengaruh yang penting mengenai seseorang. Agama menjelaskan apa yang seharusnya dan memadukan semuanya dengan alam semesta/ persekitaran. Peranana agama dalam etnis manapun merupakan unsur utama karena agama mengandung
nilai-nilai
universal
yagn
berisikan
pendidikan
dan
pembinaan
dan
pembentukan moral dalam keluarga. Rumah dijadikan aktivitas ritual keagamaan seperti sholat bagi agama islam, pemujaan leluhur bagi agama konghucu (Tionghoa). Penemuan Susiyanto (2006: 93), bahwa: interaksi agama dalam kalangan keluarga, etnis Tionghoa tidak membedakan satu agama dengan agama lainya. Orang tua memberikan kebebasan beragama kepada anggota keluarga. Agama Kristen Protestan, Katolik dan Budha menjadi pilihan utama, berikutnya baru agama islam. Sedangkan agama Budha merupakan wadah gabungan ajaran Konghucu dan bukan suatu peralihan agama, maka mereka berkecenderungan menyatakan sebagai penganut Budha. Bagi etnis Tionghoa tidak ada halangan untuk tetap melaksanakan ajaran-ajaran nenek moyangnya karena merupakan adat istiadat yang tidak mungkin dilepaskan (hal ini serupa denga ajaran Budha). Susiyanto juga mendapati: bahwa etnis Tionghoa yang beragama Islam, sebahagian besar bukan karena faktor keluarga melainkan faktor pergaulan dengan etnis pribumi yang beragama islam. Kenyataan ini menguatkan bahwa kewujudan mereka dapat diterima oleh etnis lain dengan
2
ditunjukkan adanya persamaan keyakinan. Menurut beliau umumnya etnis Tionghoa yang menganut agama Islam sangat sukar karena berkaitan perubahan identitas budaya.
1.1.2. Nilai
Nila merupakan norma dimana suatu etnis memberitahukan pada seseorang anggotanya mana yang baik dan yang tidak boleh. Meskipun memiliki penilaian yang unik tentang nilai, tetapi nilai-nilai itu tidak bersifat universal karena kecenderungannya berbeda antara satu budaya dengan budaya lainya, dan nilai-nilai itu dipelajari. Nilai-nilai merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dipegang oleh partisipan-partisipan komunikasi antarbudaya karena nilai-nilai mengembangkan standar-standar dan memandu membangun tingkat layak atau tudaknya di dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya adalah aspek penilaian daripada sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Nilai-nilai tersebut pada dasarnya bersifat normatif, yang dapat menjadi rujukan kepada anggota budaya tentang perkara yang baik, buruk, benar,salah, positif, negatif dan sebagainya. Nilai-nilai budaya juga menekankan perilaku-perilaku yang penting dan harus dikesampingkan. Nilai-nilai budaya adalah suatu aturan yang tersusun untuk membuat pilihan-pilihan dan mengurangkan konflik dalam masyarakat (Mulyana, 2000: 27) Menurut Lubis (1999: 152-153), nilai merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dipegang oleh peserta-peserta komunikasi antar budaya karena nilai mengembangkan kepiawaian dan membantu membangunkan tahap kelayakan atau tidaknya didalam masyarakat. Hal tersebut sebagai mana temuan beliau, bahwa: dalam budaya Tionghoa, mengenal hubungan segi tiga yaitu hubungan konfusius, keluarga dan kerja. Penanaman moral pertama sekali harus terjadi dalam keluarga, karena apabila didalam keluarga terjadi hubungan yang serasi maka masyarakat dunia akan tertib dan damai. Kerja ditunjukkan oleh ajaran Jen untuk membuat orang rajin berkerja dan mengejar serta menyimpan kekayaan. Ajaran tentang kerja memberikan pengaruh kepada keluarga, seperti kerja untuk bakti, kebahagiaan, dan kesetiaan keluarga. Etos kerja pada etnis Tionghoa terletak pada keinginan untuk bakti kepada keluarga dan memperoleh pahala kelak di akhirat. Nilai-nilai budaya yang berbeda dan tidak dapat dipahami oleh sekelompok berbagai budaya dari mana-manapun asalnya akan menyebabkan konflik, yang berakhir dengan kekerasan, peperangan saudara, perang antar suku bangsa, perilaku anarkhi dan lain-lain. Seperti contohnya: Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Gerakan Anti Tionghoa, kejadian Ambon, sampit dan lain-lain. Hal ini bermula pada adanya kecenderungan setiap masyarakat memandang kelompoknya, daerah, provinsinya bahkan negaranya sebagai yang paling baik,
3
sebagai yang palig bermoral. Pandangan ini menuntut kesetiaan yang pertama dan melahirkan kerangka rujukan yang menilai kewujudan kerangka rujukan yang lain. Apabila hal ini dikesampingkan maka akan menjadi halangan dalam berkomunikasi antar budaya. Samovar,et,el (2006: 11-12) memandang nilai-nilai budaya yang diyakini secara berlebihan pada masyarakat sukubangsa akan menyebabkan berkembangnya etnosentrisme pada
kelompok
tersebut.
Sebagaiman
kita
ketahui
bahwa
etnosentrisme
adalah
kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan ukuran kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk segala penilaian. Rogers dalam (Mulyana dan Rahkma, 2000: 76-77), mendapati: semakin besar persamaan kita dengan orang lain/kelompok lain maka semakin dekat kita dengan mereka. Sebaliknya, semakin besar perbedaan maka semakin jauh kita dengan mereka. Artinya adalah para peserta dalam tindakan komunikasi harus mampu saling memahami karakter masingmasing dengan jalan membangun isu komunikasi sebagai person to person contact. Seterusnya Purwasito (2003: 178-179), mengatakan bahwa “ketidakharmonian da n disentegrasi biasanya muncul karena adanya perbedaan informasi yang besar, terhalangnya komunikasi sosial budaya serta sikap-sikap sinis dan persaingan yang didasarkan bukan atas prestasi tetapi rasa kalah dan tidak percaya diri”. Prasangka menjadi jarak sosial atara berbagai kelompok dalam masyarakat yang berkecenderungan adaptif, tidak fleksibel, besikap tertututp dan tidak mau membuka diri disebabkan berbagai alasan yang kurang rasional.
1.1.3. Perilaku
Perilaku atau sitem tingkah laku adalah perwujudan daripada kepercayaan dan nilainilai yang dipedomani oleh setiap individu. Tingkah laku dibentuk oleh sebuah proses belajar dari kebudayaan yang membentuk komponen evaluasi dan sebuah intensitas atau komponen harapan. Lewat ketigak omponen inilah terbentuk re alisasi objek yang ada di lingkungan kita. Menurut Ruben (1984: 129-155) perwujudan dari tingkah laku itu adalah melalui simbolsimbol verbal seperti bahasa yang digunakan baik lisan maupun tulisan dan melalui simbol non verbal seperti gerakan tubuh, penampilan, persepsi indrawi. Seterusnya menurut Paige dan Marrtin (1996) mengatakan bahwa pandangan dunia merupakan salah satu lensa dalam manusia memandang realita dunia dan tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan bersifat abadi dan merupakan landasan paling mendasar bagi suatu budaya. Dengan cara-cara tidak terlihat an tidak nyata, pandangan dunia sangat mempengaruhi komunikasi antarbudaya.
4
Oleh karenanya sebagai anggota dari suatu budaya, setiap pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam pada jiwa yang sepenuhnya dinggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lainya memandang sebagaiman ia memandang. Menurut Sarbaugh (1988) perbedaan corak perilaku dan kepercayaan dalam kalangan manusia selalunya ditentukan secara stereotip berdasarkan masalah yang dipelajari dari pengalaman sepanjang hidupnya. Satu yang menarik dari kajian Thung Yu Lan (1999b: 21- 35) menunjukkan bahwa “ untuk kasus orang Tionghoa yang telah berganti agama menjadi islam tetap saja stereotip yang timbul daripada sebahagian orang pribumi indonesia sebagai hanya sebagai strategi untuk dapat berniaga secara lebih meluas dengan menguntungkan orang Tionghoa dibawah simbol agama Islam. Apa yang timbul disini yaitu adanya prasangka yang condong negatif yang berdampak kepada diskriminasi sosial. Sangat disadari bahwa diskriminasi merupakan faktor yang merusak kerjasama antara manusia maupun komunikasi antara mereka.
1.2. Sistem Lambang
Menurut Ruben (1984: 129-155) perwujudan dari perilaku itu adalah melalui sistem lambang yang digunakan seperti melalui percakapan, bertulis dan melalui isyarat badan (bahasa tubuh) penampilan dan lain-lainnya. Budaya membingkai komunikasi dengan secara langsung mempengaruhi isi dan susunannya. Penggunaan sistem lambang seperti bahasa lisan sehari-hari misalnya, oleh Forgas (1988) mencatat sebagai suatu peristiwa komunikasi dimana orang-orang setiap harinya saling berhubungan dari budaya yang sangat spesifik. Contohnya, dalam mengucapkan atau memberi salam banyak budaya berbeda dalam peraktiknya. Bahasa merupakan media utama yang digunakan budaya untuk menyampaikan maksud dan tujuan melalui interaksi diantara individu. Bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa sebagai peta realitas budaya yang tidak dapat dialihkan secara sempurna kedalam suatu bahasa lain. Bahkan satu katapun tiada secara tepat dapat dicarikan padanannaya dalam bahasa lain. Sedikit banyaknya ada nuansa hilang ketika kata diterjemahkan kedalam kata dalam bahasa lain tersebut. Kesulitan-kesulitan itu disebabkan oleh beberapa faktor: 1) kata-kata memiliki lebih dari satu makna, 2) banyak kata terikat budaya dan tidak dapat diterjemahkan secara langsung, 3) orientasi budaya dapat membuat terjemah langsung menjadi tidak masuk akal
5
dan, 4) mungkin suatu budaya ridak memiliki latarbelakang yang memungkinkan terjemahan pengalaman dari budaya lain (dalam Mulyana, 2004: 109-110) Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Oleh karenanya bahasa merupakan suatu sistem yang tidak pasti untuk mengajukan realitas secara simbol. Hal mana ini diakui oleh Ruben (1975: 171) bahwa komunikasi adalah suatu proses yang mendasari intersubjektivitas suatu fenomena yang terjadi akibat simbolisasi publik dan penggunaan serta penyebaran simbol. Melalui komunikasi individu-individu ‘menyetel’ perasaan-perasaan, pikiran-pikiran dan perilaku-perilaku antara satu dengan yang lainya (dalam Mulyana 2000: 142). Selanjutnya makna kata sangat bergantung pada berbagai penafsiran individu-individu yang berkomunikasi. Misalnya kata ‘awak’, dalam bahasa indonesia sebagai kata ganti saya, sedangkan di Malaysia kata ‘awak’ berarti kamu. Menurut Gudykunts dan Kim (1984), untuk menjembatani ini semua, pesan harus jelas dan komunikator harus tahu apa yang ingin dibicarakan agar terjadi penerimaan yang benar-benar cermat atas kandungan pesan oleh si komunikan. Selain itu, pola-pola berpikir oleh suatu budaya dituntut sebagaimana individu-individu dalam budaya yang berbeda itu berkomunikasi. Begitupun beliau mengatakan bahwa kita tidak dapat mengharapkan orangorang akan menggunakan pola-pola berpikir yang sama dalam memahami sebuah makna pesan disebabkan faktor-faktor kerumitan diatas. Selanjutnya, dalam proses pengembangan hubungan, anggota dari kebudayaan konteks tinggi (budaya timur seperti Indonesia dan Cina), untuk mengurangi ketidakpastian mereka menggunakan sedikit makna verbal dan lebih makna nonverbal daripada yang dilakukan kebudayaan konteks rendah (budaya barat). Bagi kebudayaan konteks tinggi, mereka memiliki tingkat ketelitian yang relatif tinggi dalam memprediksikan perilaku orang lain, karena informasi diinternalisasikan oleh tiap-tiap anggota sebagai akibatnya kebudayaan konteks tinggi orang-orang mengharapkan rekan-rekan mengetahui apa yang mereka pikirkan. Bahasa lisan merupakan media utama yang digunakan dalam berkomunikasi antarbudaya untuk menyampaikan maksud dan objektif melalui interaksi diantara individu. Bahasa berfungsi sebagai mekanisme untuk berkomunikasi sekaligus berpedoman untuk melihat realitas sosial. Selanjutnya Gudykunst dan Kim (1984) mengakui bahwa kegagalan utama dalam berkomunikasi adalah ketidakpastian dalam menyampaikan isi secara cermat. Hal ini ada hubungan positif antara teori pengurangan ketidakpastian dengan komunikasi efektif. Beliau mengilustrasikan Selanjutnya Gudykunst dan Kim (1984) mengakui bahwa
6
kegagalan utama dalam berkomunikasi adalah ketidakpastian dalam menyampaikan isi secara cermat. Hal ini ada hubungan positif antara teori pengurangan ketidakpastian dengan komunikasi efektif. Beliau mengilustrasikan melalui penurunan ketidakpastian akan membawa peningkatan pada komunikasi dan interaksi interpersonal. Jika jumlah ketidakpastian pada awal interaksi tidak dikurangi, kedepanya komunikasi akan sukar dan hubungan tidak akan berlanjut. Dengan makna lain bahwa komunikasi tidak berjalan secara efektif. Proses verbal merupakan media utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses nonverbal tidak kalah pentingnya digunakan dalam berkomunikasi ataupun lebih pentingnya digunakan dalam berkomunikasi ataupun lebih penting bahkan walupun tidak kita sadari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 55% komunikasi dilangsungkan melalui proses tidak verbal, 38% dengan suara (paralinguistik) dan 7% dengan kata-kata (Albert Mehrabian, 1972 dalam Liliweri, 2003: 181). Temuan Andersen melihat bahwa sistem lambang nonverbal berlangsungdalam diri individu sebagai sistem yang spontan dan ditetapkan tanpa pikir panjang sebelumnya. Hal ini jelas kelihatan melalui penampilan fisik seperti cara berpakaian.sikap suatu budaya akan mengarah kepada stereotip etnis. Seterusnya Samovar dan Porter (2003: 16), dalam berkomunikasi ‘jarak’ sebagai aspek penting dalam sistem lambang nonverbal. Orang Arab dan Latin condong berinteraksi secara akrab dibandingkan Amerika Utara dan adanya ketidaknyamanan ketika mereka berbicara terlalu dekat. Orang Amerika Utara lebih suka berbicara dengan duduk berhadaphadapan. Berbeda dengan orang Cina lebih menyukai duduk bersebelahan ketika berbicara.
1.3. Organisasi Sosial
Organisasi sosial adalah cara bagaimana suatu kebudayaan dikomunikasikan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang berperan dalam membentuk individu, yaitu keluarga dan sekolah (Samovar dan Porter, 1993: 16).
1.3.1. Keluarga
Keluarga merupakan perwujudan dari institusi tidak formal. Peranan keluarga sangat penting seiring perjalanan dar i waktu ke waktu, yang mana budaya luar akan mempengaruhi anak. Melalui keluarga, individu belajar mengenal kebudayaannya dan menilai kebudayaanya paling baik dibandingkan kebudayaan etnis lain, dan lain sebagainya. Gavin dan Brommel
7
(1991), menunjukan beberapa sikap dasar, nilai-nilai dan tingkah laku dimulai dari keluarga, seperti tanggung jawab, kepatuhan, dominasi, kemampuan bergaul, kesetian dan lain-lain. Hasil pengamatanya mendapati bahwa “seorang anak yang lahir di India dapat merasakan semua orang hidup di dalam satu rumah dan belajar akan luasnya sebuah keluarga. Dengan hidup bersama orang yang lebih tua di dalam satu rumah, anak akan belajar akan nilai sebuah umur. Anak-anak bertingkah laku dimasyarakat sebagaimana yang dipelajarinya di rumah. Bennett, Wolin and Mc Avity (1998) dalam kajian mengatakan bahwa di dalam sebuah keluarga, budaya dapat menggambarkan batasan-batasan, harapan-harapan, aturanaturan untuk berinteraksi, pola komunikasi, cara penyelesaian masalah dan lain-lain. Pengembangan identitas keluarga dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu identitas keluarga asli dan identitas yang dibentuk sejalan dengan pernikahan dan keturunan. Melalui sebuah keluarga akan membentuk pandangan dunia seperti mengakui akan adanya tuhan sehingga patuh dan bertanggung jawab tehadap lingkungannya, memiliki nilai-nilai yang dapat membedakan yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak bo leh dan lain-lain. Dengan demikian, sistem perilaku wujud dari kepercayaan dan nilai yang dipedomani oleh setiap individu. Perilaku atau sikap dibentuk atas sebuah proses belajar yang dipelajari daripada pengalaman sepanjang hidupnya melalui keluarga (Galvin dan Brommel, 1991). Penemuan Tubbs dan Moss (dalam Mulyana, 2001: 218-219) juga menunjukkan sebuah keluarga dapat bertahan dengan adanya komunikasi yang berkesan dengan perbedaan budaya yang melatarbelakanginya. Beliau mendapati bahwa “di Amerika Serikat lebih dari 50% pasangan yang menikah berakhir dengan perceraian, di Britain lebih dari 70% pasangan yang menikah juga berakhir sama. Hal ini disebabkan tidak adanya komunikasi yang harmonis dalam keluarga”. Beliau menekankan bahwa komunikasi akan berkesan apabila pemberian makna bersama antara peserta komunikasi yang berusaha memahami orang lain sebagaimana yang ia lakukan. Selain itu, hasil penelitian penulis (Lubis, 2011a: 421) menegaskan bahwa interaksi komunikasi antarbudaya diantara etnis yang berbeda budaya bermula dari persepsi sebuah keluarga dalam
menanamkan pandangan dunia, nilai-nilai dab terwujud dalam perilaku.
Keluarga berperanan dalam mengajarkan para anggota keluarga untuk mengenali budaya yang dibawa oleh orang tuanya. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, kita harus mengakui bahwa perjalanan sebuah keluarga dalam mendidik generasinya dalam sebuah keluarga antarbudaya mempunyai pengalaman budaya yang t idak sama antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Banyak
8
faktor yang mempengaruhinya dan dapat menjadi hambatan dalam kelangsungan interaksi komuniksi antarbudaya baik dalam keluarga tersebut dan di masyarakat secara luas. Oleh Romano (2001) dalam Crippen dan Lea Brew (2007: 111), memberikan suatu jalan keluar untuk identitas keluarga yang dibentuk sejalan dengan perkawinan dan keturunan, yaitu dengan melihat konflik serius antara orang tua dan anak dalam perbedaan nilai-nilai dan kepercayaan, pendidikan dan disiplin gaya. Beliau mendapati ada tiga cara penyelesaian yaitu dengan menyesuaikan diri terhadap norma-norma budaya orang tuan rumah (tempatan), adaptasi dengan gaya daripada orang tua lain dan adanya pembagian peranan dalam keluarga. Nilai-nilai budaya sangat dipengaruhi oleh faktor internal ( in Group). Dengan melalui interaksi komunikasi antar budaya secara aktif dan berterusan dapat merubah terhadap pemahaman nilai-nilai budaya in group (Lubis, 2011: 157-161).
1.3.2. Sekolah
Selain keluarga, peranan lembaga formal seperti sekolah tidak kalah pentingnya. Melalui lembaga sekolah, seorang individu diperkenalkan dengan sejarah kebudayaan dengan menceritakan kepada anggota baru apa yang telah terjadi, memberikan fakta-fakta, menanamkan nilai-nilai dan sikap dari kebiasaan-kebiasaan yang baik yang dapat diterima dalam kebudayaan yang besar, dan lain sebagainya. Hasil penelitian Pelly (1986), mendapati bahwa pada lima sekolah pembauran etnis cina dan pribumi yang ada di kota Medan-Sumatera Utara, seperti sekolah Kalam Kudus, Sutomo, Methodis, Amir Hamzah, dan Budi Murni, diantara pelajar sekolah menengah pertama (SMP) dan pelajar sekolah Menengah Atas (SMA) ada terdapat keberhasilan asimilasi
dalam
bidang
struktural,
perkawinan
antara
suku
bangsa/etnis
dan
kewarganegaraan. Hal ini ditandai dengan para siswa SMP masih terikat kuat dengan kelompok primernya (keluarga dan kerabat dekat) sehingga membuat pergaulannya dengan orang lain (pribumi) masih sangat terbatas. Berbeda dengan pelajar SMA, yang disebabkan usia dan pengalaman mereka yang sudah mulai meluas maka mereka tidak terlalu terikat pada keluarga dan kerabat dekat, mereka lebih bebas dalam bergaul dan aktif dalam kelembagaan sosial seerti osis dan organisasi sosial lainya. Bahkan pandangan mereka tentang perkawinan antara suku bangsa, pertemanan antara laki-laki dengan perempuan dari etnis yang berbeda lebih terbuka dan fleksibel. Selain sekolah, peranan organisasi kemasyarakatan seperti serikat tolong menolong (STM), kelompok perkumpulan, maupun tempat kita berkerja, individu-individu yang
9
berbeda budaya mencoba untuk saling belajar dan memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing budayanya. Oleh Gudykunst dan Kim (1984) menempatkan bahwa individu pada kebudayaan itu saling bergantung dan harus menyesuaikan diri kedalam nilai-nilai dan norma-norma kelompok mereka. Pada kebanyakan kebudayaan, sikap yang pertama adalah segera memelihara hubungan pada pertama adalah dengan segera memelihara hubungan pada kelompok dan menyokong hubungan sosial kekeluargaan. Tujuannya ke arah personal yaitu mempertinggi eksistensi diri yang merupakan kepentingan kedua pada kebudayaan itu.
2. Beberapa Contoh Kajian Persepsi Budaya dari Beberapa Negara 2.1. Persepsi Budaya India tentang Nilai Anak Lelaki
Mengapa orang tua di india lebih suka anak laki-la ki? Alasanya banyak: anak laki-laki meneruskan nama keluarga, mereka mewarisi kekayaan dalam sebagian besar budaya india, anak lelaki menjadi sumber sokongan penghasilan orang tua dimasa tua, dan di India tingginya biaya penyediaan mahar berarti bahwa anak perempuan merupakan biaya finansial yang sangat tinggi sementara imbalannya kecil. Juga di india, adat hindu menetapkan bahwa anak laki-lakilah yang harus menunaikan hak kremasi. Jika tidak ada anak laki-laki maka ritual kremasi tidak lengkap. Hal ini hampir bersamaan dengan keadaan di Cina, Korea dan Jepang, tidak punya anak laki-laki untuk meneruskan nama keluarga berarti aib bagi leluhur. Di india, selama berabad-abad bayi perempuan teramat sering dicekik tidak lama setelah lahir. Namun ketika mesin ultrasonik tersedia bagi orang tua untuk mengetahui jenis kelamin anak didalam kandungannya, aborsi menjadi pengganti pembunuhan bayi yang lebih efektif ketika bayi yang dikandung adalah anak perempuan.
2.2. Persepsi Budaya Belanda dan Indonesia tentang Nilai Kemasyarakatan
Hofstede mengidentifikasikan masyarakat Belanda sebagai masyarakat dengan nilai budaya indivisualisme (Samovar, 2010: 238). Nilai budaya individualisme menurut Hofstede adalah budaya yang lebih menekankan pada hak dan kewajiban pribadi, privasi, menyatakan pendapat pribadi, kebebasan, inovasi dan ekspresi diri. Hal ini tergambar jelas dari karakteristik orang belanda yang egaliter dan modern serta beberapa karakteristik khusus lainya seperti sederhana, bertoleransi. Independen, mandiri dan punya jiwa wirausaha. Hal ini berbeda dengan masyarakat Indonesia yang lebih menekankan pada komunitas, kolaborasi, harmoni, dan tradisi bila dilihat dari identifikasi Hofstede.
10
Sekalipun budaya Belanda dilihat dari budaya individualisme oleh Hofstede, ada beberapa tingkah laku ataupun karakteristik masyarakat Belanda yang menunjukkan budaya kolektivisme, seperti misalnya orang Belanda sangat bangga dengan warisan budaya yang mereka miliki seperti sejarah, seni, dan musiknya, serta keterlibatan mereka dalam berbagai hubungan internasional. Hal ini sesuai dengan nilai budaya kolektivitas yang diberikan oleh Hofstede yaitu lebih menekankan pada komunitas, minat, harmoni, tradisi, fasilitas umum dan mempertahankan harga diri. Hofstede juga menilai orang Belanda nyaman dengan ketidakpastian. Orang yang nyaman dengan ketidakpastian ini cenderung bertoleransi terhadap yang tidak biasa, dan tidak terancam dengan pandangan orang yang berbeda. Mereka menghargai inisiatif, tidak begitu menyukai hirarki, berani mengambil resiko dan fleksibel.
2.3. Persepsi Keluarga Etnis Tionghoa dan Pribumi di Medan dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya
Hasil penelitian penulis (Lubis, 2011: 171-176) menegaskan bahwa interaksi komunikasi antarbudaya di antar etnis yang berbeda budaya bermula dari persepsi sebuah keluarga dalam menanamkan pandangan (word view), nilai-nilai dan terwujud dalam perilaku. Keluarga berperanan dalam mengajarkan para anggota keluarga untuk mengenali budaya yang dibawa oleh orang tuanya. Hasil wawancara mendalam dengan informan lakilaki Tionghoa yang menikah dengan perempuan pribumi atau sebaliknya antara perempuan Tionghoa dengan laki-laki pribumi, didapati bahwa perkawinan berbeda budaya berdampak kepada cara mendidik anak terutama dalam menanamkan nilai-nilai agama islam yang jelas sangat berbeda dengan ajaran Budha ataupun Konghucu. Oleh karenanya peranan keluarga dalam arti kerjasama antara suami dan istri sangat diperlukan dalam membentuk pandangan dunia, kepercayaan, dan nilai-nilai budaya seorang anak.
11